Anda di halaman 1dari 125

KAJIAN ANALISIS TEORITIK DAN DETERMINAN FAKTOR

KEKUATAN KARAKTER

Dr. Natris Idriyani, M.Si.


Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta

PENDAHULUAN

Uraian di bawah ini menjelaskan tentang character strengths (kekuatan


karakter) dan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pada bagian
pendahuluan ini, penulis akan menguraikan pokok serta sub materi
yang akan diuraikan pada bagian pembahasan dalam bab ini.
Pembahasan mengenai konsep psikologi merupakan kajian yang
menarik untuk ditelaah lebih mendalam. Di samping itu juga,
perkembangan konsep-konsep dalam bidang ilmu psikologi
mengalami dinamika yang progresif. Salah satu kajiannya adalah
kajian tentang konseptual psikologi yang diawali dengan konsep
psikoanalis, yang membahas mengenai kepribadian manusia, lalu
konsep behaviorisme, konsep humanisme, konsep sosial kognitif,
konsep transendentalisme dan sampai pada konsep yang baru-baru ini
cukup menarik perhatian kita bersama yaitu konsep psikologi positif.
Psikologi positif memiliki kekhasan tersendiri dalam uraian
tentang individu manusia. Segala hal yang terkait dengan kondisi
psikologis manusia, dalam psikologi kognitif di pandang dari sudut
pandang positif, mulai dari significant others yang positif berpengaruh
terhadap perkembangan manusia, kondisi karakter positif individu,
sampai pada lingkungan yang positif cenderung mempengaruhi
perkembangan manusia. Adapun yang menjadi sasaran utama dari
pandangan psikologi positif adalah pencapaian kebahagian dalam
kehidupan dengan mengoptimalkan potensi psikologis yang positif
dalam diri manusia.
Pembahasan dalam makalah ini menekankan pada salah satu
kajian dalam psikologi positif, yaitu mengenai character strength
(kekuatan karakter). Hal pertama yang mengawali pembahasan di
bawah ini adalah uraian tentang pandangan psikologi positif sebagai
grand theory dari ulasan landasan konseptual dalam makalah ini.
Selanjutnya akan dibahas tentang pengertian-pengertian yang terkait
dengan karakter, dan uraian perbedaan antara karakter dan

1
kepribadian. Penjelasan mengenai character strength (kekuatan
karakter) akan dibahas lebih detail, diantaranya diawali dari definisi
dari character strength (kekuatan karakter), faktor-faktor dari character
strength (kekuatan karakter), uraian mengenai klasifikasi virtues dan
strength (kekuatan), faktor yang mempengaruhi character strength
(kekuatan karakter), dan terakhir mengkaji mengenai alat ukur yang
digunakan untuk mengukur character strengths (kekuatan karakter) itu
sendiri.
Adapun sebagai uraian tambahan akan dipaparkan mengenai
konsep-konsep yang menjadi faktor yang mempengaruhi character
strength (kekuatan karakter), diantaranya pembahasan mengenai
parenting style (gaya pengasuhan orang tua), friendship quality (kualitas
persahabatan) dengan teman sebaya, prosocial behavior (perilaku
prososial) pengajar dan kajian tentang religusitas yang diuraikan
sebagai penguat dari adanya interaksi antara ketiga faktor tersebut
terhadap character strengths.

1. Psikologi Positif
1.1. Pandangan Psikologi Positif
Untuk sampai pada pemahaman tentang character strength, maka
terlebih dahulu menjadi penting untuk membahas pandangan
psikologi positif dimana ia merupakan payung dari pembahasan
tentang character strength. Psikologi positif menekankan pada bahasan
mengenai kekuatan dibandingkan kekurangan yang dimiliki individu.
Hal ini dilakukan sebagai penekanan dalam upaya membangun serta
membentuk yang terbaik dalam hidup, dibandingkan hanya dengan
mengurusi pengobatan atau pemulihan terhadap gangguan-gangguan
yang dialami seseorang.
Psikologi positif merupakan salah satu kajian bidang ilmu
psikologi yang baru-baru ini berkembang. Psikologi positif, konsep
andalan kajiannya terfokus pada kekuatan individual yang terdapat
pada diri seseorang. Hal ini diperkuat oleh uraian seorang tokoh
psikologi positif yaitu Seligman dan Csikszentmihalyi (2000) yang
menjelaskan bahwa pada umumnya kajian psikologi mirip dengan
model medical yang menekankan pada upaya menyembuhkan penyakit
atau gangguan fungsi yang dialami oleh individu. Dan beberapa tahun
belakangan ini, terdapat perubahan yang cukup drastis dalam melihat
kembali arah area kajian psikologi yang awalnya fokus pada
penyembuhan ataupun pemulihan individu, namun sekarang justru
2
lebih ke arah membangun dan menguatkan kualitas positif yang
dimiliki individu.
Dalam tulisannya Bagus Takwim (2006) menjelaskan bahwa
kecenderungan menggunakan model manusia yang sakit dalam kajian
perilaku manusia memang menunjukkan hasil dan manfaat besar
dalam menyelesaikan berbagai masalah kejiwaan. Namun, di sisi lain
ada biaya besar yang harus ditanggung, ada kerugian yang dihasilkan.
Seligman (dalam Edge, 2004) mengidentifikasi 3 biaya besar yang
harus ditanggung akibat kecenderungan mengkaji perilaku dengan
pendekatan patologis.
Biaya pertama adalah biaya moral. Para psikolog menjadi ahli
korban dan tukang utak atik perilaku patologis. Mereka cenderung
memandang manusia sebagai makhluk yang selalu digenangi penyakit
mental. Ide-ide seperti kemampuan memilih, kehendak bebas,
preferensi, keberanian, spiritualitas, kebijaksanaan, keutamaan ,
keadilan, dan semacamnya cenderung dilupakan.
Biaya kedua, pendekatan yang selalu ditekankan kepada
penyakit mental, sehingga menjadikan para psikolog lupa tentang
bagaimana mengupayakan kehidupan yang secara relatif bebas dari
masalah, bermanfaat, lebih bahagia, lebih produktif. Mereka juga lupa
pada kelebihan-kelebihan manusia serta kejeniusan para penemu
dalam sejarah.
Biaya ketiga, pemusatan terhadap gejala patologi membawa
mereka kepada upaya-upaya menghilangkan penyebab gangguan,
kembali ke belakang saat awal terjadinya penyimpangan atau
keterhambatan. Akibatnya, mereka tak sempat memikirkan soal
bagaimana membuat orang lebih bahagia. Kecenderungan yang ada
hanya bagaimana mengembangkan intervensi untuk mengurangi
penderitaan orang.
Untuk mencegah membesarnya ketiga biaya di atas, serta
menghindari kerugian akibat pengabaian kualitas-kualitas positif
manusia, sejak 1996 Martin Seligman mengembangkan suatu
pendekatan yang ia namakan dengan psikologi positif. Jika psikologi
dan psikiatri terdahulu berupaya mengurangi sebanyak mungkin
muatan penderitaan, maka psikologi positif berikhtiar untuk
menambah sebanyak mungkin muatan kebahagiaan di dunia.
Untuk itu, Seligman sebagai pelopor utama psikologi positif
menggali pemikiran-pemikiran tentang kebahagiaan dari para filosof
dan tokoh-tokoh psikologi. Dalam filsafat, ia temukan Aristoteles,
3
dengan konsep eudaemonia yang berarti ‘kehidupan yang baik’, well-
being atau kebahagiaan. Istilah eudaemonia pernah juga dipakai oleh
Thomas Jefferson dengan pengertian ‘pencapaian kebahagiaan’. Istilah
‘psikologi positif’ sendiri diambil dari Abraham Maslow dan Gordon
W. Allport yang juga memimpikan psikologi yang mengkaji kualitas-
kualitas positif manusia.
Eudaemonia menjadi konsep sentral dalam psikologi positif.
Istilah ini merujuk kepada kebahagiaan yang dibedakan dari
kenikmatan dalam pengertian hedonisme. Kebahagiaan disini bukan
kebahagiaan yang dicapai dengan kenikmatan ragawi. Bukan juga
kebahagiaan yang ditandai oleh banyak senyum dan tawa terbahak-
bahak. Jika pun eudaemonia mengandung kenikmatan di dalamnya,
maka itu merupakan hasil dari kontemplasi dan percakapan yang baik.
Aristoteles mengartikan eudaemonia secara khusus sebagai
kebahagiaan yang dihasilkan dari aktivitas rasional. Ia tidak merujuk
kepada perasaan temporer atau emosi kasar, juga bukan gairah
hormonal atau orgasmic, melainkan kebahagiaan yang dihasilkan dari
aktivitas memandang dan memahami hal yang baik.
Csikszentmihalyi (1990) dalam bukunya Flow mengkongkritkan
eudaemonia sebagai keadaan yang diperoleh ketika orang mengalami
percakapan yang baik, saat berkontemplasi secara mendalam. Ketika
orang mengalami eudaemonia, waktu berhenti dan ia merasa
sepenuhnya berada di tempat yang tepat. Di saat itu, orang menjadi
satu irama, satu penghayatan dengan dunia. Ibarat mendengarkan
musik yang baik, si pendengar dan musiknya menyatu, mengalir
bersama. Hidup yang baik mengandung akar-akar yang mengarahkan
kepada aliran itu; berisi pengetahuan pertama tentang kekuatan-
kekuatan manusia, kemudian memperhalus kembali kehidupan kita
untuk menghasilkan hal-hal yang baik. Dengannya kita menata
kembali dan memperbaiki kerja, percintaan, pertemanan, waktu luang,
dan kepedulian; mengatur kembali diri dan benda-benda untuk
mendapatkan hasil yang terbaik.
Psikologi positif dapat digambarkan sebagai kajian ilmiah
tentang kekuatan dan kebajikan manusia (Sheldon dan
Csikszentmihalyi, 2001) dan kesempatan untuk meneliti dan membuat
teori tentang apa yang bermanfaat dalam kehidupan (Park, Peterseon
& Seligman, 2004). Kajian ini dapat kita uraikan dalam tiga level yang
berbeda, yaitu level pertama adalah level subjektif, yaitu meliputi
pengalaman subjektif yang berkaitan dengan well being, kepuasan dan
4
terpenuhinya kesenangan (kepuasan) masa lalu, optimisme dan
harapan masa depan dan kebahagiaan masa mendatang. Level yang
kedua; atau level individual menekankan pada individual trait (sifat
individual) yang positif secara alamiah. Sebagai contoh beberapa sifat
tersebut adalah kapasitas untuk cinta, pemaafan, spiritualitas,
interpersonal skill, berpikir ke depan. Di samping itu, para peneliti
telah menunjukkan bahwa kekuatan manusia secara nyata membantu
sebagai penyangkal terhadap penyakit mental (Seligman dan
Csikszentmihalyi, 2000). Sebagai contoh kekuatan karakter seperti
harapan, kebaikan, kecerdasan sosial dan self control dapat menyangkal
munculnya efek negatif dari stress dan trauma, yang dapat menjaga
beberapa gangguan mental yang dialami individu (Park, 2004). Level
kajian ketiga dalam psikologi positif adalah level kelompok. Dalam
level ini institusi yang mendorong individu untuk bergerak ke arah
pertumbuhan sosial. Dalam bahasa lain dipahami bahwa individual
adalah terdorong menjadi lebih bertanggung jawab, lebih memelihara,
lebih bemasyarakat dan lebih toleran untuk beberapa kondisi
(Seligman dan Csikszentmihalyi, 2000).
Terkait dengan level kajian kedua yaitu mengenai sifat-sifat
positif individu, yang memayungi konsep character strength (kekuatan
karakter), hal tersebut sudah menjadi hal yang marak dibicarakan dan
dikaji belakangan ini. Saat ini kebanyakan negara dalam
mengembangkan sistem kemasyarakatan mulai fokus pada
pembentukkan karakter yang baik (Hunter, 2000). Negara U. S. setelah
beberapa periode mengalami perubahan paham-paham dalam
bermasyarakat, seeperti tahun 1960an menganut paham hedonism,
tahun 1970an menganut paham narcisme, kemudian tahun 1980
menganut paham materialism, dan tahun 1990an menganut paham
apatis, yang pada akhirnya belakangan ini tampak masyarakat U.S.
yakin bahwa karakter lebih penting dari itu semua. Dan U.S. pernah
mengalami krisis pembentukan karakter dalam beberapa kondisi.

2. Kepribadian dan Karakter


Sebagai pengantar dalam menjelaskan topik utama mengenai character,
maka akan diuraikan mengenai perbedaan antara term-term yang
terkadang memiliki arti atau makna yang hampir bersamaan. Menurut
bagus Takwim (2010) istilah kepribadian dan karakter sangat
berkaitan. Oleh sebab itu perlu adanya uraian lebih lanjut mengenai
kepribadian dan karakter. Ini dilakukan guna lebih memperjelas hal
5
yang menjadi fokus kajian dalam tulisan ini. Di bawah ini akan
diuraikan perbedaan antara kepribadian dan karakter.

2.1. Pengertian Kepribadian


Istilah “kepribadian” (personality) berasal dari kata latin “persona” yang
berarti topeng atau kedok, yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh
pemain-pemain panggung, yang maksudnya untuk menggambarkan
perilaku, watak, atau pribadi seseorang. Bagi bangsa Roma, “persona”
diartikan bagaimana seseorang tampak pada orang lain.
Menurut Agus Sujanto, dkk (2004), menyatakan bahwa
kepribadian (personality) adalah suatu totalitas psikofisis yang
kompleks dari individu, sehingga individu tersebut nampak lain dan
unik dalam tingkah laku.
Sedangkan Kartini Kartono dan Dali Gulo dalam Sjarkawim
(2006) memberikan pengertian kepribadian (personality) sebagai sifat
dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya dengan orang
lain; integrasi karakteristik dari struktur-struktur, pola tingkah laku,
minat, pendirian, kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang;
segala sesuatu mengenai diri seseorang sebagaimana diketahui oleh
orang lain.
Senada dengan hal di atas, Allport (1937) juga mendefinisikan
kepribadian sebagai susunan sistem-sistem psikofisik yang dinamis
dalam diri individu, yang menentukan penyesuaian yang unik
terhadap lingkungan. Sistem psikofisik yang dimaksudkan Allport di
sini meliputi kebiasaan, sikap, nilai, keyakinan, keadaan emosional,
perasaan dan motif yang bersifat psikologis tetapi mempunyai dasar
fisik dalam kelenjar, saraf, dan keadaan fisik anak secara umum.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa
kepribadian merupakan suatu susunan sistem psikofisik (psikis dan
fisik yang berpadu dan saling berinteraksi dalam mengarahkan
tingkah laku) yang kompleks dan dinamis dalam diri seorang
individu, yang menentukan penyesuaian diri individu tersebut
terhadap lingkungannya, sehingga akan tampak dalam tingkah
lakunya yang unik dan berbeda dengan orang lain.

2.2. Pengertian Karakter


Penjelasan mengenai character strength, terlebih dahulu diawali dengan
menguraikan beberapa definisi mengenai “character” atau dalam ejaan
bahasa Indonesia ditulis “karakter”. Karakter secara etimologis, berarti
6
mengukir (verb) dan sifat-sifat kebajikan (noun). Character merupakan
singular dari characteristic of individual. Hal ini menunjukkan adanya
perbedaan aspek individual.
Allport (1947) menjelaskan bahwa karakter adalah hal dari
pribadi individu yang dapat dievaluasi. Ia menunjukkan bahwa
biasanya kata watak menunjukkan arti normatif, serta menyatakan
bahwa watak adalah pengertian etis dan menyatakan, bahwa ”character
is personality evaluated, and personality is character devaluated”. (Watak
adalah kepribadian yang dinilai, dan kepribadian adalah watak yang
tak dinilai).
Uraian lain menjelaskan bahwa
“Character has implied some code of behavior in terms of which
people or their acts are evaluated as having a good or a bad
character” (Allport 1937 dalam Hall and Lindzey, 1998).
Karakter merupakan perilaku-perilaku yang dinilai sesuai
dengan standar norma tertentu. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa karakter mengandung makna normatif. Artinya karakter adalah
kepribadian yang dievaluasi berdasarkan nilai dan norma tertentu.
Adapun Thomas Lickona dalam memberikan definisi tentang
karakter, ia mengacu pada pandangan dua filosof, yaitu Aristoteles
dan Michel Novak (Lickona, 1991). Aristoleles mengatakan bahwa
karakter adalah perilaku yang benar dalam kehidupan, baik dalam
berhubungan dengan orang lain maupun diri sendiri. Dalam hal ini,
Aristoteles mengingatkan hal yang sering terlupakan dalam dunia
modern yaitu bahwa kebajikan kehidupan tidak hanya berorientasi
pada orang lain, seperti yang tampak dalam kemurahan hati dan
kepedulian, tetapi juga berorientasi pada diri seperti yang terlihat
dalam pengendalian diri. Filosof lain, yaitu Michael Novak
mengatakan bahwa karakter adalah gabungan kebajikan-kebajikan
yang diperoleh, baik melalui tradisi agama, literatur, kata-kata bijak,
dan orang-orang tertentu dalam sejarah.
Berdasarkan pemahaman klasik dari dua filosof tersebut,
Lickona memandang karakter sebagai nilai yang bersifat operatif, atau
nilai-nilai yang diwujudkan dalam perilaku (Lickona, 1991). Karakter
seseorang dikatakan mengalami kemajuan jika nilai-nilai telah menjadi
bagian dari sifat alami manusia, sehingga dapat meresponi situasi
dengan cara yang baik secara moral.
Karakter adalah kekuatan untuk bertahan dimasa sulit. Tentu
saja yang dimaksudkan di sini adalah karakter yang baik, solid, dan
7
sudah teruji. Karakter yang baik diketahui melalui "respon" yang benar
ketika mengalami tekanan, tantangan dan kesulitan. Karakter yang
berkualitas adalah sebuah respon yang sudah teruji berkali-kali dan
telah berbuahkan kemenangan. Seseorang yang berkali-kali melewati
kesulitan dengan kemenangan akan memiliki kualitas yang baik. Tidak
ada kualitas yang tidak diuji. Jadi jika ingin berkualitas, tidak ada cara
yang lebih ampuh kecuali 'ujian'. Ujian bisa berupa tantangan, tekanan,
kesulitan, penderitaan, ataupun hal-hal yang tidak kita sukai. Dan jika
kita berhasil melewatinya, bukan hanya sekali tapi berkali-kali maka
kita akan memiliki kualitas tersebut. (Jakoep Ezra, 2009)
Character (karakter, watak, sifat) adalah: 1), satu katalis atau sifat
yang tetap terus-menerus dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk
mengidentifikasikan seorang pribadi, suatu objek, atau kejadian.
Sinonim dengan trait; characteristic (karakteristik, sifat yang khas). 2),
Integrasi atau sintesa dari sifat-sifat individual dalam bentuk satu
unitas atau kesatuan. (Chaplin, 2002)
Dalam The Dictionary of Psychology (Corsiny, 2002) terdapat dua
penjelasan mengenai karakter, yaitu sebagai kualitas pembeda dan
sebagai kesatuan kualitas yang terdiri dari karakteristik moral, sosial
dan sikap keagamaan seseorang. Bila dua definisi tersebut
digabungkan maka karakter adalah kesatuan kualitas yang terdiri dari
karakteristik moral, sosial dan keagamaan seseorang yang
membedakan seseorang dengan orang lain.
Dalam buku yang diedit oleh Marc H. Bornstein (2002) diuraikan
pengertian mengenai karakter. Karakter adalah kemampuan individu
untuk mengetahui hal yang benar juga salah dan untuk membiasakan
dan mengarahkan tingkah laku seseorang. Waddington (1960)
menjelaskan bahwa dengan mengacu pada hakekat manusia sebagai
“ethical animal”, karakter sebagai komponen moral dapat dibuat explicit
atau tampak. Menurutnya, karakter dapat dijelaskan sebagai
kepribadian yang dapat dievaluasi. Karakter adalah sebuah tanggung
jawab untuk gigih dalam menghadapi rintangan dan menghambat
langsung rangsangan dalam melayani orientasi tujuan lain. Juga,
karakter menghasilkan struktur hukum internal yang mengatur
pikiran dalam diri individu dan sebagai agen kontrol diri di bawah
juridiksi hati nurani.
Adapun Baumrind (1998), menjelaskan bahwa karakter adalah
kualitas dalam diri individu yang mengarahkan mereka untuk
memenuhi keinginan dan tujuan yang baik.
8
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan di atas, maka
dapat dipahami bahwa karakter adalah kualitas ciri psikologis
individu dalam berperilaku benar, sebagai fungsi pembeda dengan
individu yang lain yang termanifestasi dalam konsistensi berperilaku.

3. Character Strength (Kekuatan Karakter)


Sebagai jamak dipahami bahwa sentral dari psikologi positif adalah
apa yang dikenal dengan character strength (Park, Peterson and
Seligman, 2004). Character strength dapat didefinisikan sebagai sifat-
sifat positif yang direfleksikan dalam pikiran, perasan dan tingkah
laku (Park, dkk, dalam Nalini). Character strength dalam bahasa
Indonesia disebut kekuatan karakter. Dan selanjutnya penulis akan
menggunakan term kekuatan karakter dengan tujuan agar tidak
muncul bias pemaknaan dalam kajian ini dan lebih menggunakan
konteks term ke-Indonesiaan.

3.1. Pengertian Strength (Kekuatan)


Linley dan Harrington’s (2006) mengemukakan,
“strengths as a capacity for feeling, thinking, and behaving in a way
that allows optimal functioning in the pursuit of valued outcomes.”
(Snyder & Lopez, 2007, p.52)
Strength, yang dalam hal ini dipahami sebagai kekuatan yang
diartikan sebagai sebuah kapasitas perasaan, pikiran dan berperilaku
pada alur yang menggunakan fungsi optimal dalam upaya
menampilkan sebuah nilai. Strength juga diartikan sebagai kemahiran
dalam menggunakan pengetahuan secara nyata dan jelas.
Strength menurut Baumrind (1998) berbeda dengan talent, artinya
talent lebih innate, non moral dan dapat terbuang (hilang) sedangkan
strength sebaliknya. Strength menurut Linley dan Harington (2006)
merupakan kapasitas natural untuk berpikir, merasakan dan
bertingkah laku pada jalur yang diperkenankan untuk
mengoptimalkan fungsi dan tampilan dalam menghadirkan nilai.

3.2. Pengertian Kekuatan Karakter


Istilah kekuatan karakter terkadang dipadankan dengan makna good
character (karakter yang baik). Karakter yan baik menurut Baumrind
(1998) adalah Kualitas dalam diri individu yang mengarahkan
individu untuk memenuhi keinginan dan tujuan yang baik, serta
mengarahkan pada sesuatu yang baik, yaitu produktif dan provitable.
9
Baumrind juga menjelaskan bahwa karakter yang baik merupakan inti
dari perkembangan remaja yang positif. Individu menggunakan
kararakter dan kebajikan untuk berbuat baik dan mampu melakukan
kebaikan secara baik. Tanpa karakter yang baik, individu tidak dapat
melakukan hal yang benar / baik. Karakter yang baik dapat menangkal
efek negatif dari stress ataupun trauma.
Kekuatan karakter juga dimaknai good character oleh Nansook
Park (2004). Ia adalah seorang ahli psikologi yang juga fokus pada
kajian tentang psikologi positif tepatnya pada kekuatan karakter.
Lebih lanjut, uraian mengenai karakter memang telah banyak
dibahas oleh beberapa ahli yang concern dengan topik tersebut.
Meskipun telah banyak pembahasan mengenai character (karakter) dan
strength (kekuatan). Namun, dalam konteks kajian teoritis ini akan
digunakan konsep kekuatan karakter dari Peterson dan Seligman
(2004). Konsep kekuatan karakter dari Peterson dan Seligman (2004)
tidak memisahkan antara kedua kata tersebut, artinya kekuatan
merupakan padanan kata yang menjelaskan keutamaan karakter
seseorang yang pengertiannya tidak dapat dipisahkan.
Kekuatan karakter merupakan karakter baik yang mengarahkan
individu pada pencapaian keutamaan, atau trait positif yang terefleksi
dalam pikiran, perasaan, dan tingkah laku (Park, Peterson, & Seligman,
2004). Kekuatan karakter juga dipahami sebagai ciri-ciri psikologis -
proses atau mekanisme - yang menjelaskan virtues (kebajikan/ke-
sholeh-an). (Cristopher Peterson & Martin E.P. Seligman, 2004, h 13).
Pembahasan mengenai kekuatan karakter melihat trait sebagai
sesuatu yang berbeda secara individual, yaitu sesuatu yang stabil dan
general, namun tetap dibentuk oleh latar belakang individu dan
berpotensi untuk berubah (Peterson & Seligman, 2004). Pembahasan
mengenai kekuatan karakter diawali oleh asumsi bahwa karakter
adalah sesuatu yang plural, sehingga perlu dilakukan pemisahan
antara beberapa bentuk karakteristik positif, barulah kemudian
merencanakan bagaimana mengukurnya sebagai sesuatu yang bersifat
berbeda secara individual.
Peterson & Seligman (2004), melakukan klasifikasi terhadap
karakter positif, yang bersifat hierarki. Adapun klasifikasi karakteristik
positif terbagi menjadi tiga tingkat, yaitu:

1. Virtues (keutamaan) adalah karakteristik inti yang dihargai oleh para


filsuf dan para agamawan, yaitu wisdom, courage, humanity, justice,
10
temperance, dan transcendence (Peterson & Seligman, 2004; Linley &
Joseph, 2004). Keenam kategori keutamaan ini ditemukan secara
konsisten berdasarkan survei sejarah. Peterson & Seligman (2004)
berpendapat bahwa keutamaan ini bersifat universal dan
kemungkinan merupakan aspek penting untuk melakukan tugas
penting yang dibutuhkan dalam proses bertahan hidup. Dipahami
bahwa jika seluruh keutamaan ini memiliki nilai yang tinggi dalam
diri seseorang, maka individu tersebut dapat dikatakan memiliki
karakter yang baik.

2. Character strengths (kekuatan karakter) adalah unsur psikologis—


proses atau mekanisme—yang menjelaskan keutamaan (Peterson &
Seligman, 2004; Linley & Joseph, 2004). Kekuatan karakter
merupakan unsur psikologis yang membentuk keutamaan. Dengan
kata lain, kekuatan karakter merupakan rute pemisah untuk
menampilkan sebuah keutamaan atau keutamaan-keutamaan yang
lainnya. Kekuatan karakter dianggap sesuatu yang disadari dan
dinilai dimana-mana, walaupun individu jarang memunculkannya.
Seseorang dapat dikatakan memiliki karakter yang baik jika ia
menampilkan satu atau dua kekuatan pada tiap kelompok
keutamaan. Seligman (2002) menyatakan bahwa kekuatan dan
keutamaan merupakan karakter positif yang membawa perasaan
positif dan gratifikasi. Selain itu, menurut Peterson dan Seligman
(2004), kekuatan karakter akan memberikan keluaran nyata seperti
kebahagiaan, penerimaan diri (baik diri sendiri maupun orang lain,
petunjuk untuk menjalani hidup, kompetensi, penguasaan,
kesehatan fisik dan mental, jaringan sosial yang kaya dan suportif,
dihargai dan menghargai orang lain, kepuasan kerja, matterial
sufficiency, serta komunitas dan keluarga yang sehat.

3. Situational themes adalah kebiasaan-kebiasaan spesifik yang


mengarahkan individu untuk memanifestasikan kekuatan karakter
tertentu pada situasi tertentu. Kemunculan themes harus ada secara
spesifik dari satu situasi ke situasi lainnya, dan pada awalnya hanya
berlaku dalam dunia kerja. Perlu diingat bahwa themes digunakan
untuk menjelaskan bagaimana seseorang berhubungan dengan
orang lain di tempat kerja, tapi jika ditelaah lebih lanjut,
sesungguhnya themes-themes tertentu merefleksikan satu kekuatan

11
karakter tertentu, yang jika dilihat lebih jauh lagi dapat membentuk
sebuah keutamaan.

Berbicara mengenai kekuatan karakter, tidak bisa terlepas dari


konsep keutamaan (virtue). Peterson dan Seligman (2004),
mendefinisikan virtue sebagai:
“The core characteristics valued by moral philosophers and
religious thinkers…..”
Jadi, keutamaan adalah karakteristik inti yang dihargai oleh para
filsuf dan para agamawan. Keutamaan yang ada pada diri manusia
dibagi menjadi enam kategori, yaitu wisdom, courage, humanity, justice,
temperance, dan transcendence (Peterson dan Seligman, 2004).
Keutamaan-keutamaan tersebut bersifat universal dan terpilih melalui
proses evolusi karena penting untuk keberlangsungan hidup. Lebih
lanjut menurut mereka, seseorang dikatakan memiliki karakter baik
apabila ia memiliki seluruh keutamaan tersebut.
Masing-masing keutamaan terdiri atas beberapa karakter
tertentu (Peterson dan Seligman, 2004). Menurut Seligman (2002),
individu memiliki karakter positif dan negatif. Namun, yang
dimaksud dengan kekuatan karakter adalah karakter positif yang
membawa individu kepada perasaan yang positif. Peterson dan
Seligman (2004) menyatakan bahwa kekuatan karakter adalah:
“The psychological ingredients-processes or mechanisms that
defines the virtue”
Jadi kekuatan karakter adalah unsur atau mekanisme psikologis
yang membentuk keutamaan. Kekuatan karakter untuk menunjukkan
suatu keutamaan bisa dibedakan dengan kekuatan karakter yang
menunjukkan keutamaan lainnya (Linley dan Joseph, 2004). Misalnya,
keutamaan wisdom dapat dicapai melalui keuatan-kekuatan seperti
kreatifitas, rasa ingin tahu, open-mindedness dan sebagainya (Linley dan
Joseph, 2004). Jadi, setiap keutamaan terdiri dari beberapa kekuatan
karakter. Secara keseluruhan, terdapat enam keutamaan yang terdiri
atas 24 kekuatan karakter.

3.3. Ciri Character Strength


Peterson dan Seligman (2004) merumuskan tujuh ciri character
strengths, sebagai berikut:
1. Strengths perlu untuk diwujudkan dalam perilaku individual
(pikiran, perasaaan, dan/atau tindakan) sedemikian rupa sehingga
12
dapat dinilai.
2. Strengths berkontribusi pada berbagai pemenuhan yang merupakan
kehidupan yang baik, untuk diri sendiri dan orang lain. Meskipun
strengths dan virtues menentukan bagaimana seseorang mengatasi
kesengsaraan, fokus kita adalah bagaimana mereka melakukan
pemenuhan diri. Untuk tetap pada premis umum dari psikologi
positif, strengths memungkinkan seseorang untuk mencapai lebih
dari sekedar tidak adanya kesedihan ataupun gangguan. Mereka
“mendobrak nilai nol” psikologi tradisional yang berkaitan dengan
penyakit, gangguan, dan kegagalan untuk mencapai kehidupan
yang berkualitas.
3. Dipahami bahwa strengths dapat dan menghasilkan sesuatu yang
diharapkan, setiap strengths memiliki nilai kebenaran moral
tersendiri, walaupun tanpa adanya manfaat yang jelas. Juga,
dikatakan bahwa strengths bernilai secara moral dan merupakan
kualifikasi yang penting, karena ada perbedaan individual yang
benilai luas dan berkontribusi pada pemenuhan, akan tetapi masih
di luar klasifikasi kita. Pertimbangkan inteligensi atau kemahiran
atletik. Bakat dan kemampuan dapat menjadi sia-sia, tapi strengths
dan virtues tidak.
4. Tampilan strengths pada seseorang tidak mengurangi lingkungan
orang lain, bahkan meningkatkan mereka. Yang melihat akan
terkesan, terinspirasi, dan terdorong oleh perhatian atas tindakan-
tindakan kebajikan.
5. Masyarakat luas menyediakan lembaga-lembaga dan terhubung
dengan ritual-ritual untuk mengolah strengths dan virtues. Hal ini
dapat dipikirkan sebagai suatu simulasi: uji coba yang
memungkinkan anak-anak dan remaja menampilkan dan
membentuk nilai karakteristik dalam konteks yang aman dengan
panduan yang jelas.
6. Kriteria lain untuk sebuah character strengths adalah adanya teladan
konsensus virtues yang diakui.
7. Kriteria terakhir adalah strengths merupakan unidimensional yang
dapat diperdebatkan dan tidak dapat dibentuk menjadi klasifikasi
strengths yang lain. Contohnya: character strengths “toleransi”
hampir sama dengan penggabungan kriteria lain tetapi merupakan
campuran yang kompleks dari pemikiran yang terbuka dan
keadilan. Character strength “bertanggung jawab” seperti hasil dari
ketekunan dan kerja team. Dan lain sebagainya.
13
Ciri lain dari kekuatan karakter adalah
1. Kebermaknaan;
2. Bernilai Intrinsik, dalam pengertian etis (hadiah, keterampilan,
bakat dan keahlian dapat menyia-nyiakan diri manusia, tapi
kekuatan karakter dan kebajikan tidak bisa);
3. Non-rivalrous ;
4. Bukan lawan dari sifat yang diinginkan (-balik adalah setia dan
fleksibel, yang berlawanan tetapi keduanya sering dilihat sebagai
diinginkan);
5. Seperti sifat (pola kebiasaan yang relatif stabil dari waktu ke
waktu);
6. Bukan kombinasi kekuatan karakter lain dalam CSV;
7. Dipersonifikasikan (setidaknya dalam imajinasi populer) oleh
orang yang terkenal melalui cerita, lagu, dll;
8. Diamati dalam keajaiban anak (meskipun kriteria ini tidak berlaku
untuk semua kekuatan karakter);
9. Absen dalam beberapa individu;
10. Dan dipelihara oleh norma-norma sosial dan lembaga-lembaga.

3.4. Klasifikasi Character Strengths dan Virtue


Berikut ini akan dijelaskan klasifikasi enam virtue serta 24 character
strengths yang dimiliki individu (Peterson & Seligman, 2004; Seligman,
2002; Linley dan Joseph, 2004).

3.4.1. Wisdom dan Knowledge


Wisdom merupakan salah satu bentuk intelegensi tetapi berbeda
dengan IQ dan bukan merupakan pengetahuan yang diperoleh dari
membaca buku, kuliah ataupun belajar dari fakta (Peterson dan
Seligman, 2004). Peterson dan Seligman (2004) menyatakan kekuatan
(strengths) dari wisdom meliputi sikap positif yang berhubungan
dengan kemahiran dan menggunakan informasi dalam mencapai
kehidupan yang berkualitas. Keuatan dari wisdom dan knowledge
merupakan aspek kognitif yang meliputi:

1. Creativity (originality, ingenuity


Seseorang yang kreatif harus memiliki ide atau perilaku yang
dapat diakui orisinil, baru, mengejutkan, atau tidak biasa (Peterson
dan Seligman, 2004). Bagaimanapun, ide dan perilaku yang orisinil saja
tidak bisa dikatakan kreatif, tetapi ide dan perilaku tersebut juga harus
14
sesuai dan adaptif (Peterson dan Seligman, 2004). Kreatifitas individu
tersebut harus memberikan kontribusi positif terhadap kehidupannya
dan orang lain (Peterson dan Seligman, 2004). Seseorang yang kreatif
jarang melakukan sesuatu dengan cara yang konvensional (Seligman,
2002). Namun, sebagian besar, dari aktifitas sehari-hari yang kita jalani
diawali dengan belajar dari melihat orang lain dan kemudian menjadi
terbiasa dan otomatis, tanpa tersentuh oleh orisinilitas (Peterson dan
Seligman, 2004).

