net/publication/349670032
CITATIONS READS
0 1,692
1 author:
Nopriadi Saputra
Binus University
133 PUBLICATIONS 173 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Nopriadi Saputra on 28 February 2021.
Author:
Dr. Nopriadi Saputra, ST., MM
Layouter:
Dewi
Editor:
Dr. Nopriadi Saputra, ST., MM
Design Cover:
Azizur Rachman
copyright © 2021
Penerbit
Scopindo Media Pustaka
Jl. Kebonsari Tengah No. 03,
Surabaya Telp. (031) 82519566
scopindomedia@gmail.com
Setiap orang yang dengan atau tanpa hak melakukan pelanggaran terhadap hak ekonomi
yang sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah)
Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf
f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Setiap orang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf e, dan/atau huruf g untuk peggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
ii
PERUBAHAN BISNIS MENUNTUT KAPABILITAS
DINAMIS ORGANISASI
366
McCann dan Selsky (2012) menjelaskan ada tiga macam
changing nature of change, yaitu perubahan episodik (episodic
change), perubahan terus-menerus (continuous change) dan
perubahan disruptif (disruptive change). Perubahan episodik
merupakan nature of change ang paling mudah untuk ditangani.
Karena perubahan episodik mengandung kejadian-kejadian yang
umumnya sudah pernah dialami oleh organisasi pada masa
sebelumnya. Hanya saja waktu, tempat, intensitas, dan skala
dampal yang ditimbulkan saja yang berbeda. Karena organisasi
sudah memiliki kemampuan untuk mengantisipasi maupun
menanggulangi perubahan tersebut dengan baik. Sedangkan
perubahan disruptif merupakan perubahan yang paling sulit bagi
organisasi untuk beradaptasi. Karena perubahan tersebut
mengandung kejadian-kejadian yang belum pernah terjadi sama
sekali pada masa sebelumnya. Perusahaan tidak punya pengalaman
dan kemampuan yang efektif untuk mengantisipasi maupun
menanggulangi resiko yang timbul akibat perubahan tersebut.
Kemungkinan besar organisasi gagal dalam mengantisipasi dan
berdampak kerugian yang besar bagi organisasi. Bahkan berpotensi
menyebabkan organsasi jatuh dalam kehancuran. Sedangkan
perubahan terus-menerus adalah perubahan yang menengah.
Karena perubahan tersebut mengandung kejadian-kejadian yang
sudah pernah terjadi dan juga yang belum pernah terjadi pada masa
sebelumnya. Organisasi tidak begitu yakin bahwa mereka cukup
efektif dalam mengantisipasi dan menanggulangi resiko yang
terjadi akibat perubahan tersebut. Ada yang berhasil diantisipasi
dan/atau ditanggulangi dengan baik, ada pula yang tidak dapat
diantisipasi dan ditanggulangi dengan baik.
Karena perbedaan ketiga jenis perubahan tersebut, McCann dan
Selsky (2012) merekomendasikan hal yang berbeda-beda. dalam
menghadapi perubahan episodik, perusahaan sebaiknya control the
change. McCann dan Selsky (2012) merekomendasikan untuk
367
“membuat mekanisme cadangan yang dapat melindungi aktivitas
operasi melalui redundansi, batasan, dan sumber-daya. Rekomen-dasi
tersebut sejalan dengan konsep kelenturan organisasional (flexibility),
yaitu kemampuan organisasi untuk mengggunakan variasi sumber
daya, melakukan variasi proses dan menghasilkan keluaran yang
bervariasi untuk menghadapi ketidakpastian dan perubahan
permintaan pasar. Dalam menghadapi perubahan disrup-tif, organisasi
direkomendasikan untuk prepare for the change dengan
mendayagunakan ketegaran atau ketahanan organisasional
(resilience). Sedangkan dalam menghadapi perubahan terus-menerus,
organisasi sebaiknya untuk embrace the change dengan
mendayagunakan ketangkasan organisasional (agility). Berdasarkan
konsep changing nature of change yang dikemukakan McCann dan
Selsky (2012) ini mempertajam perspektif kita bahwa untuk
menghadapi perubahan lingkungan bisnis, organiasi membutuhkan
kapabilitas dinamis yang berbeda-beda. Kapabilitas dinamis tersebut
berupa kelenturan organisasional (flexibility), ketangkasan organi-
sasional (agility), dan ketahanan organisasional (resilience).
