Anda di halaman 1dari 21

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

TUGAS MAKALAH
“LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN OBAT”

OLEH :

NAMA : DORA ELFIRA SORAYA

STAMBUK : 15020170242

KELAS : C2

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Obat tidak hanya meliputi senyawa yang digunakan untuk pengobatan
penyakit dan bahan diagnostik saja, tetapi meliputi semua senyawa kimia
yang dapat mempengaruhi atau menimbulkan efek pada sistem biologis,
termasuk insektisida, fungisida, herbisida, flavoran, odoran, penarik dan
pengusir serangga, serta senyawa- senyawa yang digunakan untuk uji
farmakologi, dan fisiologi.
Selama beberapa ribu tahun, manusia telah menggunakan tumbuh-tumbuhan
atau ramuannya untuk pengobatan berbagai macam penyakit, tetapi baru
pada pertengahan abad kesembilan belas dilakukan upaya serius untuk
mengisolasi dan memurnikan senyawa aktif yang terkandung dalam tumbuh-
tumbuhan tersebut. Sejak itu, berbagai macam senyawa biologis aktif telah
diperoleh dan strukturnya telah diketahui, misal: morfin dari opium, kokain dari
daun koka, dan kina dari kulit pohon kina.
Produk- produk alam tersebut dicoba untuk dibuat secara sintetik, atau
dijadikan senyawa penuntun untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi
turunan yang lebih baik, dalam upaya untuk memperbaiki apa yang telah
disediakan oleh alam. Sebagian besar pengembangan ini dilakukan secara
coba-coba (trial and error) tanpa desain atau alasan yang jelas sehingga
hasilnya kurang maksimal dan memerlukan biaya yang sangat besar, oleh
karena itu perlu diketahui dan dikembangkan pola dan teknik yang dapat
digunakan untuk mengembangkan obat baru. Hal ini dapat dipahami
mengingat bahwa dari 5.000–10.000 senyawa baru yang disintesis atau yang
didapat dari sumber alam (riset dasar), setelah melalui penapisan dengan
berbagai uji kimia, fisika, aktivitas, toksisitas, farmakokinetik, farmakodinamik,
dan uji klinis, kemungkinan hanya satu senyawa yang secara klinik dapat
digunakan sebagai obat.
Waktu yang dibutuhkan untuk riset penemuan senyawa penuntun, mulai dari
proses sintesis atau ekstraksi, penapisan farmakologi, uji pre-klinis sampai
evaluasi klinis, persetujuan pendaftaran dan izin edar, memakan waktu lebih
kurang 10-14 tahun.
Penemuan obat baru dan kebutuhan sediaan obat baru terus meningkat
sejalan dengan adanya tuntutan akan perbaikan standar kesehatan manusia
dapat diperoleh melalui penggunaan obat yang lebih efektif dan efisien.
Sehingga pengembangan dan penemuan obat baru diperlukan untuk
menjawab tantangan pelayanan kesehatan, baik untuk tujuan promotif,
preventif, kuratif maupun rehabilitatif. 

B. Rumusan Masalah
Apa saja langkah-langkah penemuan obat?
C. Tujuan
Untuk memenuhi tugas kimia medisinal serta memberikan informasi
mengenai tahapan dan langkah-langkah dalam penemuan obat.
BAB 2 PEMBAHASAN

