Ia pergi dengan naik keledai. Seorang saudaranya yang lain mau menemaninya
sampai desa Onate. Ia mengajak saudaranya itu untuk bersama-sama jaga malam di
kapel Maria di Aranzazu. Malam hari ia berdoa di situ supaya diberi kekuatan baru untuk
perjalanannya. Saudaranya ditinggalkan di Onate, di tempat saudara perempuan yang
mau dikunjungi. Ia sendiri pergi ke Navarete. Teringat olehnya bahwa di tempat pangeran
masih ada orang yang berhutang beberapa dukat kepadanya. Ia berpikir baik juga
mengambilnya. Maka ia menulis sepucuk surat untuk bendahara. Bendahara berkata
bahwa tidak ada uang. Hal itu didengar oleh pangeran sendiri. Beliau mengatakan,
bahwa kalau tidak ada uang untuk orang lain, untuk orang Loyola harus ada. Beliau juga
menawarinya pangkat yang baik, kalau mau, demi jasa-jasanya di masa lalu. Ia
menerima uangnya, dan menyuruh membagikannya di antara beberapa orang yang
kepadanya ia merasa berhutang. Sebagian dipakai untuk memperbaiki dan menghias
lebih baik patung Bunda Maria yang kurang terpelihara. Sesudah itu kedua karyawan
yang mengantarnya disuruhnya pulang. Setelah itu ia naik keledai pergi dari Navarete ke
Montserrat sendirian.
Penghargaan yang diberikan oleh Pangeran Najera kepada Inigo dan kesediaannya
untuk melunasi hutangnya menunjukkan penghormatan yang dimiliki orang-orang
terhadap Inigo. Pada masa ini, Pangeran tersebut sedang kekurangan uang dan tidak
lagi dipercaya oleh Raja. Ia telah berkomunikasi dengan Inigo sebelumnya dan tahu
bahwa Inigo telah sembuh. Ia juga ingat akan apa yang telah dilakukan oleh Inigo
baginya di masa lalu dan ingin mendapatkan kembali jasa pegawai administrasi yang
ulung ini. Tawaran jabatan ini mungkin merupakan sebuah godaan bagi Inigo untuk
kembali ke hidupnya di masa lampau. Namun, ia dengan mudah mengorbankan hal ini
karena hidup dan energinya sudah tercurah pada hal- hal lain.
Inigo lalu mengucapkan selamat tinggal kepada pelayan kakaknya. Ia baru akan
bertemu kembali dengan pelayan-pelayan keluarga Loyola tiga belas tahun yang akan
datang dan ini rupanya akan menjadi sebuah situasi yang menakutkan bagi Inigo [87].
Inigo telah memulai perjalanan sejauh 550 kilometer ke Montserrat dan ini
akan memakan waktu dua puluh hari. Selama perjalanan ini, dan juga perjalanan-
perjalanan lainnya, Inigo selalu menegaskan bahwa ia ingin bepergian sendirian. Ketika
ia berjalan menyusuri Lembah Ebro, kakinya yang terluka dan rasa sakit yang muncul
selama perjalanan pasti akan terus mengingatkan Inigo akan peristiwa Pamplona.
Pada perjalanan itu terjadi sesuatu yang sebaiknya dicatat di sini, supaya menjadi
jelas bagaimana Tuhan kita membimbing jiwa yang masih buta itu. Ia memang punya
keinginan besar untuk mengabdi kepada-Nya dalam segala hal yang dapat dipahaminya.
Ia telah mengambil keputusan akan menjalankan laku-tapa berat, tidak pertama-tama
sebagai silih atas dosanya, tetapi untuk berbuat baik kepada Tuhan dan berdamai
kepadaNya.
Dengan demikian, bila ia mengambil keputusan untuk menjalankan Iaku tapa yang
pernah dilakukan oleh para santo, ia ingin melakukan yang sama atau bahkan lebih
berat. Seluruh penghiburannya terdapat dalam pikiran semacam itu. Ia tidak
memperhatikan hal-hal yang batiniah, dan juga tidak tahu apa itu kerendahan hati, atau
cinta kasih, atau kesabaran. Ia juga tidak punya kebijaksanaan yang diperlukan untuk
mengatur dan mengarahkan keutamaan-keutamaan itu. Sebaliknya, seluruh tujuannya
adalah melakukan parbuatan besar yang lahiriah. Sebab begitulah yang dilakukan oleh
para santo demi kemuliaan Allah. Ia tidak memperhatikan sesuatu yang lain, yang lebih
khusus.
Pada tahap ini Inigo masih sangat terobsesi dengan perbuatan-perbuatan lahiriah
karena ia melihatnya sebagai sarana mendapatkan kesucian yang dimilikioleh para
kudus. Seperti yang diakuinya, ia masih tidak tahu soal hal-hal batiniah dan apa arti
kesucian sejati. Hanya setelah pengalamannya di tepi Sungai Cardoner, yaitu pada
waktu ia mendapat anugerah untuk berdiskresi, ia menjadi paham bahwa para kudus
menjadi suci karena melakukan kehendak Tuhan dan bukan karena mengikuti
kehendak pribadi seperti yang sedang dilakukan Inigo saat ini.
Suatu waktu ketika ia sedang berjalan, seorang turunan Arab [Moor] yang juga naik
keledai mendekatinya. Sambil berjalan bersama-sana mereka mulai omong mengenai
Bunda Maria. Orang Arab itu berkata bahwa menurut dia, Maria memang perawan
waktu mengandung, tetapi ia tidak dapat percaya, bahwa Maria tetap perawan waktu
melahirkan. Untuk itu ia memberi alasan filsafat yang muncul di benaknya. Ia
mempertahankan pendapat itu, kendatipun Si Peziarah memberikan banyak alasanyang
kontra. Sesudah itu orang Arab cepat-cepat pergi. Si Peziarah dalam hati bertanya-tanya
apa yang sebetulnya terjadi dengan orang Arab itu. Lalu muncul rasa tidak puas dalam
hatinya. Ia merasa tidak berbuat apa yang seharusnya dilakukan. Ia begitu marah dengan
orang Arab itu. Ia merasa bahwa tidak baik membiarkan orang Arab mengatakan hal-hal
semacam itu mengenai Bunda Maria. Maka ia merasa harus berbuat sesuatu untuk
membela kehormatan Bunda Maria. Timbul keinginan untuk
mengejar orang Arab itu dan menusuk dia dengan belatinya, karena apa yang
dikatakannya itu. Lama sekali ia terombang-ambing oleh keinginan itu. Akhirnya ia tetap
bingung juga dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Orang Arab itu mengatakan
bahwa ia mau pergi ke desa yang sedikit lebih jauh, tetapi tidak jauh dari jalan besar, dan
jalan besar itu tidak melewati tempat itu.
Orang-orang Moor memiliki stigma sosial yang buruk di Spanyol pada masa itu
sampai-sampai sebagian besar dari mereka diusir keluar dari negara itu. Keluarga
Loyola juga tidak menyukai keberadaan mereka. Maka, kemauan Inigo untuk berbicara
dengan orang Moor tersebut merupakan sebuah tanda perubahan dalamdiri Inigo. Kita
tidak tahu bagaimana mereka bisa mulai mempercakapkan Bunda Maria. Mungkin
mereka saling bertanya ke mana mereka akan pergi dan Inigo menyebut bahwa ia
sedang dalam perjalanan ke Montserrat. Percakapan mereka dimulai dengan tenang,
tetapi ketika mereka mulai membahas keperawanan Maria, nada pembicaraan mereka
segera berubah.
