Anda di halaman 1dari 9

A.

Pengertian Transkultural
Definisi transkultural bila ditinjau dari makna kata, transkultural berasal dari kata trans
dan culture, trans berarti alur perpindahan, jalan lintas atau penghubung. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia; trans berarti melintang, melintas, menembus, melalui. Sedangkan
Culture berarti budaya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kultur berarti; kebudayaan,
cara pemeliharaan, pembudidayaan. Kepercayaan, nilai–nilai dan pola perilaku yang umum
berlaku bagi suatu kelompok dan diteruskan pada generasi berikutnya, sedangkan cultural
berarti; sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan. Budaya sendiri berarti : akal budi, hasil
dan adat istiadat. Dan kebudayaan berarti hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)
manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat atau keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk menjadi pedoman tingkah lakunya.
Budaya merupakan salah satu perwujudan atau bentuk interaksi yang nyata sebagai manusia
yang bersifat sosial. Jadi, transkultural dapat diartikan sebagai lintas budaya yang mempunyai
efek bahwa budaya yang satu mempengaruhi budaya yang lain atau juga pertemuan kedua
nilai – nilai budaya yang berbeda melalui proses interaksi sosial.
Transcultural Nursing merupakan suatu area yang berkaitan dengan perbedaan maupun
kesamaan nilai– nilai budaya (nilai budaya yang berbeda, ras, yang mempengaruhi pada
seorang perawat saat melakukan asuhan keperawatan kepada klien/pasien) menurut Leininger
(1991). Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman
budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Transkultural
Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar dan praktek
keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan
menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan
tindakan, dan ilmu ini 8 digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya
budaya atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002).
B. Karakteristik Budaya

Karakteristik Kebudayaan adalah sesuatu yang dapat dipelajari, dapat ditukar dan
dapat berubah, itu terjadi ‘hanya jika’ ada jaringan interaksi antarmanusia dalam
bentuk komunikasi antarpribadi maupun antarkelompok budaya yang terus menerus.

Karakteristik budaya dapat diidentifikasi ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu (Ernawan, 2011):

1. Cakupan Budaya. Budaya yang mencakup semua aspek kehidupan manusia yaitu
semua yang berkaitan dengan berbagai hasil karya manusia mulai dari ilmu
pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan segala bentuk
kapabilitas manusia lainnya termasuk di dalamnya organisasi, baik organisasi dalam
pengertian yang luas (masyarakat) maupun organisasi dalam pengertian yang lebih
kecil (perusahaan). Semua hasil karya atau kreasi manusia tanpa kecuali adalah
ekspresi budaya atau hasil kebudayaan.
2. Wadah terbentuknya budaya. Hasil kreasi manusia bukan sekedar hasil kreasi
individual melainkan kesepakatan dari sekelompok orang atau masyarakat.
Masyarakat merupakan wadah terbentuknya budaya. Dalam pengertian budaya tidak
akan pernah ada tanpa masyarakat. Budaya merupakan properti kelompok/masyarakat
bukan milik individual. Boleh jadi kelompok tersebut adalah kelompok kecil,
misalnya organisasi, atau sebaliknya, kelompok tersebut adalah kelompok yang lebih
besar, misalnya Bahkan kelompok yang lebih besar lagi, misalnya masyarakat global.
3. Hubungan antar Budaya, Masyarakat, dan Peradaban. Budaya dan masyarakat saling
berhubungan dan saling mengisi. Kesalahan persepsi terjadi ketika menyamakan
pengertian antara budaya dengan Budaya dan masyarakat harus dibedakan.
Masyarakat (sistem sosial) merupakan sebuah sistem yang menghubungkan interaksi
seseorang dengan kelompoknya. Budaya merupakan hasil dari suatu kelompok atau
masyarakat tertentu. Peradaban merupakan produk dari kehidupan masyarakat dalam
sebuah negara, atau merupakan indikator kualitas budaya sekelompok orang
(masyarakat).

