Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pancasila adalah ideologi dasar dalam kehidupan bagi negara Indonesia.
Nama ini terdiri dari dua kata dari Sansakerta : pañca berarti lima
dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan
pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada
alinea ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang dasar 1945.
Meskipun terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila
yang berlangsung dalam beberapa tahap selama masa perumusan
pancasila pada tahun 1945, tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya
Pancasila

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Wawasan Dasar Ideologi Pancasila ?
2. Bagaimana wawasan sejarah ideologi Pancasila ?
3. Apa pengertian wawasan konseptual ?
4. Apa pengertian wawasan Yuridis ?
5. Apa itu wawasan visi dan misi ?
6. Apa itu wawasan implementatif ?

C. Tujuan
1. untuk mengetahui wawasan dasar ideologi Pancasila
2. untuk mengetahui wawasan sejarah
3. untuk mengetahui wawasan konseptual
4. untuk mengetahui wawasan yuridis
5. untuk mengetahui wawasan visi dan misi
6. untuk mengetahui wawasan implementatif

1
BAB II
PEMBAHASAN

Wawasan Dasar Ideologi Pancasila


Setiap bangsa harus memiliki suatu konsepsi (ide,cita-cita)
mengenai hakikat yang paling dalam dari negara (staatsidee) serta
hakikat yang paling dalam dari negara (Rechtsidee).1
Konsepsi kenegaraan dan hukum setiap negara-bangsa
memiliki kekhasannya masing-masing sesuai dengan latar
kesejarahannya, kondisi sosial-budaya, serta karakteristik bangsa
yang bersangkutan.
Konsepsi tentang dasar (falsafah) negara dirumuskan
dengan merangkum lima prinsip utama sebagai “titik temu” (yang
mempersatukan keragaman bangsa), “titik tumpu” (yang mendasari
ideologi, norma, dan kebijakan negara), serta “titik tuju” (yang
memberi orientasi kenegaraan-kebangsaan) negara-bangsa
Indonesia. Kelima prinsip utama itu dikenal dengan sebutan
Pancasila. Kelima nilai dasar Pancasila itu adalah:

1. Ketuhanan yang maha Esa


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia2

1. Wawasan kesejarahan
Pancasila dapat dikatakan sebagai lima nilai fundamental
yang diidealisasikan sebagai konsepsi tentang dasar (falsafah)
negara, pandangan hidup, dan ideologi negara bangsa Indonesia.
Dihasilkan melalui penggalian dan pergumulan, sejarah
konseptualisasi Pancasila melintasi rangkaian panjang fase
“perintisan”, fase “perumusan”, dan fase “pengesahan”.

a) Fase perintisan
1
Latif, Yudi. 2018. Wawasan pancasila: bintang penuntut kebudayaan . Bandung: Mizan Media Utama
hal.29
2
Hatta, Mohammad (2015). Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977). Jakarta: Kompas. hlm. 

2
Dimulai pada tahun 1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan untuk
mencari sintesis antar ideologi dan gerakan seiring dengan
“penemuan”indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic
nationalism). Sejak tahun 1924, Perhimpunan Indonesia (PI), di
Belanda, mulai merumuskan konsepsi ideologi politiknya, bahwa
tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada empat
perinsip: persatuan nasional, solidartas, nonkooperasi, dan
kemandirian. Konsepsi ideologis PI ini pada hakikatnya merupakan
sentesis dari ideologi-ideologi terdahulu.
Sekitar tahun yang sama, Tan Malaka mulai menulis buku
Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dia
percaya bahwa paham kedaulatan rakyat (demokrasi) memiliki
akar yang kuat dalam tradisi masyarakat nusantara.
Hampir bersamaan dengan itu, Tjokroaminoto mulai
mengidealisasikan suatu sintesis antara islam, sosialisme, dan
demokrasi.
Pada 1926, Soekarno, sebagai tokoh pergerakan pemuda di
Bandung. Dalam pandangan Soekarno, pergerakan rakyat
Indonesia mempunyai tiga sifat:”nasionalistis, islamistis,
marxistis”. Sekitar tahun 1932, Soekarno mulai merumuskan
sintesis dari subtansi ketiga unsur ideologi tersebut dalam
istilah”sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi”.
Pada 1934, Soekarno diasingkan ke Ende, daerah terpencil di pulau
Flores, yang memberinya banyak waktu untuk merenung dan
mematangkan konsepsi “sosio-nasionalisme” dan “sosio-
demokrasi” itu. Momen perjumpaan dan pertukaran pikiran itu
memunculkan pertanyaan reflektif, didalam konsepsi soekarno
terdahulu tentang “nasionalisme, islamisme, dan marxisme”, di
mana posisi ibunya sendiri yang notabene beragama Hindu, dan
posisi para pastor katolik yang bersimpati pada perjuangannya.
Selain asas “sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi” yang telah
ia rumuskan selama di Bandung, pada masa di ende mulai
terpikirkan mengenai asas “sosio-religius”. Pada titik ini,
kandungan Pancasila menemukan bentuk awalnya.

