Anda di halaman 1dari 96

TINJAUAN YURIDIS PERSETUJUAN ISTRI SIRRI DALAM

PRAKTIK DIBUATNYA AKTA NOTARIS

PROPOSAL PENELITIAN TESIS

Oleh
SRI WAHYUNI PRATIWI
NIM :1811123023

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER KENOTARIAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WARMADEWA
DENPASAR
2020
TINJAUAN YURIDIS PERSETUJUAN ISTRI SIRRI DALAM
PRAKTIK DIBUATNYA AKTA NOTARIS

PROPOSAL PENELITIAN TESIS

Oleh
SRI WAHYUNI PRATIWI
NIM : 1811123023

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER KENOTARIAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WARMADEWA
DENPASAR
2020

i
TINJAUAN YURIDIS PERSETUJUAN ISTRI SIRRI DALAM PRAKTEK
DIBUATNYA AKTA NOTARIS

Oleh
SRI WAHYUNI PRATIWI, S.H.
NIM : 1811123023

Menyetujui :

Pembimbing Utama Pembimbing Kedua

____________________ __________________

Mengetahui :
Ketua
Program Studi Magister Kenotariatan
Program Pascasarjana Universitas Warmadewa

Dr. I Nyoman Sudjana, SH,MHum.


NIDN. 0802016301

ii
PROPOSAL TESIS INI TELAH DINILAI :
TANGGAL : ______________________________

Ketua, Sekretaris,

_________________________ _______________________

Anggota,

1. ________________________ ( _______________________ )

2. ________________________ ( _______________________ )

3. ________________________ ( ________________________ )

Denpasar, ______________________
Pascasarjana Universitas Warmadewa
Program Magister (S2) Kenotariatan
Ketua,

Dr. I Nyoman Sudjana, SH,MHum.


NIDN. 0802016301

iii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ---------------------------------------------------- 1.

1.1. Latar Belakang ---------------------------------------------------------------- 1.

1.2. Rumusan Masalah------------------------------------------------------------- 8.

1.3. Tujuan Penelitian ------------------------------------------------------------- 8.

1.4. Manfaat Penelitian ----------------------------------------------------------- 9.

1.5. Orisinalitas --------------------------------------------------------------------- 10.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA --------------------------------------------- 18.

2.1. Landasan Konseptual --------------------------------------------- 18.

2.1.1. Pengertian Pernikahan Menurut Hukum Islam ---------------- 18.

2.1.1.1. Pengertian Pernikahan ----------------------------------------- 18.

2.1.1.2. Tujuan Pernikahan --------------------------------------------- 24.

2.1.1.3. Sahnya Pernikahan --------------------------------------------- 25.

2.1.1.4. Hukum Melakukan Pernikahan -------------------------------- 32.

2.1.1.5. Larangan-larangan Perkawinan ------------------------------- 33.

2.1.2. Pernikahan Menurut Hukum Positif Indonesia ---------------- 36.

2.1.2.1. Pengertian Perkawinan ---------------------------------------- 36.

2.1.2.2. Tujuan Perkawinan --------------------------------------------- 39.

2.1.2.2. Sahnya Perkawinan -------------------------------------------- 40.

iv
2.1.2.2. Larangan, Pencegahan, dan Pembatalan Perkawinan ------ 46.

2.1.2.3. Pencatatan Perkawinan ---------------------------------------- 51.

2.1.2.4. Pengertian Nikah Sirri ------------------------------------------ 65.

2.1.2.5. Pengaturan Harta Bersama dalam Pernikahan -------------- 71.

2.2. Kerangka Pikir ----------------------------------------------------- 84.

BAB III METODE PENELITIAN ------------------------------------------ 85.

3.1. Jenis Penelitian ---------------------------------------------------- 85.

3.2. Pendekatan Data --------------------------------------------------- 85.

3.3. Jenis Data dan Sumber Data ------------------------------------- 88.

3.4. Tehnik Pengumpulan Data ---------------------------------------- 88.

3.5. Lokasi Penelitian --------------------------------------------------- 89.

3.6. Analisis dan Penyajian Data -------------------------------------- 89.

DAFTAR PUSTAKA -------------------------------------------------------- 90.

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. 1 Pengertian

perkawinan dan tujuan perkawinan sebagaimana telah dijelaskan unsur-unsurnya

diatas secara ideal maupun secara yuridis harus dilakukan dengan berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya harus dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaan yang dianut oleh calon pengantin pria

maupun wanita.2

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaan itu. 3 Berdasarkan hal tersebut undang-undang

perkawinan membebaskan berlakunya hukum/ajaran agama bagi pelaku

perkawinan sesuai kepercayaannya. Berdasarkan ketentuan penutup Undang-

undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan bahwa segala yang

menyangkut dalam KUHPerdata yang telah diatur dalam undang-undang

perkawinan tidak berlaku lagi.4

1
Pasal 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974

2
http://apik-web.blogspot.com/2015/06/tujuan-perkawinan-menurut-undang-undang.html
diakses 27/2/2020
3
Pasal 2 Undang-undang nomor 1 tahun 1974

4
Judiasih, 2015, Harta Benda Perkawinan, Bandung: Refika Aditama. Hlm. 5

1
Keabsahan Perkawinan yang diakui dalam tertib Hukum perkawinan baik

itu perkawinan islam maupun perkawinan diluar agama islam mewajibakan

pencatatan perkawinan.5 Adapun pencatatan nikah berdasarkan pasal 2

UUPerkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Keterangan

lebih lanjut mengenai pencatatan nikah diatur dalam PP nomor 9 tahun 1975

tentang pelaksanaan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Berdasarkan bunyi pasal 2 PP no. 9 tahun 1975, pencatatan perkawinan

yang menurut agama Islam dilakukan pegawai pencatat yang dimaksud dalam

Undang-undang nomor 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan

rujuk. Sedangkan pencatatan perkawinan yang menurut agama selain Islam

dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantro ctatan sipil

sebagaimana dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan

perkawinan.

Berdasarkan Hukum Islam, perkawinan tetap akan sah secara agama

sekalipun tanpa pencatatan perkawinan. 6 Islam tidak mengenal pencatatan nikah

yang ada hanya istilah I’lan nikah, dalam artian pengumuman perkawinan yang

masyarakat kenal dengan walimah. Dengan demikian banyak terjadi praktik

nikah siri dari kalangan warga negara Indonesia yang beragama Islam.

5
Isnaeni, 2016, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Refika aditama, hlm. 38

6
Mustika, 2018, Pencatatan Perkawinan dalam Undang-undang Hukum Keluarga di Dunia
Islam,

2
Istilah Sirri berasal dari bahasa arab sirra, israr yang berarti rahasia. 7

Kawin siri atau nikah siri secara eksplisit tidak ada pengertiannya di dalam

Undang-undang.8 Namun pada umumnya kawin siri disebut perkawinan yang

memenuhi syarat menurut agama Islam namun tanpa dicatat oleh pegawai

pencatat yang berwenang menurut Undang-undang.

Perkawinan yang tidak dilakukan pencatatan merupakan suatu

pelanggaran administrasi yang dapat dijatuhi sanksi pidana, baik bagi pelaku

maupun petugas yang melaksanakan pernikahan tersebut. Ketentuan ini

didasarkan pada pasal 3 Undang-undang nomor 22 tahun 1946.9

Kedudukan Istri siri sangat lemah dimata hukum nasional. Kurangnya

pengakuan hukum atas pernikahan siri menyebabkan sulitnya mendapatkan

pemenuhan kewajiban suami atas istri. Seperti kewajiban nafkah jika suami lalai.

Disamping itu hak-hak istri sulit mendapatkan pengakuan seperti hak waris atas

suaminya maupun harta bersama yang diperoleh semasa perkawinan. 10

Perkawinan menimbulkan akibat hukum bagi pihak suami dan isteri,

antara lain mengenai hubungan hukum diantara suami dan isteri, terbentuknya

harta benda perkawinan, kedudukan dan status anak yang sah, serta hubungan

pewarisan. Timbulnya akibat hukum perkawinan tersebut hanya dapat diperoleh

apabila perkawinan dilakukan secara sah, yaitu memenuhi ketentuan pasal 2


7
Rafiqi, 2015, Tinjauan Hukum Perkawinan Siri (Tidak dicatatkan) terhadap Kedudukan istri
dalam Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan, Medan: Penegakan Hukum 2(2), hlm. 169-
177
8
Rahman, 2014, Perkawinan Siri Online ditinjau dari Perspektif Hukum Perkawinan Islam yang
Berlaku di Indonesia, Yogyakarta: Jurnal Penelitian Hukum 1(1). Hlm. 36-51
9
Mustika, Op Cit

10
Rafiqi, Op Cit.

3
ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan, yaitu menurut hukum masing-masing

agama dan kepercyaannya, serta diatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.11

Berdasarkan hal tersebut. Pernikahan berdasarkan sila pertama yakni

ketuhanan yang maha esa, oleh karena itu negara melindungi kepentingan

beragama warga negara dengan menjamin kebebasan menjalankan aturan

agama masing-masing.12 Disisi lain negara juga memiliki kepentingan

administrative, yakni menjaga ketertiban umum melalui kewenangan mengatur

dengan membuat seperangkat aturan-aturan perundang-undangan. Perkawinan

dalam Islam diatur sedemikian rupa dan ternyata timbul masalah konflik norma

terhadap aturan-aturan hukum nasional, yakni dengan mewajibkannya

pencatatan nikah agar diakui dimata Hukum.

Hukum agama dan hukum nasional sampai saat ini terdapat konflik

norma antara hukum Islam terhadap UUPerkawinan. Tercatat banyak sekali

permohonan uji materiil. Pengujian materiil diantaranya Pasal 3 ayat (1) dan (2),

Pasal 4 ayat (1) dan (2), pasal 5 ayat (1), pasal 9, pasal 15, dan pasal 24

UUPerkawinan. Oleh Muhammad Insa tentang poligami yang dianggapnya

mengurangi kebebasan untuk beribadah sesuai agamanya. Selanjutnya

mengenai anak luar kawin yang diajukan oleh aisyah mochtar, dan tentang

syarat perceraian.13

11
Judiasih, 2015, Harta Benda Perkawinan, Bandung: Refika Aditama, hlm. 5

12
Rafiqi, Op Cit.

13
Syahuri, 2013, “Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia Pro-Kontra Pembentukannya
Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta : Kencana, hlm. 2

4
Berdasarkan hal tersebut penulis mengambil sebagian persoalan konflik

norma diatas. Hal tersebut setelah diamati merupakan masalah serius, karena

faktanya Perkawinan siri banyak terdapat dikalangan warga negara Indonesia

khususnya yang beragama Islam. Penulis mengambil salah satu ranah penting

dalam perkawinan siri. Yaitu masalah harta bersama atau yang populer di

kalangan masyarakat dengan sebutan harta gono-gini dalam Hukum Islam.

Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan

menurut UUPerkawinan. Menurut adat jawa disebut harta gono-gini, menurut

adat sunda disebut guna kaya, campur kaya, kaya rajeung, dalam adat bali

disebut babakan, dalam hukum islam disebut harta syarikah, syarikah abdaan

mufawwadhah, atau syarikah abdaan. Dari banyak pengertian diatas Hukum

lebih mengenal secara resmi dan legal formal dalam peraturan perundang-

undangan dipakai istilah harta bersama.14

Berdasarkan pasal 36 ayat (1) UUPerkawinan, mengenai harta bersama,

suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Ini

merupakan perlindungan bagi pihak suami maupun isteri dalam hal salah satunya

jika akan melakukan perbuatan Hukum mengalihkan/melepaskan hak, seperti

menjual dan menjaminkan harta bersama. Tentu saja dalam persetujuan

tersebut memerlukan bukti terjadinya perkawinan pihak yang bersangkutan

(pihak yang menjual/Mengalihkan atau menjaminkan harta bersama) dari

pejabat yang berwenang.

14
Judiasih, Op Cit. hlm. 10-15

5
Berkaitan dengan harta bersama, sejak diundangkannya UUPerkawinan,

hal-hal yang telah diatur dalam UUPerkawinan maka yang di KUHPerdata tidak

berlaku.15 Di dalam UUPerkawinan tidak diatur secara detail mengenai harta

bersama atas usaha masing-masing suami isteri (tidak mengenal harta bersama

dalam penghasilan masing-masing hanya dianggap satu kesatuan usaha antara

suami dan isteri). Dalam pasal 35 ayat 1, kita dapat menarik kesimpulan bahwa

harta yang diperoleh demikian oleh suami dan isteri selama pernikahan adalah

harta bersama. Sehingga persoalan harta bersama ini masih memerlukan

yurisprudensi.16

Berdasarkan kepada pasal 31 ayat 2 UUPerkawinan masing-masing suami

atau isteri berhak melakukan perbuatan hukum. sehingga mengenai harta

bersama suami-isteri secara bersama-sama berhak sehingga mengenai

perbuatan hukum atas harta bersama harus memerlukan persetujuan masing-

masing pihak. Hal ini juga terdapat pasal 36 ayat (1) iitu sendiri yang

menyatakan bahwa mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas

persetujuan kedua belah pihak. Persetujuan tersebut harus dilekatkan pada akta

notaris.17

Berdasarkan masalah tersebut. Seringkali notaris dimintakan atas

perbuatan hukum klien nya semisal untuk menjual tanah atas nama kliennya

sendiri namun tanpa persetujuan suami/isteri nya. Karena dianggapnya oleh klien

bahwa apa yang dihasilkan dari jerih keringatnya dianggap dapat/berhak menjual
15
Tan Thong Kie, 2011, STUDI NOTARIAT SERBA SERBI PRAKTEK NOTARIS, Jakarta: ICHTIAR
BARU VAN HOEVE, hlm. 82
16
Ibid. hlm. 83
17
Ibid. hlm. 84

6
tanah atas nama dirinya sendiri. Padahal UUPerkawinan mengaturnya untuk

membutuhkan persetujuan kedua belah pihak bersama-sama menjualnya. 18

Berdasarkan hal tersebut apabila dikaitkan dengan perkawinan siri. Tentu

sangat sulit bagi notaris untuk memberikan layanan pembuatan akta atas

tindakan Hukum klien yang demikian. Karena perkawinan siri berada dalam

dilemma hukum. Mereka menikah akan tetapi seolah tidak menikah karena tidak

mendapatkan pengakuan dari negara. Sehingga apabila dimintai keterangan

status pernikahan oleh Notaris atas tindakan hukum terkait hartanya (dalam hal

ini harta bersama) apakah akan dituliskan klausula bahwa yang bersangkutan

tidak pernah menikah. Apakah suatu saat suami/isteri dapat menggugat atau

menuntut notaris yang bersangkutan.

18
Ibid. hlm. 85

7
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan persoalan tersebut penulis memaparkan masalah yang dikaji

sebagai berikut:

1. Bagaimana keberadaan hak istri sirri atas harta bersama menurut hukum?

2. Bagaimana kedudukan Istri Siri dalam memberi persetujuan atas

Penjualan/peralihan Harta bersama?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, tujuan dari

penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui kedudukan istri siri dalam persetujuan terhadap

penjualan/peralihan harta bersama dalam praktik notariil

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum dan praktik notaris dalam memberikan

layanan akta untuk solusi persoalan hukum masalah a quo

8
1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian adalah:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian dapat digunakan untuk menambah wawasan bagi

pembaca, akademisi, pelaku pernikahan, dan aparat penegak hukum

terutama Notaris

2. Manfaat Praksis

a. Bagi Notaris

Untuk bahan masukan serta pertimbangan untuk dijadikan solusi

masalah baru dalam bidang notariil. Berdasarkan asas pacta

sunservanda, tidak jarang notaris menemui keadaan baru ketika

menemui kliennya khusus nya dalam pembuatan akta notariil

terhadap kasus pernikahan siri.

b. Bagi Pelaku Nikah Siri

Untuk bahan pertimbangan dan atau solusi terhadap pelaku yang

sejatinya haknya tidak ingin dicederai oleh karena kesalahan

pernikahan yang mana pernikahan tetap sah hanya saja kurangnya

perlindungan hukum.

c. Bagi Pemerintah

Sebagai literatur pembaruan Hukum dalam ranah Perkawinan untuk

membuat aturan yang lebih sesuai kondisi lingkungan masyarakat

multicultural dan beragama.

