Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melahirkan harapan dan membuka peluang

untuk tumbuhnya kreatifitas, diskresi dan kebebasan bagi Pemerintah Provinsi dan

Kabupaten/Kota serta masyarakat Aceh pada umumnya untuk menemukan kembali

identitas diri dan membangun wilayahnya. Peluang ini telah ditanggapi secara positif

ke arah sentralisasi. Penyerahan otonomi khusus dan penggantian nama Provinsi

Daerah Istimewa Aceh oleh komponen masyarakat, baik legislatif maupun eksekutif

bahkan oleh organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat.

Tanggapan yang positif ini memang diperlukan untuk mencegah timbulnya

kemungkinan bahwa pendulum akan berbalik kembali menjadi Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam didasarkan kepada Undang-undang No. 18 Tahun 2001. Lahirnya

Undang-undang ini dilatar belakangi setidak-tidaknya oleh dua fenomena, satu

terdapat di Aceh dan satu lagi ditingkat nasional. Yang pertama, berkaitan dengan

konflik Aceh yang timbul akibat adanya Gerakan Aceh Merdeka sejak tahun 1976.

Sedang yang kedua berkaitan dengan reformasi yang menuntut perubahan disegala

bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara termasuk mengubah pola hubungan

antara pusat dan daerah. Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa telah “memaksa”

pemerintah untuk membuat beberapa kebijakan, diantaranya kebijakan tentang

desentralisasi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

1
Pemerintahan Daerah. Sedang konflik Aceh yang berlangsung berlarut-larut telah

“mendorong” sebagian anggota DPR untuk mengajukan usul inisiatif yang lantas

melahirkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Melalui Undang-Undang ini

Pemerintah Pusat mengakui keistimewaan Aceh, yang telah lama disandang oleh

Provinsi Daerah Istimewa Aceh yaitu sejak tahun 1959, salah satu bentuk dari

pelaksanaan otonomi khusus di Aceh adalah pembentukan Qanun aceh yang

digunakan untuk mengatur tata kehidupan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Qanun Aceh Adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah

provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat

Aceh hal ini di sebutkan pada pasal 1 butir 21 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh. Selain itu disebutkan Qanun kabupaten/kota adalah

peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang

mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota

di Aceh. Di bawahnya ada qanun kabupaten/kota, dalam pasal 1 butir 22 dari

undang-undang tersebut menyatakan, “Qanun kabupaten/kota adalah peraturan

perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur

penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh.”

Qanun umumnya bersifat mengikat, bukan hanya untuk masyarakat atau

khalayak, namun juga mengikat hakim atau penguasa. Seperti Aceh yang mempunyai

hukum yang berbeda dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia dengan

menerapkan hukum Islam. Penerapan tersebut oleh pemerintah diatur dalam Undang-

2
Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Hal ini juga dikarenakan

status Aceh yang menjadi daerah otonomi khusus dengan disahkan Undang-Undang

No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh

sebagai Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

Tentang Pemerintah Aceh, sebagai dasar hukum pelaksanaan syariat Islam.

Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam penyelenggaraan otonomi

khusus dan keistimewaan di bidang syari’at Islam telah membentuk dan

mengesahkan Peraturan Daerah, yaitu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syari’at Islam.

Peradilan syariat Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional

dalam lingkungan Peradilan Agama yang bebas dari pengaruh pihak manapun.

Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan khusus sebagai pengembangan dari

Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 128 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh, yang berbunyi: Mahkamah

Syar’iyyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada

di Aceh. Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah di Aceh sebagaimana diatur pada Pasal

49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara dalam bidang:

a. Hukum keluarga (Ahwalul Syakhshiyah)

b. Hukum ekonomi (Muamalah)

c. Hukum pidana (Jinayah).

3
Ketentuan hukum syariat Islam hanya berlaku bagi umat Islam yang berada di

wilayah Aceh, Menurut Qanun No 10 Tahun 2002, pasal 53 dan 54, Hukum materil

dan formil yang bersumber dari syariat Islam akan dilaksanakan di Aceh, dituangkan

dalam bentuk Qanun, Salah satunya adalah Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Hukum Jinayat.

