Anda di halaman 1dari 15

CONCURSUS

Concursus atau perbarengan tindak pidana ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh
satu orang di mana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau
antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu
putusan hakim.

Jadi concursus adalah seseorang melakukan beberapa tindak pidana dan di antara tindak pidana
tersebut belum mempunyai putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht).

Ilmu hukum pidana mengenal 3 (tiga) bentuk concursus yang juga disebut ajaran, yaitu sebagai
berikut:

1. CONCURSUS IDEALIS (Pasal 63)

Pengertiannya dirumuskan dalam Pasal 63 (1) yang menyatakan bahwa ”jika suatu perbuatan
masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara
aturan-aturan itu, dan jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok
yang paling berat. Misalnya : Seorang melanggar Pasal 285 (12 tahun penjara) dan 281 (2 tahun
8 bulan penjara). Maksimum pidana yang dikenakan ialah 12 tahun.

Apabila hakim menghadapi pilihan antara 2 pidana pokok sejenis yang maksimumnya sama,
maka ditetapkan pidana pokok dengan pidana tambahan yang paling berat.

Apabila menghadapi 2 pilihan antara 2 pidana pokok yang tidak sejenis, maka penentuan
pidana yang terberat didsarkan pada urut-urutan jenis pidana seperti tersebut dalam Pasal 10.
Jadi misalnya memilih antara 1 minggu penjara, 1 tahun kurungan dan denda 5 juta, maka
pidana yang terberat adalah 1 tahun kurungan.

Dalam Pasal 63 ayat 2 diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari prinsip umum dalam
ayat 1 dalam hal ini berlaku adigum “lex spesialis derogat legi genarali”.

Misal: seorang ibu membunuh anaknya sendiri pada saat anaknya dilahirkan, perbuatan ibu ini
dapat masuk dalam Pasal 338 (15 tahun penjara) dan 341 (7 tahunpenjara). Maksimum pidana
yang dikenakan adalah yang terdapat dalam Pasal 341 (lex specialis) yaitu 7 tahun penjara

2. PERBJUATAN BERLANJUT (Pasal 64)

Menurut Pasal 64 ayat 1 pada prinsipnya berlaku sistem absorbsi yaitu hanya dikenakan satu
aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan yang memuat ancman pidana pokok
yang terberat.

Pasal 64 ayat 2 merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang.
Misalnya A setelah memalsu mata uang (Pasal 2444 dengan ancaman penjara 15 tahun)
kemudian menggunakan/mengedarkan mata uang yang dipalsu itu (Pasal 245 ancaman penjara
15 tahun). Dalam hal ini perbuatan A tidak dipandang sebagai concursus realis, tetapi tetapi
tetap dipandang sebagai perbuatan berlanjut sehingga maksimum pidana yang dapat dijatuhkan
adalah 15 tahun.
Pasal 64 ayat 3 merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang
terdapat dalam Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan)
dan 407 ayat 1 (perusakan ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.

Apabila nilai-nilai kejahatan yang timbul dari kejahatan ringan yang dilakukan sebagai
perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,- maka menurut PAsal 64 ayat 3 dikenakan aturan
pidana yang berlaku untuk kejahatan biasa.

Misalnya A melakukan 3 kali penipuan ringan (379) berturut turut sebagai suatu perbuatan
berlanjut dan jumlah kerugian yang timbul adalah lebih dari Rp. 250,- Terhadap A bukannya
dikenakan pasal 379 yang maksimumnya adalah 3 bulan penjara tetapi dikenakan pasal 378
yang maksimumnya 4 tahun penjara.

3. CONCURSUS REALIS

Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku PAsal
65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak
boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.

Misal :

1. A melakukan 3 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana 4 tahun, 5 tahun,


dan 9 tahun. Dalam hal ini yang dapat dijatuhkan ialah 9 tahun + (1/3 x 9)= 12 tahun
penjara. Jadi disini berlaku system absorbs yang dipertajam
2. A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 1 tahun
dan 9 tahun. Dalam hal ini, maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah jumlah
ancaman pidananya yaitu 10 tahun penjara. Jadi bukannya 9 tahun + (1/3 x 9) = 12
tahun, karena melebihi jumlah maksimum pidana untuk masing-masing kejahatan
tersebut. ditambah

Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku
pasal 66 yaitu semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi
jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga. Sistem
ini disebut system kumulasi yang diperlunak.

