KEKUATAN KARAKTER
PENDAHULUAN
1
kepribadian. Penjelasan mengenai character strength (kekuatan
karakter) akan dibahas lebih detail, diantaranya diawali dari definisi
dari character strength (kekuatan karakter), faktor-faktor dari character
strength (kekuatan karakter), uraian mengenai klasifikasi virtues dan
strength (kekuatan), faktor yang mempengaruhi character strength
(kekuatan karakter), dan terakhir mengkaji mengenai alat ukur yang
digunakan untuk mengukur character strengths (kekuatan karakter) itu
sendiri.
Adapun sebagai uraian tambahan akan dipaparkan mengenai
konsep-konsep yang menjadi faktor yang mempengaruhi character
strength (kekuatan karakter), diantaranya pembahasan mengenai
parenting style (gaya pengasuhan orang tua), friendship quality (kualitas
persahabatan) dengan teman sebaya, prosocial behavior (perilaku
prososial) pengajar dan kajian tentang religusitas yang diuraikan
sebagai penguat dari adanya interaksi antara ketiga faktor tersebut
terhadap character strengths.
1. Psikologi Positif
1.1. Pandangan Psikologi Positif
Untuk sampai pada pemahaman tentang character strength, maka
terlebih dahulu menjadi penting untuk membahas pandangan
psikologi positif dimana ia merupakan payung dari pembahasan
tentang character strength. Psikologi positif menekankan pada bahasan
mengenai kekuatan dibandingkan kekurangan yang dimiliki individu.
Hal ini dilakukan sebagai penekanan dalam upaya membangun serta
membentuk yang terbaik dalam hidup, dibandingkan hanya dengan
mengurusi pengobatan atau pemulihan terhadap gangguan-gangguan
yang dialami seseorang.
Psikologi positif merupakan salah satu kajian bidang ilmu
psikologi yang baru-baru ini berkembang. Psikologi positif, konsep
andalan kajiannya terfokus pada kekuatan individual yang terdapat
pada diri seseorang. Hal ini diperkuat oleh uraian seorang tokoh
psikologi positif yaitu Seligman dan Csikszentmihalyi (2000) yang
menjelaskan bahwa pada umumnya kajian psikologi mirip dengan
model medical yang menekankan pada upaya menyembuhkan penyakit
atau gangguan fungsi yang dialami oleh individu. Dan beberapa tahun
belakangan ini, terdapat perubahan yang cukup drastis dalam melihat
kembali arah area kajian psikologi yang awalnya fokus pada
penyembuhan ataupun pemulihan individu, namun sekarang justru
2
lebih ke arah membangun dan menguatkan kualitas positif yang
dimiliki individu.
Dalam tulisannya Bagus Takwim (2006) menjelaskan bahwa
kecenderungan menggunakan model manusia yang sakit dalam kajian
perilaku manusia memang menunjukkan hasil dan manfaat besar
dalam menyelesaikan berbagai masalah kejiwaan. Namun, di sisi lain
ada biaya besar yang harus ditanggung, ada kerugian yang dihasilkan.
Seligman (dalam Edge, 2004) mengidentifikasi 3 biaya besar yang
harus ditanggung akibat kecenderungan mengkaji perilaku dengan
pendekatan patologis.
Biaya pertama adalah biaya moral. Para psikolog menjadi ahli
korban dan tukang utak atik perilaku patologis. Mereka cenderung
memandang manusia sebagai makhluk yang selalu digenangi penyakit
mental. Ide-ide seperti kemampuan memilih, kehendak bebas,
preferensi, keberanian, spiritualitas, kebijaksanaan, keutamaan ,
keadilan, dan semacamnya cenderung dilupakan.
Biaya kedua, pendekatan yang selalu ditekankan kepada
penyakit mental, sehingga menjadikan para psikolog lupa tentang
bagaimana mengupayakan kehidupan yang secara relatif bebas dari
masalah, bermanfaat, lebih bahagia, lebih produktif. Mereka juga lupa
pada kelebihan-kelebihan manusia serta kejeniusan para penemu
dalam sejarah.
Biaya ketiga, pemusatan terhadap gejala patologi membawa
mereka kepada upaya-upaya menghilangkan penyebab gangguan,
kembali ke belakang saat awal terjadinya penyimpangan atau
keterhambatan. Akibatnya, mereka tak sempat memikirkan soal
bagaimana membuat orang lebih bahagia. Kecenderungan yang ada
hanya bagaimana mengembangkan intervensi untuk mengurangi
penderitaan orang.
Untuk mencegah membesarnya ketiga biaya di atas, serta
menghindari kerugian akibat pengabaian kualitas-kualitas positif
manusia, sejak 1996 Martin Seligman mengembangkan suatu
pendekatan yang ia namakan dengan psikologi positif. Jika psikologi
dan psikiatri terdahulu berupaya mengurangi sebanyak mungkin
muatan penderitaan, maka psikologi positif berikhtiar untuk
menambah sebanyak mungkin muatan kebahagiaan di dunia.
Untuk itu, Seligman sebagai pelopor utama psikologi positif
menggali pemikiran-pemikiran tentang kebahagiaan dari para filosof
dan tokoh-tokoh psikologi. Dalam filsafat, ia temukan Aristoteles,
3
dengan konsep eudaemonia yang berarti ‘kehidupan yang baik’, well-
being atau kebahagiaan. Istilah eudaemonia pernah juga dipakai oleh
Thomas Jefferson dengan pengertian ‘pencapaian kebahagiaan’. Istilah
‘psikologi positif’ sendiri diambil dari Abraham Maslow dan Gordon
W. Allport yang juga memimpikan psikologi yang mengkaji kualitas-
kualitas positif manusia.
Eudaemonia menjadi konsep sentral dalam psikologi positif.
Istilah ini merujuk kepada kebahagiaan yang dibedakan dari
kenikmatan dalam pengertian hedonisme. Kebahagiaan disini bukan
kebahagiaan yang dicapai dengan kenikmatan ragawi. Bukan juga
kebahagiaan yang ditandai oleh banyak senyum dan tawa terbahak-
bahak. Jika pun eudaemonia mengandung kenikmatan di dalamnya,
maka itu merupakan hasil dari kontemplasi dan percakapan yang baik.
Aristoteles mengartikan eudaemonia secara khusus sebagai
kebahagiaan yang dihasilkan dari aktivitas rasional. Ia tidak merujuk
kepada perasaan temporer atau emosi kasar, juga bukan gairah
hormonal atau orgasmic, melainkan kebahagiaan yang dihasilkan dari
aktivitas memandang dan memahami hal yang baik.
Csikszentmihalyi (1990) dalam bukunya Flow mengkongkritkan
eudaemonia sebagai keadaan yang diperoleh ketika orang mengalami
percakapan yang baik, saat berkontemplasi secara mendalam. Ketika
orang mengalami eudaemonia, waktu berhenti dan ia merasa
sepenuhnya berada di tempat yang tepat. Di saat itu, orang menjadi
satu irama, satu penghayatan dengan dunia. Ibarat mendengarkan
musik yang baik, si pendengar dan musiknya menyatu, mengalir
bersama. Hidup yang baik mengandung akar-akar yang mengarahkan
kepada aliran itu; berisi pengetahuan pertama tentang kekuatan-
kekuatan manusia, kemudian memperhalus kembali kehidupan kita
untuk menghasilkan hal-hal yang baik. Dengannya kita menata
kembali dan memperbaiki kerja, percintaan, pertemanan, waktu luang,
dan kepedulian; mengatur kembali diri dan benda-benda untuk
mendapatkan hasil yang terbaik.
Psikologi positif dapat digambarkan sebagai kajian ilmiah
tentang kekuatan dan kebajikan manusia (Sheldon dan
Csikszentmihalyi, 2001) dan kesempatan untuk meneliti dan membuat
teori tentang apa yang bermanfaat dalam kehidupan (Park, Peterseon
& Seligman, 2004). Kajian ini dapat kita uraikan dalam tiga level yang
berbeda, yaitu level pertama adalah level subjektif, yaitu meliputi
pengalaman subjektif yang berkaitan dengan well being, kepuasan dan
4
terpenuhinya kesenangan (kepuasan) masa lalu, optimisme dan
harapan masa depan dan kebahagiaan masa mendatang. Level yang
kedua; atau level individual menekankan pada individual trait (sifat
individual) yang positif secara alamiah. Sebagai contoh beberapa sifat
tersebut adalah kapasitas untuk cinta, pemaafan, spiritualitas,
interpersonal skill, berpikir ke depan. Di samping itu, para peneliti
telah menunjukkan bahwa kekuatan manusia secara nyata membantu
sebagai penyangkal terhadap penyakit mental (Seligman dan
Csikszentmihalyi, 2000). Sebagai contoh kekuatan karakter seperti
harapan, kebaikan, kecerdasan sosial dan self control dapat menyangkal
munculnya efek negatif dari stress dan trauma, yang dapat menjaga
beberapa gangguan mental yang dialami individu (Park, 2004). Level
kajian ketiga dalam psikologi positif adalah level kelompok. Dalam
level ini institusi yang mendorong individu untuk bergerak ke arah
pertumbuhan sosial. Dalam bahasa lain dipahami bahwa individual
adalah terdorong menjadi lebih bertanggung jawab, lebih memelihara,
lebih bemasyarakat dan lebih toleran untuk beberapa kondisi
(Seligman dan Csikszentmihalyi, 2000).
Terkait dengan level kajian kedua yaitu mengenai sifat-sifat
positif individu, yang memayungi konsep character strength (kekuatan
karakter), hal tersebut sudah menjadi hal yang marak dibicarakan dan
dikaji belakangan ini. Saat ini kebanyakan negara dalam
mengembangkan sistem kemasyarakatan mulai fokus pada
pembentukkan karakter yang baik (Hunter, 2000). Negara U. S. setelah
beberapa periode mengalami perubahan paham-paham dalam
bermasyarakat, seeperti tahun 1960an menganut paham hedonism,
tahun 1970an menganut paham narcisme, kemudian tahun 1980
menganut paham materialism, dan tahun 1990an menganut paham
apatis, yang pada akhirnya belakangan ini tampak masyarakat U.S.
yakin bahwa karakter lebih penting dari itu semua. Dan U.S. pernah
mengalami krisis pembentukan karakter dalam beberapa kondisi.
11
karakter tertentu, yang jika dilihat lebih jauh lagi dapat membentuk
sebuah keutamaan.
4. Love of learning
Individu yang memiliki sikap love of learning secara positif akan
termotivasi untuk mendapatkan keterampilan atau pengetahuan baru
atau meningkatkan keterampilan dan pengetahuan yang sudah
dimiliki. Usaha untuk mendapatkan dan meningkatkan keterampilan
serta pengetahuan tersebut dilakukan sendiri ataupun secara formal
(Linley dan Joseph, 2004).
15
5. Perspective (wisdom)
Perspective (wisdom) mengacu kepada kemampuan untuk
mempersiapkan bekal hidup dalam waktu yang panjang, yang dapat
dimengerti bagi dirinya dan orang lain (Peterson dan Seligman, 2004).
Perspective merupakan hasil pengetahuan dan pengalaman, tetapi hal
ini melebihi penjumlahan dari informasi yang ada. Dalam konteks
sosial, perspective membiarkan individu untuk mendengarkan orang
lain, mengevaluasi apa yang mereka katakan, dan kemudian
memberikan nasihat yang baik untuk orang lain (Peterson dan
Seligman, 2004).
3.4.2. Courage
Merupakan kekuatan emosional yang melibatkan penggunaan
keinginan untuk mencapai tujuan dalam menghadapi dua hal yang
bertentangan baik eksternal atau internal (Linley dan Joseph, 2004).
Kekuatan atau strength dari courage meliputi:
1. Bravery (valor)
Tidak menghindar dari ancaman, tantangan, kesulitan, atau rasa sakit,
berani mengungkapkan kebenaran walaupun bertentangan dengan
orang lain, bertindak sesuai dengan keyakinan walaupun tidak
disukai, termasuk kebenaran secara fisik, tetapi tidak hanya terbatas
pada hal tersebut (Linley dan Joseph, 2004). Arti keberanian ini
berbeda-beda pada suatu budaya dengan budya lainnya (Peterson dan
Seligman, 2004).
4. Vitality (zest)
Menjalani kehidupan dengan kegembiraan dan berenergi,
tidak melakukan sesuatu setengah-setengah, menjalani hidup sebagai
seorang petualang, merasakan hidup yang bahagia dan aktif (Linley
dan Joseph, 2004). Seseorang yang memiliki kekuatan ini menjalani
hidup dengan penuh semangat dan dapat menjalani fungsinya
dengan baik (Peterson dan Seligman, 2004).
3.4.3. Humanity
Merupakan kekuatan yang berkaitan dengan interpersonal. Virtue ini
menunjukkan kemurahan hati, berbuat kebaikan walaupun tidak
ataupun tidak akan mendapatkan balasan, memahami bahkan waktu
harus mendapatkan hukuman (Linley dan Joseph, 2004). Humanity
dalam bidang psikologi berupa altruistic atau perilaku prososial (Linley
dan Joseph, 2004). Strengths dari humanity adalah:
1. Love
Menilai penting hubungan dekat dengan orang lain, terutama
saling berbagi dan saling peduli, menjalin hubungan dekat dengan
orang lain (Linley dan Joseph, 2004). Cinta yang dimaksud disini
terbatas pada hubungan cinta yang bersifat timbal-balik, sehingga
cinta yang tidak terbalas dan hubungan parasosial tidak termasuk ke
dalamnya. Hubungan romantis, rasa cinta antara orang tua dan anak,
keterikatan antara anggota tim atau kelompok termasuk dalam
kategori kekuatan ini. Rasa cinta biasanya mencakup perasaan positif
yang kuat, komitmen, dan bahkan pengorbanan yang termanifestasi
dalam perilaku membantu, menenangkan dan menerima orang lain.
17
2. Kindness (generosity, nurturance, care, compassion, altruistic love,
niceness)
Melakukan kebaikan dan perbuatan baik untuk orang lain, membantu
orang lain dan menjaga mereka (Linley dan Joseph, 2004). Kekuatan ini
juga dapat berupa perilaku membantu atau berbuat baik kepada orang
lain yang tidak dikenal ataupun yang memiliki hubungan dekat
dengan individu.
