Anda di halaman 1dari 83

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT SEMINARI PINELENG

ETIKA KEUTAMAAN SEBAGAI LANDASAN MORALITAS YANG IDEAL

BAGI TINDAKAN DAN PERILAKU MANUSIA (SUATU STUDI ATAS ETIKA

KEUTAMAAN JAMES RACHELS)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelas Sarjana

Strata 1 (S-1) Filslafat pada Sekolah Tinggi Seminari Pineleng

Oleh:

PEGGY IROTH

NPM: 1675201006

PINELENG

2022
ii

Skripsi dengan Judul

ETIKA KEUTAMAAN SEBAGAI LANDASAN MORALITAS YANG IDEAL

BAGI TINDAKAN DAN PERILAKU MANUSIA (SUATU STUDI ATAS ETIKA

KEUTAMAAN JAMES RACHELS)

Yang Disusun Oleh:

Peggy Iroth

Dinyatakan:

Diterima Dan Disetujui Untuk Diserahkan Kepada Panitia Ujian Skripsi Sarjana

Strata-1 (S-1)

Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng (STF-SP)

Pineleng, Mei 2022

Menyetujui:

Dosen Pembimbing

Dr. Berty Ohoiwutun

Mengetahui:

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT SEMINARI PINELENG

Ketua Program Studi Ilmu Filsafat

Antonius Baju Nujartanto, S.S., M.A.


iii

Diterima dan disetujui oleh Panitia Intern Skripsi Sarjana Strata 1

Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng berdasarkan surat keputusan STF

Seminari Pineleng Nomor….. tertanggal…..

Ujian diselenggarakan di Pineleng, pada tanggal….

PANITIA UJIAN INTERN SKRIPSI SARJANA STRATA 1

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT - SEMINARI PINELENG

Ketua :

Sekretaris :

Bendahara :

PENGUJI :

1).

2).

3).
iv

“Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina

hikmat dan didikan”

(Amsal 1:7)

Karya tulis ini kupersembahkan kepada orang tua terkasih dan kakak yang senantiasa

telah mendukung saya dalam proses penulisan skripsi ini.


v

Kata Pengantar

Puji dan syukur, serta limpah terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan

Yang Maha Esa, karena atas kebaikkan, perlindungan dan penyertaan-Nya, penulis

dapat menyusun serta menulis dan menyelesaikan skripsi ini. Dalam proses penulisan

skripsi ini, ada begitu banyak tantangan yang dihadapi, namun Tuhan selalu meyertai

dan melindungi sehingga penulis bisa kuat untuk menghadapi tantangan-tantangan yang

ada dan menyelesaikan skripsi ini.

Bersama dengan syukur ini, penulis juga berterima kasih kepada dosen

pembimbing yakni Dr. Barnabas Ohoiwutun, yang telah menerima, membimbing,

meluangkan waktu untuk membaca serta membantu karya tulis ini sehingga menjadi

karya tulis yang berguna bagi kehidupan penulis dan juga para pembaca. Terima kasih

pula kepada Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, serta staf dosen yang telah

mendidik, memberikan ilmu pengetahuan serta melatih keterampilan bagi penulis.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Alm.Papa, kepada mama dan

kakak, kepada keluarga serta teman-teman yang telah memberikan semangat, motivasi

dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

Akhirnya dengan ini, menyadari akan kekurangan dalam skripsi ini, penulis

bersedia membuka hati dan membuka diri bagi koreksi, kritikan ataupun masukkan

guna memperbaiki skripsi ini menjadi lebih baik lagi. Semoga skripsi ini dapat berguna

untuk semua orang.


vi

Pineleng, Mei 2022

DAFTAR SIGLA

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia

STFSP : Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

S-1 : Strata 1

HAM : Hak Asasi Manusia

UAB : Universitas Alabama Birmingham

Pkn : Pendidikan Kewarganegaraan


vii

Abstrak

Nama : Peggy Iroth

Program Studi : Filsafat

Judul : Etika Keutamaan sebagai Landasan Moralitas bagi Tindakan dan

Perilaku Manusia (Suatu Studi atas Etika Keutamaan James Rachles)

Persoalan-persoalan moral, seperti pembunuhan, korupksi, dan lain-lain, yang terjadi

hingga saat ini dengan terang benderang memerlihatkan bahwa etika sebagai refleksi

atas moralitas amat dibutuhkan guna membantu manusia mengarahkan sikap dan

perilakunya. Salah satu teori etika yang berusaha memberikan landasan moral bagi

manusia dalam bertindak adalah etika keutamaan. Salah satu tokohnya adalah James

Rachels. James memahami keutamaan sebagai karakter yang diperlihatkan dan dihidupi

oleh seseorang secara konsisten dalam hidup. Setiap keutamaan memiliki kekhasan

masing-masing. Karakter berani, misalnya, merupakan jalan tengah antara jiwa

pengecut dan sifat nekad. Keutamaan murah hati merupakan titik tengah antara dua

ekstrem yang berbeda, yakni boros dan kikir. Di sini tampak jelas bahwa etika

keutamaan amat menekankan peran manusia sebagai pelaku moral. Demikian, penting

sekali seorang manusia menjadi pribadi yang berkeutamaan. Bagaimana, keutamaan

dibentuk dan dikembangkan? Jawabannya melalui pembiasaan. Pembiasaan itu


viii

dilakukan melalui pendidikan karakter dalam keluarga dan di sekolah. Dengan bantuan

metode deskripsi dan Analisa kritis, skripsi ini berupaya menjelaskan konsep etika

keutamaan menurut James Rachels dan upaya menyikapinya. Pembahasannya terbagi

atas tiga bagian. Bagian pertama membahas moralitas. bagian kedua menjelaskan Etika

Keutamaan James. Bagian ketiga menjelaskan usaha mengembangkan keutamaan dalam

hidup.

Kata Kunci: Etika, keutamaan, moralitas, pendidikan karakter, manusia.


ix

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Permasalahan mengenai moralitas selalu diperbincangkan dan tidak ada habis-

habisnya. Dalam dunia dewasa ini khususnya dalam konteks Republik Indonesia akhir-

akhir ini, moralitas seakan-akan seperti kertas putih yang penuh dengan coretan.

Masalah-masalah politis, agama, aspek rasialisme serta pendidikan mewarnai kondisi

bangsa akhir-akhir ini. Realitas yang ada tersebut mengundang penulis untuk masuk

dalam diskursus mengenai moralitas.

Dalam kehidupan sehari-hari seringkali orang-orang dibingungkan oleh pelbagai

jenis ajaran moral yang berasal dari lembaga-lembaga yang berbeda pula. Dari ajaran

moralitas yang berbeda-beda, ilmu etika hadir dalam rupa-rupa ajaran atau refleksi kritis

tentang sistem moralitas. Berhadapan dengan hal tersebut, James Rachels menghadirkan

refleksi etika yang kompleks yang masuk dalam ajaran moral yakni “Etika

Keutamaan.”1 Dengan menghadirkan serta menggali mengenai etika keutamaan,

Rachels menilai bahwa para filsuf modern yang berbicara mengenai moral hanya

mengembangkan teori-teori kebenaran dan kewajiban, bukan keutamaan. Rachels

merumuskan “keutamaan” sebagai konsep landasan moralitas yang penting bagi

manusia dalam berpikir dan bertindak. Dengan demikian konsep etika keutamaan

dipandang sebagai refleksi yang sangat baik untuk mengkaji sistem moralitas serta

1
James Rachels, Filsafat Moral diterjemahkan oleh A. Sudiarja (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 306.
x

dapat disimpulkan sebagai landasan moralitas yang ideal. Dengan begitu James Rachels

membuka diskursus mengenai etika yang menekankan aspek relevansi pada tingkah

laku manusia yang disebut sebagai etika keutamaan. 2 Dari diskursus tersebut, dalam

penekanan mengenai tingkah laku serta tindakan manusia, etika keutamaan menjadi

landasan dalam memperlihatkan pula pentingnya keutamaan-keutamaan bagi kehidupan

manusia yang juga direalisasikan lewat ajaran-ajaran moral serta pendidikan karakter.

Di titik ini tampak jelas bahwa etika keutamaan memiliki peran penting terutama karena

itu membantu manusia untuk mengambil keputusan moral yang benar dan tepat

berhadapan dengan persoalan moral. Hal ini mendorong penulis mendalam topik etika

keutamaan dari perspektif James Rachels.

2. Fokus Penulisan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi fokus penulisan ini adalah

etika keutamaan menurut James Rachels dan sikap kritis dalam menyikapi ajarannya.

Demikian, pertanyaan pokok yang hendak diangkat dan dibahas dalam skripsi ini adalah

apakah makna etika keutamaan menurut James Rachels dan bagaimana menyikapinya?

Jawaban atas pertanyaan ini akan diawali dengan penjelasan mengenai moralitas secara

garis besar, riwayat hidup dan karya James serta kritiknya atas paham etika lain, seperti

subjektivisme etis, etika Emmanuel Kant, dan lain-lain.

3. Metode Penulisan

2
James Rachels, Filsafat Moral, 307.
xi

Terdapat dua metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yakni metode

penelitian dan penulisan. Adapun metode penelitian yang dipakai adalah metode

penelitian kualitatif melalui studi kepustakaan. Untuk kepentingan penulisan skripsi,

maka penulis secara khusus membaca buku karya James Rachles berjudul Filsafat

Moral (edisi Bahasa Indonesia) dan beberapa buku etika lain. Buku Filsafat Moral dari

James dimanfaatkan terutama untuk menjelaskan paham etika keutamannya. Sementara

buku-buku lain dipakai untuk membahas diskursus terkait moralitas pada bab I dan

menjelaskan bagaimana menyikapi etika keutamaan James dalam bab terakhir.

Sementara metode penulisan yang dipakai adalah metode deskripsi dan Analisa

kritis. Metode deskripsi dimanfaatkan untuk menjelaskan masalah moralitas, riwayat

hidup James Rachels dan pemikiran atau teorinya tentang etika keutamaan. Sedangkan

metode Analisa kritis digunakan untuk lebih memahami serentak menunjuk bagaimana

seharusnya kita bersikap terhadap etika keutamaan James.

4. Manfaat Penulisan

Ada beberapa manfaat dari penulisan skripsi:

a. Memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar strata satu (S-1) di

Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng.

b. Membantu pembaca memahami paham etika keutamaan menurut James

Rachels sekaligus menyikapinya secara kritis.

c. Melengkapi sumber-sumber ilmiah, terutama terkait tema etika keutamaan di

perpustaan STFSP.
xii

5. Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk memahami etika keutamaan dari James Rachels

dengan menjadikan etika keutamaan sebagai landasan moralitas yang ideal. Lebih dari

itu, penulisan ini dimaksudkan pula untuk memberikan penjelasan terkait persoalan

moral filsafat moral yang melahirkan pemikiran James Rachels dalam mengkaji etika

keutamaan. Selain itu, penulisan ini bertujuan menunjuk bagaimana menyikapi etika

keutamaan sebagai landasan moralitas yang ideal.

6. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I Diskursus Moralitas membahas beberapa pokok, yakni pengertian etika dan moral

dan hubungan keduanya, makna manusia dan kehidupan dan hubungannya, masalah-

masalah moral, dan refleksi James atas masalah-masalah moralitas. Uraian atas refleksi

James diawali dengan penjelasan tentang riwayat hidupnya dan kritiknya atas teori-teori

etika lainnya.

Bab II Etika Keutamaan James Rachels. Sesuai judulnya, bab ini berusaha

menjelaskan pemikiran James tentang etika keutamaan. Uraian diawali dengan

penjelasan tentang pengertian keutamaan, dan sejarah ringkas etika keutamaan dari

Aristoteles hingga Thomas Aquinas.


xiii

Bab III Menyikapi Etika Keutamaan James Rachels membahas dua hal, yakni

pentingnya etika keutamaan bagi manusia dan bagaimana menyikapinya agar

keutamaan-keutamaan itu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga dapat

menjadi landasan moral yang baik bagi manusia dalam melakukan keputusan dan

tindakan moral.
xiv

Bab I

Diskursus Seputar Moralitas

Dalam kehidupan manusia, moralitas memiliki peran yang penting entah

berkaitan dengan hukum maupun agama. Moralitas adalah dasar dalam berkehidupan

yang baik. Dengan kata lain, moralitas merupakan dasar eksistensi masyarakat. Dari

moralitas manusia dapat mengetahui dan mengerti tentang baik buruknya berperilaku.

Moralitas didefinisikan sebagai suatu ketentuan kesusilaan yang berkaitan dengan

perilaku manusia dalam kehidupan sosial demi keberlangsungan kehidupan di dunia. Itu

berarti moralitas tidak terlepas dari kehidupan manusia karena membentuk akhlak

manusia menjadi baik dan bijaksana dalam memilih dan bertindak. Dari moralitas

manusia diajarkan untuk bersikap peka terhadap kehidupan di lingkungan sekitar

terutama di tengah-tengah permasalahan moral.

Fokus bab pertama ini adalah membahas moralitas. Uraian terdiri dari beberapa

bagian. Bagian pertama membahas pengertian etika dan moral dan hubungan kedua-

duanya. Bagian kedua menjelaskan hubungan manusia dan kehidupan. Bagian ketiga,

membahas masalah-masalah seputar moral. Bagian keempat berisikan refleksi dan kritik
xv

James Rachels terhadap beberapa teori moral dari beberapa filsuf. Uraian diawali

dengan penjelasan singkat tentang riwayat hidup dari James Rachels. Seluruh

pembahasan pada bab ini akan diakhiri dengan kesimpulan.

1. Etika, Moral dan Hubungan Keduanya

1.1. Pengertian Etika

1.1.2. Makna Etimologis

Secara etimologis, kata “etika” berasal dari kata Yunani “ethos”. Dalam bentuk

tunggal kata “ethos” berarti tempat tinggal yang lazim, padang rumput, kandang habitat,

kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha),

kata “ethos” berarti adat kebiasaan. Jadi, dari segi etimologis, “etika” berarti ilmu

tentang adat kebiasaan.3

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, “etika” diartikan sebagai

ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang kewajiban moral (akhlak).

Sementara “etik” diberi dua arti: 1) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan

akhlak; dan 2) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau

masyarakat.4 Di sini tampak jelas bahwa KBBI membedakan antara “etika” dan “etik”.

“Etika” dipahami sebagai ilmu, sedangkan “etik” dipahami sebagai kumpulan nilai

moral. Demikian, “etika” merupakan ilmu yang dimanfaatkan untuk mempelajari

“etik”.5

3
K. Bertens, Etika, cetakan kesebelas (Jakarta: Gramedia, 2011), 3.
4
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan
Teknologi RI, “Etika dan Etik,” in Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, 2016,
https://kbbi.kemdikbud.go.id/.
5
K. Bertens, Etika, 5.
xvi

Bertolak dari pengertian etimologis dan leksikal di atas, “etika” kiranya dapat

dibedakan tiga arti kata “etika”. Pertama, “etika” sebagai sistem nilai. Di sini “etika”

dipahami sebagai nilai-nilai dan norma moral yang menjadi pedoman penilaian baik-

buruknya perilaku manusia baik secara pribadi maupun bersama dalam suatu

masyarakat. Arti pertama ini, contohnya dipakai dalam “Etika Konfusius”, ‘Etika

Protestan” (Marx Weber). Kedua, “etika” sebagai “kode etik” menunjuk kepada

kumpulan nilai dan norma moral yang harus dimiliki dan diperhatikan oleh profesi

tertentu. Sebagai contoh kita mengenal misalnya istilah “Etika Kedokteran” atau “Etika

Pejabat Publik”. Ketiga, “etika” sebagai ilmu yang melakukan refleksi kritis dan

sistematis atas moralitas. “Etika” dalam arti ketiga ini sama dengan filsafat moral.6

1.1.3. Etika Sebagai Cabang Filsafat

Etika merupakan cabang ilmu filsafat. Sebagai cabang filsafat, etika tidak sama

dengan moralitas. Sebagai cabang filsafat, etika lebih bertujuan untuk mempelajari dan

mengkaji nilai dan norma moral. Dengan kata lain, etika merupakan filsafat yang

berefleksi berdasarkan ajara-ajaran moral. Di sini, sikap utama yang diperlukan dalam

melakukan kajian atau refleksi atas ajaran-ajaran moral adalah sikap kritis. Sikap kritis

yang dimaksudkan menunjukkan bahwa ilmu etika tidak akan menerima nilai serta

norma moral dengan begitu saja, akan tetapi menganalisa dan mempertanyakan nilai

serta norma moral tersebut sampai pada lapisan paling mendasar. Selain sikap kritis,

etika juga menghadapi moralitas secara rasional. Setiap nilai dan norma moral yang ada

harus ditelaah dengan baik sampai dapat membuktikan dan diterima secara masuk akal.

