Anda di halaman 1dari 1

1.

KONFORMITAS

Anda tentu kerap melihat anak laki-laki bermain mobil-mobilan, sedangkan anak perempuan
bermain boneka. Namun, bagaimana kesan Anda ka melihat anak perempuan bermain mobil-
mobilan, sedangkan an laki-laki bermain boneka?
Pada kasus pertama, apa yang dilakukan anak laki-laki dan anak perempuan tersebut umumnya
dianggap sebagai hal yang wajar. Sementara pada kasus kedua, anak perempuan itu akan
dianggap tomboi dan anak laki-laki itu akan dianggap "kemayu".
Anggapan terhadap kedua kasus itu merupakan contoh bahwa seseorang di masyarakat telah
ditanamkan sejak kecil, Perilaku anak laki-laki dan anak perempuan pada kasus pertama
dikatakan sesuai (konform) terhadap dan nilai masyarakat. Sementara pada kasus selanjutnya,
kedua anak itu dianggap menyimpang karena tidak berperilaku sesuai dengan harapan
masyarakat (nonkonform).
Sejak lahir, orang tua dan lingkungan sekitar kita berusaha membentuk kita agar berperilaku
sesuai dengan jenis kelamin kita. Anak laki-laki diharapkan berperilaku aktif, menyukai
tantangan, berani, dan kreatif sementara anak perempuan diharapkan berperilaku lembut. Oleh
karenanya sering kita jumpai anak laki-laki mendapat mainan mobil-mobilan, alat-alat
elektronik, atau mainan perang-perangan, sedangkan anak perempuan mendapat mainan boneka
atau alat-alat memasak.
Melalui proses sosialisasi, identitas jenis kelamin seorang anak ditanamkan. Anak akan bersikap
konformis terhadap peran sebagai anak perempuan atau anak laki-laki sesuai dengan harapan
masyarakat.
Proses sosialisasi menghasilkan konformitas. Menurut John M. Shepard, konformitas merupakan
bentuk interaksi ketika seseorang berperilaku terhadap orang lain sesuai dengan harapan
kelompok atau masyarakat tempat tinggalnya. Konformitas berarti proses penyesuaian diri
dengan masyarakat dengan cara menaati norma dan nilai yang dianut masyarakat. Sementara itu,
perilaku yang menyimpang atau tidak sesuai dengan norma dan nilai dalam masyarakat disebut
sebagai perilaku nonkonformis atau perilaku menyimpang (deviant behavior).
Pada dasarnya, kita semua cenderung bersifat konformis. Kita cenderungmenyesuaikan diri
dengan orang lain atau dengan kelompok tempat kita berinteraksi sehari-hari. Contoh, teman-
teman kita berencana pergi ke pantai pada akhir pekan. Kita yang tadinya berniat tinggal di
rumah akhirnya ikut pergi karena melihat teman-teman kita pergi.
Konformitas pada masyarakat tradisional berbeda dengan masyarakat modern. Konformitas
masyarakat tradisional terhadap norma dan nilai sosial yang berlaku sangat kuat. Pada
masyarakat tradisional dengan tradisi yang masih sangat kuat, norma dan nilai sosial berlaku
secara turun-temurun. Isi norma dan nilai tersebut tidak banyak berubah dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Norma dan nilai sosial pada masyarakat tradisional cenderung homogen
sebab pengaruh dari luar masih kurang. Penyimpangan dalam masyarakat tradisional tidak
dibenarkan karena dianggap mengganggu tradisi.
Sementara pada masyarakat modern seperti di kota, anggota-anggotanya selalu berusaha
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan karena kota merupakan jalan masuk bagi
pengaruh-pengaruh luar. Oleh karena itu, konformitas di daerah perkotaan sangat kecil
dibandingkan dengan daerah pedesaan. Bahkan konformitas pada masyarakat perkotaan kadang
dianggap sebagai penghambat kemajuan.

Anda mungkin juga menyukai