3. Social intelligence
Peduli terhadap alasan-alasan dan perasaan orang lain dan diri
sendiri, mengetahui apa yang harus dilakukan untuk menyesuaikan
diri dengan situasi sosial yang berbeda, mengetahui apa yang
menggerakkan orang lain (Linley dan Joseph, 2004). Istilah lain yang
digunakan untuk menggambarkan kekuatan ini adalah “hot
intelligence”, yang berarti kemampuan untuk dapat memproses
informasi yang teraktual seperti sinyal yang berhubungan dengan
motivasi, perasaan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
kesejahteraan individu. Selain social intelligence, kekuatan ini juga
mencakup emotional intelligence dan personal intelligence yang saling
melengkapi satu sama lain. Emotional intelligence adalah kemampuan
untuk menggunakan informasi emosi di dalam penalaran. Personal
intelligence mencakup ketepatan dalam memahami diri dan menilai
diri, termasuk kemampuan untuk memahami motivasi, emosi, dan
dinamika internal. Sedangkan social intelligence berhubungan dengan
hubungan individu dengan orang lain, yaitu keintiman dan
kepercayaan, kemampuan persuasif atau keanggotaan dalam suatu
kelompok.
3.4.4. Justice
Justice merupakan kekuatan pada masyarakat yang melandasi
timbulnya kehidupan masyarakat yang sehat. Kekuatan pada justice
terdiri atas:
2. Fairness
Memperlakukan orang lain dengan sama berdasarkan pengertian dari
kejujuran dan keadilan, tidak membiarkan bias personal dalam
memutuskan sesuatu berkaitan dengan orang lain, memberikan
kesempatan yang adil kepada setiap orang (Linley dan Joseph, 2004).
Kekuatan ini merupakan hasil dari moral judgement, yaitu proses
dimana seseorang menentukan apa yang benar secara moral, apa yang
salah secara moral, dan apa yang dilarang secara moral.
3. Leadership
Individu dengan predisposisi ini biasanya mengambil peran-peran
dominan dalam hubungan dan kehidupan sosialnya. Selain itu,
individu dengan kekuatan ini biasanya mendorong kelompok untuk
mencapai suatu tujuan sekaligus mempertahankan hubungan yang
baik dengan anggota kelompok yang lain, dapat mengorganisasikan
suatu aktivitas kelompok dan memantau agar kegiatan tersebut
berjalan dengan baik.
3.4.5. Temperance
Temperance merupakan kekuatan yang melindungi individu dari segala
sesuatu yang berlebihan. Kekuatan pada temperance terdiri atas:
19
2. Humility/modesty
Individu yang memiliki kekuatan ini tidak membicarakan
keberhasilan yang telah dicapainya dan membiarkan keberhasilan
tersebut berbicara sendiri (Peterson dan Seligman. 2004). Individu
tersebut apa adanya, tidak mencari perhatian, tidak menganggap diri
sendiri lebih spesial dan menyadari kesalahan serta kekurangan diri
(Linley dan Joseph. 2004). Modesty berbeda dengan humility. Modesty
lebih bersifat eksternal yang artinya bersifat sederhana secara perilaku
maupun penampilan. Sedangkan humility bersifat internal yang artinya
memiliki kecenderungan untuk merasa bahwa dirinya bukanlah pusat
dunia.
3. Prudence
Hati-hati terhadap pilihan, tidak mengambil resiko yang tidak
semestinya, tidak mengatakan atau melakukan sesuatu yang mungkin
akan disesali (Linley dan Joseph, 2004). Individu yang memiliki
kekuatan ini memiliki kemampuan rasio dan manajemen diri yang
baik sehingga mereka dapat lebih efektif mencapai tujuan jangka
panjangnya. Mereka akan memilih setiap langkahnya dengan hati-hati
dan memikirkan konsekuensi dari langkah-langkah yang mereka pilih
dan tidak pilih. Mereka tidak akan mengorbankan tujuan jangka
panjang mereka demi mencapai tujuan jangka pendek mereka.
4. Self-regulation (self-control)
Individu dengan kekuatan ini dapat mengatur apa yang
dirasakan dan dilakukan, disiplin, bisa mengontrol nafsu dan emosi
(Linley dan Joseph, 2004). Selain itu, individu yang memiliki kekuatan
ini selalu berusaha untuk mengendalikan respon-responnya dengan
tujuan untuk mencapai tujuannya dan untuk memenuhi standarnya.
3.4.6. Transcendence
Transcendence merupakan kekuatan yang dapat menciptakan
hubungan yang dekat antara individu dengan alam semesta dan
memberi makna bagi individu tersebut. Kekuatan transcendence terdiri
atas:
2. Gratitude
Menginsafi dan berterimakasih terhadap hal baik yang telah
terjadi, dan menyediakan waktu untuk mengekspresikannya (Linley
dan Joseph, 2004). Mereka yang memiliki kekuatan ini menyadari dan
bersyukur akan hal-hal yang baik yang pernah dialaminya, dan selalu
menyempatkan waktu untuk mengucapkan terima kasih.
4. Humor (playfulness)
Gemar tertawa dan menggoda orang lain, membawa
kebahagiaan kepada orang lain, melihat sisi positif, membuat lelucon
(Linley dan Joseph, 2004). Humor yang dimaksudkan disini adalah
humor yang membawa kebaikan-bukan yang membawa keburukan.
5. Spirituality (religiousness, faith purpose)/
Memiliki kepercayaan mengenai sebuah tujuan yang lebih tinggi
dan makna dari alam semesta, mengetahui peran dalam skema besar,
memiliki kepercayaan mengenai makna hidup yang membentuk
perilaku dan memberikan rasa tenang dan nyaman dalam hidup.
Individu dengan kekuatan ini memiliki sebuah teori mengenai makna
dari hidup yang kemudian membentuk segala perilaku, mereka dan
memberikan kenyamanan bagi mereka.
21
3.5. Faktor yang mempengaruhi Kekuatan Karakter
Terdapat beberapa variasi yang mempengaruhi dan berkontribusi
terhadap perkembangan kekuatan karakter. Hal pertama yang
mempengaruhi adalah faktor biologis (Park, 2004). Faktor kedua
adalah faktor sosial seperti memiliki model yang berperan positif
sebagai peran penting terhadap perkembangan karakter (Radke-
Yarrow, Zahn-Waxler, & Chapman, 1983). Peneliti ini menjelaskan
bahwa bimbingan dari orang dewasa membantu perkembangan
tingkah laku prososial. Ketiga, relasi yang erat dengan famili dan
teman sebaya, melalui secure attachment, yang dapat menampakkan
hubungan positif dalam perkembangan karakter (Waters, Hey, &
Richer, 1986; Londerville & Main, 1981; Dun , 1988; Birch & Cillman,
1986). Keempat institusi positif seperti peran sekolah, yang memainkan
peran penting dalam perkembangan karakter (Park). Atmosfer
(suasana lingkungan) yang bermoral seperti institusi adalah penting
bagi perkembangan karakter (Higin, Power dan Kohlberg, 1994). Dan
yang terakhir adalah gaya pengasuhan orang tua yang positif, seperti
gaya pengasuhan otoritatif (demokratis) yang secara konsisten
menampakkan berhubungan dengan perkembangan karakter yang
positif (Baumrind, 1998). Menurut Park, (2004) kondisi ini dapat
menunjukkan lingkungan yang responsive dan respectful yang
dihasilkan dari gaya pengasuhan ini, dan sebagai tambahan juga dapat
menjadikan pembimbing dalam perilaku yang konstruktif.
Menurut Nansook Park (2004) terdapat beberapa determinan
faktor yang mempengaruhi perkembangan good character (karakter
yang baik), diantaranya, faktor biologis, peran model yang positif
seperti tingkah laku prososial dari guidence (pembimbing), hubungan
yang erat dengan keluarga dan teman sebaya, institusi positif, struktur
sosial keluarga berperan secara konsisten, ritual dan sesuai tradisi,
budaya bermoral, nilai-nilai kemasyarakatan dan pengaruh komunitas
(masyarakat) setempat.
Uraian di atas juga didukung oleh ungkapan seorang ahli
psikologi yang consern pada kajian psikologi positif. Dalam bukunya
Seligman (2004) menjelaskan bahwa berdasarkan pengalaman terdapat
beberapa kondisi yang dapat membentuk kekuatan karakter, meliputi:
kesempatan belajar dan bekerja, keluarga yang supportif dan
konsisten, lingkungan tetangga dan sekolah yang nyaman, stabilitas
politik juga demokrasi. Dan terdapat hal lain, diantaranya kemunculan
22
mentor, peran model, dan teman sebaya yang supportif, juga keluarga
yang beperan langsung baik di dalam maupun di luar rumah.
Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa terdapat
faktor-faktor penting yang berulang dijelaskan dapat membentuk
kekuatan karakter dan menjadi hal yang menarik untuk dikaji, yaitu
pengasuhan orang tua yang positif, peran model yang positif dan
hubungan erat dengan keluarga dan teman sebaya.
Faktor-faktor tersebut di atas dikatakan menarik karena dalam
lingkup perkembangan psikososial dan psikologi lingkungan, individu
tumbuh dan berkembang menjadi remaja tidak lepas dari peranan tiga
significant others, yaitu orang tua, teman sebaya dan guru. Dalam
lingkungan rumah remaja sering berinteraksi dengan orang tua,
sedangkan di luar lingkungan rumah, seperti sekolah dan lainnya,
remaja sering berinteraksi dengan teman sebaya dan juga guru.
24
sikap, nilai-nilai, minat dan harapan-harapannya dalam mengasuh dan
memenuhi kebutuhan anak
Gaya pengasuhan orang tua pada hakekatnya menunjuk kepada
perlakuan orang tua terhadap remaja yang diaktualisasikan melalui
interaksinya dengan remaja, dalam mendorong perkembangan tingkah
laku pada remaja. Salah satu pendekatan yang sering dipilih, berawal
dari apa yang digambarkan oleh ahli psikologi yang bernama Maccoby
dan Martin (dalam Steinberg, 1993:141), mereka menggambarkan
adanya dua macam pola tingkah laku orang tua terhadap anak atau
remaja, yaitu “parental responsiveness” dan “parental demandingness”.
Parental responsiveness menunjuk pada sejauh mana orang tua
menanggapi kebutuhan-kebutuhan anak dalam suatu sikap menerima
dan mendukung, sedangkan parental demandingness menunjuk pada
sejauh mana orang tua mengharapkan dan menuntut perilaku yang
bertanggung jawab dan matang dari anak-anaknya. Maccoby (dalam
Steinberg, 1993) menempatkan kedua aspek tersebut dalam parental
behavioral. Para orang tua memiliki keragaman dalam dimensi-dimensi
tersebut. Beberapa diantaranya memperlihakan kadar Parental
responsiveness yang tinggi dengan sikap-sikap hangat dan menerima,
sementara yang lain ada yang tidak mau mendengarkan (unresponsive)
dan menolak (rejecting) anak. Dalam hal parental demandingness,
beberapa orang tua tampak menuntut dan mengharapkan banyak
sekali dari anak mereka, sementara yang lain serba membolehkan dan
dengan sedikit tuntutan. Baumrind (dalam Steinberg, 1993; Berk, 1994;
Conger, 1977) menggabungkan parental control dalam aspek
demandingness, sedangkan unsur-unsur cinta kasih, kehangatan,
dukungan, perlindungan, dan pemeliharaan dimasukkan dalam aspek
parental responsiveness.
1) Demandingness
Dimensi ini menunjukkan pada kualitas otonomi orang tua
dalam mengasuh anak mereka (Erikson, 1963; Baumrind, 1971;
Maccoby, 1980; dalam Shaffer, 1994). Controlling parents membatasi
25
ekspresi remaja dengan memberikan beberapa tuntutan (demand) serta
mengawasi perilaku remaja untuk memastikan bahwa perilaku remaja
tidak menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan. Uncontrolling
parents kurang menuntut remaja dan lebih memberikan kebebasan
yang seluas-luasnya sesuai dengan keinginan remaja. Dengan
demikian dimensi control ini bergradasi dari yang lemah (uncontrol
parents) sampai yang kuat (control parents)
2) Responsiveness
Dimensi ini menunjukkan kuantitas kehangatan dan afeksi
orang tua terhadap anak (Erikson, 1963; Baumrind, 1971; Maccoby,
1980; dalam Shaffer 1994). Orang tua yang tergolong hangat dan
responsif ditunjukkan dengan keramahan, memperhatikan anak,
memberikan pujian (reward) ketika anak berhasil. Cepat tanggap
terhadap kebutuhan anak, meluangkan waktu untuk membantu anak,
peka terhadap keadaan emosi anak. Orang tua menggunakan
tingkatan yang bervariasi dari dua dimensi gaya pengasuhan tersebut.
Perpaduan kedua dimensi tersebut terdapat dalam empat
model pengasuhan yang berbeda sebagaimana yang digambarkan oleh
Maccoby dan Martin (1983) dalam visualisasi berikut:
Demandingness
High Authoritative Indulgent
Responsiveness
Low Authoritarian Indifferent
a) Authoritative Parenting
Gaya pengasuhan orang tua yang authoritative adalah
perlakuan orang tua yang menerapkan demandingness tinggi dan
responsiveness tinggi terhadap anak. Orang tua menganut gaya
pengasuhan authoritative karakteristik interaksinya adalah cenderung
bersifat hangat dan dekat dengan anak, tetapi mereka juga
menyebutkan standar aturan yang jelas untuk anak-anaknya,
cenderung mempertahankan standar aturan itu dengan konsisten, dan
26
tidak menyerah kepada usaha perlawanan anaknya. Mereka
menunjukkan perasaan tidak senang dan kejengkelannya secara
terbuka apabila anak-anaknya nakal, dan mereka tidak segan
menerapkan hukuman fisik. Senang mendukung perilaku kontruktif
anak. Perilaku anak yang ditampakkan dengan gaya pengasuhan
authoritative adalah: enerjik, mandiri, mampu mengendalikan diri, ceria
dan bersahabat, mudah bekerja sama, serta mampu menghadapi stress.
b) Authoritarian Parenting
Gaya pengasuhan orang tua yang authoritarian adalah
perlakuan orang tua yang menerapkan demandingness tinggi dan
responsiveness rendah terhadap anak. Orang tua yang menerapkan gaya
pengasuhan authoritarian ini, karakteristik interaksinya adalah sebagai
berikut: menuntut konformitas yang tinggi, anak-anak harus patuh
tanpa banyak bertanya tentang semua perintah orang tua. Orang tua
seperti ini adalah dogmatis, cenderung memaksa anaknya mengikuti
peraturan mereka secara kaku, tetapi tidak menjelaskan aturan itu
dengan jelas. Mereka keras dan suka menghukum dalam merapkan
disiplin, dan mereka mudah marah apabila anak menentangnya,
kurang hangat dan kurang dekat. Apabila orang tua mencoba untuk
memaksa anak-anak mereka agar berperilaku dengan cara tertentu,
anak-anak akan memberikan reaksi dengan cara tertentu pula. Mereka
akan berputus asa, yakin bahwa mereka tidak akan mampu mengatasi
problem hidup, atau mereka menjadi pemberontak dan menolak untuk
tidak mau menerima apapun saran orang tua. Adanya situasi (kondisi)
yang membangkitkan rasa frustasi bagi anak yang muncul dengan
gaya pengasuhan authoritarian akan menyebabkan anak menjadi
bingung dan mudah tersinggung, takut, gelisah, menjengkelkan,
agresif, lebih senang menyendiri, murung dan sedih.