C. Budaya Kesehatan Keluarga Di Indonesia


Budaya  keluarga di Indonesia sangat beragam. Lebih dari 20 suku terdapat di Indonesia
dan lebih dari 100 kebudayaan ada di Indonesia. Masalah keluarga di Indonesia juga
beragam, dari masalah kurangnya kemampuan berinteraksi antar pribadi dalam
menanggulangi masalah, kurangnya komitmen terhadap keluarga, peran yang kurang jelas
dari anggota keluarga, kurangnya kestabilan lingkungan, masalah keuangan,  dan masalah
perceraian.

Masalah keluarga di Indonesia


1.      Kurangnya kemampuan berinteraksi antar pribadi dalam menanggulangi masalah.
Dalam usahanya untuk menghadapi masa transisi dan krisis, banyak keluarga mengalami
kesulitan menangani karena kurangnya pengetahuan, kemampuan, dan fleksibilitas untuk
berubah. Menurut seorang konselor yang berpengalaman, keluarga yang mengalami kesulitan
beradaptasi seringkali berkutat pada halangan-halangan yang ada dalam keluarga, yaitu sikap
dan tingkah laku yang manghambat fleksibilitas dan menghalangi penyesuaian kembali
dengan situasi yang baru. Jenis halangan-halangan tersebut dapat muncul dengan tipe yang
berbeda- beda:
 Halangan dalam komunikasi timbul jika masing-masing anggota keluarga tidak tahu
bagaimana mereka harus membagikan perasaan mereka dengan anggota keluarga
lainnya atau bagaimana mengungkapkan perasaan mereka dengan jelas. Beberapa
keluarga mempunyai topik-topik pembicaraan yang dianggap tabu. Mereka tak pernah
membicarakan tentang uang, seks, hal-hal rohani, atau perasaan mereka. Sementara
itu keluarga yang lain tak pernah tertawa selama mereka di rumah, jarang berbicara
tentang apa yang mereka pikirkan, tidak dapat mendengarkan orang lain, atau tidak
dapat berkomunikasi tanpa berteriak atau tanpa menggunakan sarkasme dan bentuk-
bentuk komunikasi lain yang merusak. Ada juga keluarga yang menyampaikan pesan
ganda, kata-kata mereka mengungkapkan satu hal tetapi tindakan mereka berkata lain.
Hal yang sulit bagi sebuah keluarga untuk menghadapi krisis adalah jika masing-
masing dari anggota keluarga tidak dapat berkomunikasi secara efektif.
 Halangan dalam hal keakraban/ kedekatan merupakan ciri dari keluarga yang
mempunyai hubungan yang tidak erat satu sama lain. Kadang-kadang anggota
keluarga merasa takut untuk bersikap akrab. Mereka jarang meluangkan waktu untuk
bersama-sama, tidak saling percaya atau tidak menghormati anggota keluarga yang
lain, jarang berbagi masalah, dan punya kesulitan dalam menangani krisis karena
mereka tidak pernah belajar untuk bekerjasama dengan akrab.
 Halangan dalam hal aturan keluarga yang tidak tertulis, bahkan seringkali tidak
dikatakan, namun biasanya merupakan hukum-hukum yang diterima tentang siapa
tidak boleh melakukan apa. Hampir semua keluarga tidak mempunyai aturan yang
baku sehingga hal ini seringkali membingungkan terutama bagi anak-anak. Ada juga
keluarga yang mempunyai aturan yang kaku sehingga menghambat pertumbuhan
individu-individu dalam keluarga. Keluarga yang religius, keluarga yang ingin maju
secara sosial, keluarga yang mempunyai paling sedikit satu anggota tetap, keluarga
militer, dan beberapa keluarga minoritas lainnya diidentifikasikan sebagai keluarga
