Proposal
Proposal
Oleh
SRI WAHYUNI PRATIWI
NIM :1811123023
Oleh
SRI WAHYUNI PRATIWI
NIM : 1811123023
i
TINJAUAN YURIDIS PERSETUJUAN ISTRI SIRRI DALAM PRAKTEK
DIBUATNYA AKTA NOTARIS
Oleh
SRI WAHYUNI PRATIWI, S.H.
NIM : 1811123023
Menyetujui :
____________________ __________________
Mengetahui :
Ketua
Program Studi Magister Kenotariatan
Program Pascasarjana Universitas Warmadewa
ii
PROPOSAL TESIS INI TELAH DINILAI :
TANGGAL : ______________________________
Ketua, Sekretaris,
_________________________ _______________________
Anggota,
1. ________________________ ( _______________________ )
2. ________________________ ( _______________________ )
3. ________________________ ( ________________________ )
Denpasar, ______________________
Pascasarjana Universitas Warmadewa
Program Magister (S2) Kenotariatan
Ketua,
iii
DAFTAR ISI
iv
2.1.2.2. Larangan, Pencegahan, dan Pembatalan Perkawinan ------ 46.
v
BAB I
PENDAHULUAN
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
diatas secara ideal maupun secara yuridis harus dilakukan dengan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya harus dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaan yang dianut oleh calon pengantin pria
maupun wanita.2
1
Pasal 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974
2
http://apik-web.blogspot.com/2015/06/tujuan-perkawinan-menurut-undang-undang.html
diakses 27/2/2020
3
Pasal 2 Undang-undang nomor 1 tahun 1974
4
Judiasih, 2015, Harta Benda Perkawinan, Bandung: Refika Aditama. Hlm. 5
1
Keabsahan Perkawinan yang diakui dalam tertib Hukum perkawinan baik
lebih lanjut mengenai pencatatan nikah diatur dalam PP nomor 9 tahun 1975
yang menurut agama Islam dilakukan pegawai pencatat yang dimaksud dalam
perkawinan.
yang ada hanya istilah I’lan nikah, dalam artian pengumuman perkawinan yang
nikah siri dari kalangan warga negara Indonesia yang beragama Islam.
5
Isnaeni, 2016, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Refika aditama, hlm. 38
6
Mustika, 2018, Pencatatan Perkawinan dalam Undang-undang Hukum Keluarga di Dunia
Islam,
2
Istilah Sirri berasal dari bahasa arab sirra, israr yang berarti rahasia. 7
Kawin siri atau nikah siri secara eksplisit tidak ada pengertiannya di dalam
memenuhi syarat menurut agama Islam namun tanpa dicatat oleh pegawai
pelanggaran administrasi yang dapat dijatuhi sanksi pidana, baik bagi pelaku
pemenuhan kewajiban suami atas istri. Seperti kewajiban nafkah jika suami lalai.
Disamping itu hak-hak istri sulit mendapatkan pengakuan seperti hak waris atas
antara lain mengenai hubungan hukum diantara suami dan isteri, terbentuknya
harta benda perkawinan, kedudukan dan status anak yang sah, serta hubungan
10
Rafiqi, Op Cit.
3
ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan, yaitu menurut hukum masing-masing
yang berlaku.11
ketuhanan yang maha esa, oleh karena itu negara melindungi kepentingan
dalam Islam diatur sedemikian rupa dan ternyata timbul masalah konflik norma
Hukum agama dan hukum nasional sampai saat ini terdapat konflik
permohonan uji materiil. Pengujian materiil diantaranya Pasal 3 ayat (1) dan (2),
Pasal 4 ayat (1) dan (2), pasal 5 ayat (1), pasal 9, pasal 15, dan pasal 24
mengenai anak luar kawin yang diajukan oleh aisyah mochtar, dan tentang
syarat perceraian.13
11
Judiasih, 2015, Harta Benda Perkawinan, Bandung: Refika Aditama, hlm. 5
12
Rafiqi, Op Cit.
13
Syahuri, 2013, “Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia Pro-Kontra Pembentukannya
Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta : Kencana, hlm. 2
4
Berdasarkan hal tersebut penulis mengambil sebagian persoalan konflik
norma diatas. Hal tersebut setelah diamati merupakan masalah serius, karena
khususnya yang beragama Islam. Penulis mengambil salah satu ranah penting
dalam perkawinan siri. Yaitu masalah harta bersama atau yang populer di
adat sunda disebut guna kaya, campur kaya, kaya rajeung, dalam adat bali
disebut babakan, dalam hukum islam disebut harta syarikah, syarikah abdaan
lebih mengenal secara resmi dan legal formal dalam peraturan perundang-
suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Ini
merupakan perlindungan bagi pihak suami maupun isteri dalam hal salah satunya
14
Judiasih, Op Cit. hlm. 10-15
5
Berkaitan dengan harta bersama, sejak diundangkannya UUPerkawinan,
hal-hal yang telah diatur dalam UUPerkawinan maka yang di KUHPerdata tidak
bersama atas usaha masing-masing suami isteri (tidak mengenal harta bersama
suami dan isteri). Dalam pasal 35 ayat 1, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
harta yang diperoleh demikian oleh suami dan isteri selama pernikahan adalah
yurisprudensi.16
masing pihak. Hal ini juga terdapat pasal 36 ayat (1) iitu sendiri yang
menyatakan bahwa mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak. Persetujuan tersebut harus dilekatkan pada akta
notaris.17
perbuatan hukum klien nya semisal untuk menjual tanah atas nama kliennya
sendiri namun tanpa persetujuan suami/isteri nya. Karena dianggapnya oleh klien
bahwa apa yang dihasilkan dari jerih keringatnya dianggap dapat/berhak menjual
15
Tan Thong Kie, 2011, STUDI NOTARIAT SERBA SERBI PRAKTEK NOTARIS, Jakarta: ICHTIAR
BARU VAN HOEVE, hlm. 82
16
Ibid. hlm. 83
17
Ibid. hlm. 84
6
tanah atas nama dirinya sendiri. Padahal UUPerkawinan mengaturnya untuk
sangat sulit bagi notaris untuk memberikan layanan pembuatan akta atas
tindakan Hukum klien yang demikian. Karena perkawinan siri berada dalam
dilemma hukum. Mereka menikah akan tetapi seolah tidak menikah karena tidak
status pernikahan oleh Notaris atas tindakan hukum terkait hartanya (dalam hal
ini harta bersama) apakah akan dituliskan klausula bahwa yang bersangkutan
tidak pernah menikah. Apakah suatu saat suami/isteri dapat menggugat atau
18
Ibid. hlm. 85
7
1.2 Rumusan Masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana keberadaan hak istri sirri atas harta bersama menurut hukum?