6
J. Sudarminta, Etika Umum, Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif
(Yogyakarta: Kanisius, 2013), 3.
xvii

Refleksi etika ini bercorak mendasar karena mempersoalkan nilai-nilai moral yang

diterima begitu saja oleh masyarakat. Sonny Keraf memberikan contoh yang sederhana

untuk melihat adanya perbedaan antara moralitas dari etika sebagai cabang ilmu filsafat.

Sonny memberikan contoh dengan menulis: “Moralitas langsung mengatakan kepada

kita: ‘Inilah cara anda harus melangkah’. Sedangkan etika justru mempersoalkan:

‘Apakah saya harus melangkah dengan cara itu?’ dan ‘Mengapa harus ada cara itu?’”7

Contoh tersebut menjelaskan dan memperlihatkan bahwa ilmu etika

melaksanakan fungsi yang kritis terhadap moralitas. Dengan demikian, etika dapat

dikatakan sebagai filsafat moral yang memperlihatkan adanya pemikiran yang kritis

serta rasional dan juga mendasar dalam ajaran-ajaran moral. Dalam rumusan lain, etika

dimengerti sebagai cabang filsafat yang melakukan refleksi kritis atas nilai, pandangan,

ajaran serta sistem moral yang ada dalam setiap lingkungan atau dalam masyarakat.

1.2. Moral

Kata “moral” berasal dari kata Latin “mos”. Bentuk jamaknya adalah mores,

yang berarti tata-cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata moral

diartikan sebagai akhlak, budi pekerti atau susila. Atau ajaran tentang baik buruknya

suatu tindakan yang dilakukan atau dengan kata lain merupakan baik buruknya suatu

perbuatan dan kewajiban. Moral juga diartikan sebagai kondisi mental yang menarik

manusia untuk memiliki karakter pemberani, bersemangat, bergairah, dan berdisiplin.

Dengan demikian, manusia yang bermoral merupakan manusia yang memiliki

7
Johanis Ohoitimur, “Etika Dasar” (Traktat Kuliah STF Seminari Pineleng), 6.
xviii

pertimbangan pilihan yang bijaksana mengenai baik buruknya perbuatan, dan juga

manusia yang berakhlak baik.8

1.3. Hubungan antara Etika dan Moral

Dalam percakapan sehari-hari kata “etika” dan “moral” sering dipakai secara

bersamaan sebagaimana tampak dalam kalimat berikut: “Demi terlaksanakannya tugas

tugas dan tanggung jawabnya dengan baik, seorang pemimpin harus mengerti dan

memperhatikan etika dan moral.” Dalam kalimat tersebut terlihat bahwa kata “etika”

dan “moral” merupakan suatu hal yang berbeda. Kata “etika” diartikan sebagai nilai-

nilai moral, sedangkan kata “moral” diartikan sebagai peraturan-peraturan atau

kebiasaan-kebiasaan moral yang dianut oleh masyarakat.

Etika dan moral memang seringkali diartikan berbeda. Namun, etika dan moral

merupakan suatu hal yang berkaitan dan memiliki arti serta tujuan yang sama. Karena

dalam setiap peraturan moral pasti merujuk juga pada nilai moral, dan nilai moral

tersebut merupakan etika. Itulah yang menjadi hubungan antara etika dan moral.

Di Barat, etika dan moral dilihat sama saja atau memiliki arti dan makna yang

sama sehingga peraturan yang ada di Barat seringkali dilihat sebagai etika atau moral.

Jadi, kata “etika” dan “moral” dipakai sebagai kata dengan arti yang sama sehingga

digunakan secara bertukaran.

8
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan
Teknologi RI, “Moral, bermoral,” in Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, 2016,
https://kbbi.kemdikbud.go.id/.
xix

Hubungan etika dan moral dapat dilihat dalam setiap tradisi atau kebiasaan

berperilaku yang memperlihatkan adanya suatu rujukan pada nilai tertentu. Contohnya

komunitas yang mempraktikkan adat istiadat tertentu atau berperilaku sesuai dengan

pola yang telah menjadi kebiasaan untuk dipertahankan. Mereka melakukan hal itu

karena menjunjung nilai di balik kebiasaan tersebut yang dijadikan oleh mereka sebagai

pedoman dalam berlaku dan bertindak. Nilai-nilai adalah nilai-nilai moral bersifat sosial

karena dipakai dalam kehidupan bersama.

Dengan demikian, secara primer kata “etika” menunjuk pada nilai-nilai moral

yang memperlihatkan adanya kualitas manusia yang pantas disebut sebagai manusia.

Dalam adat istiadat tersebut, nilai-nilai yang ada menjadi titik tolak dari etika dan

moral.9

2. Manusia dan Kehidupan

2.1. Makna Manusia

2.1.1. Manusia sebagai Makhluk Hidup

Menjadi bahagia merupakan tujuan hidup setiap manusia yang ada di dunia.

Dalam proses mencapai tujuan tersebut manusia sudah pasti tidak kebal dan lepas dari

segala macam godaan seperti uang atau kekayaan, kehidupan mewah, dan lain

sebagainya. Hal ini terjadi karena sementara sebagian meletakkan kebahagiaan pada

kepuasan karena melayani dan berbagi dengan sesama, yang lain memahaminya sebagai

usaha menumpuk kekayaan dan kenikmatan.

9
Johanis Ohoitimur, “Etika Dasar”, 4-5.
xx

Hal ini menjelaskan bahwa ada perbedaan dalam memahami proses untuk

menuju kebahagiaan. Perbedaan pemahaman ini tergantung pada tingkat kesadaran

manusia sendiri. Tingkat kesadaran itulah yang membedakan manusia dengan binatang.

Tidak usah heran, manusia marah atau tersinggung ketika ia dibanding-bandingkan

dengan binatang. Manusia marah karena ada perbedaan besar antara dirinya dan

makhluk lain, terutama dalam hal berpikir atau berkesadaran. Hanya manusia yang bisa

berpikir dan memutuskan, sementara hewan dan makhluk lain tidak. Meski berbeda, ada

pula kesamaan antara manusia dan makhluk lain, yakni sama-sama merupakan makhluk

biologis. Baik manusia maupun makhluk lain memiliki kebutuhan akan makanan dan

minuman. Keduanya sama-sama memiliki hak yang sama untuk hidup dan berkembang.

Kendati demikian, tetap ada perbedaan antara manusia dan makhluk lain dalam

mencapai kebutuhan pangan tersebut. Bedanya, bila binatang atau makhluk lain bisa

langsung menikmati makanan yang disediakan alam, maka tidaklah demikian bagi

manusia. Ada proses panjang yang dilewati oleh manusia untuk bisa memakan

makanan yang sudah disedikan alam. Contohnya, manusia harus mengolah padi menjadi

beras dan beras menjadi nasi untuk dijadikan makanan. Padi dan beras pun harus diolah

melalui usaha yang panjang sebelum dimasak menjadi nasi. Konkretnya, sebelum tiba

di tangan pedagang sebagai beras, padi harus disemai, ditanam dan dipelihara oleh

seorang petani sebelum kemudian dipanen dan diolah menjadi beras. Proses itu

membutuhkan waktu yang tidak singkat sebelum tiba di meja menjadi makanan yang

siap disantap oleh manusia.10

10
Hiro Tugiman, Etika, Rambu-Rambu Kehidupan (Yogyakarta: Kanisius 2012), 1-2.
xxi

Dengan perbedaan tersebut, dapat dikatakan bahwa manusia bukan sekadar

makhluk hidup, melainkan makhluk hidup yang unik, luhur dan dan mulia. Pada

kemampuan berpikir dan berkehendak terletak keunikan dan keluhuran manusia itu.

Karena keunikan dan keluhuran itu pula manusia bisa bekerja, dan bertindak tidak saja

demi kebahagiaan dirinya, tetapi juga untuk kepentingan makhluk lain dan alam secara

keseluruhan.

2.1.2. Manusia Makhluk Sosial

Manusia merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk berelasi atau

berinteraksi dengan sesamanya. Manusia tidak bisa mencapai apa yang diinginkan tanpa

bantuan atau dorongan dari orang lain. Tanpa kehadiran sesama kehidupan manusia

tidak berjalan secara baik dan utuh. Justru karena itulah, manusia memerlukan sesama

agar dapat memenuhi kebutuhan. Hal tersebut dibutuhkan oleh semua manusia di dunia

ini tanpa mengenal kedudukan ataupun kekayaan. Singkatnya, berada dan hidup

bersama dengan sesama adalah kenyataan yang tidak bisa dielak oleh manusia karena ia

adalah makhluk sosial. Kesadaran sebagai makhluk sosial itulah yang mendorong

manusia untuk taat hukum, bekerja dan membangun kebersamaan dengan sesamanya.

Kesadaran itu pula yang mengantarkan manusia untuk memiliki rasa tanggung jawab

untuk saling menghargai dan menghormati sasama dengan lebih baik.11

11
Sosiologi “Pengertian dan Contoh Manusia sebagai Makhluk Sosial,” Blog Gramedia Digital,
gramedia.com. (diunduh; 09 Juni 2021)
xxii

2.2. Makna Hidup

Hidup merupakan suatu hal yang berharga bagi manusia karena hidup berarti

ada atau masih ada dan bergerak untuk berkerja. Tanpa adanya kehidupan, manusia

dianggap tidak ada. Bergerak berarti hidup harus memiliki arah atau tujuan karena

direfleksikan terus-menerus. Karena hidup yang tidak direfleksikan, seperti dikatakan

Sokrates- tidak layak untuk dihidupi atau dijalani.12 Hidup yang terarah meliputi

pemahaman akan nilai-nilai seseorang dan melihat nilai-nilai tersebut secara kritis,

dengan adanya niat terhadap nilai-nilai yang lebih tinggi. Niat terhadap nilai-nilai yang

lebih tinggi maksudnya ketika manusia memutuskan untuk mengikuti suatu hal yang

menguntungkan bagi kehidupannya. Seperti contohnya dapat dilihat dari tindakan

sehari-hari. Misalnya, seseorang memaksakan diri untuk menghadiri kuliah karena

kuliah tersebut merupakan perkuliahan dari seorang yang penting atau yang memiliki

nilai yang tinggi. Namun dengan kesadaran diri bahwa dengan mengikuti kuliah

tersebut sebenarnya merupakan kebutuhan diri untuk lebih berkembang dan dengan

gembira ingin mengikuti kuliah tersebut bukan hanya sekedar karena terpaksa. Jadi,

contoh tersebut sudah memperlihatkan bagaimana manusia hidup dengan terarah dan

melihat nilai-nilai secara kritis dan sadar akan makna kehidupan. 13

2.3. Hubungan Manusia dan Hidup

Sebagai makhluk hidup dan makhluk sosial, manusia tidak terpisahkan dengan

alam atau kehidupan. Justru sebaliknya, manusia hidup dalam ikatan yang erat dengan

12
Robert C. Solomon, Etika Suatu Pengantar (Jakarta: IKAPI 1984), 23.
13
Robert C. Solomon, 23.
xxiii

alam atau kehidupan di sekitarnya. Tanpa lingkungan hidup manusia tidak bisa hidup.

Sebaliknya, tanpa manusia lingkungan hidup akan rapuh dan mati. Dalam alam atau

hidup, manusia bekerja mengolah alam agar tetap hidup karena alam telah menyediakan

segala yang diperlukan oleh manusia untuk kelangsungannya. Tidak saja makanan,

budaya dan religiusitas manusia pun dibentuk oleh alam.

Itu berarti manusia dan alam (kehidupan) memiliki hubungan erat. Keduanya

saling tergantung dan saling terhubung secara erat. Alam menyediakan bagi manusia

kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, dari manusia yang diharapkan adalah tanggung jawab

untuk menjaga dan memeliharan kehidupan itu supaya tetap terus hidup dan

berkelanjutan. Tanggung jawab itu diwujudkan antara lain dengan menjaga kebersihan

lingkungan dan mengolahnya dengan penuh cinta dan bertanggungjawab.

3. Masalah-masalah Seputar Moralitas

Masalah-masalah seputar moralitas dapat dilihat dari berbagai permasalahan

moral. Contoh permasalahan moral adalah pelanggaran HAM, pelecehan seksual,

kekerasan terhadap anak dan wanita, pornografi, pelacuran, penyalahgunaan obat atau

narkoba dan segala bentuk tindakkan kekerasan lainnya.

Salah satu masalah moral yang menyangkut kekerasan yakni tindakan kekerasan

pembunuhan. Tindakan pembunuhan terjadi karena manusia yang kurang atau tidak

memiliki akal sehat untuk dapat mengerti tentang tindakan yang dilakukan.

Pembunuhan yang direncanakan atau bahkan tidak direncanakan tetap menjadi masalah
xxiv

moral yang tidak dapat dibiarkan. Tentang pembunuhan, etika menjadi suatu pedoman

agar dapat menggali dan membantu kesadaran moral manusia akan tindakkan tersebut.14

Dengan demikian dalam masalah-masalah seputar moralitas khususnya masalah

moral seperti pembunuhan, etika menjadi hal yang penting dalam membantu

menumbuhkan kesadaran moral dan mencari pemecahan yang dapat

dipertanggungjawabkan ketika manusia dihadapkan kepada pergumulan moral. Dengan

memiliki kesadaran moral yang baik, manusia diharapkan dapat memakai akal sehat

atau akal budi dengan kritis serta membuat pertimbangan rasional dengan baik agar

menghindarkan dia dari kecenderungan jatuh kepada masalah-masalah moral seperti,

pembunuhan, kekerasan seksual, dan lain-lain.

4. Refleksi Rachels mengenai Persoalan Moral

4.1. Tentang James Rachels

James Webster Rachels lahir di Columbus, Georgia Amerika Serikat pada

tanggal 30 Mei 1941. Ia menikahi Carol Williams pada tahun 1962. Mereka memiliki

dua orang anak laki-laki, yakni David dan Stuart. James meninggal karena penyakit

kanker dalam usia 62 tahun pada tanggal 5 September 2003 di Birmingham, Albama,

Amerika Serikat.15

James Rachels merupakan mahasiswa Universitas Carolina Utara di Chapel Hill.

Ia mendapatkan gelar Ph.D pada tahun 1967. Pada waktu remaja, ia memenangkan

14
K. Bertens, Keprihatinan Moral, Telaah atas Masalah Etika (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 9.
15
“James Rachles” dalam https://en.m.wikipedia.org/wiki/J.R.com/ (diunduh 2 februari 2021).
xxv

kontes pidato nasional. Pada tahun 1977, James berperan sebagai ketua filsafat di

Universitas Alabama di Birmingham (UAB) dan menjadi dekan Seni serta Humaniora

dari tahun 1978-1983.16 Selain itu juga diangkat sebagai penjabat wakil presiden untuk

Universitas di UAB selama satu tahun. Ia diangkat menjadi professor universitas pada

tahun 1992. Dalam masa karirnya, James berhasil menulis 6 buku dan 85 esai serta

mengedit 7 buku. Selain itu, James juga memberikan 275 kuliah professional.

James memiliki minat yang besar dalam masalah-masalah moral. Ia

memperjuangkan hak-hah hewan dan vegetarianisme moral, tindakan afirmatif,

euthanasia, dan gagasan orang tua yang harus memberikan pertimbangan moral yang

mendasar kepada anak-anak. Dari apa yang James temukan dan analisa mengenai

moral, ia sampai pada pemikiran yang mengantar dia pada etika umum utilitarianisme.

Dari pemikirannya ia mendapatkan kesimpulan bahwa suatu tindakan dinilai dari

perngaruh kebahagiaan manusia itu sendiri dan bukan dari manusia.

Rachels memiliki banyak karya yang mengantarnya kepada kesuksesannya. Ia

menulis buku tentang etika dan moral serta berbagai macam buku yang menyangkut

filsafat. Dalam menjalani karirnya, ia sudah menulis 6 buku bahkan sudah lebih dan 85

esai. Salah satu karya James yang paling terkenal adalah buku yang berjudul The

Elements of Moral Philosophy. Buku tersebut memiliki 14 bab yang mengkaji tentang

moralitas. Buku yang terkenal tersebut bukan hanya karya dari James Rachels,

melainkan juga karya dari Stuart Rachels yang merupakan anak dari James Rachels.

Dalam buku tersebut, dijelaskan atau diperlihatkan hal-hal tentang moralitas atau kajian

mengenai moral. Topiknya macam-macam. Mulai dari teori moral, relativisme budaya,
16
Humaniora merupakan ilmu budaya atau ilmu yang mempelajari tentang bagaimana memanusiakan
manusia agar lebih manusiawi dan berbudaya.
xxvi

subjektivisme, teori perintah ilahi, egoism etis, kontrak sosial, utilitarianisme, etika

Kantin, hingga teori etika deontologi. Selain itu dibahas pula kajian mengenai etika-

etika. Contohnya mengenai etika keutamaan yang dikemukakan James dalam buku

tersebut.17 Kelebihan buku ini adalah memakai contoh-contoh konkret menyangkut

realitas kehidupan di dunia. Buku tersebut sangatlah terkenal sehingga sudah

diterjemahkan dalam beberapa bahasa. Salah satunya telah diterjemahkan ke dalam

Bahasa Indonesia dengan judul buku Filsafat Moral.