Misal :

1. A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 9 bulan


kurungan dan 2 tahun penjara. Dalam hal ini semua jenis pidana (penjara dan kurungan)
harus dijatuhkan. Adapun maksimumnya adalah 2 tahun ditambah (1/3 x 2 ) tahun = 2
tahun 8 bulan atau 32 bulan. Jadi yang dijatuhkan bukan jumlah keseluruhannya yaitu
9 bulan ditambah 2 tahun atau 33 bulan. Dengan demikian pidana yang dijatuhkan
pidana yang dijatuhkan misalnya terdiri dari 2 tahun penjara dan 8 bulan kurungan.
2. Bagaimanakah dalam hal A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam
pidana 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,-.

Mengenai hal ini ada 2 pendapat :

ò Ada yang berpendapat semunya harus dijatuhkan.


ò Sedangkan mennurut Blok perhitungannya sebagai berikut : pidana denda dijadikan dulu
pidana kurungan pengganti yaitu maksimum 6 bulan (lihat Pasal 30 KUHP). Dengan demikian
maksimumnya ialah 6 + (1/3 x 6) bulan = 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan
maka 8 bulan ini dipecah menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan pengganti atau sama
dengan 1/3 x Rp. 1.000,- = Rp. 333,30 (dibulatkan menjadi Rp. 334,-)

1. Bagaimanakah dalam hal A melakukan dua jenis kejahatan yang terdapat dalam pasal
351 (diancam pidana 2 tahun 8 bulan penjara atau denda Rp. 4.500,-) dan PAsal 360
(diancam pidana 5 tahun penjara atau 1 tahun kurungan) ?

Dalam hal ini hakim harus mengaakan “pilihan hukum” terlebih dahulu.

ò Kalau dipilih ancaman pidana yang sejenis, maka digunakan system absorbs yang
dipertajam/diperberat (PAsal 65).

Dalam contoh diatas maksimum yang dapat dijatuhkan ialah : 5 tahun + (1/3 x 5) tahun = 6
tahun 8 bulan penjara.

ò Kalau dipilih ancaman pidana yang tidak sejenis maka digunakan system kumulasi yang
diperlunak/diperingan (PAsal 66). Misal dalam contoh diatas : untuk pasal 351 dipilih pidana
penjara (2 tahun 8 bulan). Untuk pasal 360 dipilih pidana kurungan (1 tahun). Maka maksimum
pidana yang dapat dijatuhkan : (2 tahun 8 bulan) + (1/3 x 2 tahun 8 bulan) = 3 tahun 6 bulan
20 hari.

ò Kalau yang dipilih pidana denda maka contohnya sama dengan contoh nomor 2.

Untuk concursus realis berupa pelanggaran, berlaku pasal 70 yang menggunakan system
kumulasi. Misalnya A melakukan 2 pelanggaran yang masing-masing diancam dengan pidana
kurungan 6 bulan dan 9 bulan, maka maksimumnya adalah (6 + 9) bulan penjara = 15 bulan.

Namun menurut pasal 70 (2) , system kumulasi itu dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan
kurungan. Jadi misalnya A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam dengan
pidana kurungan 9 bulan maka maksimum pidana kurungan bukanlah 18 bulan, tetapi
maksimumnya adalah 1 tahun 4 bulan atau 16 bulan.

Untuk concursus realis berupa kejahatan ringan khusus untuk pasal 302 (1), 352, 364, 373, 379
dan 482) berlaku pasal 70 bis yang menggunakan system kumulasi tetapi dengan pembatasan
maksimum untuk penjara 8 bulan.

Misalnya :

ò A melakukan pencurian ringan (pasal 364) dan penggelapan ringan (pasal 373) yang masing-
masing diancam pidana 3 bulan penjara. Maka maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah
6 bulan.

ò Tetapi apabila A melakukan 3 kejahatan ringan yang masing-masing diancam pidana penjara
3 bulan, maka maksimumnya bukan 9 bulan penjara (kumulasi) tetapi 8 bulan penjara.

Untuk concursus realis, baik kejahatan maupun pelanggaran yang diadili pada saat yang
berlainan, berlaku PAsal 71. Yang berbunyi “jika seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian
dinayatakan salah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan
pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan
menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara yang diadili pada saat
yang sama”

Misalnya : A melakukan kejahatan-kejahatan sebagai berikut :

1. Tgl 1/1 : pencurian (pasal 362, ancaman pidana 5 tahun penjara)


2. Tgl 5/1 : penganiayaan biasa (pasal 351, diancam 2 tahun 8 bulan)
3. Tgl 10/1 : penadahan (pasal 480, diancam 4 tahun penjara)
4. 20/1 : penipuan (pasal 378, diancam 4 tahun penjara)

Kemudian A ditangkap dan diadili dalam satu keputusan.

Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan.

Dalam penanganan perkara pidana ketiga bentuk concursus di atas sulit untuk dibedakan dan
menjadi sesuatu yang menimbulkan perdebatan.
RESIDIVE
1. Pengertian Recidive
Recidive atau pengulanagan terjadi apabila seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah
dijatuhi tindak pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
atau “inkracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi.
Perbedaannya dengan Concursus Realis adalah pada Recidive sudah ada putusan pengadilan berupa
pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau “inkracht van
gewijsde” sedangkan Concursus Realis terdakwa melakukan perbuatan pidana dan antara perbuatan
satu denagan yang lain belum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
atau “inkracht van gewijsde”, . Recidive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan
dijatuhkan. Dalam ilmu hukum pidana dikenal adad dua sistem Recidive antara lain:

1. Sistem Recidive Umum


Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu
kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan
jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivnya.

2. Sistem Recidive Khusus


Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulanagan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan
hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang
dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.

MENURUT KUHP

Dalam KUHP ketentuan mengenai Recidive tidak diatur secara umum tetapi diatur secara khusus untuk
kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan maupun pelanggaran.
Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tegnggang waktu pengulangan yang tertentu.
Jadi denagan demikian KUHP termasuk kedalam Recidive khusus.

a. Recidive Kejahatan
Recidive terhadap kejahatan dalam pasal : 137 (2), 144 (2), 155 (2), 161 (2), 163(2), 208 (2), 216 (3),
321 (2), 393 (2) dan 303 bis (2).
Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan pemeberat, perlu diingat
bahewa mengenai tenggang waktu dalam Recidive tersebut tidak sama mislanya :
i. Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321 tenggang waktunya dua tahun;
ii. Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 tenggang waktunya lima tahun.
iii. Sedangkan untuk Recidive yang diatur dalam pasal 486, 477 dan 488 KUHP mensyaratkan
bahwa tindak pidana yang di ulangi termasuk dalam kelompok jenis tindak pidana tersebut.
b. Recidive Pelanggaran
Recidive dalam pelangaran ada 14 jenis tindak pidana yaitu :
Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP
Syarat-syarat Recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan.