2. Curiosity (interest, novelty-seeking, openness to experiences)


Curiosity merupakan ketertarikan dalam diri seseorang
terhadap pengalaman (Peterson dan Seligman, 2004). Seseorang yang
memiliki rasa ingin tahu menyukai pengalaman baru, berbeda, dan
menantang (Peterson dan Seligman, 2004). Linley dan Joseph (2004)
menambahkan, sesorang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
biasanya tertarik dengan seluruh pengalaman, menemukan subjek dan
topic yang mengagumkan, mengeksplor dan menemukan sesuatu.

3. Open-mindedness (judgment, critical thinking)


Merupakan keinginan untuk mencari secara aktif bukti untuk
membantah atau mengkritisi kepercayaan, rencana, atau tujuan orang
lain dan untuk mempertimbangkan bukti yang ada secara adil jika
terdapat bukti-bukti yang diperlukan (Peterson dan Seligman, 2004).
Seseorang yang open-mindedness memikirkan sesuatu secara
menyeluruh dan memeriksanya dari segala sisi, tidak langsung
mengambil kesimpulan, dapat merubah pikiran dengan bukti yang
jelas, dan mempertimbangkan seluruh bukti dengan adil (Linley dan
Joseph, 2004).

4. Love of learning
Individu yang memiliki sikap love of learning secara positif akan
termotivasi untuk mendapatkan keterampilan atau pengetahuan baru
atau meningkatkan keterampilan dan pengetahuan yang sudah
dimiliki. Usaha untuk mendapatkan dan meningkatkan keterampilan
serta pengetahuan tersebut dilakukan sendiri ataupun secara formal
(Linley dan Joseph, 2004).

15
5. Perspective (wisdom)
Perspective (wisdom) mengacu kepada kemampuan untuk
mempersiapkan bekal hidup dalam waktu yang panjang, yang dapat
dimengerti bagi dirinya dan orang lain (Peterson dan Seligman, 2004).
Perspective merupakan hasil pengetahuan dan pengalaman, tetapi hal
ini melebihi penjumlahan dari informasi yang ada. Dalam konteks
sosial, perspective membiarkan individu untuk mendengarkan orang
lain, mengevaluasi apa yang mereka katakan, dan kemudian
memberikan nasihat yang baik untuk orang lain (Peterson dan
Seligman, 2004).

3.4.2. Courage
Merupakan kekuatan emosional yang melibatkan penggunaan
keinginan untuk mencapai tujuan dalam menghadapi dua hal yang
bertentangan baik eksternal atau internal (Linley dan Joseph, 2004).
Kekuatan atau strength dari courage meliputi:

1. Bravery (valor)
Tidak menghindar dari ancaman, tantangan, kesulitan, atau rasa sakit,
berani mengungkapkan kebenaran walaupun bertentangan dengan
orang lain, bertindak sesuai dengan keyakinan walaupun tidak
disukai, termasuk kebenaran secara fisik, tetapi tidak hanya terbatas
pada hal tersebut (Linley dan Joseph, 2004). Arti keberanian ini
berbeda-beda pada suatu budaya dengan budya lainnya (Peterson dan
Seligman, 2004).

2. Persistence (perseverance, industriousness)


Menyelesaikan apa yang dilakukan, tekun dalam menjalani
serangkaian kegiatan walaupun terdapat hambatan, kesulitan, dan
melaksanakan tugas dengan senang (Linley dan Joseph, 2004; Peterson
dan Seligman, 2004). Menghitung berapa lama seseorang melakukan
tugas yang diberikan bukanlah sesuatu yang tepat untuk
menggambarkan kekuatan ini (Peterson dan Seligman, 2004).

3. Integrity (authenticity honesty)


Integrity berasal dari bahasa latin yang berarti sesuatu yang
menyeluruh, tidak tersentuh, keseluruhan, dan segala sesuatu
(Peterson dan Seligman, 2004). Mengatakan yang sebenarnya,
menampilkan diri sendiri apa adanya, tanpa pura-pura, bertanggung
16
jawab terhadap perasaan dan tindakan (Linley dan Joseph, 2004).
Integrity sering diartikan sama dengan authenticity dan honesty, padahal
ketiga istilah tersebut memiliki beberapa perbedaan (Peterson dan
Seligman, 2004). Honesty mengacu kepada fakta yang sebenarnya dan
ketulusan hati dalam hubungan dengan orang lain (Peterson dan
Seligman, 2004). Authenticity merupakan emosi yang sebenarnya
keadaan psikologis yang mendalam (Peterson dan Seligman, 2004).
Sedangkan integrity mengacu kepada kejujuran moral dan self-unity
(Peterson dan Seligman, 2004).

4. Vitality (zest)
Menjalani kehidupan dengan kegembiraan dan berenergi,
tidak melakukan sesuatu setengah-setengah, menjalani hidup sebagai
seorang petualang, merasakan hidup yang bahagia dan aktif (Linley
dan Joseph, 2004). Seseorang yang memiliki kekuatan ini menjalani
hidup dengan penuh semangat dan dapat menjalani fungsinya
dengan baik (Peterson dan Seligman, 2004).

3.4.3. Humanity
Merupakan kekuatan yang berkaitan dengan interpersonal. Virtue ini
menunjukkan kemurahan hati, berbuat kebaikan walaupun tidak
ataupun tidak akan mendapatkan balasan, memahami bahkan waktu
harus mendapatkan hukuman (Linley dan Joseph, 2004). Humanity
dalam bidang psikologi berupa altruistic atau perilaku prososial (Linley
dan Joseph, 2004). Strengths dari humanity adalah:

1. Love
Menilai penting hubungan dekat dengan orang lain, terutama
saling berbagi dan saling peduli, menjalin hubungan dekat dengan
orang lain (Linley dan Joseph, 2004). Cinta yang dimaksud disini
terbatas pada hubungan cinta yang bersifat timbal-balik, sehingga
cinta yang tidak terbalas dan hubungan parasosial tidak termasuk ke
dalamnya. Hubungan romantis, rasa cinta antara orang tua dan anak,
keterikatan antara anggota tim atau kelompok termasuk dalam
kategori kekuatan ini. Rasa cinta biasanya mencakup perasaan positif
yang kuat, komitmen, dan bahkan pengorbanan yang termanifestasi
dalam perilaku membantu, menenangkan dan menerima orang lain.

17
2. Kindness (generosity, nurturance, care, compassion, altruistic love,
niceness)
Melakukan kebaikan dan perbuatan baik untuk orang lain, membantu
orang lain dan menjaga mereka (Linley dan Joseph, 2004). Kekuatan ini
juga dapat berupa perilaku membantu atau berbuat baik kepada orang
lain yang tidak dikenal ataupun yang memiliki hubungan dekat
dengan individu.

3. Social intelligence
Peduli terhadap alasan-alasan dan perasaan orang lain dan diri
sendiri, mengetahui apa yang harus dilakukan untuk menyesuaikan
diri dengan situasi sosial yang berbeda, mengetahui apa yang
menggerakkan orang lain (Linley dan Joseph, 2004). Istilah lain yang
digunakan untuk menggambarkan kekuatan ini adalah “hot
intelligence”, yang berarti kemampuan untuk dapat memproses
informasi yang teraktual seperti sinyal yang berhubungan dengan
motivasi, perasaan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
kesejahteraan individu. Selain social intelligence, kekuatan ini juga
mencakup emotional intelligence dan personal intelligence yang saling
melengkapi satu sama lain. Emotional intelligence adalah kemampuan
untuk menggunakan informasi emosi di dalam penalaran. Personal
intelligence mencakup ketepatan dalam memahami diri dan menilai
diri, termasuk kemampuan untuk memahami motivasi, emosi, dan
dinamika internal. Sedangkan social intelligence berhubungan dengan
hubungan individu dengan orang lain, yaitu keintiman dan
kepercayaan, kemampuan persuasif atau keanggotaan dalam suatu
kelompok.

3.4.4. Justice
Justice merupakan kekuatan pada masyarakat yang melandasi
timbulnya kehidupan masyarakat yang sehat. Kekuatan pada justice
terdiri atas:

1. Citizenship (social responsibility, loyalty, teamwork)


Individu yang memiliki karakter ini akan memiliki kemampuan
untuk bekerja dengan baik sebagai anggota dari suatu kelompok, loyal
terhadap kelompok, mengerjakan bagian masing-masing (Linley dan
Joseph, 2004). Individu tersebut memiliki rasa tanggung jawab untuk
menjalam tugasnya sebagai anggota suatu kelompok dan menyadari
18
kewajibannya, bekerja untuk kepentingan kelompok daripada
kepentingan dirinya, setia terhadap teman dan dipercaya akan selalu
berusaha sekuat-kuatnya untuk mencapai tujuan kelompok (Peterson
& Seligman, 2004).

2. Fairness
Memperlakukan orang lain dengan sama berdasarkan pengertian dari
kejujuran dan keadilan, tidak membiarkan bias personal dalam
memutuskan sesuatu berkaitan dengan orang lain, memberikan
kesempatan yang adil kepada setiap orang (Linley dan Joseph, 2004).
Kekuatan ini merupakan hasil dari moral judgement, yaitu proses
dimana seseorang menentukan apa yang benar secara moral, apa yang
salah secara moral, dan apa yang dilarang secara moral.

3. Leadership
Individu dengan predisposisi ini biasanya mengambil peran-peran
dominan dalam hubungan dan kehidupan sosialnya. Selain itu,
individu dengan kekuatan ini biasanya mendorong kelompok untuk
mencapai suatu tujuan sekaligus mempertahankan hubungan yang
baik dengan anggota kelompok yang lain, dapat mengorganisasikan
suatu aktivitas kelompok dan memantau agar kegiatan tersebut
berjalan dengan baik.

3.4.5. Temperance
Temperance merupakan kekuatan yang melindungi individu dari segala
sesuatu yang berlebihan. Kekuatan pada temperance terdiri atas:

1. Forgiveness dan mercy


Pemaafan mewakili serangkaian perubahan prososial yang
terjadi pada individu yang telah dilukai atau diperlakukan buruk
dalam hubungan interpersonal (McCullough, Pargament, dan
Thoresen dalam Peterson dan Seligman, 2004). Memaafkan orang lain
yang telah melakukan kesalahan, memberikan orang lain kesempatan
kedua, dan tidak mendendam merupakan beberapa penerapan
kekuatan ini (Linley dan Joseph, 2004). Ketika seseorang memaafkan,
motivasi dasar mereka adalah kecenderungan untuk menjadi lebih
positif dan menjadi kurang negatif (Peterson dan Seligman, 2004).

19
2. Humility/modesty
Individu yang memiliki kekuatan ini tidak membicarakan
keberhasilan yang telah dicapainya dan membiarkan keberhasilan
tersebut berbicara sendiri (Peterson dan Seligman. 2004). Individu
tersebut apa adanya, tidak mencari perhatian, tidak menganggap diri
sendiri lebih spesial dan menyadari kesalahan serta kekurangan diri
(Linley dan Joseph. 2004). Modesty berbeda dengan humility. Modesty
lebih bersifat eksternal yang artinya bersifat sederhana secara perilaku
maupun penampilan. Sedangkan humility bersifat internal yang artinya
memiliki kecenderungan untuk merasa bahwa dirinya bukanlah pusat
dunia.

3. Prudence
Hati-hati terhadap pilihan, tidak mengambil resiko yang tidak
semestinya, tidak mengatakan atau melakukan sesuatu yang mungkin
akan disesali (Linley dan Joseph, 2004). Individu yang memiliki
kekuatan ini memiliki kemampuan rasio dan manajemen diri yang
baik sehingga mereka dapat lebih efektif mencapai tujuan jangka
panjangnya. Mereka akan memilih setiap langkahnya dengan hati-hati
dan memikirkan konsekuensi dari langkah-langkah yang mereka pilih
dan tidak pilih. Mereka tidak akan mengorbankan tujuan jangka
panjang mereka demi mencapai tujuan jangka pendek mereka.

4. Self-regulation (self-control)
Individu dengan kekuatan ini dapat mengatur apa yang
dirasakan dan dilakukan, disiplin, bisa mengontrol nafsu dan emosi
(Linley dan Joseph, 2004). Selain itu, individu yang memiliki kekuatan
ini selalu berusaha untuk mengendalikan respon-responnya dengan
tujuan untuk mencapai tujuannya dan untuk memenuhi standarnya.

3.4.6. Transcendence
Transcendence merupakan kekuatan yang dapat menciptakan
hubungan yang dekat antara individu dengan alam semesta dan
memberi makna bagi individu tersebut. Kekuatan transcendence terdiri
atas:

1. Appreciation of beauty and excellence (awe, wonder, elevation)


Memperhatikan dan mengapresiasikan keindahan, keunggulan,
dan performa keterampilan pada seluruh domain kehidupan, pada
20
alam, pada seni. pada matematik, pada ilmu pengetahuan alam dan
pada pengalaman sehari-hari (Linley dan Joseph, 2004). Kekuatan ini
termasuk ke dalam keutamaan transenden karena kekuatan ini
menghubungkan pemiliknya dengan sesuatu yang lebih besar atau
luas dari mereka. Mereka memperhatikan keindahan dan sangat
menghargainya.

2. Gratitude
Menginsafi dan berterimakasih terhadap hal baik yang telah
terjadi, dan menyediakan waktu untuk mengekspresikannya (Linley
dan Joseph, 2004). Mereka yang memiliki kekuatan ini menyadari dan
bersyukur akan hal-hal yang baik yang pernah dialaminya, dan selalu
menyempatkan waktu untuk mengucapkan terima kasih.

3. Hope (optimism, future-mindedness, future-orientation)


Mengharapkan yang terbaik pada masa depan dan berusaha
untuk mencapainya, meyakini bahwa masa depan yang baik
merupakan hal yang dapat dicapai, dan akan berperilaku sedemikian
rupa sehingga peristiwa yang diharapkannya terjadi serta percaya
bahwa usahanya akan menghasilkan hasil yang diharapkan tersebut.
(Linley dan Joseph, 2004). Mereka mengharapkan yang terbaik untuk
masa depan dan bekerja keras untuk mencapainya, percaya bahwa
masa depan yang baik adalah sesuatu yang mungkin dapat tercapai.

4. Humor (playfulness)
Gemar tertawa dan menggoda orang lain, membawa
kebahagiaan kepada orang lain, melihat sisi positif, membuat lelucon
(Linley dan Joseph, 2004). Humor yang dimaksudkan disini adalah
humor yang membawa kebaikan-bukan yang membawa keburukan.
5. Spirituality (religiousness, faith purpose)/
Memiliki kepercayaan mengenai sebuah tujuan yang lebih tinggi
dan makna dari alam semesta, mengetahui peran dalam skema besar,
memiliki kepercayaan mengenai makna hidup yang membentuk
perilaku dan memberikan rasa tenang dan nyaman dalam hidup.
Individu dengan kekuatan ini memiliki sebuah teori mengenai makna
dari hidup yang kemudian membentuk segala perilaku, mereka dan
memberikan kenyamanan bagi mereka.

21
3.5. Faktor yang mempengaruhi Kekuatan Karakter
Terdapat beberapa variasi yang mempengaruhi dan berkontribusi
terhadap perkembangan kekuatan karakter. Hal pertama yang
mempengaruhi adalah faktor biologis (Park, 2004). Faktor kedua
adalah faktor sosial seperti memiliki model yang berperan positif
sebagai peran penting terhadap perkembangan karakter (Radke-
Yarrow, Zahn-Waxler, & Chapman, 1983). Peneliti ini menjelaskan
bahwa bimbingan dari orang dewasa membantu perkembangan
tingkah laku prososial. Ketiga, relasi yang erat dengan famili dan
teman sebaya, melalui secure attachment, yang dapat menampakkan
hubungan positif dalam perkembangan karakter (Waters, Hey, &
Richer, 1986; Londerville & Main, 1981; Dun , 1988; Birch & Cillman,
1986). Keempat institusi positif seperti peran sekolah, yang memainkan
peran penting dalam perkembangan karakter (Park). Atmosfer
(suasana lingkungan) yang bermoral seperti institusi adalah penting
bagi perkembangan karakter (Higin, Power dan Kohlberg, 1994). Dan
yang terakhir adalah gaya pengasuhan orang tua yang positif, seperti
gaya pengasuhan otoritatif (demokratis) yang secara konsisten
menampakkan berhubungan dengan perkembangan karakter yang
positif (Baumrind, 1998). Menurut Park, (2004) kondisi ini dapat
menunjukkan lingkungan yang responsive dan respectful yang
dihasilkan dari gaya pengasuhan ini, dan sebagai tambahan juga dapat
menjadikan pembimbing dalam perilaku yang konstruktif.
Menurut Nansook Park (2004) terdapat beberapa determinan
faktor yang mempengaruhi perkembangan good character (karakter
yang baik), diantaranya, faktor biologis, peran model yang positif
seperti tingkah laku prososial dari guidence (pembimbing), hubungan
yang erat dengan keluarga dan teman sebaya, institusi positif, struktur
sosial keluarga berperan secara konsisten, ritual dan sesuai tradisi,
budaya bermoral, nilai-nilai kemasyarakatan dan pengaruh komunitas
(masyarakat) setempat.
Uraian di atas juga didukung oleh ungkapan seorang ahli
psikologi yang consern pada kajian psikologi positif. Dalam bukunya
Seligman (2004) menjelaskan bahwa berdasarkan pengalaman terdapat
beberapa kondisi yang dapat membentuk kekuatan karakter, meliputi:
kesempatan belajar dan bekerja, keluarga yang supportif dan
konsisten, lingkungan tetangga dan sekolah yang nyaman, stabilitas
politik juga demokrasi. Dan terdapat hal lain, diantaranya kemunculan

22
mentor, peran model, dan teman sebaya yang supportif, juga keluarga
yang beperan langsung baik di dalam maupun di luar rumah.
Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa terdapat
faktor-faktor penting yang berulang dijelaskan dapat membentuk
kekuatan karakter dan menjadi hal yang menarik untuk dikaji, yaitu
pengasuhan orang tua yang positif, peran model yang positif dan
hubungan erat dengan keluarga dan teman sebaya.
Faktor-faktor tersebut di atas dikatakan menarik karena dalam
lingkup perkembangan psikososial dan psikologi lingkungan, individu
tumbuh dan berkembang menjadi remaja tidak lepas dari peranan tiga
significant others, yaitu orang tua, teman sebaya dan guru. Dalam
lingkungan rumah remaja sering berinteraksi dengan orang tua,
sedangkan di luar lingkungan rumah, seperti sekolah dan lainnya,
remaja sering berinteraksi dengan teman sebaya dan juga guru.

3.6. Alat Ukur Kekuatan Karakter


Para ahli yang ingin mengembangkan psikologi positif
terdorong untuk mengembangkan inventori yang berfungsi untuk
mengukur kekuatan karakter dalam bentuk self report. Pada tahun
2000, C. Peterson dan Martin Seligman yang dibantu oleh mahasiswa
dari universitas Pensylvania menyususn sebagian besar itm Values In
Action Inventory of strength (VIA-IS) yang diujicobakan pada 250
pemuda. Hasil uji coba dengan konsistensi internal diperoleh bahwa
hampir sebagian besar skala memiliki koefisien alpha lebih besar dari
0,7 yang kemudian item-item yang berkorelasi rendah diganti.
Versi terbaru VIA-IS tidak mencantumkan item unfavorable
karena character strength mencerminkan kehadiran kekuatan itu sendiri
dan bukan berarti absennya kelemahan. VIA-IS menggunakan model
likert dengan lima skala untuk mengukur respon individu terhadap
240 pernyataan yang merefleksikan 24 Character strength. Setiap
character strength terdiri dari 10 item. Skor didapat dari rata-rata
jawaban pada setiap jawaban character strength. Lima skor tertinggi
dari 24 character strength disebut signature strength (kekuatan khas),
yaitu kekuatan yang melekat pada idividu yang disadari dan sering
ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari (Seligman, 2002).
Di Indonesia alat ini pernah digunakan untuk penelitian
mengenai character strength pada perawat. Alat ini telah diadaptasi oleh
Lestari (2006) dan telah diukur validitas dan reliabilitasnya. Dalam
penelitian lain, oleh Fivi Nurwianti dan kawan-kawan (2009) alat ini
23
juga pernah digunakan untuk mengukur kekuatan karakter orang
Indonesia.

4. Parenting Style (Gaya Pengasuhan Orang Tua)


Interaksi orang tua dan remaja merupakan hal yang menarik
untuk dikaji. Cara bagaimana orang tua melaksanakan fungsinya
sebagai pengasuh tentunya bervariasi. Cara bagaimana orang tua
mengasuh anak dan melaksanakan fungsinya sebagai pengasuh dalam
konsep psikologi dikenal dengan child rearing.
Secara umum, Sears, Maccoby dan Lewin (1975) mengemukakan
bahwa cara pengasuhan mencakup semua interaksi orang tua dan
anaknya. Di dalam interaksi yang terjadi ini, mencakup pernyataan-
pernyataan orang tua akan sikap-sikap dan nilai-nilai dari orang tua.
Hubungan yang tejadi antara orang tua dan anak akan terus
berlangsung sehingga akhirnya membentuk suatu suasana tertentu
dan ciri pengasuhan tertentu pula.
Dalam pengasuhan anak, terdapat beberapa variasi hubungan
antara orang tua dengan anaknya. Namun demikian terdapat
kesamaan dalam hal makna dari gaya pengasuhan itu sendiri. Sadar
atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, gaya pengasuhan akan
mempengaruhi kemampuan anak untuk bertingkah laku pada masa
yang akan datang. Hal ini sejalan dengan statement Maccoby (1980)
bahwa praktik child rearing memiliki pengaruh yang muncul terhadap
anaknya yaitu tingkah laku sosial.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa gaya pengasuhan
orang tua memberikan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan
anak dan remaja. Berdasarkan hasil penelitian tahun (1993) Darling
dan Steinberg menjelaskan bahwa gaya pengasuhan orang tua terdiri
dari dua komponen utama, yaitu gay pengasuhan (parenting styles) dan
praktek pengasuhan (parenting practices). Keduanya mendefinisikan
bahwa gaya pengasuhan sebagai sikap orang tua terhadap anak yang
dikomunikasikan kepada anak dan menciptakan suasana emosional
dimana perilaku orang tua diekspresikan, sedangkan praktik
pengasuhan (parenting practise) lebih menunjukkan kepada tekhnik-
tekhnik yang digunakan orang tua dalam bersosialisasi dan
menanamkan peran-peran kepada anak. Maccoby memakai istilah
gaya pengasuhan orang tua atau parenting style yang menggambarkan
interaksi orang tua dan anak, dimana orang tua mengekspresikan

24
sikap, nilai-nilai, minat dan harapan-harapannya dalam mengasuh dan
memenuhi kebutuhan anak
Gaya pengasuhan orang tua pada hakekatnya menunjuk kepada
perlakuan orang tua terhadap remaja yang diaktualisasikan melalui
interaksinya dengan remaja, dalam mendorong perkembangan tingkah
laku pada remaja. Salah satu pendekatan yang sering dipilih, berawal
dari apa yang digambarkan oleh ahli psikologi yang bernama Maccoby
dan Martin (dalam Steinberg, 1993:141), mereka menggambarkan
adanya dua macam pola tingkah laku orang tua terhadap anak atau
remaja, yaitu “parental responsiveness” dan “parental demandingness”.
Parental responsiveness menunjuk pada sejauh mana orang tua
menanggapi kebutuhan-kebutuhan anak dalam suatu sikap menerima
dan mendukung, sedangkan parental demandingness menunjuk pada
sejauh mana orang tua mengharapkan dan menuntut perilaku yang
bertanggung jawab dan matang dari anak-anaknya. Maccoby (dalam
Steinberg, 1993) menempatkan kedua aspek tersebut dalam parental
behavioral. Para orang tua memiliki keragaman dalam dimensi-dimensi
tersebut. Beberapa diantaranya memperlihakan kadar Parental
responsiveness yang tinggi dengan sikap-sikap hangat dan menerima,
sementara yang lain ada yang tidak mau mendengarkan (unresponsive)
dan menolak (rejecting) anak. Dalam hal parental demandingness,
beberapa orang tua tampak menuntut dan mengharapkan banyak
sekali dari anak mereka, sementara yang lain serba membolehkan dan
dengan sedikit tuntutan. Baumrind (dalam Steinberg, 1993; Berk, 1994;
Conger, 1977) menggabungkan parental control dalam aspek
demandingness, sedangkan unsur-unsur cinta kasih, kehangatan,
dukungan, perlindungan, dan pemeliharaan dimasukkan dalam aspek
parental responsiveness.

4.1. Aspek-aspek Gaya Pengasuhan Orang Tua


Menurut Maccoby dan Martin dimensi atau aspek “parental
responsiveness” dan “parental demandingness”, terdapat dalam empat
gaya pengasuhan. Adapun uraian dari dimensi-dimensi tersebut
adalah sebagai berikut:

1) Demandingness
Dimensi ini menunjukkan pada kualitas otonomi orang tua
dalam mengasuh anak mereka (Erikson, 1963; Baumrind, 1971;
Maccoby, 1980; dalam Shaffer, 1994). Controlling parents membatasi
25
ekspresi remaja dengan memberikan beberapa tuntutan (demand) serta
mengawasi perilaku remaja untuk memastikan bahwa perilaku remaja
tidak menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan. Uncontrolling
parents kurang menuntut remaja dan lebih memberikan kebebasan
yang seluas-luasnya sesuai dengan keinginan remaja. Dengan
demikian dimensi control ini bergradasi dari yang lemah (uncontrol
parents) sampai yang kuat (control parents)

2) Responsiveness
Dimensi ini menunjukkan kuantitas kehangatan dan afeksi
orang tua terhadap anak (Erikson, 1963; Baumrind, 1971; Maccoby,
1980; dalam Shaffer 1994). Orang tua yang tergolong hangat dan
responsif ditunjukkan dengan keramahan, memperhatikan anak,
memberikan pujian (reward) ketika anak berhasil. Cepat tanggap
terhadap kebutuhan anak, meluangkan waktu untuk membantu anak,
peka terhadap keadaan emosi anak. Orang tua menggunakan
tingkatan yang bervariasi dari dua dimensi gaya pengasuhan tersebut.
Perpaduan kedua dimensi tersebut terdapat dalam empat
model pengasuhan yang berbeda sebagaimana yang digambarkan oleh
Maccoby dan Martin (1983) dalam visualisasi berikut:

Demandingness
High Authoritative Indulgent
Responsiveness
Low Authoritarian Indifferent

Bagan 4.1. Gaya Pengasuhan Orang Tua (Dalam Steinberg,


1993:42)
Berdasarkan konsep-konsep tersebut di atas, masing-masing
gaya pengasuhan tersebut diidentifikasikan sebagai berikut:

a) Authoritative Parenting
Gaya pengasuhan orang tua yang authoritative adalah
perlakuan orang tua yang menerapkan demandingness tinggi dan
responsiveness tinggi terhadap anak. Orang tua menganut gaya
pengasuhan authoritative karakteristik interaksinya adalah cenderung
bersifat hangat dan dekat dengan anak, tetapi mereka juga
menyebutkan standar aturan yang jelas untuk anak-anaknya,
cenderung mempertahankan standar aturan itu dengan konsisten, dan
26
tidak menyerah kepada usaha perlawanan anaknya. Mereka
menunjukkan perasaan tidak senang dan kejengkelannya secara
terbuka apabila anak-anaknya nakal, dan mereka tidak segan
menerapkan hukuman fisik. Senang mendukung perilaku kontruktif
anak. Perilaku anak yang ditampakkan dengan gaya pengasuhan
authoritative adalah: enerjik, mandiri, mampu mengendalikan diri, ceria
dan bersahabat, mudah bekerja sama, serta mampu menghadapi stress.

b) Authoritarian Parenting
Gaya pengasuhan orang tua yang authoritarian adalah
perlakuan orang tua yang menerapkan demandingness tinggi dan
responsiveness rendah terhadap anak. Orang tua yang menerapkan gaya
pengasuhan authoritarian ini, karakteristik interaksinya adalah sebagai
berikut: menuntut konformitas yang tinggi, anak-anak harus patuh
tanpa banyak bertanya tentang semua perintah orang tua. Orang tua
seperti ini adalah dogmatis, cenderung memaksa anaknya mengikuti
peraturan mereka secara kaku, tetapi tidak menjelaskan aturan itu
dengan jelas. Mereka keras dan suka menghukum dalam merapkan
disiplin, dan mereka mudah marah apabila anak menentangnya,
kurang hangat dan kurang dekat. Apabila orang tua mencoba untuk
memaksa anak-anak mereka agar berperilaku dengan cara tertentu,
anak-anak akan memberikan reaksi dengan cara tertentu pula. Mereka
akan berputus asa, yakin bahwa mereka tidak akan mampu mengatasi
problem hidup, atau mereka menjadi pemberontak dan menolak untuk
tidak mau menerima apapun saran orang tua. Adanya situasi (kondisi)
yang membangkitkan rasa frustasi bagi anak yang muncul dengan
gaya pengasuhan authoritarian akan menyebabkan anak menjadi
bingung dan mudah tersinggung, takut, gelisah, menjengkelkan,
agresif, lebih senang menyendiri, murung dan sedih.
Namun, Baumrind mengidentifikasi ada tiga gaya pengasuhan
orang tua, yaitu: authoritative, authoritarian, dan permissive (Steven R.
Asher dan Jhon D. Coe, 1990: 192; Eleanor E. Maccoby, 1980: 376; John
W. Santrock, 2003: 157). Kemudian Maccoby dan Martin, (dalam J.W.
Santrock, 2003: 158) berpendapat bahwa pengasuhan bersifat permissive
terdiri dari dua macam, yaitu permisif yang bersifat memanjakan
(permissive-indulgent parenting), dan permisif yang bersifat tidak peduli
(permissive-indifferent parenting).

27
c) Indulgent Parenting
Gaya pengasuhan orang tua yang indulgent adalah perlakuan
orang tua yang menerapkan demandingness rendah dan responsiveness
tinggi terhadap anak. Orang tua yang menganut gaya pengasuhan
indulgent atau permissive, karakteristik interaksinya, antara lain: lunak
dan pasif dalam menanamkan disiplin, tidak mengkomunikasikan
peraturan dengan jelas, tidak menegakkan aturan, tidak konsisten
dalam menarapkan disiplin, cukup hangat, mudah mengalah terhadap
tuntutan anak dan menyukai ungkapan impulsif. Orang tua yang
menganut gaya pengasuhan indulgent seringkali menimbulkan
perasaan kecewa dan tidak aman bagi anak dan remaja. Akibatnya,
anak akan merasa tidak diperhatikan oleh orang tuanya, anak dan
remaja yang terbentuk dengan gaya pengasuhan seperti ini, adalah:
tidak patuh dan menentang peraturan yang diterapkan, kurang
percaya diri, kontrol diri yang kurang, agresif, impulsif dan tidak
mempunyai tujuan.
d) Indifferent Parenting
Gaya pengasuhan orang tua yang indifferent adalah perlakuan
orang tua yang menerapkan demandingness rendah dan responsiveness
rendah terhadap anak. Orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan
indifferent, ditandai dengan karakteristik sebagai berikut: tidak
memiliki kesepakatan dalam memperhatikan anak, mencoba
melakukan apa saja ditandai dengan karakteristik sebagai berikut:
tidak memiliki kesepakatan dalam memperhatikan anak, mencoba
melakukan apa saja ditandai dengan karakteristik sebagai berikut:
tidak memiliki kesepakatan dalam memperhatikan anak, mencoba
melakukan apa saja dengan maksud untuk meminimkan waktu dan
tenaga dengan maksud untuk meminimkan waktu dan tenaga buat
mengasuh anaknya, tidak peduli terhadap kebutuhan anak. Orang tua
yang menerapkan gaya pengasuhan ini lebih ekstrim, bahkan
cenderung menolak kehadiran anaknya (neglectfull). Mereka hanya
tahu sedikit saja tentang aktifitas anak-anaknya, menunjukkan
perhatian yang kecil terhadap pengalaman anak di sekolah atau
dengan teman-temannya. Mereka jarang sekali berbincang-bincang
dengan anaknya, dan hampir tidak pernah memperdulikan pendapat
anak dalam membuat keputusan Perilaku anak yang terbentuk melalui
gaya pengasuhan ini antara lain menjadi minimalis dalam berbagai
aspek, misalnya: kognisi, bermain, kemampuan emosional, sosial, dan
mengisolasi diri.
28
5. Kualitas Persahabatan (Friendship Quality) dengan Teman
Sebaya
Kualitas persahabatn merupakan suatu tingkatan atau derajat
tentang kondisi suatu hubungan persahabatan antara minimal dua
orang. Keadaan hubungan persahabatan tersebut digambarkan oleh
ada atau tidaknya karakteristik-karakteristik positif maupun
karakteristik negatif dalam persahabatan tersebut. Karakteristik positif
merupakan karakter yang dapat menciptakan suatu hubungan yang
saling mendukung, sedangkan karakteristik negatif menunjukkan
hubungan yang diwarnai oleh konflik.
Suatu relasi dua pribadi dalam ikatan yang erat dan akrab,
yang berkelanjutan yang terbentuk karena adanya kesamaan dan
keterlibatan emosi yang mendalam yang terwujud dalam tindakan
saling memberi dukungn, saling menerima, saling berbagi, saling
percaya, sehingga mampu melakukan penyelesaian konflik yang
efektif (Berndt, 2002)

5.1. Karakteristik Positif dalam Persahabatan


a. Kedekatan (Intimacy)
Kedekatan merupakan elemen dasar dari persahabatan yang
terbangun (Berndt, et. al 1989) Kedekatan mengandung arti
adanya suatu keakraban satu dengan yang lain. Erikson
mengungkapkan bahwa inti dari kedekatan adalah adanya
kepercayaan penuh terhadap sahabatnya, bahwa dirinya tidak
akan disakiti oleh sahabatnya. Berdasarkan kepercayaan tersebut
individu akan merasa aman dan yakin untuk menyampaikan
masalah apapun kepada sahabatnya. Kedekatan juga berarti
adanya saling pengertian dan saling memberi dukungan (Berndt,
dalam Vanzetti & Duck, 1996).
b. Keterbukaan (Self Disclosure)
Keterbukaan mengandung arti bahwa remaja bisa menceritakan
rahasia dan persoalan mereka tanpa ada keraguan dan khawatir
bahwa sahabatnya, akan menceritakannya pada orang lain. Dalam
hal ini, keterbukaan juga meliputi salaing mengerti dan
menyediakan dukungan emosi (emotional support) (Berndt, dalam
Vanzetty & Duck, 1996).
c. Tingkah Laku Prosocial (Prosocial Behavior)
Tingkah laku Prosocial ini meliputi; saling menolong, saling
membantu, saling berbagi suka dan duka, dan juga saling
29
menghibur pada saat kondisi kemalangan menimpa antara satu
dengan yang lain. Seorang sahabat juga dengan senang hati akan
memberikan pujian pada saat mereka berhasil menyelesaikan
sesuatu dengan baik. Sebaliknya pada saat mengalami kegagalan
atau hal-hal yang buruk, sahabatnya akan berusaha membesarkan
hatinya dan memberikan dorongan kepadanya untuk berbuat
lebih baik lagi.
d. Self Esteem Support
Sahabat mendukung self esteem remaja dengan memuji mereka atas
prestasi yang diraih atau membesarkan hati remaja ketika mereka
resah terhadap sesuatu dan membantu remaja merasa lebih baik.
(Cohen & Wills, 1985; dalam Vanzetty dan Duck, 1996)
e. Kesetiaan (Loyalty)
Secara tidak lanngsung, remaja mengharapkan sahabatnya dapat
memperlakukannya sebagai seorang teman pada saat mereka
berada di antara orang lain. Seorang sahabat yang setia tidak akan
membicarakan keburukannya dibelakangnya. Pada saat berada di
tengah orang banyak, seorang sahabat tidak akan bergabung
dengan kelompok lain dan meninggalkan sahabatnya sendirian.