Kode etik ksatria menuntut seorang ksatria untuk membalas dendam apabila
kehormatan putrinya dinodai. Maria telah dihina. Apakah yang akan dilakukan oleh
Inigo? Pikiran dan perasaannya campur aduk. Ia merasa telah gagal melaksanakan
tugasnya dan merasa tidak puas dengan dirinya sendiri. Semakin ia memikirkan hal
tersebut, ia menjadi semakin marah (dengan orang Moor tersebut atau dengan
dirinya sendiri?) dan akhirnya dikuasai oleh keinginan untuk membunuh orang Moor
tersebut. Kemarahan adalah sebuah bentuk emosi yang begitu berbahaya dalam diri
Inigo. Sewaktu muda, ketika ia sedang berjalan di kota Pamplona, ia didorong secara
paksa ke tembok oleh sekelompok orang. Dalam sekejap ia mengeluarkan pedangnya
dan mengejar orang-orang itu ke jalan. Berdasarkan laporan saksi mata, “Seandainya
tidak ada orang lain yang menahan dia, dia pasti sudah membunuh beberapa dari
mereka atau bahkan mereka yang akan membunuh dia.” Kini, kemarahan yang serupa
tertuju kepada orang Moor ini.
Seperti yang sudah ditunjukkan ketika ia berada di Pamplona, Inigo bisa menjadi
begitu meledak-ledak dan sikapnya ini terkadang membawanya pada sebuah tindakan
yang membabi buta. Dia memang adalah seseorang yang ekstrem sampai ia akhirnya
mulai belajar tentang diskresi. Di Loyola ia belajar mengenai pentingnya refleksi,
mencermati rasa-perasaannya dan menganalisis keinginan-keinginan yang muncul
dalam batinnya sebelum ia bertindak. Namun, apa yang telah ia pelajari di Loyola
hanyalah sebuah pelajaran awal dan ia mengalami kesulitan untuk menerapkannya
dalam situasi ini. Ia memang masih harus melewati begitu banyak tahap sebelum ia
akhirnya menjadi seseorang yang mahir berdiskresi.
Dalam paragraf ini, Inigo untuk pertama kalinya menggambarkan dirinya sebagai
“seorang peziarah”, dan ini akan menjadi caranya memandang dirinya sendiri
sepanjang Autobiografi-nya. Gambaran ini sangat umum pada abad keempat belas
ketika banyak orang pergi melakukan ziarah dan hidup sendiri sering dideskripsikan
sebagai suatu ziarah. Di dalam Riwayat Hidup Kristus, Ludolphus Saxony menulis:
“Oleh karena itu, kita adalah peziarah di dunia ini karena kita tidak
mempunyai suatu kota tujuan yang kekal. Yang kita tuju ialah apa yang
akan datang. Kalau di dalam diri kita kita memiliki sebuah cita rasa
rohani sebagaimana para peziarah dahulu, Tuhan sendiri yang akan
menjadi sahabat kita dalam perjalanan.”
“Peziarah” berarti seseorang yang bepergian, berkelana dan membuka dirinya
kepada Tuhan. Peziarahan adalah sebuah pencarian akan arti yang lebih mendalam
bagi hidup seseorang. Oleh karena itu, hal ini merupakan gambaran dari pertobatan
yang terus-menerus. Dalam hal ini pertobatan berarti terjadinya perubahan di dalam
setiap dimensi hidup seseorang:
Inigo adalah seseorang yang sedang mencari sesuatu. Hidup yang ia jalani
sebelumnya dipenuhi oleh mimpi-mimpi semu yang tidak membawanya pada hidup
yang sejati. Sekarang ia mengira bahwa ia telah menemukan arti hidup yang
sesungguhnya, yaitu menjadi seorang peziarah. Dalam arti tertentu, ia memang sudah
menemukannya. Namun, ia masih tetap harus belajar tentang arti sebenarnya dari
menjadi seorang peziarah. Menjadi peziarah tidak hanya berarti bepergian menuju
Yerusalem, tetapi meliputi perubahan secara menyeluruh di dalam diri seseorang.
Tuhan akan menunjukkan hal ini kepadanya secara perlahan-lahan.
Ia sudah capai memikirkan mana yang sebaiknya dilakukan. Tidak ada cukup
kepastian untuk mengambil keputusan. Maka ia memutuskan untuk membiarkan
keledainya berjalan dengan tali kekang lepas sampai di jalan simpang dua. Kalau keledai
mengambil jalan yang menuju ke desa, ia akan mengejar si Arab itu dan menusuknya
dari belakang; kalau keledai tidak berjalan ke desa itu, tetapi mengambil jalan besar, ia
akan membiarkannya. Ia berbuat sebagaimana yang dipikirkannya. Walaupun rumah-
rumah di desa itu jaraknya kurang lebih hanya 30 atau 40 meter dari jalan, dan jalan ke
sana juga lebih lebar dan lebih baik, tetapi Tuhan menghendaki keledai itu mengambil
jalan besar dan meninggalkan jalan ke desa.
Ketika sampai di sebuah dusun cukup besar sebelum Montserrat, ia ingin membeli
pakaian di situ yang selanjutnya mau dipakainya, bila berangkat ke Yerusalem. Ia
membeli kain goni yang tidak terlalu bagus dan agak kasar. Ia langsung minta supaya
dibuatkan sebuah jubah besar sampai ke kaki. Ia membeli juga sebuah tongkat dan
sebuah veldfles kecil (botol labu). Semua itu diletakkan di muka pelana keledai.
Di Loyola, Inigo menjadi letih akibat permenungannya tentang banyak
kemungkinan jalan hidup yang dapat dipilihnya [7]. Di sini Inigo menjadi letih karena
mencermati situasi batinnya. Ternyata, mengetahui bahwa ada berbagai roh yang
bekerja di dalam batin tidaklah cukup. Inigo harus dapat mengenali roh apa yang
sedang bekerja. Karena tidak dapat membuat suatu keputusan, ia membiarkan
keledainya memilih jalan yang harus diambil.
Mungkin, Inigo pernah mendengar kisah St. Franciscus dan seorang bruder yang
tiba di sebuah pertigaan tanpa tahu jalan mana yang harus diambil. St. Franciscus
memutar-mutar bruder tersebut hingga ia menjadi pusing dan jalan yang ia pilih ketika
ia berhenti adalah jalan yang akhirnya mereka ambil.
Inigo jelas tidak menunjukkan bahwa apa yang dia lakukan adalah cara yang baik
untuk mengambil keputusan, meskipun terkadang kita harus melakukan yang terbaik
yang bisa kita buat dan memercayai bahwa Tuhan akan menjadikan itu baik. Apa
yang sebenarnya ingin ia tunjukkan mencakup dua hal. Pertama adalah situasi yang
memang terjadi, yaitu sebuah kondisi yang sungguh membingungkan dan sarana yang
ia gunakan untuk mengambil keputusan. Kedua adalah sebuah pengakuan bahwa
meskipun ia sedang melakukan sesuatu yang bodoh sekalipun, Tuhan tetap menjaga
dan membimbingnya sehingga ia tidak mengambil keputusan yang akan merusak
hidupnya.
Peristiwa dengan orang Moor ini memang suatu kejadian yang penuh humor dan
Inigo sendiri pasti siap untuk menertawakan dirinya sendiri dan kelakuannya.
Walaupun ia menyatakan bahwa jalanan ke desa begitu lebar dan baik, sebenarnya yang
ia maksud mungkin adalah sebuah jalanan kecil di samping kota Pedrola. Keledai yang
ia tumpangi, mungkin karena merasakan tarikan Tuhan di temalinya, tidak tergoda
untuk berpindah jalan dan berjalan terus di jalan utama.
Ia pun dengan penuh kekaguman mulai memahami bahwa Tuhan telah hadir
dalam begitu banyak peristiwa hidupnya.
