Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS DAN EVALUASI MENGENAI PENGGUNAAN

BAHASA INDONESIA SEBAGAI NAMA GEOGRAFI DI


INDONESIA

DOSEN PENGAMPU:

AZIZ FAUZI, S.Pd., M.Pd.

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 6

1. Mu'iz Al Hadi 2106010247


2. Muhamad Subagiya 2106010142
3. Dewi Lestari 2106010203
4. Dilla adelia shiffa 2006010187
5. Rahma fitria agustina 2006010197
6. Suci handayani 2006010194

PROGRAM STUDY MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM SYEIKH – YUSUF
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan nikmat, rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul
"ANALISIS DAN EVALUASI MENGENAI PENGGUNAAN BAHASA
INDONESIA DALAM NAMA GEOGRAFI DI INDONESIA".
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Aziz Fauzi,
S.Pd., M.Pd. selaku dosen mata kuliah Bahasa Indonesia yang telah membantu
penulis dalam mengerjakan makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini memberikan panduan dalam pembelajaran bahasa indonesia.
Bagi mahasiswa - mahasiswi untuk memahami dan menggunakan bahasa
indonesia yang baik dan benar. Penulis menyadari ada kekurangan pada makalah
ini. Oleh sebab itu, saran dan kritik senantiasa diharapkan demi perbaikan karya
penulis. Penulis juga berharap semoga makalah ini mampu memberikan
pengetahuan tentang pentingnya penggunaan bahasa indonesia dalam
pembelajaran.

Tangerang, Maret 2023

Penulis
HASIL PEMBAHASAN

I. Latar Belakang
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki fungsi untuk
pengembangan ilmu dan teknologi. Fungsi pengembangan ilmu dapat
dikaitkan, antara lain, dengan pemanfaatan bahasa Indonesia untuk penamaan
tempat (toponim), yang ilmunya adalah toponimi. Oleh karena itu, bahasa
Indonesia dapat berfungsi juga untuk pengembangan toponimi melalui
pemberian nama tempat.
Pada tahun 2009 Presiden Republik Indonesia dan DPR menge-sahkan
berlakunya Undang Undang Republik Indonesia No 24 Tahun 2009, tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan Indonesia
Raya. Dalam Bab III undang-undang tersebut terdapat pasal-pasal yang berisi
kebijakan bahasa nasional, yaitu Pasal 25 sampai dengan Pasal 45. Pasal yang
dijadikan pokok bahasan dalam karangan ini adalah Pasal 36 yang terdiri atas 3
ayat, yaitu Ayat (1) berbunyi “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama
geografi di Indonesia”; Ayat (2) menegaskan bahwa “Nama geografi
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) hanya memiliki satu nama resmi”; Ayat
(3) menyatakan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama
bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran,
kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan,
organisasi yang didirikan atau badan hukum Indonesia”; dan Ayat (4) berisi
tentang “Penamaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (3) dapat
menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah,
budaya, adat-istiadaat, dan/atau keagamaan. Namun, dalam kenyataan di
lapangan eksistensi bahasa Indonesia cenderung dipinggirkan dan penerapan
undang-undang tersebut tidak berjalan secara efektif.
Penamaan tempat dengan menggunakan bahasa Indonesia sudah dilakukan
jauh sebelum bahasa Indonesia diresmikan sebagai bahasa nasional kita. Nama-
nama, seperti Pulau Penyengat, Batang Hari, Medan, Tanjungpinang,
Sungaipenuh, Pekanbaru, Bukittinggi, Balikpapan, dan Jayapura terdiri atas
bahasa Indonesia: pulau, penyengat, batang, hari, medan, tanjung, pinang,
sungai, penuh, pekan, hari, bukit, tinggi, balik, papan, jaya, dan pura.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam nama geografi itu menunjukkan bahwa
masyarakat Indonesia, terutama yang jauh sebelum bahasa Indonesia resmi
sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, memiliki kesetiaan terhadap bahasa
nasionalnya.
Tentu berbeda halnya dengan nama geografi yang menggunakan bahasa asing,
yang pasti ada semacam ketidakbanggaan pengembangnya terhadap bahasa
nasionalnya sendiri. Dengan demikian, rasa kebangsaannya sendiri menjadi
luntur. Misalnya bisa kita bandingkan lagi nama-nama asing yang memang
asing bagi kita dan siapa saja yang membacanya, seperti Citayem Green Hill
Jambu Tree, Green Hills Residence, Bali, dan Mediteranian Palace. Apakah
tidak “menjual’ jika nama-nama itu menggunakan bahasa Indonesia. Jadi,
penamaan itu kembali kepada sikap kita—pengembang, pengelola—terhadap
jati diri sebagai bangsa yang besar dan memiliki bahasa kebangsaan yang harus
kita junjung atau utamakan (Ruskhan, 2008). Maka dari itu, disini kami akan
menganalisis bagaimana implementasi dari UU RI No.24 Tahun 2009 Pasal 36
ini di lapangan dan memberikan evaluasi secara optimal.