A. RANCANGAN DAN PENGEMBANGAN OBAT BARU


Langkah awal dalam pengembangan obat adalah melakukan pengenalan
masalah. Pada pengenalan masalah dilakukan studi riset dasar, yaitu
pemilihan jenis penyakit yang dijadikan target, proses penyakit, fungsi sistem
normal tubuh dan perubahan sistem akibat penyakit, dan juga dilakukan studi
dasar-dasar kimia dan biokimia. Dalam pengembangan obat harus
didasarkan pada target dan prioritas tertentu, yaitu sebagai berikut.
a. Target terapeutik, yaitu menentukan jenis penyakit yang akan dijadikan
objek penelitian pengembangan obat, seperti: diabetes, osteoporosis,
AIIDS, osteoarthritis, penyakit Alzheimer, penyakit kardiovaskular,
obesitas, depresi, atau penyakit kanker. Di negara maju prioritas ditujukan
terutama untuk penanggulangan penyakit kardiovaskular, obesitas,
migrain dan kanker. Di Indonesia prioritas penelitian ditujukan untuk
penanggulangan penyakit malaria, paru, dan penyakit yang berhubungan
dengan ketuaan, seperti diabetes mellitus dan hipertensi.
b. Target jaringan, yaitu menentukan tujuan obat spesifik pada jaringan atau
organ yang sakit. Teknik-teknik formulasi, nanoteknologi, rekayasa
molekul dan aspek farmakokinetik sangat berperan untuk pencapaian obat
pada jaringan atau sel target. Contoh: pemberian obat aerosol yang dapat
mencapai target jaringan cabang bronki, untuk pengobatan asma.
c. Target sel. Biologi molekular merupakan alat yang sangat penting dalam
penemuan obat, yaitu mempercepat identifikasi komponen sel baru
(protein: transpor reseptor, enzim, atau gen) yang terlibat dalam proses
timbulnya penyakit, dan hal ini sangat berguna dalam pengembangan
obat. Biologi molekular menghasilkan sumber target molekul baru yang tak
pernah ada habisnya (Siswandono dan Soekardjo, 1998).
Selanjutnya dilakukan pemilihan target, identifikasi dan validasi target yang
akan dicapai melalui faktor-faktor sistem biologis, genetik, genomik, proteomik
dan model transgenik. Hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan target
adalah faktor spesifisitas dan selektivitas. Semakin selektif obat terhadap
target, semakin sedikit kesempatan senyawa untuk berinteraksi dengan target
yang berbeda sehingga makin kecil kemungkinan terjadinya efek samping
yang tidak diinginkan. Identifikasi bioassay, baik terhadap hewan coba
maupun jaringan tertentu, sel, atau enzim yang diisolasi, secara in vitro dan in
vivo juga diperlukan untuk mendapatkan hasil penelitian yang optimal (Vogel,
2008).
Langkah berikutnya adalah mencari senyawa aktif (induk) baru, yaitu
senyawa yang digunakan sebagai pangkal tolak modifikasi molekul, dengan
cara isolasi atau ekstraksi dari bahan alam yang secara empiris digunakan
sebagai obat tradisional, atau dari penapisan produk sintesis senyawa
organik, dan kemudian diidentifikasi strukturnya. Pada umumnya cara ini
bersifat coba-coba (trial and error) dan membutuhkan biaya yang besar. Cara
yang lebih rasional adalah melakukan pendekatan dengan melalui rancangan
obat (Wermuth, 2008).
Rancangan obat adalah usaha untuk mengembangkan obat yang telah ada,
yang sudah diketahui struktur molekul dan aktivitas biologisnya, atas dasar
penalaran yang sistematis dan rasional, dengan mengurangi faktor coba-coba
seminimal mungkin. Tujuan rancangan obat pada awalnya adalah
mendapatkan obat baru dengan aktivitas yang lebih baik dengan biaya yang
layak secara ekonomi, kemudian berkembang untuk mendapatkan obat
dengan efek samping yang minimal (aman digunakan), bekerja lebih selektif,
masa kerja yang lebih lama, dan meningkatkan kenyamanan pemakaian obat.
Rancangan obat sering digambarkan sebagai proses elaborasi sistematis
untuk mengembangkan lebih lanjut obat yang sudah ada, dengan tujuan
mendapatkan obat baru dengan efek biologis yang diinginkan dan
mengurangi atau menghilangkan efek samping yang ada, melalui manipulasi
molekul.
Ada dua tipe rancangan obat, yang pertama adalah rancangan obat berbasis
ligan (ligand based drug design = LBDD) yang juga disebut sebagai
rancangan obat secara tidak langsung, dan yang kedua adalah rancangan
obat berbasis struktur (structure based drug design SBDD) atau rancangan
obat secara langsung.
1. Rancangan obat berbasis ligan adalah memilih serangkaian molekul
yang telah menunjukkan aktivitas yang baik dan mengikat target biologis
yang diinginkan (dari data penelitian Hubungan Kuantitatif Struktur-
Aktivitas = HKSA). Dengan bantuan program komputer, dari molekul-
molekul tersebut dapat dicari gugus-gugus yang bertanggungjawab
terhadap aktivitas (farmakofor) dan gugus yang dapat menurunkan
aktivitas, serta sifat-sifat lipofilik, elektronik, dan sterik/geometrik dari
gugus. Hal ini digunakan untuk merancang karakteristik struktur minimum
yang diperlukan untuk pengembangan obat lebih lanjut.
2. Rancangan obat berbasis struktur adalah merancang molekul-molekul
yang dapat masuk dalam lubang (cavity) pada sisi reseptor dan dapat
berinteraksi dengan reseptor (target biologis) secara serasi (doking).
Proses doking tersebut dilakukan dengan menggunakan program
komputer tertentu. Rancangan ini tergantung pada pengetahuan tentang
struktur tiga dimensi dari target biologis, yang didapatkan dari studi sinar-X
atau NMR (Nuclear Magnetic Resonance). Jika struktur target tidak
tersedia, dimungkinkan untuk membuat model homologi target.
Manipulasi molekul (modifikasi molekul atau modifikasi struktur) adalah
mensintesis sejumlah turunan senyawa penuntun, melakukan identifikasi
struktur dan menguji aktivitas biologisnya. Gugus atau substituen yang
disubstitusikan dapat dipilih dengan menggunakan metode Topliss, metode
pencarian Fibonacci, metode rangkaian optimisasi simpleks, atau analisis
klaster. Jumlah senyawa yang disintesis tergantung pada metode yang
digunakan. Pemilihan senyawa dapat pula dilakukan secara virtual dengan
metode high-throughput screening dari perpustakaan kimia yang luas.
Untuk merancang dan mengembangkan obat baru, baik yang berasal dari
bahan alam maupun hasil sintesis, sebelum senyawa disintesis diperlukan
suatu metode untuk memprediksi sifat kimia fisika molekul obat dan
mengetahui bagaimana gambaran senyawa dalam berinteraksi dengan
reseptor. Hal tersebut untuk meminimalkan faktor coba-coba (trial and error)
sehingga lebih ekonomis dan sangat menghemat waktu. Metode yang
sekarang sedang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan di atas
adalah dengan melalui pendekatan pemodelan molekul (molecular modeling)
(Schlick, 2010). Pemodelan molekul merupakan suatu cabang ilmu kimia
untuk evaluasi sifat-sifat molekul dan struktur, menggunakan kimia komputasi
modem dan grafik molekul dengan tehnik visualisasi tiga dimensi (IUPAC,
1998).
Pemodelan molekul banyak digunakan dalam bidang kimia dan biologi
komputasional untuk mempelajari sifat molekul dari sistem yang kecil (obat)
hingga molekul biologis yang besar (reseptor), serta untuk memahami aksi
obat pada tingkat molekul dan atom, melalui simulasi proses interaksi obat-
reseptor (docking) dengan bantuan komputer. Teknik in silico ini sangat
penting dalam bidang ilmu Kimia Medisinal untuk merancang, menemukan
dan optimisasi senyawa bioaktif dalam proses pengembangan obat
(Hinchliffe, 2008).
Interaksi obat-reseptor sangat tergantung pada sifat-sifat geometri,
konformasi dan elektronik dari molekul obat dan reseptor. Reseptor
merupakan makromolekul protein yang terdiri atas rangkaian ribuan asam-
asam amino, yang mengandung gugus- gugus yang bersifat polar, seperti:
karboksilat dan amino, dan gugus yang bersifat nonpolar, seperti: fenil dan
alkil. Perkembangan teori kimia dan metode komputasional modern yang
dipadukan dengan teknologi komputer yang canggih, menggunakan metode
mekanika kuantum (quantum mechanics) dan mekanika molekul (molecular
mechanics), mampu mensimulasikan proses interaksi obat-reseptor. Prinsip
dasarnya adalah mengekspresikan sifat-sifat geometri, konformasi dan
elektronik dari molekul obat dan reseptor menjadi fungsi energi, dan dengan
meminimalkan fungsi energi akan didapat bentuk geometri yang optimal dan
paling stabil, yang mencerminkan kekuatan ikatan obat-reseptor. Kekuatan
ikatan obat-reseptor inilah yang dapat mempresentasikan aktivitas biologis
obat, yang dinyatakan dengan nilai doking (docking score). Doking adalah
identifikasi energi terendah dari proses interaksi ligan (molekul kecil) dengan
sisi aktif makromolekul protein (reseptor), yang strukturnya sudah diketahui.
Interaksi ligan-reseptor melibatkan ikatan-ikatan kimia, seperti: ikatan-ikatan
kovalen, hidrogen, van der Waals, hidrofobik, ionik (elektrostatik), dipol- dipol,
dan transfer muatan (Young, 2009).
B. MENCARI SENYAWA PENUNTUN
Senyawa penuntun (lead compound, parent compound) adalah senyawa
yang dapat menimbulkan aktivitas biologis, seperti aksi terapeutik, aksi toksik,
regulasi fisiologis, hormon, dan feromon, serta senyawa yang terlibat atau
berpengaruh terhadap proses biokimia dan patologi pada hewan atau
tumbuh-tumbuhan. Pada umumnya senyawa yang akan dikembangkan
mempunyai sifat yang kurang menguntungkan, seperti aktivitas yang lemah,
kurang spesifik, efek samping besar, kurang stabil, masa kerja singkat, atau