Montserrat berada sekitar 550 kilometer dari Loyola. Jarak geografis antara dirinya
dengan Puri Loyola ini dapat mencerminkan perubahan rohani yang terjadi dalam
dirinya. Dia tampaknya tiba di Montserrat pada 21 Maret 1522, pada peringatan St.
Benediktus. Kira-kira sekitar 5.000 umat turut hadir merayakan peringatan ini.
Buku Amadis de Gaul telah diterbitkan dalam edisi revisi pada 1508 dan
merupakan buku terlaris pada masa itu. Buku-buku ini memberikan pelarian dari
kebosanan sehari-hari. Ceritanya mengisahkan hidup Amadis dan kisah
percintaannya dengan kekasihnya, Oriana, yang diuji lewat berbagai tantangan dan
petualangan. Apa yang penting dalam petualangan ini adalah jatidiri Amadis, yaitu:
“Pada masanya, Amadis adalah bunga para ksatria. Yang paling perkasa
pun akan membungkuk kepadanya. Ia akan bekerja dan
menyelesaikannya dengan penuh kehormatan pekerjaan yang tidak bisa
diselesaikan oleh orang lain dan dari setiap tindakannya mustahil orang
dapat percaya bahwa semuanya dimulai dan diakhiri oleh seorang
manusia. Ia akan merendahkan yang sombong dan bersikap kejam
terhadap mereka yang pantas mendapatkannya dan ia akan menjadi
ksatria dunia ini yang secara setia mempertahankan cintanya dan ia
akan mencintai orang yang cakap.”
Sayangnya, di dalam cerita ini ada juga rentetan kekejaman tanpa belas kasihan,
yang bahkan dilakukan oleh Amadis sendiri. Amadis melakukannya hanya demi
kepuasannya sendiri dan bukan atas dasar kelihaian bersenjata. Sepertinya, ini tidak
jauh berbeda dengan cerita fiksi zaman sekarang!
Akan tetapi, ada pula nuansa rohani dalam novel Amadis de Gaul. Raja Lisuarte
dan Ratunya, yang diabdi oleh Amadis, dikisahkan membantu Perayaan Misa Kudus.
Selain itu, pada usia lanjut, selama beberapa waktu mereka tinggal di sebuah biara
dekat Burgos, seperti yang pernah dipikirkan oleh Inigo. Selanjutnya, saat sedang
berada dalam situasi penuh kekecewaan dan rasa putus asa, Amadis memutuskan
menjadi petapa, meskipun pilihannya ini tidak disertai dengan rasa penyerahan diri dan
kelemahlembutan:
“Menimbang kehidupan yang kudus dan amat lurus dari orang suci yang
dijuluki “La Pena Pobre”, Amadis berikhtiar untuk menghabiskan sisa
hidupnya bersamanya walau hidupnya akan berakhir sebentar lagi. Ia
menyerukan niatnya diiringi tangis dan ratapan, bukan karena devosinya,
melainkan karena kekecewaan terdalam.”
Inigo pasti telah membaca semua ini, tetapi dia merasa bahwa dia jauh lebih mudah
menjadi seorang petapa daripada Amadis.
Don Quixote juga sangat terpikat oleh Amadis de Gaul dan berbicara dengan
begitu indah mengenai tokoh ini,
“Amadis adalah bintang kutub, bintang pagi, mentari bagi semua ksatria
pemberani dan yang dirundung asmara. Dan semua dari kita yang
berkelana di bawah panji cinta dan ksatria harus meniru dia.”
Secara khusus, kesetiaan dan komitmen Amadis kepada tuannya telah meninggalkan
kesan mendalam,
Semangat ksatria seperti ini akan digambarkan dalam doa “Panggilan Raja” yang ada
di dalam Latihan Rohani. Terinspirasi oleh seorang pemimpin, yaitu Kristus, yang telah
melakukan begitu banyak bagi mereka, para pengikut akan memberi dirinya secara
utuh kepada-Nya sehingga mereka rela mengikutinya dalam bahaya sekalipun. Ksatria
sejati selalu siap untuk mati demi Tuhannya jika itu merupakan harga sebuah
pertempuran.
Mencermati pengaruh dari ingatan terhadap tindakan masa depan Inigo dan diri
kita adalah sesuatu yang menarik. Pengalaman masa lalu tidak dapat dilupakan begitu
saja dan sering memengaruhi kita lebih daripada apa yang kita duga.
Ritual yang menunjukkan dedikasi juga biasanya dilakukan ksatria sebelum ia pergi
berperang.
Inigo memutuskan untuk mengikuti jejak para ksatria yang kisah hidupnya telah
begitu memengaruh ihidupnya ini.
Selama hari-hari ini, Inigo bertatapan dengan Tuhan dan seperti yang dikatakan
oleh Polanco, ia menerima “pengetahuan yang lebih menyeluruh tentang hatinya.”
Semakin ia bertumbuh dalam kemampuannya untuk merasakan kehadiran Tuhan,
semakin ia dapat merasakan “jarak yang timbul akibat berada di ketinggian dan
kedalaman semacam itu.” Perasaan berdosa yang ia ungkapkan pada pengakuan dosa
kali ini akan tinggal dan tumbuh di dalam dirinya selama sisa hidupnya, sehingga
penerimaan sakramen rekonsiliasi setelah melakukan kesalahan menjadi sesuatu yang
begitu penting bagi dirinya. Pada 1551, ketika Inigo sudah menjabat sebagai Jenderal
Serikat Yesus, ia masih terus menyadari kedosaannya:
“Sesungguhnya, apabila secara jujur saya mengingat … banyaknyadosa,
ketidaksempurnaan, dan kelemahan saya … saya sudah sering merasa
bahwa saya tidak mempunyai sifat-sifat yang dibutuhkan untuk
memegang kendali Serikat Yesus.”
Pengakuan seperti ini menandakan bahwa Inigo sudah masuk semakin dalam ke
dalam kehidupan Gereja dan ritual-ritualnya. Hal ini akan diteguhkan di Manresa lewat
kehadirannya di perayaan-perayaan liturgi.
Dengan penekanan pada istilah “membuka diri” kepada Pater Chanon, Inigo
memberi petunjuk kepada kita bahwa membuka hati adalah sebuah peristiwa penting
ketika ia berada di Montserrat. Sewaktu Pater Chanon mendengarkan rencana
bangsawan Loyola ini untuk menjadi seorang peziarah yang ingin melakukan matiraga
keras, dia mungkin sudah menduga-duga masa depan Inigo. Meskipun kita tidak
mengetahui apa reaksinya, Inigo mendapat peneguhan atas rencana- rencananya.
Pembicaraan ini adalah perjumpaan pertama Inigo dengan bentuk formal dari formasi
hidup rohani. Manresa akan menjadi langkah selanjutnya.
Seorang ksatria sejati umumnya melakukan aksi ksatrianya yang terhormat atas
dasar rasa cintanya terhadap wanita idamannya. Wanita yang akan memberi motivasi
Inigo untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang besar dan kudus adalah St. Maria.
Kepada Bunda Kristuslah Inigo mempersembahkan peziarahannya.
Manakala ia teringat tentang apa yang ditulis mengenai Amadis dan kekasihnya
Oriana, “ … sepanjang hidupnya Amadis tiada pernah letih melayani dia. Hatinya telah
diserahkan kepadanya,” pikiran Inigo pasti akan berpaling pada Maria.