8
1.4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
terutama Notaris
2. Manfaat Praksis
a. Bagi Notaris
perlindungan hukum.
c. Bagi Pemerintah
9
1.5. Orisinalitas
orang lain, karena suatu karya tulis dilindungi oleh undang-undang. Penulis
2007, Judul Skripsi: “Pembagian harta bersama pasangan nikah siri yang bercerai
studi kasus didesa Bluru Kidul, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur”. Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim
dari pasangan nikah siri desa Bluru Kidul, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten
pernikahan dilakukan secara siri (tidak tercatat), maka adanya harta benda
dalam pernikahan diatur menurut hukum islam, yang mengenal adanya harta
bawaan suami atau istri harta benda yang diperoleh selama pernikahan
pihak mana yang bekerja dalam keluarga dan perolehan penghasilan dari kedua
10
belah pihak suami dan istri. Permasalahan mengenai harta benda dalam
resmi dan tercatat tidak akan mengalami banyak kesulitan, karena dalam hal
tetapi dalam pernikahan siri yang tidak tercatat, akan mengalami kesulitan dalam
pembagian harta, karena tidak ada ikatan hukum diantara keduanya. Oleh
karena itu, dalam pernikahan siri dibutuhkan adanya itikad baik dari kedua belah
pihak suami dan istri dalam menyelesaikan berbagai masalah yang ada.
suaminya. Harta benda seorang istri antara lain terdiri dari harta yang dibawanya
pemberian lain. Pemberian dari seorang suami kepada istrinya adalah hak yang
tidak dapat di ambil kembali tanpa seijin istrinya. Sehingga dalam hal istri
bekerja dan memperoleh hasil dari pekerjaannya itu, dapat ia miliki sendiri atau
pernikahan dimana kedua suami dan istri sama-sama bekerja, maka keduanya
memiliki hak terhadap harta benda yang diperoleh tersebut. Oleh karena itu,
maka dalam hal terjadi perceraian harta benda tersebut dianggap sebagai harta
bersama dan baik suami atau istri berhak atas setengah bagian dari harta
tersebut.
11
Semarang, dengan judul “KEDUDUKAN DAN BAGIAN ISTERI ATAS HARTA
2. Bagaimanakah kedudukan dan bagian istri atas harta bersama bagi istri
pernikahan dilakukan secara siri (tidak tercatat), maka adanya harta benda
dalam pernikahan diatur menurut hukum islam, yang mengenal adanya harta
bawaan suami atau istri harta benda yang diperoleh selama pernikahan
pihak mana yang bekerja dalam keluarga dan perolehan penghasilan dari kedua
belah pihak suami dan istri. Permasalahan mengenai harta benda dalam
resmi dan tercatat tidak akan mengalami banyak kesulitan, karena dalam hal
tetapi dalam pernikahan siri yang tidak tercatat, akan mengalami kesulitan dalam
pembagian harta, karena tidak ada ikatan hukum diantara keduanya. Oleh
karena itu, dalam pernikahan siri dibutuhkan adanya itikad baik dari kedua belah
pihak suami dan istri dalam menyelesaikan berbagai masalah yang ada Dalam
kasus yang dibahas pada Bab IV, harta benda dari pernikahan sirri diatur secara
12
Dalam agama islam kedudukan wanita sangat dimuliakan. Sebagai istri
suaminya. Harta benda seorang istri antara lain terdiri dari harta yang dibawanya
harta yang diperolehnya dari hasil bekerja selama pernikahan, serta hadiah,
seorang suami kepada istrinya adalah hak yang tidak dapat diambil kembali
tanpa seijin istrinya. Sehingga dalam hal istri bekerja dan memperoleh hasil dari
kehidupan rumah tangganya. Dalam suatu pernikahan dimana kedua suami dan
istri sama-sama bekerja, maka keduanya memiliki hak terhadap harta benda
yang diperoleh tersebut. Oleh karena itu, maka dalam hal terjadi perceraian
harta benda tersebut dianggap sebagai harta bersama dan baik suami atau istri
Ketiga, Penelitian Skripsi oleh NUR AMANINA FAHAMI BINTI MOHD NAJIB
FAHAMI, NIM: 111309815, tahun 2018, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, Judul skripsi : NIKAH SIRI DAN
13
Hasil penelitian, Hasil penelitian menunjukkan bahwa Alquran dan hadis
dalam ‘urf yang sesuai dengan dalil-dalil Alquran dan hadis. Harta bersama juga
hukum Islam yang mengacu pada metode urf dan maṣlaḥah mursalah, harta
bersama harus dibagi setelah terjadi perceraian, atau meninggalnya salah satu
adat dalam satu daerah tertentu. Menurut Enakmen Keluarga Islam Negeri
Keluarga Islam (Kedah Darul Aman) 2008, harta bersama pasangan nikah siri
dapat dibagi setelah terjadi perceraian atau meninggalnya salah satu dari suami
yaitu: Pertama, pasangan nikah siri yang sudah bercerai harus memohon isbat
akta nikah, maka pasangan tersebut harus memohon akta talak melalui jalur
Mahkamah. Ketiga, setelah ada penetapan talak antara keduanya, baru kedua
rata. Bagi pasangan nikah siri yang bercerai sebab kematian, terdapat
kekosongan hukum, tidak ditemukan aturan tegas tentang prosedur dan cara
pembagian harta bersama pasangan nikah sirri yang bercerai sebab kematian
14
Keempat, Skripsi oleh M. Mashud Ali, 2014, Skripsi yang berjudul
Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
1. Perkawinan siri menurut fikih atau hukum islam adalah sah selama telah
3. Akibat hukum perkawinan siri terhadap kedudukan istri, anak dan harta
15
hukum. Tanpa adanya pengakuan negara dan tanpa adanya akta
istri dan hak-hak lain bila ditinggalkan suami, diceraikan suami atau
berpegang pada bukti yang sah (akta nikah) untuk memproses setiap
akta nikah orang tua, akta kelahiran anak tersebut hanya tercantum
nama ibu yang melahirkan tapi tidak tercantum nama ayah. Anak
16
menuntutnya di pengadilan, hanya mediasi dan musyawarah untuk
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
tetapi lebih dari itu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
wali wanita calon istri dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus
diucapkan oleh wali si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan terima
(Qabul) oleh si calon suami yang dilaksanakan dihadapan dua orang saksi
yang memenuhi syarat. Jika tidak demikian maka perkawinan tidak sah,
19
Djuhaendah Hasan, 1988 Hukum Keluarga Setelah Berlakunya UU No. 1/1974 (Menuju ke
Hukum Keluarga Nasional), Armico, Bandung, , hlm. 25 dikutip melalui Judiasih, Opcit. Hlm. 2-3
18
diriwayatkan Ahmad yang menyatakan “Tidak sah nikah kecuali dengan
menurut arti majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian)
suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara
bahagia.22
20
Hilman Hadikususma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, hlm 11.