mempunyai bau dan rasa yang kurang menyenangkan. Beberapa pendekatan


dalam mencari dan menemukan senyawa penuntun antara lain adalah
penapisan acak senyawa produk alam, penemuan secara kebetulan, hasil uji
metabolit obat, studi biomolekul dan endokrinologi, studi perbandingan
biokimia, analisis aktivitas senyawa multipoten, efek samping obat, hasil
antara proses sintesis obat, dan penapisan hasil sintesis kimia.
1. Penapisan Acak Senyawa Produk Alam
Pada abad ini telah banyak digunakan ekstrak dari sumber tanaman atau
organ binatang untuk pengobatan berbagai macam penyakit. Karena
menghasilkan efek yang cukup baik, maka penelitian tentang obat
tradisional sampai sekarang masih terus dikembangkan. Beberapa obat
yang digunakan pada waktu ini, terutama antibiotika, vitamin dan hormon,
juga dihasilkan dari pemurnian atau isolasi berbagai ekstrak sumber alam,
termasuk dari mikroorganisme, hewan, sumber laut, dan toksin. Turunan
penisilin dan tetrasiklin dianggap termasuk senyawa antibiotika yang
berasal dari "produk alam". Di seluruh dunia terdapat lebih kurang 600.000
jenis tumbuh-tumbuhan, lebih kurang 400.000 jenis merupakan tanaman
tinggi, tetapi baru sekitar 10% di antaranya telah diteliti secara kimia dan
farmakologi. Sumber yang masih potensial ini diharapkan sebagai
lapangan penelitian dalam usaha mencari dan menemukan obat baru.
Morfin, papaverin, kokain, digoksin, digitoksin, efedrin, reserpin, atropine,
hiosiamin, kuinin, salisin, tubokurarin, nikotin, muskarin, artemisinin, dan
paklitaksel merupakan contoh dari senyawa obat yang berasal dari
tanaman (Patrick, 2009).
Penemuan senyawa alam pada umumnya dilakukan dengan penapisan
secara masal dari bahan alam, diisolasi dan dimurnikan senyawa yang
terkandung, ditentukan struktur kimianya, diuji dengan sistem uji biologis
dengan metode yang sesuai (in silico, in vitro, dan in vivo) sehingga
didapatkan senyawa penuntun.
2. Penemuan Obat secara Kebetulan
Beberapa obat kadang-kadang diketemukan secara kebetulan dalam
laboratorium atau klinis oleh ahli farmasi, ahli kimia, dokter atau peneliti
lain (Ariens, 1972). Contoh: a. Cahn dan Hepp pada tahun 1886
memberikan resep yang salah, seharusnya memberikan naftalen untuk
pengobatan parasit saluran usus tetapi keliru memberikan asetanilid, yang
ternyata mempunyai efek antipiretik. b. Fleming pada tahun 1929
menemukan efek antibakteri dari benzil penisilin secara kebetulan karena
adanya pengotoran jamur pada media bakteri. c. Fox pada tahun 1952
dalam suatu uji senyawa antituberkulosis iproniazid, mendapatkan bahwa
senyawa tersebut mempunyai efek antidepresi. d. Sprague dan Beyer
pada tahun 1958 mencoba mensintesis 5-kloro-2,4- disulfamoilanilin
dengan cara formilasi turunan amino dari diklorfenamid, tetapi tidak
berhasil dan justru menghasilkan produk yang tidak terduga yaitu
klorotiazid, senyawa penghambat enzim karbonik anhidrase yang poten,
dan berkhasiat sebagai diuretik. Kadang-kadang pada pengembangan
obat baru untuk digunakan melawan suatu penyakit, secara tak terduga
didapatkan bahwa senyawa tersebut juga berguna untuk pengobatan
penyakit yang lain (Patrick, 2009). Contoh: a. Reserpin, obat
antihipertensi, didapatkan juga mempunyai aktivitas tranquilizer dan
sedatif yang cukup poten. b. Pargilin, obat antidepresi, didapatkan juga
mempunyai aktivitas hipotensif. c. Alopurinol, digunakan untuk
menghambat inaktivasi 6-merkaptopurin menjadi asam 6-tiourat, sehingga
terjadi efek potensiasi dengan 6-merkaptopurin pada pengobatan
leukemia. Alopurinol didapatkan juga menghambat perubahan xantin dan
hipoxantin menjadi asam urat sehingga sekarang lebih banyak digunakan
sebagai urikosurik (antigout). d. Klonidin, pada awalnya dirancang untuk
nasal vasoconstrictor, pada waktu uji klinis didapatkan bahwa senyawa
dapat menurunkan tekanan darah sehingga sekarang lebih banyak
digunakan sebagai antihipertensi.
3. Uji Metabolit Obat yang Mungkin Memberikan Aktivitas
Kadang-kadang ada obat yang baru menimbulkan aktivitas setelah
mengalami proses metabolisme (pra-obat = pro-drug). Hasil metabolit aktif
tersebut dapat digunakan langsung sebagai obat atau dijadikan senyawa
penuntun. Contoh: Prontosil rubrum direduksi menjadi sulfanilamid yang
berkhasiat sebagai antibakteri. Sulfanilamid kemudian dijadikan senyawa
penuntun, dan dikembangkan lebih lanjut sehingga didapatkan banyak
obat antibakteri turunan sulfonamida dengan aktivitas yang lebih baik,
seperti sulfadiazin dan sulfametoksazol.
4. Studi Biomolekul dan Endokrinologi
Proses biokimia, termasuk biologi molekul dan endokrinologi pada
manusia dan mamalia, merupakan lapangan yang luas untuk mencari
secara sistematis senyawa bioaktif yang mungkin dapat dijadikan