3
b) Fase perumusan
Pada pidato 1 juni 1945, Soekarno menyerukan “bahwa kita harus
mencari persetujuan, mencari persetujuan faham”:
Kita bersama-sama mencari persatuan Philosophische
grodslag, mencari satu “Weltanschauung” yang kita
semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara
Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar
3
setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara
Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui,
pendeknya kita semua mencari satu modus.
Kemudian, ia mengajukan lima prinsip yang menurutnya menjadi
titik temu segenap elemen bangsa. Kelima prinsip tersebut adalah:

Pertama: Kebangsaan Indonesia


Baik Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan
yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum
Islam, semuanya telah mufakat. … kita hendak mendirikan suatu
negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat
satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang
kaya,---tetapi “semua buat semua”. … “Dasar pertama, yang baik
dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan”.

Kedua: Internasionalisme atau perikemanusiaan


Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang
menyendiri,bukan chauvinisme. … Kita harus menuju persatuan
dunia, persaudaraan dunia. Kita bukan saja harus mendirikan
negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada
kekeluargaan bangsa-bangsa.

Ketiga: Mufakat atau demokrasi


Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar
permusyawaratan. … Kita mendirikan negara “semua buat
semua”, satu buat semua, semua buat satu. Saya yakin, bahwa
syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah

3
Latif, Yudi. 2018. Wawasan pancasila: bintang penuntut kebudayaan . Bandung: Mizan Media
Utama hal.43

4
permusyawaratan, perwakilan. … Apa-apa yang belum
memuaskan, kita bicarakan di dalam perusyawaratan.

Keempat: Kesejahteraan sosial


Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan
demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup,
yakni politek economische democratie. Yang mampu
mendatangkan kesejahteraan sosial. …Maka oleh karena itu
jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai
rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale
rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek
Saudara-saudara, tetapi pun di atas lspsngsn ekonomi kita harus
mengadakan oersamaan, artinya kesejahteran bersama yang
sebaik-baiknya.

Kelima: Ketuhanan yang berkebudayaan


Prinsip Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. … Bahwa prinsip kelima dari pada negara
kita ialah ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang
berbudi pekerti luhur. Ketuhanan yang hormat-menghormati satu
sama lain.

Kelima perinsip itu disebut Soekarno dengan “Pancasila”. “sila


artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita
mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.” Pidato Soekarno
tentang pancasila itu begitu heroik, empatik, berbobot, dan runtut
sehingga mendapat sambutan meriah dengan tepukan bergumuruh
dari para anggota BPUPK, yang mengisyaratkan persetujuan secara
aklamasi.4

Pada akhir masa persidangan pertama, Ketua BPUPK


membentuk panitia kecil yang bertugas untuk menyusun rumusan
tentang dasar negara yang dapat disetujui golongan nasionalis
religius dan islam nasionalis dengan pidato Soekarno sebagai
bahan utamanya ditambah usul dari anggota BPUPK lainnya.
Panitia kecil ini juga bertugas mengumpulkan usul-usul para
anggota yang akan dibahas pada masa sidang berikutnya (10-17

4
Latif, Yudi. 2018. Wawasan pancasila: bintang penuntut kebudayaan . Bandung: Mizan Media Utama
hal.44

5
Juli 1945). Panitia kecil (Panitia Delapan) yang resmi ini
beranggotakan dibawah pimpinan Soekarno terdiri dari enam orang
wakil golongan kebangsaan dan dua orang wakil golongan islam:
M. Hatta, M.Yamin, A. Maramis, M. Sutarjo Kartohadikoesoemo,
Otto Iskandar Dinata (golongan kebangsaan), Ki Bagoes
Hadikoesmo, dan K.H. Wachid Hasjim (golongan islam). 5
Di ujung pertemuan pada 22 juni, soekarno mengambil inisiatif
informal lainnya, yakni membentuk panitia kecil (“tidak resmi”)
berangotakan sembilan orang yang bertugas merumuskan Pancasila
sebagai dasar negara dalam suatu rancangan teks proklamasi.
Kesembilan orang tersebut adalah:

-Soekarno (Ketua)
-Mohammad Hatta
-Muhammad Yamin
-A,A. Maramis
-Soebarjo (golongan kebangsaan)
-K.H.Wachid Hasjim
-K.H. Kahar Moezakir
-H. Agoes Salim,dan
-R. Abikusno Tjokrosoejoso (golongan islam)

Karena penghormatan Soekarno pada golongan islam


komposisi panitia sembilan ini lebih seimbang ketimbang panitia
Delapan (bentuk resmi BPUPK). Panitia Sebilan ini pun di ketuai
Soekarno, yang dibentuk sebagai ikhtiar untuk mempertemukan
pandangan antara dua golongan tersebut menyangkut dasar negara.
Mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan paham antara kedua
golongan ini, namun dengan komposisi yang relatif seimbang
antara dua golongan tersebut. Panitia ini berhasil menyepakati
rancangan preambul yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila,
yang kemudian ditandatangani setiap anggota Pada 22 Juni. Oleh
Soekarno rancangan preambul itu diberi nama “Mukaddimah”,
oleh M.Yamin dinamakan “Piagam Jakarta”, dan oleh Sukiman
Wirjosandjojo disebut “Gentlemen’s Agreement”.
Prinsip “internsionalisme atau perikemanusiaan” tetap
diletakkan pada sila kedua, tetapi redaksinya mengalami
5
Latif, Yudi. 2018. Wawasan pancasila: bintang penuntut kebudayaan . Bandung: Mizan Media Utama hal.
48

6
penyempurnaan menjadi “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Prinsip “kebangsaan Indonesia” berubah posisinya dari sila
pertama menjadi sila ketiga. Bunyinya menjadi “persatuan
indonesia”. Prinsip “mufakat atau demokrasi” berubah posisinya
dari sila ketiga menjadi sila keempat. Bunyinya menjadi
“kerakyatan oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-
perwakilan”. Prinsip “kesejahteraan sosial” berubah posisinya dari
sila keempat menjadi sila kelima. Bunyinya menjadi “keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Hasil rumusan Piagam Jakarta dan berbagai usulan yang
berhasil dihimpun selama reses itu kemudian dilaporkan dan
didiskusikan pada masa persidangan kedua BPUPK(10-17 Juli
1945). Ketika melaporkan hasil-hasil yang dilakukan panitia kecil
(resmi) pada 10 juli, Soekarno menyadari bahwa kegiatan
pertemuan dan rumusan-rumusan yang dihasilkannya itu
melanggar formalitas. Bukan hanya tempat dan mekanismenya
yang tidak resmi, meliankan melampaui kewenangannya.
Hasil rumusan Piagam Jakarta itu menimbulkan perdebatan
yang tajam menyangkut penyantuman “tujuh kata” sebagai anak
kalimat dari sila ketuhanan, dengan segala turunannya. Keberatan
terhadap pencantuman “tujuh kata” tersebut bukan hanya datang
dari golongan kebangsaan, melainkan juga ada variasi pandangan
di kalangan golongan islam sendiri.
6

c) Fase pengesahan
Sejak 18 Agustus 1945, Pancasila menjadi dasar filsafat
negara (Philosophische grondslag), pandangan hidup
(weltanschauung) bangsa, dan ideologi negara Indonesia. Dalam
rangkaian perubahan konstitusi tersebut, rumusan redaksional
Pancasila memang mengalami beberapa perubahan tetapi urutan
silanya tetap. Dalam pembukaan konstitusi Republik Indonesia
Serikat (RIS), rumusannya adalah:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Perikemanusiaan
3) Kebangsaan
4) Kerakyatan
5) Keadilan sosial
6
Latif, Yudi. 2018. Wawasan pancasila: bintang penuntut kebudayaan . Bandung: Mizan Media Utama
hal.49

7
Adapun dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS 1950) rumusannya adalah:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kedaulatan rakyat
5) Keadilan sosial