5.2. Karakteristik Negatif dalam Persahabatan (Konflik)


Ada beberapa hal yang memicu timbulnya konflik dalam
persahabatan, antara lain:
a. Adanya salah satu pihak yang menganggap dirinya lebih daripada
sahabatnya, dan menganggap remeh sahabatnya.
b. Adanya perbedaan pendapat yang tajam dan masing-masing pihak
berusaha empertahankannya.
c. Adanya persaingan yang tidak menyenangkan.

5.3. Persahabatan dalam Masa Remaja


Hubungan dengan teman sebaya merupakan hubungan yang penting
dalam relasi sosial di masa remaja. Sebagian besar waktu remaja
biasanya dihabiskan bersama dengan teman sebayanya. Kenyataan ini
sejalan dengan pernyataan Larson & Richards (1991), bahwa remaja
lebih menikmati hubungan mereka dengan teman-teman sebayanya
dari pada orang lain.
Remaja berinteraksi dengan kelompok teman sebaya selama
aktivitas di luar rumah terutama di lingkungan sekolah. Mereka akan
sangat senang menjalankan semua aktivitas-aktivitasnya bersama
30
teman sebaya, apabila mereka telah memiliki relasi yang lebih dekat,
erat ataupun lebih akrab dengan beberapa orang di kelompok teman
sebayanya yang dianggap sebaik teman baik mereka atau lebih dikenal
dengan istilah sahabat.
Penelitian yang dilakukan Slavin – William & Berndt tahun
1990, telah mengungkapkan bahwa ketika remaja diminta
menyebutkan sahabat-sahabat mereka, mereka sering menyebutkan
beberapa orang teman. Kebanyakan mereka menyebutkan empat atau
lima orang sahabat (Hartup, 1993a). tidak semua teman baik yang
mereka sebutkan ini memiliki hubungan yang sama akrabnya dengan
mereka. Remaja biasanya berinteraksi lebih sering dengan salah
seorang dari sahabat-sahabat mereka (Berndt & Keefe, 1993). Mereka
juga membedakan antara kelompok teman baik dan teman sebaya lain
yang mereka anggap sebagai teman biasa (Hallinan & Williams, 1987).
Pada umumnya remaja akan menjalin persahabatan dengan
teman sebaya yang memiliki persamaan dengan mereka. Persahabatan
biasanya terbentuk di antara remaja-remaja yang memiliki persamaan
usia, jenis kelamin, suku bangsa, dan juga persamaan kelas sosial
(Kandel, 1978; Slllavin-Williams & Berndt, 1990). Persahabatan hanya
akan terbentuk antara remaja yang akan memberikan kesempatan
untuk terjadinya interaksi sosial di antara mereka. Remaja akan
mencari sahabat yang daaapat menjadi teman untuk melakukan
berbagai macam aktifitas bersama-sama.
Pada masa remaja terdapat beberapa agenda yang menjelaskan
fungsi persahabatan selama masa remaja ini. Pertama, pada masa ini
remaja secara bertahap mulai bergerak keluar dari lingkungan
keluarganya dan menjadi lebih independen (Csiskszentmihalyi &
Larson, 1984). Meskipun demikian mereka tidak ingin menjadi
individu yang sendirian. Mereka menikmati hubungan dengan rekan-
rekannya yang memiliki aktifitas yang sama. Teman-teman mereka
sebagian telah menggantikan posisi orang tua dan saudara dalam
relasi sosial mereka.
Kedua, ketika para remaja menjadi lebih independen terhadap
keluarganya, mereka berusaha menemukan suatu tempat yang baru
yang sesuai bagi mereka dalam dunia sosial yang baru dan lebih
kompleks (Berndt & Perry, 1990). Dunia atau lingkungan baru ini
sebagian besar dipadati oleh peers yaitu remaja-remaja lain dari usia
yang sama dengannya, atau lebih dikenal dengan teman sebaya.
Fungsi persahabatan di sini adalah untuk memberikan remaja rasa
31
dimiliki dalam lingkungan sosial. Melalui persahabatan, mereka dapat
saling mendukung dengan cara memberikan perhatian, pertolongan
atau nasehat. Percakapan yang akrab dengan sahabat juga dapat
meningkatkan harga diri dan keyakinan diri remaja.
Ketiga, remaja mulai membentuk identitas diri mereka –
sekumpulan pikiran tentang siapa mereka dan apa yang dapat mereka
lakukan dengan hidup mereka (Erikson, 1963). Interaksi dengan
sahabat dapat memainkan peran yang penting dalam pembentukan
identitas remaja. Dukungan dari sahabat dari membantu remaja untuk
membentuk identitas diri yang positif. Remaja juga sering
membanding prestasi mereka di sekolah, di bidang olah raga atau
aktifitas lainnya. Pembandingan ini dapat menimbulkan persaingan
yang dapat mempengaruhi konsep diri dan tingkah laku sosial remaja.
Keempat, remaja perlu mempelajari tidak hanya segala sesuatu
yang berkenaan dengan dirinya sendiri, tetapi juga tentang masyarakat
yang lebih luas lagi. Secara bertahap, remaja mengembangkan ide dan
pikirannya mengenai orang lain, organisasi-organisasi sosial, system-
sistem politik dan perundang-undangan (keating, 1990; Torney-Purta,
1990). Ide dan pikiran mereka dibentuk dari diskusi yang mereka
lakukan dengan rekan-rekan sebaya mereka. Tingkah mereka juga
dipengaruhi oleh tingkah laku teman-teman mereka.
Jadi, teman sebaya atau sahabat merupakan lingkungan sosial
yang memiliki peran dan pengaruh yang cukup penting bagi
kehidupan remaja. Hubungan remaja dengan teman sebayanya dapat
memberikan dukungan yang cukup berarti bagi perkembangan
psikologis remaja (Erikson, 1963).
Dalam konteks persahabatan, keakraban diartikan dalam
beberapa cara. Sebagai contoh, keakraban dapat diartikan secara luas
meliputi segala sesuatu dalam persahabatan yang membuat hubungan
terlihat lebih dekat atau mendalam. Dalam hampir semua penelitian,
keakraban dan persahabatan (intimacy in friendship) secara sempit
diartikan sebagai pengungkapan diri atau membagi pemikiran-
pemikiran pribadi. Pengetahuan yang mendalam dan pribadi tentang
teman juga digunakan sebagai ukuran keakraban (Selman, 1980;
Sullivan, 1953; dalam john W. Santrock, 2003).
Karakteristik lain dari persahabatan yang juga lebih berpengaruh
adalah sahabat secara umum sama dalam hal umur, jenis kelamin,
suku bangsa atau faktor-faktor lain (Hartup, 1991; Lempers & Clark-
Lempers, 1993; Luo, Fang & Aro, 1995; Rowling, 1992; dalam John W.
32
Santrock, 2003). Sahabat memiliki sikap terhadap sekolah yang sama,
aspirasi pendidikan yang sama dan orientasi keberhasilan yang
hampir sama dan lebih menyukai aktifitas waktu luang yang sama
(Berndt, 1982).

6. Perilaku Prososial (Prosocial Behavior) Pengajar


6.1. Pengertian Perilaku Prososial
Dalam konsep psikologi, istilah tingkah laku prososial bukanlah hal
yang baru. Banyak para ahli yang membahas masalah tersebut. Wispe
(1981) mengatakan bahwa prososial merupakan tingkah laku yang
mempunyai konsekwensi sosial yang positif, yaitu menambah kondisi
fisik dan psikis orang lain menjadi baik. Lead ( 1978 ) menyatakan tiga
kriteria yang menentukan tingkah laku prososial (altruistic) yaitu
1). Tindakan yang bertujuan khusus menguntungkanorang lain tanpa
mengharap reward eksternal, 2). Tindakan yang dilakukan dengan
sukarela, 3). Tindakan yang menghasilkan hal yang positif
Di lain pihak Baron Byrne (1991: 351) berpendapat tingkah laku
prososial adalah tindakan menolong orang lain. Sementara itu Sears,
dkk (1992:47) secara sederhana mendefinisikan tingkah laku prososial
sebagai tingkah laku yang menguntungkan orang lain. Tingkah laku
prososial menurut Sears mencakup kategori yang lebih luas, melipiti
segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk
menolong orang lain, tanpa mempedulikan motif-motif si penolong.
Hal ini dipertegas pula oleh Rushton (dalam Sears, dkk., 1992:47)
bahwa tingkah laku prososial berkisar dari tindakan altruism yang
tidak mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih sampai tindakan
menolong yang sepenuhnya dimitivasi oleh kepentingan diri sendiri.
Menurut Sri Utari (dalam Jurnal ISPSI No.5, 1994: 40) adalah
suatu tingkah laku yang mempunyai satu akibat atau konsekuensi
positif bagi si partner interaksi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tingkah
laku yang bisa diklasifikasikan sebagai prososial variasinya sangat
besar, bisa mulai dari bentuk yang sederhana sekedar memberi
perhatian hingga yang paling kompleks, misalnya mengorbankan diri
demi orang lain.
Hampir senada dengan pendapat sebelumnya, Janusz Reskowski
(dalam Einsenberg, 1982: 378) juga menjelaskan bahwa istilah tingkah
laku prososial mencakup sejumlah fenomena yang luas, seperti
menolong, berbagi, pengorbanan diri, dan mematuhi norma. Semua
fenomena tersebut mempunyai satu karakteristik yaitu tindakan
33
tersebut selalu berorientasi kepada perlindungan, pemeliharaan, atau
perbaikan objek sosial internal, khususnya kepada orang seseorang,
sekelompok orang, masyarakat, intitusi sosial atau badan tertentu.
Wrightsman dan Deaux (1981) juga mendefinisikan perilaku prososial
sebagai perilaku seseorang yang mempunyai konsekuensi sosial positif
yang ditujukan bagi kesejahteraan orang lain secara fisik maupun
psikologis
Adapun Wispe (dalam Wrightsman, 1981:236) mendefinisikan
tingkah laku prososial sebagai tingkah laku yang punya konsekuensi
sosial positif yaitu menambah kondisi fisik dan psikis orang lain
menjadi lebih baik. Sementara itu Brigman, (1991:277) mengungkapkan
bahwa wujud tingkah laku prososial meliputi: altruisme, murah hati
(charity), persahabatan (friendship), kerja sama (cooperation), menolong
(helping), penyelamatan (rescuing), pertolongan darurat oleh orang
terdekat (bystander intervention), pengorbanan (sacrificing),
berbagi/memberi (sharing).
Demikian juga Bar-Tal (1976: 4) mendefinisikan tingkah laku
prososial sebagai tingkah laku yang dilakukan secara sukarela,
menguntungkan orang lain tanpa antisipasi reward eksternal, dan
tingkah laku tersebut dilakukan tidak untuk dirinya sendiri, meliputi:
helping/aiding, sharing, dan donating. Semua tindakan tersebut
mempunyai konsekuensi sosial positif. Bentuk-bentuk tingkah laku
prososial tersebut berlawanan dengan tingkah laku agresi, anti sosial,
merusak, mementingkan diri sendiri, kejahatan, dan lain-lain.
Selanjutnya, Lead (dalam Derlega & Grzelak, 1982: 378; Staub,
1978: 6) menyatakan ada tiga criteria yang menentukan tingkah laku
altruistic, yaitu:
a. Tindakan yang bertujuan khusus menguntungkan orang lain
tanpa mengharakan reward eksternal.
b. Tindakan yang dilakukan dengan suka rela
c. Tindakan yang menghasilkan sesuatu yang baik.
Apa yang menetukan seseorang menolong orang lain?
Rheingold, Hay, dan West (Staub, 1978: 4) menyatakan bahwa
seseorang anak kecil dapat menunjukkan dan memberikan sesuatu
pada orang lain, atai disebut tingkah laku sharing. Tingkah laku
tersebut sebenarnya diekspresikan oleh seorang anak dengan
keinginan mebagikan pandangannya kepada orang lain. Sesuatu yang
mendasari dan menentukan tindakan prososial yaitu kesediaan

34
memahami orang lain guna mengekspresikan diri dan membagikan
pandangannya pada orang lain.
Tingkah laku prososial menyangkut intense, value empati,
proses-proses internal dan karakteristik individual yang dapat
mengantarai suatu tindakan. Fokus utamanya adalah tindakan, karena
hal ini signifikan untuk individu dan kelompok sosial. Seseorang
ditolong dengan tindakan, tidak dengan belief. Values, empati, dan
proses internal lainnya adalah penting sebagai motivator tingkah laku
prososial. Evaluasi diri terhadap perasaan puas dan kebahagiaan
dipengaruhi oleh ketaatan terhadap internalisasi nilai-nilai moral yang
dianut, akhirnya akan mengantarkan seseorang kepada tingkah laku
prososial.
Staub (1978; 5) menyatakan bahwa tingkah laku prososial
tindakan sukarela dengan mengambil tanggung jawab untuk
mensejahterakan orang lain. Tindakan sukarela mengambil tanggung
jawab tersebut penting, karena secara langsung mempengaruhi
individu dan kelompok sosial secara keseluruhan, dalam suatu
interaksi akan menghilangkan kecurigaan, menghasilkan perdamaian
dan meningkatkan toleransi hidup terhadap sesama.
Berdasarkan uraian dari beberapa definisi di atas, dapat
dipahami bahwa tingkah laku prososial adalah tingkah laku sosial
positif yang menguntungkan atau membuat kondisi orang lain lebih
baik, yang dilakukan atas dasar tanggung jawab dan kesukarelaan
tanpa mengharapkan reward eksternal.

6.1.1 Tingkah laku Prososial Pengajar


Sebagaimana kita ketahui bersama keluarga merupakan agen sosial
utama bagi perkembangan karakter remaja, selain dari pada itu
interaksi remaja tidaklah hanya dalam lingkungan rumah, namun
lingkungan sekolah merupakan bagian penting bagi perkembangan
karakter remaja. Menurut Bartal (dalam Nancy Eisenberg 1982) sekolah
mempunyai mempunyai pengaruh yang signifikan tingkah laku positif
anak.
Peran pengajar di sekolah tidak kalah pentingnya bagi
perkembangan karakter remaja. Tingkah laku positif pengajar berupa
tingkah laku prososial menjadi faktor penting bagi menguatnya
karakter yang dimiliki remaja. Dalam proses belajar mengajar
didalamnya tidak hanya transfer knowladge (pengetahuan) semata,

35
namun juga pengajar melatih dan mengarahkan muncul dan
berkembangnya tingkah laku positif pada remaja.

7.Religiusitas

7.1. Pengertian Religiusitas


O’Neil dan Kenny sebagaimana dikutip oleh Cheever et al (2005)
mengemukakan bahwa religiusitas adalah berkaitan dengan
pengalaman spiritual, sistem kepercayaan, praktik dan pengetahuan
keberagamaan seseorang.
Religiusitas, dalam arti luas adalah istilah sosiologis yang
komprehensif yang digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek
kegiatan keagamaan, dedikasi, dan keyakinan (doktrin) agama. Dalam
arti sempit, religiusitas lebih berkaitan dengan bagaimana
keberagamaan seseorang, dan bagaimana kereligiusan seseorang itu
dalam menjalankan ritual tertentu, menceritakan kembali mitos-mitos
tertentu, menghormati simbol-simbol tertentu, atau menerima doktrin-
doktrin tertentu mengenai Tuhan dan akhirat.
Menurut Hill dan teman-teman sebagaimana dikutip oleh
Worthington, at. al, (2003) mendefinisikan religiusitas adalah perasaan,
pikiran, pengalaman, dan perilaku dalam mencari kesucian. Religiusitas
merupakan keterikatan atau internalisasi seseorang terhadap
agamanya, bagaimana ia memaknai dan menjalankan nilai/ norma
agama dalam hidup kesehariannya. Dalam penelitian ini definisi yang
digunakan untuk religiusitas atau keberagamaan adalah kadar
keterikatan atau internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan
seseorang.
Smelser sebagaimana dikutip oleh R. Sreekumar (2008)
menyatakan bahwa agama yang merupakan pedoman hidup bagi
pengikutnya mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan
manusia di semua masyarakat, karena agama menyediakan
seperangkat aturan atau norma-norma untuk membimbing perilaku
anggotanya. Di negara-negara Timur, kegiatan keagamaan umumnya
ditemukan sebagai bagian yang melekat pada kehidupan masyarakat
setempat.
Banyak studi telah mengeksplorasi komponen religiusitas
manusia (Brink, 1993; Hill & Hood 1999). Beberapa dimensi
(mereka menggunakan analisis faktor) yang ditemukan dalam
religiusitas, misalnya, Cornwall, Albrecht, Cunningham dan Pitcher
36
(1986) mengidentifikasi enam dimensi religiusitas didasarkan pada
pemahaman bahwa paling tidak ada tiga komponen untuk perilaku
keagamaan: pengetahuan (cognition), perasaan (affect), dan prilaku
(behaviour). Untuk masing-masing komponen religiusitas tersebut
dibagi menjadi dua sehingga menghasilkan enam sub-dimensi:
 Pengetahuan (cognition)
- Tradisional ortodok
- Particularistic ortodok
 Perasaan (affect)
- Spiritual
- Komitmen ke gereja
- Fisik
 Perilaku (behaviour).
- Perilaku religius
- Partisipasi keagamaan
Dimensi-dimensi religiusitas ini dari satu peneliti dengan peneliti
lain menemukan dimensi yang berbeda, mulai dari empat sampai
sebelas komponen.
Setiap agama didukung oleh sebuah sistem formal yang dikenal
dengan keyakinan. Keyakinan agama dapat didefinisikan sebagai
konsepsi ide-ide agama yang kuat dan mantap. Kepercayaan dalam
beragama berhubungan dengan pikiran individu, perasaan,
persekutuan, dan sistem nilai yang dikembangkan sebagai hasil dari
pertimbangan terhadap hal yang berhubungan dengan Illahiah (Wald
& Smidt, 1993 dalam R. Sreekumar 2008)). Agama juga merupakan
seperangkat praktek-praktek spesifik yang mencakup semua jenis
perilaku keagamaan. Praktik agama dari satu kebudayaan dengan
kebudayaan lain berbeda-beda. Seperti salat/sembahyang/berdoa,
bernyanyi, meditasi, mengunjungi tempat-tempat ibadah, membaca
kitab suci, puasa pada hari-hari tertentu, dan sebagainya. Doa adalah
salah satu yang paling penting dalam praktik keagamaan. Dalam
berdoa seseorang merasa Allah hadir dan berkomunikasi dengan-Nya.
Reed dalam R. Sreekumar (2008) mengemukakan bahwa
spiritualitas merupakan konsep yang jauh lebih sulit untuk
didefinisikan dan diukur, seperti pandangan dan perilaku pribadi
yang mengungkapkan rasa keterkaitan dengan dimensi transendental
atau sesuatu yang lebih berkuasa dari diri. Spiritualitas adalah roh
agama. Semua kitab suci agama secara formal merujuk kepada domain
rohani. Geldard & Geldard (1999) mengemukakan bahwa secara
37
konvensional, kitab suci agama merujuk kepada partisipasi yang
terorganisasi dari praktik keagamaan dalam aspek spiritualitas.
Spiritualitas sering ditunjukkan melalui cara yang lebih mendasar
dalam pencarian makna melalui pengalaman hidup sehari-hari.
R. Sreekumar (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa
keyakinan agama, praktik, dan pengalaman spiritualitas memiliki
korelasi positif yang signifikan dengan kesejahteraan subjektif. Dengan
analisis jalur yang dilakukan, menunjukkan bahwa spiritualitas secara
keseluruhan memiliki efek terbesar terhadap subjective well-being.
Pengaruh langsung keyakinan keagamaan terhadap subjective well-
being sedikit negatif tetapi pengaruh tidak langsung adalah positif.
Baik efek langsung maupun tidak langsung praktek-praktek
keagamaan terhadap subjective well-being adalah positif. Dengan
melibatkan variabel praktik keagamaan dan spiritualitas merupakan
hal sangat penting untuk memahami hubungan antara keyakinan
agama dan subjective well-being.
Beberapa penelitian menemukan bahwa orang-orang yang
religius lebih berbahagia dan kurang merasa tertekan (Rudin, 2006).
Survei yang dilakukan oleh Gallup, National Opinion Research Center
dan Pew Organisasi menyimpulkan bahwa orang yang menjalankan
agama (spritually committed people) dua kali lebih banyak melaporkan
dirinya sangat bahagia dari pada orang yang tidak menjalankan ritual
agamanya (Myers, 2007). Analisis yang dilakukan terhadap lebih dari
200 penelitian sosial melaporkan bahwa kereligiusan yang tinggi
memprediksi resiko depresi dan penyalahgunaan obat yang lebih
rendah, usaha untuk bunuh diri lebih kecil, merasakan lebih puas
dalam kehidupan seks dan merasa sejahtera (Smith, et al, 2003).
Kemudian review terhadap 498 penelitian yang diterbitkan oleh
kelompok review jurnal menyimpulkan bahwa komitmen beragama
berkorelasi positif dengan perasaan sejahtera, self-esteem yang tinggi,
tingkat hipertensi yang lebih rendah, depresi dan clinical delinquency
yang rendah (Bryan Johnson & Colleagues at the University of
Pennsylvania, 2002). Meta analisis dari 34 studi yang diterbitkan antara
tahun 1990 sampai 2001 menemukan bahwa religiusitas memiliki
hubungan bermakna dengan penyesuaian psikologis, karena
berhubungan dengan rendahnya tekanan psikologis, kepuasan hidup
lebih banyak dan aktualisasi diri lebih baik (Hackney., at al, 2003).
Akhirnya, sebuah tinjauan sistematik terhadap 850 makalah penelitian
dengan topik “The majority of well” menyimpulkan bahwa tingkat
38
keterlibatan agama yang lebih tinggi secara positif berhubungan
dengan indikator kesejahteraan psikologis (kepuasan hidup,
kebahagiaan, affect positif dan semangat kerja yang tinggi), depresi,
keinginan untuk bunuh diri, penyalahgunaan obat/menggunakan
alkohol lebih sedikit (Moreira., at al. 2006).
Ellison dan teman-teman (2001) menemukan bahwa kehadiran di
gereja memiliki efek menguntungkan yang konsisten dengan
mengontrol berbagai sosiodemographi dan psikososial. Sebuah studi
yang dilakukan oleh Fry (2000) mengungkapkan bahwa makna
pribadi, keterlibatan dalam agama secara formal, partisipasi dalam
kegiatan-kegiatan spiritual, merasa agama penting, rasa damai dengan
diri sendiri, dan aksesibilitas ke sumber-sumber agama adalah
prediktor signifikan kesejahteraan. MacKenzie dan teman-teman (2000)
mengemukakan banyaknya ungkapan yang meyakinkan yang
menyatakan bahwa memiliki hubungan dengan Tuhan akan
membentuk dasar psikis mereka sejahtera. Brady dan teman-teman
(1999) menemukan bahwa terdapat hubungan antara kereligiusan
dengan kesejahteraan fisik dan kualitas hidup secara keseluruhan.
Berdasarkan temuan penelitian yang telah dipaparkan terdahulu,
maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut: “Keyakinan agama,
praktik keagamaan dan spiritualitas akan berkorelasi positif dan
signifikan dengan subjective well-being”.

7.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Religiusitas


Dari hasil penelitiannya, Thouless (1995 dalam Rahmat, 2003)
mengemukakan beberapa faktor yang dapat menimbulkan religiusitas,
yaitu :
a. Pengaruh pendidikan dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial).
b. Berbagai pengalaman yang membantu sikap keberagaman
terutama pengalaman tentang keindahan, keserasian, kebaikan
(faktor alamiah), konflik moral (faktor moral), dan pengalaman
emosional keagamaan (faktor efektif).
c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari
kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi terutama kebutuhan-
kebutuhan terhadap: (a) keamanan, (b) cinta kasih, (c) harga diri,
dan (d) ancaman kematian.
d. Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual)

39
7.3. Indikator dan Pengukuran Religiusitas
Glock (1962, dalam Rakhmat, 2003)) menjelaskan lima dimensi
religiusitas antara lain: ideologis, ritualistis, eksperensial, intelektual,
dan konsekuensial.

a. Ideologis
Menurut Rackhmat (2003) menjelaskan dimensi ideologis
merupakan bagian dari keberagaman yang berkaitan dengan apa
yang harus dipercayai. Menurut Rakhmat (2003) kepercayaan atau
doktrin agama adalah dimensi yang paling dasar. Inilah yang
membedakan satu agama dengan agama yang lainnya, bahkan satu
mazhab dalam satu agama dari mazhab lainnya. Menurut Rakhmat
(2003) ada tiga kategori kepercayaan:
1). Kepercayaan yang menjadi dasar esensial suatu agama,
contohnya kepercayaan kepada Nabi Muhammad SAW di
dalam Islam, ketuhanan kristus di dalam gereja katolik.
2). Kepercayaan yang berkaitan dengan tujuan Illahi dalam
penciptaan manusia, sebagaiman Allah berfirman:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa
di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun," ( QS Al-Mulk: 2)
3). Kepercayaan yang berkaitan dengan cara terbaik untuk
melaksanakan tujuan Illahi yang di atas. Orang Islam percaya
bahwa untuk beramal saleh, ia harus melakukan pengabdian
kepada Allah dan perkhidmatan kepada sesama manusia. Orang
Buddha percaya bahwa berbuat baik ialah menjalankan delapan
yang benar, misalnya bernapas yang benar, berbicara yang
benar, dan seterusnya.
b. Dimensi ritualistik. Dimensi ritualistik merupakan dimensi
keberagamaan yang berkaitan dengan sejumlah perilaku. Yang
dimaksud dengan perilaku di sini bukanlah perilaku umum yang
dipengaruhi oleh keimanan seseorang, melainkan mengacu kepada
perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama, seperti tata
cara ibadah, pembaptisan, pengakuan dosa, berpuasa, atau
menjalankan ritus-ritus khusus pada hari suci (Rakhmat, 2003).
Dalam Islam dimensi ritualistik sering disebut ibadah mahdoh.
c. Dimensi eksperensial. Dimenis eksperensial berkaitan dengan
perasaan keagamaan yang dialami oleh penganut agama. Psikologi
menamainya religious experience. Pengalaman keagamaan ini bisa
40
saja terjadi sangat moderat, seperti kekhusyukan di dalam shalat
atau sangat intens seperti yang dialami oleh para sufi, kebanyakan
agama timur, seperti hindu dan budha, menekankan dimensi
mistikal ini (Rakhmat, 2003). Menurut William James (2003 dalam
Rakhmat, 2003) perasaan keagamaan yang sangat kuat ketika
agama seperti "demam yang akut", acute fever berada di balik
konversi, peristiwa dramatis yang menyebabkan orang kembali
kepada ajaran agamanya. Sebelum konversi, ia mengalami
kegelisahan eksistensial. Sesudahnya ia mengalami ketenangan
batin dan menemukan makna hidup. Misalnya orang Islam kota
yang meninggalkan kehidupan hura-hura dan melaksanakan
agama secara serius.
d. Dimensi intelektual. Setiap agama memilki sejumlah informasi
khusus yang harus diketahui oleh para pengikutnya. Ilmu fiqh di
dalam Islam menghimpun informasi tentang fatwa ulama
berkenaan dengan ritus-ritus keagamaan; perjanjian baru di dalam
agama kristen memuat pengetahuan tentang kristus dan para
rasulnya. Sikap orang menerima atau menilai ajaran agamanya
berkait erat dengan pengetahuan agamanya itu. Orang yang sangat
dogmatis tidak mau mendengarkan pengetahuan dari kelompok
manapun yang bertentangan dengan keyakinan agamanya.
(Rakhmat, 2003)
e. Dimensi konsekuensial. Dimenis konsekuensial menunjukkan
akibat ajaran agama dalam perilaku umum, yang tidak secara
langsung dan secara khusus ditetapkan dalam agama seperti
dalam dimensi ritualistik. Inilah efek ajaran agama pada perilaku
individu dalam kehidupan sehari-hari. (Rakhmat, 2003)
Dalam penelitian ini religiusitas diteliti mengunakan teori yang
digunakan oleh R. Sreekumar (2008) dalam penelitiannya yang
menemukan bahwa keyakinan agama, praktik, dan pengalaman
spiritualitas memiliki korelasi positif yang signifikan dengan
kesejahteraan subjektif. Keyakinan agama didefinisikan sebagai
konsepsi ide-ide agama yang kuat dan mantap dalam beragama
berhubungan dengan pikiran individu, perasaan, dan sistem nilai yang
dikembangkan sebagai hasil dari pertimbangan terhadap hal yang
berhubungan dengan Ilahiah. Keyakinan agama ini diukur melalui
enam sub indikator yaitu: iman kepada Allah, iman kepada Malaikat,
iman kepada Rasul, iman kepada Kitab, iman kepada hari kiamat dan
iman kepada kadar baik dan buruk. Praktek keagamaan adalah
41
merupakan seperangkat praktek-praktek spesifik yang mencakup
semua jenis perilaku keagamaan. Praktek agama ini diukur melalu tiga
sub indikator yaitu: salat, puasa, zakat. Sedangkan pengalaman
spiritualitas adalah pencarian makna melalui cara yang lebih mendasar
dalam melalui pengalaman hidup sehari-hari seperti pandangan dan
perilaku pribadi yang mengungkapkan rasa keterkaitan dengan
dimensi transendental atau sesuatu yang lebih berkuasa dari diri.
Pengalaman spiritual diukur melalui lima sub indikator yaitu: dari
doa, berserah diri, dari salat, merasakan kehadiran Allah dan merasa
Allah selalu membantu.
Religiusity (agama) merupakan jenis ideologi yang sangat penting
dan mendasar, yang meliputi komitmen yang unik pada setiap
individu, tidak bisa terbantahkan atau argumentasi yang rasional dan
jaringan yang unik dalam relasi antar individu, nyata dan dapat
diimajinasikan. (Argyle and Beit-Hallahmi, 1975. Hal. 5-6)
Adapun deskripsi dari religiusitas adalah suatu sistem keyakinan
terhadap Tuhan atau kekuatan diluar manusia. Dan praktik ibadah,
atau ritual yang diarahkan pada kekuatan di luar manusia. (Argyle
and Beit-Hallahmi, 1975).
Indikator religiusitas
1. Ideologi, mencakup keyakinan agama (Ideological, covering religious
beliefs)
2. Intellektual, mencakup pengetahuan agama (Intellectual, covering
religious knowledge)
3. Ritualistik, mencakup partisipasi dalam ritual keagamaan
(Ritualistic, covering participation in religious rituals)
4. Pengalaman, mencakup pengalaman keberagamaan yang intens
(Eksperiential)

Daftar Pustaka
Anderson Ralp E., 1984, Human Behavior, In The Social Environment:
Social System Approach, Aldine Publishing Company, New York
Bar-Tal, D., (1976), Prosocial Behavior: Theory and Research, New
York, Jhon Wiley & Son
Beit-Hallahmi, Benjamin, (1997), The Psychology of Religious Behavior
, Belief and Experience, Routledge, London and New York
Berndt, T.J., (1982), The Feature and Effect of Friendship In Early
Adolescence, Child Development, 53, 1447-1460
42
Berndt, T. J. And Hoyle, S.G. (1985), Stability and Change in Childhood
and Adolescent Friendship, Developmental Psychology, 21, 1007-
1015
Carr, A. (2004). Positive Psychology: The Science of Happiness and
Human Strengths. New York: Brunner-Routledge.
Colin, V. L. (1993). Human Attachment. New York: McGraw-Hill
Peterson, Christopher & Seligman, Martin E. P. (2003)Values In Action
(VIA) Classification of Strength, Values in Action Institute 2002,
Philadelphia
Dickie, J. R., Eshleman, A. K., Merasco, D. M., Shepard, A., Vander
Wilt, M., & Johnson, M. (1997). Parent-Child Relationships and
Children’s Images of God. Journal for the Scientific Study of
Religion, 36 (1), 25-43
Duckworth, A. L., Steen, T. A., dan Seligman, M. E. P. (2005). Positive
Psychology in Clinical Practice. Annual Review Clinical
Psychology Vol. 1, pp. 629-651.
http://arjournals.annualreviews.org. (17 Maret 2011)

Gable, S. L., dan Haidt, J. (2005). What (and Why) Is Positive


Psychology?. Review of General Psychology Vol. 9, No. 2, pp.
103-110.
http://faculty.virginia.edu/haidtlab/articles/gable.haidt.what-is-
positive-psychology.pdf (15 April 2011)
Hartup, W.W. (1989), On Relationship and Development, in W.W.
Hartup and Z. Rubin, Relationship and Development, Hildate,
N.J.: Eribum
J. M. A. M. Janssen et. Al., 1992, Child Rearing: Influence on Prosocial
and Moral Development, Swes & Zeitlinger B. V., Amsterdam
Jeong Hun Kim; (2008).Virtue and Character Strength, Coping and
Quality of Live for People with Cronic Illness, and Disability,
(Disertation), University
Lestari, M.D., (2006), Adaptasi Alat Ukur Values in Action Inventory
Strength pada Perawat di Rumah Sakit Cengkareng. Depok:
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Lickona, Thomas, (1992), Educating for Character ; How Our Schools
can Teach Respect and Responsibility, Bantam Books, New York
-----------------------, (1994), Raising Good Children; Helping your Child
Through the stage of Moral Development, Bantam Books, New
York
43
Linley, P. A., dan Joseph, S. (2004). Positive Psychology in Practice.
New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.
Hall, C. S., Lindzey, G., dan Campbell, J. B. (1998). Theories of
th
Personality. (4 ed). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Maccoby, E. E. & Martin, J.A. (1983), Socialization in the Context of
Family: Parent Child Interaction. In P.H. Mussen (eds),
Handbook of Child Psy (4™ edition) 1-101, Willey, New York
Mason R. Smith; (2010) The Relationship Between Character Strengths
and Work Satisfaction, (Disertation), Massachusetts School of
Professional Psychology
Mindy Ma , et. al., (2004), The relationship of character strengths to
sexual behaviors and related risks among African American
adolescents, International Journal of Behavioral Medicine
| Volume: 15 | Issue: 4 | Pps: 319-327
Megawangi, Ratna, (2004), Pendidikan Karakter; Solusi yang Tepat
untuk Membangun Bangsa, Indonesian Herritage Foundation,
Jakarta
Nailil, Amani, 2009, Regulasi Emosi dan Kualitas Persahabatan sebagai
Prediktor Kesejahteraan Subjektif pada Remaja Putri di Pondok
Pesantren, Tesis, Univesitas Gajah Mada
W. Nalini, Maria ; (2006) The Relationship Among Personality Trait,
Character Strength, and life Satisfaction in College Student,
(Disertation), University

Park, N. (2004). Character Strengths and Positive Youth Development.