senyawa penuntun. Senyawa antara pada proses metabolisme dan
biokatalis, seperti hormon, vitamin, dan senyawa neurotransmiter,
merupakan senyawa bioaktif yang dapat dijadikan titik tolak untuk
modifikasi molekul, untuk pengembangan senyawa analog, parametabolit,
hormonoid, dan mimetik, serta pengembangan senyawa antagonis
spesifik, seperti antimetabolit, antivitamin dan senyawa litik.
5. Studi Perbandingan Biokimia
Proses biokimia bersifat universal, sehingga senyawa antimetabolit dan
antivitamin secara umum menunjukkan aktivitas yang juga universal, yaitu
bekerja pada spesies yang luas mulai dari mikroorganisme, mamalia, dan
manusia. Dalam hal ini studi perbandingan proses biokimia sangat penting
karena dapat membantu untuk melihat adanya perbedaan proses biokimia
antar spesies. Aksi yang selektif pada spesies tertentu mungkin didapat
dengan mengembangkan penghambat metabolik, antara lain dengan
memengaruhi proses biokimia yang penting pada satu spesies (parasit)
tetapi tidak penting atau tidak ada pada spesies yang lain (host).
Contoh: a. Turunan penisilin mempunyai cincin B-laktam reaktif yang
dapat mengikat transpeptidase, enzim yang mengkatalisis sintesis
peptidoglikan, mukopolipeptida yang diperlukan untuk pembentukan
dinding sel bakteri, dan hal tersebut tidak terjadi pada hewan atau
manusia. b. Turunan sulfonamida dapat menghambat secara bersaing
dengan asam p-aminobenzoat pada proses pembentukan asam
dihidropteroat, yang diperlukan untuk pembentukan asam folat, yang
berperan penting pada pertumbuhan sel bakteri. Proses ini tidak terjadi
pada pertumbuhan sel manusia.
6. Analisis Mekanisme Aksi Senyawa Multipoten
Senyawa multipoten adalah senyawa yang mempunyai kemampuan untuk
menyebabkan dua atau lebih tipe aktivitas yang berbeda, melalui
mekanisme yang berbeda dan berbeda pula tipe reseptornya. Karena
reseptornya berbeda diduga bahwa struktur molekul obat melibatkan sifat
kimia tertentu, atau salah satu komponen gugus penting untuk
menyebabkan satu aktivitas, sedang gugus lain penting untuk aktivitas
yang lain. Hal ini cukup penting dalam usaha pencarian senyawa
penuntun yang baru. Contoh: Aktivitas a dan B-adrenergik turunan
katekolamin (Tabel 2.9), substitusi gugus (R) yang terikat pada atom N
rantai samping mempunyai hubungan yang bermakna dengan aktivitas a-
dan B-adrenergik. Pemasukan gugus isopropil pada atom N rantai
samping menyebabkan senyawa mempunyai aktivitas a-adrenergik yang
rendah dan aktivitas B-adrenergik yang tinggi. Pemasukan gugus yang
lebih meruah, seperti C(CH3)2-CH2-C,Hs, menyebabkan senyawa bersifat
sebagai pengeblok a-adrenergik dan spesifik terhadap reseptor B-
adrenergik.
7. Efek Samping Obat
Efek samping mempunyai mekanisme aksi yang terpisah, dan pada
banyak obat efek samping dipandang sebagai efek yang tidak diinginkan
karena memengaruhi kesehatan individu. Meskipun demikian efek
samping dapat dikembangkan menjadi obat (senyawa penuntun) dengan
efek yang diinginkan dan dapat berguna secara terapeutik. Model
pendekatan ini disebut SOSA (Selective Optimization of Site Activity).
8. Uji Hasil Antara Proses Sintesis Obat
Senyawa antara (intermediate) adalah senyawa lain di samping produk
yang terjadi pada reaksi sintesis. A+B C (senyawa antara) →D (produk
akhir)
Ciri-ciri senyawa antara adalah mengandung gugus tertentu yang sama
dengan produk akhir, dan mempunyai aktivitas biologis yang mirip.
Senyawa antara di atas dapat dikembangkan sebagai senyawa penuntun.
Contoh: Pada sintesis sulfametizol ditemukan senyawa antara turunan
tiosemikarbazon, yaitu isoniazid (INH) yang pada uji biologis ternyata
berkhasiat sebagai antituberkulosis. Pengembangan lebih lanjut dari INH
didapatkan iproniazid, yang pada uji lebih lanjut didapatkan mempunyai
efek antidepresi karena dapat menghambat kerja enzim monoamin
oksidase.
9. Merancang Struktur Kimia Baru dan Penapisan Aktivitas Biologis
Dasar pengembangan ini adalah melakukan sintesis senyawa secara
kimia murni kemudian dilakukan penapisan aktivitas biologis secara acak
dengan harapan beberapa di antaranya mungkin menunjukkan aktivitas
yang berguna. Senyawa yang menunjukkan aktivitas tertentu
dikembangkan menjadi senyawa penuntun dan selanjutnya dirancang tipe
molekul baru dalam usaha mendapatkan obat dengan aktivitas yang
diinginkan. Cara ini bersifat coba-coba (trial and error) dan memakan
biaya sangat besar. Diperkirakan untuk mendapatkan obat antikejang
baru, diperlukan penapisan lebih kurang 500.000 senyawa kimia. Contoh
lain adalah cara penapisan acak secara langsung dan rasional dalam
usaha mendapatkan obat antimalaria seperti klorokuin, ternyata
memerlukan penapisan lebih kurang 14.000 senyawa kimia.