21
Moh. Idris Ramulyo, 1996, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, hlm 1.
22
Ibid. hlm. 2
19
wanita sedangkan menurut arti majazi, nikah itu artinya hubungan
seksual.23
kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-
laki-laki dan seorang wanita. Jadi perkawinan itu adalah suatu aqad
(perjanjian) yang suci untuk hidup sebagai suami isteri yang sah,
23
Hosen Ibrahim, 1971, Fiqh Perbandingan dalam masalah Nikah, Talak dan Rujuk , Jakarta:
Ihya Ulumuddin, hlm. 65.
24
Sudarsono, 1991, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 8.
25
Anwar Haryono, 1968, Keluwesan dan Keadilan Hukum Islam , Jakarta : Penerbit Bulan
Bintang, hlm. 219.
20
membentuk keluarga bahagia dan kekal, yang unsur umumnya adalah
dari AlQur’an dan Hadis Rasul. Dalam Al-Qur’an antara lain diatur dalam: 27
26
Mohd. Idris Ramulyo, 2004, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, hlm.45.
27
Ibid.
21
3. Surah Ar-Rum Ayat 21, yang menerangkan bahwa diantara
dapat dilihat dari hadis Rasul, antara lain, Hadis Rasul yang diriwayatkan
“Sayalah yang paling bertakwa kepada Tuhan, namun saya ini shalat,
28
Ibid. hlm. 13
29
Sayuti Thalib, 1986, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, hlm. 79.
22
sebagai alasan untuk menyatakan perkawinan itu merupakan suatu
3. Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat
rahasia masing-masing.
30
Idris Ramulyo, 1996, Hukum Perkawinan Islam, Suatu analisa dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, hlm 2.
23
3. Pergaulan yang mengalami rasa mawaddah (saling mencintai
rukun dan syarat-syarat yang diatur sesuai Al Qur’an dan hadis. Dalam
31
Moh. Rifai’, 1978, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang : CV. Toha Putro, hlm. 456
24
1. Bukan perempuan yang dalam masa iddah
dilaksanakannya perkawinan. Rukun adalah sesuatu yang harus ada pada saat
dilakukannya perbuatan Kalau salah satu rukun ada yang tidak dipenuhi dapat
yaitu calon suami-istri, wali nikah, dua orang saksi, mahar dan ijab kabul.
yang merupakan syarat dan rukun perkawinan Islam yaitu sebagai berikut :
Allah yang diriwayatkan oleh Imam Akhmad, Abu Daud, Ibnu Majah
Rasul Allah itu, bahwa dia telah dinikahkan oleh bapaknya dengan
25
seorang muslim tetapi dia tidak setuju. Oleh Rasul Allah itu
harus jelas laki-lakinya, dan calon pengantin wanita itu jelas pula
wanitanya.
berdasarkan Hadis Rasul Allah yang bersumber dari Siti Aisyah ra.
yaitu :
1. Mukallaf/dewasa
2. Muslim
4. Adil
3. Harus ada wali dari calon pengantin wanita menurut Mazhab Syafi’i
bersumber Hukum Al-Qur’an Surah XXIV ayat 32 dan Hadis Rasul Allah
bersumber dari Siti Aisyah ra. diriwayatkan oleh Imam Akhmad dan
32
H. Sulaiman Rasyid, 1954, Fiqh Islam, Jakarta : Penerbit Attahiriyah, hlm. 383.
26
An-Nasa’i, tetapi menurut pendapat Mazhab Imam Abu Hanifa
(Hanafi), wali itu tidak merupakan syarat akad nikah, kecuali kalau
yang akan menikah itu anak perempuan yang masih dibawah umur
perbuatannya.
4. Laki-laki
5. Adil
33
H. Zahry Hamid, 1978, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan Islam, Jakarta: Penerbit Bina Cipta, hlm. 29
27
hal ditemui kesulitan untuk hadirnya wali nasab atau ada halangan-
halangan dari wali nasab atas suatu perkawinan, maka seorang calon
dalam perkawinan.
1. Ayah
7. Paman kandung
8. Paman seayah
28
11. Sultan/hakim
laki kepada pengantin wanita (Q.IV:4 jo. IV:25 jo. Hadis Umar),
harus dicatat dituliskan dengan katibun bil ‘adil (Khatab atau penulis
orang saksi laki-laki dan tulislah dengan penulis yang adil. 35 Q.IV:21,
perkawinan yang suci, kuat dan kokoh dan mempunyai akibat hukum
35
Departemen Agama RI, 1978, Al-Qur’an dan Terjemahannya , Jakarta: Proyek Penerbit Kitab
Suci Al-Qur’an, hlm. 70.
36
Ibid, hal. 120.
29
6. Harus ada pengucapan (sighat) “Ijab dan Kabul” antara kedua
“Qabul” artinya penerimaan nikah itu oleh calon pengantin pria, maka
c. Antara ijab dan kabul tidak boleh diselingi kata lain atau
38
Departemen Agama Republik Indonesia, Op. Cit., hlm. 39.
30
2.1.2. Pernikahan Menurut Hukum Positif Indonesia
disebutkan bahwa, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
terikat dalam perjanjian itu 2 (dua) orang wanita (lesbian) atau 2 (dua)
perkawinan bila dilakukan oleh banyak wanita dengan banyak pria seperti
orang Baganda yang diam di Uganda, Afrika Timur dimana 5 (lima) orang
seperti juga terdapat di Tibet atau suku Marquessens, dimana sang suami
sendiri yang mencarikan lagi suami kedua bagi isterinya untuk bekerja
39
Mohd. Idris Ramulyo, 2004, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta : Penerbit sinar Grafika, hlm. 44.