yang seringkali mempunyai aturan kuat yang dapat mencegah fleksibilitas,
mengabaikan sumber-sumber pertolongan dari luar, dan menghambat kemampuan
untuk mengatasi masalah pada saat-saat tekanan terjadi dalam keluarga.
 Halangan sehubungan dengan sejarah keluarga, termasuk rahasia keluarga yang tidak
boleh diungkapkan oleh anggota keluarga atau berita-berita yang "tidak didiskusikan
oleh keluarga." Kadang- kadang anggota keluarga menyembunyikan rahasia-
rahasianya dari anggota keluarga lainnya -- misalnya kehamilan yang tidak sah, anak
cacat yang diaborsi, pernikahan dini dan perceraian, atau hutang yang tidak
dibicarakan. Sikap seperti ini akan membuat beberapa anggota keluarga bersikap
berjaga-jaga, sementara yang lainnya merasa curiga akan adanya sesuatu yang tidak
mereka ketahui. Kadang-kadang rahasia tersebut diketahui oleh seluruh anggota
keluarga tetapi mereka merahasiakannya terutama untuk menjaga kehormatan
keluarga. Semuanya ini akan menghalangi kejujuran untuk mengatasi krisis dimana
faktor kejujuran sangat penting.
 Halangan mengenai tujuan yang berhubungan dengan masalah ekonomi, akademis,
sosial, politik, atau tujuan-tujuan lainnya yang ditetapkan oleh beberapa anggota
keluarga bagi mereka sendiri atau bagi anggota keluarga yang lain. Ada seorang
pendeta yang mengharuskan ketiga anak laki-lakinya masuk dalam pelayanan. Ketika
seorang dari mereka memberontak secara terang-terangan atas keinginan ayahnya ini,
dan yang satunya menolak tapi dengan sikap pasif, maka sang pendeta
menanggapinya dengan penuh kemarahan. Mempunyai cita-cita dan ambisi keluarga
merupakan hal yang sehat, tetapi jika tujuan dan ambisi tersebut dipertahankan secara
kaku atau ketika seorang anggota keluarga menetapkan cita-cita bagi anggota yang
lain, hal ini justru akan menimbulkan kesulitan terutama ketika hasil yang dicapai
tidak seperti yang diharapkan. Hidup jarang sekali berjalan dengan mulus dan
keluarga yang tidak mampu menyesuaikan cita-cita yang dimiliki seringkali terlibat
dalam masalah-masalah keluarga.
 Halangan mengenai nilai-nilai yaitu cara berpikir yang sebelumnya diterima keluarga
tetapi kemudian ditolak oleh salah satu/banyak anggota keluarga lainnya. "Semua
keluarga kita masuk ke perguruan tinggi", "Perempuan dalam keluarga kita tidak
boleh bekerja di luar rumah", "Tidak boleh ada anggota keluarga kita yang minum
minuman keras", "Semua orang dalam keluarga kita adalah Presbiterian", merupakan
contoh nilai-nilai yang dipegang teguh namun seringkali ditentang oleh beberapa
anggota keluarga, terutama anggota keluarga yang lebih muda. Ketika keluarga tidak
mau atau mampu beradaptasi dengan perubahan, konflik seringkali timbul.
 Halangan mengenai Triangle atau segitiga adalah kelompok tiga orang dimana dua
anggotanya mengucilkan anggota yang ketiga. Ibu dan anak perempuannya misalnya,
membentuk suatu koalisi melawan sang ayah. Salah satu dari pasangan suami-istri
merangkul salah satu dari anaknya untuk melawan pasangannya. Kadang-kadang
seorang suami dapat bersekutu dengan wanita simpanannya untuk melawan istrinya.
Keluarga triangulasi seperti ini jarang sekali berfungsi dengan baik.