Annals of the American Academy of Political and Social Science
Vol. 591, Positive Development: Realizing the Potential of Youth,
pp. 40-54. http://www.jstor.org/stable/4127634 ( 23 November
2010)
_____, & Peterson, C.,. (2006), Positive Psychology and Character
Strengths:Application to Strengths-Based School Counseling.
Professional School Counseling | Volume: 12 | Issue: 2 | Pps: 85-
92
____, Peterson, C., dan Seligman, M. E. P. (2004). Strengths of Character
and Well-Being. Journal of Social and Clinical Psychology Vol.23,
No. 5, pp. 603-619.
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=737635361&sid=3&Fmt=4
&clientId=45625&RQT=309&VName=PQD

44
Seligman, Martin E &. Peterson, Christopher (2004). Character
strengths and virtues: A handbook and classification.. Oxford:
Oxford University Press. ISBN 0-19-516701-5
Seligman, M. E. P., dan Csikszentmihalyi, M. (2000). Positive
Psychology: An Introduction. American Psychologist Assosiation
Vol. 55, No. 1, pp.5-14
.
Seligman, M. E. P., Parks, A. C., dan Steen, T. (2004). A Balance
Psychology and a Full Life. The Royal Society 359, pp. 1379-1381.
http://www.ppc.sas.upenn.edu/balancedpsychologyarticle.pdf
(29 Juni 2008)

Seligman, M. E. P., Rashid, T., dan Parks, A. C. (2006). Positive


Psychotherapy. American Psychologist Assosiation pp. 774-788.

Seligman, M. E. P., Steen, T. A., Park, N., dan Peterson, C. (2005).


Positive Psychology Progress: Empirical Validation of
Intervension. American Psychologist Assosiation Vol. 60, No. 5,
pp. 410-421.
http://www.authentichappiness.sas.upenn.edu/images/apaarticle
.pdf
Smetana J., Killen M., (2006), Handbook of Moral Development,
Lawrence Erlbaum Associate, Publisher Mahwah, New Jersey,
London
Staub E., 1979, Positive Social Behavior and Morality, Academic Press
Inc, New York
Steinberg, L. (1993), Adolescence, New York, McGrawa-Hil Inc
Turiel, 1980, The Development of Social Conventional and Moral
Concept, dalam M. Wind Miller, N. Lambert & Turiel (Editor)
Moral Development and Socialization, Allyn & Bacon, Boston
William, M.B., (2001), The Company They Keep; Friendship In
Chilhood and Adolescence, Cambrige University Press
Willibald Ruch, René T. Proyer, Claudia Harzer, Nansook Park,
Christopher Peterson, Martin E. P. Seligman, (2004), Values in
Action Inventory of Strengths (VIA-IS), Journal of Individual
Differences | Volume: 31 | Issue: 3 | Pps: 138-149v

45
46
Regulasi Emosi dan Kecerdasan Emosi

Rena Latifa
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta

Definisi Emosi
Emosi merupakan suatu istilah yang biasa kita dengar dalam
kehidupan sehari-hari. Saat mendapat hadiah kejutan di supermarket,
individu berkata bahwa dirinya ‘bahagia’. Ketika mendengar kabar
meninggalnya keluarga dekat, individu menangis dan ‘bersedih’.
Bahagia dan sedih adalah contoh kata yang sering kita dengar dalam
keseharian kita, dan disebut sebagai salah satu jenis emosi yang dapat
dialami manusia.
Bagi manusia, emosi tidak hanya berfungsi untuk survival atau
sekedar untuk mempertahankan hidup. Akan tetapi, emosi juga
berfungsi sebagai energizer atau pembangkit energi yang memberikan
kegairahan dalam kehidupan manusia. Selain itu, emosi juga
merupakan messenger atau pembawa pesan. Survival, yaitu sebagai
sarana untuk mempertahankan hidup. Emosi memberikan kekuatan
pada manusia untuk membeda dan mempertahankan diri terhadap
adanya gangguan atau rintangan. Adanya perasaan cinta, sayang,
cemburu, marah, atau benci, membuat manusia dapat menikmati
hidup dalam kebersamaan dengan manusia lain. Energizer, yaitu
sebagai pembangkit energi. Emosi dapat memberikan kita semangat
dalam bekerja bahkan juga semangat untuk hidup. Contohnya
perasaan cinta dan sayang. Namun, emosi juga dapat memberikan
dampak negatif yang membuat kita merasakan hari-hari yang suram
dan nyaris tidak ada semangat untuk hidup. Contohnya perasaan
sedih dan benci. Messenger, yaitu sebagai pembawa pesan. Emosi
memberitahu kita bagaimana keadaan orang-orang yang berada di
sekitar kita, terutama orang-orang yang kita cintai dan sayangi,
sehingga kita dapat memahami dan melakukan sesuatu yang tepat
dengan kondisi tersebut. Bayangkan jika tidak ada emosi, kita tidak
tahu bahwa di sekitar kita ada orang yang sedih karena sesuatu hal
yang terjadi dalam keadaan seperti itu mungkin kita akan tertawa-
tawa bahagia sehingga membuat seseorang yang sedang bersedih
merasa bahwa kita bersikap empati terhadapnya.

47
Betapapun seringnya kita mendengar istilah emosi,
menggunakannya dalam interaksi sehari-hari, menyaksikan kejadian-
kejadian yang berkaitan dengannya, nampak masih terbatas
pemahaman kita terkait konsep emosi ini. Sehingga tak jarang, kita
menjadi kesulitan dan menderita berkepanjangan jika emosi yang tak
diharapkan ternyata terus menerus menyinggahi kehidupan kita.
Emosi berasal dari bahasa latin yang menunjukan kata kerja
yakni movere yang berarti ”menggerakan, bergerak”, ditambah awalan
’e untuk memberi arti ”bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa
kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi
(Goleman, 2007). Dalam Oxford English Dictionary, emosi secara
harfiah diartikan sebagai kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan,
nafsu setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.
Menurut Chaplin (2001), emosi adalah keadaan reaksi kompleks
mendalam dan ekspresif yang mencakup perubahan-perubahan
perasaan maupun perilaku yang disadari maupun tidak dan dapat
dianalisa. Perasaan selalu menjadi bagian dari emosi, hal ini
disebabkan karena kemunculan perubahan jasmani yang menyertai
emosi lebih mudah diamati. Singgih Dirgagunarsa (1996) dalam
bukunya ‘Pengantar Psikologi’ membedakan antara perasaan dan
emosi. Menurutnya, perasaan (feeling) dapat mempunyai dua arti.
Ditinjau secara fisiologis, perasaan berarti penginderaan yakni
merupakan salah satu fungsi tubuh untuk mengadakan kontak dengan
dunia luar. Dalam arti psikologis, perasaan mempunyai fungsi menilai,
yaitu penilaian terhadap suatu hal. Makna penilaian ini nampak
misalnya dalam ungkapan berikut: “Saya rasa nanti sore hari akan
hujan”. Ungkapan itu berarti bahwa menurut penilaian saya, nanti sore
hari akan hujan. Sementara itu, emosi mempunyai arti yang agak
berbeda. Di dalam pengertian emosi sudah terkandung unsur perasaan
yang mendalam (intense). Emosi berasal dari kata ‘emotus’ atau
‘emovere’ yang artinya menggerakkan (to stir up), yaitu sesuatu yang
mendorong terhadap sesuatu. Misalnya emosi gembira mendorong
perubahan suasana hati seseorang yang menyebabkan orang itu
tertawa. Misalnya lagi ialah marah, yang merupakan suasana hati
untuk menyerang atau mencerca sesuatu. Berdasarkan pendapat dari 2
tokoh ini, dapat disimpulkan bahwa emosi lebih intens daripada
perasaan biasa dan mencakup pula satu organisme selaku satu
totalitas. Emosi berlaku sebagai sumber energi, autentisitas dan
semangat manusia yang paling kuat dan dapat memberikan kita
48
sumber kebijakan intuitif, yaitu kebijakan untuk mendengarkan suara
hati dalam setiap pengambilan keputusan.
Drever (1986) mengartikan emosi sebagai suatu keadaan yang
kompleks dari organisme yang menyangkut perubahan jasmani yang
luas sifatnya (dalam pernafasan, denyut, sekresi kelenjar, dan
sebagainya) dan pada sisi kejiwaan, suatu keadaan terangsang yang
ditandai oleh perasaan yang kuat dan biasanya merupakan suatu
dorongan ke arah suatu bentuk tingkah laku tertentu. Emosional
menurut Drever (1986) merupakan istilah yang dipakai dalam
pengertian semi teknis untuk :
1. Suatu bias kecenderungan, yang disebabkan attitude (sikap), yang
emosional dalam melihat atau menafsirkan fakta.
2. Expression, yang menunjukkan berbagai perubahan motor dan
kelenjar yang menyertai rangsangan emosi, terutama yang
menimbulkan suatu gambaran yang sedikit banyak bersifat khusus
dan dapat diamati dari luar.
3. Pattern (pola) dalam pengertian yang praktis sama, akan tetapi
dengan tekanan khusus pada pengelompokkan riil dari reaksi
motor dan kelenjar.
Kemudian Ekman (1999) mendefinisikan emosi sebagai respon
individu terhadap benda, orang, dan situasi. Respon ini dapat
menyenangkan atau positif tetapi dapat juga tidak menyenangkan atau
negatif. Carver dan Scheier (dalam Gross, 1998) mendefinisikan emosi
sebagai suatu sistem yang memantau tingkatan kesenjangan antara
tujuan/harapan dengan realitas/kenyataan. Sementara William James
memandang emosi sebagai bentuk penyesuaian diri individu atas
respon fisik dan psikis yang dialami pada suatu situasi bermakna.
Secara fisiologis, simtem limbik yang terdapat di dalam susunan syaraf
manusia sering dikaitkan dengan emosi ini sehingga gangguan pada
sistem limbik dapat mengakibatkan kesulitan mengendalikan emosi;
terutama jika terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Contoh reaksi mudah mengamuk, marah, agresif, menangis, takut
pada hal-hal tertentu, dan mendadak tertawa tanpa stimulus yang jelas
sebagai akibat dari adanya gangguan pada sistem limbik.
Dari definisi-definisi yang telah disebutkan di atas, tampak
adanya perbedaan definisi antara ahli yang satu dengan lainnya. Hal
ini disebabkan oleh adanya ragam teori yang melandasi terbentuknya
definisi tersebut, dalam usaha menerangkan timbulnya gejala emosi.
Para pakar pendahulu telah mencoba mengemukakan beberapa
49
definisi dan membangun teori tentang emosi. Beberapa teori yang
melandasi terbentuknya definisi mengenai emosi dibahas pada bab ini.

Teori-teori awal tentang emosi


Teori awal tentang emosi berakar pada pandangan para filsuf Yunani
Kuno (Strongman, 2003). Plato pernah memaparkan bahwa emosi
adalah sesuatu yang ‘menggerakkan’, ‘menginterupsi’ pikiran
manusia. Ia menyebut emosi berada di antara ‘ruh’ dan ‘selera’.
Pendefinisian ini dianggap kurang dapat menjelaskan, kemudian
diperbaiki oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles, terdapat suatu hal di
atas tingkat pemikiran tinggi dan di bawah kemampuan penginderaan,
hal ini dinamakan emosi. Biasanya kehadirannya dipengaruhi oleh
cara pandang kita terhadap dunia sekitar. Bentuk-bentuk emosi yang
dapat dirasakan menurut Aristoteles ialah rasa senang dan rasa sakit,
serta emosi spesifik berupa marah, takut dan merasa kasihan.
Kemudian, Descartes melengkapi bahwa pengalaman emosi erat
kaitannya dengan proses kognisi, melibatkan persepsi, keyakinan-
keyakinan yang dimiliki hingga kapasitas mengingat. Berdasarkan hal
ini, Descartes meyakini adanya keterlibatan fisiologis atau fungsi-
fungsi organ (seperti misalnya kelenjar-kelenjar di dalam tubuh dan
organ lainnya) dengan terjadinya pengalaman emosi pada individu.
Selanjutnya Darwin. Tokoh ini memberi pengaruh yang cukup
besar dalam memberikan pemahaman tentang emosi. Teorinya
mengutarakan bahwa emosi tidak berevolusi, tidak bergantung pada
natural selection (emosi yang tidak adaptif di alam, maka akan punah
dengan sendirinya). Menurutnya, jaringan sistem syaraf lah yang
membuat emosi bertahan lama dan membentuk kebiasaan ‘warisan
turun temurun’ (old habits) tentang emosi. Teori Darwin ini kemudian
berimplikasi pada kemunculan teori-teori selanjutnya.
McDougall: teorinya tentang emosi didasarkan pada basis
biologis dan sering dikaitkan dengan motivasi (penggerak) perilaku
manusia, dimana kapasitas perilaku untuk mencapai tujuan tertentu
(goals) bergantung pada fungsi-fungsi psikologis termasuk emosi.
Seperti misalnya manusia mencari makan adalah untuk tujuan
menghindari hadirnya rasa lapar.
James-Lange: tokoh ini adalah tokoh yang paling terkenal dalam
pembahasannya tentang emosi, sebab teori yang dipaparkannya telah
menstimulasi adanya penelitian dan berkembangnya teori baru. Teori
ini dikembangkan oleh William James dari Amerika Serikat (1884) dan
50
Carl Lange dari Denmark (1885) sehingga teori ini dikenal sebagai teori
James-Lange. William James mengemukaan bahwa faktor penting
untuk timbulnya emosi ialah adanya perubahan-perubahan pada
elemen-elemen visceral. Carl Lange menjelaskan emosi terjadi karena
perubahan-perubahan pada sistem vasomotor (otot-otot). Pendapat
keduanya ini disimpulkan bahwa perubahan-perubahan psikologis
yang terjadi dalam emosi disebabkan oleh karena adanya perubahan-
perubahan fisiologis. Suatu peristiwa dipersepsikan menimbulkan
perubahan-perubahan fisiologis dan perubahan-perubahan fisiologis
ini menyebabkan perubahan-perubahan psikologis yang disebut
emosi. Dengan perkataan lain, menurut James-Lange, seseorang bukan
tertawa karena senang, melainkan ia senang karena tertawa. Inti utama
teori ini memaparkan bahwa pengalaman emosional senantiasa
disusul oleh munculnya suatu perilaku fisiologis; misal saat individu
mengalami perasaan takut maka jantungnya berdebar-debar, untuk
kemudian muncul respon lari, menghindar atau menutup mata.
Cannon-Bard: teori ini merupakan teori alternatif yang
merupakan kritik atas teori James-Lange. Pada tahun 1929 W.B.
Cannon mengajukan suatu teori tentang emosi yang kemudian
diperkuat oleh Phillip Bard. Teori ini dikenal sebagai teori Cannon-
Bard atau teori ‘emergency’. Teori ini mengatakan bahwa emosi tidak
lain adalah reaksi yang diberikan oleh organisme dalam situasi
emergency (darurat). Teori ini didasarkan pada pendapat bahwa ada
antagonisme (fungsi yang bertentangan) antara saraf-saraf simpatis
dengan cabang-cabang cranial dan sacral daripada susunan syaraf
otonom. Jadi kalau saraf-saraf simpatis aktif, maka saraf otonom non-
aktif dan demikian sebaliknya. Eksperimen yang dilakukan untuk
membuktikan teori ini adalah sebagai berikut: Seekor kucing diberi
makanan yang mengandung barium, yaitu suatu zat yang dapat
kelihatan jika difoto rontgen. Setelah barium berada di dalam perut,
difoto dengan rontgen, ternyata barium itu sedang bergerak-gerak
mengikuti irama gerakan usus yang normal yang sedang mencernakan
makanan. Kemudian ke dalam ruangan dimasukkan seekor anjing.
Melihat anjing, kucing jadi emosional dan memberikan reaksi marah.
Setelah itu anjing dikeluarkan lagi dari ruangan, perut kucing
dirontgen lagi, ternyata gerakan pencernaan terhenti sampai kira-kira
15 menit setelahnya. Jelaslah bahwa gerakan-gerakan otot yang dalam
keadaan normal dirangsang oleh saraf-saraf parasimpatis, pada waktu
keadaan emosionil dihentikan kegiatannya. Semua energi yang ada
51
pada waktu itu dikerahkan untuk melayani saraf simpatis. Temuan
Cannon-Bard dalam ruang bedah menunjukkan bahwa pengalaman
emosi masih tetap terjadi meskipun telah terpisahnya syaraf-syaraf
pembentuk perilaku, sehingga disimpulkan tidak terdapatnya
hubungan antara pengalaman emosi dengan perilaku fisiologis.
Perbedaan antara teori James-Lange dengan teori Cannon-Bard adalah
bahwa dalam teori James-Lange reaksi-reaksi badan terjadi sebelum
terjadinya emosi, sedangkan dalam teori Cannon-Bard reaksi-reaksi
badan timbul bersamaan waktunya dengan emosi.

Teori-teori spesifik
Terdapat beberapa kelompok besar yang mewakili teori abad modern
ini. Diantaranya pandangan dari teori fenomenologis. Emosi
berdasarkan sudut pandang teori ini adalah didasarkan atas
pengalaman nyata yang dialami individu kemudian membentuk
struktur internal dan dipersepsikan secara subjektif oleh individu. Jadi,
emosi merupakan sebuah cara dalam mentransformasi dunia ke dalam
alam pikiran subjektif, bagaimana individu beradaptasi dengan
pengalaman-pengalaman dari dunia luar. Hal penting dari teori ini
ialah bagaimana ‘memaknai’ sebuah pengalaman emosi, sebagai
bagian dari pemaknaan atas atmosfir lingkungan sosial. Analisis-
analisis yang digunakan dalam memaknai pengalaman-pengalaman
emosi ini berfokus pada proses identitas dan pada diri (identity and the
self), secara penuh kesadaran, melibatkan aspek subjektif dan objektif.
Beberapa tokoh yang termasuk dalam kelompok teori fenomenologis
ini yakni Sartre, Stumpf, Hillman, Denzin (dalam Strongman, 2003).
Kemudian terdapat kelompok teori behavioristik yang dimulai
sejak Watson hingga Millenson. Teori dan penelitian di bidang
behavioristik menekankan pada hal-hal yang bersifat dapat diamati
(observable) dan terukur (measurable). Sehingga emosi dalam kajian teori
ini dikaitkan dengan sejumlah besar respon-respon (dalam hal ini
adalah respon yang dapat diamati seperti: ekspresi wajah, gerakan
badan) sebagai alat pertahanan hidup, dan respon-respon ini jika
terjadi secara berulang maka akan menjadi sebuah respon
terkondisikan. Maka kompleksitas pengalaman emosi berkembang
melalui proses belajar dan pengkondisian, melibatkan penguatan
(reinforcement) atau punishment. Contoh eksperimen Watson
menggunakan sample Little Albert, dapat menjelaskan tentang
pembentukan reaksi emosi yang distimulasi lingkungan dan
52
dikondisikan kehadirannya. Pada eksperimen ini Little Albert
menampilkan emosi takut karena dikondisikan oleh lingkungan, yaitu
berupa stimulasi menakutkan dari Watson di laboratorium.
Teori fisiologis. Inti dari teori ini ialah mengkaitkan pengalaman
emosi dengan proses-proses yang terjadi di sistem syaraf manusia,
dimana terkait dengan proses pada sistem syaraf pusat, syaraf perifer
dan sistem endokrin yang berperan dalam regulasi hormonal sehingga
dapat menghasilkan pengalaman emosi dan pengekspresiannya.
Secara khusus disebutkan bahwa emosi manusia berproses di dalam
sistem limbik. Sistem ini menyimpan banyak informasi yang tidak
tersentuh oleh indera, sehingga disebut sebagai otak emosi. Di
samping mengendalikan emosi, sistem limbik juga mengendalikan
hormon, memelihara keseimbangan, rasa haus, lapar, seksualitas,
pusat rasa senang, metabolism serta memori jangka panjang
Teori ini juga menjelaskan adanya perbedaan yang terjadi pada
masing-masing bagian sistem syaraf. Misalnya pada bagian yang
bernama amygdala menunjukkan perbedaan aktivitas saat terjadi
emosi marah dan emosi sedih. Respon-respon fisiologis yang tampil
juga mengalami perubahan, seperti suhu tubuh, atau perubahan otot
wajah.
Menurut teori ini, kebangkitan emosi kita pertama kali muncul
akibat adanya stimulus atau sebuah peristiwa, yang bisa netral, positif
ataupun negatif. Stimulus tersebut kemudian ditangkap oleh reseptor
kita, lalu melalui otak, kita menginterpretasikan kejadian tersebut
sesuai dengan kondisi pengalaman dan kebiasaan kita dalam
mempersepsikan sebuah kejadian. Interpretasi yang kita buat
kemudian memunculkan perubahan secara internal dalam tubuh kita.
Perubahan tersebut misalnya napas tersengal, mata memerah, keluar
air mata, dada menjadi sesak, perubahan raut wajah, intonasi suara,
cara menatap dan perubahan tekanan darah.
Emosi manusia selalu melibatkan jaringan kerja yang
menyebabkan perubahan fisiologis cukup rumit, yang mempengaruhi
jiwa dan tubuh secara simultan. Cara kerja emosi berdasarkan teori
fisiologis ini dapat digambarkan sebagai berikut (Syukur, 2011):
(a) Melalui sensasi tubuh
Ketika sebuah stimulus dirasakan oleh indera, impuls (sinyal
atau pesan) dikirim melalui saraf-saraf yang menuju ke pusat
otak. Saat berada di pusat otak ini, proses impuls yang terjadi
terbagi menjadi dua. Sebagian impuls terkirim ke korteks, tempat
53
stimulus disadari dan emosi dirasakan. Sedangkan bagian yang
lainnya terkirim menuju otot yang menjadi tempat perubahan
tubuh.
(b) Interpretasi sensasi
Hadirnya sebuah stimulus di hadapan individu, tidaklah hanya
menimbulkan sensasi fisiologis, tetapi juga memunculkan sebuah
interpretasi. Jika sensasi tubuh dapat menentukan besaran
intensitas emosi, maka interpretasi atas sensasi tersebut dapat
menentukan kualitas atau makna sebuah emosi.
Interpretasi ini banyak dipengaruhi oleh gambaran mental
(sesuatu yang dipikirkan). Sebagai contoh, saat mengalami emosi
marah, individu dapat merasakan seberapa kuat kemarahan
tersebut melalui proses menyadari perubahan fisiologis apa saja
yang terjadi pada tubuh. Sementara, jika individu ingin
memahami penyebab marah dan arti lain dari kemarahannya,
maka proses interpretasi lah yang berperan dalam hal ini.
(c) Respon adaptif
Setelah melakukan proses penilaian seperti dijelaskan pada
bagian (b) di atas, penilaian tersebut kemudian menjadi petunjuk
atau penentu perilaku yang akan dilakukan. Terdapat dua
bentuk respon emosi yakni fight (menghadapi) atau flight
(menghindari). Respon ini merupakan bentuk respon adaptif bagi
manusia mempertahankan hidup.

Teori kognitif. Teori ini menekankan adanya pengaruh fungsi-


fungsi kognitif pada kejadian pengalaman emosi seseorang. Emosi
lebih banyak ditentukan oleh hasil interpretasi kita terhadap sebuah
peristiwa. Kita bisa memandang dan menginterpretasikan sebuah
peristiwa dalam persepsi atau penilaian kita secara negatif, tidak
menyenangkan, menyengsarakan, menjengkelkan, mengecewakan
atau sebaliknya dalam persepsi yang lebih positif seperti sebuah
kewajaran, hal yang indah, sesuatu yang mengharukan, atau
membahagiakan.
Dalam hal ini, Lazarus, salah satu tokoh dalam kelompok teori
kognitif ini, mengatakan bahwa setiap reaksi emosi difungsikan oleh
sejenis proses penilaian yang terjadi dalam kognisi (Strongman, 2003).
Proses-proses ini dapat disadari, tidak disadari, automatis atau
habitual. Salah satu fungsi kognitif yang ada misalnya adalah terkait
dengan memori atau kemampuan penyimpanan dan mengingat
54
informasi. Memori diketahui dapat membangkitkan pengalaman-
pengalaman emosi positif atau negatif.
Kata kognisi menunjuk pada cara orang memproses informasi,
termasuk aktivitas seperti pikiran, persepsi, interpretasi, atensi,
memori dan pengetahuan. Bagaimana seseorang menilai situasi dan
bagaimana cara mereka menginterpretasikan suatu kejadian akan
sangat berpengaruh terhadap kondisi reaksi emosional yang kemudian
akan mempengaruhi tindakan yang akan dilakukan. Skema pola
interpretasi ini sangat erat hubungannya dengan latar belakang
pengalaman, perkembangan nilai-nilai, dan kapasitas diri.
Burns (dalam Safaria dan Saputra, 2009) menyatakan
keseimbangan emosional dapat dihasilkan melalui persepsi individu
dalam memberi penilaian terhadap setiap deretan persitiwa yang telah
dilewatinya dalam dunia ini. Semua penilaian tentang setiap peristiwa
tersebut tergantung dari self talking individu dengan pikirannya, yang
sering disebut sebagai ‘dialog internal’. Apapun tanggapan dari
pikiran tersebut tergantung dari seberapa baik individu mengenal
sederetan peristiwa positif maupun negatif yang berada dalam
pikirannya. Penilaian ini pada akhirnya akan menghasilkan suatu
perasaan yang diciptakan secara otomatis dari pikiran-pikiran individu
tersebut.
Penilaian-penilaian yang terjadi dalam pikiran individu,
tentunya diolah dan sangat ditentukan oleh seberapa baik pengamatan
individu tersebut pada suatu situasi. Tidak jarang penilaian tersebut
mengalami kekacauan kognitif atau disebut sebagai distorsi kognitif.
Burns menyebutkan ada sepuluh distorsi atau kekacauan kognitif yang
dapat mengakibatkan kegalauan emosi, yakni:
1) Pemikiran “segalanya atau tidak sama sekali”
2) Terlalu menggeneralisasi, yaitu memandang peristiwa yang
negative sebagai sebuah kekalahan tanpa akhir.
3) Adanya filter mental. Yakni menemukan sebuah hal kecil yang
negatif dan terus memikirkannya sehingga pandangan dalam diri
individu menjadi gelap.
4) Mendiskualifikasikan yang positif, yaitu menolak pengalaman-
pengalaman positif dengan bersikeras bahwa semua itu “bukan
apa-apa”.
5) Membuat loncatan kesimpulan, atau terlalu dini menyimpulkan
sesuatu. Biasanya dalam hal ini individu membuat sebuah
penafsiran negatif walaupun tidak ada fakta jelas dalam
55
mendukung kesimpulan tersebut. Loncatan kesimpulan terbagi
menjadi dua jenis yaitu: membaca pikiran (sewenang-wenang
dalam menyimpulkan bila ada seseorang yang bereaksi negative
terhadap diri individu yang merasakannya), serta kecenderungan
seolah-olah dapat meramal suatu kejadian yang berupa
pengharapan terhadap segala sesuatu, dimana sesuatu hal ini
dianggap dapat berubah menjadi sangat buruk dan pengharapan
yang ada tersebut membuat diri individu yang merasakannya
sangat yakin bahwa ramalan yang dilakukannya merupakan suatu
fakta yang pasti.
6) Melebih-lebihkan pentingnya segala sesuatu hal (misalnya
kesuksesan orang lain atau kesalahan diri sendiri).
7) Penalaran emosional, yaitu menganggap bahwa emosi-emosi yang
negative mencerminkan bagaimana sebenarnya realita yang terjadi.
8) Pernyataan harus. Dalam hal ini individu mencoba menggerakkan
diri sendiri dengan berkata “harus’ pada dirinya sendiri, seolah-
olah harus dicambuk untuk melakukan sesuatu.
9) Memberi cap yang salah. Yaitu suatu bentuk ekstrem dari over-
generalisasi. Dalam hal ini individu menguraikan kesalahan dalam
diri sendiri, dan member cap negatif atas perilaku dirinya.
10) Personalisasi. Yakni memandang diri sebagai penyebab dari suatu
peristiwa eksternal yang negatif. Individu merasa bertanggung
jawab atas semua peristiwa negatif yang terjadi.
Teori perkembangan. Teori ini membahas pentingnya pengaruh
pengalaman emosi pada pencapaian tahap-tahap perkembangan yang
sehat. Terdapat diferensiasi pada tiap-tiap tahap perkembangan: emosi
bayi, emosi kanak-kanak, emosi remaja, emosi dewasa, emosi lansia.
Diferensiasi ini didasarkan atas teori perkembangan kognisi,
psikomotorik dan perkembangan sosial di tiap tahapan tersebut.
Pada teori perkembangan ini juga menyebutkan aspek kelekatan
(attachment) yang dapat mempengaruhi pengalaman emosi seseorang.
Istilah Kelekatan (attachment) untuk pertamakalinya dikemukakan oleh
seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby.
Kemudian formulasi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mary
Ainsworth pada tahun 1969 (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Kelekatan
merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan
anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus
dalam kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney dan Dearing,
2002).
56
Teori kelekatan Bowlby (1969) diperoleh dari hasil
pengamatannya terhadap bayi-bayi manusia dan bayi-bayi primata
dimana bayi-bayi ini mengalami reaksi yang jelas tatkala mereka
terpisah dari orang-orang yang memberi perhatian utama pada
mereka. Bowlby mengamati tiga tahap kecemasan akan pemisahan ini,
yakni tahap protes, tahap keputusasaan dan tahap pelepasan. Tahap
protes (protest stage) terjadi apabila orang yang memberi perhatian ini
tidak kelihatan (hilang dari pandangan), reaksi-reaksi bayi adalah
menangis, tidak mau ditenangkan oleh orang lain dan mencari orang
yang memberi perhatian kepada mereka. Ketika pemisahan itu
berjalan terus, bayi-bayi menjadi tenang, sedih, pasif dan apatis dan
tahap ini disebut tahap keputusasaan. Tahap terakhir ialah satu tahap
yang unik bagi manusia dan disebut tahap pelepasan (detachment).
Pada tahap ini bayi-bayi terlepas secara emosional dari orang lain,
termasuk orang-orang yang memberi perhatian pada mereka. Apabila
orang yang memberi perhatian itu kembali, bayi-bayi itu akan tidak
menghiraukannya dan menjauhinya. Anak-anak yang terlepas dari
ibu, tidak akan bingung bila ibu mereka meninggalkan mereka. Ketika
mereka menjadi lebih matang (tua), mereka bermain dan berinteraksi
dengan orang-orang lain dengan sedikit emosi serta kelihatannya
peramah (suka bergaul) tetapi hubungan-hubungan interpersonal
mereka dangkal dan kurang hangat.
Dari pengamatan-pengamatan itu, Bowlby mengembangkan
teori kelekatannya yang bersandar pada beberapa asumsi
fundamental. Asumsi pertama ialah orang-orang yang memberi
perhatian yang responsif dan dapat diterima (biasanya ibu) yang
menciptakan dasar yang aman bagi anak. Bayi itu perlu mengetahui
bahwa orang yang memberi perhatian dapat diterima dan dapat
dipercaya. Apabila hal yang diterima dan dapat dipercaya ini ada
maka anak dapat mengembangkan dengan lebih baik kepercayaan dan
keamanan dalam eksplorasi dunia. Asumsi kedua, hubungan yang
mengikat (atau tidak adanya hubungan itu) diinternalisasikan dan
berfungsi sebagai suatu model psikologis (internal working model) yang
menjadi dasar dalam hubungan persahabatan serta pernikahan di
masa mendatang.
Bowlby (1969) menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan
cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan
kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Pengertian ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan Ainsworth mengenai kelekatan.
57
Ainsworth (dalam Hetherington dan Parke, 2001) mengatakan bahwa
kelekatan adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu
dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam
suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu. Kelekatan
merupakan suatu hubungan yang didukung oleh tingkah laku lekat
(attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara hubungan
tersebut (Durkin, 1995).
Tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif
dapat disebut kelekatan. Adapun ciri afektif yang menunjukkan
kelekatan adalah: hubungan bertahan cukup lama, ikatan tetap ada
walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak,
bahkan jika figur digantikan oleh orang lain dan kelekatan dengan
figur lekat akan menimbulkan rasa aman (Ainsworth dalam
Hetherington dan Parke, 2001).
Hazan & Shaver (1987) menggunakan tiga kategori kelekatan
yang banyak diutarakan oleh peneliti di bidang psikologi
perkembangan. Jenisnya ialah secure, avoidant, dan anxious/ambivalent.
Individu dengan tipe secure ditandai dengan kenyamanan untuk
berdekatan, berakrab-akrab dengan orang lain dan terdapat saling
keberbutuhan. Sementara individu yang avoidant tidak suka
bergantung dan tidak membutuhkan orang lain serta cenderung
tertutup. Berbeda dengan anxious yang secara posesif ingin selalu
berada dekat dengan orang lain setiap saat.
Hal tersebut mengakibatkan individu dengan secure attachment
dapat dengan mudah mempercayai orang lain, memiliki komitmen
dan lebih puas dalam hubungan sosial, dibanding individu tipe anxious
dan avoidant. Mereka juga cenderung banyak mengalami pengalaman
emosi yang positif dan sedikit pengalaman emosi negatif. Lebih jauh
mereka yang secure, mampu mengelola pengalaman emosi negatif,
dimana saat terjadi suatu hal yang tidak menyenangkan mereka cukup
percaya diri dengan kemampuannya dan apabila dirasa membutuhkan
bantuan orang lain maka ia mampu mencari bantuan untuk
kenyamanan dan dukungan sosial, dan hal ini membuatnya dapat
tetap tenang/stabil. Pada suatu hasil studi (Zimmermann, Maier,
Winter, & Grossmann, 2001), ditemukan bahwa individu yang
memiliki secure attachment dapat berperilaku lebih konstruktif saat
orang lain menampilkan perilaku tidak baik, meskipun sesungguhnya
dapat saja terjadi dampak emosional dari perilaku negatif yang
ditampilkan orang lain tersebut. Sebaliknya pada individu avoidant,
58
jika dihadapkan pada kondisi serupa maka akan menarik diri dari
orang lain dan mengembangkan sikap permusuhan. Sementara
individu anxious bereaksi penuh kecemasan dan sangat rewel atas
kejadian yang menimpa dirinya.
Ketiga macam gaya kelekatan yang telah disebutkan di atas
bukanlah hal yang saling terpisah, tetapi lebih merupakan
kecenderungan-kecenderungan. Seseorang dengan gaya kelekatan
secure pada dasarnya juga memiliki gaya kelekatakan avoidant dan
anxiety, hanya saja kadar atau kualitasnya berbeda (Ainsworth, dalam
Collins & Read, 1991).
Secara spesifik, Jones dan Cunningham (1996) menjabarkan
bahwa anxiety-attachment berkorelasi dengan emosi cemburu dan
emosi kebencian, sehingga individu dengan tipe kelekatan ini
cenderung memicu terjadinya konflik, dibarengi dengan adanya
rendah kompromi dan rendah rasa percaya pada orang lain. Tipe
anxiety ini juga mempersepsikan ancaman terhadap tampilan perilaku
orang lain, dan mempersepsikan bahwa orang lain cenderung tidak
memperhatikan dirinya, tidak senantiasa berada untuknya manakala
dibutuhkan serta orang lain dianggap tidak responsif atas kebutuhan-
kebutuhan individu (Simpson, Collins, Tran, & Haydon, 2007).
Sementara itu, individu dengan tipe kelekatan avoidant manakala
merasa mendapat ancaman atau saat melihat adanya suatu masalah di
depan mata, biasanya akan mengalami distress dan kecemasan pada
level fisiologis. Dan dalam rangka agar tetap survive, individu dengan
tipe avoidant ini akan mengendalikan emosinya dengan cara
menghindari masalah untuk tetap membuatnya nyaman.
Teori sosial: teori ini didasarkan pada pemahaman bahwa reaksi
emosi hadir karena adanya pengaruh interaksi sosial (kehadiran orang
lain). Sehingga secara spesifik, pendekatan dalam teori ini
menggunakan pendekatan dalam ragam jenis hubungan sosial seperti
hubungan romantis (suami/istri, pasangan), sikap-sikap sosial dalam
suatu kelompok dan sejenisnya. Disebabkan oleh interaksi ini maka
individu melakukan pengamatan dan penilaian atas perilaku emosi
orang lain.
Menurut de Rivera (dalam Parkinson, Fischer & Manstead, 2005)
emosi posisinya berada di antara satu individu dengan individu
lainnya. Artinya, emosi hadir karena adanya interaksi antara satu
individu dengan individu lain, dalam rangka penyesuaian diri
individu terhadap situasi interaksinya dengan orang lain. Misal, rasa
59
bersalah hadir manakala merasa akan dijadikan sasaran kesalahan oleh
orang lain; di sisi lain, rasa bangga hadir sebagai respon atas pujian
yang disampaikan oleh orang lain pada diri kita. Dengan demikian,
menurut teori sosial ini, emosi dapat berfungsi untuk menguatkan
hubungan dalam interaksi sosial.
Emosi juga seringkali menjadi alat untuk mengkomunikasikan
pesan-pesan yang kita ingin sampaikan pada orang lain, sebab
menurut teori ini emosi tidak hanya bisa dirasakan oleh orang-orang
yang mengekspresikannya namun dapat pula dirasakan oleh lawan
interaksi kita. Misalnya: “saya dapat merasakan panasnya hatimu atas
kemarahan ini”; “saya dapat memahami betapa mendalamnya
kesedihan yang sedang kamu rasakan”. Hal ini dikarenakan emosi-
emosi yang diekspresikan oleh individu membawa pesan dalam
bentuk bahasa tubuh ataupun ekspresi wajah yang dapat dilihat dan
dinilai oleh lawan interaksi kita. Selain itu, saat berkomunikasi dengan
orang lain atau mengirimkan suatu pesan atau tanda, tentunya secara
disadari kita akan sangat sulit untuk mengubah emosi yang kita alami.
Contohnya, saat kita marah pada orang yang akan ditemui, akan
sangat sulit bagi kita mengubah ekspresi kita untuk tersenyum
meskipun kita telah berniat untuk tidak menunjukkan rasa marah di
depannya.
Teori klinis: teori ini menekankan pada kondisi emosi yang
mengalami disfungsional (kekurangan, kelebihan, kekacauan emosi
yang terjadi pada individu), juga dilihat intensitas dan frekuensinya
seberapa sering terjadi.
Salah satu mazhab yang banyak digunakan dalam teori klinis
ialah teori psikoanalisa. Ada dua hal yang mendasari uraian mengenai
emosi menurut psikoanalisa:
a. Naluri kelamin (sexual instinct), yang oleh Freud disebut juga
sebagai ‘libido’. Libido merupakan motif utama dan fundamental
yang menjadi tenaga pendorong pada bayi-bayi yang baru lahir.
Pada bayi dan anak kecil, yang mendominasi tingkah laku mereka
adalah prinsip kesenangan (pleasure principle). Mereka mencari
kesenangan dengan mengurangi ketegangan-ketegangan di sekitar
daerah erogen (cth: mulut, anus).
b. Naluri terdapat pada Ego. Ini adalah lawan dari Libido. Naluri ini
menganut prinsip kenyataan (reality principle) karena berfungsi
mengawasi dan menguasai libido dalam batas-batas yang dapat
diterima oleh lingkungan. Di lain pihak, Ego juga berusaha
60
memuaskan libidonya. Prinsip kenyataan ini terdapat pada orang-
orang yang sudah lebih dewasa.
Dalam rangka inilah Freud mengembangkan doktrinnya
mengenai emosi, yang kemudian dibatasinya hanya pada ‘anxiety’
(kecemasan) sebagai salah satu bentuk emosi yang sangat penting
dalam teori Psikoanalisa. Anxiety timbul karena pertentangan antara
kedua prinsip tadi, yaitu prinsip kesenangan dan prinsip kenyataan.
Freud beranggapan bahwa psikopatologis adalah hasil dari fiksasi
perkembangan. Jika neurosis merupakan konflik antara id dan ego,
maka psikosis merupakan konflik antara ego dan dunia luar.
Konflik intrapsikis yang berasal dari fiksasi pada masa awal serta
kerusakan ego yang mungkin merupakan hasil dari relasi obyek yang
buruk – turut memperparah gejala psikopatologis tertentu. Secara
umum, dalam pandangan psikoanalitik, kerusakan ego mempengaruhi
interpretasi terhadap realitas dan kontrol terhadap dorongan dari
dalam, seperti seks dan agresi. Gangguan tersebut akibat distorsi
dalam hubungan timbal balik antara ibu dan anak (bayi).
Selain pendapat Freud di atas, Greenberg dan Paivio (dalam
Strongman, 2003) membuat daftar sumber-sumber terjadinya difungsi
atau gangguan emosi:
(1) Stress, yakni saat individu tidak mampu membuat perubahan yang
sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya.
(2) Disorientasi atau inkongruensi yang dialami ketika individu
mencoba menghindari suatu pengalaman emosi.
(3) Kemampuan pemecahan masalah yang rendah saat meregulasi
intensitas emosi.
(4) Trauma atas suatu pengalaman emosi
(5) Respon emosi yang tidak adaptif sehingga pemaknaan emosi
menjadi tidak berfungsi baik.