4.2. Refleksi Rachels mengenai Persoalan Moral

Rachels memahami filsafat moral sebagai “upaya untuk mensistematisasikan

pengetahuan tentang hakikat moralitas, dan apa yang dituntut dari kita – meminjam

kata-kata Sokrates, tentang “bagaimana seharusnya kita hidup” dan mengapa

demikian”. Namun apakah itu moralitas? Menurut James, hal itu tidak mudah dijawab.

Karena itu, demi memudahkan James mulai dengan mengangkat tiga (3) kasus moral

sebagai contoh bagi kita untuk memahami hakikat moralias. Salah satu contohnya

adalah kasus bayi Theresa Ann Campo Pearson yang menderita rumpang otak

(anencephaly) yang lahir di Florida tahun 1992. Karena menderita rumpang otak, orang

tuanya meminta dan merelakan organ-organ Theresa untuk transplantasi sehingga

membantu anak-anak yang membutuhkan. Meski hal itu tidak terlaksana karena organ-

organ sudah rusak akibat keterlambatan mengambilnya setelah sembilan hari kematian

Theresa, kasus tersebut kemudian memantik diskusi moral di antara banyak orang. Bagi

17
James Rachels, Filsafat Moral, 306.
xxvii

kelompok yang mendukung, hal itu dibolehkan karena transplantasi tersebut dapat

memberikan keuntungan bagi anak-anak lain yang memerlukannya.

Sebaliknya, bagi kelompok lain, hal ini merupakan sesuatu yang keliru. Alasan

pertama, karena kelirulah kita memperlakukan orang lain sebagai sarang untuk tujuan

orang lain. mengambil organ Theresa berarti menjadikannya sarana atau manfaat bagi

anak-anak lain. Mengapa? Karena memergunakan orang lain merupakan pelanggaran

atas otonomi – kemampuan untuk bertindak dan membuat keputusan untuk diri sendiri.

Alasan kedua, karena kelirulah membunuh seseorang demi menyelamatkan orang lain.

Mengambil organ-organ Theresa berarti membunuhnya guna menyelamatkan yang lain.

Demikian, hal itu merupakan sesuatu yang salah.

Dalam pandangan Rachels, kasus di atas memerlihatkan bahwa tentang hakikat

moralitas terdapat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, keputusan moral harus

didukung oleh rasio yang baik. Kedua, moralitas menuntut pertimbangan tidak berpihak

dari setiap kepentingan individual. Menurut Rachels, kasus-kasus seperti bayi Theresa

agak pasti melibatkan emosi tinggi. Perasaan sering adalah penanda bahwa masalah

moral itu adalah serius. Namun perasaan yang kuat seperti itu dapat saja menjadi

penghambat untuk mendapatkan kebenaran. Alasannya, sering emosi yang kuat

membuat kita merasa tahu akan kebenaran yang sesungguhnya tanpa harus

mempertimbangkan argumentasi dari orang lain. Betapapun kuatnya perasaan, tetap

tidak bisa diandalkan karena mungkin sekali perasaan itu irasional. Juga karena

perasaan orang yang berbeda-beda sering mengungkapkan kepada mereka apa yang

malah berlawanan. Demikian, supaya dapat menemukan kebenaran kita harus

membiarkan perasaan dituntun oleh akal budi. Moralitas, pertama-tama dan terutama,
xxviii

merupakan soal yang berkaitan dengan akal atau kesadaran untuk mengajukan alasan-

alasan atas sebuah kasus moral.

Moralitas juga menuntut kita untuk tidak berpihak. Ide dasarnya, bagi James,

adalah bahwa setiap orang memiliki kepentingan yang sama. Dari perspektif moral tidak

ada orang yang istimewa. Demikian, setiap orang harus menyadari bahwa kesejahteraan

orang lain sama penting dengan kesejahteraannya dan karena itu perlulah untuk

bersikap netral. Tuntutan untuk tidak berpihak ini sesungguhnya mengajak kita untuk

tidak berlaku semena-mena terhadap sesama. Hal itu melarang kita untuk

memperlakukan orang lain secara berbeda dari yang lain jika tidak alasan yang tepat

untuk melakukannya.

Bertolak dari uraian di atas, Rachels lantas merumuskan moralitas sebagai upaya

mengarahkan tindakan seseorang dengan akal budi, yakni untuk melakukan apa yang

paling baik menurut rasio, seraya memberikan bobot yang sama terhadap kepentingan

setiap orang yang akan terkena dampak tindakan itu. Hal ini memerlihatkan bahwa

adalah penting menjadi pelaku moral yang sadar. Pelaku moral yang sadar adalah orang

yang memiliki keprihatinan tanpa bersikap diskriminatif atas individu yang terdampak

tindakannya.

4.3. Kritik Rachels atas Teori Beberapa Filsuf tentang Moral

Setelah membahas persoalan moralitas Rachels lantas mengurai tentang teori-

teori etika yang muncul dan berkembang hingga saat ini. Rachels tidak sekadar

memberikan penjelasan mengenai pengertian dan argumen mendasar dari teori-teori itu,
xxix

tetapi juga menunjuk keterbatasannya. Uraian berikut mencoba meringkaskan kritik

Rachels tersebut.

4.3.1. Kritik atas Subjektivisme Etis

Ada salah satu kejadian yang menggambarkan tentang subjektivisme moral atau

subjektivisme etis.

Ceritanya mengenai pemilihan umum walikota New York pada tahun 2001.

Dalam pemilihan tersebut selalu diadakan parade tahunan hari kebanggaan homoseks.

Para calon pemilihanpun ikut dalam parade tersebut. Dari kegiatan tersebut, Matt

Foreman sebagai direktur eksekutif dari Empire State Pride Agenda, sebuah organisasi

hak-hak kaum homo berpendapat bahwa “tak seorang calonpun yang dapat dilukiskan

sebagai yang kurang baik menyangkut isu kita ini. Dan di wilayah-wilayah lain dari

negara, posisi yang diambil di sini akan dianggap sangat tidak populer, kalau bukan

angka mati bagi untuk pengambilan suara.” 18


Pendapat Matt tersebut, tampaknya

disetujui oleh Partai Republik Nasional. Namun tetap terdapat penolakkan atau

perlawanan terhadap hak-hak kaum homo sebagai bagian dari pendirian nasional di

daerah mereka. Perlawanan itu berasal dari kaum konservatif religius.

Demikian, meski angka kaum homoseksual terus meningkat hingga 52% setiap

tahun, tetap terdapat penolakan atasnya. Salah seorang pendeta bernama Jerry Falwell

dalam sebuah wawancara mewakili sebagian orang yang sependapat dengannya

18
James Rachels, Filsafat Moral , 70-71.
xxx

mengatakan bahwa “Homoseksual adalah imoral. Apa yang dianggap sebagai hak

orang-orang homoseks sama sekali bukan hak, karena imoralitas bukan hak”. 19

Pandangan Katolik mengenai kasus tersebut lebih bernuansa dan menyetujui

bahwa homoseksual tidak bisa diterima. Menurut Cathechism of the Catholic Church,

“Orang-orang homo dan lesbian tidak memilih kondisi homoseksual mereka dan mereka

harus diterima dengan hormat, penuh kasih dan kepedulian. Setiap tanda diskriminasi

yang tidak adil dalam pandangan mereka harus dihindari. Namun tindakan homoseksual

secara intrinsik adalah tindakan yang tidak teratur. Dan dalam situasi manapun tak

pernah diizinkan.”20 Dari pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam

menjalankan kehidupan, orang-orang yang tergolong dalam homoseks harus bertarak.

Dari kejadian di atas, Rachels berpendapat bahwa terdapat pertanyaan mengenai

sikap apa yang harus diambil berhadapan dengan kasus tersebut. Dapat dikatakan bahwa

homoseksualitas adalah imoral. Namun setiap pandangan pasti berbeda-beda. Dengan

adanya perkara moral, dapat diperhitungkan dengan baik soal perkara yang ada. Itulah

pemikiran dasar yang muncul dibalik subjektivisme moral atau subjektivisme etis.

Subjektivisme etis ini merupakan bentuk atau bukti bahwa pendapat-pendapat yang ada

didasarkan oleh perasaan-perasaan setiap orang sehingga secara objektif tidak ada yang

dianggap sebagai yang benar atau yang salah. Atau dengan artian lain, walau terdapat

homoseksualitas, tetapi tidak ada yang dapat memerlihatkan secara nyata bahwa yang

satu baik dan yang satu tidak baik atau buruk.

19
James Rachels, 71.
20
James Rachels, Filsafat Moral, 70-71.
xxxi

Demikian, subjektivisme etis bukanlah sekedar penilaian atau analisa tentang

homoseksual melainkan tentang semua masalah moral. Namun cerita dan gagasan di

atas menjadi salah satu contoh dalam masalah moral yang tergolong dalam

subjektivisme etis.21

4.3.2. Kritik atas Egoisme Psikologis

Egoisme psikologis merupakan suatu teori yang dikritik oleh James Rachels

dalam bukunya Filsafat Moral. Egoisme psikologis berpandangan bahwa setiap

tindakan manusia dimotivasikan oleh kepentingan diri. Dengan kata lain, apa yang

manusia lakukan entah membantu ataupun berkorban, itu hanyalah untuk diri sendiri.

Karena itu, James berupaya memperlihatkan atau membuktikan apakah yang

dimaksudkan teori ini benar atau keliru.

Dalam teori ini terdapat pembuktian-pembuktian mengenai egoisme psikologis

itu benar. Pertama, strategi menafsirkan kembali motif-motif. Strategi tersebut

merupakan hal yang menarik karena dapat menarik orang untuk dapat berpikir bahwa

egoisme psikologis adalah benar.

Kedua, terdapat dua argumen pendukung egoisme psikologis. Argumen pertama

berbunyi “Apa yang kita lakukan adalah apa yang paling kita inginkan”. Namun,

menurut James, argumen ini masih keliru karena premis yang ada dalam argumen ini

tidaklah benar. Argumen kedua menegaskan “apa yang kita lakukan [adalah] apa yang

membuat kita merasa enak”. Argumen ini mengundang fakta mengenai berkutat-diri
21
James Rachels, Filsafat Moral, 72.
xxxii

yang menghasilkan suatu pemahaman akan kepuasan pribadi dari orang yang

melakukan suatu tindakan.

James mengkritik teori ini. Menurutnya, terdapat kesalahan dalam egoisme

psikologis ini. James menunjuk cerita nyata tentang dokter yang akan melakukan

penelitian sebagai bukti. Penelitian tersebut bertujuan untuk melihat bagaimana

perlakuan setiap staf yang ada. Maka dari itu para peneliti yang dipimpin oleh dokter

menyamar sebagai pasien biasa. Di mana beberapa tahun yang lalu sekelompok peneliti

yang dipimpin oleh seorang Dokter yang benama David Rosenham merelakan diri

untuk melibatkan dirinya sebagai seorang pasien dalam lembaga mental. Disituasi itu,

para staf rumah sakit lainnya tidak tahu akan apa yang telah direncanakan oleh Dr

David yang berencana melakukan penelitian. Para peneliti yang dipimpin oleh Dr David

yang menyamar sebagai pasien sudah pasti memiliki kesehatan yang stabil namun

dalam rumah sakit tersebut mereka menciptakan dugaan bahwa mereka sakit mental.

Seiring berjalannya rencana, salah satu pasien sungguhan berkata kepada mereka bahwa

“jangan pernah katakana kepada dokter bahwa kamu sehat. Ia tidak akan percaya itu. Itu

namanya ‘loncat ke kesehatan’. Katakan padanya kamu masih sakit, tetapi merasakan

banyak kemajuan. Ini namanya pencerahan”. Demikian peneliti yang berpura-pura


22

menjadi pasien tetap bertingkah laku secara normal. Namun hal itu dicatat juga sebagai

bagian dari gangguan mental. Maka dari itu, peneliti mencatat akan hal tersebut dan

seketika sang peneliti yang merupakan pasien yang sedang mencatat hal tersebut dinilai

sebagai pasien yang mempunyai perilaku mencatat. Dengan demikian, hasil dari

penelitian tersebut mengantar para dokter peneliti dalam sebuah definisi bahwa para

22
James Rachels, Filsafat Moral, 140.
xxxiii

dokter tidak mempertimbangkan perilaku normal seorang pasien dan bagi para dokter

tidak ada pertimbangan apapun yang diperbolehkan berlawanan dengan hipotesis bahwa

pasien sedang sakit. Hal seperti itu masih dianggap keliru karena tidak mendapatkan

suatu hasil yang spesifik. Dari cerita mengenai penelitian dokter, teori egoisme

prsikologis dari sudut pandang ini adalah keliru. Karena setiap tindakan yang dilakukan

dalam penelitian merupakan dorongan dari adanya motivasi. Jadi, menurut James, kalau

memang egoisme psikologis dipakai dalam suatu bentuk yang dapat dianalisa atau diuji,

hasilnya akan memperlihatkan adanya kekeliruan.23

4.3.3. Kritik atas Egoisme Etis

Egoisme etis merupakan sebuah ajaran atau pemikiran yang berpandangan

bahwa dalam dunia, kewajiban yang dilakukan kepada orang lain tidaklah datang

dengan cara yang alami. Menurut James, paham ini memiliki argumen pendukung

serentak argumen kontranya. Terdapat tiga argumen pendukung dan tiga argumen

melawan.

Argumen pendukung yang pertama yaitu argumen bahwa altruisme

menghancurkan diri sendiri. Kesimpulannya, usaha untuk mempedulikan orang lain

pada akhirnya akan menghancurkan diri sendiri.

Argumen pendukung kedua berasal dari tokoh bernama Ayn Rand. Argumen ini

memperlihatkan bahwa kepentingan seseorang dan kepentingan orang lain merupakan

sesuatu yang sama pentingnya sehingga harus memiliki keseimbangan antara satu

23
James Rachels, Filsafat Moral, 122-142.
xxxiv

dengan yang lain. Dengan demikian, jika argumen ini menolak adanya sikap altruisme

yang ekstrem tidak berarti bahwa orang harus menerima ekstrem yang lain dari egoisme

etis.

Argumen pendukung yang ketiga yaitu egoisme etis dianggap cocok dengan

moralitas akal sehat. Menurut James Rachels, argumen ini tidak cukup memberikan

bukti sebagaimana diperlukan karena tindakan yang dilakukan seseorang tetaplah untuk

diri sendiri (ego).

Ketiga argumen di atas merupakan argumen pendukung bagi egoisme etis yang

memerlihatkan adanya suatu hasil dari tindakkan yang bertujuan untuk kepentingan diri

sendiri.

Argumen berikut yaitu argumen melawan egoisme etis. Terdapat tiga argumen

melawan egoisme etis. Argumen yang pertama berbunyi bahwa “egoisme etis tidak

dapat memecahkan konflik kepentingan”, argumen yang kedua bahwa “egoisme etis

secara logis konsisten”, dan argumen yang ketiga bahwa “egoisme etis sewenang-

wenang dan tidak bisa diterima”.

Dari argumen-argumen yang melawan egoisme etis tersebut, James Rachels

menjelaskan bahwa kepentingan orang lain juga perlu untuk dipedulikan sama halnya

dengan betapa pedulinya seseorang akan diri sendiri. Karena kenyataannya kita dan

orang lain memiliki hal yang sama dan sejajar, misalnya kebutuhan pokok akan pangan

atau sandang. Demikian, egoisme etis dianggap sebagai teori yang gagal dalam teori

moral.24

24
James Rachels, Filsafat Moral, 143-167.
xxxv

4.3.4. Kritik atas Utilitarianisme

Utilitarianisme merupakan suatu teori etika yang berpendapat bahwa yang baik

itu adalah melakukan sesuatu yang berguna, menguntungkan dan bertujuan untuk

kebahagiaan. Kata-kata dari John Stuart Mill, salah seorang penggagas paham ini,

kiranya menjelaskan: “Ajaran Utilitarianisme adalah bahwa kebahagiaan itu diinginkan,

dan satu-satunya adalah hal yang bisa diinginkan, sebagai tujuan; semua yang lain bisa

diinginkan sebagai sarana tujuan ini.” 25

Menyangkut kebahgiaan, menurut James Rachels, gagasan kebahagiaan

merupakan tujuan akhir sedangkan ketidakbahagiaan sebagai keburukan mutakhir, dan

itu dikenal sebagai apa yang disebut dengan Hedonisme. Hedonisme menjadi menarik

karena adanya kesederhanaan teori yang masuk akal karena memperlihatkan bahwa baik

buruknya sesuatu itu diukur dari sejauh mana perasaan. Seperti contohnya dimana

seseorang mengontrol diri untuk bisa menghindar dari perasaan tidak bahagia atau

menyakitkan.26

Maka dari itu, suatu tindakan teori utilitarianisme merupakan teori tindakan

yang dapat didukung dan bisa dilihat dari aktivitas keseharian dimana orang-orang

bertindak dengan tujuan agar memilikin perasaan yang bahagia. Dan dengan demikian,

utilitarianisme menjadi ajaran yang dapat dipertahankan demi keberlangsungan hidup.