31
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian.
adalah :
32
Undang yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dasar Ketuhanan
keluarga.
yang kuat terutama kalau telah terjadi hubungan seksual, bila suami
8. Ikatan formal dan materiil dalam hukum Ikatan hukum dalam arti
33
10 sampai 13 ikatan hukum materiil adalah hakekat kesediaan untuk
yang dimuat dalam daftar pencatatan yang disediakan khusus untuk itu. 41
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu yang terjadi sebelum
40
Sayuti Thalib, Op cit. hlm. 50
41
Sayuti Thalib, 1974, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Penerbit UI Pres, hal. 75.
34
Undang-Undang Nomr 1 Tahun 1974 ini berlaku dan yang dijalankan
2. Pada asasnya perkawinan itu adalah satu istri bagi satu suami dan
berat untuk boleh beristri lebih dari satu dan harus ada izin dari istri
jaminan bahwa suami akan berlaku adil, terhadap istri-istri dan anak-
anak mereka.
(dua puluh satu) tahun atau lebih, atau mendapat dispensasi dari
tahun.
42
Hazairin, 1975,Tinjauan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Jakarta:
Tintamas, hlm. 38.
43
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 6-12.
35
5. Tidak termasuk larangan-larangan perkawinan antara 2 (dua) orang
yang :
ataupun keatas
susuan
dari seorang
7. Seorang yang telah cerai untuk kedua kalinya, maka diantara mereka
36
9. Perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan yang
dan Rujuk.
camat atas nama Bupati Kepala Daerah. Pegawai Pencatat Nikah atau
calon suami, calon istri, dan wali nikah tentang ada atau tidaknya
Perkawinan.
37
perwakilan. Surat pengumuman itu selama 10 (sepuluh) hari sejak
perkawinan.
dan dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 10 PP). Dan bagi mereka
38
yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, maka akad
saksi, dan oleh wali nikah dalam hal perkawinan dilakukan menurut
(Pasal 11 PP).45
suami menjadi kepala rumah tangga dan isteri menjadi ibu rumah
tangga.
sah.
45
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 11.
46
Sayuti Thalib, Op.Cit, hlm. 53.
39
6. Berhak saling waris-mewarisi antara suami isteri dan anak-anak
dan hartanya.
Tahun 1946 ini berlaku juga untuk daerah luar Jawa dan Madura. Pada
40
Pada masa itu, pencatatan perkawinan bukan suatu keharusan
dianut, hal ini bisa kita lihat dalam Peraturan Pelaksana dari Undang-
41
Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32
yaitu :
Pasal 5 :
42
Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun
1954.
Pasal 6 :
Nikah.
terhadap semua pihak. Suami dan istri diberikan bukti otentik berupa
49
Departemen Agama, 1991, Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991, Pasal 5 dan 6,
Dalam Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, hlm. 84.
43
bagi suami istri, anak-anaknya, keluarganya dan pihak lainnya dalam
wilayahnya.50
kawin sirri, atu lebih populer dengan istilah nikah sirri merupakan
Islam, tetapi tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau oleh
adanya publikasi.
Meskipun dari sisi Hukum Islam nikah sirri ini tidak mengakibatkan
pernikahan itu batal atau tidak sah, tetapi dari hukum positif nikah ini
50
Departemen Agama, Pedoman Pembantu Pencatat Nikah, Jakarta, Dirjen Bimas Islam dan
Urusan Haji, 1991, hlm. 2.
44
Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
Nikah Sirri merupakan satu istilah yang dibentuk dari dua kata,
yaitu nikah dan sirri. Kata nikah dalam bahasa Indonesia adalah kata
benda (nomina) yang merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yaitu
bersuami-isteri (dengan resmi). Dan kata sirri adalah salah satu kata
Bahasa Arab yang berasal dari infinitif sirran atau sirriyun. Secara
etimologi kata sirran berarti secara diam-diam atau tertutup, secara batin
atau didalam hati. Sedangkan kata sirriyun berarti secara rahasia, secara
laki dan perempuan) tidak dihadiri oleh para saksi, tidak dipublikasikan
(i’lan), tidak tercatat secara resmi, dan sepasang suami-isteri itu hidup
45
Menurut Idris Ramulyo, S.H., perkawinan dibawah tangan adalah :
Para ahli fikih sepakat bahwa nikah sirri yang demikian itu tidak
sah (batal), karena ada satu syarat sah nikah yang tidak ada yaitu
dan sah menurut syariat. namun apabila kehadiran para saksi telah
adanya para saksi itu berarti telah keluar dari sirri, dan kesaksian itu
pernikahan itu tidak dihadiri oleh para saksi ataupun para saksi hadir
54
Idris Ramulyo, 1990, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dari Segi
Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Ind-Hill-Co, , hlm. 226.
46
banyak terdapat perbedaan. Uraian berikut ini akan mengemukakan
konsep nikah sirri dari realitas sosial pada sebagian umat Islam
Indonesia.
tidak dicatat oleh petugas resmi pemerintah, baik oleh petugas pencatat
nikah (PPN) atau di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tidak dipublikasikan.
secara Islam, terletak pada dua hal ; (1) Tidak tercatat secara resmi oleh
petugas pemerintah, dan (2) tidak adanya publikasi. Konsep nikah sirri
seperti itu pada umumnya dianggap sah. 55 Hal itu dapat dipahami karena
secara fikih Islam semua rukun nikah yang merupakan syarat pada saat
akad atau transaksi nikah sirri pun telah terpenuhi. Rukun nikah yang
Calon suami dan calon Isteri, (2) Wali, yang menikahkan, (3) Para saksi,
fikih Islam, memang tidak dapat mengakibatkan batal atau tidak sahnya
55
Miftah Faridl, 1999, 150 Masalah Nikah dan Keluarga, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 54.
47
seperti dengan mengadakan walimah (resepsi/pesta pernikahan) sangat
secara resmi dari KUA disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda-
2. Salah satu atau kedua calon suami-istri masih menjalani studi atau
tertentu.