Namun, Baumrind mengidentifikasi ada tiga gaya pengasuhan
orang tua, yaitu: authoritative, authoritarian, dan permissive (Steven R.
Asher dan Jhon D. Coe, 1990: 192; Eleanor E. Maccoby, 1980: 376; John
W. Santrock, 2003: 157). Kemudian Maccoby dan Martin, (dalam J.W.
Santrock, 2003: 158) berpendapat bahwa pengasuhan bersifat permissive
terdiri dari dua macam, yaitu permisif yang bersifat memanjakan
(permissive-indulgent parenting), dan permisif yang bersifat tidak peduli
(permissive-indifferent parenting).
27
c) Indulgent Parenting
Gaya pengasuhan orang tua yang indulgent adalah perlakuan
orang tua yang menerapkan demandingness rendah dan responsiveness
tinggi terhadap anak. Orang tua yang menganut gaya pengasuhan
indulgent atau permissive, karakteristik interaksinya, antara lain: lunak
dan pasif dalam menanamkan disiplin, tidak mengkomunikasikan
peraturan dengan jelas, tidak menegakkan aturan, tidak konsisten
dalam menarapkan disiplin, cukup hangat, mudah mengalah terhadap
tuntutan anak dan menyukai ungkapan impulsif. Orang tua yang
menganut gaya pengasuhan indulgent seringkali menimbulkan
perasaan kecewa dan tidak aman bagi anak dan remaja. Akibatnya,
anak akan merasa tidak diperhatikan oleh orang tuanya, anak dan
remaja yang terbentuk dengan gaya pengasuhan seperti ini, adalah:
tidak patuh dan menentang peraturan yang diterapkan, kurang
percaya diri, kontrol diri yang kurang, agresif, impulsif dan tidak
mempunyai tujuan.
d) Indifferent Parenting
Gaya pengasuhan orang tua yang indifferent adalah perlakuan
orang tua yang menerapkan demandingness rendah dan responsiveness
rendah terhadap anak. Orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan
indifferent, ditandai dengan karakteristik sebagai berikut: tidak
memiliki kesepakatan dalam memperhatikan anak, mencoba
melakukan apa saja ditandai dengan karakteristik sebagai berikut:
tidak memiliki kesepakatan dalam memperhatikan anak, mencoba
melakukan apa saja ditandai dengan karakteristik sebagai berikut:
tidak memiliki kesepakatan dalam memperhatikan anak, mencoba
melakukan apa saja dengan maksud untuk meminimkan waktu dan
tenaga dengan maksud untuk meminimkan waktu dan tenaga buat
mengasuh anaknya, tidak peduli terhadap kebutuhan anak. Orang tua
yang menerapkan gaya pengasuhan ini lebih ekstrim, bahkan
cenderung menolak kehadiran anaknya (neglectfull). Mereka hanya
tahu sedikit saja tentang aktifitas anak-anaknya, menunjukkan
perhatian yang kecil terhadap pengalaman anak di sekolah atau
dengan teman-temannya. Mereka jarang sekali berbincang-bincang
dengan anaknya, dan hampir tidak pernah memperdulikan pendapat
anak dalam membuat keputusan Perilaku anak yang terbentuk melalui
gaya pengasuhan ini antara lain menjadi minimalis dalam berbagai
aspek, misalnya: kognisi, bermain, kemampuan emosional, sosial, dan
mengisolasi diri.
28
5. Kualitas Persahabatan (Friendship Quality) dengan Teman
Sebaya
Kualitas persahabatn merupakan suatu tingkatan atau derajat
tentang kondisi suatu hubungan persahabatan antara minimal dua
orang. Keadaan hubungan persahabatan tersebut digambarkan oleh
ada atau tidaknya karakteristik-karakteristik positif maupun
karakteristik negatif dalam persahabatan tersebut. Karakteristik positif
merupakan karakter yang dapat menciptakan suatu hubungan yang
saling mendukung, sedangkan karakteristik negatif menunjukkan
hubungan yang diwarnai oleh konflik.
Suatu relasi dua pribadi dalam ikatan yang erat dan akrab,
yang berkelanjutan yang terbentuk karena adanya kesamaan dan
keterlibatan emosi yang mendalam yang terwujud dalam tindakan
saling memberi dukungn, saling menerima, saling berbagi, saling
percaya, sehingga mampu melakukan penyelesaian konflik yang
efektif (Berndt, 2002)
34
memahami orang lain guna mengekspresikan diri dan membagikan
pandangannya pada orang lain.
Tingkah laku prososial menyangkut intense, value empati,
proses-proses internal dan karakteristik individual yang dapat
mengantarai suatu tindakan. Fokus utamanya adalah tindakan, karena
hal ini signifikan untuk individu dan kelompok sosial. Seseorang
ditolong dengan tindakan, tidak dengan belief. Values, empati, dan
proses internal lainnya adalah penting sebagai motivator tingkah laku
prososial. Evaluasi diri terhadap perasaan puas dan kebahagiaan
dipengaruhi oleh ketaatan terhadap internalisasi nilai-nilai moral yang
dianut, akhirnya akan mengantarkan seseorang kepada tingkah laku
prososial.
Staub (1978; 5) menyatakan bahwa tingkah laku prososial
tindakan sukarela dengan mengambil tanggung jawab untuk
mensejahterakan orang lain. Tindakan sukarela mengambil tanggung
jawab tersebut penting, karena secara langsung mempengaruhi
individu dan kelompok sosial secara keseluruhan, dalam suatu
interaksi akan menghilangkan kecurigaan, menghasilkan perdamaian
dan meningkatkan toleransi hidup terhadap sesama.
Berdasarkan uraian dari beberapa definisi di atas, dapat
dipahami bahwa tingkah laku prososial adalah tingkah laku sosial
positif yang menguntungkan atau membuat kondisi orang lain lebih
baik, yang dilakukan atas dasar tanggung jawab dan kesukarelaan
tanpa mengharapkan reward eksternal.
35
namun juga pengajar melatih dan mengarahkan muncul dan
berkembangnya tingkah laku positif pada remaja.
7.Religiusitas
39
7.3. Indikator dan Pengukuran Religiusitas
Glock (1962, dalam Rakhmat, 2003)) menjelaskan lima dimensi
religiusitas antara lain: ideologis, ritualistis, eksperensial, intelektual,
dan konsekuensial.
a. Ideologis
Menurut Rackhmat (2003) menjelaskan dimensi ideologis
merupakan bagian dari keberagaman yang berkaitan dengan apa
yang harus dipercayai. Menurut Rakhmat (2003) kepercayaan atau
doktrin agama adalah dimensi yang paling dasar. Inilah yang
membedakan satu agama dengan agama yang lainnya, bahkan satu
mazhab dalam satu agama dari mazhab lainnya. Menurut Rakhmat
(2003) ada tiga kategori kepercayaan:
1). Kepercayaan yang menjadi dasar esensial suatu agama,
contohnya kepercayaan kepada Nabi Muhammad SAW di
dalam Islam, ketuhanan kristus di dalam gereja katolik.
2). Kepercayaan yang berkaitan dengan tujuan Illahi dalam
penciptaan manusia, sebagaiman Allah berfirman:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa
di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun," ( QS Al-Mulk: 2)
3). Kepercayaan yang berkaitan dengan cara terbaik untuk
melaksanakan tujuan Illahi yang di atas. Orang Islam percaya
bahwa untuk beramal saleh, ia harus melakukan pengabdian
kepada Allah dan perkhidmatan kepada sesama manusia. Orang
Buddha percaya bahwa berbuat baik ialah menjalankan delapan
yang benar, misalnya bernapas yang benar, berbicara yang
benar, dan seterusnya.
b. Dimensi ritualistik. Dimensi ritualistik merupakan dimensi
keberagamaan yang berkaitan dengan sejumlah perilaku. Yang
dimaksud dengan perilaku di sini bukanlah perilaku umum yang
dipengaruhi oleh keimanan seseorang, melainkan mengacu kepada
perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama, seperti tata
cara ibadah, pembaptisan, pengakuan dosa, berpuasa, atau
menjalankan ritus-ritus khusus pada hari suci (Rakhmat, 2003).
Dalam Islam dimensi ritualistik sering disebut ibadah mahdoh.
c. Dimensi eksperensial. Dimenis eksperensial berkaitan dengan
perasaan keagamaan yang dialami oleh penganut agama. Psikologi
menamainya religious experience. Pengalaman keagamaan ini bisa
40
saja terjadi sangat moderat, seperti kekhusyukan di dalam shalat
atau sangat intens seperti yang dialami oleh para sufi, kebanyakan
agama timur, seperti hindu dan budha, menekankan dimensi
mistikal ini (Rakhmat, 2003). Menurut William James (2003 dalam
Rakhmat, 2003) perasaan keagamaan yang sangat kuat ketika
agama seperti "demam yang akut", acute fever berada di balik
konversi, peristiwa dramatis yang menyebabkan orang kembali
kepada ajaran agamanya. Sebelum konversi, ia mengalami
kegelisahan eksistensial. Sesudahnya ia mengalami ketenangan
batin dan menemukan makna hidup. Misalnya orang Islam kota
yang meninggalkan kehidupan hura-hura dan melaksanakan
agama secara serius.
d. Dimensi intelektual. Setiap agama memilki sejumlah informasi
khusus yang harus diketahui oleh para pengikutnya. Ilmu fiqh di
dalam Islam menghimpun informasi tentang fatwa ulama
berkenaan dengan ritus-ritus keagamaan; perjanjian baru di dalam
agama kristen memuat pengetahuan tentang kristus dan para
rasulnya. Sikap orang menerima atau menilai ajaran agamanya
berkait erat dengan pengetahuan agamanya itu. Orang yang sangat
dogmatis tidak mau mendengarkan pengetahuan dari kelompok
manapun yang bertentangan dengan keyakinan agamanya.
(Rakhmat, 2003)
e. Dimensi konsekuensial. Dimenis konsekuensial menunjukkan
akibat ajaran agama dalam perilaku umum, yang tidak secara
langsung dan secara khusus ditetapkan dalam agama seperti
dalam dimensi ritualistik. Inilah efek ajaran agama pada perilaku
individu dalam kehidupan sehari-hari. (Rakhmat, 2003)
Dalam penelitian ini religiusitas diteliti mengunakan teori yang
digunakan oleh R. Sreekumar (2008) dalam penelitiannya yang
menemukan bahwa keyakinan agama, praktik, dan pengalaman
spiritualitas memiliki korelasi positif yang signifikan dengan
kesejahteraan subjektif. Keyakinan agama didefinisikan sebagai
konsepsi ide-ide agama yang kuat dan mantap dalam beragama
berhubungan dengan pikiran individu, perasaan, dan sistem nilai yang
dikembangkan sebagai hasil dari pertimbangan terhadap hal yang
berhubungan dengan Ilahiah. Keyakinan agama ini diukur melalui
enam sub indikator yaitu: iman kepada Allah, iman kepada Malaikat,
iman kepada Rasul, iman kepada Kitab, iman kepada hari kiamat dan
iman kepada kadar baik dan buruk. Praktek keagamaan adalah
41
merupakan seperangkat praktek-praktek spesifik yang mencakup
semua jenis perilaku keagamaan. Praktek agama ini diukur melalu tiga
sub indikator yaitu: salat, puasa, zakat. Sedangkan pengalaman
spiritualitas adalah pencarian makna melalui cara yang lebih mendasar
dalam melalui pengalaman hidup sehari-hari seperti pandangan dan
perilaku pribadi yang mengungkapkan rasa keterkaitan dengan
dimensi transendental atau sesuatu yang lebih berkuasa dari diri.
Pengalaman spiritual diukur melalui lima sub indikator yaitu: dari
doa, berserah diri, dari salat, merasakan kehadiran Allah dan merasa
Allah selalu membantu.
Religiusity (agama) merupakan jenis ideologi yang sangat penting
dan mendasar, yang meliputi komitmen yang unik pada setiap
individu, tidak bisa terbantahkan atau argumentasi yang rasional dan
jaringan yang unik dalam relasi antar individu, nyata dan dapat
diimajinasikan. (Argyle and Beit-Hallahmi, 1975. Hal. 5-6)
Adapun deskripsi dari religiusitas adalah suatu sistem keyakinan
terhadap Tuhan atau kekuatan diluar manusia. Dan praktik ibadah,
atau ritual yang diarahkan pada kekuatan di luar manusia. (Argyle
and Beit-Hallahmi, 1975).
Indikator religiusitas
1. Ideologi, mencakup keyakinan agama (Ideological, covering religious
beliefs)
2. Intellektual, mencakup pengetahuan agama (Intellectual, covering
religious knowledge)
3. Ritualistik, mencakup partisipasi dalam ritual keagamaan
(Ritualistic, covering participation in religious rituals)
4. Pengalaman, mencakup pengalaman keberagamaan yang intens
(Eksperiential)
Daftar Pustaka
Anderson Ralp E., 1984, Human Behavior, In The Social Environment:
Social System Approach, Aldine Publishing Company, New York
Bar-Tal, D., (1976), Prosocial Behavior: Theory and Research, New
York, Jhon Wiley & Son
Beit-Hallahmi, Benjamin, (1997), The Psychology of Religious Behavior
, Belief and Experience, Routledge, London and New York
Berndt, T.J., (1982), The Feature and Effect of Friendship In Early
Adolescence, Child Development, 53, 1447-1460
42
Berndt, T. J. And Hoyle, S.G. (1985), Stability and Change in Childhood
and Adolescent Friendship, Developmental Psychology, 21, 1007-
1015
Carr, A. (2004). Positive Psychology: The Science of Happiness and
Human Strengths. New York: Brunner-Routledge.
Colin, V. L. (1993). Human Attachment. New York: McGraw-Hill
Peterson, Christopher & Seligman, Martin E. P. (2003)Values In Action
(VIA) Classification of Strength, Values in Action Institute 2002,
Philadelphia
Dickie, J. R., Eshleman, A. K., Merasco, D. M., Shepard, A., Vander
Wilt, M., & Johnson, M. (1997). Parent-Child Relationships and
Children’s Images of God. Journal for the Scientific Study of
Religion, 36 (1), 25-43
Duckworth, A. L., Steen, T. A., dan Seligman, M. E. P. (2005). Positive
Psychology in Clinical Practice. Annual Review Clinical
Psychology Vol. 1, pp. 629-651.
http://arjournals.annualreviews.org. (17 Maret 2011)
44
Seligman, Martin E &. Peterson, Christopher (2004). Character
strengths and virtues: A handbook and classification.. Oxford:
Oxford University Press. ISBN 0-19-516701-5
Seligman, M. E. P., dan Csikszentmihalyi, M. (2000). Positive
Psychology: An Introduction. American Psychologist Assosiation
Vol. 55, No. 1, pp.5-14
.