Istilah kelenturan organisasional pertama sekali diperkenalkan
oleh Stigler (1939) untuk menjelaskan mengenai atribut dari suatu
teknologi produksi yang dapat mengakomodasi variasi output yang
lebih banyak (Carlsson,1989). Sementara itu ilmuwan lainnya
mendefinisikan kelenturan organisasional dalam berbagai definisi,
diantaranya: sebagai kemampuan perusahaan untuk merespon
ketidakpastian, terutama sekali dalam hal fluktuasi permintaan
(Hart, 1942).
Sementara itu Das (2001) mendefinisikan kelenturan organi-
sasional sebagai kemampuan sistem manufaktur untuk berubah dalam
berbagai tingkat volume dan/atau variasi, pada kondisi waktu dan
biaya yang ketat. Sedangkan Zhang, Vonderembse, dan Lim (2003)
menjelaskan kelenturan organisasional sebagai kemampuan organisasi
untuk memenuhi semakin bervariasinya harapan
368
pelanggan tanpa menimbulkan tambahan biaya, waktu, gangguan
organisasi, atau kerugian kinerja secara berlebihan. Berdasarkan
beragam definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kelenturan
organisasional lebih berorientasi pada kemampuan teknis
organisasi untuk menghasilkan produksi yang bervariasi dalam
menghadapi perubahan permintaan yang dinamis.
369
Johson, Whittington, Scholes, Angwin, dan Regner (2017) mende-
finisikan ketegaran organisasional sebagai kapasitas organisasi
untuk bangkit kembali atau recovery setelah mengalami
environmental shocks dengan cepat dan mudah.
Pada kelenturan organisasional, perusahaan menghadapi tan-
tangan bisnis yang masih dapat ditangani dengan baik. Sedangkan
pada ketahanan organisasional, perusahaan menghadapi tantangan
bisnis yang berat bahkan dapat menyebabkan kebangkrutan atau
kehancuran, namun kemudian perusahaan dapat bangkit kembali.
Bahkan menjadi jauh lebih kuat dan lebih hebat lagi bila
dibandingkan dengan kondisi sebelum terjadinya kejatuhan.
Ketahanan organisasional adalah kemampuan organisasi untuk
bangkit setelah menghadapi tantangan bisnis yang berat.
370
perkenalkan AGIL Schema atau AGIL Paradigm Sebuah konsep
yang menggemukan bahwa sistem sosial agar dapat berkelanjutan
atau lestari memiliki setidaknya empat fungsi dasar yang harus
diperhatikan, yaitu fungsi:
(1) Adaptation – perkembangan yang dinamis menyebabkan sistem
sosial menghadapi beragam permasalahan, terutama sekali berupa
kekurangan sumber daya yang berpotensi menghambat bahkan
mematikan pertumbuhan sistem sosial tersebut.
(2) Goal-atttainment – untuk menghadapi tantangan tersebut
sistem sosial dituntut mengembangkan sasaran atau kondisi
ideal apa harus diraih di masa depan sebagai jawaban atas
tantangan yang dihadapi saat,
(3) Integration - karena itu dengan menggabungkan berbagai
komponen dan kekuatan yang dimiliki, sistem sosial men-
jalankan mekanisme untuk mewujudkan kondisi ideal tersebut
dengan mengatasi berbagai tantagan yang dihadapai,
(4) Latent pattern – dari serangkaian upaya tersebut ada yang
dipertahankan untuk dilanjutkan dan diinstitusionalisasi men-
jadi best practice yang menjadi tradisi atau budaya untuk
bertahan dan bertumbuh (Tittenbrun, 2014).
Kedua, konsep ketangkasan dalam konteks pendidikan. Pada
akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, diawali dengan berkem-
bangnya penelitian dan buku-buku mengenai self-direct learning,
freedom to learn (Rogers, 1969), deschooling society (Illyich,
1970), self-directed learning (Knowles, 1975), dan mind in society
(Vygotsky,1978). Para ilmuwan tersebut menyarankan sebuah
pendekatan baru dalam pendidikan. Pendidikan yang tidak hanya
bersifat fungsional, dimana guru sebagai pusat pengajaran. Tetapi
lebih berpusat pada peserta didik. Pendidikan yang lebih interaktif-
kolaboratif untuk menangani masalah-masalah pribadi dan sosial.
Pendekatan pendidikan seperti ini kemudian diberi istilah agile
pedagogy.