9
1.5. Orisinalitas

Keaslian tulisan sebagai salah satu persyaratan dalam Penelitian ini

dimaksudkan untun menghindari terjadinya penjiplakan ( plagiatism) karya tulis

orang lain, karena suatu karya tulis dilindungi oleh undang-undang. Penulis

menggunakan penelitian yang berkaitan dengan persoalan harta bersama/harta

gono gini sebagai pembanding adalah sebagai berikut:

Pertama, penelitian skripsi oleh Lilik Fauziah NIM: 07210050, Angkatan

2007, Judul Skripsi: “Pembagian harta bersama pasangan nikah siri yang bercerai

studi kasus didesa Bluru Kidul, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa

Timur”. Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim

Malang. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah pembagian harta bersama pasangan nikah yang

mengalami perceraian di desa Bluru Kidul, Kecamatan Sidoarjo,

Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur?

2. Apakah kendala-kendala yang terjadi dalam pembagian harta bersama

dari pasangan nikah siri desa Bluru Kidul, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten

Sidoarjo, Jawa Timur?

Hasil penelitian menunjukkan, Mengenai pengaturan harta bersama diatur

dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sedangkan dalam hal

pernikahan dilakukan secara siri (tidak tercatat), maka adanya harta benda

dalam pernikahan diatur menurut hukum islam, yang mengenal adanya harta

bawaan suami atau istri harta benda yang diperoleh selama pernikahan

berlangsung. Selain itu, mengenai masalah harta benda, juga dipertimbangkan

pihak mana yang bekerja dalam keluarga dan perolehan penghasilan dari kedua

10
belah pihak suami dan istri. Permasalahan mengenai harta benda dalam

perkawinan umumnya muncul dalam hal terjadi perceraian. Pada pernikahan

resmi dan tercatat tidak akan mengalami banyak kesulitan, karena dalam hal

terjadi perceraian akan diselesaikan dengan putusan Pengadilan Agama. Akan

tetapi dalam pernikahan siri yang tidak tercatat, akan mengalami kesulitan dalam

pembagian harta, karena tidak ada ikatan hukum diantara keduanya. Oleh

karena itu, dalam pernikahan siri dibutuhkan adanya itikad baik dari kedua belah

pihak suami dan istri dalam menyelesaikan berbagai masalah yang ada.

Dalam agama islam kedudukan wanita sangat dimuliakan. Sebagai istri

dalam rumah tangganya, wanita berhak untuk mendapatkan nafkah dari

suaminya. Harta benda seorang istri antara lain terdiri dari harta yang dibawanya

sebelum pernikahan, mahar yang diberikan suaminya pada saat pernikahan,

harta yang diperolehnya dari hasil bekerja selama pernikahan, pemberian-

pemberian lain. Pemberian dari seorang suami kepada istrinya adalah hak yang

tidak dapat di ambil kembali tanpa seijin istrinya. Sehingga dalam hal istri

bekerja dan memperoleh hasil dari pekerjaannya itu, dapat ia miliki sendiri atau

ia pergunakan untuk membantu kehidupan rumah tangganya. Dalam suatu

pernikahan dimana kedua suami dan istri sama-sama bekerja, maka keduanya

memiliki hak terhadap harta benda yang diperoleh tersebut. Oleh karena itu,

maka dalam hal terjadi perceraian harta benda tersebut dianggap sebagai harta

bersama dan baik suami atau istri berhak atas setengah bagian dari harta

tersebut.

Kedua, Penelitian Tesis oleh Yunthia Misliranti, S.H NIM B4B004199,

tahun 2006, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

11
Semarang, dengan judul “KEDUDUKAN DAN BAGIAN ISTERI ATAS HARTA

BERSAMA BAGI ISTERI YANG DICERAI DARI PERNIKAHAN SIRRI”. Masalah

dalam penelitian tersebut adalah:

1. Bagaimanakah pengaturan harta bersama dalam hal terjadi perceraian

dari pernikahan sirri (bawah tangan) ?

2. Bagaimanakah kedudukan dan bagian istri atas harta bersama bagi istri

yang dicerai dari pernikahan sirri ?

Hasil penelitian menunjukan, Mengenai pengaturan harta bersama diatur

dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sedangkan dalam hal

pernikahan dilakukan secara siri (tidak tercatat), maka adanya harta benda

dalam pernikahan diatur menurut hukum islam, yang mengenal adanya harta

bawaan suami atau istri harta benda yang diperoleh selama pernikahan

berlangsung. Selain itu, mengenai masalah harta benda, juga dipertimbangkan

pihak mana yang bekerja dalam keluarga dan perolehan penghasilan dari kedua

belah pihak suami dan istri. Permasalahan mengenai harta benda dalam

perkawinan umumnya muncul dalam hal terjadi perceraian. Pada pernikahan

resmi dan tercatat tidak akan mengalami banyak kesulitan, karena dalam hal

terjadi perceraian akan diselesaikan dengan putusan Pengadilan Agama. Akan

tetapi dalam pernikahan siri yang tidak tercatat, akan mengalami kesulitan dalam

pembagian harta, karena tidak ada ikatan hukum diantara keduanya. Oleh

karena itu, dalam pernikahan siri dibutuhkan adanya itikad baik dari kedua belah

pihak suami dan istri dalam menyelesaikan berbagai masalah yang ada Dalam

kasus yang dibahas pada Bab IV, harta benda dari pernikahan sirri diatur secara

hukum islam dan musyawarah kekeluargaan.

12
Dalam agama islam kedudukan wanita sangat dimuliakan. Sebagai istri

dalam rumah tangganya, wanita berhak untuk mendapatkan nafkah dari

suaminya. Harta benda seorang istri antara lain terdiri dari harta yang dibawanya

sebelum pernikahan, mahar yang diberikan suaminya pada saat pernikahan,

harta yang diperolehnya dari hasil bekerja selama pernikahan, serta hadiah,

warisan, hibah ataupun pemberian-pemberian lain. Hadiah atau pemberian dari

seorang suami kepada istrinya adalah hak yang tidak dapat diambil kembali

tanpa seijin istrinya. Sehingga dalam hal istri bekerja dan memperoleh hasil dari

pekerjaannya itu, dapat ia miliki sendiri atau ia pergunakan untuk membantu

kehidupan rumah tangganya. Dalam suatu pernikahan dimana kedua suami dan

istri sama-sama bekerja, maka keduanya memiliki hak terhadap harta benda

yang diperoleh tersebut. Oleh karena itu, maka dalam hal terjadi perceraian

harta benda tersebut dianggap sebagai harta bersama dan baik suami atau istri

berhak atas setengah bagian dari harta tersebut.

Ketiga, Penelitian Skripsi oleh NUR AMANINA FAHAMI BINTI MOHD NAJIB

FAHAMI, NIM: 111309815, tahun 2018, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, Judul skripsi : NIKAH SIRI DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBAGIAN HARTA BERSAMA MENURUT ENAKMEN

KELUARGA ISLAM NEGERI KEDAH. Masalah dalam Penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan harta bersama setelah perceraian bagi pasangan

nikah siri menurut hukum Islam?

2. Bagaimana pengaturan harta bersama setelah perceraian bagi pasangan

nikah siri menurut Enakmen Keluarga Islam Negeri Kedah?

13
Hasil penelitian, Hasil penelitian menunjukkan bahwa Alquran dan hadis

tidak mengatur secara tegas tentang pembagian harta bersama dalam

pernikahan. Namun, dari sudut penemuan hukumnya, harta bersama masuk

dalam ‘urf yang sesuai dengan dalil-dalil Alquran dan hadis. Harta bersama juga

mengandung kemaslahatan dan kemanfaatan bagi suami dan isteri. Menurut

hukum Islam yang mengacu pada metode urf dan maṣlaḥah mursalah, harta

bersama harus dibagi setelah terjadi perceraian, atau meninggalnya salah satu

dari suami isteri, meskipun

perceraian dari nikah siri. pengaturan pembagiannya khusus mengikuti hukum

adat dalam satu daerah tertentu. Menurut Enakmen Keluarga Islam Negeri

Kedah, khususnya dalam Enakmen 7 Tahun 2008 Enakmen Undang-Undang

Keluarga Islam (Kedah Darul Aman) 2008, harta bersama pasangan nikah siri

dapat dibagi setelah terjadi perceraian atau meninggalnya salah satu dari suami

isteri. Namun, pengaturan pembagian harta tersebut harus melalui prosedur,

yaitu: Pertama, pasangan nikah siri yang sudah bercerai harus memohon isbat

nikah terlebih dahulu. Kedua, setelah permohonan dikabulkan dan mendapatkan

akta nikah, maka pasangan tersebut harus memohon akta talak melalui jalur

Mahkamah. Ketiga, setelah ada penetapan talak antara keduanya, baru kedua

pasangan dapat menyelesaikan harta bersama, dan pembagiannya yaitu sama

rata. Bagi pasangan nikah siri yang bercerai sebab kematian, terdapat

kekosongan hukum, tidak ditemukan aturan tegas tentang prosedur dan cara

pembagian harta bersama pasangan nikah sirri yang bercerai sebab kematian

salah satu dari keduanya.

14
Keempat, Skripsi oleh M. Mashud Ali, 2014, Skripsi yang berjudul

“PRAKTIK PERKAWINAN SIRI DAN AKIBAT HUKUM TERHADAP KEDUDUKAN

ISTRI, ANAK SERTA HARTA KEKAYAANNYA”. Program Studi Perbandingan

Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pandangan fikih terhadap perkawinan siri?

2. Bagaimana pandangan hukum positif terhadap perkawinan siri?

3. Bagaimana akibat hukum perkawinan siri terhadap kedudukan istri, anak

dan harta kekayaan?

Metode yang digunakan adalah kualitatif dan penelitian hukum normatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

1. Perkawinan siri menurut fikih atau hukum islam adalah sah selama telah

memenuhi rukun dan syarat perkawinan dalam islam, meskipun

perkawinan tersebut tidak dicatatkan pada instansi yang berwenang.

2. Perkawinan siri menurut hukum positif yang diatur dalam undang-undang

Nomor 1 tahun 1974 tentan perkawinan, perkawinan siri tidak dikenal,

hanya disebutkan perkwinan adalah sah apabila dilakukan menurut

hukum agama dan kepercayaannya masing-masing serta dicatat menurut

peraturan perundng-undangan yang berlaku.

3. Akibat hukum perkawinan siri terhadap kedudukan istri, anak dan harta

kekayaan, antara lain:

a. Kedudukan istri dalam hukum islam sama dengan perkawinan yang

dicatatkan, akan tetapi negara tidak mengakuinya. Pengakuan ini

penting bagi pasangan suami istri untuk mendapatkan perlindungan

15
hukum. Tanpa adanya pengakuan negara dan tanpa adanya akta

nikah menjadikan psosisi istri sangat lemah dalam hal melakukan

tindakan hukum, yakni berupa tuntutan pemenuhan hak-hak sebagai

istri dan hak-hak lain bila ditinggalkan suami, diceraikan suami atau

suami meninggal. Pengak hukum termasuk pengadilan hanya

berpegang pada bukti yang sah (akta nikah) untuk memproses setiap

tuntutan, gugatan atau perselisihan suami istri tersebut.

b. Kedudukan anak di dalam hukum Islam tetap memperoleh pengakuan

yang sama seperti halnya dalam perkawinan yang dicatatkan.

Sedangkan dalam pandangan hukum positif, dengan tidak adanya

akta nikah orang tua, akta kelahiran anak tersebut hanya tercantum

nama ibu yang melahirkan tapi tidak tercantum nama ayah. Anak

tersebut dianggap sebagai anak luar kawin yang hanya mempunyai

hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya tetapi tidak

bisa melakukan hubungan hukum keperdataan dengan ayah

biologisnya, sehingga hak-haknya tidak didapatkan sebagaimana

anak-anak yang lain.

c. Kedudukan harta di dalam perkawinan siri menurut hukum Islam

diperhitungkan sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Akan tetapi

jika dihadapkan dengan hukkum negara, biasanya istri yang akan

menjadi korban apabila suami dengan itikad tidak baik melakukan

pengingkaran dan mengklaim bahwa harta bersama dalam

perkawinan tersebut milik dirinya sendiri. Istri tidak akan bisa

16
menuntutnya di pengadilan, hanya mediasi dan musyawarah untuk

mufakat di luar pengadilan adalah jalan satu-satunya.

17
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Konseptual

2.1.1. Pengertian Pernikahan Menurut Hukum Islam

2.1.1.1. Pengertian Pernikahan

Pasal 1 UUPerkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami dan isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdsarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan pernyataan tersebut, perkawinan sesungguhnya tidak hanya

bertujuan untuk membentuk keluarga dalam rangka hidup bersama,

tetapi lebih dari itu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan timbulnya kewajiban suami

dan isteri untuk saling membantu dan melengkapi agar masing-masing

dapat mengembangkan kepribadiannya dalam rangka membantu dan

mencapai kesejahteraan spiritual dan material.19

Menurut hukum Islam, perkawinan adalah akad (perikatan) antara

wali wanita calon istri dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus

diucapkan oleh wali si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan terima

(Qabul) oleh si calon suami yang dilaksanakan dihadapan dua orang saksi

yang memenuhi syarat. Jika tidak demikian maka perkawinan tidak sah,

karena bertentangan dengan hadis nabi Muhammad SAW yang

19
Djuhaendah Hasan, 1988 Hukum Keluarga Setelah Berlakunya UU No. 1/1974 (Menuju ke
Hukum Keluarga Nasional), Armico, Bandung, , hlm. 25 dikutip melalui Judiasih, Opcit. Hlm. 2-3

18
diriwayatkan Ahmad yang menyatakan “Tidak sah nikah kecuali dengan

wali dan dua saksi yang adil”.20

Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi

menurut arti majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian)

yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami isteri antara

seorang pria dengan seorang wanita.21

Nikah artinya perkawinan sedangkan akad artinya perjanjian. Jadi

akad nikah berarti perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam

perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk

keluarga bahagia dan kekal. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan ialah

suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara

sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk

keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasihmengasihi, tenteram dan

bahagia.22

Dalam memberikan pengertian mengenai pernikahan, terdapat

beberapa pendapat, yang antara lain yaitu :

1. Menurut Imam Syafi’I, pengertian nikah ialah suatu akad yang

dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan

20
Hilman Hadikususma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, hlm 11.
21
Moh. Idris Ramulyo, 1996, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, hlm 1.
22
Ibid. hlm. 2

19
wanita sedangkan menurut arti majazi, nikah itu artinya hubungan

seksual.23

2. Menurut Sayuti thalib, Perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci,

kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-

laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal,

santunmenyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.

3. Menurut Menurut H. sulaiman Rasyid, Perkawinan adalah akad yang

menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta

bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan

yang keduanya bukan muhrim.24

4. Menurut Anwar Haryono Perkawinan adalah suatu perjanjian yang

suci antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk

membentuk keluarga bahagia.25

Diantara pendapat-pendapat tersebut tidak saling bertentangan,

melainkan pada intinya menunjuk pada suatu kesamaan bahwa

pernikahan merupakan suatu perjanjian. Perjanjian dalam suatu

pernikahan bukan merupakan perjanjian pada umumnya, tetapi

merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang

laki-laki dan seorang wanita. Jadi perkawinan itu adalah suatu aqad

(perjanjian) yang suci untuk hidup sebagai suami isteri yang sah,

23
Hosen Ibrahim, 1971, Fiqh Perbandingan dalam masalah Nikah, Talak dan Rujuk , Jakarta:
Ihya Ulumuddin, hlm. 65.
24
Sudarsono, 1991, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 8.

25
Anwar Haryono, 1968, Keluwesan dan Keadilan Hukum Islam , Jakarta : Penerbit Bulan
Bintang, hlm. 219.

20
membentuk keluarga bahagia dan kekal, yang unsur umumnya adalah

sebagai berikut :26

1. Perjanjian yang suci antara seorang pria dengan seorang wanita

2. Membentuk keluarga bahagia dan sejahtera (makruf, sakinah,

mawaddah dan rahmah).