Seligman, M. E. P., Parks, A. C., dan Steen, T. (2004). A Balance
Psychology and a Full Life. The Royal Society 359, pp. 1379-1381.
http://www.ppc.sas.upenn.edu/balancedpsychologyarticle.pdf
(29 Juni 2008)
45
46
Regulasi Emosi dan Kecerdasan Emosi
Rena Latifa
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
Definisi Emosi
Emosi merupakan suatu istilah yang biasa kita dengar dalam
kehidupan sehari-hari. Saat mendapat hadiah kejutan di supermarket,
individu berkata bahwa dirinya ‘bahagia’. Ketika mendengar kabar
meninggalnya keluarga dekat, individu menangis dan ‘bersedih’.
Bahagia dan sedih adalah contoh kata yang sering kita dengar dalam
keseharian kita, dan disebut sebagai salah satu jenis emosi yang dapat
dialami manusia.
Bagi manusia, emosi tidak hanya berfungsi untuk survival atau
sekedar untuk mempertahankan hidup. Akan tetapi, emosi juga
berfungsi sebagai energizer atau pembangkit energi yang memberikan
kegairahan dalam kehidupan manusia. Selain itu, emosi juga
merupakan messenger atau pembawa pesan. Survival, yaitu sebagai
sarana untuk mempertahankan hidup. Emosi memberikan kekuatan
pada manusia untuk membeda dan mempertahankan diri terhadap
adanya gangguan atau rintangan. Adanya perasaan cinta, sayang,
cemburu, marah, atau benci, membuat manusia dapat menikmati
hidup dalam kebersamaan dengan manusia lain. Energizer, yaitu
sebagai pembangkit energi. Emosi dapat memberikan kita semangat
dalam bekerja bahkan juga semangat untuk hidup. Contohnya
perasaan cinta dan sayang. Namun, emosi juga dapat memberikan
dampak negatif yang membuat kita merasakan hari-hari yang suram
dan nyaris tidak ada semangat untuk hidup. Contohnya perasaan
sedih dan benci. Messenger, yaitu sebagai pembawa pesan. Emosi
memberitahu kita bagaimana keadaan orang-orang yang berada di
sekitar kita, terutama orang-orang yang kita cintai dan sayangi,
sehingga kita dapat memahami dan melakukan sesuatu yang tepat
dengan kondisi tersebut. Bayangkan jika tidak ada emosi, kita tidak
tahu bahwa di sekitar kita ada orang yang sedih karena sesuatu hal
yang terjadi dalam keadaan seperti itu mungkin kita akan tertawa-
tawa bahagia sehingga membuat seseorang yang sedang bersedih
merasa bahwa kita bersikap empati terhadapnya.
47
Betapapun seringnya kita mendengar istilah emosi,
menggunakannya dalam interaksi sehari-hari, menyaksikan kejadian-
kejadian yang berkaitan dengannya, nampak masih terbatas
pemahaman kita terkait konsep emosi ini. Sehingga tak jarang, kita
menjadi kesulitan dan menderita berkepanjangan jika emosi yang tak
diharapkan ternyata terus menerus menyinggahi kehidupan kita.
Emosi berasal dari bahasa latin yang menunjukan kata kerja
yakni movere yang berarti ”menggerakan, bergerak”, ditambah awalan
’e untuk memberi arti ”bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa
kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi
(Goleman, 2007). Dalam Oxford English Dictionary, emosi secara
harfiah diartikan sebagai kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan,
nafsu setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.
Menurut Chaplin (2001), emosi adalah keadaan reaksi kompleks
mendalam dan ekspresif yang mencakup perubahan-perubahan
perasaan maupun perilaku yang disadari maupun tidak dan dapat
dianalisa. Perasaan selalu menjadi bagian dari emosi, hal ini
disebabkan karena kemunculan perubahan jasmani yang menyertai
emosi lebih mudah diamati. Singgih Dirgagunarsa (1996) dalam
bukunya ‘Pengantar Psikologi’ membedakan antara perasaan dan
emosi. Menurutnya, perasaan (feeling) dapat mempunyai dua arti.
Ditinjau secara fisiologis, perasaan berarti penginderaan yakni
merupakan salah satu fungsi tubuh untuk mengadakan kontak dengan
dunia luar. Dalam arti psikologis, perasaan mempunyai fungsi menilai,
yaitu penilaian terhadap suatu hal. Makna penilaian ini nampak
misalnya dalam ungkapan berikut: “Saya rasa nanti sore hari akan
hujan”. Ungkapan itu berarti bahwa menurut penilaian saya, nanti sore
hari akan hujan. Sementara itu, emosi mempunyai arti yang agak
berbeda. Di dalam pengertian emosi sudah terkandung unsur perasaan
yang mendalam (intense). Emosi berasal dari kata ‘emotus’ atau
‘emovere’ yang artinya menggerakkan (to stir up), yaitu sesuatu yang
mendorong terhadap sesuatu. Misalnya emosi gembira mendorong
perubahan suasana hati seseorang yang menyebabkan orang itu
tertawa. Misalnya lagi ialah marah, yang merupakan suasana hati
untuk menyerang atau mencerca sesuatu. Berdasarkan pendapat dari 2
tokoh ini, dapat disimpulkan bahwa emosi lebih intens daripada
perasaan biasa dan mencakup pula satu organisme selaku satu
totalitas. Emosi berlaku sebagai sumber energi, autentisitas dan
semangat manusia yang paling kuat dan dapat memberikan kita
48
sumber kebijakan intuitif, yaitu kebijakan untuk mendengarkan suara
hati dalam setiap pengambilan keputusan.
Drever (1986) mengartikan emosi sebagai suatu keadaan yang
kompleks dari organisme yang menyangkut perubahan jasmani yang
luas sifatnya (dalam pernafasan, denyut, sekresi kelenjar, dan
sebagainya) dan pada sisi kejiwaan, suatu keadaan terangsang yang
ditandai oleh perasaan yang kuat dan biasanya merupakan suatu
dorongan ke arah suatu bentuk tingkah laku tertentu. Emosional
menurut Drever (1986) merupakan istilah yang dipakai dalam
pengertian semi teknis untuk :
1. Suatu bias kecenderungan, yang disebabkan attitude (sikap), yang
emosional dalam melihat atau menafsirkan fakta.
2. Expression, yang menunjukkan berbagai perubahan motor dan
kelenjar yang menyertai rangsangan emosi, terutama yang
menimbulkan suatu gambaran yang sedikit banyak bersifat khusus
dan dapat diamati dari luar.
3. Pattern (pola) dalam pengertian yang praktis sama, akan tetapi
dengan tekanan khusus pada pengelompokkan riil dari reaksi
motor dan kelenjar.
Kemudian Ekman (1999) mendefinisikan emosi sebagai respon
individu terhadap benda, orang, dan situasi. Respon ini dapat
menyenangkan atau positif tetapi dapat juga tidak menyenangkan atau
negatif. Carver dan Scheier (dalam Gross, 1998) mendefinisikan emosi
sebagai suatu sistem yang memantau tingkatan kesenjangan antara
tujuan/harapan dengan realitas/kenyataan. Sementara William James
memandang emosi sebagai bentuk penyesuaian diri individu atas
respon fisik dan psikis yang dialami pada suatu situasi bermakna.
Secara fisiologis, simtem limbik yang terdapat di dalam susunan syaraf
manusia sering dikaitkan dengan emosi ini sehingga gangguan pada
sistem limbik dapat mengakibatkan kesulitan mengendalikan emosi;
terutama jika terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Contoh reaksi mudah mengamuk, marah, agresif, menangis, takut
pada hal-hal tertentu, dan mendadak tertawa tanpa stimulus yang jelas
sebagai akibat dari adanya gangguan pada sistem limbik.
Dari definisi-definisi yang telah disebutkan di atas, tampak
adanya perbedaan definisi antara ahli yang satu dengan lainnya. Hal
ini disebabkan oleh adanya ragam teori yang melandasi terbentuknya
definisi tersebut, dalam usaha menerangkan timbulnya gejala emosi.
Para pakar pendahulu telah mencoba mengemukakan beberapa
49
definisi dan membangun teori tentang emosi. Beberapa teori yang
melandasi terbentuknya definisi mengenai emosi dibahas pada bab ini.
Teori-teori spesifik
Terdapat beberapa kelompok besar yang mewakili teori abad modern
ini. Diantaranya pandangan dari teori fenomenologis. Emosi
berdasarkan sudut pandang teori ini adalah didasarkan atas
pengalaman nyata yang dialami individu kemudian membentuk
struktur internal dan dipersepsikan secara subjektif oleh individu. Jadi,
emosi merupakan sebuah cara dalam mentransformasi dunia ke dalam
alam pikiran subjektif, bagaimana individu beradaptasi dengan
pengalaman-pengalaman dari dunia luar. Hal penting dari teori ini
ialah bagaimana ‘memaknai’ sebuah pengalaman emosi, sebagai
bagian dari pemaknaan atas atmosfir lingkungan sosial. Analisis-
analisis yang digunakan dalam memaknai pengalaman-pengalaman
emosi ini berfokus pada proses identitas dan pada diri (identity and the
self), secara penuh kesadaran, melibatkan aspek subjektif dan objektif.
Beberapa tokoh yang termasuk dalam kelompok teori fenomenologis
ini yakni Sartre, Stumpf, Hillman, Denzin (dalam Strongman, 2003).
Kemudian terdapat kelompok teori behavioristik yang dimulai
sejak Watson hingga Millenson. Teori dan penelitian di bidang
behavioristik menekankan pada hal-hal yang bersifat dapat diamati
(observable) dan terukur (measurable). Sehingga emosi dalam kajian teori
ini dikaitkan dengan sejumlah besar respon-respon (dalam hal ini
adalah respon yang dapat diamati seperti: ekspresi wajah, gerakan
badan) sebagai alat pertahanan hidup, dan respon-respon ini jika
terjadi secara berulang maka akan menjadi sebuah respon
terkondisikan. Maka kompleksitas pengalaman emosi berkembang
melalui proses belajar dan pengkondisian, melibatkan penguatan
(reinforcement) atau punishment. Contoh eksperimen Watson
menggunakan sample Little Albert, dapat menjelaskan tentang
pembentukan reaksi emosi yang distimulasi lingkungan dan
52
dikondisikan kehadirannya. Pada eksperimen ini Little Albert
menampilkan emosi takut karena dikondisikan oleh lingkungan, yaitu
berupa stimulasi menakutkan dari Watson di laboratorium.
Teori fisiologis. Inti dari teori ini ialah mengkaitkan pengalaman
emosi dengan proses-proses yang terjadi di sistem syaraf manusia,
dimana terkait dengan proses pada sistem syaraf pusat, syaraf perifer
dan sistem endokrin yang berperan dalam regulasi hormonal sehingga
dapat menghasilkan pengalaman emosi dan pengekspresiannya.
Secara khusus disebutkan bahwa emosi manusia berproses di dalam
sistem limbik. Sistem ini menyimpan banyak informasi yang tidak
tersentuh oleh indera, sehingga disebut sebagai otak emosi. Di
samping mengendalikan emosi, sistem limbik juga mengendalikan
hormon, memelihara keseimbangan, rasa haus, lapar, seksualitas,
pusat rasa senang, metabolism serta memori jangka panjang
Teori ini juga menjelaskan adanya perbedaan yang terjadi pada
masing-masing bagian sistem syaraf. Misalnya pada bagian yang
bernama amygdala menunjukkan perbedaan aktivitas saat terjadi
emosi marah dan emosi sedih. Respon-respon fisiologis yang tampil
juga mengalami perubahan, seperti suhu tubuh, atau perubahan otot
wajah.
Menurut teori ini, kebangkitan emosi kita pertama kali muncul
akibat adanya stimulus atau sebuah peristiwa, yang bisa netral, positif
ataupun negatif. Stimulus tersebut kemudian ditangkap oleh reseptor
kita, lalu melalui otak, kita menginterpretasikan kejadian tersebut
sesuai dengan kondisi pengalaman dan kebiasaan kita dalam
mempersepsikan sebuah kejadian. Interpretasi yang kita buat
kemudian memunculkan perubahan secara internal dalam tubuh kita.
Perubahan tersebut misalnya napas tersengal, mata memerah, keluar
air mata, dada menjadi sesak, perubahan raut wajah, intonasi suara,
cara menatap dan perubahan tekanan darah.
Emosi manusia selalu melibatkan jaringan kerja yang
menyebabkan perubahan fisiologis cukup rumit, yang mempengaruhi
jiwa dan tubuh secara simultan. Cara kerja emosi berdasarkan teori
fisiologis ini dapat digambarkan sebagai berikut (Syukur, 2011):
(a) Melalui sensasi tubuh
Ketika sebuah stimulus dirasakan oleh indera, impuls (sinyal
atau pesan) dikirim melalui saraf-saraf yang menuju ke pusat
otak. Saat berada di pusat otak ini, proses impuls yang terjadi
terbagi menjadi dua. Sebagian impuls terkirim ke korteks, tempat
53
stimulus disadari dan emosi dirasakan. Sedangkan bagian yang
lainnya terkirim menuju otot yang menjadi tempat perubahan
tubuh.
(b) Interpretasi sensasi
Hadirnya sebuah stimulus di hadapan individu, tidaklah hanya
menimbulkan sensasi fisiologis, tetapi juga memunculkan sebuah
interpretasi. Jika sensasi tubuh dapat menentukan besaran
intensitas emosi, maka interpretasi atas sensasi tersebut dapat
menentukan kualitas atau makna sebuah emosi.
Interpretasi ini banyak dipengaruhi oleh gambaran mental
(sesuatu yang dipikirkan). Sebagai contoh, saat mengalami emosi
marah, individu dapat merasakan seberapa kuat kemarahan
tersebut melalui proses menyadari perubahan fisiologis apa saja
yang terjadi pada tubuh. Sementara, jika individu ingin
memahami penyebab marah dan arti lain dari kemarahannya,
maka proses interpretasi lah yang berperan dalam hal ini.
(c) Respon adaptif
Setelah melakukan proses penilaian seperti dijelaskan pada
bagian (b) di atas, penilaian tersebut kemudian menjadi petunjuk
atau penentu perilaku yang akan dilakukan. Terdapat dua
bentuk respon emosi yakni fight (menghadapi) atau flight
(menghindari). Respon ini merupakan bentuk respon adaptif bagi
manusia mempertahankan hidup.
