Anda di halaman 1dari 8

RESEARCH & DEVELOPMENT

TEKNOLOGI DALAM PENGEMBANGAN OBAT


(NANOTEKNOLOGI DAN BIOTEKNOLOGI)

OLEH:
RIZKI DOLI HARTAMA HARAHAP
NIM 227014003

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
ABSTRAK
Penelitian dan Pengembangan (Research and Development, R&D) telah
menjadi inti (core) dari industri farmasi. Inovasi dapat pula dilakukan melalui
sumber eksternal yakni aliansi dengan perusahaan yang berhasil mengembangkan
teknologi (Holland dan Lazo, 2004)
Kemajuan pada sains biologi dan hadirnya bioteknologi merupakan mesin
revolusi industri ini. Dimulai penemuan ”double helix structure of DNA” dan
pengembangan teknik rekayasa genetik maka kemampuan untuk memahami
mekanisme aksi obat dan biokimia serta akar molekuler banyak penyakit menjadi
meningkat sangat cepat. Hal ini menciptakan peluang untuk pengobatan baru
yang sangat bermakna bagi perusahaan pada industri farmasi (Lacetera, 2001).
Di era nanosains saat ini, kemajuan nanoteknologi telah mengarah pada
penciptaan generasi baru berstruktur nano, masing-masing karakteristik ditandai
oleh pemanfaatan/eksplorasi dalam berbagai jenis aplikasi pada bidang biomedis .
Aplikasi ini diharapkan secara signifikan meningkatkan diagnosis dan aspek
terapeutik (pengobatan) dari beberapa penyakit. Material/bahan yang telah
dieksplorasi dan dilaporkan sebagai komponen biosensor serta sebagai platform
pengiriman obat (drug delivery) yang sangat efisien. Inovasi nanopartikel tidak
hanya bertindak sebagai agen pencitraan yang efisien untuk mengidentifikasi
jaringan yang sakit tetapi juga pembawa yang ideal untuk mengantarkan obat
(drug delivery) antikanker dan obat terapeutik lainnya pada lokasi target dengan
kemampuan optimal dan jaminan kerusakan minimal (Patel dan Nanda, 2015).