Meski susunan redaksional Pancasila mengalami


perubahan, prinsip-prinsip pokok (kandungan nilai) setiap
sila Pancasila secara subtansif tidak berubah. Dengan kata
lain, hal yang paling prinsipil dari Pancasila bukanlah pada
urutan dan susunan redaksionalnya, melainkan pada prinsip
pokok (kandungan nilai) sila-sila Pancasila, sebagaimana
dijabarkan Soekarno pada pidato 1 Juni 1945. Lima sila itu
dipandang sebagai kristalisasi dari falsafah dan pandangan
hidup bangsa yang bersifat ideal dan relatif ajeg, yang bisa
dijadikan ideologi nrgara-bangsa dan diposisikan sebagai
sumber dari segala sumber hukum atau metahukum yang
membentuk norma dasar (Grundnorm) negara.
Rumusan final Pancasila sebagai dasar negara yang
secara konstitusional mengikat kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan bukanlah rumusan Pancasila versi 1 Juni atau
22 Juni, melainkan versi 18 Agustus 1945. Rumusan final
pancasila ini mendapatkan pengukuhan setelah Dekrit
78
Presiden 5 Juli 1959, yang mengembalikan Indonesia ke
UUD NRI 1945. Dengan sedikit perubahan pada rumusan
sila keempat, yakni “permusyawaratan-perwakilan” di ubah
menjadi “permusyawaratan/perwakilan”, sesuai dengan
yang terdaftar dalam Berita Republik Indonesia Tahun II
No.7.

7
Kaelan, H. 2013. Negara kebangsaan pancasila. Yogyakarta:pradigma
8
Latif, Yudi. 2018. Wawasan pancasila: bintang penuntut kebudayaan . Bandung: Mizan Media Utama

8
2. Wawasan Konseptual
Sejak 18 Agustus 1945, Pancasila menjadi dasar falsafah
negara (Philosophische grondslag), ideologi negara, dan pandangan
hidup bangsa (Weltanschauung), serta kaidah fundamental negara
Indonesia
Tentang istilah “Philosophische grondslag”, ia definisikan
sebagai “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk
di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka”. Fase “untuk di
atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka” menjelaskan bahwa
Pancasila sebagai Philosophische grondslag merupakan pandanan
dari istilah “dasar negara”, pengertian Pancasila sebagai “dasar
negara” tidak lain adalah Pancasila sebagai “dasar filsafat/falsafah
negara”.
Secara umum bisa dijelaskan bahwa filsafat sebagai filsafat
tidak otomatis menjadi Weltanschauung. Pemikiran filsafat itu
harus dijadikan sikap dan pendirian orang/sekelompok orang
tentang dunia kehidupan.
Pancasila yang sejak awal ditawarkan Bung Karno sebagai
dasar filsafat (Philosophische grondslag) negara, mengalami
beberapa proses metodologis yang bisa dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, filsafat pancasila adalah sebuah wawasan
dunia (Weltanschauung) politis, bukan wawan dunia
keagamaan atau etno-kultural.
Kedua, filsafat Pancasila bukanlah sebuah
artifisialitas politis, melainkan artikulasi suatu dunia-
kehidupan (Lebenswelt).
Pancasila sebagai falsafah, pandangan hidup, dan ideologi
kenegaraan Indonesia itu mengandung konsepsi hukumnya
(Rechtsidee) tersendiri. Bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai jiwa
bangsa menempati sebagai norma dasar bernegara
(Grundnorm/Staatsfundamentalnorm) yang menjadi sumber dari
segala sumber hukum di Indonesia.

3. Wawasan Yuridis
Grundnorm (norma dasar) merupakan kaidah tertinggi,
fundamental, dan menjadi inti (kern) setiap tatanan hukum dan
negara, yang bertitik tolak pada volksgeist (jiwa bangsa). Sebagai
pancaran dari jiwa bangsa, norma dasar ini tidak dibentuk oleh

9
suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat “ditetapkan
terlebih dahulu” (presupposed) oleh masyarakat dalam suatu
negara dan selanjutnya menjadi tempat bergantungnya norma-
norma hukum di bawahnya.

Hans Nawiskiy, dalam teorinya “die theorie von


stufenordnung der Rechtsnormen”, menamai norma dasar negara
itu tidak dengan sebutan Grundnorm (staatsgrundnorm), tetapi
dengan istilah staatsfundamentalnorm (norma fundamental
negara).