Regulasi Emosi
Dalam berbagai kondisi, emosi perlu dikelola sebagai bagian dari
penyesuaian diri di kehidupan. Penelitian-penelitian dan tulisan di
bidang Psikologi telah banyak diterbitkan dalam rangka menawarkan
cara-cara pengelolaan emosi dalam banyak situasi, sebab orang-orang
sudah mulai menyadari bahwa kemampuan mengelola emosi memiliki
implikasi langsung pada kualitas hidupnya.
Pengelolaan emosi ini dikenal dengan istilah regulasi emosi, dan
orang-orang yang memiliki kemampuan regulasi ini diketahui sebagai
61
orang dengan kecerdasan emosi yang tinggi. Berdasarkan hal ini,
penulis membuat 2 tema ini berada dalam 1 bab bahasan sehingga
terlihat keterkaitannya satu sama lain.
Terdapat berbagai definisi dari para ahli tentang regulasi emosi,
diantaranya Gross (1998) menyebutkan regulasi emosi sebagai cara
individu mengurangi pengalaman emosi negatif melalui kendali
perilaku dan kendali mental, melibatkan proses kesadaran dan
ketidaksadaran yang dapat meningkatkan pengalaman dan
pengekspresian emosi positif serta mengurangi pengalaman dan
pengekspresian emosi negatif. Sementara itu Koole (2009)
mendefinisikan regulasi emosi sebagai sekumpulan proses yang dilalui
individu saat dihadapkan pada sebuah situasi emosional, prosesnya
sendiri dapat secara otomatis terjadi dan tanpa usaha yang disadari
oleh individu; dimana individu dapat meningkatkan,
mempertahankan atau menurunkan emosi-emosi yang bersifat positif
maupun negatif. Bentuk-bentuk emosi positif dapat berupa
menampilkan rasa ketertarikan (interest), kasih sayang, humor, dan
kegembiraan. Sementara emosi negatif berupa kemarahan, rasa
terhina, jengkel, agresi, gundah, mendominasi, defensif,
takut/khawatir/cemas, merengek.
Selain definisi tersebut, Snyder, Simpson dan Hughes (2006)
menyebutkan regulasi emosi sebagai semua proses yang bertanggung
jawab dalam memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi
emosional, yang dapat mempengaruhi emosi yang dipunyai seseorang,
kapan orang tersebut mengalaminya, dan bagaimana orang tersebut
mengalami atau mengekspresikan emosinya. Regulasi emosi dapat
mencakup proses biologis, sosial, dan tingkah laku dan juga dapat
mencakup proses kognitif sadar dan tidak sadar. Contoh dari proses
biologis adalah emosi yang diregulasi oleh denyut jantung yang cepat.
Regulasi emosi dengan cara sosial, contohnya adalah emosi yang
diregulasi dengan mencari akses sumber dukungan pada hubungan
interpersonal. Dengan cara tingkah laku, contohnya adalah emosi yang
diregulasi melalui berbagai respon tingkah laku seperti berteriak atau
menangis. Emosi juga dapat diregulasi dengan proses kognitif yang
tidak sadar, seperti proses perhatian selektif, distorsi memori; atau
proses yang lebih sadar seperti menyalahkan diri sendiri dan orang
lain.
62
Beberapa ahli mengutarakan tentang bagaimana caranya
meregulasi emosi, salah satunya adalah Koole (2009) yang
memaparkan cara regulasi emosi melalui tabel berikut:
Tabel 9.1. Tipe cara regulasi emosi
63
- Tidak terjadinya kesenjangan yang terlalu jauh antara harapan
dengan kenyataan, dan ini dapat diamati lebih jauh melalui jalur-
jalur sistem syaraf yang bekerja.
- Adanya pengaturan diri berupa motif-motif, tujuan dan proses
dalam diri; serta idealnya saat hal ini dapat dikelola juga dapat
mempengaruhi emosi orang lain menjadi lebih baik.
- Mampu memutuskan dan mengubah kondisi yang dianggap
menyedihkan atau tidak menyenangkan, dengan penuh
kesadaran, usaha minim dan pelaksanaan segera.
- Menggunakan strategi kognitif dalam menghadapi emosi negatif
Masih menurut Gross (1998), individu dalam meregulasi
emosinya dapat melalui 5 tahap proses regulasi emosi, yakni sebagai
berikut:
1. Situation selection: Individu dapat memilih untuk mendekati atau
menjauhi situasi, objek, tempat atau orang lain.
2. Situation modification. Ini dapat disamakan dengan jenis strategi
coping problem-focused.
3. Attentional deployment: melibatkan konsentrasi, distraksi, hingga
pencernaan informasi
4. Cognitive change, yakni berupa kemungkinan memodifikasi
evaluasi yang telah dibuat, termasuk juga tentang pertahanan
psikologis yang dibuat karena adanya perbandingan sosial. Secara
umum tahap ini adalah proses transformasi kognisi dalam rangka
mengatasi emotional impact dari suatu situasi.
5. Response modulation, dapat berbentuk respon tindak lanjut yang
melibatkan obat-obatan, alkohol, latihan fisik, terapi, makanan
hingga supresi.
Penjelasan mengenai tahap proses regulasi emosi ini juga
dilengkapi oleh Koole (2009) bahwa regulasi emosi sesungguhnya
terjadi manakala individu memiliki sensitivitas (emotional sensitivity)
dalam mendeteksi adanya respon emosi yang dirasa tidak
menyenangkan atau tidak diinginkan kehadirannya oleh diri individu
(unwanted emotional response). Individu harus pandai memonitor
adanya emosi yang tidak diinginkan hadir tersebut, memonitor situasi
di balik terjadinya emosi yang tidak diinginkan, hingga memonitor
karakteristik dirinya sendiri (kapan dan hal bagaimana yang dapat
membuatnya tidak nyaman atas suatu situasi tertentu atau atas suatu
kondisi emosi yang hadir yang dianggap tidak menyenangkan dan
tidak diinginkan). Emotional sensitivity dapat disimpulkan sebagai
64
antisipasi atas emosi-emosi yang kehadirannya tidak diinginkan, dan
hal ini berhubungan dengan kemampuan regulasi emosi individu
apakah dapat dilakukan secara segera (in the heat of the moment) atau
secara pro-aktif (emosi yang tidak diinginkan tersebut diusahakan
untuk tidak sempat hadir).
Merujuk pada proses tersebut dapat dikatakan bahwa
kemampuan regulasi emosi nyatanya telah mempengaruhi proses
emosi itu sendiri yang telah ada dalam diri individu, yakni
mempengaruhi intensitas emosi yang ada atau yang akan hadir setelah
regulasi emosi terjadi, kesadaran (awareness), hingga dapat
mempengaruhi pengarahan tujuan perilaku individu. Mikulincer,
Shaver, & Pereg (2003) mendukung pendapat ini dengan temuannya
yang menyebutkan kompetensi yang dimiliki individu dalam
meregulasi emosinya sangat kuat dipengaruhi oleh kualitas interaksi
individu di masa kecil dengan pengasuh/ibunya (caregivers) dan lebih
ideal jika berlanjut meningkat prosesnya hingga usia dewasa.
Selanjutnya, lebih jauh dalam penelitian Gross & John (2003)
membagi dimensi regulasi emosi sebagai berikut:
Tabel 9.2. Dimensi regulasi emosi
Dimensi Indikator
Regulasi Emosi
Cognitive Berpikir ulang tentang masalah yang
reappraisal dihadapi
Berpikir tentang hal-hal yang
menyenangkan atau yang membuat rileks
Mengaktifkan wawasan dan pengalaman
mengelola emosi yang pernah ada di
memori
Expressive Mengusahakan adanya distraksi /
suppression mengalihkan perhatian
Menghindari pemberian atensi pada
masalah
Kecerdasan emosi
Kecerdasan emosi: adalah suatu kemampuan mengidentifikasi, meng-
assess dan mengelola-mengendalikan emosi diri.
67
Terdapat empat pokok yang harus dipenuhi dalam suatu kriteria
kecerdasan emosi (Salovey & Mayer, 1990):
a. Dalam hal persepsi atas emosi dan pengekspresian emosi
Individu memiliki kemampuan mengidentifikasi emosi pada
kondisi fisik dan psikisnya.
Mampu mengidentifikasi emosi yang tampak pada orang lain.
Mampu mengekspresikan emosi secara tepat (akurat), dan
mengekspresikan kebutuhan-kebutuhannya terkait perasaan-
perasaan yang dimiliki tersebut.
Mampu membedakan mana perasaan-perasaan yang
akurat/jujur dan mana yang tidak akurat/tidak jujur.
b. Penggunaan emosi dalam pemikiran
Mampu secara langsung berpikir pada prioritas, saat emosi
tertentu hadir.
Mampu membuat penilaian dan ingatan yang sehat.
Dapat mengelola perubahan mood (suasana hati) dan
menjadikannya sebagai modal dalam membuat ragam sudut
pandang proses pemecahan masalah.
Mampu menggunakan kondisi emosi untuk fasilitasi proses
pemecahan masalah dan aktivitas kreatif.
c. Pemahaman tentang emosi
Memiliki kemampuan dalam memahami adanya keterkaitan
antara satu emosi dengan emosi lainnya.
Mampu mempersepsikan sebab dan konsekuensi atas hadirnya
suatu emosi.
Kemampuan memahami perasaan-perasaan yang rumit,
percampuran emosi yang terjadi, hingga emosi-emosi yang
saling bertentangan.
Mampu memahami terjadinya perpindahan antara satu emosi
ke emosi lainnya.
d. Pengelolaan emosi
Mampu terbuka pada perasaannya sendiri, baik yang
menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan.
Mampu memonitor dan bereaksi atas suatu emosi yang hadir.
Mampu terlibat, hingga menjauhkan diri dari suatu kondisi
emosi.
Mampu mengelola emosi diri sendiri.
Mampu mengelola emosi orang lain.
68
Kecerdasan emosi merupakan konstruk yang bermula dari
penelitian Edward Thorndike mengenai kecerdasan sosial di tahun
1920. David Wechsler melanjutkan upaya penelitian ini dengan
memasukan dua subskala (subskala pemahaman dan penyusunan
gambar) pada tes kecerdasan kognitifnya yang terkenal. Kedua
subskala tadi didesain untuk mengukur kecerdasan sosial. Setahun
setelah publikasi pertama tes ini pada tahun 1939, Wechsler
menjelaskan bahwa ada faktor-faktor non intelek (non intellective
factors) pada perilaku cerdas yang merupakan penjelasan dari konstruk
ini (Reuvan Bar-on, 2006).
Sejak masa Thorndike (Tahun 1920) sejumlah konseptualisasi
yang berbeda dari kecerdasan emosi telah memunculkan campuran
konsepsi yang menimbulkan kebingungan, kontroversi dan juga
kesempatan untuk membuat definisi dan pengukuran yang lebih baik
terhadap konstruk ini. Dalam usaha memperjelas permasalahan ini,
Encyclopedia of Applied Psychology (Spiel Berger dalam Bar-on, 2006)
menyarankan tiga model konsep utama
69
Dimensi kecerdasan Dimensi kecerdasan emosi : Dimensi kecerdasan
emosi : (a)perception and (a) intrapersonal skills (b) emosi :
expression of emotion (b) interpersonal skills (c) (a) knowing one
assimilating emotions in adaptability skills (d)stress emotions (b)
tought (c) understanding management scales (e) Management emotions
and analizyng emotion (d) Management emotions in in others (c)
reflective regulation of others Motivating
emotion
76
Kiat Membangkitkan Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi merupakan kegiatan berpikir dengan otak
rasional atau otak intuitif. Menurut Laura Day, intuisi berkaitan erat
dengan perasaan, hati dan hal-hal yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu. Kegiatan berpikir biasanya terdiri atas
pengulangan dan pelatihan, begitupun dengan intuisi atau emosi
menurut Laura Day dapat dilatih melalui pertanyan-pertanyaan
mendasar (Taufik Pasiak, 2003).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Cooper, ia menemukan
bahwa secara teknis intuisi praktis itu ditentukan oleh A ( atention,
perhatian), Q (question, pertanyaan), C (curiosity, Keingintahuan).
Intuisi praktisi Cooper ini mengandung dua pengertian : (1) adanya
pengaruh perasaan, hati nurani, atau apa saja sebutannya, terhadap
pemikiran logis manusia. Ini sejalan dengan faktor emosi otak dari J.
DeLoux yang memberi inspirasi bagi otak rasional, sekaligus dapat
”membajak” rasionalitas itu. (2) intuisi dapat dilatih melalui pelatihan
kecerdasan emosi.
Dengan sistem kurikulum self science emosi bisa ditingkatkan
emosinya dengan langkah sebagai berikut : (a) Kesadaran diri :
mengamati diri, mengenali perasaan-perasaan diri, mengetahui
hubungan pikiran, perasaan dan reaksi. (b) Pengambilan keputusan
pribadi; mencermati tindakan sendiri dan mengetahui akibat-
akibatnya. Mengetahui apa yang menguasai sebuah keputusan,
pikiran. Perasaan; menerapkan masalah-masalah seperti seks dan obat-
obatan terlarang. (c) Mengelola perasaan ; menyadari apa yang ada
dibalik suatu perasaan (d) Menangani stress. (e) Empati : memahami
masalah dan perasaan orang lain dan berpikir dengan sudut mereka.
Menghargai perbedaan perasaan orang lain mengenai berbagai hal. (f)
Komunikasi ; berbicara mengenai perasaan secara efektif menjadi
pendengar dan penanya yang baik. (g) Membuka diri; menghargai dan
membina kepercayaan dalam suatu hubungan dan bersikap asertif. (h)
Pemahaman ; mengidentifikasi pola-pola dalam kehidupan emosi diri
pribadi dan reaksi-reaksinya; mengenali pola serupa pada orang lain.
(i) Menerima diri sendiri ; merasa bangga dan menerima diri sendiri
dalam sisi yang positif. Mengenali kekuatan dan kelemahan diri
sendiri. (j) Tanggung jawab pribadi : rela memikul tanggung jawab,
mengenali akibat-akibat keputusan sendiri. (k) Ketegasan : bersikap
asertif tanpa rasa marah dan hanya berdiam diri. (l) Dinamika
kelompok mau bekerjasama ; bisa menempatkan posisi kapan
77
memimpin dan kapan mengikuti. (m) Menyelesaikan konflik :
bagaimana ’berkelahi’ secara jujur dengan orang lain, orangtua,
dengan peran guru ( Goleman, 2002).
Claude Steiner (dalam Agus Nggermanto, 2002) mengemukakan
tiga langkah utama sebagai cara mengembangkan kecerdasan emosi
yang lain, yaitu :
Pertama, membuka hati. hati merupakan simbol pusat emosi.