PENDAHULUAN
Dasar pertimbangan pada pengembangan teknologi untuk terapi farmasetis
terdiri dari tiga faktor utama yaitu menciptakan sistem yang efektif
(effectiveness), menekan efek bahaya pada sistem jika diaplikasikan (safety), dan
membuat agar sistem dapat diterima dengan baik oleh pasien (acceptability). Tiga
pertimbangan ini mengantarkan usaha pengembangan teknologi penghantaran
obat hingga pada kemajuan yang pesat. Saat ini telah banyak teknologi
penghantaran obat diperkenalkan sebagai upaya melahirkan obat baru dengan sifat
yang ideal, mulai dari penemuan struktur obat baru hasil sintesis origin maupun
hasil modifikasi, kuantifikasi hubungan struktur-aktivitas secara komputasional
(quantitative structure-activity relationship, QSAR), hingga pada pengembangan
teknologi formulasinya. Penelusuran aktivitas obat juga telah mencapai
pemahaman pada aras molekuler dengan telah diperkenalkannya berbagai
instrumen dan metode analisis molekuler (Martien, dkk 2012)
Realitas ini sejalan dengan pendapat bahwa pertumbuhan dan
perkembangan suatu perusahaan tergantung pada kemampuannya untuk
meluncurkan produk baru. Untuk mencapai keberhasilan diperlukan technological
knowledge (Sampurno, 2007). Nanoteknologi dan Bioteknologi merupakan
teknologi dalam pengembangan obat.
1. Nanoteknologi
Teknologi formulasi sediaan farmasi dan sistem penghantaran obat
memegang peranan penting dalam proses penemuan terapi farmasetis baru pada
publik. Pertimbangan fisikokimia dan molekuler meliputi kesetimbangan ion-
molekul, kesetimbangan hidrofilik-lipofilik, proses biofarmasetika, metabolisme
dan biodegradasi, afinitas obat-reseptor, pertimbangan fisiologis, serta
biokompatibilitas dari sistem menjadi faktor utama yang umum diperhatikan
dalam melakukan penelitian pada bidang ini. Meskipun demikian, semakin
majunya pemahaman terhadap mekanisme yang terjadi di dalam tubuh membuat
berbagai masalah yang pada mulanya kurang diperhatikan menjadi bahan
pertimbangan yang harus dicarikan solusinya. Pada beberapa kasus, misalnya
pada tahap awal, sebuah molekul obat yang poten tidak dapat menembus sistem
pertahanan tubuh dengan baik sehingga ketersediaan hayati senyawa dalam
sirkulasi sistemik maupun jaringan yang sakit menjadi sangat rendah. Berbagai
penelitian dikembangkan untuk meningkatkan kadar senyawa tersebut di dalam
darah, baik dengan meningkatkan efektivitas dan kecepatan absorpsi, menghindari
biodegradasi oleh enzim, maupun modifikasi molekuler untuk meningkatkan
absorpsi seluler. Namun demikian permasalahan timbul setelah usaha-usaha yang
dilakukan mencapai keberhasilan yaitu ditemukan gejala ketoksikan atau
munculnya efek samping maupun efek balik pada studi keamanan secara in vivo
karena jumlah obat yang mencapai kadar yang tidak dapat ditoleransi oleh tubuh.
Permasalahan tersebut mengubah cara pandang para peneliti farmasi dalam
pengembangan teknologi formulasi yaitu untuk lebih fokus pada peningkatan
efektivitas penghantaran obat pada jumlah yang tepat. Fakta ini membawa
berbagai penelitian pada kecenderungan untuk melakukan berbagai modifikasi
pada sistem terbaik yang ada (Martien, dkk 2012).
Penghantaran nanopartikel dideskripsikan sebagai formulasi suatu partikel
yang terdispersi pada ukuran nanometer atau skala per seribu mikron. Batasan
ukuran partikel yang pasti untuk sistem ini masih terdapat perbedaan karena
nanopartikel pada sistem penghantaran obat berbeda dengan teknologi
nanopartikel secara umum. Pada beberapa sumber disebutkan bahwa nanopartikel
baru menunjukkan sifat khasnya pada ukuran diameter di bawah 100 nm, namun
batasan ini sulit dicapai untuk system nanopartikel sebagai sistem penghantaran
obat. Nanopartikel obat secara umum harus terkandung obat dengan jumlah yang
cukup di dalam matriks pada tiap butir partikel, sehingga memerlukan ukuran
yang relatif lebih besar disbanding nanopartikel non-farmasetik. Meskipun
demikian secara umum tetap disepakati bahwa nanopartikel merupakan partikel
yang memiliki ukuran di bawah 1 mikron (Tiyaboonchai, 2003; Buzea et al.,
2007). Ukuran ini dapat dikarakterisasi secara sederhana dan secara visual
menghasilkan dispersi yang relative transparan, serta perpanjangan lama
pengendapan disebabkan karena resultan gaya ke bawah akibat gravitasi sudah
jauh berkurang. Hal tersebut sebagai akibat dari berkurangnya massa tiap partikel
dan peningkatan luas permukaan total yang singnifikan menghasilkan interaksi
tolak menolak antar partikel yang besar dan muncul fenomena gerak Brown
sebagai salah satu karakter spesifik partikel pada ukuran koloidal (Gupta dan
Kompella, 2006).
Beberapa kelebihan nanopartikel adalah kemampuan untuk menembus
ruang-ruang antar sel yang hanya dapat ditembus oleh ukuran partikel koloidal
(Buzea et al., 2007), kemampuan untuk menembus dinding sel yang lebih tinggi,
baik melalui difusi maupun opsonifikasi, dan fleksibilitasnya untuk dikombinasi
dengan berbagai teknologi lain sehingga membuka potensi yang luas untuk
dikembangkan pada berbagai keperluan dan target. Kelebihan lain dari