Istilah Jinayah atau Jarimah merupakan hal yang sering kali digunakan oleh para

Fuqaha. Jinayah berasal dari kata Jana yang berarti dosa atau salah, sedangkan

Jinayah secara bahasa adalah perbuatan dosa atau perbuatan salah. Dalam bahasa

hukum Jinayah diartikan sebagai sebuah tindak pidana. Adapun secara terminologi

diartikan perbuatan-perbuatan yang dilarang olah Syara’ yang diancam oleh Allah

SAW dengan hukuman hadd atau ta’zir.

Pelaksanaan Qanun Jinayat didasarkan pada beberapa aturan perundang-

undangan yaitu: Pertama, Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan Pasal 3

bahwa pelaksanaan Syariat Islam merupakan hak istimewa bagi Aceh. Kedua,

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, dalam undang-

undang ini disebutkan bahwa peraturan daerah Aceh (qanun Aceh) dan mahkamah

Syariyah merupakan bagian dari sistem keadilan di Indonesia. Tahun 2014,

Pemerintah Daerah Aceh melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Provinsi Aceh mengesahkan Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum

Jinayat. Dalam Qanun ini membincangkan tentang perbuatan jarimah dan ‘uqubat

4
(hudud atau ta’zir) bagi pelaku perbuatan jarimah. Adapun perbuatan jarimah dan

‘uqubat yang di implementasikan sebagai berikut:

Tabel 1.1 Perbuatan Jarimah Dan ‘Uqubat Menurut Qanun


Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat.
KESALAHAN HUKUMAN
1 2
KHAMAR Minuman yang memabukkan dan mengandung
alkohol dengan kadar 2% atau lebih. ‘Uqubatnya
ialah cambukan 40 kali jika dengan sengaja
meminum khamar. Jika orang tersebut
mengulangi perbuatannya maka ditambah paling
banyak 40 kali atau denda 400 gram emas murni
atau penjara paling lama 40 bulan. Sedangkan
orang yang menjual, menyimpan dan
memproduksi khamar akan mendapatkan paling
banyak 60 kali cambukan atau 600 gram emas
murni atau penjara paling lama 60 bulan. Jika
dengan sengaja membeli khamar maka paling
banyak 20 kali cambukan atau 200 gram emas
murni atau penjara 20 bulan paling banyak.
MAISIR Perbuatan yang mengandung unsur judi atau
untung-untungan yang dilakukan antara 2 pihak
atau lebih. Jika keuntungannya 2 gram emas
murni maka ‘uqubatnya paling banyak 12
cambukan atau denda 120 gram emas murni atau
penjara 12 bulan. Jika lebih dari 2 gram emas
murni maka paling banyak 30 kali cambukan
atau 300 gram emas murni atau penjara 30 bulan.
Jika dengan sengaja menyediakan fasilitas atau
menyelenggarakan maka paling banyak 45 kali
cambukan, atau 450 gram emas murni atau
penjara 45 bulan.

5
KESALAHAN HUKUMAN
1 2
IKHTILATH Perbuatan bermesraan seperti bercumbu,
bersentuh-sentuhan, berpelukan dan berciuman
antara lelaki dan perempuan yang bukan suami
istri tanpa ada unsur paksaan baik di lakukan
pada tempat terbuka atau tertutup. Jika dengan
sengaja melakukan perbuatan ini maka
hukumannya paling banyak 30 kali cambukan
atau 300 gram emas murni atau penjara 30 bulan
dan bagi yang menyediakan fasiliti atau mem-
promosikan ‘uqubatnya paling banyak 45 kali
cambu-kan atau 450 gram emas murni atau
penjara 45 bulan.
ZINA Jika dengan sengaja melakukan perbuatan ini
maka hukumannya paling banyak 100 kali
cambukan dan jika mengulanginya kembali
maka di tambah paling banyal 120 kali
cambukan atau denda 120 gram emas murni atau
penjara 12 bulan. Adapun bagi yang
menyediakan fasiliti atau mempromosikan
‘uqubatnya paling banyak 100 kali cambukan
atau 1000 gram emas murni atau penjara 100
bulan.
PELECEHAN Jika dengan sengaja melakukan perbuatan
SEKSUAL jarimah ini maka dikenakan paling banyak 45
kali cambukan atau 450 gram emas murni atau
penjara 45 bulan. Jika melakukan perbuatan
jarimah ini terhadap anak maka ‘uqubatnya
paling banyak 90 kali cambukan atau 900 gram
emas murni atau penjara 90 bulan.
PEMERKOSAAN Jika dengan sengaja melakukan perbuatan ini
maka hukumannya paling sedikit 125 kali
cambukan dan paling banyak 175 kali cambukan
atau 1250-1750 gram emas murni atau penjara
antara 125-175 bulan. Adapun bagi orang yang
melakukan perbuatan ini terhadap orang yang
memiliki hubungan mahram maka hukumnnya
antara 150-200 kali cambukan atau denda 1500-
2000 gram emas murni atau penjara 150-200
bulan. Jika terhadap anak maka ‘uqubatnya
antara 150-200 kali cambukan atau denda 1500-