Hati yang merasakan damai ketika kita merasakan kebahagiaan, dalam
kasih sayang, cinta dan kegembiraan. Dengan demikian, kita mulai
dengan membebaskan pusat perasaan kita dari impuls dan pengaruh
yang membatasi kita untuk menunjukan cinta satu sama lain.
Kedua, menjelajahi dataran emosi. Setelah kita membuka hati,
kita dapat melihat kenyataan dan menemukan peran emosi dalam
kehidupan. Kita dapat berlatih cara mengetahui apa yang kita rasakan,
seberapa kuat dan apa alasannya. Kita menjadi paham dengan emosi
yang dirasakan diri dan orang lain serta memahami bagaimana
perasaan mereka di pengaruhi oleh tindakan kita.
Ketiga, mengambil tanggung jawab. Ketika suatu masalah terjadi
dalam hubungan sosial kita dengan orang lain, kita harus berani
mengambil tanggung jawab untuk memperbaiki hubungan tersebut.
Kita harus mengartikan apa yang menjadi permasalahnnya, mengakui
kesalahan, membuat perbaikan dan memutuskan bagaimana
mengubah segala sesuatunya.
Hendrie Weisenger (2006) menekankan penggunaan kecerdasan
emosi menjadi dua bagian yaitu
Secara intrapersonal; cara mengembangkan kecerdasan emosi
dan memanfaatkannya untuk diri sendiri dan secara interpersonal;
cara membuat hubungan sosial kita menjadi lebih baik. Bagian
pertama, meningkatkan kecerdasan emosi : (a) Mengembangkan
kesadaran diri yang tinggi : dengan kesadaran emosi yang tinggi, kita
akan memiliki kemampuan memonitor diri sendiri, mengamati
tindakan dan mempengaruhi emosi tersebut untuk pencapaian yang
kita inginkan. (b) Mengelola emosi : mengelola emosi berarti
memahaminya, lalu menggunakan pemahaman tersebut untuk
menghadapi situasi secara produktif, bukannya menekan emosi dan
menghilangkan informasi berharga yang disampaikan oleh emosi
kepada anda. (c) Memotivasi diri sendiri : motivasi mengubah berbagai
hambatan menjadi sebuah keberhasilan.
78
Bagian kedua, menggunakan kecerdasan emosi dalam berelasi
dengan orang lain : (a) Mengembangkan keterampilan berkomunikasi
yang efektif : komunikasi membentuk koneksi dan koneksi
menghasilkan hubungan. Komunikasi akan mendatangkan hasil yang
positif ketika di dukung oleh keterampilan-keterampilan seperti
keterbukaan diri, ketegasan (assertiveness), proses mendengar yang
dinamis dan kritik. (b) Mengembangkan keahlian interpersonal :
berelasi baik dengan orang lain berarti berhubungan dengan mereka
untuk saling bertukar informasi secara bermakna dan pantas. Dua
keterampilan sebagai dasar kemampuan interpersonal yaitu,
kemampuan untuk menganalisis suatu hubungan sebagai dasar untuk
menentukan langkah produktif dan kemampuan untuk berkomunikasi
pada level yang tepat sehingga terjadi pertukaran informasi yang
tepat. (c) Menolong orang lain : dalam konteks kecerdasan emosi, hal
ini berarti menolong orang lain untuk dapat mengelola emosi mereka,
berkomunikasi dengan orang lain secara efektif, memecahkan masalah
mereka, menyelesaikan konflik dan membuat orang lain termotivasi
(Hendri Weisenger, 2006:xviii-xxi).
Reuvan Bar-On (dalam Netty Hartati, 2006) menambahkan
indikator-indikator untuk meningkatkan kecerdasan emosi yang telah
dikemukakan oleh Goleman : (1) perilaku asertif adalah kemampuan
individu untuk mengungkapkan perasaan, keyakinan dan pikiran
untuk mempertahankan hak dengan cara yang tidak melanggar hak
orang lain. Perilaku ini mencakup tiga komponen dasar yaitu :
kemampuan mengungkapkan perasaan (menerima dan
mengungkapakan marah, kehangatan dan perasaan kasih sayang)
secara tepat, kemampuan mengungkapkan keyakinan dan pikiran
secara terbuka (mampu memberikan pandangan, ketidaksetujuan,
mempunyai pendirian walaupun secara emosional sulit dilakukan
bahkan harus mengorbankan sesuatu), kemampuan mempertahanakan
hak pribadi (tidak mengizinkan orang lain mengganggu dan
merugikan kita. Mampu mengeluarkan perasaan secara langsung
tanpa harus menjadi agresif atau kasar). (2) Toleransi terhadap stress
yaitu kemampuan untuk bertahan dalam situasi sulit dan (3) Penuh
masalah, kemampuan ini didasari oleh kemampuan memilih tindakan
dalam mengatsi stres,optimis terhadap pengalaman baru dan
perubahan, perasaan bahwa dapat mengendalikan atau
mempengaruhi kemmapuan untuk rileks, sabar dan tenang dalam
menghadapi kesulitan. (4) Pengendalian impuls yaitu kemampuan
79
menahan atau menunda impuls dorongan atau godaan untuk
bertindak. (5) Optimisme yaitu kemampuan untuk melihat sisi terang
dalam kehidupan dan mempertahakana sikap positif walaupun harus
menghadapi kesulitan. Optimisme merupakan suatu ukuran
pengharapan alam kehidupan individual.
Daftar Pustaka
Ary Ginanjar Agustian. (2001). ESQ: Emotional Spiritual Quotient.
Jakarta: Penerbit Arga.
Bradley, S. J. (2000). Affect regulation and the development of
psychopathology. New York: Guilford Press.
Clark, Warren. (1998). Religious Observance: Marriage and Family.
Statistics Canada – Catalogue.
Dirgagunarsa, Singgih. (1996). Pengantar Psikologi. Jakarta: Mutiara
Sumber Widya.
80
Frijda, N.H., & Sundararajan, L. (2007). Emotion refinement: A theory
inspired by Chinese poetics. Perspectives on Psychological Science,
2, 227-241.
Goleman, D. (2002). Healing Emotion (Penyembuhan Emosi). Batam:
Interaksara.
Goleman, D. (2007). Kecerdasan Emosional. Jakarta: Gramedia.
Gross, James J. et al. (1997). Emotion and aging: experience, expression,
and control. Psychology and Aging. Vol 12, No 4, 590-599.
American Psychological Association, Inc.
Gross, James J. (1998). The emerging field of emotion regulation: an
integrative review. Review of General Psychology. Vol 2, No. 3, 271-
299.
Gross, James J. (2002). Emotion regulation: affective, cognitive, and
social consequences. Psychophysiology, 39, 281-291. Cambridge
University Press.
Gross, J.J., & John, O.P. (2003). Individual differences in two emotion
regulation processes: Implications for affect, relationships, and
well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 85, 348-362.
Koole, S.L. (2009). The psychology of emotion regulation: an
integrative review. Journal of Cognition & Emotion, vol. 23: 4-41.
Mikulincer, M., Shaver, P. R., & Pereg, D. (2003). Attachment theory
and affect regulation: The dynamics, development, and cognitive
consequences of attachment-related strategies. Motivation and
Emotion, 27, 77-102.
Parkinson, B., Fischer A.H., & Manstead, A. S. R. (2005). Emotion in
Social Relations: Cultural, Group and Interpersonal Processes. New
York: Psychology Press.
Safaria, T. & Saputra, N.E. (2009). Manajemen Emosi: Sebuah Panduan
Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda.
Jakarta: Bumi Aksara.
Snyder, D.K., Simpson, J.A., & Hughes, J.N. Emotion Regulation in
Couples and Families: Pathways to Dysfunction and Health.
Washington DC: American Psychological Association.
Strongman, K.T. (2003). The Psychology of Emotion: From Everyday Life to
Theory. 5th Ed. England: John Wiley & Sons.
Syukur, Abdul. (2011). Beragam cara terapi gangguan emosi sehari-hari.
Yogyakarta: Diva Press.
Urry, H. L., van Reekum, C. M., Johnstone, T., Kalin, N. H., Thurow, M.
E., Schaefer, H. S., Jackson, C. A., Frye, C. J., Greischar, L. L.,
81
Alexander, A. L., & Davidson, R. J. (2006). Amygdala and
ventromedial prefrontal cortex are inversely coupled during
regulation of negative affect and predict the diurnal pattern of
cortisol secretion among older adults. Journal of Neuroscience,
26,4415-4425.
82
PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK DALAM PERSPEKTIF
ISLAM
Layyinah, M.Si
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendahuluan
Islam memperlihatkan betapa pentingnya memperhatikan dan
merawat anak dengan penuh kasih sayang sejak dalam kandungan.
Nabi Muhammad SAW, menyatakan bahwa : “Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi,
Nasrani atau Majusi”. Menurut Imam Ghazali bahwa setiap manusia
diciptakan Allah dengan dibekali dua kecenderungan asli, yakni
cenderung dengan kebajikan dan kejahatan. Orang tuanyalah yang
membuat anak menjadi cenderung kepada salah satunya (baik atau
buruk). Oleh karena itu peranan orang tua dalam perkembangan dan
pendidikan terutama dalam pembentukan karakter anak sangat
penting.
Bahkan di lain tempat, al-Ghazali memberikan tamsil dengan biji
kurma dan apel di mana dia menegaskan bahwa biji (benih) kurma
hanya akan menumbuhkan pohon kurma. Demikian pula biji apel
hanya kan menumbuhkan pohon apel bila ––dan hanya bila––
keduanya dipelihara. Tamsil ini, kurang lebih, berarti bahwa
pendidikan yang baik akan melahirkan kepribadian yang baik,
demikian juga sebaliknya. Pengertian lain adalah bahwa setiap
manusia berpotensi untuk menjadi apa pun (menjadi orang baik atau
jahat) tergantung pada pemeliharaan (baca: pendidikan). Sedangkan
tanah tempat tumbuh apel dan kurma mengisyaratkan bahwa
pertumbuhan manusia ditentukan pula oleh lingkungannya.
PERIODE PRANATAL
Perhatian kepada anak dimulai pada masa sebelum kelahirannya,
dengan memilih isteri yang shalehah, Rasulullah SAW memberikan
nasehat dan pelajaran kepada orang yang hendak berkeluarga dengan
bersabda :" Dapatkan wanita yang beragama, (jika tidak) niscaya
engkau merugi" (HR.Al-Bukhari dan Muslim). Begitu pula bagi
wanita, hendaknya memilih suami yang sesuai dari orang-orang yang
83
datang melamarnya. Hendaknya mendahulukan laki-laki yang
beragama dan berakhlak. Rasulullah memberikan pengarahan kepada
para wali dengan bersabda :"Bila datang kepadamu orang yang kamu
sukai agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah. Jika tidak kamu
lakukan, niscaya terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang
besar. Termasuk mengikuti tuntunan Rasulullah dalam kehidupan
rumah tangga kita. Rasulullah memerintahkan kepada kita: "Jika
seseorang diantara kamu hendak menggauli isterinya, membaca:
"Dengan nama Allah.Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan
jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami".
Maka andaikata ditakdirkan keduanya mempunyai anak, niscaya tidak
ada syaitan yang dapat mencelakakannya".
Setiap muslim akan merasa kagum dengan kebesaran Islam.
Islam adalah agama kasih sayang dan kebajikan. Sebagaimana Islam
memberikan perhatian kepada anak sebelum kejadiannya, Islam pun
memberikan perhatian besar kepada anak ketika masih menjadi janin
dalam kandungan ibunya. Islam membolehkan kepada ibu hamil agar
tidak berpuasa pada bulan Ramadhan untuk kepentingan janin yang
dikandungnya. SabdaRasulullah :"Sesungguhnnya Allah memberi
kemudahan untuk shalat bagi orang yang bepergian, dan
(membebaskan) puasa bagi orang yang bepergian, wanita menyusui
dan wanita hamil"( Hadits riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi dan An
Nasa'i. Kata Al Albani dalam Takhrij al Misykat:"Isnad hadits
inijayyid' ). Sang ibu hendaklah berdo'a untuk bayinya dan memohon
kepada Allah agar dijadikan anakyang shaleh dan baik, bermanfaat
bagi kedua orangtua dan seluruh kaum muslimin. Karena termasuk
do'a yang dikabulkan adalah do'a orangtua untuk anaknya.
PERIODE NEONATAL
Menurut Abdullah Nashih Ulwan (2007), Islam juga membahas
hukum-hukum penting yang wajib dilaksanakan bagi orangtua atau
wali pada masa kelahiran, diantaranya adalah sebagai berikut:
Memberikan Ucapan Selamat dan Rasa Turut Gembira Ketika
Seseorang Melahirkan
Dianjurkan kepada setiap muslim untuk segera memberikan
ucapan selamat kepada sesama muslim yang melahirkan seorang anak.
Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat ikatan persaudaraan dan
kecintaan antar keluarga muslim. Jika sesorang tidak berkesempatan
untuk mengungkapkan rasa turut bergembira, maka baginya
84
dianjurkan untuk memberikan ucapan selamat tersebut dengan cara
mendoakan orang tua dan anaknya yang baru lahir. Semoga Allah
menerima, mengabulkan dan memeliharanya.
Allah Swt. Berfirman tentang kisah Ibrahim a.s. :
“Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah
datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka
mengucapkan, ‘Selamat. ‘Ibrahim menjawab, ‘Selamatlah, ‘maka tidak lama
kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang di panggang. Maka
tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang
aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu
berkata, ‘Janganlah kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-
malaikat) yang diutus kepada Luth. ‘Dan istrinya berdiri (di sampingnya)
lalu ia tersenyum, maka kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang
(kelahiran) Ishak dan sesudah Ishak (lahir pula) Ya’qub.” (Q.S.Huud: 69-71).
Allah Swt. Berfirman di dalam kisah Zakaria a.s. :
“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah
berdiri shalat di mihrab (katanya), ‘Sesungguhnya Allah menggembirakan
kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya…(Q.S. Ali Imran :39).
Dalam ayat lain Allah berfirman :
“Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu
akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya KAmi
belum pernah menciptakan orang yang serupa dia.” (Q.S. Maryam :7)
Mengumandangkan Azan dan Ikamat Saat Kelahiran Anak
Pada saat kelahiran seorang bayi disunnahkan menyerukan
suara azan pada telinga kanan bayi dan mangiqamati pada telinga kiri.
Hal ini dilakukan agar pertama kali yang didengarnya di dunia adalah
suara tauhid. Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan bahwa Abu
Rafi’ berkata:”Aku melihat Rasulullah SAW menyerukan adzan di telinga
Al-Hasan ibnu ’Ali saat baru dilahirkan oleh ibunya, Fathimah.”