3. Kebahagiaan yang kekal abadi penuh kesempurnaan baik moral,

materiil maupun spiritual (Q.IV:21, Q.IV:19 jo. Q.XXX:21).

Dasar dari adanya suatu perkawinan dalam Islam yaitu bersumber

dari AlQur’an dan Hadis Rasul. Dalam Al-Qur’an antara lain diatur dalam: 27

1. Surah An-Nisa Ayat 1, yang menerangkan bahwa Manusia harus

bertakwa (berbakti) kepada Allah swt yang menciptakan manusia dari

satu zat (Adam) dan kemudian dijadikan pula pasangannya (Siti

Hawa), dan dari keduanya (Adam dan Hawa) Allah menciptakan

manusia, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.

2. Surah An-Nur Ayat 32, yang menerangkan bahwa Allah swt

memerintahkan kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan

yang belum menikah untuk segera menikah. Bahwa Allah

menjanjikan rejeki bagi manusia yang mau melaksanakan

perkawinan, apabila mereka dalam keadaan kekurangan, selama

mereka mau berusaha.

26
Mohd. Idris Ramulyo, 2004, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, hlm.45.
27
Ibid.

21
3. Surah Ar-Rum Ayat 21, yang menerangkan bahwa diantara

tandatanda kekuasaan-Nya, Allah menciptakan Istri-Istri sebagai

pasangan bagi kaum laki-laki. Hal tersebut agar diantara mereka

tercipta rasa tenteram, sakinah, mawaddah dan rahmah.

4. Surah Al-Hujarat Ayat 13, yang menerangkan bahwa allah

menciptakan umat manusia dari seorang laki-laki dan seorang

perempuan, kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-

suku, agar diantaranya saling mengenal satu sama lain.

5. Surah Adz-Dzariyat Ayat 49, yang menerangkan bahwa Allah

menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan.

Sedangkan kewajiban untuk menikah dalam ajaran agama Islam juga

dapat dilihat dari hadis Rasul, antara lain, Hadis Rasul yang diriwayatkan

oleh AlBukhari dan Muslim. Dari Anas, bahwa Rasulullah bersabda :

“Sayalah yang paling bertakwa kepada Tuhan, namun saya ini shalat,

tidur, puasa, berbuka dan menikah, itulah sunahku barangsiapa yang

tidak mengikuti sunahku, bukanlah umatku”.28

Suatu pernikahan hendaknya dilihat dari tiga segi pandangan, yaitu : 29

1. Perkawinan dilihat dari segi hukum Perkawinan itu merupakan suatu

perjanjian yang oleh QS An nisaa ayat (21) dinyatakan

“….perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat” disebut dengan

kalimat Miitsaqan Ghaliizhan. Hal yang juga dapat dikemukakan

28
Ibid. hlm. 13
29
Sayuti Thalib, 1986, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, hlm. 79.

22
sebagai alasan untuk menyatakan perkawinan itu merupakan suatu

perjanjian ialah karena adanya :

a. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu

yaitu dengan aqad nikah dengan rukun dan syarat tertentu.

b. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga

telah diatur sebelumnya, yaitu dengan prosedur talaq,

kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.

2. Segi sosial dari suatu perkawinan Dalam masyarakat setiap bangsa

ditemui suatu penilaian umum bahwa orang yang sudah berkeluarga

atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai

dari mereka yang tidak kawin.

3. Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat

penting. Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang

suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci dimana kedua

pihak dihubungkan menjadi pasangan hidupnya dengan

mempergunakan nama Allah SWT sebagai yang disebutkan dalam QS

An nisaa ayat (1).

Dari pandangan-pandangan diatas, maka hendaknyalah dalam

suatu pernikahan pergaulan antara suami istri itu adalah :30

1. Pergaulan yang ma’ruf (pergaulan yang baik), yaitu saling menjaga

rahasia masing-masing.

2. Pergaulan yang sakinah (Pergaulan yang aman dan tenteram)

30
Idris Ramulyo, 1996, Hukum Perkawinan Islam, Suatu analisa dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, hlm 2.

23
3. Pergaulan yang mengalami rasa mawaddah (saling mencintai

terutama dimasa muda).

4. Pergaulan yang disertai rahmah (rasa santun-menyantuni terutama

setelah masa tua), sebagaimana disebutkan dalam QS An nisaa ayat

(34), dan QS Ar ruum ayat (21).

b.1.1.2. Sahnya Pernikahan

Menurut hukum islam, suatu pernikahan yang sah adalah pernikahan

yang dilakukan sesuai dengan syariat agama islam, memenuhi ketentuan

rukun dan syarat-syarat yang diatur sesuai Al Qur’an dan hadis. Dalam

mengatur masalah pernikahan, agama Islam menjelaskannya secara

teratur, mulai dari pemilihan pasangan suami/isteri, tata cara

peminangan, perempuan yang boleh dan tidak boleh dipinang, sampai

dengan ijab-kabu sebagai tanda sahnya pernikahan , maupun anjuran

untuk mengadakan walimah (resepsi). Pernikahan memiliki syarat-syarat

untuk dipenuhi. Syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya

perkawinan. Jika syarat-syarat terpenuhi perkawinannya sah dan

menimbulkan adanya segala kewajiban dan hak-hak perkawinan. Syarat-

syarat tersebut adalah.:31

Syarat Pengantin laki-laki :

1. Tidak dipaksa atau terpaksa

2. Tidak dalam ihram haji/umrah

3. Islam (apabila kawin dengan perempuan Islam)

Syarat-syarat Pengantin Perempuan :

31
Moh. Rifai’, 1978, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang : CV. Toha Putro, hlm. 456

24
1. Bukan perempuan yang dalam masa iddah

2. Tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain

3. Antara laki-laki dan perempuan bukan muhrim

4. Tidak dalam keadaan ihram haji dan umrah

5. Bukan perempuan musyrik

Mengenai Rukun perkawinan harus pula dipenuhi pada saat

dilaksanakannya perkawinan. Rukun adalah sesuatu yang harus ada pada saat

dilakukannya perbuatan Kalau salah satu rukun ada yang tidak dipenuhi dapat

menjadikan rusaknya perkawinan (batal). Rukun nikah tersebut ada 5 (lima),

yaitu calon suami-istri, wali nikah, dua orang saksi, mahar dan ijab kabul.

Menurut Hukum Islam, dalam pernikahan terdapat unsur-unsur, baik

yang merupakan syarat dan rukun perkawinan Islam yaitu sebagai berikut :

1. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan,

sedangkan diantara keduanya harus ada persetujuan yang bebas.

Persyaratan ini didasarkan kepada pemikiran yang rasional logis,

bahwa tidaklah dapat dikatakan adanya perkawinan bila hanya ada

seorang laki-laki saja atau seorang perempuan saja. Atau tidaklah

dinamakan perkawinan andaikata kedua-duanya perempuan atau

kedua-duanya laki-laki saja. Sedangkan persetujuan yang bebas

diantara kedua calon pengantin itu didasarkan kapada Hadis Rasul

Allah yang diriwayatkan oleh Imam Akhmad, Abu Daud, Ibnu Majah

dan Al Daruquthny, dimana seorang wanita telah mengadu kepada

Rasul Allah itu, bahwa dia telah dinikahkan oleh bapaknya dengan

25
seorang muslim tetapi dia tidak setuju. Oleh Rasul Allah itu

ditanyakan apakah wanita itu mau meneruskan perkawinannya itu

atau mau dibatalkan?32 Disamping itu calon pengantin laki-laki itu

harus jelas laki-lakinya, dan calon pengantin wanita itu jelas pula

wanitanya.

2. Harus ada 2 (dua) orang saksi yang beragama Islam, laki-laki,aqil

baliq, dan ‘adl (tidak berdosa besar). Secara konkret/tegas mengenai

saksi ini tidak diatur didalam Al-Qur’an, tetapi berdasarkan analogi

(qias) dapat ditafsirkan dari Al-Qur’an II:282 yang mengatur tentang

muamalah dan Al-Qur’an Surah At-Talaq ayat 2 (Q. LXV:2) yang

mengatur tentang kesaksian mengenai talaq. Disamping itu

berdasarkan Hadis Rasul Allah yang bersumber dari Siti Aisyah ra.

Diriwayatkan oleh Imam Akhmad dan An-Nasa’i. Syarat-syarat saksi

yaitu :

1. Mukallaf/dewasa

2. Muslim

3. Saksi harus mengerti dan mendengarkan perkataan-perkataan

yang diucapkan pada waktu akad nikah dilaksanakan.

4. Adil

5. Saksi yang hadir paling sedikit dua orang

3. Harus ada wali dari calon pengantin wanita menurut Mazhab Syafi’i

bersumber Hukum Al-Qur’an Surah XXIV ayat 32 dan Hadis Rasul Allah

bersumber dari Siti Aisyah ra. diriwayatkan oleh Imam Akhmad dan

32
H. Sulaiman Rasyid, 1954, Fiqh Islam, Jakarta : Penerbit Attahiriyah, hlm. 383.

26
An-Nasa’i, tetapi menurut pendapat Mazhab Imam Abu Hanifa

(Hanafi), wali itu tidak merupakan syarat akad nikah, kecuali kalau

yang akan menikah itu anak perempuan yang masih dibawah umur

(belum aqil baliq).33 Di Indonesia yang digunakan adalah pendapat dari

Mazhab Syafi’i, jadi di Indonesia tidak mungkin terjadi pernikahan

tanpa adanya wali. Adapun syarat-syarat menjadi wali yaitu:

1. Orang mukallaf/baligh, karena orang yang mukalla adalah orang

yang dibebani hukum dan dapat mempertanggung jawabkan

perbuatannya.

2. Muslim. Apabila yang menikah itu orang muslim, maka disyaratkan

walinya juga muslim.

3. Berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehat yang dapat

dibebani hukum dan mempertanggung jawabkan perbuatannya.

4. Laki-laki

5. Adil

Macam-macam wali adalah :

1. Wali Nasab, yaitu anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai

perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilineal dengan

calon mempelai perempuan. Jadi yang termasuk wali nasab ialah

ayah, kakek, saudara laki-laki, paman, dan seterusnya.

2. Wali Hakim, ialah penguasa yang berwenang dalam perkawinan.

Biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen Agama. Dalam

33
H. Zahry Hamid, 1978, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan Islam, Jakarta: Penerbit Bina Cipta, hlm. 29

27
hal ditemui kesulitan untuk hadirnya wali nasab atau ada halangan-

halangan dari wali nasab atas suatu perkawinan, maka seorang calon

pengantin perempuan dapat mempergunakan bantuan wali hakim.

3. Wali Hakam, yaitu seseorang yang masih masuk keluarga si

perempuan walaupun bukan merupakan wali nasab, tidak

mempunyai hubungan darah patrilineal dengan perempuan tersebut

tetapi mempunyai pengertian keagamaan yang dapat bertindak

sebagai wali perkawinan.

4. Wali Muhakam, ialah seorang laki-laki bukan keluarga dari

perempuan tadi dan bukan pula dari pihak penguasa, tetapi

mempunyai pengetahuan agama yang baik dan dapat menjadi wali

dalam perkawinan.

Sementara urutan wali yang dianut di Indonesia yaitu :34

1. Ayah

2. Kakek dan seterusnya keatas dari garis laki-laki

3. Saudara laki-laki kandung

4. Saudara laki-laki seayah

5. kemenakan laki-laki kandung

6. kemenakan laki-laki seayah

7. Paman kandung

8. Paman seayah

9. Saudara sepupu laki-laki kandung

10. Saudara sepupu laki-laki seayah


34
Ibid, hlm. 42

28
11. Sultan/hakim

12. Orang yang ditunjuk mempelai yang bersangkutan

4. Kewajiban membayar mahar (mas kawin) dari pihak pengantin laki-

laki kepada pengantin wanita (Q.IV:4 jo. IV:25 jo. Hadis Umar),

mengenai jumlahnya tidak merupakan masalah, sedikit atau banyak

bergantung kepada kemampuan calon pengantin laki-laki yang

bersangkutan, dan persetujuan dari calon pengantin perempuan.

Bilamana tidak ada betul, dapat hanya berupa 2 (dua) pasang

terompah kayu saja.

5. Dari interpretasi analogi (qias) dan tafsiran secara sistematis AlQur’an

Surah II:282 jo. Al-Qur’an IV:21, dapat disimpulkan bahwa

perkawinan itu disamping harus disaksikan oleh dua orang saksi,

harus dicatat dituliskan dengan katibun bil ‘adil (Khatab atau penulis

yang adil diantara kamu). Q.II:282, mengatur bilamana kamu

bermuamalah (perjanjian dagang, jual beli, utang-piutang) dalam

waktu yang tertentu (lama), maka hendaklah kamu hadirkan 2 (dua)

orang saksi laki-laki dan tulislah dengan penulis yang adil. 35 Q.IV:21,

mengatur, perkawinan itu adalah suatu perjanjian yang suci, kuat

dan kokoh (miitsaaqan Ghaliizhan). 36 Transaksi perdagangan berupa

jual beli, utang-piutang saja harus dituliskan, betapa lagi perjanjian

perkawinan yang suci, kuat dan kokoh dan mempunyai akibat hukum

yang luas turun-temurun terhadap anak-anak dan kewarisan.

35
Departemen Agama RI, 1978, Al-Qur’an dan Terjemahannya , Jakarta: Proyek Penerbit Kitab
Suci Al-Qur’an, hlm. 70.
36
Ibid, hal. 120.

29
6. Harus ada pengucapan (sighat) “Ijab dan Kabul” antara kedua

pengantin itu. Ijab artinya penawaran dari calon pengantin wanita

biasanya menurut Mazhab Syafi’i dilakukan oleh walinya, sedangkan

“Qabul” artinya penerimaan nikah itu oleh calon pengantin pria, maka

resmilah antara wanita yang mengucapkan ikrar (lafaz) ijab dengan

pria yang mengucapkan lafaz kabul itu menjadi pasangan suami

isteri. Pelaksanaan penegasan kabul ini harus diucapkan pihak laki-

laki langsung setelah ucapan penegasan ijab pihak perempuan.

Syarat-syarat sighat akad nikah yaitu :37

a. Harus diucapkan secara lisan, kecuali bagi yang tidak bisa

mengucapkan secara lisan boleh dengan tulisan atau

menggunakan tanda-tanda isyarat tertentu.

b. Harus dilakukan dalam suatu majelis.

c. Antara ijab dan kabul tidak boleh diselingi kata lain atau

perbuatan-perbuatab lain yang dapat dipandang mempunyai

maksud mengalihkan akad yang sedang dilangsungkan.

d. Tidak boleh digantungkan pada suatu syarat.

e. Masing-masing pihak harus mendengar atau memahami

perkataan atau isyarat-isyarat yang diucapkan atau dilakukan

oleh masing-masing pihak diwaktu akad nikah.

7. Namun untuk memformulering secara resmi ijab dan qabul itu

diperlakukan suatu lembaga lain yakni walimah dan i’lanun

nikah, artinya diadakan pesta dan pengumuman nikah. 38


37
K.H. Ahmad Basyir, Op.Cit, hlm. 26.

38
Departemen Agama Republik Indonesia, Op. Cit., hlm. 39.

30
2.1.2. Pernikahan Menurut Hukum Positif Indonesia

2.1.2.1. Pengertian Perkawinan

Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974,

disebutkan bahwa, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan

“KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

Demikian perumusan perkawinan menurut Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974. Jadi menurut Undang-Undang ini

perkawinan barulah ada, apabila dilakukan antara seorang pria dengan

seorang wanita, tentulah tidak dinamakan perkawinan andaikata yang

terikat dalam perjanjian itu 2 (dua) orang wanita (lesbian) atau 2 (dua)

orang pria saja (homoseksual). Demikian juga tidaklah merupakan

perkawinan bila dilakukan oleh banyak wanita dengan banyak pria seperti

proof marriage yang terdapat di masyarakat Masai bangsa Kenya dan

orang Baganda yang diam di Uganda, Afrika Timur dimana 5 (lima) orang

pria sekaligus menikahi seorang saudara perempuannya sebagai isteri,

seperti juga terdapat di Tibet atau suku Marquessens, dimana sang suami

sendiri yang mencarikan lagi suami kedua bagi isterinya untuk bekerja

bersama membina kemakmuran dan kebahagiaan rumah tangganya 39.