371
Ketiga, konsep ketangkasan dalam konteks manufaktur. Pada
tahun 1990-an, pengembangan diawali oleh riset oleh Iaccocca
Institute dari Lehigh University mengenai strategi yang tepat bagi
manufaktur Amerika Serikat dalam menghadapi tantangan abad ke-
21 dan laporan penelitian tersebut beberapa tahun kemudian
dipublikasikan dalam buku Agile competitors and virtual organi-
zations (Goldman, 1995). Rekomendasi yang berikan berupa
konsep agile manufacturing (Nagel & Dove, 1991) sebuah sistem
manufaktur yang dapat berganti shift dengan cepat di antara
beragam model produk untuk memenuhi kebutuhan pasar dan
secara ideal merespon kebutuhan pelangan dengan real-time.
Rekomendasi tersebut tertuang pada buku yang berjudul “21st
Century manufacturing enterprise strategy : An industry-led view”.
(Nagel & Dove, 1991).
372
impact of people and information – mendayagunakan orang dan
informasi lebih optimal untuk mencapai keunggulan yang
berkelanjutan.
Keempat, konsep ketangkasan dalam konteks pengembangan
pengembangan piranti lunak. Pada awal tahun 2000-an, diiawali
dengan munculnya konsep agile software development (Cockburn
& Highsmith, 2001) yang memberikan fleksibilitas untuk meng-
adaptasi perubahan sepanjang proses pengembangan software.
Konsep tersebut memuat Agile Manifesto (Fowler& Highsmith,
2001) yang berupa seperangkat nilai-nilai dan prinsip yang
memandu pelaksanaan proyek IT secara mandiri, rendah resiko,
adaptif dan tahap demi tahap. Ada pun prinsip yang dikembangkan
lebih memperhatikan (1) individual dan interaksi, daripada proses
dan tools; (2) working software, daripada kelengkapan dokumen,
(3) customer collaboration daripada negosiasi kontrak, dan (4)
respon terhadap perubahan daripada mengikuti sebuah rencana.
Prinsip-prinsip inilah yang kemudian menjadi “roh” dari
pendekatan Sprint dan Scrum dalam desain dan pengelolaan proyek
teknologi informasi.
373
pada peluang-peluang yang mungkin terjadi, melakukan inovasi
secara tertutup, tanpa perlu berkolaborasi dengan pihak lain di luar
perusahaan dan menyiapkan sistem penyangga untuk dapat
melakukan variasi terhadap sumber daya, proses dan hasil.
374
MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN KONTEMPORER: A SCHOLARLY PRACTITIONER
PERSPECTIVE
375
BAB 11 AGILE LEADERSHIP
376
kerja secara fleksibel dan cepat dalam mengindera dan merespon
perubahan bisnis melalui kemampuan melupakan (unlearning) dan
mempelajari (learning) sumber-sumber kesuksesan yang lebih
relevan dengan perubahan.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dari 600 manajer (Joiner,
2008), disimpulkan bahwa penguasaan atas seorang manajer akan
ketangkasan memimpin dapat dikategorikan dalam lima level atau,
yaitu:
Level Ahli (The Expert) – pada level ini ketangkasan
memimpin bersumber pada keahlian atau kompetensi teknis
yang tinggi. Atasan atau manajer mampu menangani atau
mengatasi beragam permasalahan teknis dalam pekerjaan.
Pemimpin mendominasi interaksi di dalam tim kerja, dimana
bawah atau anggota tim lebih bersifat pasif-reaktif atau
menunggu instruksi dari pimpinan. Pada Level ini,
ketangaksan memimpin hanya relevan terhadap perbahan dan
perbaikan secara bertahap (incrimental improvement).
Level Peraih (The Achiever) – pada level ini, ketangkasan
memipin bersumber pada kemampuan memotivasi orang lain
lewat memdorong mereka mencapai hasil kerja atau outcome
yang penting bagi organisasi. Keterampilan teknis atau posisi
otoritatis tidak lagi menentukan ketangkasan memimpin.
Kemampuan mengkomunikasikan dan memotivasi tim kerja
adalah penting. Baik level ahli maupun peraih, pemimpin
masih merupakan tokoh senteral yang mendominiasi dan
menggerakkan tim kerja secara menyeluruh.
Level Katalis (The Catalyst) – pada level ini dan seterusnya,
ketangkasan memimpin tidak lagi diindikasikan dengan
dominasi, namun dengan kolaborasi. Pemimpin membuka
kesempatan bagi seluruh anggota untuk berkontribusi dalam
menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan bersama. Atas
termotivasi kuat untuk memciptakan budaya dan iklim kerja-
377
sama dalam jangka panjang. Pemimpin sudah berbagi
panggung dengan anggota tim kerjanya bersama-sama
menggerakkan tim mencapai tujuan.