Baihaqi dan Ibnu Sunni meriwayatkan dari Al-Hasan bin Ali dari
Nabi Saw :
”Siapa yang baru mendapatkan bayi, kemudian ia mengumandangkan
azan pada telinga kanannya dan iqamat pada telinga kirinya maka anak yang
baru lahir itu tidak akan terkena bahaya Ummush Shibyan (angin yang
dihembuskan kepada anak, menjadikan anak takut kepadanya. Dikatakan,
bahwa yang dimaksud adalah pengikut jin, yang oleh sebagian orang disebut
qarinah).
Adapun hikmah dari azan dan ikamat disini, menurut Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah di dalam kitabnya, Tuhfatul Maudud, agar suara
85
yang pertama kali diterima pendengaran manusia adalah kalimat-
kalimat seruan Yang Maha Tinggi yang mengandung kebesaran
Tuhan, juga syahadat sebagai kalimat pertama-tama masuk Islam. Hal
itu merupakan talqin(pengajaran) baginya tentang syariat Islam ketika
anak baru memasuki dunia, sebagaimana halnya kalimat tauhid di
talqinkan kepadanya ketika ia meninggal dunia. Dan tidak mustahil
bila pengaruh azan itu akan meresap di dalam hatinya, walaupun ia
tidak merasa. Hikmah lainnya adalah larinya setan karena kalimat-
kalimat azan.
Menggosok langit-langit Mulut Anak Setelah Dilahirkan
Yang dimaksud dengan menggosok-gosok langit-langit adalah
mengunyah kurma dan menggosokkannya ke langit-langit mulut anak
yang baru dilahirkan. Hal itu dilakukan dengan menaruh sebagian
kurma yang telah dikunyah di atas jari dan memasukkan jari itu
kedalam mulut anak, kemudian menggerak-gerakkannya ke kanan
dan ke kiri dengan gerakan lembut, hingga merata. Jika kurma itu sulit
didapat, maka penggosok itu dapat dilakukan dengan bahan yang
manis lainnya.
Hikmah yang terkandung adalah menguatkan syaraf-syaraf
mulut dan tenggorokan dengan gerakan lidah dan dua tulang rahang
bawah dengan jilatan, sehingga anak siap untuk menyusu dan
menghisap susu secara tepat. Lebih utama penggosokkan ini
dilakukan oleh orang yang memiliki sifat taqwa dan saleh sebagai
suatu penghormatan, dengan pengharapan semoga si anak juga
menjadi orang yang saleh dan taqwa.
Memberi nama yang baik
Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Di
antara keindahan adalah memberi nama yang baik bagi anak dan tidak
memberinya nama yang mengandung makna buruk. Untuk itu Rasul
SAW mengatakan dalam sabdanya : ”Nama yang paling disukai oleh
Allah adalah ’abdullah dan ’Abdur Rahman, dan nama yang paling
baik adalah Harist dan Hammam, sedang nama yang paling buruk
adalah Harb (perang) dan Murrah (pahit). Dalam Q.S. Ali Imran,36
yang artinya : Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya,
diapun berkata: "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya
seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang
dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak
perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan
86
aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak
keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan
yang terkutuk.
Hal lain yang perlu dilakukan terhadap bayi neonatal adalah
memberinya nama. Sabda Rasullullah Saw : ”Sesungguhnya pada hari
kiamat nanti kamu sekalian akan di panggil dengan nama-nama kamu
sekalian dan nama-nama bapak-bapak kamu sekalian” (HR Abu Dawud).
Memberikan nama yang baik bertujuan agar si anak kelak jika sudah
dewasa akan memahami kasih sayang orang tuannya dengan memberi
nama dengan nama yang baik, di samping itu jika ia memiliki nama
yang baik akan menumbuhkan sikap percaya diri dalam dirinnya.
Namun, jika nama si anak buruk atau jelek, itu akan mempengaruhi
jiwannya, si anak menjadi minder, pemalu, dan pendiam atau bahkan
ia akan menjadi seseorang yang pendendam bagi orang tua yang
memberinnya nama yang buruk. Dalam hadist lain, Ibnu Abbas
meriwayatkan, Rasulluwllah Saw telah bersabda, ”Hak anak (yang wajib
dipenuhi) oleh orang tuannya adalah memberinnya nama yang baik dan
memperbaikinnya adabnya (perilakunnya),” (Al-Jami’ Ash-Shaghir
halaman 173).
Aqiqah
Pada hari ketujuh, diwajibkan bagi yang mampu untuk
mengadakan akikah untuk si anak agar diharapkan tertanam pada diri
anak sikap kedermawanan kelak jika ia sudah menjadi dewasa.
Rasulluwllah Saw bersabda ”Bersama anak itu ada akikahnya. Karena itu,
alirkanlah darah karenannya dan hilangkanlah penyakit darinnya” (HR.
Bukhari Muslim). Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Salman bin
Ammar Adh Dhabbi, katanya: Rasulullah bersabda: "Setiap anak
membawa aqiqah, maka sembelihlah untuknya dan jauhkanlah
gangguan darinya" (HR. Al Bukhari.)
Dalam hadis lain, Rasullullah bersabda,”Jadikanlah oleh kalian di
tempat darah itu wewangian...” yakni di kepala anak pada hari
penyembelihan akikah untuknya, (HR Ibnu
Mencukur rambut
Diantara hukum yang disyari’atkan Islam untuk anak yang baru
dilahirkan adalah sunah mencukur rambut kepala pada hari ketujuh.
Faedahnya antara lain: mencukur rambut bayi dapat memperkuat
kepala, membuka pori-pori di samping memperkuat indera
penglihatan, pendengaran dan penciuman. (Abdullah Nasih Ulwan,
Tarbiyatul Auladfil Islam, juz 1.)
87
Khitan
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu bahwa
Rasulullah bersabda: "Fitrah itu lima: khitan, mencukur rambut
kemaluan, memendekkan kumis, memotong kuku, mencabut bulu
ketiak" (HR. Al-bukhari, Muslim) Khitan wajib hukumnya bagi kaum
pria, dan rnustahab (dianjurkan) bagi kaum wanita.WallahuA'lam.
Hikmah Khitan. Khitan mengandung hikmah religius yang
agung dan dampak higienis yang banyak sebagaimana telah
diungkapkan oleh para ulama dan para dokter, berikut ini hikmah
religius diantaranya :
Khitan merupakan pangkal fitran, syiar Islam dan syariat
Khitan merupakan salah satu media bagi kesempurnaan agama
yang disyari’atkan Allah lewat lisan Ibrahim a.s. Yaitu agama yang
mencetak hati umat manusia untuk bertauhid dan beriman; agama
yang membentuk fisik jasmani dengan tabiat-tabiat fitrah, seperti
khitan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu-bulu
ketiak.
Khitan sebagai pembeda kaum muslim dengan pengikut agama
yang lain.
Khitan merupakan pernyataan ubudiyah (ketetapan mutlak)
terhadap Allah, ketaatan melaksanakan perintah, hukum dan
kekuasaan-Nya.
Diantara beberapa dampak higienis (ilmu kesehatan) ialah :
Khitan dapat menyebabkan kebersihan, keindahan dan
menstabilkan syahwat.
Khitan merupakan cara sehat untuk memelihara seseorang dari
berbagai penyakit.
Dr. Shabri Al-Qabani, didalam bukunya Hayatuna Al-
Jinsiyah (Kehidupan Seksual Kita) mengatakan, bahwa khitan itu
mempunyai dampak higinis, diantaranya adalah :
Dengan terkelupasnya kuluf (kulit ulu dzakar), berarti seseorang
akan terhindar dari keringat berminyak dan sisa kencing yang
mengandung lemak dan kotor, yang bisa mengakibatkan gangguan
kencing dan pembusukan.
Dengan dipotongnya kuluf, berarti seseorang akan terhindar dari
bahaya terganggunya hasafah (kepala penis) ketika ereksi.
Khitan dapat mengurangi kemungkinan berjangkitnya kanker.
Kenyataan membuktikan, bahwa kanker banyak berjangkit pada
88
orang-orang yang kulufnya sempit dan jarang didapat pada bangsa-
bangsa yang mewajibkan khitan.
Jika kita bergegas mengkhitan anak, berarti menghindarkan anak
kita dari penyakit ngompol di malam hari.
Khitan dapat meringankan banyaknya pemakaian kebiasaan
yang bersifat rahasia bagi orang dewasa.
89
Memberikan perlindungan dan imunitas tertentu kepada anak
dari serangan virus.
Menumbuhkan rasa kasih sayang dan hubungan emosional antara
ibu dan anaknya.
91
Dibiasakan sederhana dalam makan dan minum, dan dijauhkan
dari sikap rakus.
Dilarang bermain dengan hidungnya.
Dibiasakan membaca Bismillah ketika hendak makan.
Dibiasakan untuk mengambil makanan yang terdekat dan tidak
memulai makan sebelum orang lain.
Tidak memandang dengan tajam kepada makanan maupun
kepada orang yang makan.
Dibiasakan tidak makan dengan tergesa-gesa dan supaya
mengunyah makanan denganbaik.
Dibiasakan memakan makanan yang ada dan tidak mengingini
yang tidak ada.
Dibiasakan kebersihan mulut denganmenggunakan siwak atau
sikat gigi setelah makan,sebelum tidur, dan sehabis bangun tidur.
Dididik untuk mendahulukan orang lain dalam makanan atau
permainan yang disenangi,dengan dibiasakan agar menghormati
saudara-saudaranya, sanak familinya yang masihkecil, dan anak-
anak tetangga jika mereka melihatnya sedang menikmati
sesuatumakanan atau permainan.
Dibiasakan mengucapkan dua kalimat syahadat dan
mengulanginya berkali-kali setiap hari.
Dibiasakan membaca "Alhamdulillah" jika bersin, dan mengatakan
"Yarhamukallah"kepada orang yang bersin jika membaca
"Alhamdulillah".
Supaya menahan mulut dan menutupnya jika menguap, dan
jangan sampai bersuara.
Dibiasakan berterima kasih jika mendapat suatu kebaikan,
sekalipun hanya sedikit.
Tidak memanggil ibu dan bapak dengan namanya, tetapi
dibiasakan memanggil dengankata-kata: Ummi (Ibu), dan Abi
(Bapak).
Ketika berjalan jangan mendahului kedua orangtua atau siapa
yang lebih tua darinya,dan tidak memasuki tempat lebih dahulu
dari keduanya untuk menghormati mereka.
Dibiasakan bejalan kaki pada trotoar, bukan di tengah jalan.
Tidak membuang sampah dijalanan, bahkan menjauhkan kotoran
darinya.
92
Mengucapkan salam dengan sopan kepada orang yang
dijumpainya denganmengatakan "Assalamu 'Alaikum" serta
membalas salam orang yang mengucapkannya.
Diajari kata-kata yang benar dan dibiasakan dengan bahasa yang
baik.
Dibiasakan menuruti perintah orangtua atau siapa saja yang lebih
besar darinya, jikadisuruh sesuatu yang diperbolehkan.
Bila membantah diperingatkan supaya kembali kepada kebenaran
dengan suka rela, jika memungkinkan. Tapi kalau tidak, dipaksa
untuk menerima kebenaran, karena hal inilebih baik daripada
tetap membantah dan membandel.
Hendaknya kedua orangtua mengucapkan terima kasih kepada
anak jika menurutiperintah dan menjauhi larangan. Bisa juga sekali-
kali memberikan hadiah yang disenangiberupa makanan, mainan atau
diajak jalan-jalan.
Tidak dilarang bermain selama masih aman, seperti bermain
dengan pasir danpermainan yang diperbolehkan, sekalipun
menyebabkan bajunya kotor. Karenapermainan pada periode ini
penting sekali untuk pembentukan jasmani dan akal anak.
Ditanamkan kepada anak agar senang pada alat permainan yang
dibolehkan sepertibola, mobil-mobilan, miniatur pesawat terbang, dan
lain-lainnya. Dan ditanamkan kepadanya agar membenci alat
permainan yang mempunyai bentuk terlarang seperti manusia dan
hewan.
Dibiasakan menghormati milik orang lain, dengan tidak
mengambil permainan ataupun makanan orang lain, sekalipun
permainan atau makanan saudaranya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Al-Ghazali, Ikhtisar Ihya Ulumuddin
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Pustaka
Amani, Jakarta.2007
Abdur Rahman, Jamal. Tahapan Mendidik Anak, Teladan Rasulullah SAW,
Bandung, Irsyad Baitus Salam. 2005.
Abdullah Haddad, Allamah Sayyid, Renungan Tentang Umur Manusia,
Jakarta, Mizan, Tanpa Tahun.
Ensiklopedia, Mukjizat Alquran dan Hadis, Kemukjizatan Penciptaan
Manusia, Jakarta, PT. Sapta Sentosa, 2008.
M. Ustman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, Pustaka, Bandung, 1997.
Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid, Cara Nabi Mendidik Anak,
Al-I’tishom., Jakarta, 2004
99
Perbedaan Individu dan Perilaku Kerja
Akhmad Baidun
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
102
Sikap seorang individu sangat memberikan peran penting untuk
individu dalam melakukan pekerjaan. Berikut ini komponen-
komponen yang harus diperhatikan dalam sikap:
Komponen kognitif: keyakinan, opini, pengetahuan, atau
informasi yang dimiliki oleh seseorang.
Komponen afektif: bagian emosional atau perasaan sikap.
Komponen perilaku: niat untuk berperilaku dengan cara
tertentu.
Dalam dunia perusahaan atau dalam dunia organisasi, individu
harus mengenal lebih dalam mengenai dirinya sendiri, individu harus
bisa mampu percaya akan kemampuan dirinya sendiri dan ada
beberapa yang harus individu milik, yaitu:
Kemampuan Sosial
Motivasi
Mampu ditempatkan di tempat orang lain
Kognitif
Psikomotorik yang diawali niat
Perlu kita ketahui bahwa ada keunikan pada manusia atau pada
individu, yang terlihat dari setiap individu hanya personality traits
yang di awali dari fisik ke sifat, tapi ada juga personal values yang
harus dikelaurkan dari individu.
103
3.3. Wawasan Kepribadian Lainnya
3.3.2. Machiavellianism
Tingkat dimana seorang individu bersikap pragmatis,
mempertahankan jarak emosional, dan berusaha untuk mendapatkan
dan memanipulasi kekuatan dengan tujuan menghalalkan segala cara.
3.3.3. Self-Esteem
Menjelaskan tentang bagaimana seseorang menjadi suka atau tidak
suka terhadap dirinya sendiri. Ada sebagian orang yang memiliki self-
esteem yang tinggi dan ada juga yang memiliki self-esteem yang
rendah.
Self-Esteem Tinggi:
104
Percaya diri dan mengharapkan sukses.
Mengambil lebih banyak risiko dan menggunakan pendekatan
konvensional.