II. Pembahasan
a. Penggunaan Tata Bahasa Indonesia dalam nama badan usaha
1. APOTIK ASTU
Gambar 1. Kesalahan penggunaan kata Apotik dan Jl.
Terdapat dua kesalahan yang terdapat pada gambar diatas. Kesalahan
pertama, yaitu pada penulisan kata Apotik. Kata apotek sesuai dengan
konteks dalam gambar diatas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah toko tempat meramu dan menjual obat berdasarkan resep dokter
serta memperdagangkan barang medis; rumah obat. Maka dari itu
sebaiknya sesuai dengan penulisan dalam bahasa indonesia, kata apotik
dapat diperbaiki dengan kata apotek. Dengan demikian, nama papan nama
usaha tersebut adalah “APOTEK ASTU”.
Kesalahan kedua, yaitu pada penulisan Jl. Berdasarkan PUEBI penulisan
singkatan yang benar yaitu Jln. Untuk menjaga keamanan makna lain,
maka Jl. Lebih aman tidak perlu di singkat. Dengan demikian, nama jalan
tersebut adalah “Jln. RONGGOWARSITO 5, PEDAN”

2. PRAKTIK DOKTER GIGI

Gambar 2. Kesalahan Penggunaan Kata Praktek


Pada gambar 2, kata praktek merupakan salah satu dari kata bahasa
inggris, yaitu berasal dari kata practice. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, disebutkan bahwa praktik adalah kata baku dari kata praktek.
Menurut kamus tersebut, praktik diartikan sebagai pelaksanaan secara
nyata dari apa yang disebutkan dalam teori. Seharusnya kata-kata asing
yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia ditulis sesuai dengan ejaan
bahasa Indonesia karena berdasarkan kaidah ejaan, penulisan dan
pengucapan unsur- unsur asing disesuaikan dengan kaidah bahasa
Indonesia. Jadi, penulisan dalam nama papan usaha tersebut dengan
mengubah “e” menjadi “i” atau lebih jelasnya “PRAKTIK DOKTER
GIGI”.

3. Komplek Fortune Spring

Pada gambar 3. Fortune Spring adalah nama komplek perumahan yang


terletak di Graha Raya. Kesalahan nama ini adalah menggunakan bahasa
asing "Fortune" artinya keberuntungan dan "Spring" artinya musim semi.
Dalam pasal 36 sudah di jelaskan bahwa bahasa Indonesia wajib di
gunakan dalam nama geografi di Indonesia. Penggunaan bahasa asing ini
sulit di bendung lagi karena menganggap lebih menarik dari bahasa
indonesia asli dan ini adalah salah satu bukti pengembangan bahasa asing
untuk permukiman atau komplek.

b. Penggunaan bahasa Indonesia dalam nama gedung, bangunan, kawasan


Penggunaan bahasa Indonesia dalam nama sebuah gedung dan kawasan di
Indonesia ini kenyataanya masih banyak yang menerapkan penggunaan
bahasa asing, padahal bangunan tersebut di dirikan oleh badan usaha milik
orang Indonesia atau tidak memiliki syarat pengeculian sesuai yang
tercantum dalam UU RI No 24 Tahun 2009 (4).
Banyak kita bisa lihat pelanggaran yang terjadi contohnya : Central Park
Mall, Blok M Square, Favoury House BSD, Inti Bakery & Cakes, Anik
Collection, dan lain sebagainya yang banyak terjadi di beberapa daerah,
apalagi dalam kota – kota besar. Dilansir dari sebuah website CNN
Indonesia dalam wawancaranya bersama salah satu narasumber bernama
Yayat. Yayat menilai, tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan
bangunan yang namanya menggunakan kosakata dalam bahasa asing. Dia
mengatakan, masa kini identik dengan globalisasi sehingga wajar jika
masyarakat Indonesia menamakan bangunannya menggunakan kosakata
bahasa internasional atau Bahasa Inggris. Banyak juga yang beralasan
bahwa penggunaan kata-kata asing (terutama Inggris) dinilai dapat
memberikan kesan lebih bagus, lebih berkualitas, lebih bergengsi, lebih
berkelas, dan sebagainya. sebagian juga dari pelaku usaha hanya ikut-ikutan
menggunakan bahasa asing atau terpengaruh orang lain. Kelompok ini
sebenarnya tidak pernah berpikir bahwa bahasa asing yang mereka gunakan
itu dimaksudkan untuk mendapatkan kesan atau citra tertentu, seperti lebih
bermutu, lebih bergengsi, lebih menarik, lebih berkelas, dan sebagainya.
Mereka menggunakan bahasa asing karena melihat pelaku usaha lain yang
sejenis juga menggunakan bahasa asing.
Sangat di sayangkan sekali pemilik badan usaha, gedung, ataupun bangunan
lebih mengutamakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia sendiri.
Padahal sudah jelas Undang – Undang RI No. 24 Tahun 2009 Pasal 36,
Ayat (3) ’Undang-Undang Bahasa’ menggunakan kata wajib, artinya ‘tidak
boleh tidak’ dan apabila dilanggar, harus ada sanksi. Namun, hingga saat ini
sanksi bagi mereka yang melanggar bunyi ayat tersebut tidak jelas. Penegak
hukum sama sekali tidak ambil pusing atas pelanggaran tersebut, mereka
tidak melakukan “penilangan”.
Evaluasi yang harus diberikan dalam kasus ini adalah sebenarnya belum ada
sanksi tegas atau tindak pidana tertentu dalam Undang – Undang tersebut
untuk suatu pelanggaran pengunaan bahasa Indonesia ini. Maka dari itu
pemilik usaha tersebut tidak merasa terbebani dan nilai Undang – Undang
tersebut menjadi lemah di mata pemilik usaha. Maka dari itu pemerintah
seharusnya lebih menegaskan lagi misalnya dengan memberikan peraturan
akan di cabut izin karena telah melanggar UU RI No. 24 Tahun 2009 Pasal
36 tersebut. Lalu sebagai pemilik usaha pun harusnya memiliki kesadaran
lebih tentang penggunaan bahasa Indonesia dalam usahanya. Menurut
Ridwan (2006), untuk pemertahanan suatu bahasa, khususnya bahasa
nasional kita bahasa Indonesia, perlu dikembangkan sikap positif.
Pengembangan sikap positif adalah suatu langkah dan upaya dalam
pembinaan dan pengembangan sikap dan rasa bangga dalam memiliki dan
menggunakan bahasa Indonesia. Jika dihadapkan pada pilihan, misalnya
menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing, akan memiliki sikap
bahasa untuk: (1) lebih mendahulukan dan mengutamakan bahasa
Indonesia; (2) jika telah terdapat padanan dalam bahasa Indonesia lebih
mendahulukan pemakaiannya; dan (3) bahasa Indonesia harus menjadi
”ladang bahasa bersama” yang harus diolah dan disuburkan.
Gambar 3, Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Nama Gedung dan BU
Gambar 4, Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Nama Gedung dan BU