Dalam penjelasan Undang-Undang Perkawinan dijelaskan lebih

lanjut bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dengan sila

pertamanya yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan

39
Mohd. Idris Ramulyo, 2004, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta : Penerbit sinar Grafika, hlm. 44.

31
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian.

Sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani,

melainkan juga unsur batin/rohani yang mempunyai peranan yang

penting. Menurut Undang-Undang Perkawinan sifat ikatan perkawinan

adalah :

1. Ikatan lahir batin Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan jelas

dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang

pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Ikatan Hukum antara seorang Pria dengan seorang wanita Menurut

hukum perkawinan, perkawinan adalah ikatan hukum antara dua

orang yang berlainan jenis, perkawinan antara dua orang yang

sejenis tidak dibenarkan menurut hukum.

3. Ikatan Hukum membentuk keluarga yang bahagia dan kekal Menurut

Undang-Undang perkawinan, keluarga yang dituju adalah keluarga

yang bahagia dengan anggota keluarganya saling membahagiakan

dan bermanfaat satu sama lain dan menimbulkan ketentraman. Hal

ini karena kepastian hukum dan perlindungan hukum yang

diperankan oleh pihak-pihak anggota keluarga, perkawinan yang

diinginkan adalah yang kekal, artinya perkawinan itu bukan hanya

dalam waktu tertentu atau untuk waktu tertentu.

4. Ikatan Hukum berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Sifat ikatan

perkawinan ini tercantum dalam Pasal 1 UUP, sebagai Undang-

32
Undang yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dasar Ketuhanan

Yang Maha Esa dalam UUD 1945 tercantum dalam Pasal 29

5. Ikatan Hukum untuk membentuk Kesatuan keluarga Sebagai satu

kesatuan keluarga, suami istri wajib saling cinta,

hormatmenghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin yang

satu kepada yang lain sehingga penyatuan suami istri membentuk

rumah tangga betulbetul mempunyai persatuan yang menyeluruh

dalam satu pimpinan dengan sistem penyelenggaraan hidup

keluarga.

6. Ikatan Hukum yang membentuk kesatuan ekonomis Dari segi

ekonomi karena kesatuan keluarga yang dibentuk dengan

perkawinan dan kemudian ditentukan pembagian kewajiban dan

kesenangan mengurus rumah tangga maka setelah terjadi

perkawinan maka terbentuklah satu ikatan kesatuan ekonomis.

7. Ikatan Hukum yang kuat Ikatan Perkawinan itu merupakan ikatan

yang kuat terutama kalau telah terjadi hubungan seksual, bila suami

istri telah melakukan hubungan seksual maka ikatan hukum antara

keduanya menjadi kuat dan tidak mudah diputuskan. Sifat

perkawinan demikian diamati oleh UndangUndang Perkawinan dari

sifat perkawinan islam.

8. Ikatan formal dan materiil dalam hukum Ikatan hukum dalam arti

formal adalah ikatan hukum yang terbentuk karena aturan-aturan

formal/prosedural perkawinan dalam UndangUndang perkawinan

diatur dalam Pasal 12 selanjutnya dalam PP No. 9 tahun 1975 Pasal

33
10 sampai 13 ikatan hukum materiil adalah hakekat kesediaan untuk

terjadi inti perkawinan yaitu hubungan seksual. 40

2.1.2.2. Sahnya Perkawinan

Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974 bahwa : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya Tiap-tiap

perkawinan dicatat menurut Perundangan yang berlaku.”33 Dalam

Undang-Undang tersebut diatas dinyatakan bahwa suatu perkawinan baru

sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya itu. Jadi orang-orang yang beragama islam

perkawinannya baru sah apabila dilakukan menurut hukum Islam. Tetapi

disamping itu ada keharusan pencatatan menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Pencatatan setiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan

suatu peristiwa hukum dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran,

kematian yang dinyatakan dalam suatu akta resmi (Surat Keterangan)

yang dimuat dalam daftar pencatatan yang disediakan khusus untuk itu. 41

Pencatatan itu perlu untuk kepastian hukum, maka perkawinan

dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu yang terjadi sebelum

40
Sayuti Thalib, Op cit. hlm. 50

41
Sayuti Thalib, 1974, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Penerbit UI Pres, hal. 75.

34
Undang-Undang Nomr 1 Tahun 1974 ini berlaku dan yang dijalankan

menurut peraturan perundangan yang lama adalah sah.42

Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, yaitu harus :43

1. Didasarkan kepada persetujuan bebas antara calon suami dan calon

istri, berarti tidak ada paksaan didalam perkawinan

2. Pada asasnya perkawinan itu adalah satu istri bagi satu suami dan

sebaliknya hanya satu suami bagi satu istri, kecuali mendapat

dispensasi oleh Pengadilan Agama dengansyarat-syaratnya yang

berat untuk boleh beristri lebih dari satu dan harus ada izin dari istri

pertama, adanya kepastian dari pihak suami bahwa mampu

menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak serta

jaminan bahwa suami akan berlaku adil, terhadap istri-istri dan anak-

anak mereka.

3. Pria harus telah berumur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16

(enam belas) tahun (sekarang telah diubah dengan UU no 16 tahun

2019 sehingga batas usia minimal pria dan wanita 19 tahun)

4. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua mereka,

kecuali dalam hal-hal tertentu, dan calon pengantin telah berusia 21

(dua puluh satu) tahun atau lebih, atau mendapat dispensasi dari

Pengadilan Agama apabila umur para calon kurang dari 19 dan 16

tahun.
42
Hazairin, 1975,Tinjauan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Jakarta:
Tintamas, hlm. 38.
43
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 6-12.

35
5. Tidak termasuk larangan-larangan perkawinan antara 2 (dua) orang

yang :

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah

ataupun keatas

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan kesamping yaitu

antara saudara, antara saudara dengan saudara orang tua dan

antara seseorang dengan saudara neneknya

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu

dengan ibu/bapak tiri

d. Perhubungan susuan, yaitu orang tua susuan dan bibi/paman

susuan

e. Berhubungan saudara dengan istri (ipar) atau sebagai bibi atau

keponakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri, lebih

dari seorang

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

yang berlaku dilarang kawin.

6. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain,

kecuali dispensasi oleh Pengadlan.

7. Seorang yang telah cerai untuk kedua kalinya, maka diantara mereka

tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum

masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang

bersangkutan tidak menentukan lain

8. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah

lampau tenggang waktu tunggu

36
9. Perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan yang

diatur oleh Pearturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Peraturan

Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 tentang Pencatatan Nikah, Talak

dan Rujuk.

Tata cara perkawinan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 sebagai Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

adalah sebagai berikut :44

1. Pemeriksaan kehendak nikah, Setiap orang yang akan

melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu

kepada Pegawai Pencatat Nikah ditempat perkawinan akan

dilangsungka. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya

10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dapat diberikan oleh

camat atas nama Bupati Kepala Daerah. Pegawai Pencatat Nikah atau

P3NTR yang menerima pemberitahuan kehendak nikah memeriksa

calon suami, calon istri, dan wali nikah tentang ada atau tidaknya

halangan pernikahan dilangsungkan baik karena halangan melanggar

hukum munakahat atau karena amelanggar Peraturan tentang

Perkawinan.

2. Pengumuman kehendak Nikah, setelah dipenuhinya tata cara dan

syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan

perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman

tentng pemberitahuan menurut formulir yang ditetapkan pada kantor


44
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

37
perwakilan. Surat pengumuman itu selama 10 (sepuluh) hari sejak

ditempelkan tidak boleh diambil atau dirobek (Pasal 8 dan 9 PP No..

9/1975 jo. Pasal 10 PMA No. 3/1975).

3. Pencegahan Pernikahan. Pernikahan dapat dicegah, apabila ada pihak

yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan

perkawinan.

4. Penolakan kehendak Nikah. Apabila setelah diadakan pemeriksaan

dan ternyata tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan,

maka Pegagawai Pencatat Nikah diharuskan menolak pelaksanaan

pernikahan yang dimaksud.

5. Pembatalan Pernikahan. Tata cara pengajuan permohonan

pembatalan diakukan sesuai dengan Pasal 38 PP No. 9 Tahun 1975.

6. Prosedur pencatatan Perkawinan. Pencatatan perkawinan diatur

dengan PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 2-9 dan Peraturan Mnenteri

Agama No. 3 dan 4 Tahun 1975. Pencatatan Perkawinan didahului

oleh kegiatan-kegiatan pemeriksaan kehendak nikah dan

pengumuman kehendak nikah.

7. Pelaksanaan akad nikah. Pelaksanaan perkawinan baru dapat

dilaksanakan setelah hari ke sepuluh sejak pengumuman kehendak

nikah (Pasal 10 PP). Ketentuan ini untuk memberikan kesempatan

kepada pihak-pihak yang ingin mengajukan keberatan dan

pencegahan perkawinan karena alasan-alasan yang dapat diterima.

Perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Perkawinan

dan dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 10 PP). Dan bagi mereka

38
yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, maka akad

nikahnya dilakukan oleh wali nikah atau yang mewakilinya.

Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan tersebut, maka kedua

mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah ditetapkan oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan , yang kemudian diikuti oleh kedua orang

saksi, dan oleh wali nikah dalam hal perkawinan dilakukan menurut

agama Islam. Penandatanganan tersebut juga dilakukan oleh Pegawai

Pencatat Perkawinan yang bersangkutan. Dan dengan selesainya

penandatanganan tersebut maka perkawinan telah tercatat secara resmi.

(Pasal 11 PP).45

Suatu perkawinan yang sah mempunyai akibat, yaitu antara lain

dapat dirumuskan sebagai berikut dibawah ini : 46

1. Menjadi halal melakukan hubungan seksual dan bersenang-

senang antara suami-isteri tersebut.

2. Mahar (mas kawin) yang diberikan menjadi milik sang isteri.

3. Timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara suami isteri,

suami menjadi kepala rumah tangga dan isteri menjadi ibu rumah

tangga.

4. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menjadi anak yang

sah.

5. Timbul kewajiban suami untuk membiayai dan mendidik anak-

anak dan isterinya serta mengusahakan tempat tinggal bersama.

45
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 11.

46
Sayuti Thalib, Op.Cit, hlm. 53.

39
6. Berhak saling waris-mewarisi antara suami isteri dan anak-anak

dengan orang tua.

7. Timbulnya larangan perkawinan karena hubungan semenda.

8. Bapak berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya.

9. Bila diantara suami atau isteri meninggal salah satunya, maka

yang lainnya berhak menjadi wali pengawas terhadap anak-anak

dan hartanya.

2.1.2.3. Pencatatan Perkawinan

Pencatatan Perkawinan menurut sejarah pembentukan

UUPerkawinan terdapat 2 (dua) periode. Periode sebelum UUPerkawinan

dan sesudah UUPerkawinan.

Sebelum adanya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974, telah ada peraturan yang mengatur mengenai pencatatan, yaitu

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak

dan Rujuk jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang penetapan

berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946. Semula Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan

Rujuk sebelum adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 hanya

berlaku untuk daerah Jawa dan Madura. Kemudian dengan adanya

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954, maka Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1946 ini berlaku juga untuk daerah luar Jawa dan Madura. Pada

tanggal 2 November 1954 Undang-Undang ini berlaku untuk Indonesia.

40
Pada masa itu, pencatatan perkawinan bukan suatu keharusan

bagi perkawinan. Sebagaimana yang terlihat pada Pasal 1 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 yang menyatakan :

“Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut Nikah,


diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama
atau Pegawai yang ditunjuk olehnya”.47

Dari Pasal 1 tersebut, terlihat bahwa Pegawai Pencatat Nikah itu

hanya bertugas mengawasi terlaksananya perkawinan agar perkawinan

itu berlangsung menurut ketentuan-ketentuan agama Islam.

Selanjutnya Sesudah Berlakunya undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

mengenai pencatatan perkawinan, diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Nomor 1

Tahun 1974, yang berbunyi :

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan


yang berlaku”.48

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka

pencatatan perkawinan tidak didasarkan pada penggolongan penduduk,

seperti sebelumnya, akan tetapi berdasarkan terhadap agama yang

dianut, hal ini bisa kita lihat dalam Peraturan Pelaksana dari Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 dalam Pasal 2 antara lain menyebutkan :

1. pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agama islam dilakukan oleh Pegawai


47
Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946,
Pasal 1 ayat (1). 47
48
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat (2).

41
Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk

2. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama

islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor

Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-

undangan mengenai pencatatan perkawinan.

3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku

bagi tata cara pencatatn perkawinan berdasarkan berbagai peraturan

yang berlaku, tata cara pencatatan dilakukan sebagaimana

ditentukan dalam Psal 3 dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.

Dengan adanya Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,

maka pencatatan perkawinan dilakukan oleh dua instansi atau lembaga,

yaitu :

1. Kantor Urusan Agama (KUA), bagi yang beragama Islam

2. Kantor Catatan Sipil atau instansi pejabat yang membantunya, bagi

mereka yang beragama bukan islam.

Pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam yang berkaitan dengan

ketentuan Pencatatan Perkawinan antara lain :

Pasal 5 :

1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam, setiap

perkawinan harus dicatat.

2. Pencatatan Perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh

Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-

42
Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun

1954.

Pasal 6 :

1. Untuk mengambil ketentuan Pasal 5, setiap perkawinan harus

dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat

Nikah.

2. Perkawinan yang dilaksanakan diluar pengawasan Pegawai Pencatat

Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. 49

Ketentuan yang terdapat dalam kedua Pasal diatas, sangat

epnting untuk diketahui dan disadari oleh masyarakat mengenai

pentingnya pencatatan perkawinan yang akan berdampak luas

dikemudian hari bagi suatu perkawinan, khususnya terhadap status anak

yang lahir dan harta bersama yang ada dalam perkawinan.

Meskipun pencatatan perkawinan bukan merupakan syarat untuk

sahnya suatu perkawinan, karena suatu perkawinan sudah dianggap sah

apabila dilakukan menurut hukum agama/kepercayaannya,akan tetapi

pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan

dalam suatu perkawinan. Pencatatan perkaiwnan merupakan suatu syarat

perkawinan diakui keberadaannya oleh Negara.

Dengan Pencatatan perkawinan, maka suatu perkawinan menjadi

resmi dimata hukum negara. Perkawinan dapat mempunyai akibat hukum

terhadap semua pihak. Suami dan istri diberikan bukti otentik berupa

surat nikah (kutipan akta nikah) dan memperoleh perrlindungan hukum

49
Departemen Agama, 1991, Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991, Pasal 5 dan 6,
Dalam Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, hlm. 84.

43
bagi suami istri, anak-anaknya, keluarganya dan pihak lainnya dalam

hubungan hukum dan pergaulan hidup di masyarakat.

Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh

Mneteri Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 pada

tiaptiap Kantor Urusan Agama Kecamatan. Pegawai Pencatat Nikah

mempunyai kedudukan yang jelas dalam Peraturan Perundangan di

Indonesia sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 sampai

sekarang, sebagai satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat

perkawinan yang dilangsungkan menurut agama islam dalam

wilayahnya.50

2.1.2.4. Pengertian Nikah Sirri

Pengertian Pernikahan Sirri Nikah dibawah tangan, nikah agama,

kawin sirri, atu lebih populer dengan istilah nikah sirri merupakan

pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan syarat rukun nikah dalam

Islam, tetapi tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau oleh

Petugas Pencatat Nikah (PPN). Dinamakan Sirri karena dilangsungkan

secara diam-diam, tertutup, rahasia, atau sembunyi-sembunyi tanpa

adanya publikasi.