Regulasi Emosi
Dalam berbagai kondisi, emosi perlu dikelola sebagai bagian dari
penyesuaian diri di kehidupan. Penelitian-penelitian dan tulisan di
bidang Psikologi telah banyak diterbitkan dalam rangka menawarkan
cara-cara pengelolaan emosi dalam banyak situasi, sebab orang-orang
sudah mulai menyadari bahwa kemampuan mengelola emosi memiliki
implikasi langsung pada kualitas hidupnya.
Pengelolaan emosi ini dikenal dengan istilah regulasi emosi, dan
orang-orang yang memiliki kemampuan regulasi ini diketahui sebagai
61
orang dengan kecerdasan emosi yang tinggi. Berdasarkan hal ini,
penulis membuat 2 tema ini berada dalam 1 bab bahasan sehingga
terlihat keterkaitannya satu sama lain.
Terdapat berbagai definisi dari para ahli tentang regulasi emosi,
diantaranya Gross (1998) menyebutkan regulasi emosi sebagai cara
individu mengurangi pengalaman emosi negatif melalui kendali
perilaku dan kendali mental, melibatkan proses kesadaran dan
ketidaksadaran yang dapat meningkatkan pengalaman dan
pengekspresian emosi positif serta mengurangi pengalaman dan
pengekspresian emosi negatif. Sementara itu Koole (2009)
mendefinisikan regulasi emosi sebagai sekumpulan proses yang dilalui
individu saat dihadapkan pada sebuah situasi emosional, prosesnya
sendiri dapat secara otomatis terjadi dan tanpa usaha yang disadari
oleh individu; dimana individu dapat meningkatkan,
mempertahankan atau menurunkan emosi-emosi yang bersifat positif
maupun negatif. Bentuk-bentuk emosi positif dapat berupa
menampilkan rasa ketertarikan (interest), kasih sayang, humor, dan
kegembiraan. Sementara emosi negatif berupa kemarahan, rasa
terhina, jengkel, agresi, gundah, mendominasi, defensif,
takut/khawatir/cemas, merengek.
Selain definisi tersebut, Snyder, Simpson dan Hughes (2006)
menyebutkan regulasi emosi sebagai semua proses yang bertanggung
jawab dalam memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi
emosional, yang dapat mempengaruhi emosi yang dipunyai seseorang,
kapan orang tersebut mengalaminya, dan bagaimana orang tersebut
mengalami atau mengekspresikan emosinya. Regulasi emosi dapat
mencakup proses biologis, sosial, dan tingkah laku dan juga dapat
mencakup proses kognitif sadar dan tidak sadar. Contoh dari proses
biologis adalah emosi yang diregulasi oleh denyut jantung yang cepat.
Regulasi emosi dengan cara sosial, contohnya adalah emosi yang
diregulasi dengan mencari akses sumber dukungan pada hubungan
interpersonal. Dengan cara tingkah laku, contohnya adalah emosi yang
diregulasi melalui berbagai respon tingkah laku seperti berteriak atau
menangis. Emosi juga dapat diregulasi dengan proses kognitif yang
tidak sadar, seperti proses perhatian selektif, distorsi memori; atau
proses yang lebih sadar seperti menyalahkan diri sendiri dan orang
lain.

62
Beberapa ahli mengutarakan tentang bagaimana caranya
meregulasi emosi, salah satunya adalah Koole (2009) yang
memaparkan cara regulasi emosi melalui tabel berikut:
Tabel 9.1. Tipe cara regulasi emosi

Emotion Fungsi Psikologis


Generating Need-oriented Goal-oriented Person-oriented
System
Attention Berpikir tentang Mengusahakan Mengalihkan
hal-hal yang adanya perhatian; meditasi;
menyenangkan distraksi; melatih pikiran
atau yang supresi positif
membuat rileks; pemikiran
menghindari
pemberian
atensi pada
masalah
Knowledge Pengurangan Berpikir ulang Berekspresi melalui
disonansi tentang masalah tulisan; spesifik
kognisi; yang dihadapi pada pengalaman
motivated emosi yang dialami;
reasoning; self mengaktifkan
defense wawasan dan
pengalaman
mengelola emosi
yang pernah ada di
memori
Body Konsumsi Supresi yang Mengatur
makanan pereda diekspresikan; pernafasan;
stress; berafiliasi membesar- relaksasi otot
pada kegiatan besarkan progresif
yang respon;
mengurangi memberi ruang
stress ventilasi bagi
pengekspresian
emosi

Terdapat 5 aspek (Gross, 1998) yang dapat mewakili penjelasan


terjadinya regulasi emosi, yakni:
- Individu mampu mengelola kehadiran emosi, dimana emosi
positif ditingkatkan dan emosi negatif dikurangi.

63
- Tidak terjadinya kesenjangan yang terlalu jauh antara harapan
dengan kenyataan, dan ini dapat diamati lebih jauh melalui jalur-
jalur sistem syaraf yang bekerja.
- Adanya pengaturan diri berupa motif-motif, tujuan dan proses
dalam diri; serta idealnya saat hal ini dapat dikelola juga dapat
mempengaruhi emosi orang lain menjadi lebih baik.
- Mampu memutuskan dan mengubah kondisi yang dianggap
menyedihkan atau tidak menyenangkan, dengan penuh
kesadaran, usaha minim dan pelaksanaan segera.
- Menggunakan strategi kognitif dalam menghadapi emosi negatif
Masih menurut Gross (1998), individu dalam meregulasi
emosinya dapat melalui 5 tahap proses regulasi emosi, yakni sebagai
berikut:
1. Situation selection: Individu dapat memilih untuk mendekati atau
menjauhi situasi, objek, tempat atau orang lain.
2. Situation modification. Ini dapat disamakan dengan jenis strategi
coping problem-focused.
3. Attentional deployment: melibatkan konsentrasi, distraksi, hingga
pencernaan informasi
4. Cognitive change, yakni berupa kemungkinan memodifikasi
evaluasi yang telah dibuat, termasuk juga tentang pertahanan
psikologis yang dibuat karena adanya perbandingan sosial. Secara
umum tahap ini adalah proses transformasi kognisi dalam rangka
mengatasi emotional impact dari suatu situasi.
5. Response modulation, dapat berbentuk respon tindak lanjut yang
melibatkan obat-obatan, alkohol, latihan fisik, terapi, makanan
hingga supresi.
Penjelasan mengenai tahap proses regulasi emosi ini juga
dilengkapi oleh Koole (2009) bahwa regulasi emosi sesungguhnya
terjadi manakala individu memiliki sensitivitas (emotional sensitivity)
dalam mendeteksi adanya respon emosi yang dirasa tidak
menyenangkan atau tidak diinginkan kehadirannya oleh diri individu
(unwanted emotional response). Individu harus pandai memonitor
adanya emosi yang tidak diinginkan hadir tersebut, memonitor situasi
di balik terjadinya emosi yang tidak diinginkan, hingga memonitor
karakteristik dirinya sendiri (kapan dan hal bagaimana yang dapat
membuatnya tidak nyaman atas suatu situasi tertentu atau atas suatu
kondisi emosi yang hadir yang dianggap tidak menyenangkan dan
tidak diinginkan). Emotional sensitivity dapat disimpulkan sebagai
64
antisipasi atas emosi-emosi yang kehadirannya tidak diinginkan, dan
hal ini berhubungan dengan kemampuan regulasi emosi individu
apakah dapat dilakukan secara segera (in the heat of the moment) atau
secara pro-aktif (emosi yang tidak diinginkan tersebut diusahakan
untuk tidak sempat hadir).
Merujuk pada proses tersebut dapat dikatakan bahwa
kemampuan regulasi emosi nyatanya telah mempengaruhi proses
emosi itu sendiri yang telah ada dalam diri individu, yakni
mempengaruhi intensitas emosi yang ada atau yang akan hadir setelah
regulasi emosi terjadi, kesadaran (awareness), hingga dapat
mempengaruhi pengarahan tujuan perilaku individu. Mikulincer,
Shaver, & Pereg (2003) mendukung pendapat ini dengan temuannya
yang menyebutkan kompetensi yang dimiliki individu dalam
meregulasi emosinya sangat kuat dipengaruhi oleh kualitas interaksi
individu di masa kecil dengan pengasuh/ibunya (caregivers) dan lebih
ideal jika berlanjut meningkat prosesnya hingga usia dewasa.
Selanjutnya, lebih jauh dalam penelitian Gross & John (2003)
membagi dimensi regulasi emosi sebagai berikut:
Tabel 9.2. Dimensi regulasi emosi
Dimensi Indikator
Regulasi Emosi
Cognitive  Berpikir ulang tentang masalah yang
reappraisal dihadapi
 Berpikir tentang hal-hal yang
menyenangkan atau yang membuat rileks
 Mengaktifkan wawasan dan pengalaman
mengelola emosi yang pernah ada di
memori
Expressive  Mengusahakan adanya distraksi /
suppression mengalihkan perhatian
 Menghindari pemberian atensi pada
masalah

Kedua dimensi regulasi emosi ini berfokus pada bagaimana cara


individu mengelola emosi-emosi yang tidak diinginkan. Perbedaan di
antara keduanya yakni: appraisal merupakan bentuk antisipasi
sebelum emosi yang tidak diinginkan hadir lebih banyak, sementara
expressive suppression dilakukan segera setelah emosi negatif sudah
sempat hadir.
65
Kognitif reappraisal merupakan evaluasi subjektif individu atas
situasi emosi yang sedang dialaminya dan situasi tersebut dianggap
signifikan (Koole, 2009). Selama proses reappraisal individu berusaha
mengurangi pengaruh emosi negatif atau emosi yang tidak diinginkan
dari suatu kejadian dengan cara mengubah sudut pandangnya. Dalam
proses reappraisal ini individu melibatkan kemampuan kognisinya
terkait tugas-tugas diferensiasi, kompleksitas, dan kesadaran. Bentuk-
bentuk koginitif reappraisal: (1) interpretasi ulang atas situasi atau
konteks dari stimulus (misal: imajinasi atau visualisasi atas perilaku
sedih yang berlarut-larut ternyata akan mempengaruhi wajahnya
menjadi cepat tua), (2) individu membuat jarak dari situasi atau
stimulus yang dianggap tidak menyenangkan olehnya, dapat dengan
cara meminta pendapat orang kedua dan ketiga atas situasi yang
sedang dihadapi. Peran kognitif reappraisal dalam sistem syaraf
ternyata telah diteliti beberapa ahli (Urry et al, 2006), dimana
reappraisal dapat mengaktifkan bagian syaraf yang mengatur sistem
emosi (termasuk amigdala dan insula), serta meningkatkan aktivasi
korteks singulatus dorsal-anterior dan korteks pre-frontal yang
merupakan sistem pengatur memori, bahasa hingga memori jangka
panjang. Reappraisal meningkatkan pengalaman emosi positif pada
individu (Gross & John, 2003). Individu yang menggunakan
reappraisal mampu menjalin hubungan sosial yang lebih baik dan
lebih disukai oleh lingkungan sosialnya, menunjukkan rasa yang lebih
puas pada hidupnya dan optimis, menunjukkan penerimaan diri,
memiliki tujuan hidup yang lebih jelas, serta mampu mandiri (Snyder,
Simpson & Hughes, 2006).
Sementara itu, supresi ekspresi emosi (expressive suppression)
merupakan sebuah tindakan sengaja yang dilakukan individu untuk
menekan emosinya melalui cara mengalihkan perhatian,
mengusahakan adanya distraksi, hingga menghindari pemberian
atensi pada masalah. Kelemahan dari strategi expressive suppression
ini yakni efeknya hanya jangka pendek (sejenak melupakan) namun
nyatanya mengakibatkan individu mengalami perasaan inkongruen,
ada jarak antara pengalaman dunia batinnya dengan ekspresi yang
ditampilkan ke luar (Gross & John, 2003). Robinson & Demaree (2007)
mengistilahkan hal ini sebagai bentuk disonansi ekspresi. Perasaan ini
dapat membuat individu merasa tidak jujur pada dirinya, bukan
menggambarkan dirinya yang sesungguhnya hingga mampu
membuat individu memiliki perasaan negatif terus menerus pada
66
dirinya dan mengalienasi individu dari dirinya sendiri dan dari orang
lain di sekitarnya. Gross & John (2003) menyebutkan expressive
suppression yang kronis dapat menurunkan derajat kesejahteraan
emosi seseorang (individu jadi lebih sering merasakan emosi negatif
dibanding emosi positif). Pada oranggg Asia menggunakan expressive
suppression secara lebih sering dibanding pada budaya Western
(Frijda & Sundararajan, 2007). Pada orang asia ditemukan lebih banyak
menggunakan expressive suppression dalam mengelola emosi demi
menjaga hubungan baik dengan lingkungan sosial (tidak menyakiti
orang lain, tapi memendam dan menjadikan beban bagi diri sendiri).
Regulasi emosi nyatanya telah memberi manfaat bagi individu.
Beberapa manfaat regulasi emosi seperti yang diutarakan oleh Koole
(2009) adalah sebagai berikut:
 Merupakan bentuk proses individu dalam beradaptasi dengan
lingkungan, sehingga dirinya tetap mendapatkan rasa nyaman
dan menghindari rasa sakit atau rasa tidak nyaman yang tidak
diinginkan oleh individu.
 Menyeimbangkan keinginan-keinginan yang dimiliki individu
dengan kenyataan yang biasanya harus dihadapi.
 Mempromosikan terjadinya integrasi dalam proses pembentukan
atau pemeliharaan kepribadian.
 Kemampuan meregulasi emosi dapat meningkatkan fleksibilitas
dalam fungsi-fungsi kepribadian individu.
 Meningkatkan koherensi dan stabilitas jangka panjang pada
keseluruhan sistem kepribadian individu.
Terakhir, dapat dikatakan bahwa regulasi emosi yang telah
dilakukan individu tidak sepenuhnya dapat selalu berhasil. Individu
dapat gagal mengelola emosinya dan masih tetap merasakan dan
menampilkan emosi yang tidak diinginkan, meski sudah sangat
diusahakan untuk menghindari atau meminimalisir kehadirannya. Di
saat individu sudah secara kronis tidak mampu mengelola emosinya
lagi, hal ini akan memberi efek samping pada kehidupan
psikologisnya. Defisit kronis dalam regulasi emosi dapat berkontribusi
pada semua jenis psikopatologis yang parah (Bradley, 2000).

Kecerdasan emosi
Kecerdasan emosi: adalah suatu kemampuan mengidentifikasi, meng-
assess dan mengelola-mengendalikan emosi diri.

67
Terdapat empat pokok yang harus dipenuhi dalam suatu kriteria
kecerdasan emosi (Salovey & Mayer, 1990):
a. Dalam hal persepsi atas emosi dan pengekspresian emosi
 Individu memiliki kemampuan mengidentifikasi emosi pada
kondisi fisik dan psikisnya.
 Mampu mengidentifikasi emosi yang tampak pada orang lain.
 Mampu mengekspresikan emosi secara tepat (akurat), dan
mengekspresikan kebutuhan-kebutuhannya terkait perasaan-
perasaan yang dimiliki tersebut.
 Mampu membedakan mana perasaan-perasaan yang
akurat/jujur dan mana yang tidak akurat/tidak jujur.
b. Penggunaan emosi dalam pemikiran
 Mampu secara langsung berpikir pada prioritas, saat emosi
tertentu hadir.
 Mampu membuat penilaian dan ingatan yang sehat.
 Dapat mengelola perubahan mood (suasana hati) dan
menjadikannya sebagai modal dalam membuat ragam sudut
pandang proses pemecahan masalah.
 Mampu menggunakan kondisi emosi untuk fasilitasi proses
pemecahan masalah dan aktivitas kreatif.
c. Pemahaman tentang emosi
 Memiliki kemampuan dalam memahami adanya keterkaitan
antara satu emosi dengan emosi lainnya.
 Mampu mempersepsikan sebab dan konsekuensi atas hadirnya
suatu emosi.
 Kemampuan memahami perasaan-perasaan yang rumit,
percampuran emosi yang terjadi, hingga emosi-emosi yang
saling bertentangan.
 Mampu memahami terjadinya perpindahan antara satu emosi
ke emosi lainnya.

d. Pengelolaan emosi
 Mampu terbuka pada perasaannya sendiri, baik yang
menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan.
 Mampu memonitor dan bereaksi atas suatu emosi yang hadir.
 Mampu terlibat, hingga menjauhkan diri dari suatu kondisi
emosi.
 Mampu mengelola emosi diri sendiri.
 Mampu mengelola emosi orang lain.
68
Kecerdasan emosi merupakan konstruk yang bermula dari
penelitian Edward Thorndike mengenai kecerdasan sosial di tahun
1920. David Wechsler melanjutkan upaya penelitian ini dengan
memasukan dua subskala (subskala pemahaman dan penyusunan
gambar) pada tes kecerdasan kognitifnya yang terkenal. Kedua
subskala tadi didesain untuk mengukur kecerdasan sosial. Setahun
setelah publikasi pertama tes ini pada tahun 1939, Wechsler
menjelaskan bahwa ada faktor-faktor non intelek (non intellective
factors) pada perilaku cerdas yang merupakan penjelasan dari konstruk
ini (Reuvan Bar-on, 2006).
Sejak masa Thorndike (Tahun 1920) sejumlah konseptualisasi
yang berbeda dari kecerdasan emosi telah memunculkan campuran
konsepsi yang menimbulkan kebingungan, kontroversi dan juga
kesempatan untuk membuat definisi dan pengukuran yang lebih baik
terhadap konstruk ini. Dalam usaha memperjelas permasalahan ini,
Encyclopedia of Applied Psychology (Spiel Berger dalam Bar-on, 2006)
menyarankan tiga model konsep utama

(a) Model Mayer-Salovey (b) Model Goleman (c) Model Bar-on


Model Mayer and Model Goleman Model Bar-On
Salovey
Mayer-Salovey (1997) : Goleman (1995) : The Bar-On (1997) :
emotional intelligence is abbilities called here emotional emotional intelligence
the set of abilities that intelligences which include is an array of non
account for how people self control, zeal and cognitive capabilities,
emotional perception and persistence and the abbility to competencies and skills
understanding vary in motivate one self. Being able that influence one’s
their accuracy. More for example to rein in ability to succed in
formally, we define emotional impulse; to read coping with
emotional intelligence as anothers inner most feelings; environmental
the abbility to perceive and to handle relationshps demands and pressures
express emotion, assimilate smoothing.
emotion in tought,
understand and reason
with emotionan and
regulate emotion in the self
and others.

69
Dimensi kecerdasan Dimensi kecerdasan emosi : Dimensi kecerdasan
emosi : (a)perception and (a) intrapersonal skills (b) emosi :
expression of emotion (b) interpersonal skills (c) (a) knowing one
assimilating emotions in adaptability skills (d)stress emotions (b)
tought (c) understanding management scales (e) Management emotions
and analizyng emotion (d) Management emotions in in others (c)
reflective regulation of others Motivating
emotion

Salovey (dalam Goleman, 2007) menjabarkan lebih luas lagi


kawasan kemampuan kecerdasan emosi menjadi lima wilayah utama :
(a) Mengenali emosi diri. Kesadaran diri-mengenali perasaan sewaktu
perasaan itu terjadi-merupakan dasar kecerdasan emosi. (b)Mengelola
emosi. Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan
pas adalah kecakapan yang tergantung pada kesadaran diri.
(c)Memotivasi diri sendiri. Menata emosi sebagai alat untuk mencapai
tujuan. Kendali diri emosi-menahan diri terhadap kepuasan dan
mengendalikan dorongan hati-adalah landasan keberhasilan dalam
berbagai bidang. (d)Mengenali emosi orang lain. Empati, kemampuan
yang bergantung pada kesadaran diri emosi, merupakan
“keterampilan bergaul”. (e) Membina hubungan. Merupakan
keterampilan mengelola emosi orang lain atau disebut juga kecerdasan
sosial.
Bar-on (1997) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai
kemampuan non kognitif, kompetensi-kompetensi, keterampilan-
keterampilan yang mempengaruhi kesuksesan seseorang menghadapi
tekanan dan tuntutan lingkungan.
Sedangkan Goleman (2007) mendefinisikan kecerdasan emosi
yaitu sebagai kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan bertahan
menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak
melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga
agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati
dan berdo’a.
Dimensi kecerdasan emosi yang pertama adalah mengenali
emosi diri (knowing one emotions). Dimensi kecerdasan emosi yang
kedua adalah mengelola emosi (management emotions) yang berarti
menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat. Hal
ini merupakan kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri yang
mana di dalamnya terdapat kemampuan kontrol diri (self control) yang
70
bertujuan menjaga keseimbangan emosi dan bukan menekan emosi,
karena setiap perasaan memiliki nilai dan makna. Kontrol diri
menciptakan adanya kewajaran dalam emosi keselarasan antar
perasaan dan lingkungan. Emosi yang terlalu di tekan akan
menciptakan ketumpulan perasaan. Sebaliknya emosi yang tidak
terkontrol akan mengarah pada kehidupan patologis (Goleman, 1995)
menurut Baumeister dkk (dalam Tittle, Welch dan Grasmick, 2006)
kemampuan kontrol diri dilatih dengan kesadaran untuk patuh pada
norma dan nilai-nilai. Salah satu norma dan nilai dalam masyarakat
adalah agama. Agama merupakan instruksi tertinggi yang menuntut
adanya kepatuhan pada norma-normanya (Tittle dkk, 2006). Seseorang
dengan kemampuan kontrol diri yang tinggi dihubungkan dengan
adanya ketakutan pada hukuman dari Tuhan dan nilai-nilai moral,
serta kesadaran akan adanya konsekuensi jika tidak patuh pada norma
dan nilai-nilai. Seseorang yang memiliki tingkat kepatuhan dan
penghayatan agama yang baik dihubungkan dengan adanya
kemampuan dalam mengontrol diri (dalam Tittle dkk, 2006).
Dimensi kecerdasan emosi yang kedua adalah memotivasi diri
(motivating one self) dengan motivasi diri maka seseorang akan
cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala
sesuatu yang terjadi dalam dirinya. Motivasi dihasilkan dari adanya
sikap optimis dan harapan. Optimisme adalah suatu sikap yang
menahan seseorang untuk tidak terjerumus dalam keadaan apatis,
keputusasaan dan depresi pada saat mengalami kekecewaan dan
kesulitan hidup (Goleman, 1997). Sedangkan harapan menurut Synder
(dalam Goleman, 1997) adalah keyakinan bahwa memiliki kemampuan
maupun cara untuk mencapai sasaran yang di inginkan, apapun
bentuk sasaran itu. Optimisme dan harapan dibangun oleh adanya
keyakinan, karena keyakinan membantu individu bersikap lebih
optimis dan memiliki harapan (Schwabb dan Petersen dalam Gall,
Charbonneau, Clark dan Grant, 2005). Salah satu bentuk keyakinan
seseorang adalah keyakinan pada Tuhan dimana keyakinan seseorang
pada adanya Tuhan dapat menjadi sumber optimisme serta harapan.
Hal ini sesuai dengan kesimpulan dari suatu penelitian yang
menyatakan adanya hubungan antara keyakinan pada Tuhan dengan
munculnya optimisme dan harapan (Gall dkk, 2005).
Dimensi kecerdasan emosi yang ketiga adalah pengenalan emosi
orang lain (recognizing emotions in others) atau empati (empathy) yang
dibangun berdasarkan pada kesadaran (self awareness) jika seseorang
71
terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan
terampil berinteraksi dengan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak
mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan
tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain. Kemampuan
berempati ini ternyata berhubungan dengan penghayatan agama
(Saroglou, Pichon, Trompette, Verschueren dan Dernelle, 2005) orang-
orang dengan penghayatan agama yang baik melakukan perilaku
membantu orang lain karena mereka memiliki kecenderungan
berempati yaitu memahami pandangan orang lain, berbagi perasaan
dengan orang lain dan terkadang dipengaruhi penderitaan orang lain.
Dimensi kecerdasan emosi yang keempat adalah seni dalam
membina hubungan dengan orang lain (handling relationships) yang
merupakan keterampilan sosial (social skills) guna mendukung
keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki
keterampilan sosial, seseorang akan mengalami kesulitan dalam
pergaulan sosial, ketiadaan keterampilan-keterampilan semacam inilah
yang menyebabkan seseorang angkuh, mengganggu atau tidak
berperasaan (Goleman, 1995). Pargament (dalam Gall, 2005)
menyatakan bahwa dalam membina hubungan sosial memerlukan
sebuah proses pemaknaan terhadap kejadian-kejadian dalam
kehidupan, dimana pemaknaan ini berkaitan dengan adanya
penghayatan agama dan Tuhan.
Berdasar riset panjang, Goleman menyimpulkan, kecerdasan
intelektual bukan faktor dominan dalam keberhasilan seseorang,
terutama dalam dunia bisnis maupun sosial. Menurut Goleman,
banyak sarjana yang cerdas dan saat kuliah selalu menjadi bintang
kelas, namun ketika masuk dunia kerja menjadi anak buah teman
sekelasnya yang prestasi akademiknya pas-pasan
(www.kompas.com/kesehatan/news).
Makalah Mc Clelland pada tahun 1973 (dalam Goleman, 2007)
yang berjudul “Testing for Competence Rather Than Intelligence”,
menyatakan bahwa kemampuan akademik bawaan, nilai rapor dan
predikat kelulusan pendidikan tinggi tidak memprediksi seberapa baik
atau sukses yang di capainya dalam hidup. Sebaliknya ia mengatakan
bahwa seperangkat kecakapan khusus seperti empati, disiplin diri dan
inisiatif, mampu membedakan orang-orang sukses dari mereka yang
hanya cukup untuk mempertahanakan pekerjaan mereka.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami
dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai
72
sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi
(Robert.K Cooper Ph.d dan Ayman Sawaf, 1998. ) kecerdasan emosi
juga berperan membantu kecerdasan intelektual , manakala individu
perlu memecahkan masalah-masalah penting atau membuat
keputusan penting dan memungkinkan individu untuk melakukan
hal-hal tersebut dengan cara yang istimewa dan dalam waktu yang
singkat dalam beberapa menit atau beberapa saat.
Menurut Gardner, dalam Goleman (2002) kecerdasan emosi
merupakan gabungan antara kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan
intra pribadi. Kedua istilah kecerdasan ini disebut juga kecerdasan
pribadi. Kecerdasan intrapribadi merupakan sinyal yang diperoleh
dari hati nurani yang sangat mempengaruhi kecerdasan antar pribadi.
Adapun kecerdasan antarpribadi itu sendiri merupakan kemampuan
untuk memahami orang lain dan ”bertindak bijaksana dalam
hubungan antar manusia”.
Gardner merumuskan bahwa inti kecerdasan antar pribadi
mencakup ”kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan
tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain”.
Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju
pengetahuan diri, ia mencantumkan ”akses menuju perasaan-perasaan
diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-
perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan
perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun
tingkah laku”. Sedangkan kecerdasan intrapribadi adalah sinyal yang
diperoleh dari nurani yang sangat penting bagi kecerdasan
antarpribadi. Salah satu komponen kecerdasan ini adalah kemampuan
menset diri secara emosi.
Jika IQ lebih mengarahkan pada obyek –obyek di luar diri
manusia (outward looking) seperti fisika, kimia dan teknologi, maka
kecerdasan emosi lebih mengarahkan pada obyek-obyek fenomenal
kedirian (inward looking) seperti menata pergaulan hidup,
pengendalian emosi dan eksistensi hidup manusia secara fenomenal.
Tanda seseorang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi adalah
kemampuannya untuk mengendalikan emosi dan gejolak hati. Pada
level yang lebih tinggi lagi, mampu menggelorakan semangat dan
menguasai massa rakyat sebagaimana terlihat dalam kehidupan
negarawan (Suharsono, 2004).
Hendrie Weisenger (2006) mendefinisikan kecerdasan emosi
sebagai penggunaan emosi secara cerdas, kita bermaksud membuat
73
emosi tersebut bermanfaat dengan menggunakannya sebagai
pemandu perilaku dan pemikiran sehingga bisa memebrikan
kontribusi maksimal untuk pencapaian tujuan yang kita inginkan.
Ary Ginanjar Agustian (2007) menyebutkan kecerdasan emosi
sebagai kemampuan untuk merasa. Kunci kecerdasan emosi adalah
kejujuran pada suara hati, suara hati ini yang harusnya dijadikan pusat
prinsip yang mampu memberi rasa aman, pedoman, kekuatan serta
kebijaksanaan.
Kecerdasan emosi adalah sebuah gambaran mental dari
seseorang yang cerdas dalam menganalisis, merencanakan dan
menyelesaikan masalah, mulai dari yang ringan hingga kompleks.
Dengan kecerdasan ini, seseorang bias memahami, mengenal, dan
memilih kualitas mereka sebagai insan manusia.
Orang yang memiliki kecerdasan emosi bisa memahami orang
lain dengan baik dan membuat keputusan dengan bijak. Lebih dari itu,
kecerdasan ini terkait erat dengan bagaimana seseorang dapat
mengaplikasikan apa yang ia pelajari tentang kebahagiaan, mencintai
dan berinteraksi dengan sesamanya. Ia pun tahu tujuan hidupnya dan
akan bertanggung jawab dalam segala hal yang terjadi dalam
hidupnya, sebagai bukti tingginya kecerdasan emosi yang dimilikinya.
Kecerdasan emosi lebih terfokus pada pencapaian kesuksesan
hidup yang tidak tampak. Kesuksesan bisa tercapai ketika seseorang
bisa membuat kesepakatan dengan melibatkan emosi, perasan, dan
interaksi dengan sesamanya. Terbukti, pencapaian kesuksesan seperti
materi tidak menjamin kepuasan hati seseorang
(http://www.pembelajar.com).
Kecerdasan emosi tidak hanya berfungsi untuk mengendalikan
diri tetapi lebih dari itu juga mencerminkan kemampuan dalam
mengelola ide, konsep karya atau produk, sehingga hal itu menjadi
minat bagi orang banyak. Manfaat kecerdasan emosi : (1) alat
pengendalian diri. (2) kecerdasan emosi juga bisa di implementasikan
sebagai cara yang sangat baik untuk memasarkan atau membesarkan
ide, konsep atu bahkan sebuah produk. Dengan pemahaman tentang
diri, kecerdasan emosi juga menjadi cirri terbaik dalam membangun
jaringan dan kerjasama. (3) untuk mengembangkan bakat
kepemimpinan dalam bidang apapun, karena setiap model
kepemimpinan sesungguhnya membutuhkan visi, misi, konsep dan
program. Keceerdasan emosi mampu mendeterminasi kesadaran
setiap orang untuk mendapatkan simpati dan dukungan serta
74
kebersamaan dalam melaksankan atau mengimplementasikan sebuah
ide atau cita-cita (Suharsono, 2004).
Selanjutnya Howes dan Herald (1999) mengatakan pada intinya,
kecerdasaan emosi merupakan komponen yang membuat seseorang
menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa
emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang
tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati,
kecerdasaan emosi menyediakan pemahaman yang lebih mendalam
dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain (www.e-
psikologi.com).
Kecerdasan emosi sangat penting bagi individu, sebab
rendahnya kecerdasan emosi akan menyebabkan berkurangnya
efektivitas kecerdasan berpikir, yang pada akhirnya akan
menghasilkan perilaku yang tidak efektif pula. Orang-orang dengan
kecerdasan emosi yang konsisten mengenali tanda-tanda fisik yang
menampilkan emosi. Emosi yang ditekan dan menumpuk, suatu saat
dapat meluap ke permukaan sehingga memunculkan berbagai
penyakit fisik dan menyebabkan ledakan emosi yang tidak diharapkan
(Jeanne Segal, 2000).
Kecerdasan emosi dalam perspektif sufi adalah kemampuan
untuk mengikuti tuntunan agama, ketika berhadapan dengan
musibah, keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup,
kelebihan kekayaan dan juga kemiskinan (Jalaluddin Rakhmat, 2002).
Dari beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa
kecerdasan emosi menuntut diri untuk belajar mengakui dan
menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk
menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi
emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Empat unsur
penting kecerdasan emosi terdiri dari : kecakapan pribadi (mengelola
diri sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan), empati
dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang
dikehendaki pada orang lain).
Dalam buku kecerdasan emosi, Goleman menjelaskan secara
rinci dan jelas mengenai ciri-ciri kecerdasan emosi, diantaranya : (a)
Kesadaran diri dalam artian perhatian terus menerus terhadap
keadaan bathin seseorang. Dalam kesadaran refleksi-diri ini, pikiran
mengamati dan menggali pengalaman termasuk emosi, kadan-kadang
ini disebut kepekaan. Kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut ke
dalam emosi, bereaksi secara berlebihan dan melebih-lebihkan apa apa
75
yang diserap kesadaran diri lebih merupakan modus netral yang
mempertahankan refleksi-diri bahkan ditengah badai emosi. (b)
Penguasaan diri, yakni kemampuan menguasai emosi yang sedang
bergejolak dan tidak menjadi budak nafsu, sehingga yang terjadi
dalam tubuh adalah keseimbangan emosi bukan menekan emosi.
Karena emosi mempunyai nilai dan makna maka perlu adanya
keselarasan antara lingkungan dan perasaan agar tidak terjadi
konflikyang membuat emosi tidak seimbang. (c) Optimisme,
merupakan harapan yang kuat bahwa segala sesuatu yang terjadi
dalam kehidupan akan beres, walaupun di hadapkan pada posisi
kemunduran dan frustasi. Dari titik pandang kecerdasan emosional,
optimisme merupakan sikap yang menyangga orang agar jangan
sampai terjatuh ke dalam keputus asaan atau depresi bila dihadang
kesulitan. (d) Berpikir positif, adalah memusatkan perhatian pada hal-
hal yang positif dan menggunakan bahasa positif untuk
mengekspresikan perasaan yang ada. Menurut Albretch, berpikir
positif adalah perhatian yang positif dan verbalisasi yang positif. (e)
Flow, yaitu ”melampaui” diri sendiri ketika melakukan kegiatan yang
amat disukainya, flow lawan dari lamunan dan kekhawatiran, ini
merupakan penampilan penguasaan yang hebat terhadap apa yang
sedang mereka kerjakan, respon mereka sangat sempurna senada
dengan tuntutan yang selalu berubah dalam tugasnya. Goleman
mengatakan flow merupakan keadaan yang bebas dari gangguan
emosional, jauh dari paksaan, perasaan penuh motivasi yang
ditimbulkan oleh ekstase ringan, karena mereka tidak lagi peduli pada
bagaimana mereka bekerja, pada pikiran sukses atau gagal,
kenikmatan itu sendiri yang memotivasi mereka. (f) Memiliki rasa
empati, merupakan ”penjaga keadilan” dalam segi tindakan dan
pertimbangan moral, karena empati dibangun berdasarkan kesadaran
diri. Menurut Goleman, kunci untuk memahami perasaan orang lain
adalah mampu membaca pesan non verbal seperti nada bicara, gerak-
gerik, ekspresi wajah dan sebagainya. (g) Mampu mengungkapkan
perasaan pribadinya. Penekanannya adalah keahlian individu untuk
menyesuaikan diri dengan suasana hati orang lain, atau mudah
membawa orang lain berada dibawah pengaruhnya.