Penggunaan istilah Groundnorm oleh Hans Kelsen memang


dalam konteks teorinya yang membahas jenjang norma secara
umum, dalam arti berlaku untuk semua jenjang norma (termasuk
norma hukum negara). Adapun Hans Nawiasky membahas teori
jenjang norma yang lebih khusus, yakni dalam kaitan dengan
jenjang norma suatu negara. Lepas dari perbedaan istilah tersebut,
keduanya sepakat tentang tatnan hierarki hukum yang bergantung
pada norma (kaidah) fundamental negara (M.F.I.Soeprapto, 2007,
4-56).
Konstitusi proklamasi, baik dalam pembukaannya maupun
dalam pasal-pasal batang tubuhnya dapat memberikan landsan
ideal dan struktural yang kuat untuk bekerja setingkat demi
setingkat merealisasikan dasar, visi, dan misi negara Pancasila.
Dalam pembukaan konstitusi Proklamasi terkandung empat
pokok pikiran sebagai turunan dari prinsip-prinsip Pancasila.

1) “Negara”—begitu bunyinya—yang melindungi


segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2) Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
3) Pokok ketiga yang terkandung dalam “Pembukan”
ialah negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar
atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.
4) Pokok pikiran keempat yang terkandung dalam
“Pembukaan” ialah negara berdasar atas ketuhanan

10
Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab.
Untuk mewujudkan empat pokok pikiran tersebut
pembukaan konstitusi proglamasi juga menggariskan empat
fungsi negara (sistem pemerintahan negara), yang tertuang
dalam alinea keempat:
1) Melindungi segenap bangsa indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia;
2) Memajukan kesejahteraan umum;
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Keempat pokok pikiran dan fungsi negara tersebut
merupakan pancaran dari keyakinan filsafati, keyakinan historis,
keyakinan religius, dan misi suci yang harus menjiwai seluruh
pasal-pasal pada batang tubuh UUD.
Dalam perkembangan lebih lanjut, berdasarkan UU Nomor
10 tahun 2004, sebagai pengganti TAP MPR Nomor
III/MPR/2000, kedudukan pancasila sebagai sumber segala sumber
hukum negara tetap diakui. Ditambahkan pula dalam penjelasan
Pasal 2 UU 10/2004, penempatan Pancasila sebagai sumber hukum
dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan pembukaan
UUD 1945, yang menempatkan Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi negara, sekaligus dasar filosifis bangsa dan negara.
Selanjutnya, UU Nomor 10/2004 ini diganti dengan UU
Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan. Dalam UU 12/2011, kedudukan Pancasila sebagai
sumber segala sumber hukum negara tetap dikukuhkan. Pasal 2 UU
12 tahun 2011 menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber
segala sumber hukum negara. Penjelasan pasal 2 UU 12/2011
9
kemudian menjabarkan apa maksud dari sumber dari segala
sumber hukum negara.

9
Latif, Yudi. 2011. Negara paripurna: Historitas, rasionalitas, dan aktualitas pancasila. jakarta: Gramedia
pustaka Utama.

11
Di bawah norma dasar pancasila, jenis dan hierarki
peraturan perundang-udangan menurut pasal 7 ayat 1 UU 12/2011
adalah sebagai berikut:
a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan MPR;
c. UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU;
d. PERATURAN Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan daerah provinsi; dan
g. Peraturan daerah kabupaten/kota.

Dengan wawasan yuridis seperti itu, segenap bangsa Indonesia,


baik penyelenggara negara maupun warga negara harus meyakini,
mengetahui, dan meneladani nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara tanpa kecuali. Dengan landasan hukum
yang kuat ini, maka secara yuridis, ideologi Pancasila harus
dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan terkendali, baik untuk
menegakkan Pancasila sebagai dasar negara mau pun sebagai
prinsip etis dari produk hukum di Indonesia.

4. Wawasan visi dan misi


Dalam merumuskan visi dan misi negara berlandaskan
Pancasila itu, para pendiri bangsa Indonesia tidak terbatas pada
kebebasan sebagai “hak positif”. Oleh karena itu, dalam alam
pikiran para pendiri bangsa, revolusi nasional untuk mencapai
kemerdekaan dari penjajah dan penindas harus di susul revolusi
sosial untuk mewujudkan hal-hal yang lebih positif.
Ujung dari semangat persamaan , kemandiriaan, kejujuran,
alturisme, dan persatuan adalah pelayanan kemanusiaan. Maka
pelayanan disini bukan hanya dalam bentuk kesiapan mental untuk
menunaikan kewajiban sosial sesuai dengan tugas dan fungsi,
melainkan juga dalam bentuk kerja keras mengaktualisasikan
potensi diri hingga meraih prestasi tertinggi di bidang masing-
masing, dengan itu memberikan yang terbaik bagi kemulian bangsa
dan umat manusia. 10
Menjadi “berdulat” merupakan pancaran cita moral sila
kerakyatan. Bahwa menjadi bangsa berdaulat berarti memiliki
kemandirian “ke luar” (dalam relasi internasional) dan “ke dalam”
(relasi dalam negri) saat mengambil keputusan.
10
Latif, Yudi. 2018. Wawasan pancasila: bintang penuntut kebudayaan . Bandung: Mizan Media Utama

12
Menjadi “adil dan makmur” merupakan pancaran cita
moral sila keadilan sosial. Hal itu ialah perwujudan khusus
kemanusiaan melalui cara mencintai sesama manusia dengan
berbagai kebutuhan jasmaniah secara fair. Untuk itu, disamping
kemerdekaan (emansipasi) politik, perlu juga ada kemerdekaan
(emansipasi) ekonomi.
Dalam rangka merealisasikan visi negara merdeka tersebut,
segenap elemen negara-bangsa dituntut untuk mengemban misi
negara, sebagaimana tertuang dalam alenia keempat pembukaan
UUD 1945.
Pertama, melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia.
Kedua, memajukan kesejahteraan umum.
Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.

Keempat misi negara-bangsa tersebut sesungguhnya


merupakan perwujudan imperatif moral Pancasila juga.

Misi melindungi merupakan merupakan imperatif moral


ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan. Bahwa setiap warga,
apapun latar primordial dan di mana pun berada, wajib dilindungi
hak hidupnya, hak miliknya, dan martabatnya.

Misi menyejahterakan merupakan imperatif moral keadilan


sosial. Bahwa terwujudnya keadilan dan kesejahteraan merupakan
bukti yang paling nyata dari idealitas pancasila.

Misi mencerdaskan merupakan imperatif dari seluruh sila


Pancasila, utamanya tuntunan moral kerakyatan (demokrasi) dan
keadilan sosial. Bahwa demokrasi pancasila yang hendak
dikembangkan hendak merealisasikan cita permusyawaratan
(deliberatif-argumentatif) dan cita hikmat kebijaksanaan (kearifan
konsensual).
Misi melaksanakan ketertiban dunia merupakan imperatif
moral kemanusiaan. Sila kemanusian yang adil dan beradab
mengandung visi kebangsaan yang humanis, dengan komitmen

13
besar untuk menjalin persaudaraan dalam pergaulan antarsesama
anak negri berlandaskan nilai-nilai keadilan dan keadaban, yang
memuliakan hak-hak asasi manusia.

Dalam membumikan prinsip tersebut, para pendiri bangsa


mewariskan suatu kemampuan untuk memadukan antara visi
global dengan kearifan lokal, antara kepentingan nasional dan
kemanusiaan universal. Dalam visi dan misi negara sebagai
cerminan kebebasan positif itu begitu jelas tergambar bahwa
warisan terbaik bangsa ini bukanlah politik ketakutan (politics of
fear), melainkan politik harapan (politics of hope). Bahwa rumah
kebangsaan ini di bangun dengan sepenuh harapan: merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

5. Wawasan implementatif

14
Implementasi Pancasila menghendaki aktualisasi tiga
demensi filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi) yang
bertaut dengan tiga lapis ideologi (keyakinan, pengetahuan, dan
tindakan).
Sebagai kajian filsafati, Pancasila mengandung dasar-dasar
ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
A. Dimensi keyakinan-Ontologis
Alam pikir Pancasila merumuskan ontologi
Pancasila dalam konteks struktur makna terdalam dari idea
yang mendasari pancasila.
Dalam pandangan dunia Pancasila, konsepsi
kemaslahatan hidup bersama itu dicari pendasarannya pada
keyakinan akan kodrat keberadaan manusia sebagai
makhluk dengan sifat-sifat “kehanifan” (kecendrungan
pada kebaikan) religiositas, humanitas, nasionalitas,
sovereihnitas, dan sosiolitas.
Secara esensial, setiap sila Pancasila mencerminkan
suatu prespektif keyakinan akan keutuhan integritas kodrat
kemanusiaan. Bahwa kodrat manusia pada dasarnya bisa
dikerucutkan kedalam lima unsur.
Sila pertama meyakini bahwa kodrat keberadaan
manusia merupakan perwujudan istimewa dari semesta
sebagai kristalisasi dari cinta kasih Tuhan (yang tidak
terhingga), yang dengan keistimewaanya itu tidaklah
menghadirkan kerusakan (fasad) bagi kebersamaan,
melainkan harus dapat menjaga harmoni (maslahat-
manfaat) bagi kebersamaan.
Dengan prinsip persamaan manusia di hadapan
tuhan (yang tidak terhingga), tiap-tiap manusia dimuliakan
kehidupan, kehormatan, hak-hak, dan kebebasannya, yang
dengan kemerdekaan pribadinya itu manusia menjadi
makhluk moral yang harus bertanggung jawab atas pilihan-
pilihannya. Demi mewujudkan prinsip persamaan dan
persaudaraan sesama makhluk yang beragam jenis dan
bentuknya, manusia sebagai kristalisasi dari cinta Tuhan
(yang tidak terhingga) perlu mengembangkan semangat
ketuhanan yang welas asih, ketuhanan yang
berperikemanusiaan, serta ketuhanan yang berkebudayaan
dan berkeadaban.

15
Sila kedua meyakini bahwa keberadaan manusia
merupakan ada bersama. Manusia tidak bisa berdiri sendiri,
untuk ada bersama dengan yang lain, manusia tidak bisa
tidak harus ada-bersama-dengan-cinta, dengan
mengembangkan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sila ketiga meyakini manusia sebagai makhluk
sosial memerlukan ruang hidup yang konkret dan pergaulan
hidup dalam realitas kemajemukan. Cara menghidupkan
cinta kasih dalam kebinekaan manusia yang mendiami
tanah-air sebagai geopolitik bersama itulah manusia
mengembangkan rasa kebangsaan.
Sila keempat meyakini bahwa dalam
mengembangkan kehidupan bersama, cara mengambil
keputusan yang menyangkut masalah bersama di tempuh
dengan semangat cinta kasih, ukuran utama dari cinta
adalah saling menghormati. Cara menghormati manusia
dengan memandangnya sebagai subjek yang berdaulat,
bukan objek manipulasi, eksploitasi, dan eksklusi, itulah
yang disebut demokrasi dalam arti sejati.
Sila kelima meyakini bahwa keberadaan manusia
adalah roh yang jasmani. Secara jasmaniah, manusia
memerlukan papan, sandang, pangan, dan berbagai
kebutuhan materil lainnya. Perwujudan khusus
kemanusiaan melalui cara mencintai sesama manusia
dengan berbagai
kebutuhan jasmaniah secara fair itulah yang disebut dengan
keadilan sosial (Driyarkara, 2006: 831-865).
Dengan demikian, semua sila dipersatukan oleh cinta kasih.
Semangat cinta kasih untuk bekerja sama, tolong-
menolong, dan saling menghormati itulah yang dalam kata
kerjanya disebut Bung Karno dengan iatilah “gutong
royong”.

16
B. Dimensi pengetahuan-epistemologis
Secara kultural, wawasan epistemologi Pancasila
merupakan pantulan dari sistem mental primordial budaya
nusantara, yang bersenyawa dengan pandangan hidup dari
luar yang sejalan.
Spiritualitas-ketuhanan adalah jantung budaya
nusantara, dengan kaum cendikiawan (guru) keagamaan
sebagai agen budaya terpentingnya. Berbeda dengan filsafat
barat yang lebih objektif dengan kecendrungan
mengarahkan kesadaran pada dunia di luar dirinya, filsafat
nusantara lebih reflektif-introspektif dengan mengarah
kesadaran pada dirinya sendiri.
Dalam pandangan dunia “tritangtu” (tiga kepastian)
“Aji Luhung” (asah keluhuran ketuhanan)
“Aji Komara” (asah aura antarmanusia)
“Aji Wiwaha” ( asah perawatan alam semesta)

Dalam kosmologi Hindu-BALI, realasi triadik ini


bernama “Tri Hita Karana” (tiga penyebab kebahagian).
Hal itu ialah keharmonisan hubungan “manusia dengan
tuhannya” (Sanghyang jagatkarana), “manusia dengan alam
sekitar”(bhuana), serta “manusia dengan
sesamanya”(manusia).
Dalam kosmologi Islam, relasi triadik ini diarahkan
untuk menguatkan ikatan kasih “manusia dengan Allah”
(hablu minallah), dengan “sesama manusia” (hablun mun
al-annas), dan dengan “alam semesta”(hablun min-al-
alam/min-al-ardhi wa-al-samawati/khalifatun fi al-ardhi).

Pandangan dunia religi primordial di Tanah Air ini


bersifat iluminasionis. Bahwa segala sesuatu yang ada di
dunia ini merupakan pasangan-pasangan yang saling
mengidentifikasikan, saling melengkapi, dan saling
bergantung yang terpancar dari sumber yang sama.