4. Dalam hal pernikahan yang kedua kalinya yang tidak disetujui oleh
negeri sipil
5. Adanya tradisi atau paksaaan dari orang tua untuk segera menikah
6. Salah satu atau kedua calon suami-istri tidak mendapat ijin, restu dan
56
Dadi Nurhaedi, 2003, Nikah di Bawah Tangan, Praktik Nikah Sirri Masyarakat Jogja ,
Yogyakart: Saujana, hlm. 20.
48
Pernikahan yang dilakukan secara sirri sudah tentu mempunyai
hukum.
nikah.
7. Status anak secara hukum menjadi anak diluar pernikahan (anak luar
Undang yang berlaku, sehingga anak hanya ikut kepada ibunya dan
57
Ibid, hlm. 21.
49
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Anak tidak dapat
8. Tidak dapat dijadikan dasar untuk mengikat hak oleh pihak wanita
Adapun orang yang menikahkan dalam akad nikah sirri adalah Kyai,
islam, sebagai pengganti wali nikah. Perlu juga diketahui bahwa mereka
Dalam kasus nikah sirri sering terjadi orang yang menikahkan malah
menjadi wali nikah tidak mengetahui atau tidak diberitahu, atau karena
orang lain. tapi ada juga yang menikahkan itu adalah wali nikahnya
sendiri, baik ayahnya ataupun yang lain. Ketiga, nikah sirri dalam
tercatat oleh PPN dan KUA tetapi belum diadakan resepsi secara terbuka
sirri dari pendapat kedua, yaitu nikah sirri yang dipahami sebagai nikah
50
putusnya perkawinan karena perceraian dan akibatnya terhadap harta
bersama.
51
2.1.3. Akta Notaris
Dalam pasal 1867 KUHPerdata disebutkan ada istilah Akta Otentik, dan
a. Akta itu harus dibuat oleh ( door) atau di hadapan (ten overstaan)
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
c. Pegawai Umum (Pejabat Umum) oleh – atau di hadapan siapa akta itu
ditunjuk untuk membuat akta otentik baik atas permintaan atau atas perintah;
akan tetapi juga beberapa pejabat negeri yang berhak membuatnya mengenai
Satu syarat lagi yang harus ditambahkan yaitu akta otentik mempunyai
58
N.E. Algra, H.R.W. Gokkel – dkk, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda-
Indonesia, Jakarta: Binacipta, hlm. 37. Dikutip dari Dr. Habib Adjie, S.H., 2017, Kebatalan Dan
Pembatalan Akta Notaris, Bandung: Refika Aditama, hlm. 7
59
Pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285 – 305 Rbg, S. 1867 nomor 29, Pasal 1867 – 1894 BW.
Menurut Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan putusan tanggal 10 April 1957,
nomor 213 K/Sip/1955, bahwa penglihatan hakim dalam perseidangan atas alat bukti tersebut,
adalah merupakan pengetahuan hakim sendiri yang merupakan usaha pembuktian. M. Ali
Boediarto, ibid, hlm. 157.
52
a. Tulisan;
b. Saksi-saksi;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan;
e. Sumpah
pula ditentukan bahwa siapapun terikat dengan akta tersebut, sepanjang tidak
tidak saja dapat dibuat oleh Notaris, misalnya juga oleh Pejabat Pembuat Akta
Dalam Hukum Acara Perdata, alat bukti yang sah atau yang diakui oleh
a. Bukti tulisan;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan;
e. Sumpah.
53
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik
berupa akta otentik, yang dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh
Tulisan di bawah tangan atau disebut juga akta di bawah tangan dibuat
atau tidak d hadapa Pejabat Umum yang berwenang. 62 Baik akta otentik
Dalam kenyataan ada tulisan yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai
alat bukti, tapi dapat dipergunakan sebagai alat bukti, jika hal seperti ini
Perbedaan yang penting antara kedua jenis akta tersbut, yaitu dalam nilai
Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus
dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis
60
Pasal 1867 BW
61
Pasal 1868 BW.
62
Pasal 1874 BW.
54
Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para
pihak mengakuinya atau tidak penyangkalan dari salah satu pihak 63, jika para
pihak yang menyangkal akta tersebut, dan penilaian penyangkalan atas bukti
Baik alat bukti akta di bawah tangan maupun akta otentik keduanya
pasal 3120 BW, dan secara materiil mengingkari para pihak yang membuatnya
(pasal 1338 BW) sebagai suatu perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak
Bahwa disebut akta notaris, karena akta tersebut sebagai akta otentik
yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris yang memenuhi syarat yang telah
ditentukan dalam UUJN. Akta notaris sudah pasti akta otentik. Tapi akta
otentik bisa juga akta Notaris, akta PPAT, Risalah Lelang Pejabat Lelang dan
63
Sebagai contoh putusan mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 775 K/Sip/1971,
tanggal 6 Oktober 1971, menegaskan bahwa surat (surat jual beli) yang diajukan dalam
persidangan, kemudian disangkal oleh pihak lawan, dan tidak dikuatkan dengan alat bukti lainnya,
maka surat (jual beli tanah) tersebut dinilai sebagai alat bukti yang lemah dan belum sempurna. M.
Ali Boediarto, Op. Cit, hlm. 145 dikutip dari Habib Adji, Op Cit. hlm. 8
64
Pasal 1875 BW.
65
Peradilan Perdata di Indonesia menganut sistem hukum Pembuktian berdasar pada asas
negative wettelijk bewijsleer. Hal ini terlihat dalam pasal 249 jo 298 HIR dan tidak memakai sistem
vrij bewijsleer yang menitikberatkan pada keyakinan hakim belaka. Hal ini dilarang oleh undang-
undang (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 583 K/Sip/1970, tanggal 10 Pebruari
1971), M. Ali Boediarto, Op Cit. hlm. 136.
55
Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan
undang.
4. Berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, hal ini sesuai
5. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini Notaris harus menjamin
akta.
akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN 66, hal
ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik,
yaitu:67
66
Pasal 1 angka 7 UUJN
67
Adjie, Op Cit. hlm. 9
56
Dikemukakan pula oleh Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) Unsur esenselia
3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang
sebagai berikut:
1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan)
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
3. Pejabat Umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus
68
ibid
57
2.2. Landasan Teori
pertama dan kedua. Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa pembahasan
keadilan, sesuai yang dirumuskan dalam Sila kelima, yaitu : “Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Demikian pula yang diungkapkan oleh Bismar
69
Radisman F.S Sumbayak, 1985, Beberapa Pemikiran Kearah Pemantapan Penegakan Hukum,
(Jakarta:IND-HILL.Co. Cetakan Pertama), hal 25.