25
Terkutip dalam James Rachels, Filsafat Moral, 189.
26
James Rachels, 168, 187-202.
xxxvi

4.3.5. Kritik atas Immanuel Kant

Kant mengemukakan suatu teori tentang manusia. Menurut Kant, manusia

menduduki tingkat tertinggi dalam ciptaan dan menjadi makhluk yang istimewa.

Manusia istimewa karena mempunyai nilai intrinsik yaitu martabat yang membuat

manusia bernilai mengatasi segala harga. Gagasan dari Kant tersebut juga banyak

didukung oleh pandangan lain. Secara tradisional manusia dipandang sebagai makhluk

yang luhur dan menakjubkan.

James mengkritik teori Kant ini. Menurut James, pandangan Kant tidaklah

mudah untuk dipahami. Demikian, diperlukan cara untuk membuat teori Kant ini mudah

dipahami. Ia berpendapat bahwa harus ada cara untuk dapat membuat teori ini menjadi

lebih jelas. Cara tersebut dilihat dari teori retributivisme Kant. Dalam teori

retributivisme Kant, memperlakukan sesuatu sebagai tujuan pada diri sendiri berarti

memperlakukan sesuatu sebagai makhluk yang rasional. Dengan kata lain,

memperlakukan seseorang sebagai makhluk rasional, menggambarkan bahwa satu sama

lain saling menghargai. Dalam arti pula makhluk rasional bertanggungjawab terhadap

tindakan-tindakan yang dilakukan. Dalam tindakan-tindakan manusia, pasti ada

tindakan baik maupun jahat. Pada tindakan jahat, Kant beranggapan bahwa kejahatan

yang dilakukan seseorang pasti menghasilkan hukuman atas apa yang telah diperbuat.

Dengan demikian, menurut James, apa yang telah dikemukakan oleh Kant tersebut

memberikan pengaruh daya persuasif yang besar. 27


Dan James memperlihatkan

kesalahan dari etika Kant atau retributivisme yang sebenarnya mendorong manusia
27
James Rachels, Filsafat Moral, 234-251.
xxxvii

untuk bukannya mengurangi jumlah penderitaan di dunia melainkan mendorong

manusia untuk mengembangkannya. Dan dengan sadar Kant menganut retributivisme

tersebut dan mengimplikasikannya. 28

4.3.6. Kritik atas Feminisme dan Etika Kepedulian

Perempuan dan lelaki merupakan makhluk hidup yang istimewa. Secara

tradisional pandangan tentang perempuan dan lelaki yang berpikir secara berbeda

menjadi salah satu pandangan untuk membenarkan bahwa satu sama yang lain bisa

saling menaklukan. Menurut Aristoteles, perempuan tidak serasional lelaki, dan

karenanya perempuan secara alami diatur oleh lelaki. Pandangan Aristetoles tersebut

disetujui oleh Kant dengan alasan bahwa perempuan memiliki kepribadian yang

“kurang beradab” dan tidak layak bersuara dalam kehidupan umum. J. J. Rousseau

mencoba untuk memperjelas mengenai pandangan kedua Aristoteles dan Kant di atas

dengan menegaskan bahwa lelaki dan perempuan hanya berbeda dalam keutamaannya.

Meski demikian, pada akhirnya tetaplah keutamaan lelaki yang cocok dalam hal

kepemimpinan, sedangkan perempuan cocok untuk mengurus keluarga atau rumah

tangga.

Menurut James, kendati perempuan dan lelaki berpikir secara berbeda,

perbedaan dalam berpikir tersebut tidaklah berbeda jauh. Dalam arti tidak mungkin

perempuan membuat suatu keputusan yang terlahir dari pikirannya dan tidak dipahami

oleh lelaki. Begitupun sebaliknya, tidak mungkin lelaki mengutarakan pemikiran yang

28
James Rachels, FIlsafat Moral, 240.
xxxviii

tidak mungkin dipahami oleh perempuan. Dengan demikian, perempuan dan lelaki

memiliki hubungan yang cukup serius. Hubungan tersebut dapat dilihat dari berbagai

macam hubungan, seperti hubungan keluarga atau teman. Dalam hubungan tersebut,

terdapat etika kepedulian.

Etika kepedulian sangatlah cocok untuk menjelaskan hubungan-hubungan

tersebut. Etika kepedulian menjelaskan dan memperlihatkan bagaimana kodrat manusia

dalam berinteraksi dan berelasi satu sama lain baik dalam keluarga maupun dalam

pertemanan atau persahabatan. Dalam pandangan-pandangan tersebut, James Rachels

menambahkan bahwa Etika Kepedulian menjadi satu bagian dalam etika keutamaan.

Demikian, feminisme juga tidak perlu dianggap rendah, tetapi dapat dilihat sebagai

kodrat manusia yang rasional yang memiliki keutamaan-keutamaan sendiri.29

5. Kesimpulan

Bab ini membahas tentang moralitas. Berbicara tentang moralitas, maka tidak

dilepaskan dari bahasan mengenai etika, moral dan manusia. Lazimnya, etika memiliki

tiga (3) pengertian, yakni: etika sebagais sistem nilai, etika sebagai kode etik dan etika

sebagai refleksi kritis dan sistematis atas moralitas atau filsafat moral. Sementara moral

dipahami sebagai baik-buruknya sebuah tindakan. Dalam percakapan sehari-hari, kedua

kata tersebut dipakai secara bersamaan karena memiliki kaitan bahkan makna yang

sama, yakni nilai dan aturan moral. Nilai-nilai moral itu dijunjung tinggi karena

dijadikan pedoman bagi manusia dalam bertindak.

29
James Rachels, Filsafat Moral, 285-303.
xxxix

Hanya manusia yang memiliki kesadaran moral karena selain sebagai makhluk

hidup yang rasional dan yang mencita-citakan kebahagiaan, manusia adalah makhluk

sosial. Kodrat sebagai makhluk sosial mewajibkan manusia untuk terbuka membangun

relasi dengan sesama bahkan kehidupan atau secara keseluruhan. Karena itu, sebagai

bentuk tanggung jawabnya, manusia diminta untuk selalu menjalin relasi yang baik

dengan sama dan alam sekitarnya.

Meski demikian, dalam kenyataan manusia hampir selalu diperhadapkan pada

masalah-masalah moralitas, entah masalah ketidakjujuran, korupsi maupun masalah

penganiayaan, pembunuhan dan masalah-masalah moral lain. Masalah-masalah moral

itu lantas mendorong para filsuf untuk merefleksikannya secara kritis dan sistematis.

Salah pemikir filsafat yang ikut serta merefleksikan persoalan moralitas itu adalah

James Rachels. Refleksi James diawali dengan kritiknya atas teori-teori etika yang

sudah pernah muncul, seperti egoisme psikologis, subjektivisme etis, utilitarisme dan

Etika Kant. Egoisme Etis, misalnya, dikritik James sebagai teori yang tidak memadai

karena mengabaikan atau tidak mempedulikan kepentingan orang lain. Padahal dalam

kenyataan, seperti saya, orang lain pun memiliki kepentingan atau kebutuhan yang perlu

juga untuk dipenuhi.

Bertolak dari kritik tersebut, James lantas menawarkan etika keutamaan sebagai

jalan keluar dalam menanggapi persoalan-persoalan moral yang terjadi. Pertanyaannya,

apakah itu etika keutamaan menurut James Rachels? Jawaban atas pertanyaan tersebut

akan dibahas dalam bab kedua skripsi ini.


xl

Bab II

James Rachels Tentang Etika Keutamaan

Etika adalah cabang ilmu filsafat yang secara khusus mengkaji perilaku

manusia dari segi baik-buruknya atau benar-salahnya tindakan manusia sebagai

manusia. Etika mengantar manusia pada nilai-nilai kebenaran dan menghasilkan

kedisiplinan dari aturan-aturan dan hukum-hukum yang ditetapkan 30. Karena itu, etika

sangatlah penting dan berpengaruh dalam kehidupan manusia. Manusia yang tahu dan

mengerti etika, bisa menjadi manusia yang bermoral dan bebas. Bebas bukan berarti

bebas melakukan segala sesuatu. Manusia disebut bebas ketika manusia taat akan aturan

dan hukum-hukum yang ada sehingga menjadi manusia yang bebas. Bebas dari rasa

ancaman hidup dan mampu menjalankan kehidupan dengan baik tanpa rasa bersalah.

Terdapat berbagai macam aliran etika. Salah satunya adalah aliran etika

keutamaan yang dikembangkan, sebelumnya oleh Aristoteles, Thomas Aquinas, dan

kemudian oleh James Rachel. Fokus utama bab ini adalah membahas teori keutamaan

menurut James Rachels. Uraian dibagi atas beberapa bagian. Bagain pertama

menjelaskan pengertian keutamaan dan etika keutamaan. Bagian kedua membahas

sejarah etika keutamaan. Bagian keempat menguraikan pandangan James tentang etika

keutamaan yang mencakup: pengertian, jenis, unsur dan manfaat keutamaan.

30
Robert C. Solomon, Etika Suatu Pengantar, 2.
xli

1. Keutamaan

1.1. Pengertian Keutamaan

Keutamaan merupakan disposisi batin yang bersifat tetap dikarenakan adanya

latihan dan kebiasaan-kebiasaan untuk berbuat baik. Disposisi batin memerlihatkan

adanya kecenderungan memengaruhi atau menanggung sesuatu. Dalam arti sempit

disposisi dilihat sebagai bawaan dari manusia untuk melakukan aktivitas tertentu seperti

aktivitas dalam perkembangan hidup manusia itu sendiri.31

Keutamaan menunjukkan adanya ciri-ciri keluhuran watak atau akhlak yang

secara moral ada pada manusia demi mencapai keutamaan-keutamaan yang ada.

Sehingga dengan jelas dimengerti bahwa keutamaan merupakan sifat atau karakter

manusia dalam sikap, perilaku dan tindakan manusia setiap hari. Sifat atau karakter

yang baik itulah yang menjadikan manusia sebagai pribadi yang bermoral. Pribadi yang

bertindak atas nilai. Pribadi yang mampu membedakan yang baik dari yang jahat.

1.2. Etika keutamaan

Etika keutamaan adalah teori etika yang memfokuskan penelitian pada perilaku

manusia atau lebih memberi tekanan pada tindakan manusia atau watak manusia. 32 Etika

keutamaan mengantar manusia mengerti akan keutamaan-keutamaan yang

sesungguhnya penting bagi manusia dalam berperilaku sehingga muncul pertanyaan

31
J. Sudarminta, Etika Umum, Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif , 156.
32
J. Sudarminta,157.
xlii

yang mengantar pada pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah itu keutamaan dan

apakah manfaat atau keuntungannya?

2. Sejarah Etika Keutamaan

Uraian pada bagian ini berfokus pada sejarah etika keutamaan. Menurut James,

titik tolak yang akan mengantar pada sejarah etika keutamaan, yakni etika keutamaan

Aristoteles dan juga etika keutamaan Thomas Aquinas. Selain itu akan diuraikan pula

etika keutamaan yang muncul pada masa lahirnya Kekristenan.

2.1. Etika Keutamaan Aristoteles

Menurut Aristoteles, terlepas dari kata keutamaan, etika merupakan bagian dari

politik. Politik yang dimaksudkan adalah usaha manusia mencapai kesejahteraan atau

orang berpolitik agar bahagia. Inilah yang disebut dengan tercapainya kesejahteraan

hidup atau human well-being dan kebahagiaan atau eudaimonia. Demikian, etika dan

politik saling berhubungan untuk menciptakan kesejahteraan manusia. Keduanya

bertujuan mengajarkan bagaimana hidup baik dan sejahtera kepada manusia.

Bagi Aristoteles, etika merupakan dimensi yang esensial dalam memimpin

masyarakat. Aristoteles membedakan antara keutamaan intelektual dan keutamaan

moral. Keutamaan intelektual adalah buah dari hasil pengajaran melalui proses dan

pengalaman. Keutamaan moral berasal dari kebiasaan-kebiasaan manusia. Keutamaan

intelektual berkaitan dengan keunggulan akal budi teoritis, sedangkan keutamaan moral
xliii

berkaitan dengan keunggulan akal budi praktis. Keunggulan akal budi teoritis lebih

berkaitan dengan kecerdasan secara ilmiah. Keunggulan secara praktis lebih berkaitan

dengan emosi atau perasaan, yang mampu menyesuaikan dengan situasi konkret guna

dapat menilai secara saksama dan mengambil keputusan yang tepat.

Demikian, bagi Aristoteles, keutamaan moral adalah harmoni atau jalan tengah

untuk menyatukan kelebihan dan kekurangan demi tercapainya keputusan dan tindakan

yang tepat, dan sesuai dengan etika keutamaan.33

2.2. Etika Keutamaan di Masa Munculnya Kristianisme

Seiring berjalannya waktu, cara berpikir mengenai etika keutamaan yang sudah

dibahas secara umum sebelumnya, di masa munculnya Kristianisme telah diabaikan.

Dengan munculnya Kristianisme, lahirlah gagasan-gagasan lain. Orang-orang Kristen,

seperti orang Yahudi pada saat itu, beranggapan bahwa Allahlah yang menjadi pemberi

hukum sehingga bagi mereka taat kepada Allah berarti sudah menjalankan kehidupan

yang benar atau sudah bertindak benar. Bagi orang-orang Yahudi yang percaya hanya

akan Satu Allah, Allahlah pemberi hukum dan sumber moralitas. Sementara bagi orang-

orang Yunani yang menjadi sumber kebijakan praktis atau rujukan utama mereka

dalam hidup adalah akal budi. Akal budi adalah bagian tidak terpisahkan dari hidup.

Namun, sebagai pemikir Kristen yang berpengaruh, Santo Agustinus kurang

mempercayai kekuatan akal budi sebagai sumber kebajikan hidup. Menurutnya,

33
J. Sudarminta, Etika Umum, Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, 157-
158.
xliv

kebaikan moral tergantung pada penilaian atau perlakuan diri pada kehendak Allah.

Oleh karena itu, para filsuf di abad pertengahan mendiskusikan keutamaan dalam

konteks ilahi. Demikian, iman, harapan cinta, dan ketaatan sebagai keutamaan-

keutamaan teologis mempunyai tempat utama dalam kristianisme masa kini.

Sesudah Renaissans, filsafat moral kembali ke arah kehidupan yang tidak

didasarkan oleh ajaran agama lagi, melainkan menjadikan hukum moral sebagai

pengganti dari hukum ilahi. Hukum moral yang dimaksud adalah hukum moral yang

bersumber dari akal budi manusia dibandingkan perintah atau hukum ilahi, dan diterima

sebagai nilai-nilai dari hukum-hukum yang memperlihatkan mana tindakan yang baik.

Singkatnya, setelah masa kristianisme tampillah masa di mana etika keutamaan

tidak lagi berbicara mengenai hukum ilahi melainkan hukum moral yang

memperlihatkan lebih spesifik mengenai tindakan atau perbuatan manusia.34

2.3. Etika Keutamaan Thomas Aquinas

Dalam teori moral Thomas Aquinas, ajaran tentang keutamaan merupakan hal

yang sangat penting, karena bagi Thomas, keutamaan merupakan sebuah kebiasaan

untuk berbuat baik dalam kehidupan setiap hari. Keutamaan merupakan bagian dari

disposisi batin yang ada pada manusia untuk berbuat baik melalui latihan. Keutamaan

ini juga dipandang sebagai kesempurnaan yang menambah kemampuan jiwa untuk

melakukan sesuatu sebagai sebuah prinsip tindakan. Hakikat utama dari keutamaan

manusia itu adalah kesiapsediaan manusia untuk berbuat atau bertindak secara baik.
34
James Rachels, Filsafat Moral, 307.
xlv

Selain itu, keutamaan juga merupakan sebuah kualitas jiwa yag baik dan sangat

membantu manusia untuk dapat hidup secara benar. Keutamaan membantu manusia

untuk memberi kestabilan dan kesiapsediaan untuk memilih hal baik. Hidup moral

manusia akan menjadi lebih sulit jika manusia selalu membuat pertimbangan yang tidak

efisien dalam perencanaan untuk melakukan suatu tindakan. Tetapi, dengan kebiasaan-

kebiasaan baik yang sudah sering dilakukan dapat memudahkan manusia untuk

memilih melakukan perbuatan baik dan memusatkan semua tenaga untuk

mempertimbangkan masalah-masalah atau perkara yang akan datang dalam kehidupan

manusia.