C. PENGEMBANGAN SENYAWA PENUNTUN


Senyawa penuntun yang mempunyai aktivitas biologis tertentu dan menarik
untuk digunakan sebagai bahan awal pengembangan obat baru dapat
dikembangkan lebih lanjut dengan tujuan pengembangan substitusi untuk
mendapatkan senyawa yang lebih poten, spesifik, aman, dan efek samping
minimal, tujuan perubahan spektrum aktivitas, dan tujuan modulasi
farmakokinetik.
1. Pengembangan Substitusi untuk Mendapatkan Senyawa yang lebih
Poten, Spesifik, Aman, dan Efek Samping Minimal
Contoh: a. Pengembangan amfetamin menjadi metamfetamin yang
berkhasiat perangsang sistem saraf pusat tiga kali lebih poten.
2. Pengubahan Spektrum Aktivitas
Contoh:
a. Mengubah senyawa agonis menjadi antagonis spesifik. Hasil prosedur
ini adalah antagonis spesifik dari produk alami, seperti senyawa anti-
metabolit, antivitamin, antihormon, antikolinergik, dan senyawa pengeblok
adrenergik. Contoh: senyawa antagonis pirimidin (urasil, timin), seperti 5-
fluorourasil, tegafur, floksuridin, dan sitarabin, merupakan senyawa
antimetabolit yang digunakan sebagai antikanker.
b. Memisahkan komponen utama dari spektrum aktivitas ke dalam molekul
yang berbeda sehingga didapatkan senyawa dengan spektrum yang baru.
Contoh: pengembangan senyawa steroid anabolik, seperti oksimetolon,
stanozolol, nadrolon, dan etilestrenol, dari senyawa steroid androgenik,
seperti metiltestosteron.
c. Kombinasi aktivitas dari obat yang berbeda. Contoh: kombinasi anestesi
setempat lidokain dengan adrenalin (vasokonstriktor) dengan tujuan agar
lidokain tertahan lama pada reseptor sehingga aktivitas obat menjadi lebih
baik.
3. Modulasi Farmakokinetik
Modulasi farmakokinetik adalah mengatur ketersediaan biologis dan
fisiologis senyawa bioaktif dengan melakukan modifikasi molekul.
a. Modulasi hubungan dosis-efek, yaitu mengatur hubungan antara dosis
obat dengan kadar dalam jaringan target sehingga terjadi perubahan
potensi obat. Contoh: 1) Pengembangan antibiotika turunan benzilpenisilin
sehingga tahan terhadap asam lambung dan dapat diberikan per oral,
seperti ampisilin, penisilin V, litirig cibt dan penisilin K. Pemasukan atom
yang bersifat elektronegatif, seperti O dan N, pada posisi Ca cincin
benzen membuat senyawa lebih tahan terhadap asam lambung. 2)
Testosteron, senyawa hormon androgen, tidak dapat diberikan per oral
karena gugus farmakofor OH akan dioksidasi oleh bakteri di usus menjadi
keton sehingga aktivitasnya menurun drastis. Pemasukan gugus metil
pada posisi 17-a (metiltestosteron) menyebabkan gugus OH tahan
terhadap proses oksidasi sehingga senyawa dapat diberikan per oral.
b. Modulasi hubungan waktu-kadar, yaitu dengan membuat sediaan depo
atau sediaan lepas lambat bila diinginkan efek obat yang lebih lama, atau
dibuat sediaan intravena bila diinginkan efek obat yang cepat. Contoh: 1)
Ester dari hormon steroid yang sangat lipofilik, seperti 17 a-hidroksi
progesteron kaproat dan medroksi progesteron asetat, obat kontrasepsi
yang bila diberikan secara intramuskular, efektif selama lebih kurang tiga
bulan.
D. PROSES PENGEMBANGAN OBAT SECARA KONVENSIONAL
Proses pengembangan obat secara konvensional dapat dibagi berdasarkan
perubahan struktur dan sifat kimia fisika sebagai berikut.
1. Pembuatan Seri Senyawa Homolog
Suatu seri senyawa homolog dapat dibuat dengan memperpanjang
rantai hidrokarbon. Perpanjangan rantai atom C akan mengubah sifat
kimia fisika senyawa dan hal tersebut dapat memengaruhi aktivitas
biologisnya. Makin panjang rantai samping atom C, makin bertambah
bagian molekul yang bersifat nonpolar dan terjadi perubahan sifat fisik,
seperti kenaikan titik didih, berkurangnya kelarutan dalam air,
meningkatnya koefisien partisi lemak/air, tegangan permukaan dan
kekentalan. Perubahan sifat fisik ini diikuti dengan peningkatan
aktivitas biologis sampai tercapai aktivitas maksimum. Bila panjang
rantai atom C terus ditingkatkan akan terjadi penurunan aktivitas
secara drastis. Hal ini disebabkan dengan makin bertambah jumlah
atom C, makin berkurang kelarutan senyawa dalam air, yang berarti
kelarutan dalam cairan luar sel juga berkurang, sedang kelarutan
senyawa dalam cairan luar sel berhubungan dengan proses transpor
obat ke tempat aksi atau reseptor. Oleh karena itu kelarutan dan
koefisien partisi lemak/air merupakan sifat fisik penting senyawa seri
homolog untuk menghasilkan aktivitas biologis. Contoh: Seri homolog
ester asam p-hidroksibenzoat.
2. Mengubah Jenis atau Kedudukan Substituen pada Rantai
Samping
Contoh:
a. Tranil sipromin, senyawa penghambat monoamin oksidase (MAO)
yang poten diubah menjadi amfetamin, senyawa perangsang sistem
saraf pusat yang poten, dengan aktivitas penghambat MAO seper lima
ribu dari aktivitas tranilsipromin.
b. Asetosal dan asam mefenamat, senyawa analgesik-antipiretik
golongan NSAIDS (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) yang juga
berkhasiat sebagai antiradang dan antirematik, mempunyai gugus
farmakofor asam benzoat. Penambahan satu atom C pada gugus
karboksilat menghasilkan turunan arilasetat seperti diklofenak, yang
mempunyai aktivitas analgesik lebih besar karena senyawa
berinteraksi lebih serasi dengan reseptor. Penambahan gugus a-metil
pada rantai samping asetat, seperti pada ibuprofen, ketoprofen,
