Anda di halaman 1dari 2

Apakah dosa berat dan dosa ringan?

Dosa berat adalah pelanggaran berat melawan hukum Allah, yang secara langsung
menghancurkan kasih di dalam hati seseorang, sehingga secara sadar orang tersebut menyimpang
dari tujuan akhir hidup manusia, yaitu Surga. Untuk seseorang melakukan dosa berat, ada tiga
syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
(1) materi berat sebagai obyek,
(2) tahu bahwa itu adalah sesuatu yang salah, dan
(3) dengan pertimbangan yang matang menyetujui melakukan dosa tersebut.
Dengan kata lain, seseorang tahu bahwa dosa itu menyangkut dosa yang berat, tahu bahwa
dosa itu berat, dan tetap melakukannya dengan penuh kesadaran/setelah melalui pertimbangan. Jadi,
orang yang melakukan dosa berat sesungguhnya telah menolak Allah secara total dan dilakukan
dengan penuh kesadaran. Kalau seseorang meninggal di dalam kondisi dosa berat dan tidak
bertobat, maka dia akan masuk ke dalam api neraka. (lih. Yak 1:15).
Pembedaan antara dosa berat dan ringan ada, sebab Kitab Suci membedakan keduanya (lih.
1Yoh 5:16-17):
1) ada dosa yang mendatangkan maut (dosa berat) dan
2) ada dosa yang tidak mendatangkan maut (dosa ringan).

Tentang dosa berat, Katekismus Gereja Katolik, menuliskan:

KGK 1855 Dosa berat merusakkan kasih di dalam hati manusia oleh satu pelanggaran berat
melawan hukum Allah. Di dalamnya manusia memalingkan diri dari Allah, tujuan akhir dan
kebahagiaannya dan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih rendah. Dosa ringan membiarkan
kasih tetap ada, walaupun ia telah melanggarnya dan melukainya.

KGK 1856 Karena dosa berat merusakkan prinsip hidup di dalam kita, yaitu kasih, maka ia
membutuhkan satu usaha baru dari kerahiman Allah dan suatu pertobatan hati yang secara normal
diperoleh dalam Sakramen Pengakuan/Sakramen Tobat:
“Kalau kehendak memutuskan untuk melakukan sesuatu yang dalam dirinya bertentangan
dengan kasih, yang mengarahkan manusia kepada tujuan akhir, maka dosa ini adalah dosa
berat menurut obyeknya…. entah ia melanggar kasih kepada Allah seperti penghujahan
Allah, sumpah palsu, dan sebagainya atau melawan kasih terhadap sesama seperti
pembunuhan, perzinaan, dan sebagainya… Sedangkan, kalau kehendak pendosa memutuskan
untuk membuat sesuatu yang dalam dirinya mencakup satu kekacauan tertentu, tetapi tidak
bertentangan dengan kasih Allah dan sesama, seperti umpamanya satu perkataan yang tidak
ada gunanya, tertawa terlalu banyak, dan sebagainya, maka itu adalah dosa ringan” (Tomas
Aqu.,s.th. 1-2,88,2).

KGK 1857 Supaya satu perbuatan merupakan dosa berat harus dipenuhi secara serentak tiga
persyaratan: “Dosa berat ialah dosa yang mempunyai materi berat sebagai obyek dan yang
dilakukan dengan penuh kesadaran dan dengan persetujuan yang telah dipertimbangkan” (RP 17).

Dengan demikian, seseorang yang melanggar 10 Perintah Allah, jika ia dengan sadar dan
setelah mempertimbangkan dengan matang, tetap melakukannya, ia melakukan dosa berat. Tapi ada
kalanya, orang melakukannya tidak dengan pertimbangan yang matang, entah karena tidak tahu,
terpaksa atau karena ada di bawah ancaman, maka sekalipun ia melanggar salah satu dari 10
Perintah Allah, maka itu tidak merupakan dosa berat. Contoh, orang tidak tahu bahwa kalau ia tidak
menguduskan Hari Tuhan itu adalah dosa berat. (Dalam kondisi normal di luar masa pandemi,
maksudnya adalah beribadah di gereja pada hari Minggu/hari-hari Raya wajib. Jika ia tidak tahu
bahwa tidak beribadah pada hari-Minggu dan hari-hari raya wajib itu adalah melanggar perintah ke-
3 dari 10 Perintah Allah ini, ia tidak berdosa berat. Ini misalnya karena kelemahan Katekese yang
diterimanya atau karena hal-hal lain yang membuat ia tidak tahu). Tetapi jika ia sudah tahu, namun
tetap tidak melakukannya, ia berdosa berat. Atau jika ada orang yang terpaksa berbohong karena
keluarganya diancam, maka dosanya tidak seberat kesalahan orang yang dengan sadar berbohong,
tanpa tekanan apapun. (Keterpaksaan dan ancaman mengurangi bobot dosa yang dilakukannya).

Tentang hal ini Katekimus mengajarkan:

KGK 1860 Ketidaktahuan yang bukan karena kesalahan pribadi dapat mengurangkan
tanggungjawab untuk satu kesalahan berat, malahan menghapuskannya sama sekali. Tetapi tidak
dapat diandaikan bahwa seseorang tidak mengetahui prinsip-prinsip moral yang ditulis di dalam hati
nurani setiap manusia. Juga rangsangan naluri, hawa nafsu serta tekanan yang dilakukan dari luar
atau gangguan yang tidak sehat dapat mengurangkan kebebasan dan kesengajaan dari satu
pelanggaran. Dosa karena sikap jahat atau karena keputusan yang telah dipertimbangkan untuk
melakukan yang jahat, mempunyai bobot yang paling berat.

Sedangkan dosa ringan menurut Katekismus adalah:

KGK 1862 Dosa ringan dilakukan, apabila seorang melanggar peraturan hukum moral dalam
materi yang tidak berat atau walaupun hukum moral itu dilanggar dalam materi yang berat, namun
dilakukan tanpa pengetahuan penuh dan tanpa persetujuan penuh.

KGK 1863 Dosa ringan memperlemah kebajikan ilahi, kasih; di dalamnya tampak satu
kecondongan yang tidak teratur kepada barang-barang ciptaan; ia menghalang-halangi bahwa jiwa
mengalami kemajuan dalam pelaksanaan kebajikan dan dalam kegiatan kebaikan moral; ia
mengakibatkan siksa-siksa sementara. Kalau dosa ringan dilakukan dengan sadar dan tidak
disesalkan, ia dapat mempersiapkan kita secara perlahan-lahan untuk melakukan dosa berat. Tetapi
dosa ringan tidak menjadikan kita lawan terhadap kehendak dan persahabatan Allah; ia tidak
memutuskan perjanjian dengan Allah. Dengan rahmat Allah, ia dapat diperbaiki lagi secara
manusiawi. Ia tidak “mencabut rahmat yang menguduskan dan mengilahikan, yakni kasih serta
kebahagiaan abadi” (RP 17).

“Selama manusia berziarah di dalam daging, ia paling sedikit tidak dapat hidup tanpa dosa ringan.
Tetapi jangan menganggap bahwa dosa yang kita namakan dosa ringan itu, tidak membahayakan.
Kalau engkau menganggapnya sebagai tidak membahayakan, kalau menimbangnya, hendaknya
engkau gemetar, kalau engkau menghitungnya. Banyak hal kecil membuat satu timbunan besar;
banyak tetesan air memenuhi sebuah sungai; banyak biji membentuk satu tumpukan. Jadi,harapan
apa yang kita miliki? Di atas segala-galanya, pengakuan” (Agustinus, ep.Jo.1,6).

Anda mungkin juga menyukai