Mengenai keutamaan tersebut, Thomas Aquinas membedakannya dalam tiga

jenis keutamaan, yaitu keutamaan intelektual, keutamaan moral dan keutamaan teologis.

Thomas membagi atau merinci lagi keutamaan intelektual menjadi keutamaan yang

berkaitan dengan akal budi teoretis dan keutamaan yang berhubungan dengan akal budi

praktis. Thomas menjelaskan bahwa yang berkaitan dengan akal budi teoretis adalah

pertama intelegentia atau penguasaan prinsip pengetahuan yang dasariah dan dengan

sendirinya kebenaran itu akan menjadi jelas. Kedua adalah scientia atau penguasaan

oleh intelek kesimpulan-kesimpulan yang diturunkan secara logis dari suatu cabang

ilmu, tetapi kebenarannya tidak akan menjadi jelas dengan sendirinya. Ketiga adalah

sapientia atau kebijaksanaan. Inilah yang, menurut Thomas, merupakan sebagai

keutamaan intelektual yang paling tinggi.35

Thomas juga membagi dan merinci mengenai keutamaan akal budi praktis.

Pertama keutamaan kebijaksanaan dalam melakukan pertimbangan suatu hal dan


35
J. Sudarminta, Etika Umum, Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif
(Yogyakarta: Kanisius, 2013), 160.
xlvi

memberi nasehat. Kedua adalah kebijaksanaan dalam mengambil sebuah keputusan

yang tepat. Ketiga adalah keutamaan untuk bersikap hati-hati dan bijaksana. Bagi

Thomas, dari ketiga keutamaan ini, keutamaan untuk bersikap hati-hati atau

kebijaksanaan merupakan dasar dari perbuatan moral. 36

Mengenai keutamaan moral itu sendiri, Thomas menggolongkan atau

menggelompokan jenis keutamaan yang berkaitan dengan tindakan, dan keutamaan

yang berkaitan dengan emosi atau perasaan. Dari semuanya ini, Thomas menyebutkan

keutamaan-keutamaan pokok yang menjadi dasar dalam melakukan suatu perbuatan

moral, yaitu kehati-hatian, keteguhan hati atau kekuatan kehendak dan keadilan.

Sedangkan untuk keutamaan teologis, Thomas merincinya menjadi tiga, yaitu iman,

harapan dan cinta kasih.37

Dengan demikian, sejarah etika keutamaan juga memiliki keterikatan dengan

bidang yang lain seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles tentang keterikatannya

dengan politik dan juga seperti yang dikemukakan oleh Thomas mengenai moral

tersebut yang merujuk juga pada keutamaan-keutamaan.

3. James Rachels tentang Etika Keutamaan

3.1. Etika Keutamaan dan Etika Tindakan Benar

Menurut James, memikirkan sesuatu sangatlah penting untuk menentukan

pertanyaan-pertanyaan dasar yang akan menjelaskan sesuatu. Dalam konteks etika

keutamaan, persoalan mendasar yang ditanyakan dan didiskusikan, sejak Aristoteles,

berkaitan dengan “kebaikan manusia sebagai aktivitas jiwa dalam kesesuaiannya


36
J. Sudarminta, Etika Umum, Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif , 161.
37
J. Sudarminta, 159-161.
xlvii

dengan keutamaan.” Di sini tampaklah jelas bahwa selain pemahaman yang baik akan

etika amatlah penting memahami pula hal yang membuat seseorang atau manusia

menjadi pribadi yang berkeutamaan. Karena itu, dapatlah dipahami Aristoteles memberi

ruang bagi diskusi terkait keutamaan-keutamaan, seperti keutamaan keberanian, kontrol

diri, kemurahan dan kejujuran.

Namun, menurut James, Aristoteles bukanlah satu-satunya tokoh yang

membahas dan memberi pertanyaan tentang etika keutamaan. Masih ada Sokrates, Plato

dan tokoh pemikir kuno lainnya yang melontarkan pertanyaan tentang sifat karakter

manusia, seperti “sifat karakter macam apakah yang membuat seseorang menjadi

pribadi yang baik?” Pertanyaan inilah yang menjadi pusat dari teori mengenai

keutamaan-keutamaan.38

Dalam perkembangan, munculnya Kekristenan yang memberikan tekanan pada

peran iman perlahan menyebabkan diskusi terkait akal budi sebagai rujukan utama

dalam membuat pertimbangan moral sebagaimana lazim ada dalam tradisi dan

pemikiran Yunani perlahan mulai ditinggalkan. Hal itu terutama tampak pada pemikiran

santo Agustinus. Agustinus, seperti ditulis James, kurang mempercayai akal budi.

Baginya, kebaikan moral bersumber bukan pada akal budi, tetapi pada penyerahan diri

manusia kepada kehendak Allah. Demikian, berbeda dengan para filsuf Yunani, diskusi

para filsuf Abad Pertengahan berfokus bukan pada hukum manusiawi (akal budi), tetapi

pada hukum ilahi (keutamaan-keutamaan ilahi), yakni iman, harap dan kasih.

38
James Rachels, Filsafat Moral, 70-71.
xlviii

Pasca Renaisanss, filsafat moral disekularisasikan. Peran hukum ilahi kini

digantikan oleh para filsuf dengan hukum moral. Di sini yang menjadi rujukan dan

pertimbangan dalam menetapkan sebuah tindakan yang baik bukan lagi hukum ilahi,

melainkan akal budi. Tugas manusia sebagai pelaku moral adalah mengikuti petunjuk

dan pertimbangan akal budi tersebut. Pertanyaan pokok yang diguluti di sini bukan

sifat atau karakter macam apa yang membuat seseorang menjadi baik?, tetapi manakah

tindakan benar yang harus dilakukan? Demikian, yang muncul kemudian bukan teori

keutamaan, melainkan teori kebenaran dan kewajiban, seperti etika egoisme, etika Kant,

dan teori etika utilitarianisme.

Dewasa ini, ada semacam upaya di antara beberapa filsuf untuk kembali kepada

teori keutamaan Aristoteles. Upaya tersebut, menurut James Rachels, dimulai oleh filsuf

Inggris, Elizabeth Anscombe dalam artikelnya “Modern Moral Philosophy”. Dalam

artikel itu, Anscombe menegasakan bahwa filsafat moral modern telah salah arah karena

bersumberkan pada pemahaman yang keliru tentang hukum, tanpa pemberi hukum.

Gagasan tentang kewajiban, tugas dan kebenaran menjadi fokus dari para filsuf modern

berkaitan erat dengan konsep kosong tersebut. Oleh karena itu, Anscombe

menyimpulkan bahwa kita harus meninggalkan proyek para filsuf modern dan beralih

kepada konsep keutamaan yang digagas Aristoteles. Hal itu menjadikan diskusi tentang

teori keutamaan menjadi tema yang lebih disukai dan diminati dewasa ini dibanding

teori etika seperti utilitarisme.

3.2 Jenis-jenis Keutamaan


xlix

Keutamaan didefinisikan sebagai sifat atau karakter yang dimiliki dan

diperlihatkan seseorang dalam kebiasaan hidup. Itu berarti sifat atau karakter tersebut

sungguh-sungguh dihidupi dalam keseharian hidup. Seseorang, misalnya, dikatakan

memiliki keutamaan kejujuran karena ia membiasakan diri berkata jujur secara

konsisten dalam hidupnya. Keutamaan berkaitan dengan keutamaan dari seorang pribadi

sebagai pribadi.

Keutamaan-keutamaan yang dimaksud adalah karakter-karakter yang harus

dimiliki manusia. Karakter-karakter itu adalah baik hati, terus terang, bernalar, ksatria,

bersahabat, percaya diri, belas kasih, murah hati, penguasaan diri, sadar, jujur, disiplin,

suka kerja sama, terampil, mandiri, berani, adil, bijaksana, santun, setia, berkepedulian,

tunduk, rendah hati dan toleransi.

Karakter-karakter tersebut merupakan dasar untuk menjadi manusia baik.

Demikian, manusia harus memiliki karakter-karakter tersebut agar dapat menjalankan

kehidupan yang bermoral. Dengan kata lain, menurut James, karakter-karakter tersebut

harus dipunyai oleh manusia dapat bertindak dengan baik secara moral dan

memperlihatkan unsur-unsur yang baik di setiap karakter yang dimiliki.39

3.3 Unsur-unsur Keutamaan

Setiap keutamaan memiliki ciri khasnya sendiri dan memperlihatkan

problematika yang khas pula. Ciri khas dari setiap keutamaan merupakan unsur-unsur

39
James Rachels, Filsafat Moral, 310-312.
l

dari keutamaan-keutamaan yang ada. Berikut ini adalah beberapa keutamaan atau

karakter-karakter yang memperlihatkan unsur-unsurnya masing-masing.

3.3.1 Karakter Berani

Berani merupakan karakter yang menjadi titik tengah dari dua hal ekstrem, yakni

antara pengecut dan nekad. Pengecut berarti lari dari segala macam bahaya ataupun

masalah. Sementara nekad berarti berani maju dan menaruh risiko yang terbilang besar

dibanding kemampuan diri.

Karakter berani ini sangat tepat untuk menjadi keutamaan dari seorang tentara

karena ketentaraan memiliki tugas-tugas yang berisiko dan bahaya, seperti menjalankan

tugas perang. Tanpa keberanian seorang tentara pasti tidak dapat menjalankan tugasnya

dengan baik. Namun tentara bukanlah satu-satunya yang membutuhkan karakter berani.

Menyangkut adanya bahaya, setiap orang harus memiliki keberanian untuk menghadapi

bahaya. Seperti halnya yang dikatakan oleh Peter Geach bahwa :

Keberanian merupakan hal yang akhirnya dibutuhkan oleh kita semua dan senantiasa
dibutuhkan dalam perjalanan hidup biasa sehari-hari: oleh para perempuan yang
mempunyai anak, oleh semua dari kita karena badan kita bisa terluka, oleh pekerja
tambang dan nelayan dan para pekerja pabrik baja dan pengemudi truk .40

Sifat berani sangatlah penting dalam aktivitas sehari-hari. Keberanian adalah

karakter yang pantas untuk dikagumi terkecuali keberanian yang dilakukan untuk

kejahatan. Contohnya seorang tentara Nazi yang mengambil risiko dengan alasan yang

bersifat jahat. Menurut Geach, hal itu bukanlah keberanian yang sesungguhnya yang

termasuk dalam keutamaan, tetapi lebih kepada keberanian untuk melakukan kejahatan.

40
Terkutip dalam James Rachels, Filsafat Moral, 313.
li

Dengan kata lain, Geach lebih suka menyebut hal tersebut sebagai ketidakberanian

seorang tentara Nazi untuk menghadapi adanya bahaya ‘berani’.

Rachels juga berpendapat bahwa tidaklah sulit untuk memahami apa yang

dimaksudkan oleh Geach. Dengan kata lain, perlakuan tentara yang ingin dipuji tidaklah

pantas untuk dipuji. Sikapnya hanya dapat diterima jika tentara tersebut melakukan

suatu keberanian yang lain. Namun dapat keliru pula jika dikatakan tentara tersebut

tidak berani karena ia telah menghadapi bahaya. Dari sisi ini dapat dilihat bahwa tentara

Nazi tersebut menjalankan dua sifat dari satu karakter yaitu yang pertama ia berani

dalam memutuskan untuk menghadapi bahaya, tetapi sifat lain yang tidak patut dipuji

yaitu membela yang bersalah atau yang tercela. Keberanian memang patut dikagumi,

tetapi dengan alasan yang jahat keberanian yang ia lakukan tersebut dilihat sebagai

tindakan kejahatan.41

3.3.2 Karakter Murah Hati

Kemurahan hati berarti bersedia untuk menggunakan apa yang ada untuk

menolong orang lain. Murah hati tidak jauh berbeda dari keberanian. Murah hati juga

berada dalam titik tengah antara dua ekstrem, yakni kikir dan boros. Kikir berarti

memberi terlalu sedikit, sedangkan boros artinya memberi terlalu banyak.

Yesus sebagai guru beranggapan bahwa manusia harus memberikan semua yang

dimiliki untuk menolong sesama atau orang miskin, karena tidak dapat diterima jika

41
James Rachels, Filsafat Moral, 312-313.
lii

seorang memiliki kekayaan yang berlimpah sementara orang lain kelaparan. Namun

dalam kehidupan dewasa ini gagasan tersebut seringkali ditolak karena adanya egoisme.

Dari sisi egoisme, seorang tidak mau jatuh miskin hanya karena memberi apa yang

menjadi miliknya. Namun cara seperti itu tidak akan mengantar manusia pada

kehidupan yang normal. Karena memberi bukan soal uang saja, tapi juga waktu.

Kehidupan manusia terdiri dari proyek dan relasi yang masing-masing membutuhkan

modal yang cukup. Di sana kemurahan hati menjadi penuntun manusia dalam

melepaskan uang serta waktu seperti yang dikatakan Yesus. Dalam konteks ini pula

dapat dipahami ajakan kaum utilitaris bagi manusia untuk hidup hidup secara berbeda

dengan cara bermurah hati kepada sesama selaras dengan kekayaan yang didapat oleh

seseorang.

Sementara bagi James, kemurahan hati memang harus ada dalam diri manusia.

Kekayaan yang ada pada manusia, menurutnya, mewajibkan manusia memiliki karakter

murah hati karena kekayaan adalah pemberian dari Tuhan dan alam.42

3.3.3 Karakter Jujur

Terdapat dua pandangan mengenai kejujuran. Pertama, jujur berarti orang tidak

pernah berbohong. Kedua, seseorang yang jujur tidak pernah berbohong kecuali dalam

kesempatan-kesempatan tertentu yang mendorong orang tersebut harus melakukan

kebohongan.

Dari kedua pandangan tersebut, tidak ada alasan untuk menerima yang pertama,

tetapi ada alasan untuk menerima pandangan yang kedua. Alasannya, karena

42
James Rachels, Filsafat Moral, 314-315.
liii

kemampuan manusia untuk hidup bersama dalam komunitas tergantung pada

bagaimana manusia berkomunikasi. Karena komunikasi memiliki peran penting dalam

kehidupan bersama, maka berkata dan bersikap jujur amatlah penting dan diperlukan.

Dasarnya, karena perkataan yang jujur menghasilkan kepuasan dan kepercayaan,

sedangkan perkataan bohong hanya akan menghasilkan keyakinan yang palsu dan dapat

pula berakibat tidak baik dan terlihat sebagai kebodohan. Hal ini memerlihatkan bahwa

berbohong adalah hal yang sangat menusuk karena dapat menyakiti sesama dan

menghilangkan kepercayaan.

Dalam perkara ini, menurut James, menjaga diri sendiri adalah hal yang penting.

Menjaga diri agar tidak termakan oleh perkataan yang tidak jujur dan menghancurkan

diri sendiri secara tidak baik atau tidak adil.43

3.3.4 Setia Kepada Keluarga dan Teman-Teman

Berangkat dari cerita mengenai seorang anak yang menuntut ayahnya karena

pembunuhan, timbul pertanyaan apakah pantas seorang anak menuntut ayahnya sendiri?

Pembunuhan adalah pembunuhan. Memperlakukan keluarga dan juga teman pasti tidak

sama dengan memperlakukan orang asing. Manusia terikat pada orang terdekat dengan

cinta dan afeksi. Secara mendasar kewajiban dan tanggung jawab pada keluarga dan

teman memiliki porsi masing-masing. Lagi, sebagai makhluk sosial, manusia tidak

43
James Rachels, Filsafat Moral, 316-318.
liv

dapat hidup tanpa seorang teman atau keluarga walaupun kekayaan telah ada dalam

genggaman.

Namun kembali pada perkara hubungan antara anak dan ayah yang melakukan

pembunuhan tampak jelas kiranya bahwa adanya hubungan keluarga bukan berarti

keadilan tidak dapat dibenarkan. Kesetiaan akan keluarga tidak menjadi alasan untuk

menutupi kesalahan orang yang dicintai atau orang yang memiliki hubungan keluarga.