fenoprofen, dan flurbiprofen, juga meningkatkan aktivitas biologisnya.
3. Mengganti Bagian yang Kurang Penting dan Mempertahankan
Gugus Fungsi yang Ada
Prinsip dasar modifikasi struktur adalah mempertahankan gugus
farmakofor yang ada, sehingga modifikasi hanya dilakukan di posisi
yang jauh dari gugus farmakofor, dan ini pada umumnya berhubungan
dengan sifat lipofilik yang akan memengaruhi proses distribusi
senyawa dalam tubuh. Contoh: pengembangan turunan morfin sebagai
analgesik narkotik. Gugus fungsi (farmakofor) dari turunan analgesik
narkotik ada empat, yaitu: cincin aromatik, cincin piperidin, atom N
tersier yang bermuatan positif, dan atom C kuarterner (tidak mengikat
atom H). Pada beberapa literatur ada pula yang menyatakan bahwa
gugus OH pada cincin benzen juga gugus farmakofor. Dalam
modifikasi struktur morfin keempat gugus farmakofor di atas harus
dipertahankan dan modifikasi dilakukan di posisi yang berjauhan
dengan gugus tersebut.
4. Konversi Produk Alami
Artemisinin, senyawa antimalaria baru, ditemukan oleh peneliti Cina
tahun 1971, merupakan produk alami yang diambil dari tanaman
Artemisia annua yang berasal dari Vietnam Utara, Cina, dan Tanzania.
Sebagai farmakofor untuk aktivitas antimalaria
5. Modifikasi Atas Dasar Tetapan Kimia Fisika dari Substituen
Hal ini berdasarkan sumbangan dari substituen-substituen terhadap
aktivitas senyawa penuntun dan data hubungan struktur-aktivitas
dengan parameter sifat kimia fisika (lipofilik, elektronik dan sterik)
tertentu. Contoh: pengembangan turunan benzoilurea sebagai
penekan sistem saraf pusat (SSP).
6. Penggunaan Prinsip Isosterik
Arti isosterik secara umum adalah kelompok atom-atom dalam
molekul, yang mempunyai sifat kimia atau fisika mirip karena
mempunyai persamaan ukuran, keelektronegatifan atau stereokimia.
Istilah isosterisme telah digunakan secara luas untuk menggambarkan
seleksi dari bagian struktur yang karena karakterisasi sterik, elektronik
dan sifat kelarutannya, memungkinkan untuk saling dipergantikan pada
modifikasi struktur molekul obat. Modifikasi isosterik adalah melakukan
penggantian gugus atau substituen tertentu pada struktur molekul obat
tanpa mengubah sifat kimia fisika penting obat. Gugus- gugus
pengganti tersebut pada umumnya mempunyai sifat sterik atau
elektronik yang sama. Friedman (1951) memperkenalkan istilah
bioisosterisme, yang kemudian berkembang menjadi salah satu
konsep dasar sebagai hipotesis untuk perkembangan kimia medisinal.
Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Burger (1970) yang
menggolongkan bioisosterisme menjadi dua yaitu klasik dan non
klasik, dan Hansch mengklasifikasikan bioisosterisme berdasarkan
persamaan kualitatif (aktivitas biologis) dan kuantitatif melalui
parameter sifat kimia fisika menjadi dua yaitu isometrik dan
nonisometrik. Contoh: Propanolol, senyawa B-bloker, mempunyai
gugus eter yang terikat pada cincin aromatik. Substitusi gugus OCH2
dengan gugus isosteriknya seperti CH-CH, SCH2, atau CH,CH2 akan
menghilangkan aktivitasnya, sedang substitusi dengan gugus NHCH,
senyawa tetap aktif sebagai B-bloker. Hal ini menunjukkan bahwa
gugus eter sangat penting untuk aktivitas biologis (gugus farmakofor)
dan diprediksi akan mengikat reseptor melalui ikatan hidrogen.
7. Memisahkan Campuran Isomer
Meskipun bukan modifikasi molekul, pemisahan isomer, seperti pada
stereoisomer, cukup penting karena kedua isomer kemungkinan
berbeda spektrum atau intensitas aktivitasnya. Pemisahan isomer
bertujuan untuk mendapatkan senyawa dengan aktivitas yang lebih
tinggi atau lebih selektif. Contoh: a. (+) a-Propoksifen berkhasiat
analgesik, sedangkan isomer (-) a-propoksifen berkhasiat antibatuk.
8. Pembentukan Senyawa Kembar
Senyawa kembar adalah dua molekul obat digabung menjadi satu
melalui ikatan kovalen.
Contoh: a. Kombinasi dari dua molekul obat yang sama (kembar
identik) atau berbeda (kembar tidak identik) melalui ikatan kovalen.
Contoh kembar identik: salisilsalisilat (dua molekul asam salisilat), dan
metazid (metilenbisisoniazid, dua molekul isoniazid digabungkan
melalui jembatan metilen).
Contoh kembar tidak identik: asetaminosalol (asam salisilat dan
asetaminofen), salisilamidofenazon (asam salisilat dan 4-
aminofenazon), streptoniazid (streptomisin dan isoniazid), dan
sultamisilin (sulbaktam dan ampisilin).
b. Penggunaan molekul obat sebagai gugus atau substituen pada tipe
yang lain dari molekul obat, tanpa dilepaskan dari senyawa penuntun.
Contoh: estradiol mustar, metrasil, dan heksaklorofen.
9. Modifikasi Molekul secara Alami
Analisis senyawa biologis aktif produk alam menunjukkan bahwa
beberapa di antaranya mengalami modifikasi molekul secara alami.
Contoh: 8-azaguanin, obat antikanker, yang disintesis tahun 1949
strukturnya didapatkan identik dengan antibiotik patosidin yang
diisolasi dari Streptomyces albus pada tahun 1961.
10. Transformasi Mikroba
Biosintesis antibiotika oleh mikroba dipengaruhi oleh zat-zat yang
ditambahkan dalam medium peragian. Contoh: penambahan asam
fenil asetat pada kultur jamur Penicillium sp., yang mengandung asam
6-aminopenisilinat, menghasilkan benzilpenisilin (Penisilin G),
sedangkan penambahan asam fenoksiasetat akan menghasilkan
fenoksimetil penisilin (Penisilin V).