70
Dardji Darmodiharjo dan Sidarta, 1996, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kedua, Jakarta, hal.154
58
Keadilan bagi Aristoteles adalah kebajikan yang berkaitan dengan
proportion to their inequally”. Prinsip ini beranjak dari asumsi “untuk hal-hal
yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan
prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan
Kata keadilan menurut Aristoteles mengandung lebih dari satu arti. Adil
dapat diartikan menurut hukum dan apa yang sebanding, yaitu yang
tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya.
71
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal.36.
72
Abdul Ghofur Anshori,1996, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
hal.47-48.
59
Menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan
orang apa yang berhak diterimanya.74. Anggapan itu didasarkan kepada etika
disini dibedakan dalam arti distributif dan komulatif. Keadilan distributif adalah
Dalam era modern, pembagian keadilan dikemukakan antara lain oleh John
atau denda dibebankan kepada orang yang bersalah haruslah bersifat adil; 3)
kewajiban moral untuk memberikan konpensasi atau ganti rugi kepada pihak
73
Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, op.cit, hal.154
74
E.Utrecht, 1960, Pengantar dalam hukum Indonesia, Jakarta: PT. Penerbitan dan Balai Buku
Ichtiar, hal.24.
75
Surojo Wignyodipuro,1983, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: PT. Gunung Agung), hal.20.
76
Agus Yudha Hernomo, op.cit. hal.38.
60
Keadilan distributive dalam peraturan perundang-undangan artinya
orang banyak, berarti dia telah melakukan kewajibannya, oleh karena itu dia
distributive, yaitu prinsip formal dan prinsip material. 78 Prinsip formal, yaitu
untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga
keadilan yang memang berasal dari dasar Negara Indonesia, yaitu Pancasila.
antara hak dan kewajiban yang hidup dalam masyarakat, oleh karena itu
untuk menciptakan keadilan, maka hak dan kewajiban ini harus diberikan
secara seimbang. Akan menjadi adil bila seseorang yang telah memenuhi
77
A.L.J.van Apeldoorn, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino, Pradnya
Paramita, Jakarta, hal 11.
78
Agus Yudha Hernoko, 0p, cit, hal.39.
61
terpenuhinya itu. Apabila salah satu dari hak dan kewajiban itu diberikan
dalam porsi yang lebih atau kurang, maka keadilan tidak akan ada, jadi hak
akan diuraikan dalam bab IV, sedangkan permasalahan kedua akan diuraikan
tugas yang amat suci, karena memberikan jaminan kepada setiap orang akan
apa yang berhak diterimanya. Untuk menjamin hal itu maka diperlukan
kepastian hukum. Kepastian hukum secara historis muncul sejak ada gagasan
sekelompok pihak lain selain Negara. Kepastian hukum merupakan nilai yang
79
A.L.J.van Apeldoorn,2009, op.cit.hal.391-394.
62
pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga Negara
terlihat jelas letak relasi antara persoalan kepastian hukum dengan Negara. 80
80
Ibid, hal.94-95.
81
Theo Huijbers (b),2007, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah , Kanisius, cetakan keempat
belas, Yogyakarta, hal.163.
63
putusan yang satu dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa
yang telah diputus.82
Kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo, merupakan salah satu
syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Dalam hal ini Sudikno
tertentu”.83
83
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty,Yogyakarta,Hal
145.
84
Ida Bagus Putu Kumara Adi Adnyana,2010, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan, Desertasi Prgram Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu
Hukum, Universitas Brawijaya,Malang, hal 95.
64
timbulnya perbuatan sewenang-wenang ( eigenrechting) dari pihak
manapun, juga tindakan dari pihak pemerintahan.85
Kepastian hukum tersebut dibedakan dalam dua macam, yaitu 1) Kepastian oleh
karena hukum, yaitu hukum menjamin kepastian antara pihak yang satu
kepada semua orang tanpa pandang bulu, dan 2) kepastian dalam atau dari
manfaat bagi sebagian orang, maka diharapkan keadilan akan timbul. Dengan
Keadilan antara hak dan kewajiban, yaitu hak yang akan diterima seimbang
85
Bachan Mustafa, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia , Citra Aditya
Bhakti,Bandung, hal.53.
86
Utrecht,op.cit. hal. 25.
65
dipergunakan adalah kepastian hukum menurut Peter Mahmud Marzuki,
yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan
Istilah teori perlindungan hukum berasal dari bahasa Inggris, yaitu legal
protection theory, sedangkan dalam bahasa belanda, disebut dengan theorie
van de wettelijke bescherming, dan dalam bahasa jerman disebut dengan
theorie der rechtliche schutz.
Secara gramatikal, perlindungan adalah:
1. Tempat berlindung; atau
2. Hal (perbuatan) memperlindungi.
Memperlindungi adalah menyebabkan atau menyebabkan berlindung. Arti
berlindung meliputi : (1) menempatkan dirinya supaya tidak terlihat, (2)
bersembunyi, atau (3) minta pertolongan. Sementara itu, pengertian
melindungi meliputi: (1) menutupi supaya tidak terlihat atau tampak, (2)
menjaga, merawat atau memilihara, (3) menyelamatkan atau memberikan
pertolongan.87
Pengertian perlindungan dapat dikaji dari rumusan yang tercantum dalam
perundang-undangan berikut ini. Dalam pasal 1 angka 5 Undang-undang
nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
telah disajikan rumusan tentang perlindungan. Perlindungan adalah:
“segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada
korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,
87
Salim HS, 2016, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, hlm. 259
66
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara
maupun berdasarkan penetapan pengadilan”.
88
Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.
89
Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.
67
Asasi Manusia yang Berat yang disajikan rumusan perlindungan. Perlindungan
adalah:
“Suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak
hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik
maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan,
terror, dan kekerasan dari pihak mana pun, yang diberikan pada tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di siding
pengadilan”.