Mungkin juga, sembari Inigo berdoa mohon kekuatan bagi perjalanannya, ia
teringat akan percakapan antara Amadis dan Oriana:
Dan ketika ia berada dalam kesulitan dan bahaya besar, Amadis berseru,
St. Maria adalah wanita yang telah dipilih oleh Inigo. Bunda Kristus tidak hanya
akan memberi Inigo inspirasi bagi hidup barunya, tetapi juga menjadi perantara
manakala Inigo membutuhkan kekuatan. Bertahun-tahun kemudian, ketika Inigo
sedang berjalan menuju Roma dan merenungkan apa yang akan terjadi dengannya dan
sahabat-sahabatnya, ia kembali memohon bantuan Maria dan memintanya agar
mengingatnya. Maria akan menjawab permohonan Inigo di La Storta.
Mungkin, kita telah memberikan porsi yang terlalu besar pada Amadis de Gaul.
Namun, kita harus ingat bahwa Inigo tumbuh dalam iklim batin semacam ini. Hal ini
dinyatakan dalam latar belakang keluarganya, mimpi-mimpinya, dan bacaan-
bacaannya. Dia sendiri berkata bahwa “pikirannya dipenuhi dengan berbagai ide dari
Amadis de Gaul.” Semuanya ini tentu memiliki dampak yang besar bagi dirinya.
Kenangan dan pengalaman hidupnya di masa lalu sedang diubah menjadi sebuah
panggung rohani yang tepat bagi tahapan penting dalam hidupnya ini. Inigo telah
mengundang kita untuk merenungkan pengalaman-pengalaman kita sehingga mereka
dapat diubah menjadi sebuah inspirasi rohani bagi peziarahan kita.
Kapel Bunda Maria di Montserrat diterangi dengan seratus lampu perak dan emas,
serta lilin-lilin besar. Ada banyak peziarah lain seperti dirinya dan mereka berdoa
bersama-sama. Pada saat tengah malam, para rahib akan datang menyanyikan Ofisi
Hari Raya Kabar Gembira. Inigo hanyalah salah satu dari begitu banyak orang yang
berjaga malam itu.
Kita tidak tahu secara persis apa yang ia doakan selama vigili. Saat itu adalah Hari
Raya Kabar Gembira sehingga ia mungkin mengontemplasikan perikop ini,
sebagaimana yang ia tuangkan di dalam Latihan Rohani, berbicara kepada Maria dan
memohon kepadanya supaya ia terus berada bersamanya dan menjaganya sepanjang
peziarahannya, mengingatkannya tentang bagaimana Sang Bunda mengunjunginya
pada sebuah malam yang begitu istimewa saat ia masih berada di Loyola [10]. Rasa malu
dan sedih dari pengakuannya kini telah berubah menjadi rasa cinta dan pengampunan,
karena Sang Bunda dan Putranya telah menatapnya secara baru. Pater Leturia, S.J.
menulis
“Di sana, di hadapan altar Bunda yang terberkati dan Putra ilahi, Ignasius
meletakkan beban hidupnya yang penuh dosa. Di sana ia
mempersembahkan buah pertobatannya yang luar biasa dan sekarang
disebut seorang ksatria Kristus yang akan memulai peziarahan rohani ke
seluruh penjuru dunia.”
Sebagai seorang peziarah, Inigo akan menjadi seorang model ksatria Kristus yang
baru. Pada pagi hari, ia akan berjalan menuju Montserrat. Tidak lama setelah
meninggalkan Montserrat, ia menemui contoh nyata dari arti menjadi miskin. Orang
yang telah menerima baju pemberiannya dituduh mencuri. Seperti yang akan dialami
sendiri oleh Inigo nantinya [41, 48, 51-52], orang miskin dan mereka yang dekatdengan
mereka tidak dapat melindungi diri dari penghinaan. Inilah bagian dari busana Kristus.
Untuk selalu mengenakan busana ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi Inigo,
khususnya ketika nanti ia menyadari bahwa ia membutuhkan uang untuk studi dan
hidupnya. Pada masa kuliahnya, ia bahkan akan bertanya bagaimana ia dapat
“berkotbah sebagai seseorang yang miskin” kalau ia sudah mempunyai “harta dalam
jumlah yang memalukan” karena kepentingan studinya.
Ketika ditanya tentang kebenaran cerita orang miskin tersebut, “air mata mengalir
dari matanya.” Sungguh mengejutkan bahwa waktu melewati kesakitan akibat operasi
kaki Inigo hanya mengepalkan tangan tetapi ternyata sekarang bisa menangis untuk
orang miskin. Ia begitu tersentuh oleh penderitaan orang lain yang disebabkan oleh
perbuatannya. Belarasa yang ia sebutkan sebanyak dua kali mungkin muncul sebagai
perasaan yang mengejutkan bagi Inigo. Sebagai seorang yang tidak memahami arti
amal kasih [14], dan sebelumnya begitu terobsesi dengan dirinya sendiri serta
menggapai kemahsyuran, peristiwa tersentuh oleh nasib orang lain adalah sebuah
pengalaman baru. Apakah ini merupakan suatu pertanda bahwa suatu hari nanti
perhatian utamanya adalah membantu orang lain [11]? Air mata yang tumpah dari
matanya adalah peneguhan dari perubahan yang telah terjadi dalam hati Inigo. Di
kemudian hari, air mata akan menjadi pertanda besarnya gerak Roh di dalam hatinya.
Kehormatan diri yang dahulu ia kejar ketika masih di Pamplona sekarang telah
menjadi sesuatu yang dijauhinya. Ia telah menentukan keputusan ini waktu berada di
Loyola [12]. Namun, godaan untuk memuliakan diri tetap ada di dalam dirinya dan
harus diperhatikan secara serius mengingat pemuliaan diri dapat menjadi seperti “ular”
yang dibahas olehnya dalam “Pedoman Pembedaan Roh” di dalam Latihan Rohani (LR
334).
Alasan lain yang juga cukup mungkin ialah Pater Chanon menyarankan Inigo
untuk mampir di Manresa selama beberapa hari untuk hening dan berdoa sehingga ia
dapat membuat beberapa catatan rohani. Apa pun alasannya, rencana untuk tinggal
selama beberapa hari itu akan berubah menjadi beberapa bulan, di mana ia akan
bertemu dengan Tuhan secara amat dekat. Dapat dibayangkan bahwa buku yang
disebut oleh Inigo adalah buku yang telah ia mulai di Loyola, di mana di dalamnya ia
menulis bagaimana Tuhan bertindak atas dirinya. Dia dan Petrus Faber, salah satu
sahabat pertamanya, menyimpan buku itu untuk mengingatkan mereka akan kebaikan
Tuhan pada diri mereka dan membantu mereka tumbuh dalam rasa syukur. Bagi Inigo,
buku tersebut juga memiliki fungsi lain karena nantinya ia percaya bahwa dengan
mencatat apa yang terjadi di dalam dirinya, ia akan mempunyai catatan- catatan yang
dapat digunakannya untuk menolong orang lain. Apa yang telah ia tulis amat berharga
baginya dan hanya dengan membacanya kembali ia akan dipenuhi dengan
kegembiraan. Tampaknya, catatan-catatan ini adalah awal dari buku Latihan Rohani.
Di dalam diri Inigo ada sesuatu yang menarik bagi orang lain, dan bahkan ketika
ia sudah mengenakan busana peziarah, ia tetap kesulitan untuk tidak dikenali. Akan
tetapi, setidaknya sebagai anak termuda di dalam keluarganya, ia dapat dengan jujur
berkata bahwa meski ia masih mempunyai beberapa pakaian bagus untuk diberikan,
ia tidak lagi mempunyai harta yang dapat ia bagikan.
Hari kedua : to love another
Mereka berangkat hari berikutnya. Di Siprus para peziarah naik kapal yang berbeda.