A. Uji Praklinik
Uji praklinik, atau disebut juga studi/pengembangan/penelitian
praklinik/non-klinik, adalah tahap penelitian yang terjadi sebelum uji klinik
atau pengujian pada manusia. Uji praklinik memiliki satu tujuan utama
yaitu mengevaluasi keselamatan produk baru. Ada banyak produk yang
menjalani uji praklinik. Beberapa produk yang paling umum menjalani uji
praklinik adalah obat-obatan, peralatan medis, kosmetik, dan solusi terapi
gen. Penting untuk dicatat bahwa obat juga melalui banyak serangkaian
pengujian lainnya ketika menjalani uji praklinik.
a. Sintesis dan skrining molekul
Sintesis dan screening molekul, merupakan tahap awal dari rangkaian
penemuan suatu obat. Pada tahap ini berbagai molekul atau senyawa
yang berpotensi sebagai obat disintesis, dimodifikasi atau bahkan
direkayasa untuk mendapatkan senyawa atau molekul obat yang
diinginkan. Oleh karena penelitian obat biasanya ditargetkan untuk suatu
daerah terapeutik yang khas, potensi relatif pada produk saingan dan
bentuk sediaan untuk manusia bisa diketahui. Serupa dengan hal
tersebut, ahli kimia medisinal mungkin mendalami kelemahan molekul
tersebut sebagai hasil usaha untuk mensintesis senyawa tersebut.
Setelah disintesis, suatu senyawa melalui proses screening, yang
melibatkan pengujian awal obat pada sejumlah kecil hewan dari jenis yang
berbeda (biasanya 3 jenis hewan) ditambah uji mikrobiologi untuk
menemukan adanya efek senyawa kimia yang menguntungkan. Meskipun
ada faktor lucky (kebetulan) dalam upaya ini, umumnya pendekatannya
cukup terkontrol berdasarkan struktur senyawa yang telah diketahui. Pada
tahap ini sering kali dilakukan pengujian yang melibatkan teratogenitas,
mutagenesis dan karsinogenitas, di samping pemeriksaan LD50, toksisitas
akut dan kronik. Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat.
Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil
farmakokinetik dan toksisitas calon obat.
b. Studi pada hewan percobaan
Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis)
terlebih dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologi pada hewan.
Sebelum calon obat baru ini dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan
waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik,
farmakokinetik, farmasetika, dan efek toksiknya pada hewan uji.
a. Uji Farmakodinamika
Penelitian mengenai aktivitas obat terhadap berbagai fungsi organ
tubuh. Dg penelitian ini dapat diperkirakan efek terapeutiknya, dan bila
mungkin dapat diketahui dan dimengerti mekanisme kerjanya.
b. Uji Farmakokinetik
Penelitian mengenai absorpsi, distribusi, metabolisme, biotransformasi
dan ekskresi obat dalam darah dan dalam berbagai jaringan atau
cairan tubuh dan urin.
c. Uji Toksikologi
d. Penelitian toksistas merupakan cara potesial untuk mengevaluasi:
1) Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau
kronis
2) Kerusakan genetik (genotoksisitas atau mutagensis)
3) Pertumbuhan tumor (onkogenesis atau karsinogenesis)
4) Kejadian cacat waktu lahir (teratogenik)
d. Uji Farmasetika
Memperoleh data farmasetikanya, tentang formulasi, standarisasi,
stabilitas, bentuk sediaan yang paling sesuai dan cara
penggunaannya.
B. Uji Klinik
Setelah melewati uji pra klinis, maka senyawa atau molekul kandidat calon
obat tersebut menjadi IND (Investigasional New Drug) atau obat baru
dalam penelitian. Setelah calon obat dinaytakan mempunyai kemanfaatan
danaman pada hewan percobaan maka selanjutnya diji pada manusia (uji
klinik). Uji pada manusia Uji klinis pada manusia harus diteliti dulu
kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki.
Uji klinik adalah tes untuk mengevaluasi efektivitas dan keamanan obat
atau alat medis dengan memantau efek mereka pada sekelompok besar
orang. Uji klinik adalah salah satu tahapan akhir dari proses penelitan
yang panjang dan hati-hati.

Uji klinik ini terdiri dari uji fase Isampai fase IV .


