PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
untuk tumbuhnya kreatifitas, diskresi dan kebebasan bagi Pemerintah Provinsi dan
identitas diri dan membangun wilayahnya. Peluang ini telah ditanggapi secara positif
Daerah Istimewa Aceh oleh komponen masyarakat, baik legislatif maupun eksekutif
terdapat di Aceh dan satu lagi ditingkat nasional. Yang pertama, berkaitan dengan
konflik Aceh yang timbul akibat adanya Gerakan Aceh Merdeka sejak tahun 1976.
Sedang yang kedua berkaitan dengan reformasi yang menuntut perubahan disegala
antara pusat dan daerah. Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa telah “memaksa”
1
Pemerintahan Daerah. Sedang konflik Aceh yang berlangsung berlarut-larut telah
“mendorong” sebagian anggota DPR untuk mengajukan usul inisiatif yang lantas
Pemerintah Pusat mengakui keistimewaan Aceh, yang telah lama disandang oleh
Provinsi Daerah Istimewa Aceh yaitu sejak tahun 1959, salah satu bentuk dari
Aceh hal ini di sebutkan pada pasal 1 butir 21 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006
khalayak, namun juga mengikat hakim atau penguasa. Seperti Aceh yang mempunyai
menerapkan hukum Islam. Penerapan tersebut oleh pemerintah diatur dalam Undang-
2
Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Hal ini juga dikarenakan
status Aceh yang menjadi daerah otonomi khusus dengan disahkan Undang-Undang
No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Peradilan syariat Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional
dalam lingkungan Peradilan Agama yang bebas dari pengaruh pihak manapun.
Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 128 ayat (2) Undang-Undang
Syar’iyyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada
49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
3
Ketentuan hukum syariat Islam hanya berlaku bagi umat Islam yang berada di
wilayah Aceh, Menurut Qanun No 10 Tahun 2002, pasal 53 dan 54, Hukum materil
dan formil yang bersumber dari syariat Islam akan dilaksanakan di Aceh, dituangkan
dalam bentuk Qanun, Salah satunya adalah Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Hukum Jinayat.
Istilah Jinayah atau Jarimah merupakan hal yang sering kali digunakan oleh para
Fuqaha. Jinayah berasal dari kata Jana yang berarti dosa atau salah, sedangkan
Jinayah secara bahasa adalah perbuatan dosa atau perbuatan salah. Dalam bahasa
hukum Jinayah diartikan sebagai sebuah tindak pidana. Adapun secara terminologi
diartikan perbuatan-perbuatan yang dilarang olah Syara’ yang diancam oleh Allah
bahwa pelaksanaan Syariat Islam merupakan hak istimewa bagi Aceh. Kedua,
undang ini disebutkan bahwa peraturan daerah Aceh (qanun Aceh) dan mahkamah
Provinsi Aceh mengesahkan Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum
Jinayat. Dalam Qanun ini membincangkan tentang perbuatan jarimah dan ‘uqubat
4
(hudud atau ta’zir) bagi pelaku perbuatan jarimah. Adapun perbuatan jarimah dan
5
KESALAHAN HUKUMAN
1 2
IKHTILATH Perbuatan bermesraan seperti bercumbu,
bersentuh-sentuhan, berpelukan dan berciuman
antara lelaki dan perempuan yang bukan suami
istri tanpa ada unsur paksaan baik di lakukan
pada tempat terbuka atau tertutup. Jika dengan
sengaja melakukan perbuatan ini maka
hukumannya paling banyak 30 kali cambukan
atau 300 gram emas murni atau penjara 30 bulan
dan bagi yang menyediakan fasiliti atau mem-
promosikan ‘uqubatnya paling banyak 45 kali
cambu-kan atau 450 gram emas murni atau
penjara 45 bulan.
ZINA Jika dengan sengaja melakukan perbuatan ini
maka hukumannya paling banyak 100 kali
cambukan dan jika mengulanginya kembali
maka di tambah paling banyal 120 kali
cambukan atau denda 120 gram emas murni atau
penjara 12 bulan. Adapun bagi yang
menyediakan fasiliti atau mempromosikan
‘uqubatnya paling banyak 100 kali cambukan
atau 1000 gram emas murni atau penjara 100
bulan.
PELECEHAN Jika dengan sengaja melakukan perbuatan
SEKSUAL jarimah ini maka dikenakan paling banyak 45
kali cambukan atau 450 gram emas murni atau
penjara 45 bulan. Jika melakukan perbuatan
jarimah ini terhadap anak maka ‘uqubatnya
paling banyak 90 kali cambukan atau 900 gram
emas murni atau penjara 90 bulan.