Di pelabuhan ada tiga atau empat kapal menuju ke Venesia. Satunya milik orang Turki,
satu sangat kecil, dan yang satunya lagi sangat besar dan kuat, milik seorang kaya dari
Venesia. Kepada nakhoda kapal itu beberapa peziarah minta supaya mau membawa Si
Peziarah. Akan tetapi ketika nakhoda mendengar bahwa ia tidak punya uang, maka
orang itu tidak mau, biarpun banyak orang memintanya dan memujidia, dan seterusnya.
Nakhoda itu menjawab, kalau ia memang seorang suci ia dapat berjalan seperti St.
Yakobus atau semacam itu. Orang lalu meminta nakhoda kapal kecil dan demikian
mudah disetujuinya. Mereka berangkat pada suatu pagi dengan angin baik tetapi sore
harinya datang prahara. Kapal-kapal terpisah satu dari yang lain. Yang besar hancur di
dekat kepulauan Siprus, para penumpangnya selamat. Kapalorang Turki tenggelam juga
dengan semua penumpangnya. Kapal kecil mengalamibanyak kesulitan, tetapi akhirnya
mereka dapat mendarat di Apulia. Saat itu bertepatan dengan musim dingin. Udara amat
dingin dan banyak salju. Pakaian Si Peziarah tidak lebih dari satu celana dari kain kasar
sampai ke lutut, dengan kakinya telanjang. Ia memakai sepatu, baju dari kain hitam,
yang terbuka dengan banyak sobekan di punggung, dan sebuah mantol pendek yang tipis.
Inigo menjelaskan bahwa ada tiga kapal yang sedang bersiap untuk berlayar ke
Venesia. Dalam ceritanya, Inigo melawankan kekayaan dan kekuasaan dengan
kemiskinan dan kelemahan. Dengan cara ini Inigo sesungguhnya sedang menuturkan
apa yang telah ia pelajari mengenai kemiskinan dan kerendahan hati sebagai jalan
Tuhan. Walaupun para peziarah lain, yang telah sangat tersentuh oleh kebaikan Inigo,
memintakan tiket gratis untuknya dalam kapal yang terbesar dan terbaik, nakhoda
kapal menolaknya. Ia bahkan memberi tanggapan sarkastik tentang St. Yakobus.
Menurut legenda abad pertengahan, setelah kemartiran St. Yakobus, para muridnya
secara diam-diam mengambil tubuhnya dengan bantuan malaikat lalu meletakkannya
dalam kapal yang telah diberikan oleh Tuhan. Kapal ini lalu berlayar dan membawa
seluruh kelompok dengan selamat sampai ke Spanyol.
Ironisnya, perjalanan ketiga kapal ini penuh dengan kesulitan. Ketiganya terjebak
dalam badai yang mengerikan dan satu-satunya yang selamat ialah kapal kecil yang
dinakhodai oleh orang yang setuju membawa Inigo secara cuma-cuma, seakan-akan
kebaikan nakhoda ini mendapat balasannya.
Setelah dua setengah bulan berada di laut, mereka tiba di Venesia pada
pertengahan Januari 1524. Selama waktu ini, Tuhan senantiasa memeliharanya dan hal
ini terus berlanjut setibanya di Venesia. Di kota ini Inigo bertemu dengan dua orang
teman yang menyediakan pakaian hangat yang amat dibutuhkannya serta sejumlah
uang. Penampilannya yang seperti orang miskin, kedinginan, dan pakaiannya yang
kasar membuatnya tidak dipedulikan oleh banyak orang. Namun, orang ini adalah
orang yang akan digunakan oleh Tuhan, tidak hanya untuk menyentuh hati orang-
orang Eropa yang kala itu mengalami kemerosotan iman dan keterpecahan, tetapi juga
hati manusia seluruh dunia.
Selama perjalanan panjang di laut dari Yerusalem, Inigo mempunyai banyak waktu
untuk berpikir. Satu hal yang baginya telah menjadi jelas adalah bahwa Tuhan tidak
menghendaki agar ia tinggal dan bekerja di Tanah Suci. Hanya dua kali dalam
Autobiografi Inigo secara eksplisit menggunakan ungkapan “kehendak Tuhan” [47] dan
keduanya berkaitan dengan niatnya untuk tinggal di Yerusalem. Hasrat untuk pergi ke
Yerusalem ini muncul ketika ia masih di Loyola dan telah berkembangsedemikian rupa
sehingga menjadi sebuah niat yang kokoh dan keyakinan teguh bahwa inilah tempat
yang Tuhan kehendaki baginya. Akan tetapi, keputusan otoritas
Gereja menjadikan keinginan ini tidak mungkin untuk diwujudkan. Dia pasti merasa
sangat bingung tentang cara Tuhan membimbingnya.
Inilah kesadaran yang begitu penting bagi Inigo. Pertanyaan yang ia ajukankepada
dirinya sendiri sekarang telah dibalik. Dalam perjalanan berikutnya, seluruh hidup
Inigo akan dibolak-balik lagi. Untuk menjawab pertanyaan ini, Inigo perlu
menggunakan kemampuan diskresi yang telah diajarkan oleh Tuhan kepadanya. Maka:
• Dia merenung dan bertanya pada dirinya sendiri, “Apa yang harus aku lakukan?”
Perhatikan bahwa ia tidak bertanya, “Apa yang ingin aku lakukan?” tetapi “Apa
yang Tuhan minta untuk kulakukan?”
• Ia memperhatikan perasaan dan kecenderungan yang muncul dari
permenungannya. Dari sinilah terlihat kecenderungan untuk studi supaya ia dapat
menyelamatkan jiwa-jiwa.
• Seturut permenungan dan perasaannya ini, ia membuat keputusan untuk pergi ke
Barcelona.
• Iamelaksanakan keputusan ini dan lalu mencermati apakah ini membawanya
pada konsolasi.
• Nantinya, ia akan menyerahkan keputusan ini pada semacam pembesar (teman-
temannya di Barcelona untuk mendapat penegasan).
Mulai dari sekarang Inigo akan terus-menerus dan dengan penuh perhatian
merenungkan pengalamannya demi menemukan kehendak Tuhan bagi dirinya dalam
pengalaman itu. Ziarahnya ke Yerusalem telah mengikuti sebuah jalan yang jelas. Kini,
masa depannya tidak jelas dan ia tidak lagi memiliki rencana jangka panjang. Ia harus
berjalan selangkah demi selangkah, menemukan setiap harinya jalan yang digunakan
oleh Tuhan untuk menuntunnya. Ini adalah sebuah bentuk ziarah yang baru dan
berbeda.
Di Yerusalem, Inigo mengikuti Roh Yesus, yang datang tidak untuk melaksanakan
kehendaknya sendiri, tetapi kehendak Bapa. Sikap seperti ini telah
membangkitkan kepatuhan baru terhadap bimbingan Roh yang bekerja dalam diri
Inigo. Seperti yang akan ia tulis nantinya, ini adalah tujuan utama Latihan Rohani:
“mencari dan menemukan kehendak Allah dalam hidup nyata guna keselamatan jiwa
kita.”[1]
Pada awal Februari 1524 Inigo meninggalkan Venesia untuk pergi ke Barcelona.
Dalam arti tertentu, Venesia memiliki makna geografis dan rohani bagi Inigo:
Menarik untuk menduga-duga apakah dalam peristiwa ini Inigo telah melihat
penegasan keputusannya untuk studi. Hal ini terjadi ketika ia sedang “memenuhi”
devosinya di Gereja. Tanggapan Maria pada malaikat saat menerima Kabar Gembira
ialah supaya kehendak Tuhan “terpenuhi” dalam dirinya dan rahmat yang dimohon
dalam Meditasi Panggilan Raja ialah supaya kita siap sedia dan penuh minat
“memenuhi” kehendak-Nya bagi kita. Penjelasan Inigo yang terperinci tentang nilai
uang dan kerendahan hatinya untuk meminta maaf pada kaum miskin juga
menunjukkan bahwa ia melihat suatu makna khusus dalam peristiwa ini.