1. Uji Klinik Fase I
Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya
pada manusia. Yang diteliti disini ialah keamanan dan tolerabilitas obat,
bukan efikasinya, maka dilakukan pada sukarelawan sehat, kecuali untuk
obat yang toksik (misalnya sitostatik), dilakukan pada pasien karena
alasan etik Tujuan fase ini adalah menentukan besarnya dosis maksimal
yang dapat toleransi (maximally tolerated dose = MTD), yakni dosis
sebelum timbul efek toksik yang tidak dapat diterima. Pada fase ini, diteliti
juga sifat farmakodinamik dan farmakokinetiknya pada manusia. Hasil
penelitian farmakokinetik ini digunakan untuk meningkatkan ketepatan
pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya. Uji klinik fase I dilaksanakan
secara terbuka, artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar, dengan
jumlah subyek bervariasi antara 20-50 orang.
Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya pada sekelompok
kecil penderita yang kelak akan diobati dengan calon obat
Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara terbuka
karena masih merupakan penelitian eksploratif. Pada tahap biasanya
belum dapat diambil kesimpulan yang mantap mengenai efek obat yang
bersangkutan karena terdapat berbagai factor yang mempengaruhi hasil
pengobatan, misalnya perjalanan klinik penyakit, keparahannya, efek
placebo.
Pada fase II ini tercakup juga penelitian dosis-efek untuk menentukan
dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya, serta penelitian lebih
lanjut mengenai eliminasi obat, terutama metabolismenya. Jumlah subjek
yang mendapat obat baru pada fase ini antara 100-200 penderita.
2. Uji Klinik Fase II
Pada fase ini dicobakan pada pasien sakit. Tujuannya adalah melihat
apakah obat ini memiliki efek terapi. Pada fase II awal, pengujian efek
terapi obat dikerjakan secara terbuka karena masih merupakan penelitian
eksploratif, karena itu belum dapat diambil kesimpulan yang mantap
mengenai efikasi obat yang bersangkutan. Untuk menunjukkan bahwa
suatu obat memiliki efek terapi, perlu dilakukan uji klinik komparatif
(dengan pembading) yang membandingkannya dengan plasebo; atau jika
penggunaan placebo tidak memenuhi persyaratan etik, obat dibandingkan
dengan obat standar (pengobatan terbaik yang ada). Ini dilakukan pada
fase II akhir atau awal, tergantung dari siapa yang melakukan seleksi
pasien, dan monitoring pasiennya. Untuk menjamin validasi uji klinik
komparatif ini , alokasi pasien harus acak dan pemberian obat dilakukan
secara tersamar ganda. Ini disebut uji klinik berpembanding, acak,
tersamar ganda. Fase ini terjakup juga studi kisaran dosis untuk
menetapkan dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya.
3. Uji Klinik Fase III
Pada manusia sakit, ada kelompok kontrol dan kelompok pembanding:
a. Cakupan lebih luas baik dari segi jumlah pasien maupun keragaman.
Misal : intra ras.
b. Setelah terbukti efektif dan aman obat siap untuk dipasarkan.
Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu obat baru
benar-benar berkhasiat (sama dengan penelitian pada akhir fase II) dan
untuk mengetahui kedudukannya dibandingkan dengan obat standard.
Penelitian ini sekaligus akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang
(1) efeknya bila digunakan secara luas dan diberikan oleh para dokter
yang ‘kurang ahli’; (2) efek samping lain yang belum terlihat pada fase II;
(3) dan dampak penggunaannya
pada penderita yang tidak diseleksi secara ketat.
Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah besar penderita yang tidak
terseleksi ketat dan dikerjakan oleh orang-orang yang tidak terlalu ahli,
sehingg menyerupai keadaan sebenarnya dalam penggunaan sehari-hari
dimasyarakat. Pada uji klinik fase III ini biasanya pembandingan dilakukan
dengan placebo, obat yang sama tapi dosis berbeda, obat standard
dengan dosis ekuiefektif, atau obat lain yang indikasinya sama dengan
dosis yang ekuiefektif.
Pengujian dilakukan secara acak dan tersamar ganda. Bila hasil uji klinik
fase III menunjukan bahwa obat baru ini cukup aman dan efektif, maka
obat dapat diizinkan untuk dipasarkan. Jumlah penderita yang diikut
sertakan pada fase III ini paling sedikit 500 orang.
4. Uji Klinik Fase IV
a. Uji terhadap obat yang telah dipasarkan (post marketing surveilance)
b. Memantau efek samping yang belum terlihat pada uji-uji sebelumnya
c. Dug safety : drug mortality atau drug morbidity
d. MESO : Monitoring Efek Samping Obat
Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance karena
merupakan pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase ini
bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta pola
efektifitas dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya. Survei
ini tidak tidak terikat pada protocol penelitian; tidak ada ketentuan tentang
pemilihan penderita, besarnya dosis, dan lamanya pemberian obat. Pada
fase ini kepatuhan penderita makan obat merupakan masalah.
Penelitian fase IV merupakan survey epidemiologic menyangkut efek
samping maupun efektif obat.
Pada fase IV ini dapat diamati:
1) Efek samping yang frekuensinya rendah atau yang timbul setelah
pemakaian obat bertahun-tahun lamanya
2) Efektifitas obat pada penderita berpenyakit berat atau berpenyakit
ganda, penderita anak atau usia lanjut, atau setelah penggunaan
berulangkali dalam jangka panjang
3) Masalah penggunaan berlebihan, penyalah-gunaan, dan lainlain.
Studi fase IV dapat juga berupa uji klinik jangka panjang dalam
skala besar untuk menentukan efek obat terhadap morbiditas dan
mortalitas sehingga datanya menentukan status obat yang
bersangkutan dalam terapi.
DAFTAR PUSTAKA

Bambang Priyambodo. 2007. Dalam Manajemen Farmasi Industri. Global Pustaka


Utama. Yogyakarta

Ganiswara, S.G., dkk (Editor). 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Bagian
Farmakologi FK UI. Jakarta

Hoan Tan Tjay,drs & Kirana Rahardja. 2003. Obat-obat penting, Khasiat,
penggunaan dan efek sampingnya : Elexmedia Computindo

Siswandono, Dan Bambang Soekarjo. 1995. Kimia Medisinal Edisi I. Airlangga


University Press. Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai