Anda di halaman 1dari 6

Hari akhirat, hari setelah kematian yang wajib diyakini kebenarannya oleh setiap orang yang beriman

kepada Allah ta’ala dan kebenaran agama-Nya. Hari itulah hari pembalasan semua amal perbuatan
manusia, hari perhitungan yang sempurna, hari ditampakkannya semua perbuatan yang tersembunyi
sewaktu di dunia, hari yang pada waktu itu orang-orang yang melampaui batas akan berkata dengan
penuh penyesalan.

‫ت حِلَيَايِت‬ ْ ‫يَا لَْيتَيِن قَد‬


ُ ‫َّم‬
“Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.”  (Qs. Al
Fajr: 24)

Maka seharusnya setiap muslim yang mementingkan keselamatan dirinya benar-benar memberikan
perhatian besar dalam mempersiapkan diri dan mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang kekal
abadi ini. Karena pada hakikatnya, hari inilah masa depan dan hari esok manusia yang sesungguhnya,
yang kedatangan hari tersebut sangat cepat seiring dengan cepat berlalunya usia manusia.
Allah ta’ala berfirman:

‫ت لِغَ ٍد َواتَّ ُقوا اللَّهَ ِإ َّن اللَّهَ َخبِريٌ مِب َا َت ْع َملُو َن‬
ْ ‫َّم‬
َ ‫س َما قَد‬ َّ
ٌ ‫آمنُوا اتَّ ُقوا اللهَ َولَْت ْنظُْر نَ ْف‬
ِ َّ
َ ‫يَا َأيُّ َها الذ‬
َ ‫ين‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan
apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Hasyr: 18)

Semoga Allah ta’ala meridhai sahabat yang mulia Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang


mengingatkan hal ini dalam ucapannya yang terkenal: “Hisab-lah (introspeksilah) dirimu (saat ini)
sebelum kamu di-hisab (diperiksa/dihitung amal perbuatanmu pada hari kiamat), dan timbanglah
dirimu (saat ini) sebelum (amal perbuatan)mu ditimbang (pada hari kiamat), karena sesungguhnya akan
mudah bagimu (menghadapi) hisab besok (hari kiamat) jika kamu (selalu) mengintrospeksi dirimu saat
ini, dan hiasilah dirimu (dengan amal shaleh) untuk menghadapi (hari) yang besar (ketika manusia)
dihadapkan (kepada Allah ta’ala):

ٌ‫ضو َن ال خَت ْ َفى ِم ْن ُك ْم َخافِيَة‬ ٍ ‫ِئ‬


ُ ‫َي ْوَم ذ ُت ْع َر‬
“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Allah), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi
(bagi-Nya).” (Qs. Al Haaqqah: 18). (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab beliau Az Zuhd (hal.
120), dengan sanad yang hasan)

Senada dengan ucapan di atas sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Sesungguhnya dunia telah pergi meninggalkan (kita) sedangkan akhirat telah datang di hadapan (kita),
dan masing-masing dari keduanya (dunia dan akhirat) memiliki pengagum, maka jadilah kamu orang
yang mengagumi/mencintai akhirat dan janganlah kamu menjadi orang yang mengagumi dunia, karena
sesungguhnya saat ini (waktunya) beramal dan tidak ada perhitungan, adapun besok (di akhirat) adalah
(saat) perhitungan dan tidak ada (waktu lagi untuk) beramal.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dalam Az Zuhd (hal. 130) dan dinukil oleh Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab beliau  Jaami’ul
‘uluumi wal hikam (hal. 461)).

Jadilah kamu di dunia seperti orang asing…

Dunia tempat persinggahan sementara dan sebagai ladang akhirat tempat kita mengumpulkan bekal
untuk menempuh perjalanan menuju negeri yang kekal abadi itu. Barangsiapa yang mengumpulkan
bekal yang cukup maka dengan izin Allah dia akan sampai ke tujuan dengan selamat, dan barang siapa
yang bekalnya kurang maka dikhawatirkan dia tidak akan sampai ke tujuan.

1
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita sikap yang benar dalam kehidupan
di dunia dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing
atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HR. Al Bukhari no. 6053)

Hadits ini merupakan bimbingan bagi orang yang beriman tentang bagaimana seharusnya dia
menempatkan dirinya dalam kehidupan di dunia. Karena orang asing (perantau) atau orang yang sedang
melakukan perjalanan adalah orang yang hanya tinggal sementara dan tidak terikat hatinya kepada
tempat persinggahannya, serta terus merindukan untuk kembali ke kampung halamannya. Demikianlah
keadaan seorang mukmin di dunia yang hatinya selalu terikat dan rindu untu kembali ke kampung
halamannya yang sebenarnya, yaitu surga tempat tinggal pertama kedua orang tua kita, Adam  ‘alaihis
salam dan istrinya Hawa, sebelum mereka berdua diturunkan ke dunia.

Sikap hidup ini menjadikan seorang mukmin tidak panjang angan-angan dan terlalu muluk dalam
menjalani kehidupan dunia, karena “barangsiapa yang hidup di dunia seperti orang asing, maka dia
tidak punya keinginan kecuali mempersiapkan bekal yang bermanfaat baginya ketika kembali ke
kampung halamannya (akhirat), sehingga dia tidak berambisi dan berlomba bersama orang-orang yang
mengejar dunia dalam kemewahan (dunia yang mereka cari), karena keadaanya seperti seorang
perantau, sebagaimana dia tidak merasa risau dengan kemiskinan dan rendahnya kedudukannya di
kalangan mereka.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal.
461), dengan sedikit penyesuaian)

Makna inilah yang diisyaratkan oleh sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, Abdullah bin
Umar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau berkata: “Jika kamu (berada) di waktu sore maka janganlah
tunggu datangnya waktu pagi, dan jika kamu (berada) di waktu pagi maka janganlah tunggu datangnya
waktu sore, serta gunakanlah masa sehatmu (dengan memperbanyak amal shaleh sebelum datang) masa
sakitmu, dan masa hidupmu (sebelum) kematian (menjemputmu).” (Diriwayatkan oleh imam Al
Bukhari dalam kitab Shahihul Bukhari, no. 6053).

Bahkan inilah makna zuhud di dunia yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin
Hambal ketika beliau ditanya: Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata:
“(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi
dia berkata: Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi.” (Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab
dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 465))

َّ ‫الز ِاد‬
‫الت ْقوى‬ َّ ‫َوَت َزَّو ُدوا فَِإ َّن َخ ْي َر‬

Berbekallah, dan sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa

Sebaik-baik bekal untuk perjalanan ke akhirat adalah takwa, yang berarti “menjadikan pelindung antara
diri seorang hamba dengan siksaan dan kemurkaan Allah yang dikhawatirkan akan menimpanya, yaitu
(dengan) melakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab
dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 196))

Maka sesuai dengan keadaan seorang hamba di dunia dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan
meninggalkan perbuatan maksiat, begitu pula keadaannya di akhirat kelak. Semakin banyak dia berbuat
baik di dunia semakin banyak pula kebaikan yang akan di raihnya di akhirat nanti, yang berarti semakin
besar pula peluangnya untuk meraih keselamatan dalam perjalanannya menuju surga.

Inilah diantara makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda
beliau: “Setiap orang akan dibangkitkan (pada hari kiamat) sesuai dengan (keadaannya) sewaktu dia
meninggal dunia.” (HR. Muslim, no. 2878). Artinya: Dia akan mendapatkan balasan pada hari
kebangkitan kelak sesuai dengan amal baik atau buruk yang dilakukannya sewaktu di dunia. (Lihat
penjelasan Al Munaawi dalam kitab beliau Faidhul Qadiir (6/457))

Landasan utama takwa adalah dua kalimat syahadat: Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, sebaik-baik bekal yang perlu dipersiapkan untuk
selamat dalam perjalanan besar ini adalah memurnikan tauhid (mengesakan Allah  ta’ala dalam

2
beribadah dan menjauhi perbuatan syirik) yang merupakan inti makna syahadat Laa ilaaha illallah dan
menyempurnakan al ittibaa’ (mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi
perbuatan bid’ah) yang merupakan inti makna syahadat Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.

Maka dari itu, semua peristiwa besar yang akan dialami manusia pada hari kiamat nanti, Allah akan
mudahkan bagi mereka dalam menghadapinya sesuai dengan pemahaman dan pengamalan mereka
terhadap dua landasan utama Islam ini sewaktu di dunia.

‫ِني‬ ِ ِ
َ ‫َوالْ َعاقبَةُ للْ ُمتَّق‬
Balasan akhir yang baik (yaitu Surga) bagi orang-orang yang bertakwa

Akhirnya, perjalanan manusia akan sampai pada tahapan akhir; surga yang penuh kenikmatan, atau
neraka yang penuh dengan siksaan yang pedih. Di sinilah Allah ta’ala akan memberikan balasan yang
sempurna bagi manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka di dunia. Allah ta’ala berfirman:

‫س َع ِن اهْلََوى فَِإ َّن‬


َ ‫الن ْف‬ َ ‫ َو ََّأما َم ْن َخ‬،‫يم ِه َي الْ َمْأ َوى‬
َّ ‫اف َم َق َام َربِّهِ َونَ َهى‬ ِ ‫فَ ََّأما من طَغَى وآثَر احْل ياةَ ُّ ِإ‬
َ ‫الد ْنيَا فَ َّن اجْلَح‬ ََ َ َ َْ
‫اجْلَنَّةَ ِه َي الْ َمْأ َوى‬

“Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka
sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggal(nya)” (Qs.  An Naazi’aat: 37-41).

Maka balasan akhir yang baik hanyalah Allah peruntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan
membekali dirinya dengan ketaatan kepada-Nya, serta menjauhi perbuatan yang menyimpang dari
agama-Nya. Allah ta’ala berfirman:

ِ ِ ِ ِِ ِ
‫ني‬
َ ‫ض َوال فَ َساداً َوالْ َعاقبَةُ ل ْل ُمتَّق‬ ْ ‫يدو َن عُلُ ّواً يِف‬
ِ ‫اَأْلر‬ ُ ‫ين ال يُِر‬
َ ‫َّار اآْل خ َرةُ جَن ْ َعلُ َها للَّذ‬ َ ‫تِْل‬
ُ ‫ك الد‬
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan
berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi
orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Qashash: 83)

Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata: “…Jika mereka (orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini)
tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka)
bumi, maka konsekwensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju kepada Allah, tujuan mereka
(hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat, dan keadan mereka (sewaktu di dunia): selalu
merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan
mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir
yang baik (surga dari Allah ta’ala).” (Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan, hal.
453)

Penutup

Setelah kita merenungi tahapan-tahapan perjalanan besar ini, marilah kita bertanya kepada diri kita
sendiri: sudahkah kita mempersiapkan bekal yang cukup supaya selamat dalam perjalanan tersebut?
Kalau jawabannya: belum, maka jangan putus asa, masih ada waktu untuk berbenah diri dan
memperbaiki segala kekurangan kita -dengan izin Allah ta’ala- . Caranya, bersegeralah untuk kembali
dan bertobat kepada Allah, serta memperbanyak amal shaleh pada sisa umur kita yang masih ada. Dan
semua itu akan mudah bagi orang yang Allah berikan taufik dan kemudahan baginya.

3
Imam Fudhail bin ‘Iyaadh pernah menasehati seseorang lelaki, beliau berkata: “Berapa tahun usiamu
(sekarang)”? Lelaki itu menjawab: Enam puluh tahun. Fudhail berkata: “(Berarti) sejak enam puluh
tahun (yang lalu) kamu menempuh perjalanan menuju Allah dan (mungkin saja) kamu hampir sampai”.
Lelaki itu menjawab: Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Maka Fudhail
berkata: “Apakah kamu paham arti ucapanmu? Kamu berkata: Aku (hamba) milik Allah dan akan
kembali kepada-Nya, barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik Allah dan akan
kembali kepada-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya pada
hari kiamat nanti), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya) maka
hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya selama di
dunia), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas
perbuatannya) maka hendaknya dia mempersiapkan jawabannya.” Maka lelaki itu bertanya: (Kalau
demikian) bagaimana caranya (untuk menyelamatkan diri ketika itu)? Fudhail menjawab: “(Caranya)
mudah.” Leleki itu bertanya lagi: Apa itu? Fudhail berkata: “Engkau memperbaiki (diri) pada sisa
umurmu (yang masih ada), maka Allah akan mengampuni (perbuatan dosamu) di masa lalu, karena jika
kamu (tetap) berbuat buruk pada sisa umurmu (yang masih ada), kamu akan di siksa (pada hari kiamat)
karena (perbuatan dosamu) di masa lalu dan pada sisa umurmu.” (Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam
kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam, hal. 464)

Beliau (Fudhail bin ‘Iyaadh) adalah Fudhail bin ‘Iyaadh bin Mas’uud At Tamimi (wafat 187 H),
seorang imam besar dari dari kalangan atba’ut tabi’in yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seorang ahli ibadah (lihat kitab Taqriibut Tahdziib,
hal. 403)

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam
HR. Muslim, no. 2720) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) untuk kebaikan agama, dunia
dan akhirat kita:

Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan penentu (kebaikan) semua urusanku, dan perbaikilah
(urusan) duniaku yang merupakan tempat hidupku, serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat
kembaliku (selamanya), jadikanlah (masa) hidupku sebagai penambah kebaikan bagiku, dan
(jadikanlah) kematianku sebagai penghalang bagiku dari semua keburukan.

00000000000000000000000000000000000000000000000000000000

ِ ِ ِ َّ ‫الزاد َك ِامالً فَِإ َّن‬ ِ ِ ِ َّ ‫ِّد‬


ِ ‫ جد‬،‫يا َأبا َذ ٍّر‬
َ ‫ َو َخفِّف اْحل ْم َل فَِإ َّن‬،‫الس َفَر بَعْي ٌد‬
ُ‫الع َقبَ ة‬ َ َّ ‫ َو ُخ ذ‬،‫السفْينَةَ فَِإ َّن اْلبَ ْح َر َعمْي ٌق‬ َ َ َ
‫صْيٌر‬ ِ ‫ص اْلعمل فَِإ َّن النَاقَ َد ب‬
َ َ َ ِ ِ‫َأخل‬
ْ ‫ َو‬،‫َكُئ ْوٌد‬
َ
"Wahai Abu Dzar, perbaharuilah kapalmu karena laut itu dalam; ambilah bekal yang cukup karena
perjalanannya jauh; ringankan beban bawaan karena lereng bukit sulit dilalui, dan ikhlaslah beramal
karena Allah Maha Teliti."
Pesan Rasulullah dalam hadits ini disampaikan dalam makna tersirat. Pengertian tersebunyi
dalam kata-kata kiasan di dalamnya. Nasihat sejatinya tak hanya ditujukan kepada Abu Dzar melainkan
juga kepada umat beliau secara umum dan sepanjang zaman. Menurut penulis Nashaihul 'Ibad, Syekh
Muhammad bin Umar Nawawi al-Bantani (Imam Nawawi), perintah untuk memperharui perahu berarti
menata niat. Niat merupakan hal pokok dalam setiap perbuatan.

Sebelum seseorang hendak berlayar, ia harus memastikan kapal dalam kondisi siap dan aman;
memeriksa mesin, mempertimbangkan cuaca, dan lain-lain. Begitu pula dengan hubungan niat dan amal.
Artinya, seseorang yang ingin melakukan sesuatu hendaklah menertibkan rencana dan tujuan yang bagus.
Selain memantapkan langkah, niat juga membantu seseorang untuk fokus pada arah yang digariskan,
yakni untuk mencari ridha Allah subhanahu wata’ala. Tentang niat sebagai pekerjaan yang wajib dalam
setiap amal dapat kita simak dengan jelas dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa

4
“Sesungguhnya sahnya setiap amal perbuatan adalah dengan niat. Setiap orang hanya memperoleh dari
apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia, maka ia akan mendapatkannya.
Atau, kepada wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada sesuatu yang karenanya ia
berhijrah." Niat adalah pekerjaan hati.

Dalam fiqih menjadi bagian dari rukn qalbi atau rukun hati. Karena itu, ia bersifat tersembunyi,
tak ada orang lain yang bisa menyaksikannya keciali Allah dan dirinya sendiri. Bibir bisa saja berucap
tujuan A, tapi siapa yang tahu hati berkehendak untuk tujuan lain? Itulah sebabnya ibadah sebagus apa
pun apabila tak disertai dengan niat yang baik maka akan menjadi sia-sia belaka. Tetapi perbuatan yang
sekilas terlihat “remeh” dengan niat yang tertata dan baik maka akan menjadi memiliki nilai. Dalam kitab
Ta’limul Muta’allim disebutkan

, ‫ َك ْم ِم ْن َع َم ٍل‬،‫اآلخَرة‬
ِ ‫َأعم ِال‬ ِ ِ ‫ِ حِب‬ ِ ْ ‫َكم ِمن َعم ٍل يتَص َّور بِصورة‬
َ ْ ‫أعمال ال ّدنْياَ َويَصْي ُر ُ ْس ِن النيَّة من‬ َْ ُ ُ َ َ َ ْ ْ
‫الد ْنيَا بِ ُس ْوِء النِيَّة‬ ْ ‫صرْي ِمن‬
ُّ ‫َأع َم ِال‬ ِ ‫مال األخرة مُثَّ ي‬
َ
ِ ‫أع‬
ُ ِ‫ص َّوُر ب‬
ْ ‫ص ْوَرة‬ َ َ‫َيت‬
Artinya: “Banyak perbuatan yang tampak sebagai perbuatan duniawi berubah menjadi perbuatan
ukhrawi lantaran niat yang bagus. Banyak pula perbuatan yang terlihat sebagai perbuatan ukhrawi
bergeser menjadi perbuatan duniawi lantaran niat yang buruk.”

Yang kedua, Rasulullah mengingatkan Abu Dzar dan kita semua tentang usaha untuk menumpuk
perbekalan sesempurna mungkin karena perjalanan akan panjang. Menurut Syekh Nawawi, yang
dimaksud di sini tentu adalah perjalanan akhirat yang penuh dengan jerih payah melebihi perjalan dunia
yang fana ini. Karena perjalanan tersebut adalah perjalanan akhirat maka bekalnya pun bukan kekayaan
duniawi. Kita pergi ke akhirat hanya membawa bekal amal kebaikan. Selebihnya, baik rumah, mobil,
pabrik, tanah, anak, istri, jabatan, popularitas akan ditinggal begitu saja. Di akhiratlah berlangsung hari
pembalasan atas segenap perilaku kita selama di dunia. Bagi yang tak cukup bekal mereka pun bakal
menyesal. Seperti diungkapkan dalam Surat Al-Fajr ayat 24 yang merekam penyesalan sebagian orang:

‫ت حِلَيَايِت‬
ُ ‫يَا لَْيتَيِن قَد َّْم‬
“Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.”

Hadirin hadâkumullah,

Cakupan amal saleh sangat luas. Tak hanya meliputi ibadah ritual semacam shalat, wirid, atau
puasa. Amal saleh juga bisa berupa membantu pendidikan anak miskin yang sedang kesusahan,
membebaskan hewan dari sangkar ke habitat semestinya, membangun perpustakaan untuk masjid,
memberi kesadaran kepada masyarakat tentang membuang sampah pada tempatnya, menanam pohon, dan
lain sebagainya. Semua ini hanya akan bernilai jika niat yang terbesit sesuai dengan koridornya,
sebagaimana pesan Rasulullah di awal tadi. Nasihat ini berjalin kelindan dengan pesan metaforis
Rasulullah berikutnya, yakni perintah untuk meringankan beban bawaan karena terjal dan berlikunya
lereng gunung yang dilintasi. Perjalanan yang jauh dengan tingkat kesulitan yang tinggi menuntut
seseorang untuk mempertimbangkan barang-barang bawaan saat bepergian. Ini merupakan kiasan dari
anjuran untuk tak terlalu meninggalkan beban duniawi yang bakal menghambat perjalanan akhirat. Nabi
mendorong umatnya agar tak terlalu terpukau pada kehidupan dunia karena semakin banyak, semakin
banyak pula beban yang bakal ditanggung.

Karena negeri akhirat adalah tempat menghisab segala yang dimiliki, termasuk hal-hal yang
bersangkut paut hak sesama manusia (haqq adamî), seperti hutang serta berbuat kesalahan terhadap orang
lain yang belum termaafkan. Nasihat yang keempat adalah akhlish al-‘amala, murnikanlah berbuat hanya
untuk tujuan mencari ridha Allah. Jika kita belajar fiqih, ikhlas memang tak menjadi salah satu rukun
yang mesti dilakukan. Tapi ikhlas adalah “ruh” yang menentukan apakah suatu amal memiliki harga di
sisi Allah subhanahu wata’ala.

5
‫الذ ْك ِر احلَ ِكْي ِم‪  .‬إنّهُ تَع اَىَل َج ّو ٌاد َك ِرمْيٌ َمل ٌ‬ ‫آن الع ِظي ِم‪ ،‬وَن َفعيِن وِإي ا ُكم بِ ِ‬
‫اآليات و ِّ‬ ‫ِ‬
‫ف‬‫ِك َب ٌّر َرُؤ ْو ٌ‬ ‫لكم يِف ال ُق ْر َ ْ َ َ ْ َ ّ ْ‬ ‫ب اََرَك اهللُ يِل ْ َو ْ‬
‫َرِحْي ٌم‬

‫‪Khutbah II‬‬

‫ات الله َّم ِ‬


‫َأعَّز اِْإل ْسالَ َم‬ ‫ات اَالَحيآء ِمْنهم واْالَمو ِ‬ ‫ات واْملسلِ ِم واْملسلِم ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ ِ ِِ‬
‫ُ‬ ‫ْ ُ ُ ْ َ َْ‬ ‫لله َّم ا ْغف ْر ل ْل ُمْؤ مننْي َ َواْملُْؤ منَ َ ُ ْ نْي َ َ ُ ْ َ‬ ‫اَ ُ‬
‫اخ ُذ ْل َم ْن َخ َذ َل اْمل ْسلِ ِمنْي َ َو َد ِّم ْر‬ ‫ْ‬ ‫صَر الدِّيْ َن َو‬‫َ‬ ‫ص ْر َم ْن نَ‬ ‫ُ‬ ‫ص ْر ِعبَ َاد َك اْمل َو ِّح ِديَّةَ َوانْ‬ ‫ُ‬ ‫َواْمل ْسلِ ِمنْي َ َو َِأذ َّل الش ِّْرَك َواْمل ْش ِركِنْي َ َوانْ‬
‫ُ‬ ‫ُ‬ ‫ُ‬ ‫ُ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِإ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫الزالَزَل َواْمل َح َن َو ُس ْوءَ اْلفْتنَة َواْمل َح َن َما ظَ َهَر‬ ‫الله َّم ْادفَ ْع َعنَّا اْلبَالَءَ َواْ َلوبَاءَ َو َّ‬‫ك ىَل َي ْوَم الدِّيْ ِن‪ُ .‬‬ ‫َأع َداءَالدِّيْ ِن َو ْاع ِل َكل َمات َ‬ ‫ْ‬
‫ب اْ َلعالَ ِمنْي َ ‪َ .‬رَّبنَا آتِناَ ىِف ُّ‬
‫الد ْنيَا َح َسنَةً‬ ‫خآصةً َو َساِئِر اْ ُلب ْل َد ِان اْمل ْسلِ ِمنْي َ َّ‬
‫عآمةً يَا َر َّ‬ ‫ِمْن َها َوَما بَطَ َن َع ْن َبلَ ِدنَا اِنْ ُدونِْي ِسيَّا َّ‬
‫ُ‬
‫ِإ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫اب النَّا ِر‪َ .‬ربَّنَا ظَلَ ْمنَا اَْن ُف َسنَ َاوا ْن مَلْ َت ْغف ْر لَنَا َوَت ْرمَحْنَا لَنَ ُك ْونَ َّن م َن اْخلَاسريْ َن‪ .‬عبَ َاداهلل ! ن اهللَ‬
‫َّ‬ ‫ِ‬ ‫َوىِف اْآلخَرِة َح َسنَةً َوقنَا َع َذ َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِ ِإل ِ ِإ ِ ِ‬
‫ىب َوَيْن َهى َع ِن اْل َف ْحشآء َواْملُْن َك ِر َواْ َلب ْغي يَعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكُرْو َن َواذْ ُكُروااهللَ‬ ‫يَْأ ُمُرنَا باْ َلع ْدل َواْ ْح َسان َو يْتآء ذي اْل ُق ْر َ‬
‫اْلع ِظيم ي ْذ ُكرُكم وا ْش ُكروه على نِع ِم ِه ي ِزْد ُكم ولَ ِذ ْكر ِ‬
‫اهلل َأ ْكَب ْر‬ ‫َ ْ َ َ ْ ْ َ ُْ ُ َ َ َ َ ْ َ ُ‬
‫‪000000000000000000000000‬‬

‫‪6‬‬

Anda mungkin juga menyukai