76
Kiat Membangkitkan Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi merupakan kegiatan berpikir dengan otak
rasional atau otak intuitif. Menurut Laura Day, intuisi berkaitan erat
dengan perasaan, hati dan hal-hal yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu. Kegiatan berpikir biasanya terdiri atas
pengulangan dan pelatihan, begitupun dengan intuisi atau emosi
menurut Laura Day dapat dilatih melalui pertanyan-pertanyaan
mendasar (Taufik Pasiak, 2003).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Cooper, ia menemukan
bahwa secara teknis intuisi praktis itu ditentukan oleh A ( atention,
perhatian), Q (question, pertanyaan), C (curiosity, Keingintahuan).
Intuisi praktisi Cooper ini mengandung dua pengertian : (1) adanya
pengaruh perasaan, hati nurani, atau apa saja sebutannya, terhadap
pemikiran logis manusia. Ini sejalan dengan faktor emosi otak dari J.
DeLoux yang memberi inspirasi bagi otak rasional, sekaligus dapat
”membajak” rasionalitas itu. (2) intuisi dapat dilatih melalui pelatihan
kecerdasan emosi.
Dengan sistem kurikulum self science emosi bisa ditingkatkan
emosinya dengan langkah sebagai berikut : (a) Kesadaran diri :
mengamati diri, mengenali perasaan-perasaan diri, mengetahui
hubungan pikiran, perasaan dan reaksi. (b) Pengambilan keputusan
pribadi; mencermati tindakan sendiri dan mengetahui akibat-
akibatnya. Mengetahui apa yang menguasai sebuah keputusan,
pikiran. Perasaan; menerapkan masalah-masalah seperti seks dan obat-
obatan terlarang. (c) Mengelola perasaan ; menyadari apa yang ada
dibalik suatu perasaan (d) Menangani stress. (e) Empati : memahami
masalah dan perasaan orang lain dan berpikir dengan sudut mereka.
Menghargai perbedaan perasaan orang lain mengenai berbagai hal. (f)
Komunikasi ; berbicara mengenai perasaan secara efektif menjadi
pendengar dan penanya yang baik. (g) Membuka diri; menghargai dan
membina kepercayaan dalam suatu hubungan dan bersikap asertif. (h)
Pemahaman ; mengidentifikasi pola-pola dalam kehidupan emosi diri
pribadi dan reaksi-reaksinya; mengenali pola serupa pada orang lain.
(i) Menerima diri sendiri ; merasa bangga dan menerima diri sendiri
dalam sisi yang positif. Mengenali kekuatan dan kelemahan diri
sendiri. (j) Tanggung jawab pribadi : rela memikul tanggung jawab,
mengenali akibat-akibat keputusan sendiri. (k) Ketegasan : bersikap
asertif tanpa rasa marah dan hanya berdiam diri. (l) Dinamika
kelompok mau bekerjasama ; bisa menempatkan posisi kapan
77
memimpin dan kapan mengikuti. (m) Menyelesaikan konflik :
bagaimana ’berkelahi’ secara jujur dengan orang lain, orangtua,
dengan peran guru ( Goleman, 2002).
Claude Steiner (dalam Agus Nggermanto, 2002) mengemukakan
tiga langkah utama sebagai cara mengembangkan kecerdasan emosi
yang lain, yaitu :
Pertama, membuka hati. hati merupakan simbol pusat emosi.
Hati yang merasakan damai ketika kita merasakan kebahagiaan, dalam
kasih sayang, cinta dan kegembiraan. Dengan demikian, kita mulai
dengan membebaskan pusat perasaan kita dari impuls dan pengaruh
yang membatasi kita untuk menunjukan cinta satu sama lain.
Kedua, menjelajahi dataran emosi. Setelah kita membuka hati,
kita dapat melihat kenyataan dan menemukan peran emosi dalam
kehidupan. Kita dapat berlatih cara mengetahui apa yang kita rasakan,
seberapa kuat dan apa alasannya. Kita menjadi paham dengan emosi
yang dirasakan diri dan orang lain serta memahami bagaimana
perasaan mereka di pengaruhi oleh tindakan kita.
Ketiga, mengambil tanggung jawab. Ketika suatu masalah terjadi
dalam hubungan sosial kita dengan orang lain, kita harus berani
mengambil tanggung jawab untuk memperbaiki hubungan tersebut.
Kita harus mengartikan apa yang menjadi permasalahnnya, mengakui
kesalahan, membuat perbaikan dan memutuskan bagaimana
mengubah segala sesuatunya.
Hendrie Weisenger (2006) menekankan penggunaan kecerdasan
emosi menjadi dua bagian yaitu
Secara intrapersonal; cara mengembangkan kecerdasan emosi
dan memanfaatkannya untuk diri sendiri dan secara interpersonal;
cara membuat hubungan sosial kita menjadi lebih baik. Bagian
pertama, meningkatkan kecerdasan emosi : (a) Mengembangkan
kesadaran diri yang tinggi : dengan kesadaran emosi yang tinggi, kita
akan memiliki kemampuan memonitor diri sendiri, mengamati
tindakan dan mempengaruhi emosi tersebut untuk pencapaian yang
kita inginkan. (b) Mengelola emosi : mengelola emosi berarti
memahaminya, lalu menggunakan pemahaman tersebut untuk
menghadapi situasi secara produktif, bukannya menekan emosi dan
menghilangkan informasi berharga yang disampaikan oleh emosi
kepada anda. (c) Memotivasi diri sendiri : motivasi mengubah berbagai
hambatan menjadi sebuah keberhasilan.

78
Bagian kedua, menggunakan kecerdasan emosi dalam berelasi
dengan orang lain : (a) Mengembangkan keterampilan berkomunikasi
yang efektif : komunikasi membentuk koneksi dan koneksi
menghasilkan hubungan. Komunikasi akan mendatangkan hasil yang
positif ketika di dukung oleh keterampilan-keterampilan seperti
keterbukaan diri, ketegasan (assertiveness), proses mendengar yang
dinamis dan kritik. (b) Mengembangkan keahlian interpersonal :
berelasi baik dengan orang lain berarti berhubungan dengan mereka
untuk saling bertukar informasi secara bermakna dan pantas. Dua
keterampilan sebagai dasar kemampuan interpersonal yaitu,
kemampuan untuk menganalisis suatu hubungan sebagai dasar untuk
menentukan langkah produktif dan kemampuan untuk berkomunikasi
pada level yang tepat sehingga terjadi pertukaran informasi yang
tepat. (c) Menolong orang lain : dalam konteks kecerdasan emosi, hal
ini berarti menolong orang lain untuk dapat mengelola emosi mereka,
berkomunikasi dengan orang lain secara efektif, memecahkan masalah
mereka, menyelesaikan konflik dan membuat orang lain termotivasi
(Hendri Weisenger, 2006:xviii-xxi).
Reuvan Bar-On (dalam Netty Hartati, 2006) menambahkan
indikator-indikator untuk meningkatkan kecerdasan emosi yang telah
dikemukakan oleh Goleman : (1) perilaku asertif adalah kemampuan
individu untuk mengungkapkan perasaan, keyakinan dan pikiran
untuk mempertahankan hak dengan cara yang tidak melanggar hak
orang lain. Perilaku ini mencakup tiga komponen dasar yaitu :
kemampuan mengungkapkan perasaan (menerima dan
mengungkapakan marah, kehangatan dan perasaan kasih sayang)
secara tepat, kemampuan mengungkapkan keyakinan dan pikiran
secara terbuka (mampu memberikan pandangan, ketidaksetujuan,
mempunyai pendirian walaupun secara emosional sulit dilakukan
bahkan harus mengorbankan sesuatu), kemampuan mempertahanakan
hak pribadi (tidak mengizinkan orang lain mengganggu dan
merugikan kita. Mampu mengeluarkan perasaan secara langsung
tanpa harus menjadi agresif atau kasar). (2) Toleransi terhadap stress
yaitu kemampuan untuk bertahan dalam situasi sulit dan (3) Penuh
masalah, kemampuan ini didasari oleh kemampuan memilih tindakan
dalam mengatsi stres,optimis terhadap pengalaman baru dan
perubahan, perasaan bahwa dapat mengendalikan atau
mempengaruhi kemmapuan untuk rileks, sabar dan tenang dalam
menghadapi kesulitan. (4) Pengendalian impuls yaitu kemampuan
79
menahan atau menunda impuls dorongan atau godaan untuk
bertindak. (5) Optimisme yaitu kemampuan untuk melihat sisi terang
dalam kehidupan dan mempertahakana sikap positif walaupun harus
menghadapi kesulitan. Optimisme merupakan suatu ukuran
pengharapan alam kehidupan individual.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi


Menurut Mayer (dalam Goleman, 2007), orang cenderung
menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi
mereka, anatara lain :
Pertama, Sadar diri. Kejernihan pikiran mereka tentang emosi
melandasi ciri-ciri kepribadian, mereka mandiri dan yakin akan batas-
batasa yang mereka bangun, kesehatan jiwanya bagus dan cenderung
berpendapat positif akan kehidupan. Bila suasana hatinya sedang
jelek, mereka tidak risau dan tidak larut dalam kedalamnya dan
mereka mampu melepasakan diri dari suasana itu dengan lebih cepat,
pendek kata, ketajaman pola pikir mereka menjadi penolong untuk
mengatur emosi.
Kedua, tenggelam dalam permasalahan, mereka adalah orang-
orang yang seringkali merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya
untuk melepaskan diri. Seolah-olah suasana hati mereka telah
mengambil kekuasaan. Mereka mudah marah dan amat tidak peka
akan perasaannya, sehingga larut dalam perasaan-perasaan itu dan
bukan mencari perspektif baru.
Ketiga, pasrah. Meskipun banyak sekali orang-orang peka
terhadap apa yang mereka rasakan, mereka cenderung menerima
begitu saja suasana hati mereka, sehingga tidak berusaha untuk
mengubahnya.

Daftar Pustaka
Ary Ginanjar Agustian. (2001). ESQ: Emotional Spiritual Quotient.
Jakarta: Penerbit Arga.
Bradley, S. J. (2000). Affect regulation and the development of
psychopathology. New York: Guilford Press.
Clark, Warren. (1998). Religious Observance: Marriage and Family.
Statistics Canada – Catalogue.
Dirgagunarsa, Singgih. (1996). Pengantar Psikologi. Jakarta: Mutiara
Sumber Widya.

80
Frijda, N.H., & Sundararajan, L. (2007). Emotion refinement: A theory
inspired by Chinese poetics. Perspectives on Psychological Science,
2, 227-241.
Goleman, D. (2002). Healing Emotion (Penyembuhan Emosi). Batam:
Interaksara.
Goleman, D. (2007). Kecerdasan Emosional. Jakarta: Gramedia.
Gross, James J. et al. (1997). Emotion and aging: experience, expression,
and control. Psychology and Aging. Vol 12, No 4, 590-599.
American Psychological Association, Inc.
Gross, James J. (1998). The emerging field of emotion regulation: an
integrative review. Review of General Psychology. Vol 2, No. 3, 271-
299.
Gross, James J. (2002). Emotion regulation: affective, cognitive, and
social consequences. Psychophysiology, 39, 281-291. Cambridge
University Press.
Gross, J.J., & John, O.P. (2003). Individual differences in two emotion
regulation processes: Implications for affect, relationships, and
well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 85, 348-362.
Koole, S.L. (2009). The psychology of emotion regulation: an
integrative review. Journal of Cognition & Emotion, vol. 23: 4-41.
Mikulincer, M., Shaver, P. R., & Pereg, D. (2003). Attachment theory
and affect regulation: The dynamics, development, and cognitive
consequences of attachment-related strategies. Motivation and
Emotion, 27, 77-102.
Parkinson, B., Fischer A.H., & Manstead, A. S. R. (2005). Emotion in
Social Relations: Cultural, Group and Interpersonal Processes. New
York: Psychology Press.
Safaria, T. & Saputra, N.E. (2009). Manajemen Emosi: Sebuah Panduan
Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda.
Jakarta: Bumi Aksara.
Snyder, D.K., Simpson, J.A., & Hughes, J.N. Emotion Regulation in
Couples and Families: Pathways to Dysfunction and Health.
Washington DC: American Psychological Association.
Strongman, K.T. (2003). The Psychology of Emotion: From Everyday Life to
Theory. 5th Ed. England: John Wiley & Sons.
Syukur, Abdul. (2011). Beragam cara terapi gangguan emosi sehari-hari.
Yogyakarta: Diva Press.
Urry, H. L., van Reekum, C. M., Johnstone, T., Kalin, N. H., Thurow, M.
E., Schaefer, H. S., Jackson, C. A., Frye, C. J., Greischar, L. L.,
81
Alexander, A. L., & Davidson, R. J. (2006). Amygdala and
ventromedial prefrontal cortex are inversely coupled during
regulation of negative affect and predict the diurnal pattern of
cortisol secretion among older adults. Journal of Neuroscience,
26,4415-4425.

82
PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK DALAM PERSPEKTIF
ISLAM

Layyinah, M.Si
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta

Pendahuluan
Islam memperlihatkan betapa pentingnya memperhatikan dan
merawat anak dengan penuh kasih sayang sejak dalam kandungan.
Nabi Muhammad SAW, menyatakan bahwa : “Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi,
Nasrani atau Majusi”. Menurut Imam Ghazali bahwa setiap manusia
diciptakan Allah dengan dibekali dua kecenderungan asli, yakni
cenderung dengan kebajikan dan kejahatan. Orang tuanyalah yang
membuat anak menjadi cenderung kepada salah satunya (baik atau
buruk). Oleh karena itu peranan orang tua dalam perkembangan dan
pendidikan terutama dalam pembentukan karakter anak sangat
penting.
Bahkan di lain tempat, al-Ghazali memberikan tamsil dengan biji
kurma dan apel di mana dia menegaskan bahwa biji (benih) kurma
hanya akan menumbuhkan pohon kurma. Demikian pula biji apel
hanya kan menumbuhkan pohon apel bila ––dan hanya bila––
keduanya dipelihara. Tamsil ini, kurang lebih, berarti bahwa
pendidikan yang baik akan melahirkan kepribadian yang baik,
demikian juga sebaliknya. Pengertian lain adalah bahwa setiap
manusia berpotensi untuk menjadi apa pun (menjadi orang baik atau
jahat) tergantung pada pemeliharaan (baca: pendidikan). Sedangkan
tanah tempat tumbuh apel dan kurma mengisyaratkan bahwa
pertumbuhan manusia ditentukan pula oleh lingkungannya.

PERIODE PRANATAL
Perhatian kepada anak dimulai pada masa sebelum kelahirannya,
dengan memilih isteri yang shalehah, Rasulullah SAW memberikan
nasehat dan pelajaran kepada orang yang hendak berkeluarga dengan
bersabda :" Dapatkan wanita yang beragama, (jika tidak) niscaya
engkau merugi" (HR.Al-Bukhari dan Muslim). Begitu pula bagi
wanita, hendaknya memilih suami yang sesuai dari orang-orang yang
83
datang melamarnya. Hendaknya mendahulukan laki-laki yang
beragama dan berakhlak. Rasulullah memberikan pengarahan kepada
para wali dengan bersabda :"Bila datang kepadamu orang yang kamu
sukai agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah. Jika tidak kamu
lakukan, niscaya terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang
besar. Termasuk mengikuti tuntunan Rasulullah dalam kehidupan
rumah tangga kita. Rasulullah memerintahkan kepada kita: "Jika
seseorang diantara kamu hendak menggauli isterinya, membaca:
"Dengan nama Allah.Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan
jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami".
Maka andaikata ditakdirkan keduanya mempunyai anak, niscaya tidak
ada syaitan yang dapat mencelakakannya".
Setiap muslim akan merasa kagum dengan kebesaran Islam.
Islam adalah agama kasih sayang dan kebajikan. Sebagaimana Islam
memberikan perhatian kepada anak sebelum kejadiannya, Islam pun
memberikan perhatian besar kepada anak ketika masih menjadi janin
dalam kandungan ibunya. Islam membolehkan kepada ibu hamil agar
tidak berpuasa pada bulan Ramadhan untuk kepentingan janin yang
dikandungnya. SabdaRasulullah :"Sesungguhnnya Allah memberi
kemudahan untuk shalat bagi orang yang bepergian, dan
(membebaskan) puasa bagi orang yang bepergian, wanita menyusui
dan wanita hamil"( Hadits riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi dan An
Nasa'i. Kata Al Albani dalam Takhrij al Misykat:"Isnad hadits
inijayyid' ). Sang ibu hendaklah berdo'a untuk bayinya dan memohon
kepada Allah agar dijadikan anakyang shaleh dan baik, bermanfaat
bagi kedua orangtua dan seluruh kaum muslimin. Karena termasuk
do'a yang dikabulkan adalah do'a orangtua untuk anaknya.

PERIODE NEONATAL
Menurut Abdullah Nashih Ulwan (2007), Islam juga membahas
hukum-hukum penting yang wajib dilaksanakan bagi orangtua atau
wali pada masa kelahiran, diantaranya adalah sebagai berikut:
Memberikan Ucapan Selamat dan Rasa Turut Gembira Ketika
Seseorang Melahirkan
Dianjurkan kepada setiap muslim untuk segera memberikan
ucapan selamat kepada sesama muslim yang melahirkan seorang anak.
Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat ikatan persaudaraan dan
kecintaan antar keluarga muslim. Jika sesorang tidak berkesempatan
untuk mengungkapkan rasa turut bergembira, maka baginya
84
dianjurkan untuk memberikan ucapan selamat tersebut dengan cara
mendoakan orang tua dan anaknya yang baru lahir. Semoga Allah
menerima, mengabulkan dan memeliharanya.
Allah Swt. Berfirman tentang kisah Ibrahim a.s. :
“Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah
datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka
mengucapkan, ‘Selamat. ‘Ibrahim menjawab, ‘Selamatlah, ‘maka tidak lama
kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang di panggang. Maka
tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang
aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu
berkata, ‘Janganlah kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-
malaikat) yang diutus kepada Luth. ‘Dan istrinya berdiri (di sampingnya)
lalu ia tersenyum, maka kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang
(kelahiran) Ishak dan sesudah Ishak (lahir pula) Ya’qub.” (Q.S.Huud: 69-71).
Allah Swt. Berfirman di dalam kisah Zakaria a.s. :
“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah
berdiri shalat di mihrab (katanya), ‘Sesungguhnya Allah menggembirakan
kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya…(Q.S. Ali Imran :39).
Dalam ayat lain Allah berfirman :
“Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu
akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya KAmi
belum pernah menciptakan orang yang serupa dia.” (Q.S. Maryam :7)
Mengumandangkan Azan dan Ikamat Saat Kelahiran Anak
Pada saat kelahiran seorang bayi disunnahkan menyerukan
suara azan pada telinga kanan bayi dan mangiqamati pada telinga kiri.
Hal ini dilakukan agar pertama kali yang didengarnya di dunia adalah
suara tauhid. Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan bahwa Abu
Rafi’ berkata:”Aku melihat Rasulullah SAW menyerukan adzan di telinga
Al-Hasan ibnu ’Ali saat baru dilahirkan oleh ibunya, Fathimah.”
Baihaqi dan Ibnu Sunni meriwayatkan dari Al-Hasan bin Ali dari
Nabi Saw :
”Siapa yang baru mendapatkan bayi, kemudian ia mengumandangkan
azan pada telinga kanannya dan iqamat pada telinga kirinya maka anak yang
baru lahir itu tidak akan terkena bahaya Ummush Shibyan (angin yang
dihembuskan kepada anak, menjadikan anak takut kepadanya. Dikatakan,
bahwa yang dimaksud adalah pengikut jin, yang oleh sebagian orang disebut
qarinah).
Adapun hikmah dari azan dan ikamat disini, menurut Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah di dalam kitabnya, Tuhfatul Maudud, agar suara
85
yang pertama kali diterima pendengaran manusia adalah kalimat-
kalimat seruan Yang Maha Tinggi yang mengandung kebesaran
Tuhan, juga syahadat sebagai kalimat pertama-tama masuk Islam. Hal
itu merupakan talqin(pengajaran) baginya tentang syariat Islam ketika
anak baru memasuki dunia, sebagaimana halnya kalimat tauhid di
talqinkan kepadanya ketika ia meninggal dunia. Dan tidak mustahil
bila pengaruh azan itu akan meresap di dalam hatinya, walaupun ia
tidak merasa. Hikmah lainnya adalah larinya setan karena kalimat-
kalimat azan.
Menggosok langit-langit Mulut Anak Setelah Dilahirkan
Yang dimaksud dengan menggosok-gosok langit-langit adalah
mengunyah kurma dan menggosokkannya ke langit-langit mulut anak
yang baru dilahirkan. Hal itu dilakukan dengan menaruh sebagian
kurma yang telah dikunyah di atas jari dan memasukkan jari itu
kedalam mulut anak, kemudian menggerak-gerakkannya ke kanan
dan ke kiri dengan gerakan lembut, hingga merata. Jika kurma itu sulit
didapat, maka penggosok itu dapat dilakukan dengan bahan yang
manis lainnya.
Hikmah yang terkandung adalah menguatkan syaraf-syaraf
mulut dan tenggorokan dengan gerakan lidah dan dua tulang rahang
bawah dengan jilatan, sehingga anak siap untuk menyusu dan
menghisap susu secara tepat. Lebih utama penggosokkan ini
dilakukan oleh orang yang memiliki sifat taqwa dan saleh sebagai
suatu penghormatan, dengan pengharapan semoga si anak juga
menjadi orang yang saleh dan taqwa.
Memberi nama yang baik
Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Di
antara keindahan adalah memberi nama yang baik bagi anak dan tidak
memberinya nama yang mengandung makna buruk. Untuk itu Rasul
SAW mengatakan dalam sabdanya : ”Nama yang paling disukai oleh
Allah adalah ’abdullah dan ’Abdur Rahman, dan nama yang paling
baik adalah Harist dan Hammam, sedang nama yang paling buruk
adalah Harb (perang) dan Murrah (pahit). Dalam Q.S. Ali Imran,36
yang artinya : Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya,
diapun berkata: "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya
seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang
dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak
perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan

86
aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak
keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan
yang terkutuk.
Hal lain yang perlu dilakukan terhadap bayi neonatal adalah
memberinya nama. Sabda Rasullullah Saw : ”Sesungguhnya pada hari
kiamat nanti kamu sekalian akan di panggil dengan nama-nama kamu
sekalian dan nama-nama bapak-bapak kamu sekalian” (HR Abu Dawud).
Memberikan nama yang baik bertujuan agar si anak kelak jika sudah
dewasa akan memahami kasih sayang orang tuannya dengan memberi
nama dengan nama yang baik, di samping itu jika ia memiliki nama
yang baik akan menumbuhkan sikap percaya diri dalam dirinnya.
Namun, jika nama si anak buruk atau jelek, itu akan mempengaruhi
jiwannya, si anak menjadi minder, pemalu, dan pendiam atau bahkan
ia akan menjadi seseorang yang pendendam bagi orang tua yang
memberinnya nama yang buruk. Dalam hadist lain, Ibnu Abbas
meriwayatkan, Rasulluwllah Saw telah bersabda, ”Hak anak (yang wajib
dipenuhi) oleh orang tuannya adalah memberinnya nama yang baik dan
memperbaikinnya adabnya (perilakunnya),” (Al-Jami’ Ash-Shaghir
halaman 173).
Aqiqah
Pada hari ketujuh, diwajibkan bagi yang mampu untuk
mengadakan akikah untuk si anak agar diharapkan tertanam pada diri
anak sikap kedermawanan kelak jika ia sudah menjadi dewasa.
Rasulluwllah Saw bersabda ”Bersama anak itu ada akikahnya. Karena itu,
alirkanlah darah karenannya dan hilangkanlah penyakit darinnya” (HR.
Bukhari Muslim). Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Salman bin
Ammar Adh Dhabbi, katanya: Rasulullah bersabda: "Setiap anak
membawa aqiqah, maka sembelihlah untuknya dan jauhkanlah
gangguan darinya" (HR. Al Bukhari.)
Dalam hadis lain, Rasullullah bersabda,”Jadikanlah oleh kalian di
tempat darah itu wewangian...” yakni di kepala anak pada hari
penyembelihan akikah untuknya, (HR Ibnu
Mencukur rambut
Diantara hukum yang disyari’atkan Islam untuk anak yang baru
dilahirkan adalah sunah mencukur rambut kepala pada hari ketujuh.
Faedahnya antara lain: mencukur rambut bayi dapat memperkuat
kepala, membuka pori-pori di samping memperkuat indera
penglihatan, pendengaran dan penciuman. (Abdullah Nasih Ulwan,
Tarbiyatul Auladfil Islam, juz 1.)
87
Khitan
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu bahwa
Rasulullah bersabda: "Fitrah itu lima: khitan, mencukur rambut
kemaluan, memendekkan kumis, memotong kuku, mencabut bulu
ketiak" (HR. Al-bukhari, Muslim) Khitan wajib hukumnya bagi kaum
pria, dan rnustahab (dianjurkan) bagi kaum wanita.WallahuA'lam.
Hikmah Khitan. Khitan mengandung hikmah religius yang
agung dan dampak higienis yang banyak sebagaimana telah
diungkapkan oleh para ulama dan para dokter, berikut ini hikmah
religius diantaranya :
Khitan merupakan pangkal fitran, syiar Islam dan syariat
Khitan merupakan salah satu media bagi kesempurnaan agama
yang disyari’atkan Allah lewat lisan Ibrahim a.s. Yaitu agama yang
mencetak hati umat manusia untuk bertauhid dan beriman; agama
yang membentuk fisik jasmani dengan tabiat-tabiat fitrah, seperti
khitan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu-bulu
ketiak.
Khitan sebagai pembeda kaum muslim dengan pengikut agama
yang lain.
Khitan merupakan pernyataan ubudiyah (ketetapan mutlak)
terhadap Allah, ketaatan melaksanakan perintah, hukum dan
kekuasaan-Nya.
Diantara beberapa dampak higienis (ilmu kesehatan) ialah :
Khitan dapat menyebabkan kebersihan, keindahan dan
menstabilkan syahwat.
Khitan merupakan cara sehat untuk memelihara seseorang dari
berbagai penyakit.
Dr. Shabri Al-Qabani, didalam bukunya Hayatuna Al-
Jinsiyah (Kehidupan Seksual Kita) mengatakan, bahwa khitan itu
mempunyai dampak higinis, diantaranya adalah :
Dengan terkelupasnya kuluf (kulit ulu dzakar), berarti seseorang
akan terhindar dari keringat berminyak dan sisa kencing yang
mengandung lemak dan kotor, yang bisa mengakibatkan gangguan
kencing dan pembusukan.
Dengan dipotongnya kuluf, berarti seseorang akan terhindar dari
bahaya terganggunya hasafah (kepala penis) ketika ereksi.
Khitan dapat mengurangi kemungkinan berjangkitnya kanker.
Kenyataan membuktikan, bahwa kanker banyak berjangkit pada

88
orang-orang yang kulufnya sempit dan jarang didapat pada bangsa-
bangsa yang mewajibkan khitan.
Jika kita bergegas mengkhitan anak, berarti menghindarkan anak
kita dari penyakit ngompol di malam hari.
Khitan dapat meringankan banyaknya pemakaian kebiasaan
yang bersifat rahasia bagi orang dewasa.