nanopartikel adalah adanya peningkatan afinitas dari sistem karena peningkatan
luas permukaan kontak pada jumlah yang sama (Kawashima, 2000). Pembentukan
nanopartikel dapat dicapai dengan berbagai teknik yang sederhana. Nanopartikel
pada sediaan farmasi dapat berupa sistem obat dalam matriks seperti nanosfer dan
nanokapsul, nanoliposom, nanoemulsi, dan sebagai sistem yang dikombinasikan
dalam perancah (scaffold) dan penghantaran transdermal.
Pengembangan penghantaran obat tertarget berfungsi untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi obat yang diaplikasikan, sekaligus keamanan penggunaan
obat karena mencegah obat untuk bereaksi pada tempat yang tidak diharapkan.
Penghantaran obat jenis ini secara umum dipahami sebagai hubungan ligan
dengan ligan, ligan dengan protein, atau protein dengan protein, karena kesesuaian
interaksi spesifik dapat diketahui dari fenomena kimiawi tersebut.
Meskipun nanoteknologi adalah bidang yang berkembang sangat pesat,
tetapi ketersediaan produk jauh dari jangkauan karena berbagai kendala di
berbagai tahap perkembangan. Hambatan untuk pertumbuhan, sebagaimana
disebutkan di bawah ini, jika diatasi dapat membawa perubahan revolusioner di
bidang perawatan kesehatan dan obat-obatan.
A. Kurangnya komponen pengetahuan dan karakteristik nanopartikel (NP)
Ada beberapa jenis nano struktur, dengan berbeda komposisi dan aksi.
Fisikokimia in-vitro dan in-vivo. Fenomena nanopartikel (NP) ini tidak dipahami
dengan baik. Karena itu mengidentifikasi Nanomaterial yang tepat untuk indikasi
yang dimaksud sangat penting.
B. Kurangnya keseragaman toksisitas
Nanomaterial dari komposisi, ukuran atau bentuk yang berbeda mungkin
toksik pada sel yang berbeda pada kondisi paparan yang berbeda. Sel target dan
bagian target untuk toksisitas bervariasi sesuai dengan komposisi, ukuran, bentuk,
muatan, agregasi, pelapisan dan kelarutan nanopartikel.
C. Kurangnya standarisasi dalam sistem pemodel dan pengujian
Tidak ada model in-vivo yang baik untuk menjelaskan perilaku fisik, kimia
dan biologis secara tepat. Sulit untuk memvalidasi hasil interaksi nanopartikel
(NP) dengan sel sebagai hasil bervariasi dengan berbeda sel bahkan jika kondisi
pengujian/ perlakuan tetap sama.
D. Kurangnya standarisasi dalam sistem pemodel dan pengujian
Tidak ada model in-vivo yang baik untuk menjelaskan perilaku fisik, kimia
dan biologis secara tepat. Sulit untuk memvalidasi hasil interaksi nanopartikel
(NP) dengan sel sebagai hasil bervariasi dengan berbeda sel bahkan jika kondisi
pengujian/ perlakuan tetap sama.
E. Kurangnya protokol sintesis terstandar
Produksi nanomaterial menggunakan banyak pereaksi sintetik yang juga
bersifat beracun. Jalur sintetis yang efisien harus dikembangkan dengan
menghindari penggunaan polutan maupun reagen kimia. Penggunaan material
sintetis yang bijaksana dan mematuhi pedoman keselamatan dapat memastikan
hasil kemurnian tinggi dan nanopartikel biokompatibel yang lebih baik.
F. Kurangnya alat analisis yang efisien
Nanoteknologi berkaitan dengan struktur skala nano, maka penemuan
metode analitis perlu dikembangkan untuk memperoleh nanomaterial yang
menggambarkan tepat seperti ukuran partikel, muatan permukaan, permukaan
kimia, keadaan kristal, keadaan agregasi dan distribusinya. Inovasi baru dalam
teknologi metrologi diperlukan untuk memprediksi perilaku nanopartikel di media
biologis.
G. Kurangnya alat analisis yang efisien
Nanoteknologi berkaitan dengan struktur skala nano, maka penemuan
metode analitis perlu dikembangkan untuk memperoleh nanomaterial yang
menggambarkan tepat seperti ukuran partikel, muatan permukaan, permukaan
kimia, keadaan kristal, keadaan agregasi dan distribusinya. Inovasi baru dalam
teknologi metrologi diperlukan untuk memprediksi perilaku nanopartikel di media
biologis.
H. Kurangnya pemahaman dampak pada sistem biologis
Dampak pada masalah kesehatan dan keselamatan masih belum jelas
dalam hal seluler atau toksisitas terhadap organ, genotoksik atau karsinogenik.
Bahan-bahan ini cukup kecil untuk dihirup dan partikel menumpuk di alveoli
paru-paru menginduksi perubahan inflamasi atau efek karsinogenik. Ini akan
menjadi perhatian utama karena pekerja akan berada di bawah ancaman pekerjaan
yang berbahaya.
I. Kurangnya sistem pemantauan in-vivo
Substansial infrastruktur untuk analisis secara in-vivo dari nanomedicines,
ketidakmampuan untuk memantau beberapa pemeriksaan dan pasien perlu dirawat
untuk analisis, adalah faktor utama yang menghalangi optimalisasi kegiatan
biologis.
J. Kurangnya pedoman keselamatan standar
Karena sifat kompleks nanomedicines dan beraneka ragamnya toksisitas,
sulit untuk menguraikan pedoman keselamatan tertentu untuk nano partikel
tertentu. Untuk memberikan protokol keamanan, empiris bukti dan pengujian pra-
klinis yang luas adalah hal yang wajib.
K. Kurangnya tenaga kerja yang terlatih
Konsumsi energi yang tinggi karena biaya produksinya sangat tinggi
aksesibilitas tinggi dan terbatas kepada orang-orang (Patel dan Nanda, 2015).