Lebih puas dengan pekerjaan mereka daripada yang memiliki self-
esteem rendah.
Self-Esteem Rendah:
Lebih rentan terhadap pengaruh eksternal.
Tergantung pada evaluasi positif dari orang lain.
Lebih rentan untuk menyesuaikan daripada self-esteem yang tinggi.
3.3.4. Self-Monitoring
Kemampuan individu untuk menyesuaikan perilaku eksternal
terhadap faktor situasional.
Self-Monitoring Tinggi:
Sensitif terhadap isyarat eksternal dan berperilaku berbeda dalam
situasi yang berbeda.
Dapat menyajikan persona publik bertentangan dan diri pribadi.
Self-Monitoring Rendah:
Tidak menyesuaikan perilaku mereka dengan situasi.
Apakah perilaku konsisten dalam publik dan swasta.
105
3.3.6. Perspesi
Sebuah proses dimana individu memberikan arti (realitas) dengan
lingkungan mereka dengan mengorganisir dan menafsirkan kesan
indra mereka. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi:
Personal karakteristik-kepentingan, bias perseptor dan harapan
Target karakteristik-kekhasan, kontras, dan kesamaan)
Situasi (konteks) tempat factors-, waktu, lokasi-menarik perhatian atau
mengalihkan perhatian dari target
106
Mementingkan diri sendiri Bias. Kecenderungan individu untuk
atribut keberhasilan mereka untuk faktor internal sementara
menyalahkan kegagalan pribadi pada faktor eksternal.
3.4.3. Stereotyping
Menilai seseorang atas dasar persepsi kita dari kelompok bagian dari
dirinya.
Daftar Pustaka
Margaret E. Gredler, Learning And Instruction: Teori Dan Aplikasi,
Jakarta: kencana, 2011 halaman 540
107
KEPRIBADIAN DAN SIKAP DALAM PEKERJAAN
Akhmad Baidun
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
1. Pengertian Kepribadian.
Menurut Gibson (1996) definisi dari kepribadian adalah himpunan
karakteristik dan kecenderungan yang stabil serta menentukan sifat
umum dan perbedaan dalam perilaku seseorang.
Sedangkan menurut Allport dalam Gibson (1996) adalah organisasi
dinamis di dalam masing-masing dan sistem-sistem psikofisik yang
menentukan penyesuaian unik terhadap lingkungan. Dapat juga
dikatakan bahwa kepribadian adalah total jumlah dari cara-cara dalam
mana seseorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain.
Wood (2000) mendefinisikan kepribadian sebagai profil keseluruhan
atau kombinasi sifat yang memberi ciri khas sifat dasar seseorang.
2. Teori Kepribadian.
Dalam perkembangannya, teori kepribadian memiliki tiga
pendekatan, yaitu: pendekatan sifat, pendekatan psikodinamis dan
pendekatan humanis. Teori Kepribadian Sifat (Trait) didasarkan pada
alasan predisposisi mengarahkan perilaku individu dalam pola yang
konsisten. Menurut Allport dalan Gibson (1996) sifat (Trait) adalah
merupakan batu bata ibarat pondasi dari suatu bangunan, alasan,
tindakan, sumber keunikan individu. Sifat adalah dugaan
kecenderungan yang mengarahkan perilaku secara konsisten dan
ciri karakteristik tertentu. Sifat menghasilkan konsistensi pada
perilaku, karena sifat melanjutkan atribut dan cakupannya secara
umum dan luas.
2.1 Teori Kepribadian Psikodinamis menurut Freud bahwa
perbedaan kepribadian individu itu karena setiap orang mempunyai
dasar yang berbeda. Ia membagi kepribadian menjadi tiga bagian,
yaitu: id, ego dan superego. Id adalah system kepribadian yang paling
dasar, system yang di dalamnya terdapt naluri-naluri bawaan. Ego
109
adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu
kepada dunia obyek dari kenyataan dan menjalankan fungsinya
berdasarkan prinsip kenyataan. Berdasarkan fungsinya tersebut maka
ego bertindak sebagai penengah konflik, seringkali ego harus
kompromi, untuk mencoba dan memuaskan Id dan Superego.
Superego adalah sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan
aturan-aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik buruk),
dimana nilai-nilai termasuk di dalamnya sikap moral tersebut
dibentuk oleh masyarakat. Superoego sering bertentangan dengan Id,
Id ingin melakukan apa yang dirasa baik sementara Superego
memaksa melakukan apa yang “benar”.
3. Determinan Kepribadian.
Ada tiga faktor yang menentukan kepribadian individu, yaitu: (1)
keturunan, (2) lingkungan dan (3) situasi. Dalam hal ini Wood
menjelaskan dalam sebuah gambar sederhana tentang faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi kepribadian individu.
110
sifat malu, takut, murung, kegemaran, kemantapan, tidak mau repot dan bahkan
kepuasan kerja) cenderung ditentukan oleh faktor hereditas.
4. Ciri-ciri Kepribadian
Ciri-ciri kepribadian adalah karakteristik-karakteristik (seperti sifat malu, agresif,
mengalah, malas, ambisius, setia) yang diperagakan oleh individu dalam sejumlah
besar situasi. Dengan kata lain ciri kepribadian adalah karakteristik-karakteristik
yang bertahan yang memberikan perilaku seorang individu. Pencarian dini ciri-
ciri utama dengan identifikasi enam belas faktor kepribadian yang dipandang
sebagai ciri primer kepribadian atau yang merupakan sumber perilaku yang
umumnya konstan, memungkinkan ramalan dari perilaku seorang individu
dalam situasi-situasi khusus dengan menimbang karakteristik-karakteristik untuk
relevansi situasi awalnya.
Introverted
careful quiet
peaceful reserved reliable sober
calm anxious
Stable Unstable
leadership touchy lively aggresive
responsive changeable
outgoing optimistic
Extroverted
Dari berbagai penelitian tentang kepribadian, yang paling populer adalah model
kepribadian lima faktor yang biasa disebut model lima besar. Ciri-ciri kepribadian
menurut model ini adalah:
1. Ekstraversi yaitu dimensi kepribadian yang menggambarkan sejauh mana
seseorang itu mudah bergaul, pandai bicara dan tegas.
2. Agreeableness yaitu dimensi kepribadian yang menggambarkan sejauhmana
seseorang itu ramah, mudah bekerja sama, dan dapat dipercaya.
3. Ketelitian yaitu dimensi kepribadian yang menggambarkan sejauhmana
seseorang bertanggung jawab, andal, tekun dan berorientasi prestasi.
4. Kemantapan emosional yaitu dimensi kepribadian yang menggambarkan
sejauhmana seseorang itu tenang, penuh semangat, aman, tegang, tertekan,
gelisah dan tidak aman.
112
5. Kepribadian terhadap pengalaman yaitu dimensi kepribadian yang
menggambarkan sejauhmana seseorang itu imajinatif, peka terhadap seni dan
cerdas.
5.2. Machiavellianisme
Machiavellianisme adalah derajat sejauhmana seorang individu bersifat
pragmatis, menjaga jarak emosional, meyakini bahwa tujuan dapat membenarkan
cara. Ciri-ciri Machiavellianisme yang tinggi adalah memanipulasi lebih banyak,
memenangkan lebih banyak, jarang dibujuk dan membujuk orang lain lebih
banyak dibandingkan dengan kaum Machiavellianisme rendah. Pekerjaan yang
cocok bagi kelompok Machiaveliianisme yang tinggi adalah:
Pekerjaan yang banyak memerlukan tawar menawar (negotiation)
Pekerjaan yang menjanjikan hadiah bila berhasil (mis: penjualan berkomisi).
Kelompok ini berkembang manakala:
a. Berinteraksi atau tatap muka secara langsung dengan orang lain daripada
secara tidak langsung.
b. Situasi itu mempunyai aturan dan peraturan yang minimum sehingga
memungkinkan ruang gerak untuk improvisasi.
c. Keterlibatan emosional dengan rincian yang tidak relevan dengan kemenangan
mengalihkan perhatian para Machiavellianisme rendah.
115
Berupaya keras untuk memikirkan atau melakukan dua hal atau lebih
secara serentak.
Tidak dapat mengatasi waktu luang.
Terobsesi oleh bilangan yang mengukur sukses dalam bentuk seberapa
banyak semua hal yang mereka peroleh.
116
Akan tetapi lebih banyak pada negara kapitalis dimana prestasi dan sukses
material lebih dihargai.
Dari teori-teori tersebut ada tiga hal yang dapat dijadikan kunci, yaitu:
117
1. Ada beberapa perbedaan-perbedaan intrinsik dalam kepribadian diantara
individu-individu.
2. Ada tipe-tipe pekerjaan yang berbeda atau berlainan.
3. Orang-orang dalam lingkungan kerja kongruen dengan tipe kepribadian
mereka seharusnya lebih dipuaskan dan lebih kecil kemungkinannya untuk
berhenti daripada orang-orang dalam pekerjaan yang tidak kongruen.
III. KESIMPULAN
Suatu organisasi dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan hidupnya,
akan mengalami pasang surut sebagai salah satu bagian dari proses menuju
kematangannya. Dalam proses tersebut anggota-anggota organisasi yang
adalah individu-individu dalam organisasi itu sendiri pasti terlibat aktif di
dalamnya. Perilaku-perilaku individu inilah yang berperan penting dalam
kehidupan organisasi. Bahkan dapat dikatakan individu-individu tersebut
merupakan urat nadi berkembang tidaknya organisasi. Dengan kata lain bahwa
perilaku-perilaku indivu dalam organisasi pasti memberi dampak pada perilaku
organisasi.
Perilaku organisasi dipengaruhi oleh perilaku individu, dan setiap individu
dalam suatu organisasi mempunyai perilaku yang berbeda-beda. Adanya
perbedaan perilaku tersebut karena setiap manusia mempunyai kepribadian yang
berbeda-beda. Perilaku seorang pekerja tidak akan dimengerti tanpa
memperhatikan konsep kepribadian. Kepribadian juga saling berhubungan
dengan persepsi, sikap, belajar dan motivasi setiap usaha. Untuk mengerti
perilaku menjadi tidak lengkap apabila kepribadian tidak diperhitungkan atau
dipahami sebelumnya.
Terdapat tiga teori yang membantu kita dalam memahami kepribadian yaitu
teori yang menjelaskan individu, teori psikodinamis yang menggabungkan
karakteristik manusia dan menjelaskan perkembangan kepribadian alamiah
dinamis serta teori para humanis yang menekankan pada orang dan pentingnya
aktualisasi diri kepada kepribadian. Setiap pendekatan berusaha untuk
menerangkan sifat unik atau khas dari setiap individu yang mempengaruhi pola
perilakunya.
Kepribadian yang dikembangkan kepada seseorang jauh sebelum seseorang itu
menjadi anggota suatu organisasi dipengaruhi oleh sifat-sifat keturunan,
determinan budaya dan sosial. Walaupun kepribadian dibentuk di luar
organisasi tetapi karena individu tersebut pada saatnya berada dalam suatu
organisasi, maka kepribadian awal yang dibawa oleh anggota-anggota atau
individu-individu organisasi itu dianggap sebagai faktor penting dalam perilaku
118
di tempat kerja. Perilaku individu maupun kelompok di tempat kerja inilah yang
menjadi bagian bahasan dalam studi perilaku organisasi.
Daftar Pustaka
Margaret E. Gredler, Learning And Instruction: Teori Dan Aplikasi, Jakarta:
kencana, 2011 halaman 540
119
RESUME NOVELTY BUKU BUNGA RAMPAI PSIKOLOGI POSITIF
Kajian dalam buku ini membahas mengenai seputar aspek dalam Psikologi
Positif. Kajian mengenai Psikolog positif, termasuk dalam kajian bidang psikologi
dengan perspektif cenderung baru muncul pada tahuan 2000-an, dengan kata lain
Psikologi positif merupakan salah satu kajian bidang ilmu psikologi yang baru-
baru ini berkembang. Psikologi positif, konsep andalan kajiannya terfokus pada
kekuatan individual yang terdapat pada diri seseorang. Pada periode beberapa
tahun belakangan, dapat diamati perubahan yang cukup drastis dalam meninjau
ulang dan menganalisis arah area kajian psikologi yang awalnya fokus pada
penyembuhan ataupun pemulihan individu, namun sekarang justru lebih ke arah
membangun dan menguatkan kualitas positif yang dimiliki individu.
Bab-bab yang ada pada bunga rampai ini cenderung memberikan nuansa
baru dalam pembahasan kajian bidang Psikologi. Kajian ini dapat menginspirasi
pada ahli dan pemerhati bidang Psikologi dengan perspektif yang cenderung baru
dan menarik untuk diulik dengan lebih mendalam. Beberapa kajian dalam buku
ini menggambarkan kondisi positif yang dimiliki oleh individu, baik secara
pembentukan karakter positif, kajian mengenai emosi yang positif dengan regulasi
emosi dan kecerdasan emosi sera kepribadian dan sikap positif dalam bekerja.
Tertanda
Natris Idriyani
Penulis
RESUME NOVELTY BUKU MODUL FITRAH AQIL BALIGH
Buku ini merupakan satu bentuk karya ilmiah yang dipersembahkan bagi seluruh
pembaca yang memiliki konsentrasi dan minat dalam mendalami dan mengkaji
terkait anak berkebutuhan khusus, yaitu salah satunya adalah anak dengan down
syndrome. Terutama bagi orang tua, maupun pemerhati bagi anak-anak maupun
remaja yang berkebutuhan khusus.
Down syndrome merupakan suatu kondisi mental yang khas yang dialami
oleh beberapa individu. Kondisi mental dengan disabilitas intelektual, membuat
anak-anak maupun remaja yang mengalaminya memiliki keterbatasan dalam
berpikir dan berperilaku. Sehingga hampir di semua periode yang dialaminya,
dijalankan dengan aktivitas yang kemampuan yang terbatas. Keterbatasan dan
ketidakmampuan yang dialaminya, membuat lingkungan terutama orang tua harus
berupaya membantu sepenuhnya terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya,
termasuk bagaimana remaja dengan down syndrome menjalankan periode
kehidupannya di masa pubertas.
Selain itu kebaruan lainnya dalam buku ini juga mengintegrasikan kajian
psikologi dengan kajian keislaman terkait dengan masa pubertas atau masa fitrah
aqil baligh yang dialami remaja dengan down syndrome. Terdapat ayat-ayat Al-
Qur’an yang juga menjelaskan masa pubertas dan cara menjalankan masa
tersebut. Sehingga dapat membantu orang tua yang masih belum memahami
bagaimana syariat Islam mengajarkan dalam menjalankan masa fitrah aqil baligh
remaja muslim.
Tertanda
Natris Idriyani
Penulis