Meskipun dari sisi Hukum Islam nikah sirri ini tidak mengakibatkan

pernikahan itu batal atau tidak sah, tetapi dari hukum positif nikah ini

dianggap tidak melalui prosedur yang sah, karena tidak mencatatkan

pernikahannya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan

50
Departemen Agama, Pedoman Pembantu Pencatat Nikah, Jakarta, Dirjen Bimas Islam dan
Urusan Haji, 1991, hlm. 2.

44
Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Nikah Sirri merupakan satu istilah yang dibentuk dari dua kata,

yaitu nikah dan sirri. Kata nikah dalam bahasa Indonesia adalah kata

benda (nomina) yang merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yaitu

nakaha, yankihu, nikahan. Menurut kamus besar Bahasa Indonesi, 51 nikah

atau perkawinan adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk

bersuami-isteri (dengan resmi). Dan kata sirri adalah salah satu kata

Bahasa Arab yang berasal dari infinitif sirran atau sirriyun. Secara

etimologi kata sirran berarti secara diam-diam atau tertutup, secara batin

atau didalam hati. Sedangkan kata sirriyun berarti secara rahasia, secara

sembunyi-sembunyi, atau misterius.52

Mengenai definisi atau konsep nikah sirri , terdapat beberapa

pendapat yang berbeda- beda. Pertama, menurut seorang ulama

terkemuka yang pernah menjabat Rektor Universitas al-Azhar di Kairo,

Mesir, yaitu Mahmud Syalthut53, ia berpendapat bahwa nikah sirri

merupakan jenis pernikahan dimana akad atau transaksinya (antara laki-

laki dan perempuan) tidak dihadiri oleh para saksi, tidak dipublikasikan

(i’lan), tidak tercatat secara resmi, dan sepasang suami-isteri itu hidup

secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak ada orang lain selain mereka

berdua yang mengetahuinya.


51
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
Balai Pustaka, hlm. 614.
52
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV, (Kairo : Dar al-Pikr, t.t),
h.278
53
Mahmud Syalthut, t.t., Al-Fatawa: Dirasat li Musykilat al-Muslim al-Mu’ashir fi Hayatihi
alYaumiyah Wajib al- Ammah, t.k: Dar al-Qalam. Hlm. 268-269.

45
Menurut Idris Ramulyo, S.H., perkawinan dibawah tangan adalah :

Suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam Indonesia,

memenuhi baik rukun maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak

didaftarkan pada Pejabat Pencatat Nikah, seperti diatur dan ditentukan

oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.54

Para ahli fikih sepakat bahwa nikah sirri yang demikian itu tidak

sah (batal), karena ada satu syarat sah nikah yang tidak ada yaitu

kesaksian. Apabila dalam transaksi pernikahan terdapat para saksi dan

dipublikasikan secara umum, maka pernikahannya tidak disebut sirri lagi

dan sah menurut syariat. namun apabila kehadiran para saksi telah

berjanji untuk merahasiakan dan tidak mempublikasikannya, para ahli

fikih sepakat akan kemakruhannya dan berbeda pendapat dalam

keabsahannya. Akan tetapi, ada satu kelompok yang berasumsi bahwa

adanya para saksi itu berarti telah keluar dari sirri, dan kesaksian itu

sendiri berarti terang-terangan. Jadi tidak ada pengaruh dalam hal

sahnya transaksi pernikahan disebabkan wasiat atau pesan kepada para

saksi untuk merahasiakannya.

Ada juga sebagian orang yang berasumsi bahwa jika transaksi

pernikahan itu tidak dihadiri oleh para saksi ataupun para saksi hadir

namun disertai dengan pesan untuk merahasiakannya, maka transaksi

pernikahan itu dianggap batal dan makruh. Pendapat Syalthut diatas

diangkat dari fenomene sosial mesir atau Timur Tengah. Apabila

dibandingkan dengan konsep nikah sirri yang ada di Indonesia, sedikit

54
Idris Ramulyo, 1990, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dari Segi
Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Ind-Hill-Co, , hlm. 226.

46
banyak terdapat perbedaan. Uraian berikut ini akan mengemukakan

konsep nikah sirri dari realitas sosial pada sebagian umat Islam

Indonesia.

Kedua, konsep nikah sirri yang paling banyak dikenal yaitu

pernikahan yang dilakukan berdasarkan cara-cara agama Islam tetapi

tidak dicatat oleh petugas resmi pemerintah, baik oleh petugas pencatat

nikah (PPN) atau di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tidak dipublikasikan.

Jadi, yang membedakan nikah sirri dengan nikah umum lainnya,

secara Islam, terletak pada dua hal ; (1) Tidak tercatat secara resmi oleh

petugas pemerintah, dan (2) tidak adanya publikasi. Konsep nikah sirri

seperti itu pada umumnya dianggap sah. 55 Hal itu dapat dipahami karena

secara fikih Islam semua rukun nikah yang merupakan syarat pada saat

akad atau transaksi nikah sirri pun telah terpenuhi. Rukun nikah yang

dimaksud, sebagaimana lazim diketahui, ada lima, yaitu adanya : (1)

Calon suami dan calon Isteri, (2) Wali, yang menikahkan, (3) Para saksi,

(4) Akad, ijab-qabul (transaksi), dan (5) mas kawin (mahar).

Tidak adanya pencatatan secara resmi dan publikasi, menurut

fikih Islam, memang tidak dapat mengakibatkan batal atau tidak sahnya

suatu perkawinan. pencatatan resmi sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 memang bersifat administratif. Akan tetapi,

pencatatan dalam bentuk akta nikah dimaksudkan untuk membantu

menjaga dan memecahkan berbagai persoalan yang mungkin terjadi

sebagai akibat dari pernikahan. Demikian pula dengan adanya publikasi

55
Miftah Faridl, 1999, 150 Masalah Nikah dan Keluarga, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 54.

47
seperti dengan mengadakan walimah (resepsi/pesta pernikahan) sangat

berguna agar masyarakat umum mengetahui dan mengakui bahwa laki-

laki dan perempuan tertentu telah sah menjadi suami-isteri, disamping

untuk menghindari fitnah. Untuk itulah, menurut Islam, dalam suatu

pernikahan dianjurkan adanya acara walimah (resepsi) walaupun dalam

bentuk yang sangat sederhana.

Munculnya kasus nikah sirri dalam konteks tidak adanya catatan

secara resmi dari KUA disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda-

beda, seperti karena adanya berbagai hambatan dan faktor ketidaksiapan

baik secara psikologis, sosiologis, maupun ekonomi. Pernikahan sirri

dilakukan pada umumnya karena terdapatnya masalah-masalah dalam

masyarakat, antara lain :56

1. Ketidak mampuan ekonomi untuk mengadakan pernikahan

2. Salah satu atau kedua calon suami-istri masih menjalani studi atau

terikat kontrak pekerjaan untuk tidak menikah dalam jangka waktu

tertentu.

3. Kekhawatiran akan terjadi perzinahan

4. Dalam hal pernikahan yang kedua kalinya yang tidak disetujui oleh

istri pertama, atau halangan menikah kedua kalinya bagi pegawai

negeri sipil

5. Adanya tradisi atau paksaaan dari orang tua untuk segera menikah

6. Salah satu atau kedua calon suami-istri tidak mendapat ijin, restu dan

persetujuan dari orang tua/keluarga.

56
Dadi Nurhaedi, 2003, Nikah di Bawah Tangan, Praktik Nikah Sirri Masyarakat Jogja ,
Yogyakart: Saujana, hlm. 20.

48
Pernikahan yang dilakukan secara sirri sudah tentu mempunyai

akibat-akibat yang ditimbulkan, antara lain :57

1. Undang-Undang Perkawinan menjadi tidak efektif, sehingga tujuan

lahirnya UUP tidak tercapai.

2. Tujuan normatif dari pencatatan perkawinan tidak terpenuhi seperti

yang dikehendaki Pasal 2 UUP.

3. Peningkatan maupun penurunan jumlah penduduk tidak terkendali

dan sulit di data secara benar.

4. Terdapat ketidakteraturan, baik dalam hal pernikahannya maupun

putusnya pernikahan yang dapat dilakukan secara bebas, yang dapat

menimbulkan kerugian pada pihak tertentu, khususnya pihak istri.

5. Tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak menimbulkan akibat

hukum.

6. Istri akan kesulitan mengemukakan status perkawinannya, karena

tidak mempunyai akta nikah. Sehingga istri tidak mempunyai hak

waris, dan akan kesulitan dalam menuntut harta bersama kepada

pengadilan sebagai akibat perceraian karena tidak memiliki akta

nikah.

7. Status anak secara hukum menjadi anak diluar pernikahan (anak luar

kawin) dan berstatus tidak mempunyai ayah menurut Undang-

Undang yang berlaku, sehingga anak hanya ikut kepada ibunya dan

menjadi tanggung jawab ibunya. Anak hanya mempunyai hubungan

57
Ibid, hlm. 21.

49
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Anak tidak dapat

menuntut hak ayahnya.

8. Tidak dapat dijadikan dasar untuk mengikat hak oleh pihak wanita

sebagai istri, juga anak-anaknya.

Adapun orang yang menikahkan dalam akad nikah sirri adalah Kyai,

Ustad, pemuka Agama, atau orang yang dianggap memahami agama

islam, sebagai pengganti wali nikah. Perlu juga diketahui bahwa mereka

yang bersedia menikahkan secar sirri ini hanya orang-orang tertentu.

Dalam kasus nikah sirri sering terjadi orang yang menikahkan malah

bukan yang berhak menjadi wali nikahnya.

Dalam Islam, perwakilan wali memang dapat dibenarkan jika

memang sangat terpaksa. Perwakilan wali nikah terjadi karena yang

menjadi wali nikah tidak mengetahui atau tidak diberitahu, atau karena

yang berhak menjadi wali tidak bersedia atau mewakilkannya kepada

orang lain. tapi ada juga yang menikahkan itu adalah wali nikahnya

sendiri, baik ayahnya ataupun yang lain. Ketiga, nikah sirri dalam

pengertian suatu pernikahan yang mengikuti ketentuan agama Islam dan

tercatat oleh PPN dan KUA tetapi belum diadakan resepsi secara terbuka

dan luas. Dalam pernikahan semacam ini biasanya hanya memberitahu

atau mengundang sebatas keluarga dekat atau sebagian tetangga. Dalam

tesis ini penulis cenderung untuk membahas mengenai pengertian nikah

sirri dari pendapat kedua, yaitu nikah sirri yang dipahami sebagai nikah

berdasarkan agama Islam dan belum tercatat di KUA serta mengenai

50
putusnya perkawinan karena perceraian dan akibatnya terhadap harta

bersama.

51
2.1.3. Akta Notaris

Dalam pasal 1867 KUHPerdata disebutkan ada istilah Akta Otentik, dan

pasal 1868 KUHPerdata memberikan batasan secara unsur yang dimaksud

dengan kata otentik yaitu:

a. Akta itu harus dibuat oleh ( door) atau di hadapan (ten overstaan)

seorang Pejabat Umum.

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

c. Pegawai Umum (Pejabat Umum) oleh – atau di hadapan siapa akta itu

dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.

Otentik atau Authentiek dapat diartikan:58

Bersifat umum, bersifat jabatan, member pembuktian yang sempurna (dari

surat-surat): khususnya dalam kata: authentieke akte. Para Notaris istimewa

ditunjuk untuk membuat akta otentik baik atas permintaan atau atas perintah;

akan tetapi juga beberapa pejabat negeri yang berhak membuatnya mengenai

hal-hal yang berhubungan dengan tugas pekerjaannya.

Satu syarat lagi yang harus ditambahkan yaitu akta otentik mempunyai

kekuatan pembuktian yang sempurna, karena di dalam akta otentik tersebut

didalamnya telah termasuk semua unsur bukti:59

58
N.E. Algra, H.R.W. Gokkel – dkk, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda-
Indonesia, Jakarta: Binacipta, hlm. 37. Dikutip dari Dr. Habib Adjie, S.H., 2017, Kebatalan Dan
Pembatalan Akta Notaris, Bandung: Refika Aditama, hlm. 7
59
Pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285 – 305 Rbg, S. 1867 nomor 29, Pasal 1867 – 1894 BW.
Menurut Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan putusan tanggal 10 April 1957,
nomor 213 K/Sip/1955, bahwa penglihatan hakim dalam perseidangan atas alat bukti tersebut,
adalah merupakan pengetahuan hakim sendiri yang merupakan usaha pembuktian. M. Ali
Boediarto, ibid, hlm. 157.

52
a. Tulisan;

b. Saksi-saksi;

c. Persangkaan-persangkaan;

d. Pengakuan;

e. Sumpah

2.1.4. Kekuatan Akta Otentik Notaris

Arti akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat

pula ditentukan bahwa siapapun terikat dengan akta tersebut, sepanjang tidak

bisa dibuktikan bukti sebaliknya berdasarkan putusan pengadilan yang

mempunyai kekuatan hukum tetap.

Bahwa akta otentik merupakan sebutan yang diberikan kepada pejabat

tertentu yang dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum, seperti Akta otentik

tidak saja dapat dibuat oleh Notaris, misalnya juga oleh Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT). Pejabat Lelang dan Pegawai Kantor Catatan Sipil.

Dalam Hukum Acara Perdata, alat bukti yang sah atau yang diakui oleh

hukum, terdiri dari:

a. Bukti tulisan;

b. Bukti dengan saksi-saksi

c. Persangkaan-persangkaan;

d. Pengakuan;

e. Sumpah.

53
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik

maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.60 Tulisan-tulisan otentik

berupa akta otentik, yang dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh

undang-undang, dibuat di hadapan pejabat-pejabat (pegawai umum) yang

diberi wewenang dan di tempat dimana akta tersebut dibuat. 61

Tulisan di bawah tangan atau disebut juga akta di bawah tangan dibuat

dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang, tanpa perantara

atau tidak d hadapa Pejabat Umum yang berwenang. 62 Baik akta otentik

maupun akta di bawah tangan dibuat dengan tujuan untuk dipergunakan

sebagai alat bukti.

Dalam kenyataan ada tulisan yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai

alat bukti, tapi dapat dipergunakan sebagai alat bukti, jika hal seperti ini

terjadi agar mempunyai nilai pembuktian harus dikaitkan atau didukung

dengan alat bukti yang lainnya.

Perbedaan yang penting antara kedua jenis akta tersbut, yaitu dalam nilai

pembuktian, akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna.

Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus

dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis

dalam akta tersebut.

60
Pasal 1867 BW

61
Pasal 1868 BW.

62
Pasal 1874 BW.

54
Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para

pihak mengakuinya atau tidak penyangkalan dari salah satu pihak 63, jika para

pihak mengakuinya, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai

kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana akta otentik, 64 jika ada

salah satu pihak tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada

pihak yang menyangkal akta tersebut, dan penilaian penyangkalan atas bukti

tersebut diserahkan kepada hakim.65

Baik alat bukti akta di bawah tangan maupun akta otentik keduanya

harus memenuhi rumusan mengenai sahnya suatu perjanjian berdasarkan

pasal 3120 BW, dan secara materiil mengingkari para pihak yang membuatnya

(pasal 1338 BW) sebagai suatu perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak

(pacta sun servanda).

Bahwa disebut akta notaris, karena akta tersebut sebagai akta otentik

yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris yang memenuhi syarat yang telah

ditentukan dalam UUJN. Akta notaris sudah pasti akta otentik. Tapi akta

otentik bisa juga akta Notaris, akta PPAT, Risalah Lelang Pejabat Lelang dan

Akta Catatan Sipil.

63
Sebagai contoh putusan mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 775 K/Sip/1971,
tanggal 6 Oktober 1971, menegaskan bahwa surat (surat jual beli) yang diajukan dalam
persidangan, kemudian disangkal oleh pihak lawan, dan tidak dikuatkan dengan alat bukti lainnya,
maka surat (jual beli tanah) tersebut dinilai sebagai alat bukti yang lemah dan belum sempurna. M.
Ali Boediarto, Op. Cit, hlm. 145 dikutip dari Habib Adji, Op Cit. hlm. 8
64
Pasal 1875 BW.

65
Peradilan Perdata di Indonesia menganut sistem hukum Pembuktian berdasar pada asas
negative wettelijk bewijsleer. Hal ini terlihat dalam pasal 249 jo 298 HIR dan tidak memakai sistem
vrij bewijsleer yang menitikberatkan pada keyakinan hakim belaka. Hal ini dilarang oleh undang-
undang (Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 583 K/Sip/1970, tanggal 10 Pebruari
1971), M. Ali Boediarto, Op Cit. hlm. 136.

55
Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan

Notaris, yaitu membuat akta secara umum, dengan batasan sepanjang:

1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-

undang.