Dengan kata lain, keadilan tetap harus dijalankan walaupun memiliki hubungan

kekeluargaan ataupun pertemanan. Itulah unsur sebenarnya dari kesetiaan kepada

keluarga dan teman-teman. Maksudnya, adanya kesetiaan bukan berarti juga menutupi

kesalahan.44

4. Pentingnya Keutamaan

Keutamaan merupakan karakter yang baik untuk dimiliki manusia. Memilikinya

dalam diri menjadi titik tolak untuk menjadi orang baik. Mengapa keutamaan itu

penting? Karena keutamaan memiliki unsur yang dapat mengantar setiap orang untuk

mengerti akan berperilaku dengan baik dan benar. Keberanian, misalnya, perlu dan

penting karena merupakan sesuatu yang baik dalam kehidupan. Kehidupan penuh

dengan bahaya, maka manusia harus memiliki keberanian agar dapat menghadapi

bahaya. Kemurahan hati juga menjadi keutamaan yang penting karena tidak semua

orang memiliki kekayaan atau memiliki apa yang sudah orang lain punya. Jadi, dengan

adanya kemurahan hati setiap orang dapat saling menolong dan berbagi terhadap

44
James Rachles, Filsafat Moral, 319-320.
lv

sesama. Kejujuran juga penting dalam hidup karena tanpa kejujuran, relasi manusia

sebagai makhluk sosial dapat keliru. Begitu pula dengan kesetiaan. Kesetiaan menjadi

hal yang hakiki dalam berelasi, dalam berhubungan dengan keluarga dan juga teman. 45

Dengan penjelasan tersebut memerlihatkan bahwa keutamaan-keutamaan itu sangatlah

penting bagi kehidupan manusia.

4.1. Keutamaan Bagi Setiap Orang

Bagi setiap orang, keutamaan merupakan sesuatu yang sangat penting.

Keutamaan menjadi karakter setiap orang untuk berbicara dan bertindak baik kepada

sesama. Semua orang agak pasti menginginkan karakter yang baik. Mengutip Friedrich

Nietzshe, James menulis:

Betapa naifnya mengatakan: “Manusia mesti begini-begitu!” Kenyataannya


memperlihatkan adanya kekayaan meriah tipe-tipe, kelimpahan permainan dan
pergantian bentuk beraneka __ dan sejumlah pemalas busuk yang jadi moralis
berkomentar : “tidak! Manusia mesti berbeda.” Padahal ia tahu bagaimana manusia
seharusnya, orang dungu dan lupa daratan ini : ia melukiskan dirinya di dinding dan
berseru : “Ecce Homo!”.”46

Dari ungkapan Friedrich Nietzshe, tampak ada sesuatu yang menarik. Sesuatu

yang menarik tersebut yakni keutamaan-keutamaan yang terdapat pada setiap orang

memiliki perbedaan-perbedaan. Dan tidak ada salahnya keutamaan-keutamaan itu

berbeda dari satu orang ke orang yang lain karena setiap orang juga memiliki karakter-

karakter yang berbeda.

45
James Rachels, Filsafat Moral, 321-322.
46
Terkutip dalam James Raches, Filsafat Moral, 324. Ecce Homo adalah kalimat Bahasa Latin yang
berarti “Lihatlah manusia itu.”
lvi

Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa tidak ada salahnya pemikiran

mengenai keutamaan-keutamaan dari setiap orang itu berbeda-beda. Karena kehidupan

setiap orang juga berbeda-beda. Tiap orang juga memiliki karakter atau sifat yang

berbeda, pribadi yang berbeda, memiliki agama yang berbeda dan juga hidup sosial

yang juga berbeda.47

Keutamaan yang berbeda-beda dapat dilihat pula dalam kehidupan masyarakat.

Karena masyarakat hidup sesuai daerah atau budaya yang memiliki aturan dan hukum

tersendiri. Keutamaan juga berbeda karena adanya jenis kehidupan yang berbeda pula

seperti kehidupan seseorang yang dilihat dari tempat tinggalnya. Contohnya tempat

tinggal seorang ilmuwan yang hidup dalam kalangan daerah yang memiliki fasilitas-

fasilitas yang mendukung seorang ilmuwan menjalankan aktivitasnya atau

kehidupannya dengan baik sebagai seorang ilmuwan. Begitupun dengan seorang yang

berprofesi lain. Seperti seorang pemain sepak bola, pastor, ataupun dekorator interior

rumah. Profesi yang berbeda-beda membawa kemungkinan bahwa cara hidup

merekapun berbeda satu sama yang lain. Dan oleh karena itu, dilihat dari tempat mereka

tinggal pasti memiliki karakter-karakter yang berbeda-beda dan juga nilai yang berbeda-

beda demi berlangsungnya kehidupan yang baik.

Dari perbedaan-perbedaan tersebut akan ada sifat-sifat dari keutamaan-

keutamaan yang terdapat dalam cara hidup yang berbeda. Pandangan di atas berlawanan

dengan pandangan bahwa terdapat keutamaan yang diperlukan semua orang tanpa

adanya perbedaan. Namun itu sejalan dengan pandangan Aristoteles yang

47
James Rachels, 323-325.
lvii

mengemukakan teori mengenai keutamaan yang seringkali benar dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Dalam pandangan Aristoteles semua orang pasti memiliki banyak kesamaan dan

juga pasti ada perbedaan. Aristoteles mengatakan “Dalam perjalanan ke negeri-negeri

yang jauh, orang dapat menangkap perasaan pengenalan dan kelekatan yang

menghubungkan setiap orang dengan yang lain.”48 Begitupun dalam masyarakat, bahkan

dalam masyarakat pedesaan, pasti ada persoalan yang sama yang dialami individu atau

kelompok yang pasti juga harus ada solusi atau kebutuhan yang sama pula. Sehingga

keutamaan dalam hidup itu sangat penting dalam kehidupan manusia yang berkarakter.

Terdapat karakter dan beberapa hal yang harus diperhatikan demi keberlangsungan

hidup manusia, yakni setiap orang harus memiliki karakter yang tegas dan berani.

Mengapa harus tegas dan berani? Karena entah siapapun itu, manusia selalu berhadapan

dengan masalah bahkan bahaya yang mengancam diri seseorang. Selain berani,

kemurahan hati juga penting untuk dipraktikkan dalam kehidupan, apalagi dalam

kehidupan sosial di tengah masyarakat. Kemurahan hati dibutuhkan guna mengatasi

adanya kesenjangan hidup dalam masyarakat. Tegasnya, kemurahan hati diperlukan

agar jurang pemisah dalam masyarakat akibat perbedaan kekayaan atau hak milik dapat

teratasi dengan kerelaan berbagi dan saling menolong. Selain itu, setiap relasi dan

dialog antar individu maupun kelompok memerlukan pula sikap jujur. Karena kejujuran

mengantar setiap orang ke dalam suasana atau percakapan yang baik bagi keberlanjutan

hidup. Dari kejujuran pula, setiap orang dapat berkomunikasi secara baik dan

melahirkan relasi yang baik dengan sesama.

48
Terkutip dalam James Rachels, Filsafat Moral, 325.
lviii

Dengan demikian, dalam kehidupan masyarakat yang berbeda-beda, keutamaan-

keutamaan juga ditafsirkan secara berbeda. Dan hal seperti itu tidak lebih dari sekedar

konvensi sosial yang di mana keutamaan-keutamaan diperintahkan bukan oleh konvensi

sosial melainkan oleh fakta dasar mengenai kondisi manusiawi setiap orang.49

4.2 Keuntungan Etika Keutamaan

Sejumlah filsuf beranggapan bahwa keutamaan merupakan hal yang mulia

dibandingkan dengan pemikiran lain mengenai etika. Anggapan ini bersumber pada dua

hal, yakni: motivasi moral dan keraguan mengenai ketidakberpihakan yang “ideal”.

Pertama, dari perspektif motivasi moral. Dengan menawarkan pertimbangan

motivasi moral yang alami dan mendalam, etika keutamaan menjadi suatu hal yang

menarik. Jika dibandingkan dengan teori lainnya, teori-teori lainnya kurang menaruh

perhatian pada hal ini.

Ada suatu contoh yang dikemukakan oleh Michael Stocker yang

memperlihatkan bahwa keutamaan memiliki keuntungan yang serius. Contohnya ketika

seseorang sedang sakit dan menjalankan perawatan di rumah sakit. Rasa bosan dan lelah

menyelimutinya. Namun adanya kunjungan dari teman atau kerabat, dapat membuat

rasa bosan dan lelah menjadi berkurang. Si sakit berterima kasih kepada orang yang

sudah berkunjung dengan alasan bahwa kerabat tersebut adalah orang yang baik.

Namun, di sisi lain, sang pengunjung berpikir bahwa itu merupakan kewajiban. Alasan

49
James Rachels, Filsafat Moral, 325-326
lix

berkunjung adalah karena ia merasa perlu menjalankan tugasnya untuk berkunjung

karena mungkin tak seorangpun yang lebih bersedia berkunjung daripada dirinya.

Dari contoh tersebut, Stocker berkomentar bahwa pasti akan menyakitkan hati

bila mengetahui alasan dari pengunjung tersebut karena memiliki sifat yang dingin dan

perhitungan. Masalah tersebut terletak pada motivasinya. Setiap orang menginginkan

persahabatan yang sempurna. Dalam arti saling menghargai pertemanan dan memiliki

sifat cinta.

Dari contoh di atas, terlihat adanya teori moral yang menekankan keutamaan

sebagai pedoman dalam berbuat baik. Seperti cinta dan persahabatan yang diharapkan

seseorang demi berlangsungnya kehidupan yang sehat dan baik. Dengan demikian,

kebaikkan hati seseorang terhadap yang lain merupakan keuntungan keutamaan yang

memperlihatkan bahwa setiap orang memiliki hubungan satu dengan yang lain.50

4.3. Masalah Kerumpangan Etika Keutamaan

Contoh-contoh masalah yang sudah dibahas sebelumnya mengenai pentingnya

keutamaan menarik teori tersebut pada dua perkara. Yang pertama bahwa teori filosofis

mengenai etika harus disertakan dengan karakter moral. Kedua, bahwa para filsuf moral

modern telah gagal melakukan hal tersebut.

Dua perkara tersebut menjadi masalah dalam etika keutamaan. Karena hal

tersebut merupakan masalah kerumpangan. Mari memahaminya dengan menggunakan

50
James Rachels, Filsafat Moral, 326-329.
lx

contoh tentang keutamaan kejujuran. Di satu sisi, ada godaan bagi orang untuk

berbohong karena hal itu mungkin dapat menghasilkan keuntungan dalam situasi

tertentu. Di sisi lain, orang tidak boleh berbohong karena harus memiliki moral yang

baik. Terdapat alasan mendasar mengapa orang harus bersikap jujur atau tidak boleh

berbohong. Jawaban yang dapat diberikan adalah bahwa kebohongan itu membawa

keuntungan pribadi, sementara kejujuran itu membawa kebaikan bersama. Di sini terjadi

ketegangan atau konflik, yakni antara teori egoisme etis dan utilitarianisme. 51 Hal ini

tergolong sebagai masalah kerumpangan dalam etika. Jalan keluarnya adalah kembali

kepada teori-teori yang menggali etika keutamaan seperti teori moral dan keutamaan-

keutamaan.

5. Kesimpulan

Keutamaan merupakan sikap batin yang bersifat tetap karena adanya kebiasaan

untuk bersikap dan berlaku baik. Sementara etika keutamaan adalah paham etika yang

menaruh perhatian pada tindakan manusia. Arah etika keutamaan adalah mengantar

orang menyadari pentingnya keutamaan bagi manusia dalam hidup. Dalam sejarah,

adalah Aristoteles, tokoh yang pertama kali berbicara dan membahas tentang etika

keutamaan. Aristoteles membedakan dua keutamaan, yakni keutamaan intelektual dan

keutamaan moral. Keutamaan intelektual adalah keutamaan yang diperoleh melalui

pengajaran dan pengalaman. Keutamaan moral adalah keutamaan yang didapat melalui

kebiasaan melakukan kebaikan secara terus-menerus. Keutamaan moral adalah jalan

tengah yang menyatukan kelebihan dan kekurangan.


51
James Rachles, Filsafat Moral, 330-334.
lxi

Pemikir lain yang juga membahas etika keutamaan adalah Thomas Aquinas.

Menurut Aquinas, keutamaan adalah kebiasaan untuk melakukan kebaikan melalui

latihan terus-menerus. Bagi Aquinas keutamaan memiliki peran penting karena

membantu mengarahkan tindakan manusia secara baik dan benar. Aquinas membedakan

keutamaan atas tiga jenis, yakni keutamaan intelektual, keutamaan moral, dan

keutamaan teologis.

Setelah sempat tenggelam karena pengaruh Kekristenan dan terutama munculnya

teori etika lain seperti teori etika utilitarisme atau teori etika kewajiban dari Kant, maka

etika keutamaan, kemudian, bangkit lagi. Salah satu tokoh yang secara khusus menaruh

perhatian dan membahas tentang etika keutamaan adalah James Rachels. Menurut

James, keutamaan adalah karakter atau sifat yang diperlihatkan seseorang dalam

kebiasaan hidup. Jenis-jenis karakter baik yang lazim dimiliki manusia antara lain:

kemurahan hati, keberanian, kejujuran dan kesetiaan. Bagi James, keutamaan

merupakan hal yang penting dan perlu untuk dimiliki oleh manusia. Mengapa? Karena

adanya keutamaan dapat mengantar manusia untuk hidup, bersikap dan bertindak baik

dan benar secara moral. Memiliki keutamaan kejujuran, misalnya, penting karena

membantu seseorang untuk terbiasa berkata dan bertindak jujur dalam hidup sehingga

menghindarkan dia dari sikap curang dan berbohong. Dalam arti itu, penting kiranya

bagi manusia untuk memiliki dan menjadi pribadi yang berkeutamaan dalam hidupnya.

Pertanyaannya, bagaimana kita menyikapi dan mengembangkan etika keutamaan dalam

hidup sehingga kita dapat berkembang menjadi pribadi berkeutamaan? Pertanyaan ini

menutup uraian bab dua dan mengantar kita untuk masuk dalam bab tiga skripsi ini.
lxii

Bab III

Menyikapi Paham Etika Keutamaan James Rachels

Etika keutamaan merupakan suatu teori etika yang sangat menekankan peran

manusia sebagai pelaku moral. Keutamaan-keutamaan menjadi pedoman yang baik bagi

manusia dalam bertindak dan berelasi. Dengan arti lain, baik buruknya sebuah tindakan

manusia dilihat atau ditentukan bukan dari tujuan atau kewajiban tetapi keutamaan-
lxiii

keutamaan moral yang sebenarnya ditampilkan oleh manusia itu sendiri. Dengan

demikian, manusia perlu berjuang untuk menjadi manusia yang berkeutamaan. Menjadi

pribadi yang berkeutamaan berarti menjadi pribadi yang memiliki dan menghidupi

keutamaan-keutamaan moral. Keutamaan-keutamaan yang dimaksud adalah seperti:

kejujuran, keberanian, dan keutamaan-keutamaan lain dalam kehidupan.

Untuk menjadi manusia yang berkeutamaan sudah tentu membutuhkan

pendidikan, khususnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter sangat penting dan

diperlukan guna membantu seorang manusia memiliki dan menghidupi karakter-

karakter yang baik dan benar dalam hidup. Pendidikan itu pertama-tama dilihat dan

dimulai dalam keluarga dan menyusul dalam pendidikan formal di sekolah.

Demikian, bab ketiga ini berfokus membahas bagaimana kita menyikapi etika

keutamaan? Dalam bukunya Filsafat Moral, James Rachels tidak membahas pokok ini

secara khusus. Karena itu, penulis berupaya menguraikannya pada bab ini. Uraian

terdiri atas beberapa bagian. Pertama, hendaknya menunjukkan bahwa dengan

menekankan keutamaan sebagai landasan dalam bertindak, etika keutamaan

menempatkan manusia sebagai pelaku utama moral. Kedua, karena manusia adalah

pelaku moral, maka menjadi pribadi berkeutamaan adalah penting. Dasarnya, dengan

menjadi pribadi berkeutamaan seseorang dapat melakukan tindakan-tindakan moral

secara baik dan benar dalam hidupnya. Bagian ketiga dan keempat adalah upaya

menjawab pertanyaan bagaimana menjadi pribadi berkeutamaan dijalankan dan

diwujudkan. Jawabannya pertama-tama melalui pembiasaan. Pembiasaan itu dibentuk

melalui pendidikan karakter di rumah dan di sekolah.


lxiv

1. Manusia adalah Pelaku Moral

Keutamaan-keutamaan moral merupakan hal penting bagi manusia dalam

bertindak. Karena keutamaan moral menjasdi dasar bagi manusia untuk bertindak. Itu

berarti, bagi etika keutamaan, manusia adalah pelaku moral. Manusia sendirilah yang

menentukan tindakan moral apa yang harus dilakukan sehingga dapat disebut sebagai

pelaku moral yang baik.

Etika keutamaan memiliki ciri khas utama yakni berfokus pada manusia sebagai

agen moral atau pelaku moral. Di sini, teori etika keutamaan tidak bertanya apakah

perbuatan manusia sesuai dengan norma atau tidak, atau apakah perbuatan manusia itu

sendiri sudah sesuai dengan kewajiban yang memang harus dilakukan, atau kewajiban

apa yang sebenarnya harus dilakukan. Sebaliknya, pertanyaan pokok etika keutamaan

yang memperlihatkan manusia sebagai agen moral yakni manusia seperti apa saya ini?