3. Recidive Di LUAR KUHP


Recidive diluar KUHP antara lain diatur di dalam Undang-undang :
i. Tidak pidana narkotika (UU 22 / 1997), Pasal 78 s/d 85 dan Pasal 87; tenggang waktu lima
tahun. Ancaman pidana ditambah sepertiga.
ii. Tindak pidana Pisikotropika (UU No 5/1997), Pasal 72, ancaman pidana ditambah
sepertiga
HAPUSNYA KEWENANGAN PENUNTUTAN
Pada prinsipnya kewenangan melakukan penuntutan hadir seketika ada dugaan terjadinya tindak
pidana. Disini dianggap bahwa kepentingan umum dianggap langsung terkena sehingga pihak yang
terkena tindak pidana itu harus menerima adanya penuntutan sekalipun ia sendiri tidak
menghendakinya. Namun demikian terdapat beberapa hal yang menjadi dasar atas gugurnya
kewenangan jaksa untuk melakukan penuntutan menurut KUHP adalah :
1. Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan (Pasal 72-75 KUHP)
2. Ne bis in idem (pasal 76 KUHP)
3. Matinya terdakwa (Pasal 77 KUHP)
4. Daluarsa (Pasal 78 KUHP)
5. Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya
diancam dengan denda saja (Pasal 82 KUHP)
6. Ada abolisi atau amnesti (diluar KUHP)
1. Tidak adanya Pengaduan pada delik-delik aduan
Kewenangan melakukan penuntutan pada prisipnya tidak berhubungan dengan kehendak perorangan
kecuali dalam beberapa delik tertentu diantaranya perzinahan (pasal 284), persetubuhan terhadap anak
dibawah umur (pasal 287-288), untuk melarikan wanita (pasal 332), pencemaran nama baik (319) dan
lain-lain.
· Bentuk Delik Aduan
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, delik aduan dibagi dalam dua bentuk :
a. Delik Aduan Absolut
Dalam hal dianggap bahwa kepentingan orang yang terkena tindak pidana itu melebihi kerugian yang
diderita oleh umum, maka hukum memberikan pilihan kepadanya untuk mencegah atau memulai suatu
proses penuntutan.
Misal :
Seorang perempuan muda yang telah disetubuhi boleh memilih untuk menikahi laki-laki yang
menyetubuhinya daripada pelaku dijatuhi pidana.
Delik aduan absolute ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan pasal 293 (perbuatan cabul
terhadap anak dibawah umur) pasal 322 (pelanggaran kewajiban menyimpan rahasia), pasal 335 (1) &
(2) (perbuatan tidak menyenangkan) atau pasal 369 (pengancaman).
b. Delik Aduan relative
Karakter delik aduan ini tidak terletak pada sifat kejahatan yang dilakukan melainkan pada hubungan
antara pelaku / pembantu dan korban. Baik hubungan karena keturunan / darah atau dalam hal hubungan
perkawinan. Dalam hal relasi antara sifat keperdataan yang lahir dari h8ubungan tersebut dapat menjadi
alasan dalam mencegah terjadinya penuntutan. Kebanyakan delik-delik ini terkait dengan delik
dibidang harta benda (pasal 367 KUHP).
· Yang berhak mengadu (subyek)
Ketentuan umum dalam pasal 72 KUHP menentukan :
1) Jika ybs. Belum 18 th / belum cukup umur / dibawah pengampunan (pasal 72) :
• Oleh wakil yang sah dalam perkara perdata;
• Wali pengawas / pengampu
• Istrinya
• Keluarga sedaraj garis lurus
• Keluarga sedarah garis menyimpang sampai derajat ke-3
2) Jika ybs meninggal pasal 73 oleh :
• Orang tuanya
• Anaknya, atau
• Suami / istri (kecuali ybs tidak menghendaki).
Disamping ketentuan umum tersebut diatas , ada pula ketentuan-ketentuan khusus, misalnya :
- Untuk perzinahan (pasal 284)
Yang berhak mengadu hanya suami / istri yang tercemar (ketentuan pasal 72 dan 73 diatas tidak
berlaku).
Penarikan kembali pengaduan dapat dilakukan, sewaktu-waktu, selama pemeriksaan dalam siding
pengadilan belum dimulai (ayat 4). Jadi ketentuan pasal 75 KUHP tidak berlaku.
- Untuk melarikan wanita (pasal 332)
Yang berhak mengadu :
1. Jika belum cukup umur oleh : wanita ybs, atau orang yang harus memberi ijin bila wanita itu
kawin
2. Jika sudah cukup umur, oleh : wanita ybs, atau suaminya.
· Tenggang waktu pengajuan pengaduan (pasal 74)
1. Bertempat tinggal di Indonesia 6 bulan sejak mengetahui
2. Bertempat tinggal di luar Indonesia 9 bulan sejak mengetahui adanya kejahatan.
· Penarikan kembali aduan.
Dibuatnya suatu pengaduan tidak dengan serta merta berarti bahwa ijin memberikan kewenangan
penuntutan dilakukan secara final. Memang selayakanya pengaduan mencakup
pelaporan (aangifte) dengan permohonan dilakukannya penuntutan (verzoek tot vervolging). Bila
pengaduan sudah disampaikan, pada dasarnya jaksa penuntut umum tak perlu menunggu lewatnya
daluarsa menarik adauan, meskipun undang-undang memberikan jangka waktu 3 bulan (pasal 75). Akan
tetapi jika aduan tersebut ditarik kembali, maka kewenangan menuntut menjadi hapus.
2. Ne Bis In Idem (Pasal 76)