Hari kedua : to follow Him
Kemudian, pada akhir tahun ketika belum ada kemungkinan naik kapal, mereka
mengambil keputusan untuk pergi ke Roma, termasuk Si Peziarah. Sebab ketika teman-
teman pergi, kedua orang yang ditakutinya itu, ternyata tampak sangat baik hati.
Mereka pergi ke Roma terbagi atas tiga atau empat kelompok. Dan Si Peziarah
bersama dengari Faber dan Lainez. Pada perjalanan itu ia dikunjungi amat khusus oleh
Allah.
Ia telah mengambil keputusan, bahwa satu tahun sesudah menjadi imam ia tidak
akan mempersembahkan misa, sambil mempersiapkan diri dan mohon kepada Santa
Perawan sudilah kiranya menempatkan dia pada Putranya. Ketika mereka pada suatu
hari masih beberapa mil dari Roma, di sebuah gereja, waktu ia sedang berdoa, ia
mengalami begitu banyak gerakan dalam hatinya dan melihat dengan begitu jelas bahwa
Allah Bapa menempatkan dia bersama dengan Kristus, Putranya. Ia sungguh tidak berani
meragukan bahwa Allah Bapa menempatkan dia bersama dengan Putranya.
Inigo pasti bertanya-tanya apakah Tuhan sedang memberinya tanda lain bahwa
Yerusalem tidak akan menjadi tanah tempat kerasulannya.
Sembari menunggu, mereka memutuskan untuk pergi dan berkotbah di kota- kota
di luar wilayah Venesia. Mereka memilih kota-kota di mana ada universitas, seperti
Padua, Ferrara, Bologna dan Sienna. Tujuan mereka adalah untuk mendapatkan
sahabat-sahabat baru dari universitas-universitas ini dan memeriksa persebaran
Lutheranisme di daerah-daerah ini.
Tiba-tiba, Inigo memutuskan untuk pergi ke Roma pada akhir Oktober 1537
bersama dengan Faber dan Lainez. Faber menulis bahwa mereka telah dipanggil ke
Roma, tetapi ia tidak memberitahu siapa yang memanggil mereka. Menarik untuk
dicatat bahwa Inigo mengatakan “mereka memutuskan.” Ia sekali lagi menenkankan
bahwa ia hanya anggota kelompok dan keputusan diambil oleh kelompok melalui
proses pembicaraan bersama. Seperti St. Paulus, Inigo akan memulai perjalanan
terakhirnya ke Roma. Inigo pasti lebih memilih ke Yerusalem, tetapi Roma akan
menjadi “Yerusalem” bagi Inigo di mana ia akan menemukan Tuhan. Dalam
perjalanannya dengan Faber dan Lainez, ia mungkin bercerita tentang masa mudanya,
impian-impiannya dan bagaimana Tuhan mengubah dia.
Inigo semula ragu-ragu untuk pergi ke Roma karena ia takut dengan beberapa
orang di sana [93]. Namun, sahabat-sahabatnya menemukan bahwa mereka diterima
dengan baik di sana. Mungkin saja Inigo juga teringat kata-kata seorang wanita di
Manresa yang memperingatkan dia bahwa mereka yang pergi ke Roma “tidak mendapat
banyak manfaat rohani” [36].
Pada perjalanan terakhirnya inilah Inigo mendapat kunjungan dari Tuhan secara
jauh lebih khusus daripada saat berada di Vicenza. Ini terjadi di sebuah kapel kecil di
La Storta, kira-kira 16 kilometer dari Roma. Ia berharap dapat merayakan Misa Perdana
di Yerusalem sehingga ia menunda selama 18 bulan sebelum akhirnya merayakannya
pada Natal 1538 di Gereja St. Maria Maggiore di mana terdapat replika palungan
Bethelem. Pada awal 1539, Inigo menulis kepada kerabatnya:
Penundaan yang tidak umum ini serta persiapan panjang menunjukkan peranan
Misa dalam kehidupan mistik Inigo dan rasa hormatnya yang mendalam kepada
keagungan ilahi. Sebagai bagian dari persiapannya, Inigo berpaling kepada Maria,
perantaranya kepada Tuhan untuk mendapatkan rahmat yang ia mohonkan.
Secara khusus, Inigo memohon agar Santa Maria sudi “menempatkan dirinya
bersama Putranya.” Ada sesuatu yang sangat khusus dalam caranya meminta ini.
Dengan kerendahan hati yang besar dan kesadaran bahwa ia meminta pemberian yang
amat berharga, Inigo memohon kepada Bunda Kristus agar ia sudi menempatkannya
dengan Putranya. Bagi Inigo, meminta bantuan Maria bukan sesuatu yang sederhana
karena seperti yang ia tuliskan dalam Catatan Harian Rohaninya, Maria mungkin malu
untuk melakukannya karena banyaknya kesalahan Inigo.
Sewaktu berdoa di Gereja, Inigo merasa bahwa doanya terjawab. Ia melihat secara
jelas dan penuh keyakinan dalam dirinya hingga tidak ada keraguan bahwa “Allah Bapa
telah menempatkannya dengan Putra-Nya.”
Kita dapat mengetahui secara lebih rinci tentang pengalaman Inigo ini melalui
sebuah presentasi yang disampaikan oleh Lainez kepada sebuah komunitas Yesuit.
Inigo ditempatkan bersama Sang Putra, yaitu Yesus yang memanggul Salib dan di
sampingnya ialah Allah Bapa yang berkata, “Saya ingin kamu mengambil orang ini
sebagai abdi-Mu.”
Yesus lalu berpaling kepada Inigo dan berkata, “Kehendak-Ku ialah agar engkau
mengabdi Kami” dan “Kami” merujuk kepada Allah Tritunggal. Dari pengalaman ini
Inigo lalu mengerti bahwa ia menerima tugas dari Allah Tritunggal untuk menjadi
Sahabat Kristus. Pada waktu itu, panggilan yang ia rasakan untuk melayani dan berada
bersama Kristus yang menderita mendapat peneguhannya.
Inigo adalah orang yang memiliki kepekaan luar biasa. Empat belas tahun
sebelumnya, di Manresa, seorang wanita suci berdoa bahwa suatu hari Yesus Kristus
sudi menampakkan diri kepada Inigo [21]. Ia tidak paham maksud wanita itu dan
menduga bahwa ini akan berarti penampakan Yesus secara lahiriah. Sekarang, Maria
“sudi” menjadikan semuanya jelas bagi Inigo bahwa Yesus yang “menampakkan” diri
kepada Inigo adalah Yesus yang sedang memanggul salib dan mempersembahkan diri
seutuhnya untuk melakukan kehendak Bapa. Dengan Yesus yang seperti inilah Inigo
ditempatkan.
Ia sadar bahwa ada perubahan besar dalam jiwanya. Ia memahami ini sebagai
penegasan kehadiran Tuhan dalam segala sesuatu yang telah terjadi padanya sejak di
Pamplona. Sekarang ia merasa bahwa Kristus telah menguasai dirinya dan ia telah
dipersatukan dengan Allah Tritunggal dengan cara baru.
Maka, kita dapat mengatakan bahwa La Storta menjadi tanda peneguhan atas
pilihan-pilihan yang telah dibuat oleh Inigo:
Lainez memberi informasi tambahan tentang apa yang dikatakan oleh Inigo
dalamperjalanan mereka ke Roma:
“Ia mengatakan kepada saya bahwa Allah Bapa telah menanamkan kata-kata
ini dalam hatinya, ‘Aku akan berkenan kepadamu di Roma.’ Karena Bapa kita
tidak mengerti maksud kata-kata ini, ia mengatakan kepada saya: Saya tidak
tahu apa yang akan terjadi pada kita. Mungkin kita akan disalibkan di Roma.”
Memang ketika tiba di sana, mereka akan menghadapi tuduhan terburuk yang
pernah mereka hadapi. Namun, Tuhan juga akan berkenan terhadap karya mereka.
Inigo memasuki Roma bersama Faber dan Lainez pada akhir November 1537. Inigo
merasa bahwa mereka tidak akan diterima sebaik saat mereka berada di kota- kota
sekitar Venesia dan mereka akan ditentang. Ia memperingatkan teman- temannya
untuk berhati-hati dan hanya melakukan percakapan rohani dengan perempuan
terpandang di Roma. Ia pasti teringat akan pengalamannya di Alcala ketika
keinginannya untuk membantu semua orang membawanya pada sebuah masalah.
Inigo telah belajar tentang pentingnya bersikap secara bijaksana dan menghindari
rumor (bdk. [59 dan 91]. Peringatannya terbukti benar karena Xaverius dan Codure
terlibat dalam situasi pelik dengan wanita-wanita yang mereka bimbing secara rohani.
Akan tetapi, Tuhan berkenan pada mereka dan kebenaran terungkap pada masing-
masing situasi.
Akan tetapi, ini tidak dapat dibandingkan dengan apa yang akan terjadi. Mereka
tidak hanya akan menjadi korban dari tuduhan-tuduhan penuh fitnah, tetapi juga
harus berjuang keras untuk menemukan celah saat mereka sedang mengupayakan
pengakuan resmi untuk Serikat mereka. Dalam surat-suratnya pada 1538, Inigo
beberapa kali merujuk pada kontradiksi-kontradiksi yang terjadi di Roma. Sebagai
contoh, dalam suratnya kepada Diego de Gouvea, ia merujuk pada surat lain dan
berkata
“Di sana, kamu akan melihat ujian-ujian yang harus kami lewati di Roma
demi Kristus dan kami dapat melewatinya tanpa luka. Di Roma, orang-
orang tidak menginginkan mereka yang tidak mencintai cahaya
kebenaran dan hidup yang diajarkan oleh Gereja.”
Hari keempat : Missio Dei : for The Greater Glory Of God
A. Kembali ke Italia
Semakin ia merenungkan hal ini, semakin ini tampak kepadanya sebagai jalan
yang benar. ”Ia akhirnya mengambil keputusan untuk pergi ke Barcelona” [50]. Hal ini
tampaknya merupakan pengalaman melakukan Pemilihan Waktu II (LR [176]). Dengan
terus menyadari keinginannya yang paling dalam, ia merenungkan bagaimana ia dapat
memenuhinya. Ia memperhatikan berbagai gerakan roh yang ada di dalam batinnya
dan mengikuti gerakan-gerakan yang memberinya penghiburan rohani lebih besar.
B. Barcelona
Pada tahap ini, “kecenderungan” Inigo lebih terarah pada studi tentang realitas
hal-hal rohani, daripada studi yang bersifat akademik. Diskresinya untuk studi
mendapat klarifikasi dan fokus ketika ia mengetahui bahwa biarawan yang kepadanya
ia ingin belajar tentang hal-hal rohani telah meninggal. Dari peristiwa ini, ia
menyimpulkan bahwa Tuhan mengarahkannya pada studi akademik. Ia kemudian
memulai proses studi Bahasa Latin selama dua tahun. Peristiwa hidup sehari-hari yang
biasa rupanya dapat menjadi petunjuk rencana Tuhan bagi hidup kita.
Namun, studi Inigo terganggu oleh “pengertian baru mengenai hal-hal rohani”
yang diperolehnya [54]. Ini membuat orang menduga bahwa ia akan menghubungkan
pengalaman ini dengan apa yang terjadi padanya ketika berada di Manresa ketika
pemahaman serupa mengganggu waktu tidurnya. Akan tetapi, ia mengatakan bahwa
“sedikit demi sedikit ia mulai mengerti bahwa itu suatu godaan” [55]. Mungkin, ini
adalah sebuah peringatan pada kita bahwa diskresi itu tidak selalu mudah dan jelas,
dan seringkali hanya dapat dicapai secara perlahan-lahan. Terasa mengherankan bahwa
Inigo merasa harus memberitahu gurunya tentang apa yang sedang terjadi dalam
dirinya dan berjanji kepadanya bahwa ia tidak akan pernah gagal mengikuti
pelajarannya. Mungkin ia melihat bahwa dalam keterbukaannya kepada gurunya ini
adalah sebuah cara untuk secara habis-habisan menghancurkan roh jahat. Untuk
meneguhkan dirinya sendiri dalam janji ini, ia berkata, “Setelah membuat janji itu
dengan tegas sekali, tidak pernah ada godaan itu lagi” [55].
Apakah yang akan dilakukan oleh Inigo setelah ia menyelesaikan studi Bahasa
Latinnya selama dua tahun di Barcelona? Ia disarankan untuk melanjutkan ke
Universitas Alcala. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pilihan pertamanya
setelah kembali dari Tanah Suci adalah mempelajari hal-hal rohani. Akibatnya, ia
agak ragu untuk mengikuti saran untuk melanjutkan studi akademik ini. Ia punmencari
pendapat yang lain. Seperti yang akan kita catat nanti, ia seringkali tampak siap untuk
mengikuti saran yang telah ia minta sebelumnya, daripada mengikuti saran yang
diberikan kepadanya secara cuma-cuma. Dalam hal ini, ia berkonsultasi dengan
seorang Doktor Teologi dan mengikuti sarannya.
Namun, semuanya tidak berjalan dengan baik di Alcala. Inigo terlilit masalah
dengan otoritas Gereja dan dimasukkan ke dalam penjara untuk beberapa waktu.
Teman-temannya menawarkan bantuan untuk keluar, tetapi ia membalas: ”Dia, yang
demi cinta kepada-Nya saya dimasukkan penjara, akan membawa saya keluar juga
kalau itu demi pengabdian kepada-Nya” [60]. Di samping sebuah kepercayaan yang
mendalam pada Tuhan, tanggapan seperti ini memperlihatkan sebuah tahapan baru
dalam penegasan rohani: ketika ia merasa dekat dengan Tuhan yang menderita, ia akan
menunggu dan membiarkan rangkaian peristiwa terjadi. Keinginan yang semakin
mendalam untuk dekat dengan Yesus yang dipermalukan dan ditolak adalah sebuah
keinginan/kepercayaan paling dalam lainnya yang akan menjadi penuntun Inigo dalam
berdiskresi. Akan tetapi, ketika pihak berwenang dalam Gereja memutuskan bahwa ia
dan sahabat-sahabatnya tidak boleh “berbicara mengenai hal- hal yang menyangkut
iman; harus belajar empat tahun dahulu karena belum punya
pengetahuan” [62], ia kembali berada dalam sebuah situasi di mana ia harus membuat
sebuah keputusan: tetap tinggal di Alcala dan taat, atau pindah ke sebuah universitas
lain. “Dia ragu-ragu dengan apa yang akan ia lakukan …” Sekali lagi, ia melihat
keinginannya yang paling dalam untuk mendapatkan bimbingan dalam membuat
keputusan. Sekarang semuanya telah menjadi jelas baginya bahwa ia sedang dipanggil
untuk “menyelamatkan jiwa-jiwa” [63] dan keinginan ini akan menentukan diskresinya.