PERIODE BAYI DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Islam juga memerintahkan para ibu hendaklah menyusukan anak-
anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan
dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang
ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. (QS. Al-
Baqarah : 233)
Imam Amirul Mu’minin Ali a.s. berkata: "Tidak ada air susu
yang lebih berbarakah bagi anak bayi dari air susu ibunya sendiri."
Ibnu Sina, ahli kedokteran Muslim sekaligus bapak kedokteran
modern, telah menegaskan pentingnya ASI bagi anak-anak, “Bayi itu
sedapat-dapatnya disusui dengan air susu ibunya. Karena nutrisi
dengan ASI itu sangat besar manfaatnya untuk ketahanan tubuhnya
dari ancaman penyakit.”
Dokter Al-Baladi, ahli kedokteran Islam di zaman keemasan
Islam bahkan mendahului dokter-dokter modern dalam
pandangannya terhadap urgensi ASI. “Jika ASI tidak rusak oleh
sesuatu sebab, maka ia adalah air susu yang paling sesuai untuk semua
anak. Karena di dalamnya terdapat banyak keunggulan yang tidak
dapat ditandingi oleh susu apapun. Kesehatan ibu itu penting untuk
anaknya dan untuk dirinya.
Dewasa ini diketahui bahwa di antara kebaikan dan keunggulan
ASI itu adalah :
 ASI itu bersih dan steril
 Tidak dingin dan juga tidak panas (suhunya seimbang).
 Tersedia kapan saja.
 Tidak rusak bila disimpan dalam tempat penyimpanan yang
layak.
 Mencukupi keperluan setiap bayi yang menyusu.

89
 Memberikan perlindungan dan imunitas tertentu kepada anak
dari serangan virus.
 Menumbuhkan rasa kasih sayang dan hubungan emosional antara
ibu dan anaknya.

PERIODE KANAK-KANAK AWAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Periode kanak-kanak awal merupakan periode yang amat kritis dan
paling penting. Periode ini mempunyai pengaruh yang sangat
mendalam dalam pembentukan pribadinya. Apapun yang terekam
dalam benak anak pada periode ini, nanti akan tampak pengaruh-
pengaruhnya dengan nyata pada kepribadiannya ketika menjadi
dewasa.(Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al Muatstsirat as Salbiyah).
Karena itu, para pendidik perlu memberikan banyak perhatian pada
pendidikan anak dalam periode ini. Aspek-aspek yang wajib
diperhatikan oleh kedua orangtua yaitu :
Memberikan kasih sayang yang diperlukan anak dari pihak
kedua orangtua, terutama ibu. Ini perlu sekali, agar anak belajar
mencintai orang lain. Jika anak tidak merasakan cintakasih ini,maka
akan tumbuh mencintai dirinya sendiri saja dan membenci orang
disekitamya."Seorang ibu yang muslimah harus menyadari bahwa
tidak ada suatu apapun yang mestimenghalanginya untuk
memberikan kepada anak kebutuhan alaminya berupa kasih
sayangdan perlindungan. Dia akan merusak seluruh eksistensi anak,
jika tidak memberikan haknyadalam perasaan-perasaan ini, yang
dikaruniakan Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya dalamdiri ibu,
yang memancar dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhan anak."
(Muhammad Quthub, Manhaiut Tarbiyah Al Islamiyah, juz 2.),
Membiasakan anak berdisiplin mulai dari bulan-bulan pertama
dari awal kehidupannya. Bahwa membiasakan anak untuk menyusu
dan buang hajat pada waktu-waktu tertentu dan tetap, sesuatu yang
mungkinmeskipun melalui usaha yang berulang kali sehingga motorik
tubuh akan terbiasa dan terlatihdengan hal ini.Kedisiplinan akan
tumbuh dan bertambah sesuai dengan pertumbuhan anak, sehingga
mampuuntuk mengontrol tuntutan dan kebutuhannya pada masa
mendatang.
Hendaklah kedua orangtua menjadi teladan yang baik bagi anak
dari permulaankehidupannya.Yaitu dengan menetapi manhaj Islam
dalam perilaku mereka secara umum dan dalampergaulannya dengan
anak secara khusus. Jangan mengira karena anak masih kecil dan tidak
90
mengerti apa yang tejadi di sekitarnya, sehingga kedua orangtua
melakukan tindakan-tindakanyang salah di hadapannya. Ini
mempunyai pengaruh yang besar sekali pada pribadi anak."Karena
kemampuan anak untuk menangkap, dengan sadar atau tidak, adalah
besar sekali.Terkadang melebihi apa yang kita duga. Sementara kita
melihatnya sebagai makhluk kecilyang tidak tahu dan tidak mengerti.
Memang, sekalipun ia tidak mengetahui apa yangdilihatnya, itu semua
berpengaruh baginya. Sebab, di sana ada dua alat yang sangat
pekasekali dalam diri anak yaitu alat penangkap dan alat peniru,
meski kesadarannya mungkinterlambat sedikit atau banyak.Akan
tetapi hal ini tidak dapat merubah sesuatu sedikitpun. Anak akan
menangkap secara tidaksadar, atau tanpa kesadaran puma, dan akan
meniru secara tidak sadar, atau tanpa kesadaranpurna, segala yang
dilihat atau didengar di sekitarya. (Muhammad Quthub, Manhaiut
Tarbiyah Al Islamiyah, juz 2.),
Anak dibiasakan dalam memulai aktifitas dengan membaca
basmalah (Abdullah Nashih Ulwan, 2007)
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar bin Ibnu Abu
Salamah r.a., ia berkata :“Dahulu ketika masih kecil, aku berada dalam
pengawasan Rasulullah Saw. Pada suatu ketika tanganku bergerak
hendak mengambil makanan, Rasulullah Saw, bersabda, “Wahai anak,
bacalah Basmalah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah
apa yang ada di dekatmu saja.”
Anak dibiasakan dengan etiket umum yang mesti dilakukan
dalam pergaulannya, antara lain: (Silahkan lihat Ahmad Iuuddin Al
Bayanuni, Minhajat TarbiyahAsh Shalihah.)
 Dibiasakan mengambil, memberi, makan dan minum dengan
tangan kanan. Jika makandengan tangan kiri, diperingatkan dan
dipindahkan makanannya ke tangan kanannya secara halus.
 Dibiasakan mendahulukan bagian kanan dalam berpakaian.
Ketika mengenakan kain, baju, atau lainnya memulai dari kanan;
dan ketika melepas pakaiannya memulai dari kiri.
 Dilarang tidur tertelungkup dan dibiasakan ·tidur dengan miring
ke kanan.
 Dihindarkan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek,
agar anak tumbuh dengan kesadaran menutup aurat dan malu
membukanya.
 Dicegah menghisap jari dan menggigit kukunya.

91
 Dibiasakan sederhana dalam makan dan minum, dan dijauhkan
dari sikap rakus.
 Dilarang bermain dengan hidungnya.
 Dibiasakan membaca Bismillah ketika hendak makan.
 Dibiasakan untuk mengambil makanan yang terdekat dan tidak
memulai makan sebelum orang lain.
 Tidak memandang dengan tajam kepada makanan maupun
kepada orang yang makan.
 Dibiasakan tidak makan dengan tergesa-gesa dan supaya
mengunyah makanan denganbaik.
 Dibiasakan memakan makanan yang ada dan tidak mengingini
yang tidak ada.
 Dibiasakan kebersihan mulut denganmenggunakan siwak atau
sikat gigi setelah makan,sebelum tidur, dan sehabis bangun tidur.
 Dididik untuk mendahulukan orang lain dalam makanan atau
permainan yang disenangi,dengan dibiasakan agar menghormati
saudara-saudaranya, sanak familinya yang masihkecil, dan anak-
anak tetangga jika mereka melihatnya sedang menikmati
sesuatumakanan atau permainan.
 Dibiasakan mengucapkan dua kalimat syahadat dan
mengulanginya berkali-kali setiap hari.
 Dibiasakan membaca "Alhamdulillah" jika bersin, dan mengatakan
"Yarhamukallah"kepada orang yang bersin jika membaca
"Alhamdulillah".
 Supaya menahan mulut dan menutupnya jika menguap, dan
jangan sampai bersuara.
 Dibiasakan berterima kasih jika mendapat suatu kebaikan,
sekalipun hanya sedikit.
 Tidak memanggil ibu dan bapak dengan namanya, tetapi
dibiasakan memanggil dengankata-kata: Ummi (Ibu), dan Abi
(Bapak).
 Ketika berjalan jangan mendahului kedua orangtua atau siapa
yang lebih tua darinya,dan tidak memasuki tempat lebih dahulu
dari keduanya untuk menghormati mereka.
 Dibiasakan bejalan kaki pada trotoar, bukan di tengah jalan.
 Tidak membuang sampah dijalanan, bahkan menjauhkan kotoran
darinya.

92
 Mengucapkan salam dengan sopan kepada orang yang
dijumpainya denganmengatakan "Assalamu 'Alaikum" serta
membalas salam orang yang mengucapkannya.
 Diajari kata-kata yang benar dan dibiasakan dengan bahasa yang
baik.
 Dibiasakan menuruti perintah orangtua atau siapa saja yang lebih
besar darinya, jikadisuruh sesuatu yang diperbolehkan.
 Bila membantah diperingatkan supaya kembali kepada kebenaran
dengan suka rela, jika memungkinkan. Tapi kalau tidak, dipaksa
untuk menerima kebenaran, karena hal inilebih baik daripada
tetap membantah dan membandel.
Hendaknya kedua orangtua mengucapkan terima kasih kepada
anak jika menurutiperintah dan menjauhi larangan. Bisa juga sekali-
kali memberikan hadiah yang disenangiberupa makanan, mainan atau
diajak jalan-jalan.
Tidak dilarang bermain selama masih aman, seperti bermain
dengan pasir danpermainan yang diperbolehkan, sekalipun
menyebabkan bajunya kotor. Karenapermainan pada periode ini
penting sekali untuk pembentukan jasmani dan akal anak.
Ditanamkan kepada anak agar senang pada alat permainan yang
dibolehkan sepertibola, mobil-mobilan, miniatur pesawat terbang, dan
lain-lainnya. Dan ditanamkan kepadanya agar membenci alat
permainan yang mempunyai bentuk terlarang seperti manusia dan
hewan.
Dibiasakan menghormati milik orang lain, dengan tidak
mengambil permainan ataupun makanan orang lain, sekalipun
permainan atau makanan saudaranya sendiri.

PERIODE KANAK-KANAK AKHIR DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Menyuruh anak untuk beribadah ketika telah memasuki usia tujuh
tahun.
Dalam hadist, “Perintahlah anakmu untuk shalat ketika berusia tujuh
tahun dan pukullah mereka (jika enggan shalat) ketika berumur
sepuluh tahun”. Artinya Islam mengajarkan pendidikan secara
bertahap dalam membentuk jiwa anak.
Rahasianya adalah, agar anak dapat mempelajari hukum-hukum
ibadah ini sejak masa pertumbuhannya, sehingga ketika anak tumbuh
besar, ia telah terbiasa melakukan dan terdidik untuk menaati Allah,
melaksanakan hak-Nya, bersyukur kepada-Nya, kembali kepada-Nya,
93
berpegang kepada-Nya, bersandar kepadanNya dan berserah diri
kepadaNya.
Pengenalan Allah.
Pada periode ini dikenalkan kepada anak tentang Allah 'Azza
Wajalla dengan cara yang sesuai dengan pengertian dan tingkat
pemikirannya.Diajarkan kepadanya:
Bahwa Allah Esa, tiada sekutu bagi-Nya.
Bahwa Dialah Pencipta segala sesuatu. Pencipta langit, bumi,
manusia, hewan, pohon-pohonan, sungai dan lain-lainnya. Pendidik
dapat memanfaatkan situasi tertentu untukbertanya kepada anak,
misalnya ketika bejalan-jalan di taman atau padang, tentangsiapakah
Pencipta air, sungai, bumi, pepohonan dan lain-lainnya, untuk
menggugahperhatiannya kepada keagungan Allah.
Cinta kepada Allah, dengan ditunjukkan kepadanya nikmat-
nikmat yang dikaruniakanAllah untuknya dan untuk keluarganya.
Misalnya, anak ditanya: Siapakah yangmemberimu pendengaran,
penglihatan dan akal? Siapakah yang memberimu kekuatandan
kemampuan untuk bergerak? Siapakah yang memberi rizki dan
makanan untukmudan keluargamu? Demikianlah, ditunjukkan
kepadanya nikmat-nikmat yang nyata dandianjurkan agar cinta dan
syukur kepada Allah atas nikmat yang banyak ini. Metode
inidisebutkan dalam Al Qur'an, dalam banyak ayat Allah menggugah
minat para hamba-Nya agar memperhatikan segala nikmat yang
dikaruniakan-Nya, seperti firman-Nya:"Tidakkah kamu perhatian
sesungguhnya Allah telah menundukkan untukkepentinganmu apa
yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempumakan
untukmunikmatnya lahir dan batin..."(Surah Luqman : 20)."Hai
manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu Adakah pencipta
selain Allah yangdapat memberikan rizki kepadamu dari langit dan
bumi...."(Surah Fathir :3).Dan dengan rahmat-Nya, Dia jadikan
untukmu malam dan siang, supaya kamuberistirahat pada malam itu
dan supaya kamu mencari sebahagian dai karunia-Nya(pada siang
hari) dan agar kamu bersyukur kepadan-Nya." (Surah Al Qashash :
73).

Pengajaran sebagian hukum yang jelas dan tentang halal-haram.


Diajarkan kepada anak menutup aurat, berwudhu, hukum-hukum
thaharah (bersuci) danpelaksanaan shalat. Juga dilarang dari hal-hal
yang haram, dusta, adu domba, mencuri danmelihat kepada yang
94
diharamkan Allah. Pokoknya, disuruh menetapi syariat Allah
sebagaimanaorang dewasa dan dicegah dari apa yang dilarang
sebagaimana orang dewasa, sehingga anakakan tumbuh demikian dan
menjadi terbiasa. Karena bila semenjak kecil anak dibiasakandengan
sesuatu, maka kalau sudah dewasa akan menjadi kebiasaannya.Agar
diupayakan pula pengajaran ilmu pengetahuan kepada anak,
sebagaimana kata Sufyan Al-Tsauri: "Seorang bapak barns
menanamkan ilmu pada anaknya, karena dia pmanggung jawabnya."
(Muhammad Hasan Musa, Nuzharul Fudhala' Tahdzib Siar A'lamin
Nubala :Juz 1.)

Pengajaran baca Al Qur'an.


Al Qur'an adalah jalan lurus yang tak mengandung suatu
kebatilan apapun. Maka amat baik jika anak dibiasakan membaca Al
Qu~an dengan benar, dan diupayakan semaksimalnya agar mengbafal
Al Qur'an atau sebagian besar darinya dengan diberi dorongan
melaluiberbagaicara. Karena itu, kedua orangtua bendaklah berusaha
agar putera puterinya masukpada salah satu sekoiah tahfizh Al
Qur'an; kalau tidak bisa, diusahakan masuk pada salah satuhalaqah
tahfizh. Diriwayatkan Abu Dawud dari Mu'adz bin Anas bahwa Nabi
shallallahu alaihiwasalam bersabda:"Barang siapa membaca Al-quran
dan mengamalkan kandungan isinya, niscaya Allah padahari kiamat
mengenakan kepada keda orang tuanya sebuah mahkota yang
cahayanya lebihindah daripada cahaya matahari di rumah-rumah
dunia. Maka apa pendapatmu tentang orangyang mengamalkan hal
ini".Para salaf dahulu pun sangat memperhatikan pendidikan tahfizh
Al Qur'an bagi anak-anakmereka. Syaikh Yasin bin Yusuf Al Marakisyi
menceritakan kepada kita tentang imamAnNawawi, Rahimahullah,
katanya: "Aku melihat beliau ketika masih berumur 10 tahun diNawa.
Para anak kecil tidak mau bermain dengannya dan iapun berlari dari
mereka serayamenangis, kemudian ia membaca Al Qur'an. Maka
tertanamlah dalam hatiku rasa cinta kepadanya. Ketika itu bapaknya
menugasinya menjaga toko, tetapi ia tidak mau bejualan
danmenyibukkan diri dengan Al Qur'an. Maka aku datangi gurunya
dan berpesan kepadanyabahwa anak ini diharapkan akan menjadi
orang yang paling alim dan zuhud pada zamannyaserta bermanfaat
bagi umat manusia. Ia pun berkata kepadaku:Tukang ramalkah Anda?
Jawabku: Tidak, tetapi Allah-lah yang membuatku berbicara tentang
hal ini. Bapak guru itu kemudian menceritakan kepada orangtuanya,
95
sehingga memperhatikanbeliau dengan sungguh-sungguh sampai
dapat khatam Al Qur'an ketika menginjak dewasa."

Pengajaran hak-hak kedua orangtua,


Diajarkan kepada anak untuk bersikap hormat, taat dan berbuat
baik kepada kedua orangtua,sehingga terdidik dan terbiasa demikian.
Anak sering bersikap durhaka dan melanggar hak-hakorangtua
disebabkan karena kurangnya perhatian orangtua dalam mendidik
anak dan tidakmembiasakannya berbuat kebaikan sejak usia
dini.Firman Allah Ta'ala :'Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya
kamu jangan beribadah kepada selain Dia danhendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, makasekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamumembentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan
rendahkanlahdirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesanyangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku,kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil."(Surah Al-Isra': 23-24).Diriwayatkan dari Abu
HurairahRadhiyallahu 'Anhu bahwa Nabi bersabda:"Terhinalah,
terhinalah, dan terhinalah seseorang yang mendapatkan salah seorang
dari keduaorang tuanya atau kedua-duanya berusia lanjut, tetapi tidak
dapat masuk surga"Berikut ini kisah seorang anak muda yang berbuat
baik kepada bapaknya, disebutkan dalamkitab 'Uyunul Akhbar : "Al
Ma'mun rahimahullah berkata: Belum pernah saya melihatseseorang
yang amat berbuat baik kepada bapaknya daripada Al Fadhl bin
Yahya. Karena kebaikannya, sampai bapaknya (Yahya) tidak
berwudhu kecuali dengan air hangat. Ketikakeduanya berada dalam
penjara, para sipir melarang memasukkan kayu bakar di malam
yangding-in. Maka Al Fadhl, ketika bapaknya tidur, bangun
mengambil teko yang biasa diapergunakan untuk memanaskan air,
lalu ia isi air dan ia dekatkan pada api lampu. Ia pun tetapberdiri
memegangi teko sampai pagi. Ia lakukan hal ini untuk berbuat baik
kepada bapaknyaa gar dapat berwudhu dengan air hangat."

Pengenalan tokoh-tokoh teladan yang agung dalam Islam.


Tokoh teladan kita yang utama yaitu Rasulullah Shallallahu
alaihi wasalam, kemudian parasahabat yang mulia Radhiallahu
96
'Anhum dan pengikut mereka dengan baik yang menjadicontoh
terindah dalam segala aspek kehidupan. Maka dikenalkan kepada
anak tentangmereka, diajarkan sejarah dan kisah mereka supaya
meneladani perbuatan agung mereka danmencontoh sifat baik mereka
seperti keberanian, keprajuritan, kejujuran, kesabaran,
kemuliaan,keteguhan pada kebenaran dan sifat-sifat lainnya.Kisah
atau kejadian yang diceritakan kepada anak hendaklah sesuai dengan
tingkatpengertiannya, tidak membosankan, dan difokuskan pada
penampilan serta penjelasan aspek-aspek yang baik saja sehingga
mudah diterima oleh anak.Misalnya, diceritakan kepada anak kisah
Rasulullah bersama orang Yahudi yang menuntutkepada beliau agar
membayar uang pinjamannya, sebagai contoh akhlak baik
beliau:Diriwayatkan bahwa ada seorang Yahudi yang meminjamkan
uang kepada Rasulullah laluhendak menagih hutangnya sebelum
habis masanya. Maka dicegatnya Rasulullah di tengah jalan kota
Madinah seraya berkata: "Sungguh, kalian anak keturunan Abdul
Muthalib adalah orang-orang yang suka menangguhkan /bayar
hutang) "Umar pun melihat kejadian itu dan amat marah, lalu berkata:
"Izinkanlah aku wahai Rasulullah, biar kupenggal lehernya!" Tapi Nabi
bersabda: "Aku dan kawanku sangat tidak menginginkanhal itu, wahai
Umar. Suruhlah ia berperkara dengan baik dan suruhlah aku
menyelesaikandengan baik."Kemudian beliau berpaling kepada
orangYahudi dan bersabda: "Hai Yahudi, piutangmu akandibayarkan
besok.""Contoh kisah tentang keberanian dan ketabahan, diriwayatkan
oleh Mu'adz bin Amr katanya:Pada waktu Perang Badar kujadikan
Abu Jahal sebagai sasaranku. Begitu ada kesempatan,aku serang dia
dan kupukul sehingga terpotong separuh betis kakinya. Sementara,
anaknya Ikrimah bin Abu Jahal memukulku pada lengan hingga
terputus tanganku tetapi masihmenempel dengan kulit pada sisiku.
Namun peperangan membuatku tak perduli dengannya,karena aku
ketika ifu berperang sepanjang hari sambil menyeret tanganku
dibelakang. Setelahterasa sakit karenanya, kuletakkan kakiku
di.atasnya ialu kutarik hingga terputus."Sejarah umat Islam penuh
dengan tokoh-tokoh agung dan kisah-kisah menarik yang
menunjukkan keutamaan dan makna yang indah.

Pengajaran etiket umum.


Seperti etiket mengucapkan salam dan meminta izin, etiket
berpakaian, makan dan minum,etiket berbicara dan bergaul dengan
97
orang lain. Juga diajarkan bagaimana bergauldengan kedua orangtua,
sanak famili yang tua, kolega orangtua, guru-gurunya, kawan-
kawannya dan teman sepermainannya.Diajarkan pula mengatur
kamamya sendiri, menjaga kebersihan rumah, menyusun alatbermain,
bagaimana bermain tanpa mengganggu orang lain dan bagaimana
bertingkah laku dimasjid dan disekolahan.Pegajaran berbagai hal di
atas dan juga lainnya pertama-tama harus bersumber kepadaSunnah
Rasulullah , lalu peri kehidupan para salaf yang shaleh, kemudian
karya tulis parapakar dalam bidang pendidikan dan tata pergaulan.

Pengembangan rasa percaya diri dan tanggung jawab dalam diri


anak.
Anak-anak sekarang ini adalah pemimpin hari esok. Karena itu,
harus dipersiapkan dan dilatih mengemban tanggung jawab dan
melaksanakan tugas yang nantinya akan mereka lakukan.Hal itu bisa
direalisasikan dalam diri anak melalui pembinaan rasa percaya diri,
penghargaan jati dirinya, dan diberikan kepada anak kesempatan
untuk menyampaikan pendapatnya danapa yang terbetik dalam
pikirannya, serta diberikan kepadanya dorongan agar
mengerjakanurusannya sendiri, bahkan ditugasi dengan pekejaan
rumah tangga yang sesuai untuknya.Misalnya, disuruh untuk membeli
beberapa keperluan rumah dari warung terdekat; anakperempuan
diberi tugas mencuci piring dan gelas atau mengasuh adik. Pemberian
tugaskepada anak ini bertahap sedikit demi sedikit sehingga mereka
terbiasa mengemban tanggung jawab dan melaksanakan tugas yang
sesuai bagi mereka.Termasuk pemberian tanggung jawab kepada
anak, ia harus menanggung resiko perbuatanyang dilakukannya. Maka
diajarkan kepada anak bahwa ia bertanggung jawab atas
kesalahanyang dilakukannya serta dituntut untuk memperbaiki apa
yang telah dirusaknya dan memintamaaf atas kesalahannya.Perhatikan
kisah berikut yang menunjukkan rasa percaya diri: Diriwayatkan oleh
Al Hafizh Ibnu Asakir, ketika Abdullah bin Az Zubair sedang bernain-
main dengan anak-anak sebayanya, lewatlah khalifah Umar bin
Khattab Radhiyallahu 'Anhar.Maka larilah semua anak karena takut
kepada beliau, kecuali Abdullah bin Az Zubair yang masih tinggal di
tempat. Lalu Umar menghampirinya dan bertanya kepadanya:
"Kenapa kamu tidak lari bersama teman-temanmu,nak?" Dengan
berani dan tenang Abdullah menjawab: "Ya Amirul Mu'minin!Aku
bukan seorang yang bersalah sehingga harus takut, dan jalan pun tidak
98
sempit sehingga aku harus minggir.Seorang anak jika terdidik untuk
percaya diri akan mampu mengemban tanggung jawab yang besar.
Sebagaimana putera-putera para sahabat, mereka berusaha sungguh-
sungguh agar dapat ikut bersama para mujahidin Fisabilillah; sampai
salah seorang di antara mereka adayang menangis karena Rasulullah
belum mengizinkannya ikut berperang bersama pasukan,tetapi karena
simpati terhadapnya beliau pun mengizinkannya; dan akhimya ia
termasuk salahsatu syuhada dalam peperangan itu.Rasulullah juga
pernah mengangkat Usamah bin Zaid sebagai komandan pasukan
yang diantara anggotanya terdapat Abu Bakar dan Umar, sekalipun
masih muda belia tetapi ia orang yang tepat untuk jabatan itu. Lalu, di
manakah anak-anak kita sekarang ini yang mampu menduduki
puncak yang tinggi?

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Al-Ghazali, Ikhtisar Ihya Ulumuddin
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Pustaka
Amani, Jakarta.2007
Abdur Rahman, Jamal. Tahapan Mendidik Anak, Teladan Rasulullah SAW,
Bandung, Irsyad Baitus Salam. 2005.
Abdullah Haddad, Allamah Sayyid, Renungan Tentang Umur Manusia,
Jakarta, Mizan, Tanpa Tahun.
Ensiklopedia, Mukjizat Alquran dan Hadis, Kemukjizatan Penciptaan
Manusia, Jakarta, PT. Sapta Sentosa, 2008.
M. Ustman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, Pustaka, Bandung, 1997.
Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid, Cara Nabi Mendidik Anak,
Al-I’tishom., Jakarta, 2004

99
Perbedaan Individu dan Perilaku Kerja

Akhmad Baidun
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta

Organisasi dan pekerjaan dalam perusahan menjadi bagian penting


dalam seluruh bagian dari organisasi, mulai dari office boy, karyawan,
manager sampai direktur. Manager perusahaan sebagai leader bagi
para bawahan harus mengetahu karakteristik setiap karyawan.
Manager harus mengetahui apa saja perbedaan individu satu dengan
individu lainnya.
Tujuan untuk mengetahui perbedaan individu diantaranya
untuk bisa memahami karakter dari setiap karyawan. Manager,
melalui pengetahuan tentang karakter karyawan, bisa secara tepat
menempatkan posisi seharusnya karyawannya sesuai bidang yang
tersedia dalam organisasi.
Perbedaan setiap individu dapat dilihat dari kemampuan dalam
bekerja, perilaku, kemampuan komunikasi, sikap masalah dan
kerjasama dalam kelompok. Semua aspek di atas perlu dikelola dan
diperhatikan oleh pimpinan perusahaan.

3.1. Manajemen sumberdaya manusia


Setiap karyawan dalam perusahaan atau seseorang dalam suatu
organisasi perlu dikelola secara memadai dan tepat. Pengelolaan
(manajemen) menjadi landasan bagi karyawan dalam bekerjaan. Pokok
atau basis pengelolaan sumberdaya manusia diantaranya meliputi
kemampuan (ability), sikap (attitudes), memecahkan masalah (problem
solving), kemampuan berkomunikasi (communication skill) dan
kerjasama tim (teamwork).

3.1.1. Kemampuan (ability)


Dalam melakukan suatu pekerjaan tidak hanya dilihat intelegensi dari
para karyawan saja tetapi yang paling penting adalah melihat
kemampuan dari setiap karyawan. Para manager harus melihat sejauh
mana kemampuan yang dimiliki oleh setiap karyawan nya dalam
melakukan pekerjaannya, apabila para karyawan memiliki tingkat
kemampuan yang tinggi dalam bekerja, maka para karyawan akan
dengan sanggup menghadapi segala macam tantang dalam pekerjaan
100
yang didapatkan. Karena percuma jika ada karyawan yang hanya
memiliki tingkat intelegensi yang tinggi tetapi tidak memiliki
kemampuan yang tinggi sehingga bisa menyebabkan sikap yang tidak
bisa berbuat apa-apa dalam suatu pekerjaan.

3.1.2. Sikap (attitudes)


Kesopanan sudah menjadi hal yang lumrah dan harus dimiliki oleh
setiap individu di dunia ini. Setiap negara dan setiap budaya pasti
memiliki tata aturan tertentu untuk setiap warga nya agar bisa
menjaga sikap nya dalam berbuat sesuatu. Begitu juga dalam suatu
organisasi atau dalam suatu perusahaan, attitudes dari setiap
karyawan sangat diperhatikan karena hal itu sangat mempengaruhi
kinerja para karyawannya. Bagaimana para karyawan bersikap sopan
kepada senior nya di kantor, bagaimana pula membangun sebuah
hubungan yang harmonis kepada setiap rekan kerja nya.
Attitude adalah sikap, yaitu berbagai keyakinan yang telah
melekat yang mendorong orang untuk menanggapi suatu objek atau
situasi dengan suatu cara tertentu.
Attitudes (sikap) adalah kapabilitas internal seseorang yang
mengatur kecondongan ke arah atau menghindari peristiwa, objek
atau orang lain (Gredler, 2011).
Attitudes (sikap) adalah suatu kecenderungan untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan hal-hal tertentu terhadap manusia,
benda, atau keadaan. Sumber: Eko Sujatmiko, Kamus IPS , Surakarta:
Aksara Sinergi Media Cetakan I, 2014 halaman 22

3.1.3. Memecahkan masalah (problem solving)


Banyaknya tantangan yang ada dalam suatu perusahaan atau suatu
organisasi seharunya bukan menjadi hal yang sulit bagi seorang
karyawan apabila memiliki kemampuan yang tinggi dalam
menyelesaikan masalah. Setiap pekerjaan berat yang mereka dapatkan
bisa mereka selesaikan dengan kepala dingin dan dengan sasaran yang
tepat dari penyelesaian masalah tersebut. Seseorang yang mampu
menyelesaikan masalah dengan tepat dan benar, maka dapat
dikatakan bahwa orang itu menyukai tantangan dan bisa mengatasi
stress yang normal.

3.1.1. Kemampuan berkomunikasi (communication skill)


101
Kemampuan komunikasi sangat penting bagi seseorang untuk bisa
membangun hubungan yang kuat dalam setiap individu. Dalam suatu
perusahaan atau organisasi, karyawan juga diharuskan untuk memiliki
keterampilan komunikasi yang tinggi, karena dia tidak hanya bekerja
sendiri dalam organisasi itu tapi butuh banyak bercengkrama dengan
orang lain dan bahkan bekerja sama dengan organisasi lain di luar
organisasi atau perusahaan tempat dia bekerja. Dengan memiliki
tingkat keterampilan komunikasi yang tinggi, maka oara karyawan
bisa dengan mudah untuk mendapatkan informasi-informasi yang
mereka butuhkan dan mereka jadi tidak bersikap apatis terhadap
sesuatu yang mereka dapatkan.

3.1.4. Kerjasama tim (teamwork)


Management terakhir yang harus diperhatikan adalah tentang kerja
sama antara sesama kolega dalam pekerjaan. Teamwork ini sangat
penting untuk membangun hubungan pekerjaan yang kuat baik antara
manager dengan karyawan ataupun antara karyawan dengan
karyawan yang lain. Karena dalam melakukan suatu pekerjaan
dibutuhkan pertukaran pemikiran dan pertukaran pendapat untuk
menemukan idea tau untuk menyelesaikan suatu masalah, disinilah
teamwork berperan penting.

3.2. Pengaruh Faktor Psikologis


Perilaku yang ada pada setiap individu merupakan interaksi antara
diri orang itu sendiri dengan lingkungan, dari interaksi antara
keduanya maka terlihatlah bagiaman individu dalam berperilaku.

102
Sikap seorang individu sangat memberikan peran penting untuk
individu dalam melakukan pekerjaan. Berikut ini komponen-
komponen yang harus diperhatikan dalam sikap:
Komponen kognitif: keyakinan, opini, pengetahuan, atau
informasi yang dimiliki oleh seseorang.
Komponen afektif: bagian emosional atau perasaan sikap.
Komponen perilaku: niat untuk berperilaku dengan cara
tertentu.
Dalam dunia perusahaan atau dalam dunia organisasi, individu
harus mengenal lebih dalam mengenai dirinya sendiri, individu harus
bisa mampu percaya akan kemampuan dirinya sendiri dan ada
beberapa yang harus individu milik, yaitu:
Kemampuan Sosial
Motivasi
Mampu ditempatkan di tempat orang lain
Kognitif
Psikomotorik yang diawali niat
Perlu kita ketahui bahwa ada keunikan pada manusia atau pada
individu, yang terlihat dari setiap individu hanya personality traits
yang di awali dari fisik ke sifat, tapi ada juga personal values yang
harus dikelaurkan dari individu.

103
3.3. Wawasan Kepribadian Lainnya

3.3.1. Locus of Control


Terdiri dari dua locus, yaitu external locus dan internal locus:
Eksternal locus: orang-orang yang percaya bahwa apa yang terjadi
pada mereka adalah karena keberuntungan atau kesempatan (efek tak
terkendali dari kekuatan-kekuatan luar).
Internal locus: orang-orang yang percaya bahwa mereka
mengendalikan nasib mereka sendiri.

3.3.2. Machiavellianism
Tingkat dimana seorang individu bersikap pragmatis,
mempertahankan jarak emosional, dan berusaha untuk mendapatkan
dan memanipulasi kekuatan dengan tujuan menghalalkan segala cara.

3.3.3. Self-Esteem
Menjelaskan tentang bagaimana seseorang menjadi suka atau tidak
suka terhadap dirinya sendiri. Ada sebagian orang yang memiliki self-
esteem yang tinggi dan ada juga yang memiliki self-esteem yang
rendah.
Self-Esteem Tinggi:

104
Percaya diri dan mengharapkan sukses.
Mengambil lebih banyak risiko dan menggunakan pendekatan
konvensional.
Lebih puas dengan pekerjaan mereka daripada yang memiliki self-
esteem rendah.
Self-Esteem Rendah:
Lebih rentan terhadap pengaruh eksternal.
Tergantung pada evaluasi positif dari orang lain.
Lebih rentan untuk menyesuaikan daripada self-esteem yang tinggi.

3.3.4. Self-Monitoring
Kemampuan individu untuk menyesuaikan perilaku eksternal
terhadap faktor situasional.
Self-Monitoring Tinggi:
Sensitif terhadap isyarat eksternal dan berperilaku berbeda dalam
situasi yang berbeda.
Dapat menyajikan persona publik bertentangan dan diri pribadi.
Self-Monitoring Rendah:
Tidak menyesuaikan perilaku mereka dengan situasi.
Apakah perilaku konsisten dalam publik dan swasta.