Dalam rumusan ini, perlindungan dikonstruksikan sebagai:
1. Bentuk pelayanan; dan
2. Subjek yang dilindungi.
Yang memberikan pelayanan, yaitu:
1. Aparat penegak hukum; atau
2. Aparat keamanan.
Wujud pelayanannya, yaitu memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental
kepada korban dan saksi. Korban adalah:
“orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan
sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan,
terror, dan kekerasan dari pihak mana pun”. 90
90
Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
91
Satjipto Raharjo, 2002, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 54
68
Definisi perlindungan dalam definisi diatas, kurang lengkap karena
bentuk perlindungan dan subjek yang dilindungi berbeda antara satu dengan
lainnya. Menurut hemat penulis, perlindungan adalah adalah”
“Upaya atau bentuk pelayanan yang diberikan oleh hukum kepada subjek
hukum serta hal-hal yang menjadi objek yang dilindungi”
“teori yang mengkaji dan menganalisis tentang wujud atau bentuk atau
tujuan perlindungan, subjek hukum yang dilindungi serta objek
perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada subjeknya”.
92
69
Subjek perlindungan dalam Undang-undang Perlindungan Anak adalah
anak. Objek perlindungannya adalah hak-hak anak.
Secara teoretis bentuk perlindungan hukum dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:
70
Ada enam kepentingan masyarakat ( social interest) yang dilindungi oleh
hukum.
71
Ada tiga macam kepentingan individual ( privat interest), yang perlu mendapat
perlindungan hukum. Ketiga macam perlindungan itu, disajikan berikut ini.
72
Hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia berbeda dengan
norma-norma yang lain. Karena hukum itu berisi perintah dan/atau larangan,
sert membagi hak dan kewajiban.
Sudikno Mertokusumo mengemukakan tidak hanya tentang tujuan
hukum, tetapi juga tentang fungsi hukum dan perlindungan hukum. Ia
berpendapat bahwa:
“dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum
mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai.
Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat
yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan
tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan
manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas
membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat,
membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum
serta memelihara kepastian hukum.”93
Ada tiga hal yang dapat dianalisis dari pandangan Sudikno Mertokusumo.
Ketiga hal itu, meliputi:
1. Fungsi hukum;
2. Tujuan hukum; dan
3. Tugas.
Fungsi hukum adalah melindungi kepentingan manusia. Tujuan pokok hukum
adalah menciptakan tatanan masyarakat yang;
1. Tertib;
2. Ketertiban; dan
3. Keseimbangan.
Masyarakat yang tertib merupakan masyarakat yang teratur, sopan, dan
menaati berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat. Ketertiban suatu keadaan dimana
masyarakatnya hidup seba teratur baik. Keseimbangan adalah suatu keadaan
masyarakat, di mana masyarakatnya hidup dalam keadaan seimbang dan
93
Sudikno Mertokusumo, 2012, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
73
sebanding artinya tidak ada masyarakat yang dibedakan antara satu dengan
yang lainnya (sama rasa).
Tugas hukum yang utama adalah:
1. Membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat;
2. Membagi wewenang;
3. Mengatur cara memecahkan masalah hukum; dan
4. Memelihara kepastian hukum.
Setiap subjek hukum, baik orang maupun badan hukum pada umunya
dapat mempunyai hak dan kewajiban. Dikatakan pada umumnya oleh karena
beberapa hak tertentu yang timbul dari hukum tentang orang dan hukum
keluarga yang melekat pada manusia hanya dapat dimiliki oleh badan hukum.
Di samping itu, tidak kepada setiap orang diberikan kewenangan hukum
penuh. Ini merupakan pengecualian insidentil seperti, hak untuk memilih
dalam pemilihan umum (pasal 27 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan wakil Presiden), untuk kawin (Pasal 7 UU No. 1 Tahun
1974), untuk bekerja (pasal 1 UU No. 1 Tahun 1951 jo. UU No. 12 Tahun
1948). Untuk itu semuanya oleh undang-undang ditentukan persyaratan
antara lain batas umur tertentu. Tetapi, pada umumnya setiap manusia
mempunyai kewenangan hukum.
Mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban tidak selalu berarti
mampu atau cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya itu. Sekalipun
setiap orang pada umumnya mempunyai kewenangan hukum, ada golongan
orang yang dianggap tidak cakap melaksanakan beberapa hak atau
kewajiban.
Jadi, subjek hukum orang yang pada dasarnya mempunyai kewenangan
hukum itu ada yang dianggap cakap bertindak sendiri, ada yang dianggap
74
tidak cakap bertindak sendiri. Ini merupakan anggapan hukum yang tidak
memungkinkan adanya bukti lawan. Golongan orang yang tidak cakap
bertindak disebut juga personae miserabile.
Mereka yang tidak cakap ini dibagi menjadi tiga golongan yaitu mereka
yang belum cukup umur, mereka yang diletakkan di bawah pengampuan atau
pengawasan, dan istri yang tunduk pada BW.
Apabila ketentuan undang-undang menggunakan istilah “belum cukup
umur” yang dimaksud ialah semua orang yang belum mencapai 21 tahun dan
belum kawin. Mereka ini dianggap tidak cakap melaksanakan sendiri hak dan
kewajibnnya.
Ketentuan mengenai batas umur kedewasaan ini beraneka ragam. Batas
umur menurut undang-undang Kerja adalah 18 tahun (Pasal 1 UU No. 1
Tahun 1951 jo. UU No. 12 Tahun 1948), sedangkan untuk memilih, orang
harus berumur 17 tahun (Pasal 9 UU No. 4 Tahun 1975 jo. UU No. 15 Tahun
1969). Untuk jadi saksi di pengadilan, orang harus berumur 15 tahun (Pasal
145 ayat 1 No. 3, 145 ayat 4 HIR, 172 ayat (1) No. 4 jo. 173 Rbg, 1912 BW).
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sebagaimana dirubah oleh
Undang-undang no. 16 Tahun 2019 untuk kawin, batas umurnya bagi laki-laki
dan wanita 19 tahun.
Perlu ditambahkan bahwa menurut pasal 47 ayat 1 UUPerkawinan, anak
yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaanya. Ayat 2 pasal tersebut menentukan bahwa orang tua
mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di
luar pengadilan. Pada umumnya, terutama dalam yurisprudensi, batas umur
kedewasaan untuk melakukan perbuatan hukum adalah 21 tahun.
Pada umumnya mereka yang diletakkan di bawah pengampuan dianggap
tidak cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya (pasal 446, 452 BW),
khususnya mereka yang diletakkan di bawah pengampuan karena sakit
ingatan. Sedangkan bagi pemboros dan pemabuk yang diletakkan di bawah
pengampuan, ketidakcakapan bertindak itu hanya terbatas pada perbuatan-
perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja.