2. Bioteknologi
Bioteknologi adalah teknologi yang berbasis pada biologi, terutama apabila
digunakan dalam bidang pertanian, pangan, kedokteran, lingkungan, dan
energi. Pada dasarnya, bioteknologi adalah suatu teknologi yang
memanfaatkan proses seluler dan molekuler untuk mengembangkan teknologi
dan produk yang membantu memperbaiki kesehatan manusia beserta
lingkungannya. Manusia telah menggunakan proses biologis mikroorganisme
selama lebih dari 6.000 tahun untuk membuat produk makanan yang berguna,
seperti roti, keju, produk susu, dan minuman lain.
Istilah bioteknologi pertama baru terdengar pertama kali pada 1919
saat bioteknologi digambarkan sebagai interaksi antara biologi dan teknologi
manusia untuk mengonversi suatu bahan baku menjadi produk tertentu. Pada
saat itu, sebagian besar bioteknologi hanya terfokus pada makanan dan
minuman. Pada 1940-an, kegiatan bioteknologi berkembang pada obat‐obatan
sehingga memungkinkan produksi massal antibiotik, seperti penisilin, yang
terus digunakan untuk mengontrol penyakit menular. Terobosan besar yang
menjadi blue print bioteknologi modern diawali dengan studi tentang DNA.
Pada studi ini, akhirnya struktur DNA ditemukan dan dipublikasikan oleh
Francis Crick dan James D. Watson pada 1953 dalam jurnal ilmiah Nature
dengan judul “Molecular Structure of Nucleic Acids: A Structure for
Deoxyribose Nucleic Acid” (Watson & Crick, 1953). Usaha mendefinisikan
bioteknologi berjalan cukup lama, hingga akhirnya PBB dan WHO dalam
suatu konvensi pada 1992 mendefinisikan bahwa bioteknologi adalah “aplikasi
teknologi yang menggunakan system biologi, organisme hidup atau derivatnya,
untuk membuat atau memodifikasi produk dan proses untuk maksud tertentu”.
Bioteknologi modern sering dikaitkan dengan penggunaan mikroorganisme
yang diubah secara genetik, seperti Escherichia coli atau ragi (yeast) untuk
produksi rekombinan protein (misalnya insulin atau antibiotik tertentu).
Bioteknologi modern sering juga digunakan untuk membuat hewan transgenik,
tumbuhan transgenik, dan penggunaan sel mamalia (contohnya sel chinese
hamster ovary/sel CHO) untuk memproduksi obat-obatan Aplikasi
bioteknologi modern yang menjanjikan lainnya adalah pengembangan obat-obatan
dengan menggunakan tanaman sebagai bioreaktor, misalnya teknologi molecular
farming (Santoso dan Lisdiyanti).
Di bidang kesehatan, bioteknologi modern digunakan untuk
menyintesis molekul terapeutik yang belum pernah ada sebelumnya untuk
memerangi berbagai penyakit serius, vaksin untuk pertahanan tubuh terhadap
ancaman suatu penyakit, dan teknologi diagnostik untuk mendiagnosis suatu
penyakit dengan presisi yang tinggi. Teknologi produksi obat menjadi
semakin modern dengan munculnya teknologi rekombinan (rDNA) pada
1970-an dan 1980-an. Teknologi ini memungkinkan para ilmuwan untuk
memanipulasi gen dan sel untuk menghasilkan obat-obatan yang sangat kompleks
secara struktural yang tidak mungkin diproduksi melalui sintesis kimiawi atau
pemurnian dari sumber-sumber alami. Dengan menggabungkan kemampuan
memproduksi, memurnikan, dan mengkarakterisasi molekul kompleks (misalnya
molekul antibodi monoklonal) dengan pemahaman tentang mekanisme suatu
penyakit, berbagai produk obat biologi telah mampu diproduksi. Habisnya
masa paten obat biologi telah memunculkan fenomena baru dengan kehadiran
produk biosimilar, yakni suatu produk obat biologi yang mengacu pada produk
originator yang telah diakui (Santoso dan Lisdiyanti).
Industri bioteknologi bertumpu pada dua kemajuan revolusioner, yaitu;
penemuan rekayasa genetik (genetic engineering) dan teknologi antibodi
monoklonal (monoclonal antibody). Perubahan terpenting terutama adalah
diketemukannya target molekuler pada enzim dan permukaan sel reseptor. Obat
dapat diarahkan pada sasaran nuclear sebagai nucleic acids, faktor-faktor
transkripsi dan reseptorreseptor intra selular. Perusahaan-perusahaan farmasi yang
berbasis riset (research-based company) mengintegrasikan teknologi ini dan
melakukan investasi secara besar-besaran.
Ketika manusia mengembangkan bioteknologi medis sebagian menjadi
optimis bahwa bioteknologi tersebut akan memberikan kemungkinan bagi
manusia untuk hidup lebih panjang, mengobati lebih banyak penyakit,
mendapatkan keturunan tanpa harus melalui lembaga perkawinan, dan
memperkecil kemungkinan kematian bayi saat dilahirkan. Karena itu bioteknologi
telah membawa manusia berada pada era sintetis dan diakui sebagai salah satu
industri kunci. Kehadiran bioteknologi akan menguasai kehidupan manusia dan
memiliki kekuatan besar untuk mengubah jalannya perkembangan organisme
hidup. Orang tidak hanya menemukan dan mengurai kehidupan, tetapi berusaha
mengubah dan menciptakan kehidupan. Dengan kemajuan pesat yang terjadi di
bidang bioteknologi medis, manusia berusaha menemukan halhal baru dalam pola
dan tujuan itu (Anwar, 2010)
DAFTAR PUSTAKA

