Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yaitu anemia hemolitik herediter yang
diturunkan secara autosomal resesif dengan disebabkan oleh defek genetik pada pembentukan
rantai globin.Penyakit ini baru muncul pada seseorang apabila ia memiliki dua gen talasemia
yang berasal dari kedua orang tuanya yaitu satu dari ayah dan satu dari ibu.
Berdasarkan data terakhir dari Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menyebutkan 250 juta penduduk dunia (4,5%) membawa genetik Thalasemia. Dari 250 juta,
80-90 juta di antaranya membawa genetik Thalasemia Beta.
Sementara itu di Indonesia Jumlah penderita Thalasemia hingga tahun 2009 naik
menjadi 8, 3 persen dari 3.653 penderita yang tercatat pada tahun 2006. Hampir 90% para
penderita penyakit genetik sintesis Hemoglobin (Hb) ini berasal dari kalangan masyarakat
miskin.
Saat ini, penyakit thalasemia merupakan penyakit genetika yang cukup banyak di
Indonesia. Frekuensinya terus meningkat per tahun. Walupun begitu, masyarakat tidak
menaruh perhatian yang cukup besar terhadap penyakit yang sudah menjadi salah satu
penyakit genetika terbanyak ini. Hal ini disebabkan karena gejala awal dari penyakit sangat
umum. Padahal gejala akhir yang ditimbulkan akan sangat fatal jika tidak ditangani secara
akurat, cepat, dan tepat.
Melihat kenyataan ini, maka sebaiknya kita harus mewaspadai dengan cara
mengetahui dengan benar informasi tentang penyakit ini, sehingga penyakit ini dapat
diidentifikasi dan penanganannya pun dapat dilakukan secara dini dengan cara yang tepat.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. S
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 10 tahun
Alamat : Langensari
Agama : Islam
No. RM : 238631
Tanggal MRS : 09 Oktober 2018

B. Anamnesis
a. Keluhan Utama : mimisan
b. Riwayat Penyakit Sekarang : pasien datang ke IGD RSUD Ungaran dengan keluhan
mimisan  10 kali berulang dan agak sesak nafas. Sebelumnya pasien memiliki
riwayat thalassemia mayor sejak lahir dan 1 bulan yang lalu menjalani transfusi darah
di RSUP Kariadi Semarang. Mual muntah (-), demam (-).
c. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat trauma : disangkal


Riwayat sakit seperti ini sebelumnya : Ya
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat Operasi : disangkal
Riwayat Mondok : disangkal
1. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal

2. Riwayat Penggunaan Obat-obatan : Ya, riwayat transfusi dan obat dari Kariadi
C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di IGD pada tanggal 09 Oktober 2018

a. Status Present
 Kesadaran : Compos mentis GCS 15 (E4M6V5)
 Keadaan Umum : Tampak lemas
 Tekanan Darah : 110/70 mmHg
 Nadi : 88 x/menit, isi dan tegangan cukup
 Frekuensi pernafasan : 20 x/menit.
 Suhu : 36,7 °C
 Saturasi : 94%
 VAS : 6
b. Status Generalis
 Kepala : normocephale, hematom (-), mukosa bibir kering (+)
 Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm), Reflek Cahaya (+/+), Reflek Cahaya Tidak
Langsung (+/+)
 Leher :
- Sikap : simetris
- Pergerakan : normal
- Kaku kuduk : (-)
 Thorax :
- Pulmo :
Inspeksi : simetris normal kanan kiri
Palpasi : pergerakan paru simetris, stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
- Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I-II regular
 Abdomen :
Inspeksi : datar, distensi (-), skar (-)
Auskultasi : bising usus normal
Perkusi : timpani (+) di seluruh lapang abdomen
Palpasi : hepatomegali (+), nyeri tekan (-)
 Extremitas :
Superior Inferior
Oedem -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral hangat +/+ +/+
CRT <2detik +/+ +/+

D. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium :
Parameter Uji Hasil Nilai Rujukan Satuan

Hemoglobin 6.7 13.2 – 17.3 gr/dL

Leukosit 4.0 3.8 – 10.6 103 /uL

Trombosit 103 150 – 440 103 /uL

Hematokrit 19.34 40 – 52 %

Eritrosit 3.36 4,4 – 5,9 106 /uL

Granulosit 50.0 43.6 – 73.4 %

Limfosit 43 25 – 40 %

Monosit 10 2–8 %

MCV 71 80 – 100 Fl

MCH 23 26 – 34 Pg

MCHC 33 32 – 36 g/dL

RDW 15,3 11,6 – 14,5 %

E. DIAGNOSA KERJA
Thalasemia Mayor
F. PENATALAKSANAAN AWAL

 Oksigenasi 2 lpm
 IUVD RL 12 tpm
 Injeksi Ranitidin ½ A / 12 jam
 Injeksi Asam Tranexamat ½ A / 12 jam
Konsul Sp.A, advis :
 Transfusi PRC 2 kolf selang waktu 12 jam
 Inj Furosemid ½ A post transfuse

G. PROGNOSIS
 Quad ad functionam : Dubia et bonam
 Quad ad sanationam : Dubia et bonam
 Quad ad vitam : Dubia et bonam

H. FOLLOW UP

14/09/2018 S : mimisan > 5x, panas -

11.00 O : pucat

A : Thalasemia Mayor
Trombositopenia

P : Infus NaCl 10lpm


Inj As tranexamat 3x1/2 A
Transfusi PRC 3 kolf serial 12 jam
Inj furosemide ½ A post transfusi
10/10/2018 S : demam post transfuse ke - 2

09.00 O : KU tampak sakit sedang, GCS 15


Suhu : 38.2
A : Thalasemia Mayor
Febris post transfusi PRC

P : Tx lanjut
Inj Ampisilin 4x500mg
PCT 3x1/2 tab k/p
Transfuse PRC I kolf lagi  cek Hb bila suhu <37.5
Inj as tranexamat stop
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Thalasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalasso yang berarti laut. Pertama kali
ditemukan oleh seorang dokter Thomas B. Cooley tahun 1925 di daerah Laut Tengah,
dijumpai pada anak-anak yang menderita anemia dengan pembesaran limfa setelah berusia
satu tahun. Anemia dinamakan splenic atau eritroblastosis atau anemia mediteranean atau
anemia Cooley sesuai dengan nama penemunya (Ganie, 2005).
Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan
pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin,
sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel darah
merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak atau berumur pendek kurang dari
120 hari dan terjadilah anemia (Herdata.N.H. 2008 dan Tamam.M. 2009).
Thalasemia adalah kelompok dari anemia herediter yang diakibatkan oleh berkurang
nya sintesis salah satu rantai globin yang mengkombinasikan hemoglobin (HbA, α 2 β 2).
Disebut hemoglobinopathies, tidak terdapat perbedaan kimia dalam hemoglobin. Nolmalnya
HbA memiliki rantai polipeptida α dan β, dan yang paling penting thalasemia dapat
ditetapkan sebagai α - atau β -thalassemia.3
Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut
zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah pada eritrosit.
Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin. Hem terdiri dari zat besi (Fe)
dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada
manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β) yang meliputi HbA (α2β2 =
97%), sebagian lagi HbA2 (α2δ2 = 2,5%) sisanya HbF (α2ƴ2 = 0,5%).

B. Etiologi dan Predisposisi

Adapun etiologi dari thalasemia adalah faktor genetik (herediter).Thalasemia


merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah merah didalam
pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari). Penyebab
kerusakan tersebut karena hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia ) dan
kelainan hemoglobin ini karena adanya gangguan pembentukan yang disebabkan oleh ;

1. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin abnormal) misalnya :


Pada HBS,HbF, HbD.
2. Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa )rantai globin seperti pada thalasemia.

D. Klasifikasi
Di indonesia talasemia merupakan penyakit terbanyak di antara golongan anemia
hemolitik dengan penyebab intrakorpuskuler.
Secara molekuler thalasemia dibedakan atas :
- Thalasemia-α (gangguan pembentuakan rantai α).
- Thalasemia-β (gangguan pembentukan rantai β).
- Thalasemia- β-δ (gangguan pembentukan rantai β dan δ yang letak gen nya di duga
berdekatan ).
- Thalasemia –δ (gangguan pembentukan rantai δ). 4
Secara Klinis thalasemia dibedakan atas : 3
TABLE 2.4.2 – klasifikasi klinis
thalasemia
Carrier Hematologi normal
Thalassemia Trait anemia ringan dengan mikrositik dan
(α-thalassemia trait atau β- hipokromik.
thalassemia trait)
Hemoglobin H Disease anemia hemolitik menuju ke berat
(α-thalassemia)
Atau
Hemoglobin H–Constant Spring ikterus dan spleenomegali
Thalassemia Major anemia berat, hepatosleenomegali.
Thalassemia Intermedia beberapa jenis thalasemia tanpa terapi
tranfusi regular.
1. Thalasemia-α
Anemia mikrositik yang disebabkan oleh defisiensi sintesis globin-α banyak ditemukan
di Afrika, negara di daerah Mediterania, dan sebagian besar Asia. Delesi gen globin-α
menyebabkan sebagian besar kelainan ini. Terdapat empat gen globin-α padaindividu normal,
dan empat bentuk thalassemia-α yang berbeda telah diketahui sesuai dengan delesi satu, dua,
tiga, dan semua empat gen ini.

Genotip Jumlah Presentasi Klinis Hemoglobin Elektroforesis


gen α
Saat Lahir >6 bulan
αα/αα 4 Normal N N

-α/αα 3 Silent Carrier 0-3% Hb N


Barts
--/αα atau 2 Trait thal-α 2-10% N
-α/-α Hb Barts
--/-α 1 Penyakit Hb H 15-30% Hb Hb H
Barts
--/-- 0 Hydrops fetalis >75% Hb -
Barts

a. Silent carrier thalasemia-α
Merupakan tipe thalasemia subklinik yang paling umum, biasanya Ditemukan secara
kebetulan diantara populasi, seringnya pada etnik Afro-Amerika. Tardapat 2
gen α yang terletak padak romosom 16. Pada tipe silent carrier, salah satu gen α pada
kromosom 16 menghilang, menyisakan hanya 3 dari 4 gen tersebut. Penderita sehat secara
hematologis, hanya ditemukan adanya jumlah eritrosit (sel darah merah) yang rendah
dalam beberapa pemeriksaan. Pada tipe ini, diagnosis tidak dapat dipastikan dengan
pemeriksaan elektroforesis Hb, sehingga harus dilakukan tes lain yang lebih canggih.
Pada tipe ini, diagnosis tidak dapat dipastikan dengan pemeriksaan elektroforesis Hb,
sehingga harus dilakukan tes lain yang lebih canggih. Bisamjuga dicari akan adanya
kelainan hematologi pada anggota keluarga (misalnya orangtua) untuk mendukung diagnosis.
Pemeriksaan darah lengkap pada salah satu orangtua yang menunjukkan adanya hipokromia
dan mikrositosis tanpa penyebab yang jelas merupakan bukti yang cukup kuat untuk
menuju diagnosis thalasemia.
b. Trait Thalas\semia-α
Pada bayi baru lahir yang terkena, sejumlah kecil Hb Barts (γ4) dapat ditemukan pada
elektroforesis Hb. Lewat umur satu bulan, Hb Barts tidak terlihat lagi, dan kadar Hb A2 dan
HbF secara khas normal.

Gambar . Thalasemia alpha menurut Hukum Mendel.

c. Penyakit Hb H
Kelainan disebabkan oleh hilangnya 3 gen globin α, merepresentasikan thalasemia-α
intermedia, dengan anemia sedang sampai berat, splenomegali,ikterus, dan jumlah sel
darah merah yang abnormal. Pada sediaan apus darahtepi yang diwarnai dengan pewarnaan
supravital akan tampak sel-sel darahmerah yang diinklusi oleh rantai tetramer β (Hb H) yang
tidak stabil danterpresipitasi di dalam eritrosit, sehingga menampilkan gambaran golf
ball .Badan inklusi ini dinamakan sebagai Heinz bodies.

Gambar . Pewarnaan supravital pada sapuan apus darah tepi Penyakit Hb


H yangmenunjukkan Heinz-Bodies.
d. Thalasemia α mayor
Bentuk thalassemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi semua genglobin-α,
disertai dengan tidak ada sintesis rantai α sama sekali. Karena Hb F, Hb A, dan Hb A 2
semuanya mengandung rantai α, maka tidak satupun dari Hb ini terbentuk. Hb Barts (γ 4)
mendominasi pada bayi yang menderita, dan karena γ4 memiliki afinitas oksigen yang tinggi,
maka bayi- bayi itu mengalami hipoksia berat. Eritrositnya juga mengandung sejumlah
kecil Hb embrional normal (Hb Portland = ζ2γ2), yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen.
Kebanyakan dari bayi-bayi ini lahir mati, dan kebanyakan dari bayi yang lahir hidup
meninggal dalam waktu beberapa jam. Bayi ini sangat hidropik, dengangagal jantung
kongestif dan edema anasarka berat. Yang dapat hidup dengan manajemen neonatus agresif
juga nantinya akan sangat bergantung dengan transfuse.

3. Thalasemia β
Sama dengan thalassemia-α, dikenal beberapa bentuk klinis dari thalassemia-β,
antaralain :
a. Silent carrier thalassemia-β
Penderita tipe ini biasanya asimtomatik, hanya ditemukan nilai eritrosit yang rendah.
Mutasi yang terjadi sangat ringan dan mempresentasikan suatu thalasemia-β+. Bentuk silent
carrier thalasemia-β tidak menimbulkan kelainan yang diidentifikasi pada individu yang
heterozigot, tetapi gen intuk keadaan ini jika diwariskan bersama-sama dengan gen unruk
thalassemia-β°, menghasilkan sindrom thalassemia intermedia.
Gambar . Thalasemia beta menurut Hukum Mendel

b. Trait thalasemia-β
Penderita mengalami anemia ringan, nilai eritrosit abnormal, dan elektroforesis Hb
abnormal dimana didapatkan peningkatan jumlah Hb A2, HbF, atau keduanya.
Individu dengan ciri (trait) thalasemia sering didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi besi
dan mungkin diberi terapi yang tidak tepat dengan preparat besi selama waktu yang panjang.
Lebih dari 90% individu dengantrait thalassemia-β mempunyai peningkatan Hb-A2 yang
berarti (3,4%-7%).Kira-kira 50% individu ini juga mempunyai sedikit kenaikan HbF,
sekitar 2-6%. Pada sekelompok kecil kasus, yang benar-benar khas, dijumpai Hb A 2 normal
dengan kadar HbF berkisar 5% sampai 15%, yang mewakili thalassemia tipe δβ.
c. Thalasemia-β yang terkait dengan variasi struktural rantai β
Presentasi klinisnya bervariasi dari seringan thalassemia media hingga seberat
thalasemia-β mayor. Ekspresi gen homozigot thalassemia (β+) menghasilkan sindrom mirip
anemia Cooley yang tidak terlalu berat (thalassemia intermedia). Deformitas skeletdan
hepatosplenomegali timbul pada penderita ini, tetapi kadar Hb mereka biasanya bertahan
pada 6-8 gr/dL tanpa transfusi. Kebanyakan bentuk thalassemia-β heterozigot terkait dengan
anemia ringan.Kadar Hb khas sekitar 2-3 gr/dL lebih rendah dari nilai normal menurut umur.
Eritrosit adalah mikrositik hipokromik dengan poikilositosis, ovalositosis, dan seringkali
bintik-bintik basofil. Sel target mungkin juga ditemukan tapi biasanya tidak mencolok dan
tidak spesifik untuk thalasemia. MCV rendah, kira-kira 65 fL, dan MCH juga rendah (<26
pg). Penurunan ringan pada ketahanan hidup eritrosit juga dapat diperlihatkan, tetapi tanda
hemolisis biasanya tidak ada. Kadar besi serum normal atau meningkat.
d. Thalasemia-β° homozigot (Anemia Cooley, Thalassemia Mayor)
Bergejala sebagai anemia hemolitik kronis yang progresif selama bulan kedua
kehidupan. Transfusi darah yang reguler diperlukan pada penderita ini untuk mencegah
kelemahan yang amat sangat dan gagal jantung yang disebabkan oleh anemia. Tanpa
transfusi, 80% penderita meninggal pada 5tahun pertama kehidupan. Pada kasus yang tidak
diterapi atau pada penderita yang jarang menerima transfusi pada waktu anemia berat, terjadi
hipertrofi jaringan eritropoetik di sumsum tulang maupun di luar sumsum tulang. Tulang-
tulang menjadi tipisdan fraktur patologis mungkin terjadi. Ekspansi masif sumsum tulang di
wajahdan tengkorak menghasilkan bentuk wajah yang khas.
Gambar . Deformitas tulang pada thalasemia mayor (facies cooley)

Pucat, hemosiderosis, dan ikterus samasama memberi kesan coklat kekuningan. Limpa


dan hati membesar karena hematopoesis ekstrameduler dan hemosiderosis. Pada penderita
yang lebih tua, limpa mungkin sedemikian besarnya sehingga menimbulkan ketidak
nyamanan melanis dan dipersplenisme sekunder.

Gambar. Splenomegali pada thalasemia.

Pertumbuhan terganggu pada anak yang lebih tua; pubertas terlambat atau tidak terjadi
karena kelainan endokrin sekunder. Diabetes mellitus yang disebabkan oleh siderosis
pancreas mungkin terjadi. Komplikasi jantung,termasuk aritmia dan gagal jantung kongestif
kronis yang disebabkan oleh siderosis miokardium sering merupakan kejadian terminal.
Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalassemia-β° homozigot yang
tidak ditransfusi adalah ekstrem. Disamping hipokromia dan mikrositosis berat, banyak
ditemukan poikilosit yang terfragmentasi, aneh (sel bizarre) dansel target. Sejumlah besar
eritrosit yang berinti ada di darah tepi, terutama setelah splenektomi. Inklusi
intraeritrositik, yang merupakan presipitasi kelebihan rantai α, juga terlihat pasca
splenektomi. Kadar Hb turun secaracepat menjadi < 5 gr/dL kecuali mendapat
transfusi. Kadar serum besi tinggidengan saturasi kapasitas pengikat besi (iron binding
capacity). Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar HbF yang sangat tinggi
dalam eritrosit.

E. Patofisiologi
Pada thalassemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama sekali produksi rantai
globin satu atau lebih rantai globin. Penurunan secara bermakna kecepatan sintesis salah satu
jenis rantai globin (rantai-α atau rantai-β) menyebabkan rantai globin yang tidak seimbang.
Bila pada keadaan normal rantai globin yang disintesis seimbang antara rantai α dan rantai β,
yakni berupa α2β2, maka pada thalassemia-β0, dimana tidak disintesis sama sekali rantai β,
maka rantai globin yang diproduksi berupa rantai α yang berlebihan (α4). Sedangkan pada
thalassemia-α0, dimana tidak disintesis sama sekali rantai α, maka rantai globin yang
diproduksi berupa rantai β yang berlebihan (β4).
a. Thalassemia-α
Patofisiologi Thalassemia-α umumnya sama dengan yang dijumpai pada Patofisiologi
Thalassemia-β kecuali beberapa perbedaan utama akibat delesi (-) atau mutasi (T) rantai
globin-α. Hilangnya gen globin-α tunggal (-α/αα atau α Tα/αα) tidak berdampak pada fenotip.
Sedangkan thalassemia-2a-α homozigot (-α/-α) atau thalassemia-1a- α heterozigot (α α/- -)
memberi fenotip seperti thalassemia-β carrier. Kehilangan 3 dari 4 gen globin-α
memberikan fenotip tingkat penyakit berat menengah (moderat), yang dikatakan sebagai
HbH disease. Sedangkan thalassemia- α0 homozigot (--/--) tidak dapat bertahan hidup,
disebut sebagai Hb-Bart’s hydrops syndrome.
b. Thalassemia-β
Pada Thalassemia-β, dimana terdapat penurunan produksi rantai β, terjadi produksi
berlebihan rantai α. Produksi rantai globin ã, dimana pasca kelahiran masih tetap diproduksi
rantai globin α2ã2 (HbF), tidak mencukupi untuk mengkompensasi defisiensi α2β2 (HbA). Hal
ini menunjukkan bahwa produksi rantai globin β dan rantai globin ã tidak pernah dapat
mencukupi untuk mengikat rantai α yang berlebihan. Rantai α yang berlebihan ini merupakan
ciri khas pada patogenesis thalassemia-β.
Rantai α yang berlebihan, yang tidak dapat berikatan dengan rantai globin lainnya,
akan berpresipitasi pada prekursor sel darah merah dalam sumsum tulang dan dalam sel
progenitor dalam darah tepi. Presipitasi ini akan menimbulkan gangguan pematangan
prekursor eritoid dan eritropoiesis yang tidak efektif (inefektif), sehingga umur eritrosit
menjadi pendek hingga timbul anemia.
Anemia ini akan menjadi pendorong (drive) profiferasi eritoid yang terus menerus (intens)
dalam sumsum tulang yang inefektif, sehingga menjadi ekspansi sumsum tulang. Hal ini
kemudian akan menyebabkan deformitas skeletal dan berbagai gangguan pertumbuhan dan
metabolisme. Anemia kemudian akan ditimbulkan lagi dengan adanya hemodilusi akibat
adanya hubungan langsung darah akibat sumsum tulang yang berekspansi dan juga oleh
adanya splenomegali.
Pada limpa yang membesar, makin banyak sel darah merah abnormal yang terjebak,
untuk kemudian akan dihancurkan oleh sistem fagosit. Hiperplasia sumsum tulang kemudian
akan meningkatkan absorpsi dan muatan besi. Transfusi yang diberikan secara teratur juga
menambah muatan besi. Hal ini akan menyebabkan penimbunan besi yang progresif di
jaringan berbagai organ yang diikuti kerusakan organ dan diakhiri dengan kematian bila besi
tidak segera dikeluarkan (Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009).
Penderita thalasemia memiliki gejala yang bervariasi tergantung jenis rantai asam
amino yang hilang dan jumlah kehilangannya. Penderita sebagian besar mengalami anemia
yang ringan khususnya anemia hemolitik (Tamam.M. 2009). Keadaan yang berat pada beta-
thalasemia mayor akan mengalami anemia karena kegagalan pembentukan sel darah,
penderita tampak pucat karena kekurangan hemoglobin. Perut terlihat buncit karena
hepatomegali dan splenomegali sebagai akibat terjadinya penumpukan Fe, kulit kehitaman
akibat dari meningkatnya produksi Fe, juga terjadi ikterus karena produksi bilirubin
meningkat. Gagal jantung disebabkan penumpukan Fe di otot jantung, deformitas tulang
muka, retrakdasi pertumbuhan, penuaan dini (Herdata.N.H. 2008 dan Tamam. M. 2009).

F. Penegakan Diagnosis
A. Anamnesis
Penderita pertama datang dengan keluhan lemas anemia/pucat, tidak nafsu makan
dan perut membesar. Keluhan umumnya muncul pada usia 6 bulan, kemudian dilakukan
pemeriksaan fisis yang meliputi bentuk muka mongoloid (facies Cooley), ikterus,
gangguan pertumbuhan, splenomegali dan hepatomegali.
B. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda vital: Tekanan darah menurun, nadi brakikardia, suhu tubuh normal,
pernapasan meningkat
b. Kulit : pucat dan ikterus ringan
c. Jantung : Ejection systolic murmur gr 2
d. Liver : teraba 4 cm di bawah arcus costae dextra, konsistensi kenyal
permukaan licin
e. Spleen : teraba 5 cm di bawah arcus costae sinistra (Schuffner III)
f. Limfadenopati negative
g. Gangguan pertumbuhan tulang +/-
C. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis thalasemia ialah:

1. Darah

Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita


thalasemia adalah

 Darah rutin
Kadar hemoglobin menurun. Dapat ditemukan peningkatan jumlah lekosit,
ditemukan pula peningkatan dari sel PMN. Bila terjadi hipersplenisme akan
terjadi penurunan dari jumlah trombosit.

 Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.

 Gambaran darah tepi


Anemia pada thalassemia mayor mempunyai sifat mikrositik hipokrom. Pada
gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan retikulosit, poikilositosis, tear
drops sel dan target sel.
 Serum Iron & Total Iron Binding Capacity
Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan anemia
terjadi karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI akan menurun,
sedangkan TIBC akan meningkat.

 LFT
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila angka
tersebut sudah terlampaui maka harus dipikir adanya kemungkinan hepatitis,
obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum SGOT dan SGPT akan meningkat
dan menandakan adanya kerusakan hepar. Akibat dari kerusakan ini akan
berakibat juga terjadi kelainan dalam faktor pembekuan darah.

2. Elektroforesis Hb

Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis hemoglobin.


Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita thalassemia saja, namun juga
pada orang tua, dan saudara sekandung jika ada. Pemeriksaan ini untuk melihat jenis
hemoglobin dan kadar Hb A2. petunjuk adanya thalassemia α adalah ditemukannya Hb
Barts dan Hb H. Pada thalassemia β kadar Hb F bervariasi antara 10-90%, sedangkan
dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.

3. Pemeriksaan sumsum tulang

Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat aktif
sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada keadaan normal
biasanya nilai perbandingannya 10 : 3.

4. Pemeriksaan rontgen

Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak
mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi
berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian tranfusi darah secara berkala.
Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan dari
korteknya. Trabekulasi memberi gambaran mozaik pada tulang. Tulang terngkorak
memberikan gambaran yang khas, disebut dengan “hair on end” yaitu menyerupai
rambut berdiri potongan pendek pada anak besar, korteks menipis, diploe melebar
dengan trabekula tegak lurus pada korteks.Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang :
perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas.

Hair on end Trabekula tulang jelas

G. Diagnosa Banding
Thalasemia minor harus dibedakan dari penyebab lain dari mikrositik ringan,
hipokromik anemia, defisiensi besi dan -thalasemia. Berbeda dengan penderita anemia
difisiensi besi, mereka dengan -thalassemia minor memiliki peningkatan jumlah eritrosit
dan index MCV dibagi eritrosit dengan hasil di bawah 13. Secara umum, ditemukannya
peningkatan Hb A2 merupakan diagnosis. Namun rendahnya HbA2 juga dapat disebabkan
oleh defesiensi besi yang terjadi secara bersamaan. Sehingga dapat mengaburkan diagnosis
dan sering salah diagnosis dengan anemia defesiensi besi.
Thalassemia major sering sangat beda dari kelainan lain. Hb elektroporesis dan study
keluarga membuktikan mudah membedakan dengan Hb E--Thalassemia, yang paling
penting adalah tranfusi rutin merupakan poin penting diagnosa -Thalassemia.

H. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
- Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar feritin serum
sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali
transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan melalui
pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut setiap
selesai transfusi darah.
- Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek
kelasi besi.
- Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
- Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel
darah merah.
b. Bedah
- Splenektomi, dengan indikasi: limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak
penderita, menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya
ruptur hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau
kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.
- Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita thalasemia
dengan lebih dari seribu penderita thalasemia mayor berhasil tersembuhkan dengan
tanpa ditemukannya akumulasi besi dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih
berarti pada anak usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-
spesifik dan cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk melakukan
transplantasi ini.

c. Suportif
- Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan ini
akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi
besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.
Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap
kenaikan Hb 1 g/dl.
- Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan kelebihan besi
sebagai akibat absorbsi besi meningkat dan transfusi darah berulang. Efek samping
kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit kepala, gatal, sukar bernapas. Bila
hal ini terjadi kelasi besi dihentikan.
- Tumbuh Kembang : Anemia kronis memberikan dampak pada proses tumbuh
kembang, karenanya diperlukan perhatian dan pemantauan tumbuh kembang
penderita.
- Gangguan Jantung, Hepar, dan Endokrin : Anemia kronis dan kelebihan zat besi dapat
menimbulkan gangguan fungsi jantung (gagal jantung), hepar (gagal hepar),
gangguan endokrin (diabetes melitus, hipoparatiroid) dan fraktur patologis.
BAB IV
KESIMPULAN

Thalassemia merupakan penyakit genetik yang disebabkan oleh ketidaknormalan pada


protein globin yang terdapat di gen. Dapat menyerang siapa aja dengan berbagai etnik ras di
seluruh dunia dan termasuk salah satu penyakit genetik kelainan darah yang terbanyak di
Indonesia. Jika globin alfa yang rusak maka penyakit itu dinamakan alfa-thalassemia dan jika
globin beta yang rusak maka penyakit itu dinamakan alfa thalassemia. Gejala yang terjadi
dimulai dari anemia hingga gangguan tumbuh kembang. Pemeriksaan thalasemia bisa
dilakukan melalui pemeriksaan darah, Hb elektroforesa, pemeriksaan sumsum tulang dan
roentgen. Thalassemia harus sudah diobati sejak dini agar tidak berdampak fatal. Pengobatan
yang dilakukan adalah dengan melakukan transfusi darah, meminum beberapa suplemen
asam folat, terapi kelasi besi, splenektomi, hingga transplantasi sumsum tulang. Thalasemia
bisa diketahui sedini mungkin dengan proses skrining.
DAFTAR PUSTAKA

A.V. Hoffbrand and J.E. Pettit; alih bahasa oleh Iyan Darmawan : Kapita Selekta
Haematologi, edisi ke 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 1996, hal 66-85
Atmakusuma, Djumhana. 2009. Thalassemia : Manifetasi Klinis, Pendekatan
Diagnosis, dan Thalssemia Intermedia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V.
Jakarta : InternaPublishing.

Berhman, RE; Kliegman, RM ; Arvin: Nelson Ilmu Kesehatan Anak, volume 2, edisi
15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 2005, hal1708-1712
Children's Hospital & Research Center Oakland. 2005. “What is Thalassemia and
Treating Thalassemia”.

Haemoglobinopathies. The Pathophysiology of Beta-thalassemia Major, C.B. Modell,


from theDepartment of Paediatrics, University College Hospital, London, J. clin. Path.,
27, Suppl. (Roy. Coll.Path.), 8, 12-18

Hassan R dan Alatas H. (2002). Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan anak. bagian 19

Hematologi hal. 419-450 ,Bagian ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia : Jakarta

Markum : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. FKUI, Jakarta : 1991, hal 331
Paediatrica Indonesiana, The Indonesian Journal of pediatrics and Perinatal
Medicine, volume 46, No.5-6. Indonesian Pediatric Society, Jakarta: 2006, page 134-138
Permono, H. BAmbang; Sutaryo; Windiastuti, Endang; Abdulsalam, Maria; IDG
Ugrasena: Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak, Cetakan ketiga. Penerbit Badan
Penerbit IDAI, Jakarta : 2010, hlm 64-84
Petunjuk Diagnosis dan Tatalaksana Kasus Talasemia.Jakarta:Subbagian
Hematologi,Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM,1997

Anda mungkin juga menyukai