Arti sebeanarnya dari neb is in idem ialah “tidak atau jangan dua kali yang sama”. Sering juga
digunakan istilah “nemodebet bis vexari” (tidak seorangpun atas perbuatnya dapat diganggu /
dibahayakan untuk kedua kalinya) yang dalam literature Angka Saxon diterjemahkan menjadi “No one
could be put twice in jeopardy for tha same offerice”.
Dasar pikiran atau ratio dari azas ini ialah :
1. Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan Negara);
2. Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan.
Diakuinya azas Neb is in idem ini terlihat dalam rumusan pasal 76 KUHP yang berbunyi (ayat (1) sub
1) sbb :
“Kecuali dalam hal putusan haikm masih mungkin diulangi (herzeining), orang tidak boleh dituntut dua
kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang
berkekuatan hukum tetap”.
Dengan demikian penuntutan terhadap seseorang dapat hapus berdasar neb is in idem, apabila dipenuhi
syarat-syarat sbb :
1. Ada putusan yang berkekuatan hukum tetap;
2. Orang terhadap siap putusan itu dijatuhkan adalah sama;
3. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Dengan adanya syarat ini berarti terhadap putusan tersebut harus sudah tidak ada alat hukum / upaya
hukum (rechtsmiddel) yang dapat dipakai untuk merubah keputusan tersebut. Ada pendapat bahwa
peninjauan kembali (herzeining) merupakan salah satu upaya hukum, sehingga pengecualian yang
tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu adanya herzeining merupakan pengecualian terhadap azas ne bis in
idem) sebenarnya tidak perlu. Jadi menurut pendapat ini, dengan adanya herzeining berarti putusan itu
memang belum berkelanjutan dari tuntutan hukum yang pertama, jadi bukan merupakan tuntutan
hukum yang kedua kali.
Ad. 1. Adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap;
Keputusan hakim (yang berkekuatan hukum tetap) yang dimaksud disini adalah keputusan terhadap
perbuatan atau perkara ybs, yaitu yang dapat berupa :
1. Pembebasan (vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP (dulu 313 RIB).
2. Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtvervolging) pasal 191 ayat (2)
KUHAP (dulu 314 RIB);
3. Penjatuhan pidana pasal 193 ayat (1) KUHAP (dulu 315 RIB).
Jadi keputusan-keputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti tidaknya tindak pidana atau
kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem tidak berlaku untuk keputusan hakim yang belum berhubungan
dengan pokok perkara, yang biasanya disebut “penetapan-penetapan” (beschikking), misalnya :
1. Tentang tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan;
2. Tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan;
3. Tetang tidak diterimanya perkara karena penuntutan sudah daluwarsa.
Adanya penetapan-penetapan serupa itu tidak merupakan alasan untuk adanya neb is in idem. Jadi pasal
76 KUHP tidak mengenai penetapan-penetapan. Perlu pula diperhatikan bahwa putusan-putusan hakim
seperti dikemukakan diatas adalah putusan yang menyangkut perkara pidana, jadi keputusan mengenai
hukum pidana.
Apabila misalnya seorang pengendara motor menabrak penjual soto dan dia dituntut secara perdata
untuk memberi ganti rugi, maka putusan hakim mengnai hal ini tidak menghalangi untuk dilakukannya
penuntutan dalam perkara pidananya. Jadi dalam hal ini tidak ada neb is in idem.
Begitu pula sebaliknya, apabila yang diputus adsalah perkara pidananya lebih dulu, maka putusan ini
tidak merupakan alasan untuk neb is in idem dalam perkara gugatan perdata. Jadi tegasnya pasal 76
KUHP hanya berlaku untuk perkara-perkara pidana.
Adanya keputusan hakim yang menjadi syarat neb is in idem ini tidak hanya keputusan hakim
Indonesia, tetapi dapat juga keputusan hakim Negara lain (hakim asing). Hal ini disebut dalam pasal 76
(2) dengan syarat putusan hakim asing tersebut harus berupa :
a) Putusan yang berupa pembebasan;
Dengan syarat-syarat diatas, maka apabila keputusan hakim asing yang berupa pemidanaan baru
sebagian dijalani, maka orang tersebut di Indonesia dapat dituntut lagi. Dalam pengertian “telah dijalani
seluruhnya” putusan hakim asing itu, menurut Pompe termasuk pidana bersyarat (V.V.
= voorwaardelijke veroordelling) dan pelepasan bersyarat (V.I. = voorwaardelijke invrijheidstelling).
b) Putusan yang berupa pelepasan dari tuntutan hukum;
Orang yang dituntut harus sama. Ini merupakan segi subyektif dari persyaratan neb is in idem. Apabila
misalnya A dan B melakukan tindak pidana bersama-sama, akan tetapi yang tertangkap dan dituntut
pidana baru A, maka dalam hal B kemudian tertangkap ia tetap masih dapat dituntut walaupun misalnya
A dibebaskan.
c) Putusan berupa pemidanaan :
• Yang seluruhnya telah dijalani, atau
• Yang telah diberi ampun (grasi), atau;
• Yang wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena kadaluwarsa.
Ad. 2. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Harus ada feit / perbuatan yang sama. Ini segi obyektif dari neb is in idem (objective identiteit). Masalah
ini merupakan masalah yang paling sukar, seperi halnya dijumpai dalam concursus/ gabungan tindak
pidana.
Misal :
A melakukan pemerkosaan dijalan umum (pasal 285 dan 281). Seandainya Jaksa hanya menuntut
berdasar pasal 285 (perkosaan) saja dan ternyata tidak terbukti, sehingga terdakwa lepas dari segala
tuntutan, maka apakah Jaksa masih dapat menuntut yang kedua kalinya berdasar pasal 281 (melanggar
kesusilaan dimuka umum) ? dan pakah putusan yang pertama merupakan res judicata (putusan yang
neb is in idem)?
Jawaban terhadap masalah ini tergantung atau berkisar pada apa yang dimaksud dengan “feit”. Kalau
kasus diatas dipandang sebagai concursus realis, sehingga dapat dikatakan terdakwa melakukan
beberapa perbuatan, maka dimungkinkan ada penuntutan lagi. Akan tetapi apabila dipandang
sebagai concursus idealis, dimana hanya dipandang ada satu perbuatan, maka hanya dimungkinkan
adanya satu kali penuntutan saja.
Catatan :
• Apabila dipandang sebagai concursus realis, maka tidak ada neb is in idem;
• Apabila dipandang sebagai concursus idealis, maka ada neb is in idem;
Dalam yurisprudensi, ajaran feit materiil pada neb is in idem telah ditinggalkan pada tahuan 1932, yaitu
dengan Arrest HR 27 Juni 1932.
Kasusnya : Orang yang sedang mabuk ditempat umum mengganggu ketentraman umum, telah
memukul dada dan menendang kaki seorang anggota polisi yang sedang menjalankan tugasnya.
Mula-mula terdakwa diputus dan dipidana karena menganiaya polisi (pasal 356 sub. 2), kemudian oleh
jaksa dituntut lagi mengenai menggangu ketentraman umu dalam keadaan mabuk (pasal 492). Tuntutan
kedua ini oleh pengadilan diterima dan terdakwa dijatuhi pidana. Terdakwa banding, dan pengadilan
tinggi menyatakan ada ne bis in idem. Jaksa mengajukan kasasi ke Hoge Raad dengan mengatakan
bahwa perbuatan terdakwa itu merupakan dua perbuatan dipandang dari sudut hukum pidana, jjadi
disini tidak ada perbuatan yang sama, seperti dimaksud dalam pasal 76 HR melihat disini juga ada 2
perbuatan yang mempunyai cirri yang berlainan, sehingga tuntutan jaksa dapat diterima.
Persoalan feit / perbuatan pada pasal 76, disamping berlkaitan erat dengan masalah concursus, juga
berhubungan dengan masalah, alternativitas dalam tuduhan dapat meliputi masalah :
a. Perbuatannya/ketentuan yang dilanggar :
Misal : perbuatan A sebenarnya dapat dikualifisir dalam 3 kemungkinan yaitu :
1. Dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain (pasal 338),
2. Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain (pasal 359),
3. Dengan sengaja menganiaya yang berakibat mati (pasal 351 ayat (3)).
b. Waktu terjadinya tindak pidana
Misal seorang dituntut telah melakukan pencurian pada tgl 1 Juni 1979, tetapi didalam surat tuduhan
tercantum tgl 1 Juli 1979. apabila terdakwa dibebaskan unutk tuduhan pencurian tercantum tgl. 1 Juni,
Jaksa tidak dapat menuntut lagi berdasar tgl. Yang betul. Disini ada neb is in idem. Dalam hala ini
sebenarnya sebelum ada putusan, jaksa dapat mengajukan permintaan unutk “merubah surat tuduhan
berdasar pasal 282 HIR, asal Feitnya tetap.
c. Tempat terjadinya tindak pidana.
Misal semula terdakwa dituduh mencuri di taman Diponegoro, kemudian dibebaskan. Jaksa kemudian
mengajukan tuduhan lagi. Berdasar tempat pencurian yang sebenarnya dilakukan yaitu di Stadion
Diponegoro. Disinipun ada neb is in idem.
Kesukaran dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perkataan ”feit” dirubah menjadi “strafbaar feit”.
Dengan perubahan ini menurut Pompe, penerapan pasal 76 lebih mudah. Namun diakui bahwa itu
berarti menyempitkan berlakunya pasal 76, artinya kemungkinana penuntutan kembali menjadi
longgar. Tetapi menurut Pompe, halangan dalam penuntutan baru, dapat lebih merugikan kepentingan
umum dari pada mengulangi percobaan untuk penerapan undang-undang pidana dengan setepat-
tepatnya.
3. Matinya Terdakwa (Pasal 77)
Hal ini wajar karena KUHP berpendirian bahwa yang dapat menjadi subyek hukum hanyalah orang dan
pertanggungan jawab bersifat pribadi.
4. Daluwarsa/Verjaring (Pasal 78)
Ditetapkannya lemabga daluarsa penuntutan dalam KUHP pada dasarnya dilandasi oleh beberapa
pemikiran yaitu :
• Dalam kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan menghapuskan akibat
tindak pidana yang terjadi akan tetapi juga mengahpuskan keinginan untuk melakukan
pembalasan.
• Berjalannya waktu sekaligus menghapuskan jejak-jejak tindak pidana yang menyebabkan
kesulitan pembuktian.
• Bahwa pelaku setelah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup terhukum dengan
kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan.
Namun demikian yang utama dari ketiga lasan itu adalah kebutuhan untuk memidana dan kesulitan
pembuktian menjadi alasan utama. Karena itu adagium punier non (simper) necesse est (menghukum
tidak selamanya perlu) menajadi dasar dari keberadaan lembaga ini.
Tenggang waktu daluwarsa ditetapkan dalam pasal 78 (1), yaitu :
• Untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan : sesudah 1 tahun;
• Untuk kejahatan yang diancam denda, kurungan atau penjara maksimum 3 tahun :
daluwarsanya sesudah 6 tahun;
• Untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun daluwarsanya 12 tahun;
• Untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup : daluwarsanya sesudah 18
tahun.
Menurut pasal 79, tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali
dalm hal-hal tertentu yang disebut dalam pasal tersebut yang menyangkut vorduurende delict (delik
berlangsung terus lihat penjelasan dalam bab tetang jenis delik). Adapun yang diatur dalam pasal 79
adalah :
• Kejahatan terhadap mata uang (pasal 244) perhitungan daluwarsa didasarkan pada waktu
setelah uang dipakai atau diedarkan;
• Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang (pasal 328, 329, 330 dan 333), daluwarsa dihitung
keesokan hari setelah orang tersebut dibebaskan atau ditemukan meninggal dunia;
• Kejahatan terhadap register kependudukan (pasal 556-558 a), sehari setelah data tersebut
dimasukkan dalam catatan register.
Menurut pasal 80 (1) tenggang daluwarsa terhenti / tercegah (gestuit) apabila ada tindakan penuntutan
(daad van vervolging). Pada mulanya tindakan penuntutan diartikan secara luas yaitu mencakup juga
tindakan-tindakan pengusutan (daad van opsporing). Tetapi yurisprudensi kemudian menerima
pendapat yang lebih sempit, yaitu hanya perbuatan-perbuatan penuntut umum yang langsung
menyangkutkan hakimdalam acara pidana (misal menyerahkan perkara ke siding, mendakwa /
mengajukan tuduhan, memohon revisi), jadi tindakan pengusutan tidak lagi dianggap termasuk tindakan
penuntutan. Menurut pasal 80 (2) sesudah terjadinya pencegahan (stuiting) mulai berjalan tenggang
daluwarsa yang baru, jadi selama terhentinya selama ada tindakan penuntutan tenggang waktunya tidak
dihitung.
Menurut pasal 81 (1) tenggang daluwarsa penuntutan tertunda/tertangguhkan (geschorst) apabila ada
perselisihan praejudisiil, yaitu perselisihan menurut hukum perdata yang terlebih dulu harus
diselesaikan sebelum acara pidana dapat diteruskan. Dalam hal ada penundaan/pertangguhan
(schorsing) maka tenggang waktu yang telah dilalui, sebelum diadakannya penundaan, tetap
diperhitungkan terus. Hanya saja selama acara hukum perdata berlangsung dan belum selesai, tenggang
daluwarsa tuntutan pidana, dipertangguhkan. Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak diberi
kesempatan untuk menunda-nunda penyelesaian perkara perdatanya dengan perhitungan dapat
dipenuhinya tenggang daluwarsa penuntutan pidana.
5. Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang
hanya diancam dengan denda saja (Pasal 82 KUHP)
Ketentuan pembayaran denda maksimum untuk pelanggaran hukum (pasal 82) ini dikenal juga sebagai
lembaga hukum “afkoop” (penebusan) atau juga sering disebut “schikking” (perdamaian)
6. Amnesti dan Abolisi
Amnesti dapat didefinisikan sebagai pernyataan umum (yang diterbitkan dalam suatu aturan perundang-
undangan) yang memuat pencabutan senua akibat pemidanaan dari suatu delik tertentu atau satu
kelompok delik tertentu, demi kepentingan semua terpidana maupun bukan, terdakwa ataupun bukan,
mereka yang identitasnya diketahui ataupun tidak namun bersalah melakukan tindakan tersebut. Oleh
karena itu amnesti mencakup perkara dalam fase ante sentantiam (sebelum dijatuhkanya putusan)
maupun post sentantiam (pasca proses ajudikasi).
Dalam praktek amnesti diberikan karena alasan politik.
Seperti halnya grasi dan amnesti, abolisi merupakan hak prerogative presiden yang ditetapkan dalam
UUD 1945 sebelum perubahan. Abolisi mengandung pengertian penghapusan yang diberikan kepada
perseorangan yang mencakup penghapusan seluruh akibat penghukuman seluruh akibat penjatuhan
putusan, termasuk putusan itu sendiri. Abolisi dengan demikian berlaku ante sentiam yang berkaitan