2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta

otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang

diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan.

3. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan

siapa akta itu dibuat dikehendaki oleh yang berkepentingan.

4. Berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, hal ini sesuai

dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan Notaris.

5. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini Notaris harus menjamin

kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam

akta.

Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai

akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN 66, hal

ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik,

yaitu:67

1. Di dalam bentukyang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku).

2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.

66
Pasal 1 angka 7 UUJN
67
Adjie, Op Cit. hlm. 9

56
Dikemukakan pula oleh Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) Unsur esenselia

agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu: 68

1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat umum.

3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang

untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.

Pasal 1868 BW merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga

merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat

sebagai berikut:

1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan)

seorang Pejabat Umum.

2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

3. Pejabat Umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.

68
ibid

57
2.2. Landasan Teori

Untuk memecahkan dan menganalisis permasalahan dengan berbagai

variebelnya dipergunakan beberapa teori hukum yaitu :

2.2.1. Teori Keadilan

Teori keadilan ini akan dipergunakan untuk menganalisis permasalahan

pertama dan kedua. Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa pembahasan

permasalahan pertama diuraikan dalam bab IV, sedangkan pembahasan

permasalahan kedua akan diuraikan dalam bab V di bawah nanti.

Menurut Gustav Radbruch, undang-undang dibuat oleh Negara secara

ideal seharusnya mencakup tiga hal, yaitu : keadilan (gerechtigheit),

kegunaan (zeckmaessigheit), dan kepastian (sicherheit). 69 Dari ketiga hal

tersebut sulit untuk ditegakkan secara bersamaan, karena untuk menegakkan

yang satu, harus mengalahkan/mengorbankan yang lainnya. Namun apabila

hal tersebut dikaitkan Pancasila, maka yang harus diutamakan adalah

keadilan, sesuai yang dirumuskan dalam Sila kelima, yaitu : “Keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia”. Demikian pula yang diungkapkan oleh Bismar

Siregar, yang menyatakan bahwa bila untuk menegakkan keadilan, saya

korbankan, kepastian hukum, karena hukum hanyalah sarana, sedangkan

tujuannya adalah keadilan.70

69
Radisman F.S Sumbayak, 1985, Beberapa Pemikiran Kearah Pemantapan Penegakan Hukum,
(Jakarta:IND-HILL.Co. Cetakan Pertama), hal 25.

70
Dardji Darmodiharjo dan Sidarta, 1996, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Kedua, Jakarta, hal.154

58
Keadilan bagi Aristoteles adalah kebajikan yang berkaitan dengan

hubungan antar manusia. Keadilan artinya berbuat kebajikan, atau dengan

kata lain, keadilan adalah kebajikan yang utama. Arsistoteles menyatakan

“Justice consists in treating equals equally and unequals unequally, in

proportion to their inequally”. Prinsip ini beranjak dari asumsi “untuk hal-hal

yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan

tidak sama secara proporsional”.71

Berdasarkan prinsip itu, Aristoteles membagi keadilan menjadi dua

bentuk, pertama keadilan distribusi, adalah keadilan yang ditentukan oleh

pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi

anggota-anggoita masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Kedua,

keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara

distribusi ini melawan serangan-serangan illegal, Fungsi korektif keadilan pada

prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan

cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara

mengganti atas miliknya yang hilang.72

Kata keadilan menurut Aristoteles mengandung lebih dari satu arti. Adil

dapat diartikan menurut hukum dan apa yang sebanding, yaitu yang

semestinya. Dalam hal ini ditunjukkan, bahwa seseorang dikatakan berlaku

tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya.

71
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal.36.
72
Abdul Ghofur Anshori,1996, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
hal.47-48.

59
Menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan

kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.73

Hukum mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi kepada setiap

orang apa yang berhak diterimanya.74. Anggapan itu didasarkan kepada etika

yang berpendapat bahwa hukum hanya bertugas membuat keadilan. Adil

disini dibedakan dalam arti distributif dan komulatif. Keadilan distributif adalah

pembagian menurut haknya masaing-masing, sedangkan keadilan komulatif

adalah pembagian yang sama tanpa memperhatikan haknya masing-masing. 75

Terjadi sedikit perbedaan pembagian keadilan dalam era modern.

Dalam era modern, pembagian keadilan dikemukakan antara lain oleh John

Boatright dan Manuel Velasquez.76. yaitu : 1) keadilan distributive ( distributive

justice), mempunyai pengertian yang sama pada pola tradisional, dimana

benefits and burders harus dibagi secara adil; 2) keadilan retributive

(retributive justice) berkaitan dengan terjadinya kesalahan, dimana hukum

atau denda dibebankan kepada orang yang bersalah haruslah bersifat adil; 3)

keadilan kompensatoris (compensatory justice), menyangkut juga kesalahan

yang dilakukan, tetapi menurut aspek lain, dimana orang mempunyai

kewajiban moral untuk memberikan konpensasi atau ganti rugi kepada pihak

lain yang dirugikan.

73
Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, op.cit, hal.154

74
E.Utrecht, 1960, Pengantar dalam hukum Indonesia, Jakarta: PT. Penerbitan dan Balai Buku
Ichtiar, hal.24.

75
Surojo Wignyodipuro,1983, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: PT. Gunung Agung), hal.20.

76
Agus Yudha Hernomo, op.cit. hal.38.

60
Keadilan distributive dalam peraturan perundang-undangan artinya

peraturan yang adil, yaitu peraturan yang didalamnya terdapat keseimbangan

antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, atau setiap orang

memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya. 77 Demikian pula

semestinya diatur, bahwa bagi orang yang telah memberi kesejahteraan

kepada orang banyak. Undang-undang seharusnya memberikan hak yang

lebih kepadanya. Karena dengan telah memberikan kesejahteraan kepada

orang banyak, berarti dia telah melakukan kewajibannya, oleh karena itu dia

berhak atas hak yang lebih baik.

Teori etika modern menentukan dua prinsip untuk keadilan

distributive, yaitu prinsip formal dan prinsip material. 78 Prinsip formal, yaitu

untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga

diperlukan tidak sama secara proporsional. Prinsip material, prinsip ini

melengkapi prinsip formal.

Keadilan seperti inilah yang dimaksud dalam penelitian ini, suatu

keadilan yang memang berasal dari dasar Negara Indonesia, yaitu Pancasila.

Sila kelima dari Pancasila telah dengan tegas mengamanatkan keserasian

antara hak dan kewajiban yang hidup dalam masyarakat, oleh karena itu

untuk menciptakan keadilan, maka hak dan kewajiban ini harus diberikan

secara seimbang. Akan menjadi adil bila seseorang yang telah memenuhi

kewajiban, mendapatkan hak sesuai dengan kewajiban yang telah

77
A.L.J.van Apeldoorn, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino, Pradnya
Paramita, Jakarta, hal 11.

78
Agus Yudha Hernoko, 0p, cit, hal.39.

61
terpenuhinya itu. Apabila salah satu dari hak dan kewajiban itu diberikan

dalam porsi yang lebih atau kurang, maka keadilan tidak akan ada, jadi hak

dan kewajiban harus berjalan bersamaan.

2.2.2. Teori Kepastian Hukum

Teori Kepastian Hukum ini juga akan dipergunakan untuk menganalisa

permasalahan pertama dan kedua dalam penelitian ini. Permasalahan pertama

akan diuraikan dalam bab IV, sedangkan permasalahan kedua akan diuraikan

dalam bab V sebagaimana telah disebutkan diatas.

Keadilan seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles di atas ada

kaitannya dengan hukum, yaitu keadilan menurut hukum. Hukum mempunyai

tugas yang amat suci, karena memberikan jaminan kepada setiap orang akan

apa yang berhak diterimanya. Untuk menjamin hal itu maka diperlukan

kepastian hukum. Kepastian hukum secara historis muncul sejak ada gagasan

pemisahan kekuasaan yang dinyatakan oleh Montesquieu, bahwa dengan

adanya pemisahan kekuasaan, maka tugas penciptaan undang-undang itu

ditangan pembentuk undang-undang, sedangkan hakim (peradilan) hanya

bertugas menyuarakan isi undang-undang saja.79

Kepastian hukum tidak selalu mempersoalkan hubungan hukum antara

Negara dengan Negara, atau tidak semata-mata berkaitan dengan Negara,

karena esensi dari kepastian hukum adalah masalah perlindungan dari

tindakan kesewenang-wenangan. Akltor-aktor yang dapat melakukan

kesewenang-wenangan, tidak terbatas kepada Negara saja, tetapi juga oleh

sekelompok pihak lain selain Negara. Kepastian hukum merupakan nilai yang

79
A.L.J.van Apeldoorn,2009, op.cit.hal.391-394.

62
pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga Negara

dari kekuasaan yang sewenang-wenang, sehingga hukum memberikan

tanggungjawab kepada Negara untuk menjalankannya. Dalam hal ini nampak

terlihat jelas letak relasi antara persoalan kepastian hukum dengan Negara. 80

Menurut Gustaf Radbruch seperti yang dikutip oleh Theo Huijbers :

Menurut Radbruch dalam pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek


yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang
memadai. Aspek yang pertama ialah keadilan dalam arti yang sempit.
Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang didepan pengadilan.
Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini
menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan
hukum yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum
atau legalitas. Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai
peraturan yang harus ditaati.81

Menurut Peter Mahmud Marzuki :

Bahwa kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama,


adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kewenangan pemerintahan karena
dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui
apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap
individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-
undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara

80
Ibid, hal.94-95.

81
Theo Huijbers (b),2007, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah , Kanisius, cetakan keempat
belas, Yogyakarta, hal.163.

63
putusan yang satu dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa
yang telah diputus.82
Kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo, merupakan salah satu

syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Dalam hal ini Sudikno

Mertokusumo mengartikan, bahwa “Kepastian hukum merupakan

perlindungan yustiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti

bahwa seseorang dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan

tertentu”.83

Menurut Scheltema dalam kaitannya dengan menguraikan unsur-unsur

Negara hukum. Dalam kaitannya dikatakan bahwa unsur-unsur turunan dari

kepastian hukum, adalah :84 1) asas legalitas; 2) adanya undang-undang yang

mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, sehingga warga dapat

mengetahui apa yang diharapkan; 3) undang-undang tidak boleh berlaku

surut; 4) pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain.

Bachsan Mustafa mengungkapkan, bahwa kepastian hukum itu

mempunyai tiga arti, yaitu :

Pertama, pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur masalah


pemerintah tertentu yang abstrak. Kedua, pasti mengenai kedudukan
hukum dari subjek dan objek hukumnya dalam pelaksanaan peraturan-
peraturan hukum administrasi Negara. Ketiga, mencegah kemungkinan
82
Peter Mahmud Marzuki ,2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hal. 158.

83
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty,Yogyakarta,Hal
145.

84
Ida Bagus Putu Kumara Adi Adnyana,2010, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan, Desertasi Prgram Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu
Hukum, Universitas Brawijaya,Malang, hal 95.

64
timbulnya perbuatan sewenang-wenang ( eigenrechting) dari pihak
manapun, juga tindakan dari pihak pemerintahan.85

Terkait dengan kepastian hukum Van Kan menyatakan, bahwa hukum

bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia. 86

Kepastian hukum tersebut dibedakan dalam dua macam, yaitu 1) Kepastian oleh

karena hukum, yaitu hukum menjamin kepastian antara pihak yang satu

terhadap pihak yang lainnya, artinya adanya konsistensi penerapan hukum

kepada semua orang tanpa pandang bulu, dan 2) kepastian dalam atau dari

hukum, artinya kepastian hukum tercapai jika hukum itu sebanyak-banyaknya

undang-undang, tidak ada ketentuan yang bertentangan (undang-undang

berdasarkan sistem logis dan pasti), dibuat berdasarkan kenyataan hukum

(rechswekelijkheid) dan didalamnya tidak ada istilah yang dapat ditafsirkan

secara berlain-lainan (tertutup).

Bentham beranggapan bahwa tujuan hukum adalah mewujudkan apa

yang bermanfaat (utility) bagi sebagian besar orang. Dengan memberikan

manfaat bagi sebagian orang, maka diharapkan keadilan akan timbul. Dengan

demikian selain bermanfaat, hukum juga bertujuan untuk menciptakan keadilan.

Keadilan antara hak dan kewajiban, yaitu hak yang akan diterima seimbang

dengan kewajiban yang telah dilakukan.

Berdasarkan uraian dari pendapat para ahli hukum tersebut diatas,

peneliti menyesuaikan dengan tujuan penelitian ini, maka paling tepat

85
Bachan Mustafa, 2001, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia , Citra Aditya
Bhakti,Bandung, hal.53.

86
Utrecht,op.cit. hal. 25.

65
dipergunakan adalah kepastian hukum menurut Peter Mahmud Marzuki,

bahwa kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama adanya aturan

yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh

atau tidak boleh dilakukan, kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari

kesewenang-wenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang

bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan

atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.

2.2.3. Teori Perlindungan Hukum

Istilah teori perlindungan hukum berasal dari bahasa Inggris, yaitu legal
protection theory, sedangkan dalam bahasa belanda, disebut dengan theorie
van de wettelijke bescherming, dan dalam bahasa jerman disebut dengan
theorie der rechtliche schutz.
Secara gramatikal, perlindungan adalah:
1. Tempat berlindung; atau
2. Hal (perbuatan) memperlindungi.
Memperlindungi adalah menyebabkan atau menyebabkan berlindung. Arti
berlindung meliputi : (1) menempatkan dirinya supaya tidak terlihat, (2)
bersembunyi, atau (3) minta pertolongan. Sementara itu, pengertian
melindungi meliputi: (1) menutupi supaya tidak terlihat atau tampak, (2)
menjaga, merawat atau memilihara, (3) menyelamatkan atau memberikan
pertolongan.87
Pengertian perlindungan dapat dikaji dari rumusan yang tercantum dalam
perundang-undangan berikut ini. Dalam pasal 1 angka 5 Undang-undang
nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
telah disajikan rumusan tentang perlindungan. Perlindungan adalah:
“segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada
korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,

87
Salim HS, 2016, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, hlm. 259

66
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara
maupun berdasarkan penetapan pengadilan”.

Pengertian perlindungan dalam konsep ini difokuskan kepada:


1. Tujuan;
2. Pihak yang melindungi korban; dan
3. Sifatnya.
Tujuan perlindunga adalah memberikan rasa aman bagi korban. Rasa aman
adalah bebas dari bahaya, bebas dari gangguna, tenteram, tidak merasa takut
atau khawatir terhadap suatu hal. Sementara itu, yang berhak memberikan
perlindungan, meliputi:
1. Pihak keluarga;
2. Advokat;
3. Lembaga social;
4. Kepolisian;
5. Kejaksaan;
6. Pihak lainnya.
Sifat perlindungan dibagi menjadi dua maca, yaitu:
1. Perlindungan sementara; dan
2. Adanya perintah pengadilan.
Perlindungan sementara adalah:
“perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga
social atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan.”88

Perintah perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan


untuk mmberikan perlindungan kepada korban. 89 Disamping rumusan itu,
dalam pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Tata Cara Perlindungan terhadap korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak

88
Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.
89
Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.

67
Asasi Manusia yang Berat yang disajikan rumusan perlindungan. Perlindungan
adalah:
“Suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak
hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik
maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan,
terror, dan kekerasan dari pihak mana pun, yang diberikan pada tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di siding
pengadilan”.
Dalam rumusan ini, perlindungan dikonstruksikan sebagai:
1. Bentuk pelayanan; dan
2. Subjek yang dilindungi.
Yang memberikan pelayanan, yaitu:
1. Aparat penegak hukum; atau
2. Aparat keamanan.
Wujud pelayanannya, yaitu memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental
kepada korban dan saksi. Korban adalah:
“orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan
sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan,
terror, dan kekerasan dari pihak mana pun”. 90

Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah:

“memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang


dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat
agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.” 91

Maria Theresia Geme mengartikan perlindungan hukum adalah:

“Berkaitan dengan tindakan Negara untuk melakukan sesuatu dengan


(memberlakukan hukum negara secara eksklusif) dengan tujuan untuk
memberikan jaminan kepastian hak-hak seseorang atau kelompok orang”.