Level Ko-Kreator (The Co-Creator) – pada level ini
ketangkasan memimpin didasarkan pada kemampuan
kolaborasi yang mewujudkan kemenangan bersama (win-win).
Pemimpin mengembangkan kolaborasi yang tidak semata-mata
bertujua pada pencapaian tujuan tim kerja atau organisasi,
tetapi juga perwujudan tujuan individual dari seluruh anggota
yang terlibat. Dengan membantu tim atau organisasi
mewujudkan tujuannya, anggota tim pun mendapatkan yang
mereka cita-citakan.
Level Sinergis (The Synergist) – pada level ini ketangkasan
memimpin bersumber pada kemampuan untuk menciptakan
kolaborasi yang sinergis. Suatu kolaborasi yang menciptakan
pelipatgandaan hasil (multiplier effect). Dimana secara
individual, baik pemimpin maupun anggota tim mustahil untuk
mencapainya. Namun lewat kolabarasi yang sinergis,
pencapaian istimewa atau luar biasa dimungkinkan terjadi.
378
dan O’Shea (2010) mengembangkan agile model yang dapat
digunakan untuk mengukur ketangkasan memimpin. Model tersebut
tersebut atas lima dimensi dan 15 indikator. Ketangkasan memimpin
direfleksikan dalam lima aspek, yaitu: antisipasi perubahan
(Anticipate change), gugah percaya diri atau keyakinan (Generate
confidence),Inisiasi tindakan-tindakan (Initiate action), Lepaskan
hambatan berpikir (Liberate thinking) dan Evaluasi hasil (Evaluate
result). Kelima dimensi tersebut diuraikan lebih lanjut oleh masing-
masing tiga indikator, sehingga secara keseluruhan terdiri dari 15
indikator sepertu tertera pada Tabel 2 di halaman selanjutnya .
Sementara itu Joiner (2008) mengukur ketangkasan memimpin
dalam empat dimensi yaitu: Pertama, ketangkasan mengem-
bangkan potensi (self-leadership agility). Pemimpin yang tangkas
memiliki semangat dan kesungguhan yang tinggi dalam mengenali
kekuatan dan potensi yang dimiliki diri sendiri, maupunkekuatan
dan potensi yang dimiliki seluruh anggota tim yang dikelola.
Pemimpin yang tangkas selalu senang mempelajari sesuatu yang
baru serta semangat mengembangkan diri pada keahlian-kehalian
kunci yang dibutuhkan di masa mendatang. Semangat mengem-
bangkan diri tersebut menjadi teladan atau inspirasi yang menular
bagi seluruh anggota tim. Pemimpin tangkas juga selalu mencari
berbagai cara dan terobosan untuk memudahkan timnya meng-
akusisi keahlian-keahlian baru walaupun memiliki sumber daya
dan dukungan yang terbatas.
Kedua, ketangkasan memahami konsteks (context-setting
agility). Pemimpin yang tangkas memiliki kemampuan untuk
mengetahui lebih awal akan arah perubahan yang sedang dan akan
terjadi. Pemimpin mampu merumuskan dan memutuskan dengan
cepat atas tindakan-tindakan apa yang harus diambil sejalan dengan
perubahan yang terjadi. Pemimpin yang tangkas adalah mereka
percaya diri menentukan sikap dan arah walaupun memiliki
informasi yang terbatas. Sementara itu para pemimpin atau atasan
379
lainnya masih kebinggungan dalam menghadapi perubahan.
Pemimpin yang tangkas memiliki mekanisme yang khas dalam
kumpulkan informasi dari beragam sumber. Mereka dapat
membedakan dengan baik, mana informasi yang hanya noise dan
mana yang signal. Mereka juga cepat dalam membuat keputusan
dan mengambil inisiatif dalam situasi rumit yang penuh
ketidakpastian.
380
Ketiga, ketangkasan berkolaborasi (stake-holder agility).
Pemimpin yang tangkas cepat melakukan analisis terhadap para
pemangku kepentingan, Dia mampu mengenali dengan cepat dan
akurat mengenai ekspektasi dan kepentingan dari seluruh
pemangku kepentingan kunci. Dia juga cekatan dalam
menindaklanjuti hasil analisis tersebut dalam format kerja sama
yang saling meng-untungkan dalam jangka menengah dan panjang.
Pemimpin yang tangkas cekatan dalam merencanakan,
memulihkan, mengem-bangkan dan meningkatkan kualitas
kolaborasi atau aliansi dengan pihak-pihak terkait.