PEMERKOSAAN Jika dengan sengaja melakukan perbuatan ini
maka hukumannya paling sedikit 125 kali
cambukan dan paling banyak 175 kali cambukan
atau 1250-1750 gram emas murni atau penjara
antara 125-175 bulan. Adapun bagi orang yang
melakukan perbuatan ini terhadap orang yang
memiliki hubungan mahram maka hukumnnya
antara 150-200 kali cambukan atau denda 1500-
2000 gram emas murni atau penjara 150-200
bulan. Jika terhadap anak maka ‘uqubatnya
antara 150-200 kali cambukan atau denda 1500-
6
KESALAHAN HUKUMAN
1 2
2000 gram emas murni atau penjara 150-200
bulan.
QADZAF Menuduh seseorang melakukan zina tanpa ada
bukti yang jelas dan 4 orang saksi. ‘Uqubatnya
ialah 80 kali cambukan jika dengan sengaj
melakukan qadzaf, jika mengulangi
perbuatannya kembali maka di tambah huuman
ta’zir ialah paling banyak 400 gram emas murni
atau penjara 40 bulan.
Dari penjelasan table di atas peneliti tertarik untuk meneliti tentang perbuatan
kabupaten bireuen yang mana tercatat bahwa kabupaten bireuen memiliki angka
kasus tertinggi nomor 3 tahun 2021 setelah Banda Aceh dan Aceh Utara terhadap
pelecehan seksual. Berikut merupakan table jumlah kasus pelecehan seksual dan
Tabel 1.2 Data Kasus Pelecehan seksual pada anak di Kabupaten Bireuen
selama 3 Tahun Terakhir
Korban (Anak)
Jumlah
No Tahun Laki-
Kasus Perempuan
Laki
1 2019 16 - 16
2 2020 21 1 20
3 2021 12 - 12
JUMLAH 49 1 48
(Sumber : Readers.ID, 1 November 2021)
Dari penjelasan table diatas dapat kita lihat bahwa kasus tertinggi terhadap
7
sebanyak 5 kasus, hal ini dikarenakan anak-anak tidak bersekolah selama pandemi
upaya dalam menegakkan prinsip hukum islam terhadap individu atau masyarakat
Aceh yang telah melanggar aturan yang telah disahkan oleh Gubernur dan DPRD
Aceh. Selain itu juga, Qanun Jinayat berfungsi sebagai payung hukum masyarakat
Aceh, baik pemerintah maupun masyarakat Aceh bersama-sama saling memiliki dan
terikat oleh aturan tersebut, karena ini menjadi tanggung jawab bersama.
masyarakat, dan penegak hukum atas pemberlakuan Qanun Jinayat. Pasalnya wujud
keadilan dalam pemberlakuan syari’at Islam merupakan upaya yang dibentuk oleh
pemerintah guna terciptanya kondisi di mana hak-hak setiap masyarakat Aceh tidak
diambil oleh individu yang tidak berhak. Persepsi masyarakat Aceh berbeda lagi,
sebagian ada yang mengartikan bahwa Syari’at islam harus dilaksanakan secara
Al-Quran dan Al-Hadist, golongan ini dipelopori oleh HTI dan FPI Cabang Aceh.
8
Berbeda halnya dengan Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan
hatian sehingga dalam penegakan hukum tidak pula melanggar hukum itu sendiri.
Namun pada kenyataannya pelaksanaan qanun jinayat masih manuai pro dan
keefektifan qanun jinayat ini pun masih dipertanyakan setelah sekian tahun hukum
jinayat menjadi hukum yang diakui oleh Negara untuk diberlakukan di tengah
kejahatan dalam masyarakat khususnya kejahatan yang diatur dalam hukum jinayat
bahkan masih ada penolakan oleh sebagian kecil masyarakat setelah sekian tahun
pelanggaran pun masih terus terjadi, sehingga kenyataan ini tentunya menimbulkan
Aceh dan diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, akan tetapi pada sisi lain setelah
hukum jinayat menjadi yang hukum positif di Aceh tidak berlaku efektif dalam
Qanun Jinayat yang sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan dengan
fenomena yakni :
9
1. Terindikasi Kurang Efektifnya penegakan Qanun Jinayat di Kabupaten
Bireuen.
Berdasara dari Fenomena yang didapat oleh peneliti dan pemaparan dari Latar
Belakang yang menjadi dasar dan ketertiban penulis untuk melakukan penelitian dengan
judul “Dinamika Kebijakan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat
di Kabupaten Bireuen“
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas dapat kita lihat bahwasanya pelaksanaan
qanun jinayat hingga saat ini masih menuai pro dan kontra, serta masih ada
masyarakat yang belum benar-benar mengerti isi dari qanun jinayat tersebut yang
setempat, oleh karenanya pada penelitian ini dapat dirumuskan fenomena sebagai
berikut :
C. Tujuan Penelitian
Bireuen
10
2. Untuk mengetahui dinamika kebijakan qanun jinayat dan pengaruhnya
D. Kegunaan Penelitian
11