90
Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
91
Satjipto Raharjo, 2002, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 54

68
Definisi perlindungan dalam definisi diatas, kurang lengkap karena
bentuk perlindungan dan subjek yang dilindungi berbeda antara satu dengan
lainnya. Menurut hemat penulis, perlindungan adalah adalah”

“Upaya atau bentuk pelayanan yang diberikan oleh hukum kepada subjek
hukum serta hal-hal yang menjadi objek yang dilindungi”

Sementara itu, pengertian hukum dapat dikaji dari norma yang


tercantum dalam undang-undang dan norma hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.

Teori Perlindungan hukum merupakan:92

“teori yang mengkaji dan menganalisis tentang wujud atau bentuk atau
tujuan perlindungan, subjek hukum yang dilindungi serta objek
perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada subjeknya”.

Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi teori perlindungan hukum,


meliputi:

1. Adanya wujud atau bentuk perlindungan atau tujuan perlindungan


2. Subjek hukum dan
3. Objek perlindungan hukum.

Dalam setiap perundang-undangan, yang menjadi wujud atau bentuk


atau tujuan perlindungan yang diberikan kepada subjek dan objek
perlindungannya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam undang-
undang Perlindungan anak, yang menjadi tujuan perlindungan terhadap anak,
yaitu untuk menjamin terpenuhinya:

1. Hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi


secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
2. Mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan
sejahtera.

92

69
Subjek perlindungan dalam Undang-undang Perlindungan Anak adalah
anak. Objek perlindungannya adalah hak-hak anak.

Dalam undang-undang Tenaga Kerja, yang menjadi subjek perlindungannya,


yaitu tenaga kerja. Sementara itu, yang menjadi objek perlindungannya,
meliputi:

1. upah dan kesejahteraan


2. syarat-syarat kerja; serta
3. perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh.

Secara teoretis bentuk perlindungan hukum dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:

1. perlindungan yang bersifat preventif dan


2. perlindungan refresif.

Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang sifatnya


pencegahan. Perlindungan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk
mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum suatu keputusan
pemerintahan mendapat bentuk yang definitive. Sehingga, perlindungan
hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar
artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak.
Dan dengan adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong
pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan
dengan asas freies ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau
dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.

Perlindungan hukum represif berfungsi untuk menyelesaikan apabila


terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang secara
parsial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang dikelompokkan
menjadi dua badan, yaitu:

1. Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum; dan


2. Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi.

70
Ada enam kepentingan masyarakat ( social interest) yang dilindungi oleh
hukum.

1. Kepentingan masyarakat bagi keselamatan umum, seperti:


a. Keamanan;
b. Kesehatan;
c. Kesejahteraan; dan
d. Jaminan bagi transaksi-transaksi dan pendapatan.
2. Kepentingan bagi lembaga-lemabaga social, yang meliputi bidang:
a. Perkawinan;
b. Politik; seperti kebebasan berbicara; atau
c. Ekonomi.
3. Kepentingan masyarakat terhadap kerusakan moral, seperti:
a. Korupsi;
b. Perjudian;
c. Pengumpatan terhadap Tuhan;
d. Tidak sahnya transaksi-transaksi yang bertentangan dengan moral
yang baik;
e. Peraturan yang membatasi tindakan-tindakan anggota trust;
4. Kepentingan masyarakat dalam pemeliharaan sumber social, seperti
menolak perlindungan hukum bagi penyalahgunaan hak (abuse of right)
5. Kepentingan masyarakat dalam kemajuan umum, seperti perlindungan
pada:
a. Hak milik;
b. Perdagangan bebas dan monopoli;
c. Kemerdekaan industry; dan
d. Penemuan baru;
6. Kepentingan masyarakat dalam kehidupan manusia secara individual,
seperti perlindungan terhadap:
a. Kehidupan yang layak;
b. Kemerdekaan berbicara; dan
c. Memilih jabatan.

71
Ada tiga macam kepentingan individual ( privat interest), yang perlu mendapat
perlindungan hukum. Ketiga macam perlindungan itu, disajikan berikut ini.

1. Kepentingan kepribadian (interest of personality), meliputi perlindungan


terhadap:
a. Integritas (keutuhan) fisik;
b. Kemerdekaan kehendak;
c. Reputasi (nama baik);
d. Terjaminnya rahasia-rahasia pribadi;
e. Kemerdekaan untuk menjalankan agama yang dianutnya; dan
f. kemer
2. Kepentingan dalam hubungan rumah tangga (interests in domestic),
meliputi:
a. Perlindungan bagi perkawinan;
b. Tuntutan bagi pemeliharaan keluarga; dan
c. Hubungan hukum antara orang tua dan anak-anak.
3. Kepentingan substansi (interest of substance), meliputi perlindungan
terhadap:
a. Harta;
b. Kemerdekaan dalam penyusunan testamen;
c. Kemerdekaan industry dan kontrak; dan
d. Pengharapan legal akan keuntungan-keuntungan yang diperoleh.

Manfaat adanya klasifikasi kepentingan hukum menjadi tiga macam di atas,


adalah karena:

1. Hukum sebagai instrument kepentingan social;


2. Membantu membuat prmis-premis yang tidak terang menjadi jelas; dan
3. Membuat legislator (pembuat undang-undang) menjadi sadar akan
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan yang
khusus.

72
Hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia berbeda dengan
norma-norma yang lain. Karena hukum itu berisi perintah dan/atau larangan,
sert membagi hak dan kewajiban.
Sudikno Mertokusumo mengemukakan tidak hanya tentang tujuan
hukum, tetapi juga tentang fungsi hukum dan perlindungan hukum. Ia
berpendapat bahwa:
“dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum
mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai.
Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat
yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan
tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan
manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas
membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat,
membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum
serta memelihara kepastian hukum.”93
Ada tiga hal yang dapat dianalisis dari pandangan Sudikno Mertokusumo.
Ketiga hal itu, meliputi:
1. Fungsi hukum;
2. Tujuan hukum; dan
3. Tugas.
Fungsi hukum adalah melindungi kepentingan manusia. Tujuan pokok hukum
adalah menciptakan tatanan masyarakat yang;
1. Tertib;
2. Ketertiban; dan
3. Keseimbangan.
Masyarakat yang tertib merupakan masyarakat yang teratur, sopan, dan
menaati berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat. Ketertiban suatu keadaan dimana
masyarakatnya hidup seba teratur baik. Keseimbangan adalah suatu keadaan
masyarakat, di mana masyarakatnya hidup dalam keadaan seimbang dan

93
Sudikno Mertokusumo, 2012, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,

73
sebanding artinya tidak ada masyarakat yang dibedakan antara satu dengan
yang lainnya (sama rasa).
Tugas hukum yang utama adalah:
1. Membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat;
2. Membagi wewenang;
3. Mengatur cara memecahkan masalah hukum; dan
4. Memelihara kepastian hukum.

2.2.4. Kewenangan Hukum dan Kecakapan Bertindak

Subjek Hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh,


mempunyai, atau menyandang hak dan kewajiban. Kewenangan untuk dapat
menyandang hak dan kewajiban itu disebut kewenangan hukum.

Setiap subjek hukum, baik orang maupun badan hukum pada umunya
dapat mempunyai hak dan kewajiban. Dikatakan pada umumnya oleh karena
beberapa hak tertentu yang timbul dari hukum tentang orang dan hukum
keluarga yang melekat pada manusia hanya dapat dimiliki oleh badan hukum.
Di samping itu, tidak kepada setiap orang diberikan kewenangan hukum
penuh. Ini merupakan pengecualian insidentil seperti, hak untuk memilih
dalam pemilihan umum (pasal 27 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan wakil Presiden), untuk kawin (Pasal 7 UU No. 1 Tahun
1974), untuk bekerja (pasal 1 UU No. 1 Tahun 1951 jo. UU No. 12 Tahun
1948). Untuk itu semuanya oleh undang-undang ditentukan persyaratan
antara lain batas umur tertentu. Tetapi, pada umumnya setiap manusia
mempunyai kewenangan hukum.
Mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban tidak selalu berarti
mampu atau cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya itu. Sekalipun
setiap orang pada umumnya mempunyai kewenangan hukum, ada golongan
orang yang dianggap tidak cakap melaksanakan beberapa hak atau
kewajiban.
Jadi, subjek hukum orang yang pada dasarnya mempunyai kewenangan
hukum itu ada yang dianggap cakap bertindak sendiri, ada yang dianggap

74
tidak cakap bertindak sendiri. Ini merupakan anggapan hukum yang tidak
memungkinkan adanya bukti lawan. Golongan orang yang tidak cakap
bertindak disebut juga personae miserabile.
Mereka yang tidak cakap ini dibagi menjadi tiga golongan yaitu mereka
yang belum cukup umur, mereka yang diletakkan di bawah pengampuan atau
pengawasan, dan istri yang tunduk pada BW.
Apabila ketentuan undang-undang menggunakan istilah “belum cukup
umur” yang dimaksud ialah semua orang yang belum mencapai 21 tahun dan
belum kawin. Mereka ini dianggap tidak cakap melaksanakan sendiri hak dan
kewajibnnya.
Ketentuan mengenai batas umur kedewasaan ini beraneka ragam. Batas
umur menurut undang-undang Kerja adalah 18 tahun (Pasal 1 UU No. 1
Tahun 1951 jo. UU No. 12 Tahun 1948), sedangkan untuk memilih, orang
harus berumur 17 tahun (Pasal 9 UU No. 4 Tahun 1975 jo. UU No. 15 Tahun
1969). Untuk jadi saksi di pengadilan, orang harus berumur 15 tahun (Pasal
145 ayat 1 No. 3, 145 ayat 4 HIR, 172 ayat (1) No. 4 jo. 173 Rbg, 1912 BW).
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sebagaimana dirubah oleh
Undang-undang no. 16 Tahun 2019 untuk kawin, batas umurnya bagi laki-laki
dan wanita 19 tahun.
Perlu ditambahkan bahwa menurut pasal 47 ayat 1 UUPerkawinan, anak
yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaanya. Ayat 2 pasal tersebut menentukan bahwa orang tua
mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di
luar pengadilan. Pada umumnya, terutama dalam yurisprudensi, batas umur
kedewasaan untuk melakukan perbuatan hukum adalah 21 tahun.
Pada umumnya mereka yang diletakkan di bawah pengampuan dianggap
tidak cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya (pasal 446, 452 BW),
khususnya mereka yang diletakkan di bawah pengampuan karena sakit
ingatan. Sedangkan bagi pemboros dan pemabuk yang diletakkan di bawah
pengampuan, ketidakcakapan bertindak itu hanya terbatas pada perbuatan-
perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja.

75
Selanjutnya seorang istri khususnya yang tunduk pada BW dianggap tidak
cakap untuk bertindak melaksanakan hak dan kewajibannya (pasal 110 BW).
Dalam praktik dewasa ini, istri yang tunduk pada BW dianggap cakap.
Mereka yang diaanggap tidak cakap tersebut di atas dianggap tidak cakap
menjalankan sendiri hak dan kewajibannya, meskipun dimiliki atau
disandangnya. Selama dalam keadaan tidak cakap itu mereka diwakili oleh
wakil yang ditentukan oleh undang-undang atau ditunjuk oleh hakim, yang
selanjutnya akan mengurus kepentingan yang diwakilinya.
Kecakapan bertindak merupakan syarat terjadinya perikatan. Ini berarti
bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh mereka dapat dibatalkan.
Sebaliknya ketidakcakapan seseorang tidak memengaruhi timbul/tidaknya
akibat hukum dalam perbuatan melawan hukum.
Suatu perbuatan hukum seperti perjanjian jual beli yang dilakukan oleh
seseorang yang belum cukup umur tanpa persetujuan walinya pada umumnya
dapat dibatalkan. Pada dasarnya perbuatan hukum itu tidak sah, tetapi tetap
berlaku. Tetapi perbuatan hukum itu dapat dibatalkan oleh hakim atas
tuntutan wakil atau walinya.94

2.2.5. Teori Kesadaran Hukum (Legal System)

Kesadaran hukum menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah

kesadaran seseorang akan pengetahuan bahwa suatu perilaku tertentu diatur

oleh hukum.95 Kesadaran hukum pada titik tertentu diharapkan mampu untuk

mendorong seseorang mematuhi dan melaksanakan atau tidak melaksanakan

apa yang dilarang, dan atau apa yang diperintahkan oleh hukum. Oleh karena

itu, peningkatan kesadaran hukum merupakan salah satu bagian penting

dalam upaya mewujudkan penegakkan hukum.

94
Mertokusumo, Op Cit. hlm. 94-97

95
Suharso, Retnoningsih Anna.2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux, Widia Karya
Semarang, 2005.

76
Akibat dari rendahnya kesadaran hukum masyarakat adalah masyarakat

yang tidak patuh terhadap hukum yang berlaku. Akibat yang ditimbulkan oleh

rendahnya kesadaran hukum tersebut bisa menjadi lebih parah lagi apabila

melanda aparat penegak hukum dan pembentuk peraturan perundang-

undangan. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya upaya penegakkan hukum

dan kondisi sistem dan tata hukum yang ada.

Kesadaran hukum diartikan secara terpisah dalam bahasa yang kata

dasarnya “sadar” tahu dan mengerti, dan secara keseluruhan merupakan

mengetahui dan mengerti tentang hukum, menurut Ewick dan Silbey :

“Kesadaran Hukum” ke cara-cara dimana orang-orang memahami hukum dan

institusi-institusi hukum yaitu pemahaman-pemahaman yang memberikan

makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang. 96

Bagi Ewick dan Silbey, “ kesadaran hukum” terbentuk dalam tindakan dan

karenanya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris. Dengan

kata lain, kesadaran hukum adalah persoalan “ hukum sebagai perilaku”, dan

bukan “hukum sebagai aturan norma atau asas”. 97

Membangun kesadaran hukum tidaklah mudah, tidak semua orang

memiliki kesadaran tersebut. Hukum sebagai fenomena sosial merupakan

institusi dan pengendalian masyarakat. Didalam masyarakat dijumpai berbagai

institusi yang masing-masing diperlukan didalam masyarakat untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhannya dan memperlancar jalannya pemenuhan kebutuhan-

96
Ali Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence)
Termasuk Interprestasi Undang-undang (legisprudence, Kencana, 2009, hal 510.)
97
Ibid, hal 511.

77
kebutuhan tersebut, oleh karena fungsinya demikian masyarakat perlu akan

kehadiran institusi sebagai kesadaran hukum.

Pentingnya kesadaran membangun masyarakat yang sadar akan hukum

inilah yang diharapkan akan menunjang dan menjadikan masyarakat

menjunjung tinggi institusi / aturan sebagai pemenuhan kebutuhan untuk

mendambakan ketaatan serta ketertiban hukum. Peran dan fungsi

membangun kesadaran hukum dalam masyarakat pada umumnya melekat

pada instansi sebagai pelengkap masyarakat dapat dilihat dengan : !).

Stabilitas, 2). Memberikan kerangka social terhadap kebutuhan-kebutuhan

dalam masyarakat, 3). Memberikan kerangka sosial institusi berwujud norma-

norma.

Beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat tidak sadar akan

pentingnya hukum adalah :

1. Adanya ketidak pastian hukum;

2. Peraturan-peraturan yang bersifat statis;

3. Tidak efisiannya cara-cara masyarakat untuk mempertahankan peraturan


yang berlaku.98

Berlawanan dengan faktor-faktor diatas salah satu menjadi fokus pilihan


dalam kajian tentang kesadaran hukum adalah :

1. Penekanan bahwa hukum sebagai otoritas, sangat berkaitan dengan


lokasi dimana suatu tindakan hukum terjadi;

2. Studi tentang kesadaran hukum tidak harus mengistimewakan hukum


sebagai sebuah sumber otoritas atau motivasi untuk tindakan;

98
Rahardjo Satjipto, 1991,Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, Edisi Revisi, hal.112.

78
3. Studi tentang kesadaran hukum memerlukan observasi, tidak sekedar
permasalahan sosial dan peranan hukum dalam memperbaiki kehidupan
mereka, tetapi juga apa yang mereka lakukan.99

Ketaatan hukum tidaklah lepas dari kesadaran hukum, dan kesadaran

hukum yang baik adalah ketaatan hukum, dan ketidak sadaran hukum yang

baik adalah ketidak taatan. Pernyataan ketaan hukum harus disandingkan

sebagai sebab dan akibat dari kesadaran dan ketaatan hukum.