6
KESALAHAN HUKUMAN
1 2
2000 gram emas murni atau penjara 150-200
bulan.
QADZAF Menuduh seseorang melakukan zina tanpa ada
bukti yang jelas dan 4 orang saksi. ‘Uqubatnya
ialah 80 kali cambukan jika dengan sengaj
melakukan qadzaf, jika mengulangi
perbuatannya kembali maka di tambah huuman
ta’zir ialah paling banyak 400 gram emas murni
atau penjara 40 bulan.

(Sumber : Diolah Oleh Penulis 2021)

Dari penjelasan table di atas peneliti tertarik untuk meneliti tentang perbuatan

jarimah pelecehan seksual dan maisir, peneliti juga membatasi penelitian di

kabupaten bireuen yang mana tercatat bahwa kabupaten bireuen memiliki angka

kasus tertinggi nomor 3 tahun 2021 setelah Banda Aceh dan Aceh Utara terhadap

pelecehan seksual. Berikut merupakan table jumlah kasus pelecehan seksual dan

maisir yang terjadi selama 3 tahun terakhir yaitu 2019-2021 :

Tabel 1.2 Data Kasus Pelecehan seksual pada anak di Kabupaten Bireuen
selama 3 Tahun Terakhir
Korban (Anak)
Jumlah
No Tahun Laki-
Kasus Perempuan
Laki
1 2019 16 - 16
2 2020 21 1 20
3 2021 12 - 12
JUMLAH 49 1 48
(Sumber : Readers.ID, 1 November 2021)

Dari penjelasan table diatas dapat kita lihat bahwa kasus tertinggi terhadap

pelecehan seksual pada anak di Kabupaten Bireuen meningkat di tahun 2020

7
sebanyak 5 kasus, hal ini dikarenakan anak-anak tidak bersekolah selama pandemi

terjadi dan hanya belajar dirumah.

Tabel 1.3 Data Kasus Maisir di Kabupaten Bireuen selama 3 Tahun


Terakhir
Perkara Pelaku Perkara Jenis hukuman
Tahu
No Yang Di Anak- Yang
n Dewasa Cambuk Denda Kurungan
Terima Anak Diputus
1 2018 4 4 - 4 4 - -
2 2019 1 1 - 1 1 - -
3 2020 1 1 - 1 1 - -
JUMLAH 5 5 - 5 5 - -
(Sumber: Direktori Putusan Mahkamah Agung republic Indonesia, 2021 )

Selanjutnya, penegakan atau pelaksanaan Qanun Jinayat dilaksanakan sebagai

upaya dalam menegakkan prinsip hukum islam terhadap individu atau masyarakat

Aceh yang telah melanggar aturan yang telah disahkan oleh Gubernur dan DPRD

Aceh. Selain itu juga, Qanun Jinayat berfungsi sebagai payung hukum masyarakat

Aceh, baik pemerintah maupun masyarakat Aceh bersama-sama saling memiliki dan

terikat oleh aturan tersebut, karena ini menjadi tanggung jawab bersama.