75
Selanjutnya seorang istri khususnya yang tunduk pada BW dianggap tidak
cakap untuk bertindak melaksanakan hak dan kewajibannya (pasal 110 BW).
Dalam praktik dewasa ini, istri yang tunduk pada BW dianggap cakap.
Mereka yang diaanggap tidak cakap tersebut di atas dianggap tidak cakap
menjalankan sendiri hak dan kewajibannya, meskipun dimiliki atau
disandangnya. Selama dalam keadaan tidak cakap itu mereka diwakili oleh
wakil yang ditentukan oleh undang-undang atau ditunjuk oleh hakim, yang
selanjutnya akan mengurus kepentingan yang diwakilinya.
Kecakapan bertindak merupakan syarat terjadinya perikatan. Ini berarti
bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh mereka dapat dibatalkan.
Sebaliknya ketidakcakapan seseorang tidak memengaruhi timbul/tidaknya
akibat hukum dalam perbuatan melawan hukum.
Suatu perbuatan hukum seperti perjanjian jual beli yang dilakukan oleh
seseorang yang belum cukup umur tanpa persetujuan walinya pada umumnya
dapat dibatalkan. Pada dasarnya perbuatan hukum itu tidak sah, tetapi tetap
berlaku. Tetapi perbuatan hukum itu dapat dibatalkan oleh hakim atas
tuntutan wakil atau walinya.94
oleh hukum.95 Kesadaran hukum pada titik tertentu diharapkan mampu untuk
apa yang dilarang, dan atau apa yang diperintahkan oleh hukum. Oleh karena
94
Mertokusumo, Op Cit. hlm. 94-97
95
Suharso, Retnoningsih Anna.2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux, Widia Karya
Semarang, 2005.
76
Akibat dari rendahnya kesadaran hukum masyarakat adalah masyarakat
yang tidak patuh terhadap hukum yang berlaku. Akibat yang ditimbulkan oleh
rendahnya kesadaran hukum tersebut bisa menjadi lebih parah lagi apabila
Bagi Ewick dan Silbey, “ kesadaran hukum” terbentuk dalam tindakan dan
kata lain, kesadaran hukum adalah persoalan “ hukum sebagai perilaku”, dan
96
Ali Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence)
Termasuk Interprestasi Undang-undang (legisprudence, Kencana, 2009, hal 510.)
97
Ibid, hal 511.
77
kebutuhan tersebut, oleh karena fungsinya demikian masyarakat perlu akan
norma.
98
Rahardjo Satjipto, 1991,Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, Edisi Revisi, hal.112.
78
3. Studi tentang kesadaran hukum memerlukan observasi, tidak sekedar
permasalahan sosial dan peranan hukum dalam memperbaiki kehidupan
mereka, tetapi juga apa yang mereka lakukan.99
hukum yang baik adalah ketaatan hukum, dan ketidak sadaran hukum yang
hukum dan ketaatan hukum maka beberapa literatur yang di ungkap oleh
99
Ali Achmad, 2009, Op.cit, hal. 342.
100
Ibid , hal 510
79
yang akan menghakimi. Tidaklah berlebihan bila ketaatan didalam hukum
cenderung dipaksakan.
Ketaatan sendiri dapat dibedakan dalam tiga jenis, mengutip H.C Kelman
(1966) dan L. Pospisil (1971) dalam buku Prof DR. Achmad Ali, SH Menguak
Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence)
Termasuk Interprestasi Undang-undang (legisprudence):
1. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang menaati suatu
aturan, hanya karena takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini,
karena membutuhkan pengawasan yang terus-menerus.
2. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati
suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain
menjadi rusak.
3. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang nenaati
suatu aturan, benar-benar karena merasa bahwa aturan itu sesuai
dengan nilai-nilai intristik yang dianutnya.101
hukum atau menaati hukum, ini adalah terjadi karena keragaman kultur dalam
relegius atau alami dank arena itu, tak disangkal membangkitkan keadilan. 102
keadaan tertentu.
101
Ibid, hal 352.
102
Ibid.
80
diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata. Sementara kesadaran hukum
81
2.3. Kerangka Pikir
1. Kedudukan istri siri dimata hukum Islam, Perdata, dan perkawinan dalam
masalah jual beli harta bersama (gono gini)
2. Praktik Pembuatan Akta notaris terhadap Juali Beli harta bersama dalam
pernikahan Siri
3. Solusi Alternatif dalam perjanjian jual beli harta bersama dalam pernikahan siri
4. Saran untuk memecahkan kontra norma antara hukum islam dan hukum
positif.
82
BAB III
METODE PENELITIAN
hukum empiris adalah, ada indikasi apa yang diharapkan dalam regulasi
akta notaris yang diatur dalam norma dan Peraturan, ternyata di lapangan
tidak terlaksana dengan baik. Kesenjangan atau distorsi antara Das Sollen
- Perundang-undangan
Perkawinan (UUPerkawinan).
Perkawinan
83
6. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
Perkawinan
- Sosiologi :
tidak dianjurkan.
solusi permasalahannya.
84
- Sejarah
seringkali dipersoalkan.
85
undang-undang itu tidak memerhatikan hukum agama, bahkan kalau
Islam yang selama ini ditaati oleh umat Islam dalam melangsungkan
- Data Primer, yaitu data utama yang didapatkan sendiri oleh penulis.
secara lisan untuk dijawab secara lisan pula. Wawancara ini dilakukan
86
2. Studi pustaka, dengan mengkaji dan menafsirkan berbagai peraturan
- Analisa Kualitatif
- Deskreptif Sistematis
87
DAFTAR PUSTAKA
Hosen Ibrahim, 1971, Fiqh Perbandingan dalam masalah Nikah, Talak dan
Rujuk, Jakarta: Ihya Ulumuddin
http://apik-web.blogspot.com/2015/06/tujuan-perkawinan-menurut-
undang-undang.html
88
Miftah Faridl, 1999, 150 Masalah Nikah dan Keluarga, Jakarta: Gema
Insani Press
Moh. Idris Ramulyo, 1996, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam , Jakarta:
Penerbit Bumi Aksara
Moh. Rifai’, 1978, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang : CV. Toha Putro
89
Sudikno Mertokusumo, 2012, “MENGENAL HUKUM SUATU PENGANTAR”,
Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka
90