Ia pertama-tama meminta nasihat dari Fonseca, Uskup Agung Toledo, yang menyadari
bahwa Inigo “ingin pergi ke Salamanca” [63].
Akan tetapi, Salamanca tidak lebih damai daripada Alcala karena dalam waktu
singkat Inigo akan segera kembali terlibat masalah dengan otoritas Gereja di sana.
Amatlah penting untuk dicatat bahwa diskresi tidak serta merta berarti kita
telah menemukan di mana Tuhan ingin kita menetap. Inigo berdiskresi sebaik yang
bisa ia lakukan, dan ia belajar bahwa ini hanya memperlihatkannya langkah berikut
yang harus diambilnya. Ini jelas berarti bahwa apa yang diambilnya merupakan langkah
yang terakhir. Melalui proses penegasan rohani yang dilakukan oleh Inigo, Tuhan
membimbingnya melewati sebuah jalan yang tidak dapat dilihatnya secara jelas. Hanya
dengan melihat kembali ke belakang di kemudian hari Inigo dapat memahami
bagaimana Tuhan telah selalu berhubungan dengan dia dan mengajarnya.
Oleh karena itu, proses yang pertama kali muncul dalam perjumpaannya
dengan orang Moor [15] kini telah menjadi semakin rinci sehingga ia dapat mengambil
sebuah keputusan akhir.
Keteguhannya untuk pergi ke Paris adalah sebuah titik penting lain dalam
hidupnya. Sama halnya dengan keputusannya di Barcelona, studi adalah jawaban dari
pertanyaan “apa yang sebaiknya ia lakukan” [50 dan 70].
D. Paris
Tidak lama setelah tiba di Paris, Inigo memercayakan uangnya kepada satu
orang Spanyol yang ada di sana. Akan tetapi, orang Spanyol itu justru menghabiskan
semua uang Inigo. Akibatnya, Inigo lalu berada dalam kesulitan keuangan dan ini
mengganggu hidup studinya. Ia “mulai berpikir apa yang harus dilakukan” [74]. Solusi
pertamanya untuk masalah ini tidak berhasil sehingga ia pergi ke seorang biarawan
Spanyol untuk mendapatkan saran. Biarawan tersebut memberi saran, yang kemudian
dibawa oleh Inigo ke dalam doa. Dalam doanya, Inigo merasa bahwa “saran itu
tampaknya baik baginya” [76]. Dengan kata lain, ia berdoa, ia merenung, ia menyadari
bagaimana perasaannya tentang hal itu, dan membuat keputusan untukmelaksanakan
saran biarawan tersebut.
Mungkin dalam hal ini terkandung saran yang dituliskan oleh Inigo dalam
Pedoman Pembedaan Roh dalam Latihan Rohani (LR [318]) tentang bagaimana harus
bersikap dalam keadaan desolasi – mempertahankan praktik hidup yang telah dipilih
sebelumnya dan tidak kecil hati dengan “gangguan rohani”, seperti yang diceritakannya
[79].
Selama masa studinya di Paris, Inigo kembali merasa diganggu oleh “bayaknya
hal rohani yang muncul” [82]. Namun, ia telah belajar dari pengalaman masa lalunya
ketika ia belajar di Barcelona bahwa ini adalah karya roh jahat, sehingga ia dengan cepat
menegaskan bahwa pikiran-pikiran semacam ini adalah godaan. Ia juga telah belajar
sesuatu dari pengalaman sebelumnya, yaitu bagaimana ia dapat menyingkirkan pikiran
yang mengganggu seperti ini. Ia melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan di
Barcelona. “Ia pergi kepada profesor dan berjanji kepadanya bahwa tidak akan pernah
absen mengikuti kuliah …” [82]. Ada beberapa hal yang dapat dicatat tentang hal ini:
• Apabila kita sedang mengalami pikiran rohani dan perasaan devosi, ini tidak
langsung berarti bahwa pikiran dan perasaan seperti ini berasal dari roh jahat.
Kita harus mempertimbangkan proses dan dampak akhir dari semuanya.
• Pengalaman masa lalu dapat membantu kita dalam melakukan penegasan
rohani di masa kini.
• Membuka godaan yang sedang kita alami kepada seseorang yang kita percayai
dapat menjadi sebuah cara yang efektif untuk menyingkirkan godaan tersebut.
• Keputusan bulat atau janji untuk “melawan” apa yang sedang kita alami bisa
jadi merupakan cara bertindak yang terbaik.
Setelah membuat janji ini, “Inigo menjalani studinya dengan kedamaian batin”
[82].
Merenungkan tentang periode Inigo berada di Paris, ada beberapa hal yang
dapat dicatat. Walaupun mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam melakukan
penegasan rohani:
• Ia masih mudah dipengaruhi oleh berbagai gerak roh yang penuh daya.
• Ia masih dapat digoda oleh roh jahat yang datang kepadanya dalam rupa yang
baik.
• Ia kadang-kadang masih memiliki masalah dalam menegaskan secara jelas
roh mana yang menggerakkan dia dan keputusan apa yang harus ia ambil.
• Ia masih membutuhkan saran orang lain manakala ia tidak tahu tindakan apa
yang harus diambilnya.
Sejak saat ini (sekitar1536), tampak ada perubahan dalam cara Inigo
berdiskresi. Kedekatannya dengan Tuhan semakin memupuk keyakinannya dalam
memahami pilihan benar apa yang harus diambilnya. Oleh karena itu, ketika Rodrigues
jatuh sakit, meskipun Inigo sendiri “juga sedang sakit demam” [95], ia sama sekali tidak
ragu untuk buru-buru berangkat mengunjungi dia, dan ketika berada
dalam perjalanan, Inigo mendapatkan “kepastian dari Allah” bahwa Rodrigues tidak
akan mati.
F. Kesimpulan
Salah satu dari banyak hal yang diberikan oleh Autobiografi St. Ignasius Loyola
kepada kita adalah kisah bagaimana Inigo bertumbuh dalam kemampuannya
mendiskresikan gerakan-gerakan roh dan memutuskan apa yang Tuhan inginkan dari
dirinya.
Dalam arti tertentu, penegasan rohani atas gerak-gerak roh dan proses
pengambilan keputusan adalah dua hal yang berbeda, tetapi saling terkait. Terkadang
Roh dapat bekerja secara begitu kuat sampai tidak ada sebuah proses diskresi secara
sadar karena orang itu tahu persis apa yang harus diperbuat. Akan tetapi, apa yang
umumnya terjadi adalah proses penegasan rohani membutuhkan kesadaran penuh
akan roh yang bergerak dalam pikiran, perasaan, akal budi kita dan seterusnya.
Dalam Autobiografi, Inigo memberi kita contoh-contoh tentang hal ini dan ia
perlahan-lahan mengembangkan sebuah proses diskresi:
Di akhir Autobiografi, saya percaya bahwa Inigo telah melampaui proses yang
dibutuhkan untuk melakukan diskresi dan telah menjadi sangat akrab dengan Tuhan
sehingga ia mengetahui apa yang Tuhan inginkan darinya dan ia dapat dengan cepat
meresponnya. Ia percaya, seperti yang ia tulis dalam (LR 180), bahwa Tuhan
menempatkan dalam hati kita “apa yang seharusnya kita lakukan tentang hal yang
sedang dipertimbangkan. ”Diskresi, dalam kesempurnaannya, bukanlah soal teknik
dan kemampuan melainkan pengalaman dekat dengan Kristus sehingga kita memiliki
pikiran Kristus dalam membuat pilihan-pilihan kita. Ini adalah rahmat yang diberikan
kepada Ignasius setelah tahun-tahun penuh pergulatan dan pelajaran dari Tuhan,
gurunya.
G. Coleman SJ