17
Pandangan hidup modren, yang berbasis pada
logika Aristotelian, menolak entitas kontradiktif yang
mengakui adanya kebenaran pada kedua sisi yang saling
bertentangan. Akan tetapi, dalam logika primordial suku-
suku bangsa di Indonesia, segala sesuatu itu bersifat mono-
dualisme atau mono-pluralisme.

C. Dimensi tindakan-aksiologis
 Tindakan sebagai karakter budaya kewargaan
a. Sila ketuhanan yang maha Esa
 Percaya dan taqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-
maisng menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.
 Hormat dan menghormati serta
bekerjasama antara pemeluk agama
dan penganut-penganut kepercayaan
yang berbeda-beda sehingga terbina
kerukunan hidup.
 Saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaan masing-
masing
 Tidak memaksakan suatu agama atau
kepercayaannya kepada orang lain.

b. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab

 Mengakui persamaan derajat


persamaan hak dan persamaan
kewajiban antara sesama manusia.
 Saling mencintai sesama manusia.
 Mengembangkan sikap tenggang
rasa.
 Tidak semena-mena terhadap orang
lain.
 Menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan.

18
 Gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan.
 Berani membela kebenaran dan
keadilan.
 Bangsa Indonesia merasa dirinya
sebagai bagian dari seluruh umat
manusia, karena itu dikembangkan
sikap hormat-menghormati dan
bekerja sama dengan bangsa lain.

c. Sila persatuan Indonesia

 Menempatkan kesatuan, persatuan,


kepentingan, dan keselamatan bangsa
dan negara di atas kepentingan
pribadi atau golongan.
 Rela berkorban untuk kepentingan
bangsa dan negara.
 Cinta tanah air dan bangsa.
 Bangga sebagai bangsa Indonesia
dan bertanah air Indonesia.
 Memajukan pergaulan demi
persatuan dan kesatuan bangsa yang
ber-Bhinneka Tunggal Ika.

d. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat


kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan

 Mengutamakan kepentingan negara


dan masyarakat.
 Tidak memaksakan kehendak kepada
orang lain.
 Mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama.
 Musyawarah untuk mencapai
mufakat diliputi semangat
kekeluargaan.
 Dengan iktikad baik dan rasa
tanggung jawab menerima dan
melaksanakan hasil musyawarah.

19
 Musyawarah dilakukan dengan akal
sehat dan sesuai dengan hati nurani
yang luhur.
 Keputusan yang diambil harus dapat
dipertanggung jawabkan secara
moral kepada Tuhan Yang Maha
Esa, menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan.

e. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat


Indonesia

 Mengembangkan perbuatan-
perbuatan yang luhur yang
mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan gotong-royong.
 Bersikap adil.
 Menjaga keseimbangan antara hak
dan kewajiban.
 Menghormati hak-hak orang lain.
 Suka memberi pertolongan kepada
orang lain.
 Menjauhi sikap pemerasan terhadap
orang lain.
 Tidak bersifat boros.
 Tidak bergaya hidup mewah.
 Tidak melakukan perbuatan yang
merugikan kepentingan umum.
 Suka bekerja keras.
 Menghargai hasil karya orang lain.
 Bersama-sama berusaha
mewujudkan kemajuan yang merata
dan berkeadilan sosial.
11

 Tindakan sebagai karakter kelembagaan sosial-


politik
 Tindakan sebagai karakter kelembagaan ekonomi
BAB III
PENUTUP

11
https://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila

20
A. Kesimpulan
Yang diuraikan di atas memberikan semacam wawasan dasar, yang
berisi cakupan, kerangka konseptual, kerangka interpretatif, dan kerangka
operatif dalam usaha memahami dan mengamalkan Pancasila.
Dengan memahami wawasan dasar ideologi Pancasila diharapkan
bisa membantu menemukan titik-titik kesamaan dan kepaduan dalam
usaha membudayakan Pancasila.

Daftar Pustaka

21
Latif, Yudi. 2018. Wawasan pancasila: bintang penuntut kebudayaan . Bandung:
Mizan Media Utama
Latif, Yudi. 2011. Negara paripurna: Historitas, rasionalitas, dan aktualitas
pancasila. jakarta: Gramedia pustaka Utama
Kaelan, H. 2013. Negara kebangsaan pancasila. Yogyakarta:pradigma
. Hatta, Mohammad (2015). Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977). Jakarta:
Kompas. Hlm
https://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila

22

Anda mungkin juga menyukai