3.3.5. Kecerdasan Emosional


Kemampuan seseorang untuk memahami, mengidentifikasi,
memahami, dan berhasil mengelola emosi diri dan orang lain. Berbagai
macam keterampilan non-kognitif, kemampuan, dan kompetensi yang
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam
mengatasi tuntutan lingkungan dan tekanan.
Terdapat lima dimensi dari kecerdasan emosional, yaitu:
Self-awareness: mengetahui apa yang anda rasakan
Self-management: mengelola emosi dan impuls
Self-motivation: bertahan meskipun merasakan kemunduran dan
kegagalan
Empathy: merasakan bagaimana yang orang lain rasakan
Social skills: menangani emosi orang lain

105
3.3.6. Perspesi
Sebuah proses dimana individu memberikan arti (realitas) dengan
lingkungan mereka dengan mengorganisir dan menafsirkan kesan
indra mereka. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi:
Personal karakteristik-kepentingan, bias perseptor dan harapan
Target karakteristik-kekhasan, kontras, dan kesamaan)
Situasi (konteks) tempat factors-, waktu, lokasi-menarik perhatian atau
mengalihkan perhatian dari target

3.4. Bagaimana Memandang Orang

3.4.1. Teori Atribusi


Bagaimana tindakan individu yang dirasakan oleh orang lain
tergantung pada apa arti (sebab-akibat) atribut untuk perilaku tertentu.
Terdapat dua faktor penentu atribusi terhadap seseorang, yaitu:
Faktor Internal: di bawah kontrol individu
Faktor Eksternal: karena faktor luar
Menentukan sumber perilaku:
Kekhasan: perilaku yang berbeda dalam situasi yang berbeda
Konsensus: perilaku mirip dengan orang lain dalam situasi yang sama
Konsistensi: keteraturan perilaku yang sama
Fundamental kesalahan atribusi. Kecenderungan untuk meremehkan
pengaruh faktor eksternal dan melebih-lebihkan pengaruh faktor
internal atau pribadi.

106
Mementingkan diri sendiri Bias. Kecenderungan individu untuk
atribut keberhasilan mereka untuk faktor internal sementara
menyalahkan kegagalan pribadi pada faktor eksternal.

3.4.2. Assumed Similarity


Dengan asumsi bahwa orang lain lebih seperti kita dari mereka
sebenarnya.

3.4.3. Stereotyping
Menilai seseorang atas dasar persepsi kita dari kelompok bagian dari
dirinya.

3.4.4. Hallo Effect


Membentuk kesan umum seseorang atas dasar karakteristik tunggal
orang itu.

Daftar Pustaka
Margaret E. Gredler, Learning And Instruction: Teori Dan Aplikasi,
Jakarta: kencana, 2011 halaman 540

107
KEPRIBADIAN DAN SIKAP DALAM PEKERJAAN

Akhmad Baidun
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam memandang organisasi seorang manajer seringkali melihat


organisasi dari sisi formalnya, yaitu: struktur organisasi, strategi,
kebijakan, sasaran, prosedur, wewenang formal, rantai komando
dan sebagainya. Kesemua ini merupakan aspek formal suatu
organisasi yang mudah ditetapkan parameter ukurannya. Namun
dibalik itu semua, ada proses dalam organisasi yang tidak nampak di
permukaan, yaitu perilaku individu-individu dalam organisasi.
Pemahaman tentang perilaku organisasi akan sangat membantu
manajer/pimpinan dalam menjalankan roda-roda organisasi. Setidak-
tidaknya dengan memahami perilaku organisasi akan membantu
manajer dalam memahami dan mengelola perilaku karyawannya, baik
sebagai individu maupun sebagai kelompok dalam organisasi.
Dalam keseharian organisasi, akan dijumpai beranekaragam ciri
karyawan. Ada yang agresif, tenang, meledak-ledak, ambisius, mudah
bergaul, pasif dan sebagainya. Ciri-ciri karyawan ini merupakan
pengkategorian berdasarkan kepribadian. Jadi kepribadian dapat
diartikan sebagai perpaduan ciri- ciri psikologis yang menggambarkan
seseorang.
Perilaku organisasi pada hakekatnya adalah hasil interaksi antara
individu-individu dalam organisasi. Perilaku organisasi pada dasarnya
memusatkan perhatian pada dua cakupan. Pertama, meninjau perilaku
individu dalam organisasi, seperti sikap, kepribadian, persepsi,
pembelajaran dan motivasi. Kedua, perilaku kelompok dalam
organisasi, yang meliputi norma, peran, pembentukan tim dan
konflik. Oleh karena cakupan perilaku organisasi begitu luas, maka
sebelum memahami perilaku organisasi perlu memahami lebih dahulu
individu-individu sebagai salah satu dimensi dalam organisasi yang
amat penting serta merupakan salah satu faktor pendukung dalam
organisasi.
Pola perilaku manusia dalam organisasi sangatlah berbeda-beda.
Hal ini disebabkan karena setiap manusia mempunyai kepribadian
yang berbeda yang dimiliki jauh sebelum manusia itu menjadi bagian
dari sebuah organisasi. Cara seseorang bertindak serta berhubungan
108
mencerminkan kepribadiannya sehingga dalam kenyataannya banyak
segi dari setiap orang adalah unik (khas). Kondisi inilah yang
menyebabkan timbulnya teori-teori kepribadian dalam psikologi yang
bisa digunakan untuk kerangka acuan dalam memahami dan
menjelaskan tingkah laku kita sendiri dan orang lain.

Sebelum berbicara lebih jauh tentang pengaruh kepribadian terhadap


perilaku organisasi, perlu mengetahui lebih dahulu pengertian
kepribadian dan teori-teori tentang kepribadian.

1. Pengertian Kepribadian.
Menurut Gibson (1996) definisi dari kepribadian adalah himpunan
karakteristik dan kecenderungan yang stabil serta menentukan sifat
umum dan perbedaan dalam perilaku seseorang.
Sedangkan menurut Allport dalam Gibson (1996) adalah organisasi
dinamis di dalam masing-masing dan sistem-sistem psikofisik yang
menentukan penyesuaian unik terhadap lingkungan. Dapat juga
dikatakan bahwa kepribadian adalah total jumlah dari cara-cara dalam
mana seseorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain.
Wood (2000) mendefinisikan kepribadian sebagai profil keseluruhan
atau kombinasi sifat yang memberi ciri khas sifat dasar seseorang.

2. Teori Kepribadian.
Dalam perkembangannya, teori kepribadian memiliki tiga
pendekatan, yaitu: pendekatan sifat, pendekatan psikodinamis dan
pendekatan humanis. Teori Kepribadian Sifat (Trait) didasarkan pada
alasan predisposisi mengarahkan perilaku individu dalam pola yang
konsisten. Menurut Allport dalan Gibson (1996) sifat (Trait) adalah
merupakan batu bata ibarat pondasi dari suatu bangunan, alasan,
tindakan, sumber keunikan individu. Sifat adalah dugaan
kecenderungan yang mengarahkan perilaku secara konsisten dan
ciri karakteristik tertentu. Sifat menghasilkan konsistensi pada
perilaku, karena sifat melanjutkan atribut dan cakupannya secara
umum dan luas.
2.1 Teori Kepribadian Psikodinamis menurut Freud bahwa
perbedaan kepribadian individu itu karena setiap orang mempunyai
dasar yang berbeda. Ia membagi kepribadian menjadi tiga bagian,
yaitu: id, ego dan superego. Id adalah system kepribadian yang paling
dasar, system yang di dalamnya terdapt naluri-naluri bawaan. Ego
109
adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu
kepada dunia obyek dari kenyataan dan menjalankan fungsinya
berdasarkan prinsip kenyataan. Berdasarkan fungsinya tersebut maka
ego bertindak sebagai penengah konflik, seringkali ego harus
kompromi, untuk mencoba dan memuaskan Id dan Superego.
Superego adalah sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan
aturan-aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik buruk),
dimana nilai-nilai termasuk di dalamnya sikap moral tersebut
dibentuk oleh masyarakat. Superoego sering bertentangan dengan Id,
Id ingin melakukan apa yang dirasa baik sementara Superego
memaksa melakukan apa yang “benar”.

2.2 Teori Kepribadian Humanistik menurut Roger dalam Gibson


(1996) pendekatan untuk memahami kepribadian menekankan pada
perkembangan individu dan aktualisasi diri seseorang. Pendekatan
dalam memahami kepribadian adalah humanistik (berpusat pada
manusia) dan percaya bahwa yang paling dasar dari organisme
manusia adalah untuk aktualisasi diri.

3. Determinan Kepribadian.
Ada tiga faktor yang menentukan kepribadian individu, yaitu: (1)
keturunan, (2) lingkungan dan (3) situasi. Dalam hal ini Wood
menjelaskan dalam sebuah gambar sederhana tentang faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi kepribadian individu.

P = f (H, E) dimana P adalah Personality, H adalah Heredity dan E adalah


Environment. Artinya Kepribadian (Personality) merupakan suatu hasil interaksi
antara faktor keturunan (heredity) dengan faktor lingkungan (Environment).
Dengan kata lain kepribadian sebagai hasil perpaduan antara faktor keturunan
dan faktor lingkungan yang terdiri dari faktor budaya, sosial dan situasi.

Keturunan merujuk faktor yang diturunkan saat pembuahan. Pendekatan


keturunan berasumsi bahwa penjelasan paling akhir dari kepribadian seseorang
atau individu adalah struktur molekul dari gen-gen yang terletak dalam
kromosom. Sosok fisik, daya tarik wajah, kelamin, temperamen, komposisi otot
dan reflek, tingkat energi dan ritme hayati merupakan karakteristik-karakteristik
yang umumnya dipengaruhi oleh kedua orang tua. Beberapa hasil studi
menunjukkan bahwa faktor-faktor psikofisik (seperti tinggi badan, warna rambut,

110
sifat malu, takut, murung, kegemaran, kemantapan, tidak mau repot dan bahkan
kepuasan kerja) cenderung ditentukan oleh faktor hereditas.

Lingkungan adalah faktor yang merujuk pada budaya dimana seseorang


dibesarkan, pengkodisian dini, norma-norma keluarga, teman-teman dan
kelompok sosial serta pengaruh-pengaruh lain. Pertimbangan seksama dari
argumen pendukung tentang keturunan dan lingkungan sebagai determinan
utama kepribadian dapat dikatakan bahwa keduanya penting. Keturunan
menentukan parameter-parameter atau batas-batas luar, tetapi potensi penuh
individu akan ditentukan oleh penyesuaiannya pada keturunan dan persyaratan
lingkungan.

Situasi sebagai determinan yang mempengaruhi efek keturunan dan lingkungan


pada kepribadian. Kepribadian individu yang mantap dan konsisten, bisa
berubah karena situasi. Tuntutan yang berbeda dari situasi yang berlainan
memunculkan aspek-aspek yang berlainan pada kepribadian seseorang.

4. Ciri-ciri Kepribadian
Ciri-ciri kepribadian adalah karakteristik-karakteristik (seperti sifat malu, agresif,
mengalah, malas, ambisius, setia) yang diperagakan oleh individu dalam sejumlah
besar situasi. Dengan kata lain ciri kepribadian adalah karakteristik-karakteristik
yang bertahan yang memberikan perilaku seorang individu. Pencarian dini ciri-
ciri utama dengan identifikasi enam belas faktor kepribadian yang dipandang
sebagai ciri primer kepribadian atau yang merupakan sumber perilaku yang
umumnya konstan, memungkinkan ramalan dari perilaku seorang individu
dalam situasi-situasi khusus dengan menimbang karakteristik-karakteristik untuk
relevansi situasi awalnya.

Indikator Tipe Myers Briggs


Myers Briggs Type Indicator (MBTI) adalah salah satu kerangka kepribadian yang
paling banyak digunakan. Suatu tes kepribadian yang menyadap empat
karakteristik dan mengelompokkan orang-orang ke dalam salah satu dari
enambelas tipe. Seratus pertanyaan diajukan untuk menanyai bagaimana
seseorang merasakan dan bertindak dalam situasi tertentu. Hasilnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
• Ekstrovet atau Introvet (E atau I)
• Menginderai (Sensing) atau Intuitive (S atau N)
• Berpikir (Thinking) atau Merasakan (Feeling) (T atau F)
• Merasa (Perceiving) atau Menimbang-nimbang (Judging) (P atau J)
111
Dari kelompok-kelompok tersebut di atas dapat digabung dengan enambelas
tipe kepribadian:
1. Tipe INTJ (Introvet, Intuitive, Thinking, Judging) adalah kelompok visioner,
dengan kepribadian yang bercirikan: punya pikiran orisinil dan dorongan besar
untuk ide dan maksud mereka sendiri, skeptis, kritis, tidak tergantung, bulat tekat
dan keras kepala.
2. Tipe ESTJ (Ekstrovet, Sensing, Thinking, Judging) adalah kelompok
pengorganisasi, yang mempunyai ciri: praktis, realistis, tidak berbelit, menyukai
organisasi dan menjalankan kegiatan.
3. Tipe ENTP (Ekstrovet, Intuitive, Thinking, Perceiving) adalah kelompok atau
tipe pengkonsep, ia cepat dan banyak akal, baik dalam banyak hal.
Eysenck menyederhanakan sejumlah faktor-faktor kepribadian ke dalam dua
dimensi, yaitu: introverted-extroverted dan stable-unstable seperti ditunjukkan pada
gambar 2 di bawah ini

Introverted
careful quiet
peaceful reserved reliable sober
calm anxious
Stable Unstable
leadership touchy lively aggresive
responsive changeable
outgoing optimistic
Extroverted

Gambar 2: Eysenck’s two dimensions of personality

Dari berbagai penelitian tentang kepribadian, yang paling populer adalah model
kepribadian lima faktor yang biasa disebut model lima besar. Ciri-ciri kepribadian
menurut model ini adalah:
1. Ekstraversi yaitu dimensi kepribadian yang menggambarkan sejauh mana
seseorang itu mudah bergaul, pandai bicara dan tegas.
2. Agreeableness yaitu dimensi kepribadian yang menggambarkan sejauhmana
seseorang itu ramah, mudah bekerja sama, dan dapat dipercaya.
3. Ketelitian yaitu dimensi kepribadian yang menggambarkan sejauhmana
seseorang bertanggung jawab, andal, tekun dan berorientasi prestasi.
4. Kemantapan emosional yaitu dimensi kepribadian yang menggambarkan
sejauhmana seseorang itu tenang, penuh semangat, aman, tegang, tertekan,
gelisah dan tidak aman.
112
5. Kepribadian terhadap pengalaman yaitu dimensi kepribadian yang
menggambarkan sejauhmana seseorang itu imajinatif, peka terhadap seni dan
cerdas.

5. Atribut Kepribadian Utama yang mempengaruhi Perilaku Organisasi


Sejumlah atribut kepribadian utama yang mempengaruhi perilaku organisasi
adalah:
1. Tempat kedudukan kendali
2. Machiavellanisme
3. Harga diri (self esteem)
4. Pemantauan diri (self monitotring)
5. Kecondongan untuk mengambil resiko
6. Tipe kepribadian.
Penjelasan tentang atribut kepribadian tersebut di atas dijelaskan dalam
uraian berikut ini:

5.1. Tempat Kedudukan Kendali


Tempat kedudukan kendali adalah derajat sejauhmana seseorang yakin
menguasai nasib sendiri. Ini dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu internalizers dan
externalizers.
5.1.1 Internalizers: individu yang meyakini bahwa mereka mengendalikan apa
yang terjadi pada diri mereka sendiri.
5.1.2 Externalizers: individu-individu yang meyakini bahwa apa yang terjadi pada
diri mereka dikendalikan oleh kekuatan luar seperti kemujuran dan peluang.
Dampak tempat kedudukan kendali terhadap perilaku organisasi bagi
kelompok atau bagian internal umumnya mempunyai kinerja yang lebih baik
pada pekerjaan, yaitu lebih aktif mencari informasi sebelum mengambil
keputusan dan lebih termotivasi untuk berprestasi serta melakukan upaya yang
lebih besar untuk mengendalikan lingkungan mereka. Ciri-ciri utamanya adalah:
 Tingkat absensi rendah
 Turn over rendah
 Lebih sukses
 Kinerja lebih baik
 Termotivasi untuk berprestasi.
Pekerjaan yang cocok bagi kelompok ini adalah pekerjaan manajerial dan
professional. Sedangkan dampak tempat kedudukan kendali bagi kaum eksternal
adalah lebih tunduk dan bersedia mengikuti aturan. Ciri-cirinya adalah:
 Kurang dipuaskan oleh pekerjaan
 Tingkat kemangkiran tinggi
113
 Terasing dari lingkungan kerja
 Kurang terlibat dalam pekerjaan
 Tunduk dan bersedia mengikuti pengarahan.
Pekerjaan yang cocok bagi kelompok eksternal ini adalah pekerjaan yang
terstruktur dan sifatnya rutin.

5.2. Machiavellianisme
Machiavellianisme adalah derajat sejauhmana seorang individu bersifat
pragmatis, menjaga jarak emosional, meyakini bahwa tujuan dapat membenarkan
cara. Ciri-ciri Machiavellianisme yang tinggi adalah memanipulasi lebih banyak,
memenangkan lebih banyak, jarang dibujuk dan membujuk orang lain lebih
banyak dibandingkan dengan kaum Machiavellianisme rendah. Pekerjaan yang
cocok bagi kelompok Machiaveliianisme yang tinggi adalah:
 Pekerjaan yang banyak memerlukan tawar menawar (negotiation)
 Pekerjaan yang menjanjikan hadiah bila berhasil (mis: penjualan berkomisi).
Kelompok ini berkembang manakala:
a. Berinteraksi atau tatap muka secara langsung dengan orang lain daripada
secara tidak langsung.
b. Situasi itu mempunyai aturan dan peraturan yang minimum sehingga
memungkinkan ruang gerak untuk improvisasi.
c. Keterlibatan emosional dengan rincian yang tidak relevan dengan kemenangan
mengalihkan perhatian para Machiavellianisme rendah.

5.3. Penghargaan diri (Self Esteem)


Self Esteem adalah derajat suka tidak suka seorang individu terhadap diri mereka
sendiri. Penghargaan diri menawarkan beberapa wawasan yang menarik ke
dalam perilaku organisasi yaitu Self Esteem diberikan secara langsung .
Penghargaan untuk pribadi Self Esteem tinggi, yaitu:
 Memiliki kemampuan lebih untuk berhasil dalam pekerjaan daripada
kemampuan yang mereka perlukan.
 Mengambil lebih banyak resiko dalam pekerjaannya.
 Memilih pekerjaan-pekerjaan yang tidak konvensional

Penghargaan untuk pribadi Self Esteem rendah, yaitu:


 Lebih rawan terhadap pengaruh luar
 Bergantung pada diterimanya evaluasi yang positif dari orang lain
 Lebih besar kemungkinan mereka mencari persetujuan dari orang lain.
 Cenderung menyesuaikan pada keyakinan-keyakinan dan perilaku- perilaku
dari mereka yang dihormati.
114
 Dalam posisi manajerial, cenderung untuk memperdulikan usaha
menyenangkan hati orang lain.

5.4. Pemantauan diri (Self Monitoring)


Self monitoring adalah suatu ciri kepribadian yang mengukur kemampuan
seorang individu untuk menyesuaikan perilakunya pada faktor-faktor situasional
luar. Seorang yang tinggi dalam pemantauan diri mempunyai kemampuan
adaptasi yang besar dalam menyesuaikan perilaku mereka terhadap faktor
situasional luar. Mereka sangat peka terhadap isyarat-isyarat luar dan berperilaku
berbeda dalam situasi yang berlainan. Sedangkan pemantauan diri yang rendah
cenderung memperlihatkan watak (disposisi) mereka yang sebenarnya dalam
semua situasi yang sifatnya konsisten. Dengan modal bukti pendahuluan dalam
riset maka muncul hipotesis bahwa pemantauan diri yang tinggi akan lebih
berhasil dalam posisi-posisi manajerial dimana individu dituntut memainkan
peran-peran ganda.

5.5. Pengambilan resiko


Pengambilan resiko adalah suatu kepribadian yang mengukur dampak berapa
lama manajer perlu waktu dalam mengambil keputusan dan beberapa informasi
yang mereka perlukan sebelum mengambil keputusan. Seorang individu
pengambil resiko tinggi adalah mengambil keputusan jauh lebih cepat dan
menggunakan sedikit informasi dalam mengambil pilihan-pilihan daripada
pengambil resiko rendah dengan ketepatan keputusan yang sama.
Kaitannya dengan perilaku organisasi adalah bahwa ada beberapa pekerjaan
spesifik yang menuntut kecenderungan pengambilan resiko. Seorang
wiraswastawan dan pedagang dituntut untuk pengambilan resiko tinggi.
Sedangkan pekerjaan yang bersifat administratif berkecenderungan pengambilan
resiko yang rendah.

5.6. Tipe kepribadian


Ada dua tipe kepribadian:
5.6.1. Kepribadian tipe A
Adalah pelibatan agresif dalam suatu usaha dan berusaha terus menerus
mencapai sesuatu lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat dan jika perlu
melawan upaya-upaya yang melawan hal-hal atau orang lain.
Ciri-ciri tipe ini adalah:
 Selalu bergerak, berjalan dan makan cepat
 Merasa tidak sabar dengan laju berlangsungnya kebanyakan peristiwa.

115
 Berupaya keras untuk memikirkan atau melakukan dua hal atau lebih
secara serentak.
 Tidak dapat mengatasi waktu luang.
 Terobsesi oleh bilangan yang mengukur sukses dalam bentuk seberapa
banyak semua hal yang mereka peroleh.

5.6.1. Kepribadian tipe B adalah:


 Tidak pernah merasa urgensi waktu bersama, ketidaksabaran mengiringi
rasa tersebut.
 Tidak pernah merasakan perlunya memperagakan atau membahas prestasi
mereka kecuali bila paparan semacam itu dituntut oleh situasi.
 Lebih menyukai kesantaian dan kesenangan, bukannya untuk menunjukkan
keunggulan/prestasi.
 Dapat santai tanpa rasa salah.

Tipe A mengakibatkan beberapa hasil perilaku yang agak spesifik, yaitu:


 Pekerja cepat, dengan menekankan kuantitas daripada kualitas.
 Dalam manajerial, memperagakan daya saing menekan daya bekerja dalam
waktu yang sama.
 Tidak kreatif, mengandalkan masa lalu bila menghadapi masalah. Sedangkan
tipe B dengan karakteristiknya akan lebih berhasil dalam karirnya karena
menekankan pada kualitas, sehingga mereka lebih bertindak bijak dan kreatif
karena mereka menganekaragamkan respon mereka terhadap tantangan
yang spesifik dalam lingkungan mereka.

6. Kepribadian dan Budaya Nasional


Setelah kita pelajari beberapa tipe kepribadian, maka dapatlah dikatakan bahwa
tipe-tipe kepribadian itu muncul karena pengaruh dari budaya suatu negara yang
dominan dari populasinya. Suatu kepribadian itu umum dalam setiap negara,
tetapi suatu kepribadian akan banyak muncul pada negara-negara yang
menganut budaya-budaya yang mendukung kepribadian- kepribadian itu.
Sebagai contoh, pengambil resiko tinggi dan rendah hampir terdapat pada
semua budaya. Padahal, budaya suatu negara seharusnya mempengaruhi
karakteristik kepribadian. Kelompok internal lebih banyak terdapat pada
masyarakat Amerika Utara karena mereka memang berkeyakinan bahwa
merekalah yang menjadi penentu lingkungan, sementara pribadi eksternal lebih
banyak pada masyarakat Timur Tengah karena mereka berkeyakinan bahwa
setiap hidup itu ditakdirkan. Demikian pula tipe A, terdapat di semua negara.

116
Akan tetapi lebih banyak pada negara kapitalis dimana prestasi dan sukses
material lebih dihargai.

7. Kepribadian dan Pekerjaan


Holland dengan teori kepribadian pekerjaan, mengedepankan enam tipe
kepribadian. Menurutnya, kepuasan karyawan dengan pekerjaannya dan
juga kemungkinan meninggalkan pekerjaan itu, tergantung sejauhmana
kepribadian seseorang sesuai dengan lingkungan pekerjaannya. Kepuasan dan
kecenderungan meninggalkan pekerjaan juga bergantung kepada seberapa besar
individu mencocokkan kepribadian mereka dengan lingkungan jabatan yang
sama. Kepuasan yang paling tinggi dan tingkatan keluarnya karyawan paling
rendah adalah dalam keadaan di mana kepribadian dan jabatan atau pekerjaan
tersebut cocok. Holland mengidentifikasi enam tipe karakteristik jenis pekerjaan
yang disukai dan cocok, sebagai berikut:
7.1. Tipe Realistik, dengan karakteristik pemalu, tulus, tekun, mantap, patuh
dan praktis, lebih menyukai kegiatan fisik yang menuntut ketrampilan, kekuatan
dan koordinasi. Pekerjaan yang cocok adalah: montir, operator, pekerja lini
perakitan dan petani.
7.2. Tipe Menyelidik, dengan karakteristik analitis, orisinil dan ingin tahu, lebih
menyukai kegiatan yang melibatkan pemikiran, organisasi dan pemahaman.
Pekerjaan yang cocok adalah biolog, ekonom, matematisi dan wartawan.
7.3. Tipe Sosial, dengan karakteristik senang bergaul, ramah kooperatif dan
memahami, lebih menyukai jenis kegiatan yang melibatkan bantuan dan
pengembangan orang lain. Pekerjaan yang cocok adalah: pekerja sosial, guru,
penyuluh dan psikolog klinis.
7.4. Tipe Konvensional, dengan karakteristik patuh, efisien, praktis, tidak
imajinatif dan tidak luwes, lebih menyukai peraturan, tata tertib dan kegiatan
yang tidak kembar arti. Jenis pekerjaan yang cocok adalah: akuntan, manajer
koperasi, kasir bank.
7.5. Tipe Pengusaha, dengan karakteristik percaya diri, ambisius, energik dan
menguasai, lebih menyukai kegiatan verbal, dimana ada kesempatan untuk
mempengaruhi orang dan meraih sukses. Pekerjaan yang cocok adalah pengacara,
agen real estate, spesialis humas dan manajer bisnis kecil.
7.6. Tipe Artistik, dengan karakteristik imajinatif, tidak tertib, idealis, emosional
dan tidak praktis, lebih menyukai kegiatan kembar arti dan tidak sistematis serta
memungkinkan ungkapan kreatif. Pekerjaan yang cocok adalah pelukis, musisi,
pengarang dan dekorator interior.

Dari teori-teori tersebut ada tiga hal yang dapat dijadikan kunci, yaitu:
117
1. Ada beberapa perbedaan-perbedaan intrinsik dalam kepribadian diantara
individu-individu.
2. Ada tipe-tipe pekerjaan yang berbeda atau berlainan.
3. Orang-orang dalam lingkungan kerja kongruen dengan tipe kepribadian
mereka seharusnya lebih dipuaskan dan lebih kecil kemungkinannya untuk
berhenti daripada orang-orang dalam pekerjaan yang tidak kongruen.

III. KESIMPULAN
Suatu organisasi dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan hidupnya,
akan mengalami pasang surut sebagai salah satu bagian dari proses menuju
kematangannya. Dalam proses tersebut anggota-anggota organisasi yang
adalah individu-individu dalam organisasi itu sendiri pasti terlibat aktif di
dalamnya. Perilaku-perilaku individu inilah yang berperan penting dalam
kehidupan organisasi. Bahkan dapat dikatakan individu-individu tersebut
merupakan urat nadi berkembang tidaknya organisasi. Dengan kata lain bahwa
perilaku-perilaku indivu dalam organisasi pasti memberi dampak pada perilaku
organisasi.
Perilaku organisasi dipengaruhi oleh perilaku individu, dan setiap individu
dalam suatu organisasi mempunyai perilaku yang berbeda-beda. Adanya
perbedaan perilaku tersebut karena setiap manusia mempunyai kepribadian yang
berbeda-beda. Perilaku seorang pekerja tidak akan dimengerti tanpa
memperhatikan konsep kepribadian. Kepribadian juga saling berhubungan
dengan persepsi, sikap, belajar dan motivasi setiap usaha. Untuk mengerti
perilaku menjadi tidak lengkap apabila kepribadian tidak diperhitungkan atau
dipahami sebelumnya.
Terdapat tiga teori yang membantu kita dalam memahami kepribadian yaitu
teori yang menjelaskan individu, teori psikodinamis yang menggabungkan
karakteristik manusia dan menjelaskan perkembangan kepribadian alamiah
dinamis serta teori para humanis yang menekankan pada orang dan pentingnya
aktualisasi diri kepada kepribadian. Setiap pendekatan berusaha untuk
menerangkan sifat unik atau khas dari setiap individu yang mempengaruhi pola
perilakunya.
Kepribadian yang dikembangkan kepada seseorang jauh sebelum seseorang itu
menjadi anggota suatu organisasi dipengaruhi oleh sifat-sifat keturunan,
determinan budaya dan sosial. Walaupun kepribadian dibentuk di luar
organisasi tetapi karena individu tersebut pada saatnya berada dalam suatu
organisasi, maka kepribadian awal yang dibawa oleh anggota-anggota atau
individu-individu organisasi itu dianggap sebagai faktor penting dalam perilaku

118
di tempat kerja. Perilaku individu maupun kelompok di tempat kerja inilah yang
menjadi bagian bahasan dalam studi perilaku organisasi.

Daftar Pustaka
Margaret E. Gredler, Learning And Instruction: Teori Dan Aplikasi, Jakarta:
kencana, 2011 halaman 540

119
RESUME NOVELTY BUKU BUNGA RAMPAI PSIKOLOGI POSITIF

Kajian dalam buku ini membahas mengenai seputar aspek dalam Psikologi
Positif. Kajian mengenai Psikolog positif, termasuk dalam kajian bidang psikologi
dengan perspektif cenderung baru muncul pada tahuan 2000-an, dengan kata lain
Psikologi positif merupakan salah satu kajian bidang ilmu psikologi yang baru-
baru ini berkembang. Psikologi positif, konsep andalan kajiannya terfokus pada
kekuatan individual yang terdapat pada diri seseorang. Pada periode beberapa
tahun belakangan, dapat diamati perubahan yang cukup drastis dalam meninjau
ulang dan menganalisis arah area kajian psikologi yang awalnya fokus pada
penyembuhan ataupun pemulihan individu, namun sekarang justru lebih ke arah
membangun dan menguatkan kualitas positif yang dimiliki individu.

Bab-bab yang ada pada bunga rampai ini cenderung memberikan nuansa
baru dalam pembahasan kajian bidang Psikologi. Kajian ini dapat menginspirasi
pada ahli dan pemerhati bidang Psikologi dengan perspektif yang cenderung baru
dan menarik untuk diulik dengan lebih mendalam. Beberapa kajian dalam buku
ini menggambarkan kondisi positif yang dimiliki oleh individu, baik secara
pembentukan karakter positif, kajian mengenai emosi yang positif dengan regulasi
emosi dan kecerdasan emosi sera kepribadian dan sikap positif dalam bekerja.

Kajian yang cukup komprehensif mengenai faktor pembentukan karakter


perspektif psikologi positif menjadi kekhasan dan menjadi kebaruan di dalam
pembahasan terkait pembentukan karakter. Juga dalam kajian ini membahas juga
tentang integrasi pembahasan pembentukan karakter dalam perspektif mainstream
Psikologi Positif yang hadir didasar dengan pandangan kebajikan secara general
yang dapat diterapkan dalam seluruh agama dan juga tentunya perspektif kajian
Psikologi Islam.

Oleh karena itu diharapkan pembahasan dalam buku ini dapat


menginspirasi para pembaca dalam melihat berbagai masalah maupun fenomena
dalam hidup, tentunya dengan perspektif Psikologi Positif, sehingga diharapkan
segala hal yag dipandang dengan positif, maka akan berdampak positif juga bagi
individu yang menghadapi masalah. Dan diharapkan juga individu dapat
menemukan dan memiliki kekuatan-kekuatan diri yang positif untuk dapat hidup
bermakna dan sejahtera dalam berbagai lini/aspek kehidupan.

Tertanda

Natris Idriyani

Penulis
RESUME NOVELTY BUKU MODUL FITRAH AQIL BALIGH

Buku ini merupakan satu bentuk karya ilmiah yang dipersembahkan bagi seluruh
pembaca yang memiliki konsentrasi dan minat dalam mendalami dan mengkaji
terkait anak berkebutuhan khusus, yaitu salah satunya adalah anak dengan down
syndrome. Terutama bagi orang tua, maupun pemerhati bagi anak-anak maupun
remaja yang berkebutuhan khusus.

Down syndrome merupakan suatu kondisi mental yang khas yang dialami
oleh beberapa individu. Kondisi mental dengan disabilitas intelektual, membuat
anak-anak maupun remaja yang mengalaminya memiliki keterbatasan dalam
berpikir dan berperilaku. Sehingga hampir di semua periode yang dialaminya,
dijalankan dengan aktivitas yang kemampuan yang terbatas. Keterbatasan dan
ketidakmampuan yang dialaminya, membuat lingkungan terutama orang tua harus
berupaya membantu sepenuhnya terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya,
termasuk bagaimana remaja dengan down syndrome menjalankan periode
kehidupannya di masa pubertas.

Masa pubertas merupakan periode kehidupan yang harus dilalui oleh


seluruh individu, termasuk anak doswn syndrome yang memiliki keterbatasan
dalam memahami dan menjalankan masa pubertas ini. Adapun yang menjadi
kekhasan dan kebaruan dari buku ini, selain menggunakan istilah masa pubertas
menjadi masa fitrah aqil baligh, juga buku ini merupakan panduan satu-satunya
yang menginformasikan dan membantu orang tua secara praktis mengajarkan
pada remaja dengan down syndrome cara merawat dan menjaga masa fitrah aqil
baligh nya. Dengan kata lain, buku ini merupakan panduan praktis bagi orang tua
dalam membantu remaja down syndrome menjalani masa pubertas, mengingat
banyak kesulitan yang dihadai orang tua dalam menginformasikan dan
mengajarkan tanda-tanda pubertas, seperti perubahan sex primer, yaitu menstruasi
pada remaja perempuan dengan down syndrome dan mimpi basah pada remaja
laki-laki down syndrome.
Suatu kekhasan dan kebaruan lainnya dari buku ini adalah dalam buku ini
juga terdapat, kartu-kartu bergambar, yang berguna sebagai alat peraga dalam
mengenalkan dan menginformasikan serta mengajarkan secara praktis tentang apa
dan bagaimana menjalankan masa pubertas. Diantaranya, terdapat beberapa kartu
yang didalamnya terdapat gambar alat-alat yang digunakan dalam masa pubertas.
Kartu-kartu juga terdapat gambar-gambar urutan melakukan mandi bersih,
brwudhu dan lainnya bagi remaja down syndrome yang sedag menstruasi maupun
mimpi basah. Pada kartu-kartu tersebut juga membantu orang tua untuk
mengajarkan bagaimana cara merawat diri para remaja downs syndrome pada
masa fitrah aqil balighnya tiba.

Selain itu kebaruan lainnya dalam buku ini juga mengintegrasikan kajian
psikologi dengan kajian keislaman terkait dengan masa pubertas atau masa fitrah
aqil baligh yang dialami remaja dengan down syndrome. Terdapat ayat-ayat Al-
Qur’an yang juga menjelaskan masa pubertas dan cara menjalankan masa
tersebut. Sehingga dapat membantu orang tua yang masih belum memahami
bagaimana syariat Islam mengajarkan dalam menjalankan masa fitrah aqil baligh
remaja muslim.

Tertanda

Natris Idriyani

Penulis

Anda mungkin juga menyukai