 Halangan mengenai pelimpahan kesalahan (detouring) adalah istilah lain dari mencari
'kambing hitam'. Dengan mengkritik anak laki-lakinya yang memberontak, anak
perempuannya yang menolak untuk makan, atau guru sekolah yang tidak kompeten,
dapat membuat kedua orangtua terus sibuk beradu argumen satu sama lain. Masalah
yang lebih mendasar, seperti konflik perkawinan, dikesampingkan atau diabaikan
sehingga dua pasangan tersebut berjuang bersama melawan musuh mereka. Masalah
"detouring" ini kelihatannya menjadi masalah yang sering muncul dalam keluarga-
keluarga di gereja. Memerangi dosa, atau terlibat dalam politik gereja, untuk
sementara waktu dapat membuat anggota keluarga melupakan rasa sakitnya
sehubungan dengan masalah serius yang sedang dihadapi keluarga mereka.
2.      Kurangnya komitmen terhadap keluarga.
Menjadi sangat sulit untuk membangun kebersamaan keluarga dan menangani masalah jika
satu atau lebih dari anggota keluarga tidak mempunyai keinginan atau waktu untuk terlibat.
Orang-orang dimotivasi oleh karir bekerja dalam perusahaan yang mengharapkan pekerjanya
memberikan 100% komitmen. Pekerjaan yang dilakukan menuntut kesediaan mereka bekerja
keras dan dalam waktu yang panjang bagi "keluarga" perusahaan. Para pekerja ini seringkali
kehabisan energi untuk membangun hubungan dalam keluarga mereka sendiri atau untuk
menangani masalah-masalah yang berubah dari waktu ke waktu.
3.      Peran yang kurang jelas dari anggota keluarga.
Setiap keluarga menetapkan peran masing-masing anggotanya. Beberapa peran ini termasuk
aktivitas; misalnya siapa yang akan membuang sampah keluar rumah, siapa yang mencatat
keuangan, siapa yang memasak, atau siapa yang membawa anak-anak ke dokter gigi. Peran
lain bersifat emosional; seperti beberapa anggota menjadi pemberi semangat, menjadi
penghibur, pemecah masalah, atau penasihat masalah etika. Biasanya peran-peran dimulai
perlahan-lahan di awal perkawinan tetapi kadang-kadang timbul konflik tentang siapa yang
akan melakukan apa. Konflik ini akan meruncing jika masing-masing anggota memegang
perannya secara kaku atau kalau ada kebingungan peran.
4.      Kurangnya kestabilan lingkungan.
Masalah-masalah yang terjadi dalam keluarga kerap kali berasal dari luar rumah. Kita telah
membahas tentang berbagai krisis, perubahan pandangan sosial tentang keluarga, dan tekanan
pekerjaan yang membuat kekacauan di beberapa keluarga. Televisi telah merubah pola
komunikasi dalam rumah tangga, karena menggantikan rasa kebersamaan, dan menyajikan
banyak program yang memberikan gambaran negatif tentang keluarga. Selain itu ditambah
dengan maraknya gerakan-gerakan, penggabungan perusahaan, kehilangan pekerjaan yang
tidak diharapkan atau trend ekonomi yang membuat beberapa anggota keluarga terpaksa
berada jauh dari keluarga mereka untuk bekerja. Hal lain yang menambah ketidakstabilan
jika kedapatan adanya penyakit AIDS di anggota keluarga, keputusan dari satu anggota
keluarga (seringkali adalah si ayah) untuk lari dan meninggalkan rumah, munculnya
kekerasan dalam rumah tangga, penggunaan obat-obatan atau alkohol, atau adanya campur
tangan keluarga mertua dan orang-orang lain yang dapat mengganggu kestabilan keluarga.

5.      Masalah Keuangan
Problem ekonomi keluarga terutama yang menyangkut masalah keuangan termasuk persoalan
serius. Suatu keluarga, seperti apapun situasinya, akan rapuh jika memiliki masalah keuangan
yang serius. Penanganan keuangan yang tidak jelas bisa menjadi problem yang berujung pada
perceraian. Sudah bukan rahasia lagi bahwa mayoritas keluarga di indonesia pernah
menghadapi masalah tekanan ekonomi berupa minimmya aliran keuangan. Jika diurai secara
detail, masalah keuangan di dalam keluarga umumnya muncul oleh beberapa penyebab
berikut ini :
·         Pertama, suami belum bisa menjalankan peran secara optimal. Sebagai kepala keluarga,
suami mempunyai tanggung jawab untuk mencari nafkah agar dapat memenuhi kebutuhan
keluarga. Betapapun beratnya suami harus mampu mencari cara dan mengerahkan seluruh
kemampuannya dalam mendatangkan aliran keuangan keluarga. Ketika suami malas bekerja
atau sengaja menganggur maka keluarga akan menghadapi masalah rumit dan pertengkaran
suami istri tak dapat lagi dihindari.
·         Kedua, masalah ekonomi dalam keluarga bisa terjadi akibat gaya hidup istri atau suami yang
terlalu tinggi. Mungkin seorang suami sudah bekerja mapan dengan penghasilan besar, tetapi
jika ia mempunyai istri boros yang tak dapat mengatur keuangan keluarga maka mereka bisa
terjebak pada hutang.
6.      Perceraian
faktor penyebab perceraian antara lain adalah sebagai berikut :
 Ketidakharmonisan dalam rumah tangga
Alasan tersebut di atas adalah alasan yang paling kerap dikemukakan oleh pasangan suami –
istri yang akan bercerai. Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain,
krisis keuangan, krisis akhlak, dan adanya orang ketiga. Dengan kata lain, istilah
keharmonisan adalah terlalu umum sehingga memerlukan perincian yang lebih mendetail.
·         Krisis moral dan akhlak
Selain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering memperoleh landasan
berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami
ataupun istri, poligami yang tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku
lainnya yang dilakukan baik oleh suami ataupun istri, misal mabuk, berzinah, terlibat tindak
kriminal, bahkan utang piutang.
·         Perzinahan
Di samping itu, masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya perceraian adalah
perzinahan, yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik oleh suami maupun
istri.
·         Pernikahan tanpa cinta
Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, untuk mengakhiri sebuah
perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adanya
cinta. Untuk mengatasi kesulitan akibat sebuah pernikahan tanpa cinta, pasangan harus
merefleksi diri untuk memahami masalah sebenarnya, juga harus berupaya untuk mencoba
menciptakan kerjasama dalam menghasilkan keputusan yang terbaik.
·         Adanya masalah-masalah dalam perkawinan
Dalam sebuah perkawinan pasti tidak akan lepas dari yang namanya masalah. Masalah dalam
perkawinan itu merupakan suatu hal yang biasa, tapi percekcokan yang berlarut-larut dan
tidak dapat didamaikan lagi secara otomatis akan disusul dengan pisah ranjang seperti adanya
perselingkuhan antara suami istri. Langkah pertama dalam menanggulangi sebuah masalah
perkawinan adalah :
1.      Adanya keterbukaan antara suami – istri
2.      Berusaha untuk menghargai pasangan
3.      Jika dalam keluarga ada masalah, sebaiknya diselesaikan secara baik-baik
4.      Saling menyayangi antara pasangan