Dalam pelaksanaanya, terdapat persepsi yang berbeda antara pemerintah,

masyarakat, dan penegak hukum atas pemberlakuan Qanun Jinayat. Pasalnya wujud

keadilan dalam pemberlakuan syari’at Islam merupakan upaya yang dibentuk oleh

pemerintah guna terciptanya kondisi di mana hak-hak setiap masyarakat Aceh tidak

diambil oleh individu yang tidak berhak. Persepsi masyarakat Aceh berbeda lagi,

sebagian ada yang mengartikan bahwa Syari’at islam harus dilaksanakan secara

keseluruhan (kaffah) tidak setengah-setengah sebagaimana yang telah diatur dalam

Al-Quran dan Al-Hadist, golongan ini dipelopori oleh HTI dan FPI Cabang Aceh.

8
Berbeda halnya dengan Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan

Mahkamah Syar’iyyah) dalam penerapan Qanun Jinayat menerapkan sistem kehati-

hatian sehingga dalam penegakan hukum tidak pula melanggar hukum itu sendiri.

Namun pada kenyataannya pelaksanaan qanun jinayat masih manuai pro dan

kontra, masyarakat merasakan adanya diskriminasi terhadap pemberian sanksi serta

keefektifan qanun jinayat ini pun masih dipertanyakan setelah sekian tahun hukum

jinayat menjadi hukum yang diakui oleh Negara untuk diberlakukan di tengah

masyarakat Aceh, belum menampakkan keefiktifitasnya dalam mengurangi tindak

kejahatan dalam masyarakat khususnya kejahatan yang diatur dalam hukum jinayat

tersebut. Masih banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran dalam masyarakat

bahkan masih ada penolakan oleh sebagian kecil masyarakat setelah sekian tahun

hukum jinayat diberlakukan.

Pemberlakuan hukum jinayat di tengah-tengah masyarakat memang sangat

diharapkan oleh manyoritas masyarakat muslim di Aceh, namun disisi lain

pelanggaran pun masih terus terjadi, sehingga kenyataan ini tentunya menimbulkan

pertanyaan kenapa disatu sisi masyarakat menginginkan hukum jinayat berlaku di

Aceh dan diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, akan tetapi pada sisi lain setelah

hukum jinayat menjadi yang hukum positif di Aceh tidak berlaku efektif dalam

mengurangi tindak kejahatan dalam masyarakat.

Qanun Jinayat yang sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan dengan

berbagai pendapat Pro Dan Kontra terhadap pelaksanaannya memunculkan beberapa

fenomena yakni :

9
1. Terindikasi Kurang Efektifnya penegakan Qanun Jinayat di Kabupaten

Bireuen.

2. Terindikasi Kurangnya Sosialisasi kepada masyarakat sehingga banyak

masyarakat yang masih belum memahami isi dari Qanun.

Berdasara dari Fenomena yang didapat oleh peneliti dan pemaparan dari Latar

Belakang yang menjadi dasar dan ketertiban penulis untuk melakukan penelitian dengan

judul “Dinamika Kebijakan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat

di Kabupaten Bireuen“

B. Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang diatas dapat kita lihat bahwasanya pelaksanaan

qanun jinayat hingga saat ini masih menuai pro dan kontra, serta masih ada

masyarakat yang belum benar-benar mengerti isi dari qanun jinayat tersebut yang

diakibatkan oleh kurangnya sosialisasi mengenai Hukum Jinayat kepada masyarakat

setempat, oleh karenanya pada penelitian ini dapat dirumuskan fenomena sebagai

berikut :

1. Bagaimana Dinamika Kebijakan qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Hukum Jinayat di Kabupaten Bireuen?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui evektifitas pelaksanaan qanun jinayat di Kabupaten

Bireuen

10
2. Untuk mengetahui dinamika kebijakan qanun jinayat dan pengaruhnya

terhadap tatanan hukum pidana di Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat mengetahui

bagaimana dinamika kebijakan qanun nomor 6 tahun 2014 tentang hukum

jinayat di Kabupaten Bireuen,

2. Kegunaan Akademis, hasil penelitian ini diharapkan sebagai salah satu

bahan informasi dan data sekunder bagi kalangan akademis lainnya,

3. Kegunaan Secara Khusus, sebagai pengembangan ilmu pengetahuan bagi

penulis selama menuntut ilmu diperkuliahan.

11

Anda mungkin juga menyukai