Apakah saya sudah menjadi manusia yang jujur dan adil? Dengan demikian, etika

keutamaan sebenarnya dengan arti lain bukanlah ethics of doing, melainkan ethich of

being. Manusia itu sendiri tidak bertanya mengenai what should I do melainkan what

should I be.52

Tegasnya, dalam etika keutamaan yang menjadi fokus bukanlah apa yang telah

manusia itu sendiri miliki, dan keterampilan apa yang sudah dikuasai, melainkan pribadi

manusia itu sendiri dengan bertanya manusia atau pribadi macam apa saya ini. Proses

menjadi manusia berkeutamaan tersebut lazimnya dilakukan melalui pembiasaan yang


52
Johanis Ohoitimur, “Etika Keutamaan dalam Arah Pendidikan Indonesia Kontemporer”, (Jakarta: Unika
Atma Jaya, 2021), 180.
lxv

dibentuk melalui pendidikan karakter. Dengan kata lain, pendidikan karakter, di mana

kebiasaan-kebiasaan baik dibentuk, merupakan sarana untuk membentuk seseoran

menjadi pribadi berkeutamaan.53

2. Pentingnya menjadi Pribadi yang Berkeutamaan

Karena manusia adalah pelaku moral, maka manusia perlu memiliki keutamaan-

keutamaan moral di dalam hidupnya. Manusia harus menjadi pribadi yang

berkeutamaan dalam hidupnya. Karena pada dasarnya, dengan memiliki keutamaan-

keutamaan moral, seorang manusia dapat melakukan perbuatan moral yang baik.

Tegasnya, dengan berkeutamaan manusia mampu bertindak jujur dan berani di hadapan

orang lain di dalam kehidupannya sehari-hari karena memiliki kejujuran dan

keberanian. Tindakan jujur dan berani itu dilakukan bukan saja karena aturan moral

mengatakannya. Tidak juga karena ingin dipuji atau dinilai baik oleh orang lain,

melainkan karena orang itu memiliki kualitas atau keutamaan jujur dan berani.

Keutamaan-keutamaan itulah yang mendorong dia untuk bersikap jujur terhadap orang

lain atau bertindak berani dalam membela yang kecil dan lemah.

Seorang kudus atau martir, misalnya, setia berkata dan bertindak jujur atau

melakukan kebaikan di dalam hidupnya karena ia memiliki di dalam dirinya keutamaan

kejujuran dan kebaikan hati. Dengan kata lain, karena ia memiliki keutamaan kejujuran

dan kebaikan hati, maka entah disuruh atau tidak, entah dipuji atau tidak ia akan tetap

setia melakukan kebaikan dan berlaku jujur di dalam hidupnya. Sederhananya, ia

53
Johanis Ohoitimur, 180.
lxvi

melakukan kebaikan dan bertindak jujur karena kejujuran dan kebaikan hati sudah

menjadi bagian esensial dalam dirinya.

Di titik ini terlihat jelas bahwa menjadi pribadi berkeutamaan itu penting.

Alasannya, karena selain mengarahkan kita untuk melakukan sebuah tindakan moral

secara baik dan atas cara itu menghindarkan kita dari kemungkinan melakukan

kejahatan, keutamaan-keutamaan dapat menuntun dan memimpin kita bertumbuh

menjadi seorang pribadi yang baik. Keutamaan menjadikan seorang bertumbuh dan

berkembang menjadi seorang pribadi yang bijaksana dan bermakna bagi orang lain.

Pertanyaannya, bagaimana cara menjadi pribadi yang berkeutamaan? Sarana apa yang

perlu dipakai supaya seseorang bisa bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang

berkeutamaan? Jawabannya adalah melalui pembiasaan. Yang dimaksudkan adalah

melakukan hal-hal yang baik seperti bersikap dan bertindak jujur, melakukan kebaikan,

dan lain-lain secara rutin dan konsisten hingga menjadi sebuah keutamaan hidup.

3. Menjadi Pribadi yang Berkeutamaan melalui Pembiasaan yang baik

Pembiasaan sikap atau perilaku lahir dari kehendak manusia yang mengerti akan

sesuatu yang baik. Mengetahui apa yang baik, mencintai atau menginginkan apa yang

baik dan melakukan apa yang baik. Mulai dari kebiasaan untuk berpikir tentang yang

baik dan positif, kebiasaan hati untuk menghendaki yang baik dan kebiasaan untuk

melakukan apa yang dipikirkan dan dikehendaki.

Dalam artikelnya tentang etika keutamaan dalam arah pendidikan, Thomas

Lickona, psikolog dan ahli pendidikan karakter Amerika Serikat, seperti dikutip oleh J.
lxvii

Ohoitimur, berpendapat bahwa perbuatan moral hanya mungkin karena adanya

pembiasaan, akan tetapi pembiasaan tersebut bersumber pada kehendak manusia

sendiri, dan kehendak itu didahului atau didasari oleh pengertian.54

Menurutnya, terdapat tiga tahap dasar yang dapat mengembangkan karakter

yang baik, yakni mengetahui apa yang baik, mencintai serta menginginkan apa yang

baik dan yang terakhir melakukan apa yang baik. Itu berarti pembiasaan sebagai sarana

membentuk pribadi berkeutamaan harus berawal dari pengetahuan akan yang baik,

disusul mencintai yang baik itu dan akhirnya dipuncaki dengan mempraktikkan

kebaikan itu dalam keseharian hidup. Keutamaan kesetiaan, misalnya, dalam hidup

berkeluarga atau dalam hidup seorang religius harus dimulai dari pengetahuan yang

baik, benar bahkan mendalam akan makna kesetiaan. Setelah mengetahui arti kesetiaan

tahap berikut yang harus dibuat adalah mencintai kesetiaan itu. Mencintai berarti

menginginkan atau menghasratkan untuk menjadi setia dalam hidup. Namun

mengetahui dan mencintai kesetiaan saja tidaklah cukup. Kesetiaan hanya bisa menjadi

sebuah kebajikan bila dihidupi. Maka langkah terakhir yang harus dilakukan adalah

mempraktikkan kesetiaan itu dalam keseharian hidup, entah dalam hidup berkeluarga

maupun dalam hidup membiara meski harus melewati jatuh-bangun. Karena sebuah

nilai, seperti dikatakan oleh Thomas Aquinas, hanya akan menjadi keutamaan bila

dibiasakan. Virtue est habitus operativus bonus: keutamaan adalah sebuah kebiasaan

baik yang dipraktikkan.55 Hanya manusia yang mempraktikkan nilai-nilai kebaikan

54
Johanis Ohoitimur, “Etika Keutamaan dalam Arah Pendidikan Indonesia Kontemporer”, 177.
55
Terkutip dalam Anton Baur, “Etika Persaudaraan Digital” dalam Gereja Online Mencari Solusi,
Refleksi Hidup Menggereja Masa Kini editor RD. Anton Baur (Jakarta: Obor,2021), 211.
lxviii

menjadi karakternya atau menjadi keutamaan yang disebut atau digambarkan sebagai

manusia yang bermoral, yang memiliki jati diri dan pribadi yang berkualitas baik.56

Jadi, berdasarkan karakter dan kehendak manusia itu sendiri yang menjadikan

dirinya merupakan pelaku moral, dan menjadi kepribadian berkeutamaan melalui

tindakan atau pembiasaan yang dilakukan dalam hidup sehari-hari. Melalui pembiasaan

tersebut, pribadi yang berkeutamaan menjadikan pribadi yang bermoral dan memiliki

integritas. Pertanyaannya, bagaimana dan di mana pembiasaan-pembiasaan baik sebagai

sarana membentuk pribadi berkeutamaan itu dapa dijalankan? Uraian berikut berupaya

lebih menjelaskan.

4. Pendidikan Karakter Sarana Menuju Pribadi Berkeutamaan

Pendidikan karakter sangatlah dibutuhkan untuk membentuk manusia menjadi

pribadi yang berkeutamaan dan mampu bertindak secara baik dan benar dalam hidup.

Melalui pendidikan karakter keutamaan-keutamaan dihidupi dan dijadikan bagian

penting dari kehidupan seorang pribadi. Pertanyaannya, bagaimana pendidikan karakter

tersebut dapat dibentuk? Hal itu dibentuk dalam dan melalui pendidikan karakter di

keluarga dan lingkungan sekolah.

4.1. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter merupakan salah satu kegiatan manusia yang

memperlihatkan adanya suatu tindakan yang mendidik. Pendidikan karakter juga

56
Johanis Ohoitimur, “Etika Keutamaan dalam Arah Pendidikan Indonesia Kontemporer”, 177.
lxix

merupakan suatu pengetahuan yang penting untuk kehidupan manusia karena

melaluinya manusia diajarkan, dididik, dan dibentuk menjadi pribadi bermoral dan

berintegritas.

Pendidikan karakter sudah menjadi istilah yang besar dan berpengaruh penting

dalam peradaban masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia dewasa ini. Hasil

pendidikan dilihat dari perilaku lulusan pendidikan formal saat ini, contohnya mengenai

korupsi, perkembangan seks bebas pada usia yang masih di bawah umur, narkoba,

tawuran, pembunuhan, perampokan yang dilakukan oleh pelajar, pengangguran lulusan

sekolah menengah dan juga atas.

Pendidikan karakter masih jarang didefinisikan oleh banyak kalangan. Secara

teoretis masih banyak yang mendefinisikan pendidikan karakter dengan keliru. Contoh

kekeliruan makna akan pendidikan karakter yaitu pendidikan karakter dilihat sebagai

mata pelajaran agama dan PKn dan sebagainya. Padahal pendidikan karakter sebagai

sarana pembentukan karkater atau keutamaan manusia jauh lebih luas dan mendalam

dari pelajaran agama atau Ppkn, meski pelajaran agama atau Ppkn bisa menjadi sarana

untuk membentuk karakter manusia. Karena itu, Dalam buku pendidikan karakter yang

disusun oleh Drs. Dharma Kesuma, Cepi Triatna dan Johar Permana, ada salah satu

kutipan dari Ratna Megawangi dalam buku tersebut bahwa pendidikan karakter lebih

baik dipahami sebagai “sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil

keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga

mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.”57

57
Ratna Megawangi, “Memaknai Pendidikan Karakter” dalam Drs. Dharma Kesuma, M.pd, Cepi Triatna,
S.Pd., M.Pd, Dr. H.Johar Permana, MA. Pendidikan Karakter (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 4-5.
lxx

4.2. Pendidikan Karakter dalam Keluarga

Pendidikan pertama yang didapatkan oleh seorang anak dimulai dalam

lingkungan keluarga sendiri, di mana anak-anak belajar tentang nilai-nilai hidup. Maka

perlu sejak kecil anak diajarkan dalam keluarga untuk menjadi pribadi yang

berkeutamaan. Caranya dengan membiasakan anak-anak berkata dan bertindak jujur,

bersikap sopan, dan lain-lain. Tidak usah heran, dalam tradisi masyarakat Cina atau

bahkan tradisi hampir semua masyarakat, sejak dini anak sudah diajarkan dan dididik

untuk tahu menaruh orang kepada tua, setia dan berlaku baik dalam hidup, dan

mencintai keluarga dan sesama. Karena ajaran dan didikan yang baik dalam keluarga

tidak saja membentuk anak menjadi pribadi yang baik dan berkarakter, tetapi terutama

memberikan dasar yang kuat bagi anak dalam membangun kebersamaan hidup dengan

sesama dalam komunitas masyarakat yang lebih luas. Pertanyaannya, karakter-karakter

apa yang perlu diajarkan kepada anak di dalam pendidikan keluarga? Sebagian orang

berpandangan bahwa karakter yang perlu diajarkan adalah karakter jujur, kerja keras

dan ikhlas. Alasannya, karena ketiga karakter tersebut merupakan karakter yang sangat

diperlukan dalam membentuk seorang anak menjadi pribadi yang baik dan benar dalam

hidup.

Namun, bila ditempatkan dalam konteks etika keutamaan James Rachels, maka

tentulah yang perlu diajarkan dan diwariskan kepada ana-anak adalah karakter atau

keutamaan: jujur, berani, murah hati dan setia, belas kasih, bersahabat, penguasaan diri,

percaya diri, disiplin diri, adil, ugahari, peduli, toleransi. Dari semua itu, empat (4) yang
lxxi

barangkali lebih perlu adalah berani, jujur, setia dan murah hati. Karena keempatnya

adalah jalan tengah di antara dua ekstrim. Berani, misalnya, adalah jalan tengah

pengecut dan nekad. Murah hari merupakan titik tengah antara boros dan kikir. 58

Melalui aturan-aturan, tradisi, dan kebiasaan dilakukan secara sadar dan

berkelanjutan karakter-karakter atau keutamaan tersebut ditumbuh-kembangkan hingga

menjadi keutamaan. Singkatnya, melalui pembiasaan, seperti berkata jujur, berbagi

makan dengan anggota keluarga atau meminta maaf bila melakukan kesalahan, anak-

anak dibentuk menjadi pribadi-pribadi yang berkeutamaan. Karena keutamaan, seperti

dikatakan oleh Aristoteles, merupakan hasil dari pembiasaan. Proses pembiasaan

tersebut melibatkan aspek rasional sebagai unsur kognitif dan kehendak dan juga hasrat

untuk bertindak sesuai pengertian.59

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tujuan pendidikan karakter di

dalam keluarga, seperti di tulis oleh Mohammad Mukti, adalah “membentuk karakter

dan akhlak mulia anak secara utuh, terpadu dan seimbang sesuai dengan harapan dan

cita-cita orang tua.”60 Dengan kata lain, tujuan pendidikan karakter dalam keluarga

adalah membimbing anak untuk terarah pada pembentukan karakter yang bersifat positif

serta memiliki moralitas yang baik atau yang terpuji. Upaya itu dilakukan melalui

didikan orang tua yang dibiasakan melalui pembiasaan-pembiasaan yang diperlihatkan

atau diajarkan setiap hari kepada anak. Melalui pembiasaan-pembiasaan baik tersebut,

seperti berkata jujur, berdisiplin dalam hidup, dan berkata benar, anak-anak diharapkan

semakin bertumbuh dan berkembang menjadi seorang pribadi yang baik dan bermoral.

58
James Rachels, Filsafat Moral, 312-314.
59
Johanis Ohoitimur, “Etika Keutamaan dalam Arah Pendidikan Indonesia Kontemporer”, 178.
60
Amirulloh Syarbini, Model Pendidikan Karakter dalam Keluarga (Jakarta: IKAPI, 2014), 43.
lxxii

Dalam artikelnya berjudul “Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga”, Theodorus

Uheng Koban Uer menegaskan bahwa pendidikan karakter memiliki peran penting

dalam mengembangkan tiga hal, cinta, hidup dan keselamatan. Maksudnya, melalui

pendidikan karakter keluarga menjadikan dirinya tempat berkembangnya nilai-nilai

kasih, nilai-nilai hidup dan nilai-nilai keselamatan sehingga membantu anak bertumbuh

menjadi pribadi yang penuh cinta kepada sama, mengasihi sesama dan Tuhan. Karena

itu, ia menulis bahwa salah satu model mengembangkan pendidikan karakter di dalam

keluarga adalah dengan membiasakan anak untuk mencintai orang tua, adik dan kakak

dan anggota keluarga lain karena itu mencerminkan cinta Allah kepada sesama.

Mengutip kata-kata Yesus dalam injil Yohanes Koban Uer menulis, “Aku memberi

perintah baru bagi kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah

mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi”. 61

4.3. Pendidikan Karakter di Sekolah

Sekolah adalah sarana formal mendidik dan membentuk anak menjadi seorang

pribadi yang baik dan berkeutamaan. Maka sekolah menjadi sangat penting dalam

mendidik dan memanusiakan seorang anak. Alasannya, karena pendidikan di sekolah

mengarahkan anak tidak saja untuk memiliki pengetahuan yang baik melainkan juga

mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Contoh konkret pembentukaan keutamaan

pada anak di sekolah, yakni melalui pembiasaan disiplin, berlaku jujur dengan tidak

melakukan kecurangan dalam ujian, dan lain-lain. Melalui pembiasaan-pembiasaan

tersebut anak perlahan dapa bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi dengan

karakater yang baik dan positif, seperti jujur, berdisiplin, sopan, dan lain-lain.
61
Theodorus Uheng Koban Uer, “Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga” dalam Jurnal Pastoral dan
Kataketik 2017 (diunduh 11 Mei 2022).
lxxiii

Terdapat tiga fungsi dan tiga tujuan pendidikan karakter di sekolah. Fungsi yang

pertama adalah mengembangkan kemampuan. Dalam konteks pendidikan karakter,

kemampuan yang harus dikembangkan oleh peserta didik melalui pendidikan di sekolah

yakni kemampuan sebagai seorang religius dan juga makhluk memimpin. Kemampuan

religius adalah kemampuan membentuk diri menjadi pribadi yang taat agama dan dapat

membangun relasi yang baik dengan sesama.62 Dari perspektif pendidikan nasional,

dalam undang-undang no. 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa “Pendidikan [karakter]

berfungsi mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman

dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratif serta bertanggung jawab”.
63
Fungsi pertama ini telah memperlihatkan potensi manusia yang harus menjadi

kebiasaan-kebiasaan dari karakter dan tindakan manusia untuk dapat menuju pada

pribadi yang berkeutamaan.