D. Keperawatan Transkultural

Definisi transkultural bila ditinjau dari makna kata, transkultural berasal dari kata
trans dan culture, trans berarti alur perpindahan, jalan 13 lintas atau penghubung.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia; trans berarti melintang, melintas,
menembus, melalui. Sedangkan Culture berarti budaya. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia kultur berarti; kebudayaan, cara pemeliharaan, pembudidayaan.
Kepercayaan, nilai–nilai dan pola perilaku yang umum berlaku bagi suatu kelompok
dan diteruskan pada generasi berikutnya, sedangkan cultural berarti; sesuatu yang
berkaitan dengan kebudayaan. Budaya sendiri berarti : akal budi, hasil dan adat
istiadat. Dan kebudayaan berarti hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)
manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat atau keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk menjadi pedoman tingkah
lakunya. Budaya merupakan salah satu perwujudan atau bentuk interaksi yang nyata
sebagai manusia yang bersifat sosial. Jadi, transkultural dapat diartikan sebagai lintas
budaya yang mempunyai efek bahwa budaya yang satu mempengaruhi budaya yang
lain atau juga pertemuan kedua nilai – nilai budaya yang berbeda melalui proses
interaksi sosial. Transcultural Nursing merupakan suatu area yang berkaitan dengan
perbedaan maupun kesamaan nilai– nilai budaya (nilai budaya yang berbeda, ras,
yang mempengaruhi pada seorang perawat saat melakukan asuhan keperawatan
kepada klien/pasien) menurut Leininger (1991). Leininger beranggapan bahwa
sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam
penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Transkultural Nursing adalah suatu
area/wilayah keilmuwan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang
fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai
asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan
tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya
budaya atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002).
Keperawatan transkultural merupakan area keperawatan yang menekankan
pentingnya budaya terhadap pelayanan keperawatan. Aplikasi teori dalam
keperawatan transkultural mengharapkan adanya kesadaran terhadap perbedaan
budaya. Perbedaan budaya memberikan pengaruh dalam pemberian asuhan
keperawatan yang menuntut pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan
dengan menghargai nilai budaya individu. Asumsi mendasar dari teori transkultural
keperawatan adalah perilaku caring. Tindakan caring adalah tindakan yang dilakukan
dalam memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku ini seharusnya
sudah tertanam di dalam diri manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan
pertumbuhan, masa pertahanan sampai individu tersebut meninggal. Kesehatan fisik
selalu berkolaborasi dengan kondisi manusia sebagai makhluk psikologis.
E. Kompetensi budaya yang harus dimiliki oleh perawat
Nilai adalah konsepsi abstrak pada diri manusia, mengenal apa yang dianggap
baik dan apa yang dianggap tidak baik. Nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan
dan ditetapkan oleh penganut budaya yang baik atau yang buruk Nilai dan norma
yang diyakini oleh individu tampak di dalam masyarakat sebagai gaya hidup sehari-
hari. Hal yang berkaitan dengan nilai dan budaya hidup adalah jabatan, bahasa sehari-
hari, kebiasaan kebersihan diri, kebersihan makan, dll.
Kompetensi budaya adalah seperangkat perilaku, sikap dan kebijakan, yang
bersifat saling melengkapi dalam suatu sistem kehidupan sehingga memungkinkan
untuk berinteraksi secara efektif dalam dalam hubungan antar budaya didunia
Kompetensi budaya mencakup memahami dan menghormati perbedaan antara klien
dan keluarga mengenai sistem nilai yang dianut, harapan dan pengalaman menerima
pelayanan kesehatan. Pendekatan transkultural merupakan perspektif yang unik
karena bersifat kompleks dan sistematis secara ilmiah yang nelibatkan banyak hal.
Komunikasi antara perawat dan klien merupakan komunikasi lintas budaya.
Komunikasi lintas budaya dapat dimulai melalui proses diskusi. Dalam proses
komunikasi perlu dulu untuk diidentifikasi bagaimana cara berkomunikasi.
Pentingnya komunikasi dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami adalah
penting.

F. Penerapan transcultural dalam praktik keperawatan

Kecenderungan kesehatan saat ini condong ke arah yang lebih inklusif dari
preferensi pribadi dan budaya. Hal mi menuntut tanggapan yang luas dan terbuka dari
para perawat. Apa yang bisa perawat lakukan untuk memfasilitasi kecenderungan ini,
yakni menghormati pilihan dan keyakinan individu, bahkan ketika perawat tidak
sepenuhnya menyadarinya? Dengan menggabungkan tiga praktik berikut, perawat
diharapkan dapat membuat interaksi dengan pasien menjadi lebih mudah dan lcbih
berhasil.

1. Kesadaran Diri (Awareness) Salah satu elemen terpenting yang ditekankan


dalam melakukan perawatan berbasis budaya adalah mengidentifikasi
keyakinan dan budaya perawat sendiri sebelum merawat orang lain. Menurut
Culture Advantage, sebuah organisasi yang dibentuk untuk membantu
individu mengembangkan kesadaran lintas budaya dan kemampuan
komunikasi, perawat diharapkan menyadari identifikasi budaya mereka sendiri
untuk mengendalikan bias pribadi mereka yang mengganggu hubungan
terapeutik. Kesadaran diri tersebut melibatkan tidak hanya memeriksa budaya
seseorang, tapi juga memeriksa persepsi dan asumsi tentang budaya klien.
Mengembangkan kesadaran diri ini dapat mengurangi bias perawat atau
kepercayaan yang dipaksakan secara budaya. Hal ini juga dapat menjelaskan
penindasan, rasisme, diskriminasi, stereotip, dan bagaimana hal ini
mempengaruhi perawat secara pribadi serta pekerjaan mereka. Sebagai contoh,
seorang perawat mungkin mengetahui bahwa pasien berpartisipasi dalam
pengobatan tradisional, yang menggabungkan ritual penyembuhan yang tidak
biasa, atau mempromosikan konsumsi berbagai ramuan nabati berdasarkan
campuran dan diresepkan oleh penyembuh. Tanpa memeriksa keyakinannya
sendiri, perawat mungkin menilai praktik tersebut sebagai tipuan primitif atau
ilmiah tanpa memiliki petunjuk tentang makna budaya atau simbolis.
Sementara itu, pada hari berikutnya, perawat dapat pergi ke sebuah layanan
gereja yang mengenakan sebuah salib di lehernya, di mana dia melafalkan
liturgi aneh dan tidak masuk akal ke seorang pria yang mengenakan jubah dan
mengkonsumsi sedikit kue dan anggur dan menyebutnya “tubuh dan darah
penyelamatnya”. Bagi orang lain, hal ini bisa tampak primitif, takhayul, atau
bahkan palsu, namun bagi pasien, bisa jadi ritual ini kaya dengan makna dan
bahkan penyembuhan.