Sebagai hubungan hukum yang tidak dapat dipisahkan antara kesadaran

hukum dan ketaatan hukum maka beberapa literatur yang di ungkap oleh

beberapa pakar mengenai ketaatan hukum bersumber pada kesadaran

hukum, hal tersebut tercermin dua macam kesadaran, yaitu :

1. Legal consciousness as within the law , kesadaran hukum sebagai


ketaatan hukum, berada dalam hukum, sesuai dengan aturan hukum
yang disadari atau dipahami;
2. Legal consciousness as against the law, kesadaran hukum dalam wujud
menentang hukum atau melanggar hukum. 100
Hukum berbeda dengan ilmu yang lain dalam kehidupan manusia, hukum
berbeda dengan seni, ilmu dan profesionalis lainnya, struktur hukum pada
dasarnya berbasis kepada kewajiban dan tidak diatas komitmen. Kewajiban
moral untuk mentaati dan peranan peraturan membentuk karakteristik
masyarakat.
Di dalam kenyataannya ketaatan terhadap hukum tidaklah sama dengan
ketaatan sosial lainnya, ketaatan hukum merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan dan apabila tidak dilaksanakan akan timbul sanksi, tidaklah
dengan ketaatan sosial, ketaatan sosial manakala tidak dilaksanakan atau
dilakukan maka sanksi-sanksi sosial yang berlaku pada masyarakat inilah

99
Ali Achmad, 2009, Op.cit, hal. 342.

100
Ibid , hal 510

79
yang akan menghakimi. Tidaklah berlebihan bila ketaatan didalam hukum
cenderung dipaksakan.
Ketaatan sendiri dapat dibedakan dalam tiga jenis, mengutip H.C Kelman
(1966) dan L. Pospisil (1971) dalam buku Prof DR. Achmad Ali, SH Menguak
Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence)
Termasuk Interprestasi Undang-undang (legisprudence):
1. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang menaati suatu
aturan, hanya karena takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini,
karena membutuhkan pengawasan yang terus-menerus.
2. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati
suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain
menjadi rusak.
3. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang nenaati
suatu aturan, benar-benar karena merasa bahwa aturan itu sesuai
dengan nilai-nilai intristik yang dianutnya.101

Jika diurai tentang alasan-alasan mengapa masyarakat tidak menaati

hukum atau menaati hukum, ini adalah terjadi karena keragaman kultur dalam

masyarakat. Mengapa masyarakat menaati hukum ? Konsep Hermeneutika

menjawabnya bahwa tidak lain, karena hukum secara esensial bersifat

relegius atau alami dank arena itu, tak disangkal membangkitkan keadilan. 102

Kewajiban moral masyarakat untuk menaati hukum, kewajiban tersebut

meskipun memaksa namun dalam penerapan atau prakteknya kewajiban

tersebut merupakan tidak absolute. Kemajemukan budaya yang tumbuh

didalam masyarakat, norma-norma hidup dan tumbuh berkembang dengan

pesat. Kewajiban moral dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam

keadaan tertentu.

Ketaatan hukum pada hakikatnya adalah kesetiaan yang dimiliki

seseorang sebagai subyek hukum terhadap peraturan hukum yang

101
Ibid, hal 352.
102
Ibid.

80
diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata. Sementara kesadaran hukum

masyarakat merupakan sesuatu yang masih bersifat abstrak yang belum

diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata untuk memenuhi kehendak

hukum itu sendiri.

Banyak di antara masyarakat yang sesungguhnya telah sadar akan

pentingnya hukum dan menghormati hukum sebagai aturan yang perlu

ditaati, baik menurut dorongan insting maupun rasional, namun secara

faktual, kesadaran tersebut tidak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari

dalam praktek yang nyata.

Makna kesadaran hukum dalam masyarakat memiliki arti penting dalam

mendukung tetap tegaknya hukum ( law inforcement). Setiap masyarakat yang

berada dalam wilayah negara hukum tentunya dituntut untuk memiliki

kesadaran hukum. Indikator-indikator dari masalah kesadaran hukum tersebut

adalah (Kutschincky dalam Soerjono Soekanto, 1982 :159) :

a. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness);


b. Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquaintance);
c. Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude);
d. Pola-pola perikelakuan hukum (legal behavior)
Setiap indikator tersebut diatas menunjuk pada tingkat kesadaran hukum
tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan tertinggi (Soerjono Soekanto,
1982 :159). Kesadaran hukum dan kepatuhan melaksanakan peraturan hukum
akan lebih baik jika dibiasakan sejak dari kecil sehingga tidak tumbuh
keterpaksaan dalam menaati hukum. Hukum dibuat untuk menciptakan
ketertiban dan keadilan. Oleh karena itu, jika masyarakat taat dan patuh
melaksanakan norma hukum, ketertiban, kedisiplinan, dan keadilan akan
tercipta dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

81
2.3. Kerangka Pikir

KEDUDUKAN PERSETUJUAN ISTRI SIRI DALAM PENJUALAN/PERALIHAN HARTA


BERSAMA DALAM AKTA NOTARIS

- Pancasila Sila ke-1 Ketuhanan Yang Maha Esa


- Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B Ayat 1
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUPerkawinan)
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
- Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
- Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan berlakukan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
- Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
- Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991)
- Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas undang-undang Nomor
30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
- Peraturan Menteri Agama nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan
- Peraturan Menteri Agama nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan

Teori/Konsep dalam Agama Teori/Konsep dalam Hukum Positif


1. Literatur Quran dan Hadits 1. Peraturan-peraturan Perkawinan
2. Fatwa MUI 2. Peraturan-peraturan Harta Benda
3. Bahtsul Masail atau Pendapat Tokoh 2. Sudut Pandang Notaris
2. Sudut Pandang Hakim Pengadilan Agama
Nahdlotul Ulama
4. Majlis Tarjih dan Tajdid atau
Pendapat Tokoh Muhammadiyah

5. Teori Keadilan 1. Teori Keadilan


6. Teori Kepastian Hukum 2. Teori Kepastian Hukum
7. Teori Hak Milik 3. Teori Hak Milik
8. Teori Kesadaran Hukum 4. Teori Kesadaran Hukum

1. Kedudukan istri siri dimata hukum Islam, Perdata, dan perkawinan dalam
masalah jual beli harta bersama (gono gini)
2. Praktik Pembuatan Akta notaris terhadap Juali Beli harta bersama dalam
pernikahan Siri
3. Solusi Alternatif dalam perjanjian jual beli harta bersama dalam pernikahan siri
4. Saran untuk memecahkan kontra norma antara hukum islam dan hukum
positif.

82
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah jenis

penelitian yuridis empiris. Adapun alasan mempergunakan jenis penelitian

hukum empiris adalah, ada indikasi apa yang diharapkan dalam regulasi

tentang penerapan pemberian persetujuan istri siri dalam pratik dibuatnya

akta notaris yang diatur dalam norma dan Peraturan, ternyata di lapangan

tidak terlaksana dengan baik. Kesenjangan atau distorsi antara Das Sollen

dengan Das Sein ini yang menjadi kajian penelitian ini.

3.2. Pendekatan Data

- Perundang-undangan

1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B ayat (1),

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan (UUPerkawinan).

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan

4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,

Talak dan Rujuk

5. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan

berlakukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang

Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk

83
6. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

7. Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991)

8. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

9. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

10. Peraturan Menteri Agama nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan

Perkawinan

11. Peraturan Menteri Agama nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan


Pernikahan

- Sosiologi :

Perkawinan Siri adalah sah menurut agama Islam. Dalam islam

tidak terlalu penting pencatatan nikah, sehingga Undang-undang itu

sendiri tidak akan bisa bertentangan dengan Undang-undang dasar

Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang memberi hak beragama

serta pancasila sila pertama ketuhanan yang maha esa. Sehingga

banyak praktik nikah siri di Indonesia, walaupun secara hukum positif

tidak dianjurkan.

Peraturan-peraturan yang mengatur pernikahan tidaklah memberi

solusi akan dampak terjadinya praktik pernikahan siri. Namun tentu

saja hal itu mencederai asas hukum keadilan (gerechtigheit),

kepastian (rechsecherheit) dan kemanfaatan (zwachmatigheit).

Sehingga ketika pernikahan siri itu berlangsung perlu kita carikan

solusi permasalahannya.

84
- Sejarah

Kegagalan disebabkan adanya perbedaan pendapat mengenai

sistem Undang-undang Perkawinan yang hendak dibentuk. Perbedaan

pendapat tersebut menjadi tiga pendapat. Pertama, pendapat sekuler

yang menghendaki satu sistem undang-undang Perkawinan yang

berlaku umum dengan tidak menyinggung agama. Kedua, pendapat

yang menghendaki masing-masing golongan masyarakat memiliki

undang-undang Perkawinan sendiri. Ketiga, pendapat yang

menginginkan adanya satu undang-undang pokok selanjutnya berlaku

untuk masing-masing golongan diadakan undang-undang tersendiri.

Setelah melalui perdebatan panjang hingga memakan waktu 25

tahun dan cukup sengit sehingga timbul ketegangan-ketegangan di

dalam masyarakat, akhirnya pada tanggal 22 Desember 1973 Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) dapat mengesahkan Rancangan Undang-

undang Perkawinan tahun 1973 menjadi undang-undang pada

tanggal 2 Januari 1974 sehingga diundangkannya Undang-undang no

1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan berlakunya Undang-

undang ini maka berakhirlah keanekaragaman hukum perkawinan

yang dahulu pernah berlaku bagi berbagai golongan warga Negara

dan berbagai daerah. Namun Hingga kini nasib UU Perkawinan masih

seringkali dipersoalkan.

Konsep Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan tersebut

dibuat oleh orang-orang dari departemen kehakiman (bukan Depag)

dan karenanya bukanlah suatu hal yang aneh apabila rancangan

85
undang-undang itu tidak memerhatikan hukum agama, bahkan kalau

dilihat dari segi materinya tampak bahwa hampir seluruh pasal-pasal

hukum perkawinan yang terdapat di dalam BW (Kitab Undang-undang

Hukum Perdata) yang bersifat sekuler.

Oleh karena RUU itu dianggap bersifat sekuler dan tidak

memerhatikan unsur hukum agama terutama hukum perkawinan

Islam yang selama ini ditaati oleh umat Islam dalam melangsungkan

perkawinannya, maka dipandang oleh umat Islam bahwa RUU itu

sangat bertentangan dengan hukum Islam serta dasar negara

Pancasila dan UUD 1945.

3.3. Jenis Data dan Sumber Data

- Data Primer, yaitu data utama yang didapatkan sendiri oleh penulis.

- Skunder, yaitu data pendukung lainnya.

-Tersier, yaitu data yang didapatkan dengan menggunakan kamus.

3.4.Tehnik Pengumpulan Data

1. Wawancara, adalah percakapan dengan cara mengajukan pertanyaan

secara lisan untuk dijawab secara lisan pula. Wawancara ini dilakukan

langsung pada narasumber yang terkait yang berhubungan dengan tugas

dan tanggung jawab sehingga wawancara ini bertujuan untuk

mengungkap data mengenai Kedudukan Istri Siri terhadap jual

beli/peralihan harta bersama atau gonogini dalam akta notaris.

86
2. Studi pustaka, dengan mengkaji dan menafsirkan berbagai peraturan

perundang-undangan atau literature yang berhubungan dengan

persetujuan istri sirri dalam praktik dibuatnya akta notaris.

3.5. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan dengan mengambil di wilayah

Kabupaten Pasuruan Jawa Timur Karena berdasarkan berita di media kasus

nikah sirri yang banyak terjadi adalah di lokasi tersebut.

3.6. Analisis dan Penyajian Data

- Analisa Kualitatif

- Deskreptif Sistematis

Semua data yang sudah dikumpulkan, lalu dianalisa secara analisis

kualitatif. Maksudnya data ditafsirkan, lalu dihubungkan dengan nilai sangat

baik, baik dan kurang baik.

Selanjutnya data yang sudah dianalisis disajikan secara deskriptif sistematis,


maksudnya, data dipaparkan dalam bentuk uraian secara sistematis berdasarkan
pedoman penulisan tesis.

87
DAFTAR PUSTAKA

Anwar Haryono, 1968, Keluwesan dan Keadilan Hukum Islam , Jakarta :


Penerbit Bulan Bintang

Dadi Nurhaedi, 2003, Nikah di Bawah Tangan, Praktik Nikah Sirri


Masyarakat Jogja, Yogyakart: Saujana

Departemen Agama RI, 1978, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta:


Proyek Penerbit Kitab Suci Al-Qur’an

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990, Kamus Besar Bahasa


Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka

H. Sulaiman Rasyid, 1954, Fiqh Islam, Jakarta : Penerbit Attahiriyah

H. Zahry Hamid, 1978, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan


Undang-Undang Perkawinan Islam, Jakarta: Penerbit Bina Cipta

Habib Adjie, 2017, “Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris”, Bandung :


Refika Aditama,

Hazairin, 1975,Tinjauan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun


1974, Jakarta: Tintamas

Hilman Hadikususma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut


Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju

Hosen Ibrahim, 1971, Fiqh Perbandingan dalam masalah Nikah, Talak dan
Rujuk, Jakarta: Ihya Ulumuddin

http://apik-web.blogspot.com/2015/06/tujuan-perkawinan-menurut-
undang-undang.html

Idris Ramulyo, 1990, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No. 1


Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Ind-Hill-Co

Idris Ramulyo, 1996, Hukum Perkawinan Islam, Suatu analisa dari


Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam , Jakarta: Bumi
Aksara

Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Isnaeni, 2016, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Refika aditama,

Judiasih, 2015, Harta Benda Perkawinan, Bandung: Refika Aditama.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

88
Miftah Faridl, 1999, 150 Masalah Nikah dan Keluarga, Jakarta: Gema
Insani Press

Moh. Idris Ramulyo, 1996, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam , Jakarta:
Penerbit Bumi Aksara

Moh. Rifai’, 1978, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang : CV. Toha Putro

Mohd. Idris Ramulyo, 2004, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan,


Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam , Jakarta:
Penerbit Sinar Grafika

Mohd. Idris Ramulyo, 2004, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan,


Hukum Acara Peradilan agama dan Zakat Menurut Hukum Islam , Jakarta : Sinar
Grafika,

Mustika, 2018, Pencatatan Perkawinan dalam Undang-undang Hukum


Keluarga di Dunia Islam,

Proyek Pembinaan Peradilan Agama departemen Agama, 980/1981,


Himpunan Fatwa Pengadilan Agama, Jakarta

R. Subekti dan R. Tjitrosuibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, J.B.


Wolters, Jakarta 1980, Cetakan ketiga

Rafiqi, 2015, Tinjauan Hukum Perkawinan Siri (Tidak dicatatkan) terhadap


Kedudukan istri dalam Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan, Medan:
Penegakan Hukum 2(2), hlm.

Rahman, 2014, Perkawinan Siri Online ditinjau dari Perspektif Hukum


Perkawinan Islam yang Berlaku di Indonesia, Yogyakarta: Jurnal Penelitian
Hukum 1(1).

Sayuti Thalib, 1974, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : Universitas


Indonesia,

Sayuti Thalib, 1974, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Penerbit UI


Pres

Sayuti Thalib, 1986, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press

Soemiyati, 1986, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang


Perkawinan, Yogyakarta: Liberty

Sudarsono, 1991, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta

89
Sudikno Mertokusumo, 2012, “MENGENAL HUKUM SUATU PENGANTAR”,
Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka

Syahuri, 2013, “Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia Pro-Kontra


Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta : Kencana,

Tan Thong Kie, 2011, STUDI NOTARIAT SERBA SERBI PRAKTEK


NOTARIS, Jakarta: ICHTIAR BARU VAN HOEVE,

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-


undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-


undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

90

Anda mungkin juga menyukai