Gambar 5, Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Nama Gedung dan BU


KESIMPULAN

Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara Indonesia, bahasa


Indonesia memiliki fungsi untuk pengembangan ilmu dan teknologi. Fungsi
pengembangan ilmu dapat dikaitkan, antara lain, dengan pemanfaatan bahasa
Indonesia untuk penamaan tempat (toponim), yang ilmunya adalah toponimi.
Oleh karena itu, bahasa Indonesia dapat berfungsi juga untuk pengembangan
toponimi melalui pemberian nama tempat.
Pasal yang dijadikan pokok bahasan dalam karangan ini adalah Pasal 36
yang terdiri atas 3 ayat, yaitu Ayat (1) berbunyi “Bahasa Indonesia wajib
digunakan dalam nama geografi di Indonesia”; Ayat (2) menegaskan bahwa
“Nama geografi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) hanya memiliki satu
nama resmi”; Ayat (3) menyatakan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan
untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman,
perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga
pendidikan, organisasi yang didirikan atau badan hukum Indonesia”; dan Ayat
(4) berisi tentang “Penamaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat
(3) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai
sejarah, budaya, adat-istiadaat, dan/atau keagamaan. Namun ternyata masih
banyak yang tidak menerapkan undang – undang tersebut. Padahal penggunaan
bahasa asing dalam nama geografi merupakan bentuk pelunturan rasa
nasionalisme sehingga jati diri bangsa akan “tergadai”. Seharusnya, bahasa
Indonesia itu menjadi tuan di negerinya sendiri. Maka dari itu sebaiknya
pemerintah bisa lebih menegaskan lagi tentang UU RI tersebut dan masyarakat
juga harus lebih munumbuhkan kesadaranya tentang adanya UU RI yang telah
diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal
Hasibuan, Nikmah Sari. “Analisis Kesalahan Berbahasa Pada Penulisan Media
Luar Ruang Di Wilayah Kota Medan”. Jurnal Bahasa, Sastra dan Budaya.
2(1). (2018).
Sihombing, Rienny, dkk. “Analisis Yuridis Terhadap Undang – Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang
Negara, Serta Lagu Kebangsaan”. 6(2). (2017). 1 – 10.
Arifin, E, Zaenal. “Implementasi Pasal 36 “ Undang – Undang Bahasa”. Jurnal
Pujangga. 1(2). (2017). 1 – 23.
Nisa, Khairun & Karmila, Sri. “Kesalahan Penggunaan Tata Bahasa Media Luar
Ruang di Kota Kisaran”. Jurnal Komunitas Bahasa. 10(1).(2022). 31 – 37.
Mulyani, Sri. “Spelling Errors In Offcial Letters In The Ciracas Area East
Jakarta”. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 2(1). (2018). 57
– 68.

Website
https://bbsulut.kemdikbud.go.id/bahasa-asing-pada-papan-nama-
usaha
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170830123400-20-
238333/nama-bangunan-berbahasa-asing-dinilai-lebih-menjual
http://journal.unas.ac.id/pujangga/article/download/170/90

Anda mungkin juga menyukai