2. Penerimaan (Acceptane) Dokter yang berpengalaman mungkin akan


mengatakan kepada pasiennya bahwa kunci penyembuhan adalah mencintai
dan menerima diri sendiri. Hal ini mengindikasikan bah«» penerimaan
menjadi alat yang ampuh, tapi hal ini menuntut solidaritas antara perawat dan
pasien. Bagaimana pasien bisa mencintai dan menerima diri mereka sendiri
dengan cara yang mendorong penyembuhan, jika perawat tidak bersedia
mendorong adanya penerimaan dalam segudang masalah dan kerumitan yang
dihadapi pasien? Melalui tindakan penerimaan yang sederhana, perawat bisa
menjadi agen penyembuhan, terlepas dari apakah mereka menyadarinya atau
tidak. Inilah premis dari teori keperawatan Margaret Newman,“Health as
Expanding Consciousness” dimana melalui kehadiran dan penerimaan
perawat, pasien menjadi diberdayakan selama masa paksaan atau kekacauan
pribadi untuk membuat perubahan yang mendorong harapan, kesejahteraan,
dan semakin mendorong tingkah kesehatan ke arah yang lebih baik. Dengan
kata lain, penyembuhan memiliki implikasi yang berarti yang melampaui
definisi model medis saat ini sebagai “tidak adanya penyakit”. Karena pasien
dapat mengartikulasikan kejadian kehidupan yang bermakna dan untuk
didengar tanpa penghakiman, dia menjadi lebih sadar atau “terbuka’ terhadap
pola yang telah menghambat kemajuan kesehatan, dan karena itu dapat
memilih perilaku transformasional, dengan dukungan perawat yang terus
berlanjut.

3. Bertanya (Asking) Perawat tidak bisa selalu dituntut untuk menyadari dan
mempraktikkan kepekaan budaya setiap saat, karena kebanyakan agama dan
budaya telah berkembang selama berabad-abad dan penuh dengan praktik
yang membawa makna simbolis. Bila ragu, cara terbaik untuk memberikan
perawatan sensitif kepada pasien dengan beragam budaya adalah dengan
bertanya, Saat perawat memulai perawatan (pengkajian), perawat sebaiknya
menanyakan apakah ada praktik budaya, agama, atau keyakinan yang perlu
diketahui untuk menghormati dan mendukung kebutuhan mereka. Banyak dari
mereka terbiasa tinggal di luar subkultur mereka sendiri di dalam budaya yang
. lebih besar dan mereka mungkin akan tahu dengan pengalaman bagaimana
memberitahukan perawat dalam perawatan mereka. Jika mereka tidak yakin
atau tidak menyadari kebutuhan unik mereka di lingkungan perawatan
kesehatan, perawat perlu meyakinkan pasien bahwa mereka bersedia
menyesuaikan perawatan berdasarkan nilai mereka jika mereka menyadari.

Daftar Pustaka
Ernawan, E.R. (2011). Organizational Culture: Budaya organisasi dalam perspektif
ekonomi dan bisnis. Bandung: Penerbit Alfabeta. ISBN: 978-602-8800-83-9.

Anda mungkin juga menyukai