Keempat, ketangkasan berkreasi (creativity agility). Pemimpin
yang tangkas adalah mereka yang memiliki banyak ide pemikiran
baru yang efektif untuk menangani resiko dan menciptakan
peluang-peluang baru. Pemimpin yang tangkas mampu berpikir
dengan alur berpikir yang berbeda yang tidak sempat orang lain
pikirkan. Dia juga cekatan dalam mengelaborasi dan melibatkan
pemikiran-pemikiran baru.
Demikianlah konsep mengenai agile leadership sebagai suatu
pendekatan kepemimpinan generasi kelima yang melihat kepemim-
pinan dalam konteks perubahan lingkungan dinamis. Memimpin
tidak saja membawa organisasi dengan mengarahkan orang-orang
untuk mencapai tujuan, tetapi juga membawa organisasi dengan
melibatkan orang-orang untuk menjadi fleksibel sekaligus cepat
dalam melakukan inisiatif-inisiatif yang diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
381
International Journal of Production Research, 39(18), 4153–
4177.Organization, 7(2), 179–203
Eisenhardt, K. M., & Martin, J. A. (2000). Dynamic capabilities:
what are they?. Strategic management journal, 21(10 11),
1105-1121.
Fowler, M., & Highsmith, J. (2001). The agile manifesto. Software
Development, 9(8), 28-35.
Goldman, S. L., Nagel, R. N., & Preiss, K. (1995). Agile
competitors and virtual organizations: strategies for enriching
the customer (Vol. 8). New York: Van Nostrand Reinhold.
Hart (1942). Risk, uncertainty and the uprofitability of
compounding probabilities. In Lang, McIntyre, & Yntema
(Eds.), Studies in mathematical economics and econometrics
(pp. 110–118). University of Chicago Press.
Horney (2016). The Gig Economy : A Disruptor Requiring HR
Agility. People & Strategy, 20–27
Horney, Pasmore, & O’Shea (2010). Leadership Agility : A Business
Imperative for a VUCA World. People & Strategy, 32–38.
Illich, I.(1971). Deschooling society.
Johson, Whittington, Scholes, Angwin, & Regner, P. (2017).
Exploring strategy: Text and cases (Eleventh edition).
Pearson. New York
Joiner, B. (2008). Leadership Agility: Five Levels of Mastery.
Strategic Direction
Joiner (2009). Creating a Culture of Agile Leaders: A
Developmental Approach. People & Strategy, 32(4), 28–35.
Joiner & Josephs (2007a). Developing agile leaders. Industrial &
Commercial Training, 39(1), 35–42.
http://doi.org/10.1108/00197850710721381
Joiner & Josephs (2007b). Leadership Agility - Five Level of
Mastery for Anticipaing and Initiating Change. John Wiley &
Son, Inc.
382
Knowles, M. S. (1975). Self-directed learning: A guide for learners
and teachers.
Linnenlueck (2017). Resilience in business and management
research: A review of influential publications and a research
agenda. International Journal of Management Reviews, 19(1),
4–30. http://doi.org/10.1111/ijmr.12076
McCann & Selsky (2012). Mastering turbulence : The essential
capabilities of agile and resilient individuals, teams and
organizaitons. Jossey-Bass. London
McKenzie & Aitken (2012). Learning to lead the knowledgeable
organization: developing leadership agility. Strategic HR
Review, 11(6), 329–334.
Meyer (1982). Adapting to environmental jolts. Administrative
Science Quarterly, 27(4), 515. http://doi.org/10.2307/2392528
Nagel & Dove (1991). 21st century manufacturing enterprise
strategy: An industry-led view. Iaccocca Institute of Lehigh
University.
Prange (2016). Engaging with complex environments: why agility
involves more than running hard. International Journal of
Complexity in Leadership and Management, 3(3), 182–197.
Rogers, C. R., & Freiberg, H. J. (1970). Freedom to learn.
Columbus, OH: Charles Merrill.
Staw, Sandelands, & Dutton (1981). Threat rigidity effect in
organizational behavior : A multiple analysis. Administrative
Science Quarterly, 26(4), 501–524
Stigler (1939). Production and distribution in the short run. Journal
of Political Economy, 47(June), 305–327
Teece (2007). Explicating dynamic capabilities: The nature and
microfoundations of (sustainable) enterprise performance.
Strategic Management Journal, 28(13), 1319–1350.
Teece, D. J., & Pisano, G. (1997). A. Shuen (1997),“Dynamic
capabilities and strategic management”. Strategic management
383
journal, 18(7), 509-533.
Tittenbrun, J. (2014). Talcott Parsons’ economic sociology.
International Letters of Social and Humanistic Sciences,
(02), 20-40.
384