dengan dilepaskannya kewenangan melakukan penuntutan atau pelanjutan dari penuntutan yang sudah
dimulai.
PENGULANGAN TINDAK PIDANA
Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) Residive (pengulangan) merupakan pengulangan tindak
pidana, dimana pelaku tindak pidana sebelumnya telah dijatuhi hukuman pidana dalam jangka
waktu tertentu dan telah berkekuatan hukum tetap. Residive merupakan salah satu dasar dalam
pemberatan pidana. Residive tidak dikenakan pada semua kejahatan tetapi hanya terjadi pada kejahatan
tertentu yang disebutkan dalam pasal 486, 487 dan 488 KUHP.
Selain itu untuk pengulangan tindak pidana yang disebutkan dalam pasal 486, 487 dan 488
KUHP terdapat ketentuan tertentu yaitu:
1. Terpidana telah menjalani seluruh pidana yang dijatuhkan
2. Terpidana telah menjalani sebagian pidana yang dijatuhkan
3. Dibebaskan dalam menjalani hukuman pidana
4. Hak mejalankan pidananya belum daluarsa
5. Kejahatan pengulangan dilakukan dalam wkatu belum lewat 5 tahun sejak terpidana menjalani
pidana. Yang dimaksud terpidana menjalani sebagian pidana yang dijatuhkan adalah terpidana
diberikan pelepasan bersyarat, apabila pelaku kejahatan tersebut sudah menjalani masa pidana
selama dua pertiga dari masa hukuman yang dijatuhkan. Kemudian maksud dari tidak menjalani
hukuman pidana adalah apabila pelaku kejahatan tersebut dijatuhi hukuman pidana dengan
penetapan bersyarat atau mendapat grasi dari Presiden. Pemberatan pidana terhadap pelaku kejahatan
residivis tidak diatur secara umum, melainkan secara khusus karena yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa residivis hanya dikenakan pada tindak pidana tertentu bukan semua kejahatan.
Residivis sendiri diatur khusus dalam Buku ke 2 dalam Bab XXXI KUHP yaitu dalam pasal 486, 487
dan 488 KUHP mengenai Aturan Pengulangan Kejahatan Yang Bersangkutan Dengan Berbagai Bab
disebutkan mengenai pemberian pidana pada pelaku residivis, yaitu:
Pasal 486 KUHP:
<Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 127, 204 ayat pertama, 244-248, 253-260 bis, 263, 264,
266-268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua
sepanjang di situ ditunjuk kepada ayat kedua dan ketiga Pasal 365, Pasal 369, 372, 374, 375, 378,
380, 381-383, 385-388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425, 432 ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan
481, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan menurut Pasal 204 ayat kedua,
365 ayat keempat dan 368 ayat kedua sepanjang di situ ditunjuk kepada ayat keempat pasal 365,
dapat ditambahkan dengan sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat
lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu, maupun
karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari Pasal 140-143, 145 dan 149, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah
dihapuskan (kwijtgescholde) atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan
pidana tersebut belum daluwarsa.=
Pasal 487 KUHP: <Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 130 ayat pertama, 131, 133, 140
ayat pertama, 353-355, 438-443, 459 dan 460, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang
dijatuhkan menurut Pasal 104, 105, 130 ayat kedua dan ketiga, Pasal 140 ayat kedua dan ketiga, 339,
340 dan 444, dapat ditambah sepertiga. Jika yang bermasalah ketika melakukan kejahatan, belum
lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu, maupun
karena salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam Pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat
kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, 109, sejauh kejahatan yang dilakukan itu atau perbuatan yang
menyertainya menyebabkan luka-luka atau mati, Pasal 131 ayat kedua dan ketiga, 137 dan 138 KUHP
Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan, atau jika pada waktu
melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.=
Pasal 488 KUHP:
<Pidana yang ditentukan dalam Pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-321, 483 dan 484, dapat
ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak
menjalani untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, karena salah
satu kejahatan diterangkan pada pasal itu, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah
dihapuskan atau jika waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum
daluwarsa.= Dalam pasal-pasal yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana
residivis dapat dikenai tambahan pidana yaitu satu pertiga dari ancaman hukuman pidana
maksimal yang dijatuhkan kepadanya

Anda mungkin juga menyukai