Anwar A. (2010). Penerapan Bioteknologi Rekayasa Genetika Dibidang Medis


Ditinjau dari Perspektif Filsafat Pancasila, Ham dan Hukum Kesehatan di
Indonesia. Jurnal Sasi Vol. 17 No. 4.
Buzea, C., Blandino, I.I.P., dan Robbie, K., 2007, Nanomaterial and
nanoparticles: sources and toxicity, Biointerphases, 2: MR170– MR172
Gupta, R. B. and Kompella, U.B., 2006, Nanoparticle technology of drug
delivery, Taylor & Francis Grup, New York,
Holland, S., and B. B. Lazo, 2004, The Global Pharmaceutical Industry,
Manchester Business School.
Kawashima, Y., Yamamoto, H., Takeuchi, H., and Kuno, Y., 2000,
Mucoadhesive DLlactide/ glycolide copolymer nanospheres coated with
chitosan to improve oral delivery of elcatonin, Pharmaceutical
Development and Technology, 5(1).
Lacetera, N., 2001, Corporate Governance and Innovation in the Pharmaceutical
Industry: Some Further Evidence. Cespri, Universita Bocconi, Italia.
Martien R., Adhyatmika, Iramie D. K., Verda F, Dian
P. S. (2012). Perkembangan Teknologi Nanopartikel Sebagai Sistem
Penghantaran Obat. Majalah Farmaseutik, Vol. 8 No. 1
Patel S, Nanda R. Nanotechnology in Healthcare: Applications and Challenges.
Med Chem (Los Angeles). 2015;05(12).
Santoso A dan Puspita L. (2021). Bioteknologi Biosimilar dan Reverse
Engineering. Jakarta : LIPI Press
Sampurno, 2007, Peran Aset Nirwujud Pada Kinerja Perusahaan: Studi Industri
Farmasi Indonesia, Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Tiyaboonchai W., 2003, Chitosan nanoparticles: A promising system for drug
delivery, Naresuan Univ. J., 11(3).

Anda mungkin juga menyukai