Fungsi kedua adalah membentuk watak. Fungsi ini pernting karena membentuk

anak berkembang menjadi pribadi yang bermoral. Menurut Dharma Kesuma, dalam

pendidikan karakter kata yang tepat dipakai bukan pembentukan melainkan

pengembangan. Mengapa demikian? Jawabannya, karena secara pedagogik,

pengembangan melibatkan pula proses internalisasi nilai-nilai ke dalam diri. Sementara

pembentukan lebih berkaitan dengan proses pengajaran atau transfer pengetahuan ke

dalam diri anak. Hal ini karena dalam pendidikan karakter yang dibutuhkan tidak saja

62
Drs. Dharma Kesuma, M.pd, Cepi Triatna, S.Pd., M.Pd, Dr. H.Johar Permana, MA. Pendidikan
Karakter, 6-7.
63
Tim Pakar Yayasan Jati Diri Bangsa Pendidikan Karakter dari Gagasan ke Tindakan
(Jakarta:Kelompok Gramedia, 2011), .20
lxxiv

transter pengetahuan ke dalam diri anak, tetapi juga terutama pengembangan karakter

anak supaya menjadi pribadi manusia yang bermoral, dan berintegritas.64

Fungsi ketiga adalah peradaban bangsa. Pendidikan selalu dikaitkan dengan

pembangunan bangsa Indonesia sebagai satu bangsa. Dalam pandangan pedagogik,

pendidikan berfungsi melahirkan manusia yang terdidik. Pertanyaannya, apakah

manusia yang terdidik juga memiliki pengaruh besar bagi bangsa untuk menjadi bangsa

yang terdidik? Ini merupakan pertanyaan penting karena di mana pun peradaban suatu

bangsa akan berkembang maju bila ditunjang oleh pendidikan yang baik. Karena

pendidikan yang baik dan berkualitas akan menghasilkan manusia-manusia yang baik,

berpengetahuan dan memiliki keutamaan yang baik. Lebih lanjut manusia yang

berpengetahuan dan memiliki kualtias moral yang baik, pada gilirannya, akan

berkontribusi membentuk peradaban masyarakat yang baik. Peradaban masyarakat yang

baik dan maju, pada waktunya, akan menunjang pemerintah dan masyarakat dalam

usaha membentuk negara yang adil, makmur dan sejahtera.65

Setelah ketiga fungsi di atas, terdapat juga tiga tujuan pendidikan karakter yang

juga memperlihatakan kualitas dari pendidikan karakter dalam membentuk manusia

yang berkeutamaan. Tujuan pertama yakni menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai

kehidupan yang penting demi tercapainya pribadi manusia yang terdidik dan

berintegritas. Penguatan dan pengembangan di sini tidak sekadar dogmatisasi nilai

kepada anak atau peserta didik, melainkan proses mengantar anak memahami,

merefleksikan dan membatinkan nilai-nilai dalam diri dan mewujudkannya dalam sikap,

64
Drs. Dharma Kesuma, M.pd Pendidikan Karakter, 7.
65
Drs. Dharma Kesuma, M.pd, Cepi Triatna, S.Pd., M.Pd, Dr. H.Johar Permana, MA. Pendidikan
Karakter, 8.
lxxv

perilaku dan tindakannya setiap hari.. Penguatan juga berarti pemantapan nilai-nilai

kebaikan dan kehidupan yang sudah ditanamkan dan dikembangkan dalam keluarga

melalui tradisi dan pembiasaan yang terjadi dalam keluarga.66

Tujuan kedua dari pendidikan karakter adalah mengoreksi perilaku peserta didik

yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang sudah dikembangkan dalam lingkungan

sekolah. Tekanan pada tujuan kedua ini adalah mendidik anak-anak yang berperilaku

negatif untuk berubah menjadi anak-anak dengan perilaku yang baik dan positif. Hal ini

dilakukan bukan dengan cara memaksa, tetapi dengan cara mengoreksi sikap dan

perilaku mereka yang negatif. Arah akhir dari koreksi tersebut adalah lahir dan

terbentuknya sikap dan perilaku atau karakter diri yang baik, dan berkualitas67

Tujuan ketiga adalah membangun koneksi atau komunikasi yang baik dan

harmonis di keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab mewujudkan

pendidikan karakter yang baik. Tujuan ini memperlihatkan bahwa proses pendidikan

karakter di sekolah memiliki korelasi erat dengan pendidikan karakter di keluarga.

Pendidikan karakter di sekolah memerankan karakter yang hanya berkomunikasi

dengan guru, dan teman-teman peserta didik lainnya. Sementara di rumah, proses

pendidikan karakter melibatkan relasi kelaurga dan masyarakat. Proses pendidikan di

sekolah menjadi lebih sulit dibandingkan dengan di rumah. Dikarenakan potensi anak

yang memiliki batas-batas kemampuan dalam belajar. Maka itu penguatan perilaku

sangat dibutuhkan dalam pendidikan guna memengaruhi perilaku anak agar dapat

berelasi baik dengan sesama, entah di sekolah maupun di masyarakat.68


66
Drs. Dharma Kesuma, M.pd, Cepi Triatna, S.Pd., M.Pd, Dr. H.Johar Permana, MA, 9.
67
Drs. Dharma Kesuma, M.pd, Cepi Triatna, S.Pd., M.Pd, Dr. H.Johar Permana, MA, Pendidikan
Karakter, 10.
68
Drs. Dharma Kesuma, M.pd, Cepi Triatna, S.Pd., M.Pd, Dr. H.Johar Permana, MA, 11.
lxxvi

Melalui aturan, tradisi dan pembiasaan yang baik sekolah dapat mewujudkan

fungsi dan tujuannya sebagai sarana pembentukan karakter anak yang pada gilirannya

membentuk karakter dan peradaban bangsa.

5. Kesimpulan

Etika Keutamaan merupakan suatu ajaran yang sangat penting bagi kehidupan

manusia. Seseorang dapat menjadi pribadi yang baik dan benar jika ia memiliki

keutamaan-keutamaan di dalam dirinya. Pertanyaannya, bagaimana keutamaan itu

dikembangkan agar menjadi bagian esensial dari diri seorang manusia? Jawabannya

mlelaui pembiasaan. Maksudnya keutamaa-keutamaan itu diusahakan menjadi bagian

dari diri seorang manusia melalui pembiasaan. Menjadi seorang yang berkeutamaan

jujur, misalnya, dicapai dengan membiasakan diri setiap saat berkata dan bertindak

jujur. Hal yang sama juga berlaku untuk keutamaan keberanian. Itu hanya dapat menjadi

bagian hidup kita, bila kita membiasakan diri berlaku jujur dalam keseharian hidup,

meski itu tidak selalu mudah dilakukan karena harus melewati pelbagai kesulitan dan

tantangan.

Bagaimana pembiasaan itu diupayakan? Melalui pendidikan karakter di dalam

keluarga dan sekolah. Keluarga adalah tempat pertama seorang belajar tentang nilai-

nilai kehidupan. Demikian, pembentukan pribadi yang berkeutaman dapat dimulai

melalui pembentukan karakter anak di dalam keluarga. Caranya, denga membiasakan

anak berkata dan bertindak jujur. Melalui kebiasaan-kebiasaan baik di dalam keluarga

anak bisa bertumbuh dan berkembang manusia dengan karakter diri dan moral yang

baik.
lxxvii

Selain keluarga, sekolah juga dapat tempat yang baik mendidik dan membentuk

anak menjadi pribadi yang berkeutamaan. Caranya melalui pendidikan karakter. Fungsi

pendidikan karakter adalah membentuk karakter anak dan membangun peradaban

bangsa. Tujuannya adalah mengembangkan nilai-nilai dalam diri anak, mengoreksi

sikap dan perilaku yang buruk, dan menjadi jembatan yang baik dalam membangun

koneksi dan komunikasi antara sekolah dan keluarga dalam membentuk karakter anak.

Diharapkan melalui pendidikan karakter di dalam keluarga dan sekolah seseorang boleh

berkembang menjadi pribadi berkeutamaan sehingga memampukannya untuk bertindak

dengan baik, benar dan bijaksana dalam hidupnya, terutama ketika diperhadapkan

kepada persoalan-persoalan moral.


lxxviii

PENUTUP

Dewasa ini seiring meningkatnya pembangunan dan kemajuan dalam

masyarakat muncul dan terjadi pula banyak persoalan moral, seperti pembunuhan,

korupsi, kekerasan dan pelecehan seksual terhadap wanita dan anak-anak, dan lain

sebagainya. Realitas tersebut memerlihatkan bahwa etika atau moral itu amat diperlukan

dalam hidup karena menjadi rambu atau patokan bagi manusia dalam bertindak

sehingga menghindarkan manusia dari kecenderungan melakukan kejahatan. Lebih dari

itu, kenyataan yang sama lantas mendorong manusia, khususnya para filsuf, untuk

berefleksi tentang bagaimana moralitas dapat berfungsi dalam kehidupan manusia.

Demikianlah, lahirlah banyak teori etika. Salah satu teori yang lahir untuk

merefleksikan tentang peran moralitas adalah etika keutamaan. Pertanyaannya, apakah

itu etika keutamaan?


lxxix

Etika keutamaan adalah paham etika yang memfokuskan penelitian pada

perilaku manusia atau lebih memberi tekanan pada tindakan manusia. Etika keutamaan

mengantar manusia mengerti akan keutamaan-keutamaan yang sesungguhnya penting

bagi manusia dalam berperilaku. Tokoh utama dalam teori etika keutamaan adalah

Aristoteles. Menurut Aristoteles, etika merupakan bagian yang mendasar dalam hidup

manusia karena mengajarkan kepada manusia bagaimana hidup baik dan sejahtera.

Aristoteles membedakan keutamaan atas dua bagian, yakni keutamaan moral dan

keutamaan intelektual. Keutamaan intelektual adalah buah dari pengajaran dan

pengalaman, sementara keutamaan moral merupakan hasil dari pembiasaan yang baik

dan benar. Keutamaan moral adalah jalan tengah antara dua eksrim yang berlawanan.

Tokoh lain adalah Thomas Aquinas. Menurut Aquinas, keutamaan adalah disposisi

batin manusia untuk melakukan kebaikan melalui latihan. Ia membedakan keutamaan

atas tiga bagian, yakni keutamaan intelektual, keutamaan moral, dan keutamaan

teologis. Keutamaan intelektual berkaitan dengan akal budi praktis dan itu berkaitan

dengan pengetahuan dan kebijaksanaan. Keutamaan moral adalah keutamaan yang

berkaitan perilaku dan tindakan, maka yang diperlukan adalah kehati-hatian atau

kewaspadaan. Sementara keutamaan teologis terdiri atas tiga, yakni iman, harap dan

kasih.

Selain Aristoteles dan Thomas Aquinas, terdapat juga filsuf lain yang

pemikirannya dibahas dalam skripsi ini, yakni James Rachles. James memahami

keutamaan sebagai sifat atau karakter yang diperlihatkan dan dhidupi oleh seseorang

secara konsisten dalam keseharian hidup. Seseorang, misalnya, dikatakan memiliki

keutamaan kejujuran karena ia membiasakan diri berkata jujur secara konsisten dalam
lxxx

hidupnya. Terdapat banyak keutamaan, seperti baik hati, belas kasih, bersahabat, adil,

dan lain sebagainya. Menurut James, setiap keutamaan memiliki unsur atau

kekhasannya masing-masing. Karakter berani, misalnya, merupakan jalan tengah antara

jiwa pengecut dan sifat nekad. Keutamaan murah hati merupakan titik tengah antara

dua ekstrem yang berbeda, yakni boros dan kikir. Sementara keutamaan kejujuran

adalah keutamaan yang mewajibkan seseorang untuk tidak berbohong karena kejujuran

menghasilkan kepuasan dan kepercayaan. Kebohongan, sebaliknya, menghasilkan

keyakinan palsu dan dapat berdampak buruk bagi diri sendiri dan orang lain. Di sini,

tampak jelas bahwa memiliki keutamaan merupakan sesuatu yang penting bagi manusia

karena membantunya mengarahkan hidupnya dengan baik dan benar. Tepatnya, orang

yang berkeutamaan akan terbantu untuk menata perilaku hidup dan menjalani hubungan

yang baik dan sehat dengan sesamanya.

Di titik ini dapat dilihat bahwa etika keutamaan berpusat pada manusia sebagai

pelaku moral. Artinya manusia sendirilah yang menjadi agen moral. Dialah yang

menentukan entah ia menjadi pribadi yang jujur atau sebaliknya. Demikian, penting

sekali seorang manusia menjadi pribadi yang berkeutamaan di dalam hidupnya.

Alasannya, dengan memiliki keutamaan seseorang mampu mengarahkan pikiran,

perilaku, dan tindakannya sehingga selaras dengan apa yang diharapkan dalam

kehidupan bersama. Tegasnya, dengan berkeutamaan manusia, misalnya, mampu

bertindak jujur dan berani di hadapan orang lain di dalam kehidupannya sehari-hari

karena memiliki kejujuran dan keberanian. Pertanyaannya, bagaimana keutamaan itu

dibentuk dan dikembangkan?


lxxxi

Jawabannya melalui pembiasaan. Seorang hanya memiliki keutamaan kejujuran,

bila ia membiasakan diri berkata dan berlaku jujur secara konsisten di dalam hidupnya.

Pembiasaan itu dimulai di dalam keluarga karena keluargalah tempat pertama seseorang

belajar tentang nilai-nilai kehidupan. Demikian, bila di dalam keluarga seorang anak

terbiasa didik untuk berkata dan bersikap murah hati, maka perlahan itu akan menjadi

keutamaan hidupnya. Selain keluarga, pembiasaan itu dilaksanakan melalui pendidikan

karakter di sekolah. Karena selain menanamkan nilai-nilai yang baik dan memperbaiki

sikap dan perilaku yang negatif, fungsi dan tujuan pendidikan karakter di sekolah adalah

membentuk karakter anak didik yang baik dan membangun peradaban masyarakat

sehingga anak bisa bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang berkeutamaan di

dalam hidupnya.

Akhirnya, mesikpun sudah berusaha menjelaskan konsep James Rachels tentang

apakah itu etika keutamaan serta menunjuk bagaimana sepatutnya kita menyikapi etika

keutamaan James, penulis menyadari bahwa skripsi ini bukanlah upaya akhir dalam

memahami etika keutamaan dari perspektif James. Masih terdapat banyak kekurangan

atau keterbatasan yang harus diperbaiki dan disempurnakan baik dari segi teknis

maupun dari segi argumentasinya. Demikian, sambil menyerahkan skripsi ini untuk

dibaca, penulis membuka diri terhadap kritik, saran, dan masukan dari pembaca demi

penyempurnaannya.
lxxxii

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Bertens, K. Keprihatinan Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Kesuma, Dharma. Cepi Triatna. Johar Permana. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan

Praktik di Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011.

Muslich, Mansur. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional.

J akarta: PT. Bumi Aksara, 2011.

Rachels, James. Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Sudarminta, J. Etika Umum Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika

Normatif. Yogyakarta: Kanisius, 2013.


lxxxiii

Solomon, Robert C. Ethics A Brief Introduction. Mc Graw-Hill: University of Texas at

Austin, 1987.

Syarbini, Amirulloh, Model Pendidikan Karakter Dalam Keluarga. Jakarta: PT Elex

Media Komputindo, 2014.

Tim Pakar Yayasan Jati Diri Bangsa. Pendidikan Karakter di Sekolah Dari Gagasan ke

Tindakan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2011.

Tugiman, Hiro. Etika. Rambu-rambu Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius, 2012.

Traktat Kuliah

Ohoitimur, Johanis. Etika Dasar Pengantar Prinsip-prinsip Dasar Filsafat Moral.

(Traktat Kuliah STF Seminari Pineleng, 2020).

Jurnal dan Artikel

Ohoitimur, Johanis. Etika Keutamaan dalam Arah Pendidikan Indonesia Kontemporer.

Jakarta: PPE Unika Atma Jaya, 2016. Hlm. 165-189.

Sumber Internet

Anda mungkin juga menyukai