Anda di halaman 1dari 19

1 Analisis

Tematik Pengelolaan Perikanan


1.2. Domain Habitat
1.2.1. Kualitas Perairan
Analisis terhadap indikator kualitas perairan dilakukan melalui penilaian pada tiga parameter,
masing-masing: (1) eksistensi limbah termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3); (2) tingkat
kekeruhan dan padatan suspensi total; serta (3) eutrofikasi. Ketiga parameter yang dinilai ini
menjadi dasar dalam penentuan status domain kualitas perairan. Ketiganya dinilai pada dua
lokasi yaitu di perairan pesisir yang dekat dengan tempat tinggal mereka dan di perairan dimana
mereka biasanya menangkap ikan.

Pertama, penilaian eksistensi limbah untuk mengukuran tingkat ketercemaran didasarkan pada
hasil wawancara terhadap masyarakat. Hasil wawancara tentang kualitas perairan calon
Kawasan Konservasi Sawai terkait kondisi perairan pesisir yang dekat dengan tempat tinggal
menunjukkan persepsi sebagian besar responden yaitu 51% menyatakan bahwa kondisinya
masih bersih/tidak tercemar, sebanyak 41% menyatakan kondisinya tercemar sedang
sedangkan hanya 9% yang menyatakan bahwa sudah tercemar. Sebagian besar responden (66%)
menyatakan bahwa bahan pencemarnya yaitu sampah anorganik dengan sumber
pencemarannya yaitu berasal dari limbah rumah tangga (85% responden) dengan kondisi
perairan tercemar yaitu perairan menjadi keruh (81% responden).

Sementara kondisi perairan dimana mereka biasanya menangkap ikan dipersepsikan oleh
sebagian besar responden (83%) dalam kondisi masih bersih/tidak tercemar. Kalaupun ada
bagian perairan yang tercemar, bahan pencemarnya merupakan sampah anorganik yang
sebagian besar berasal dari limbah perusahaan udang dan limbah dari rumah tangga. Kondisi
fisik perairan yang mengindikasikan tercemar juga yaitu perairan dalam kondisi keruh.

Kedua, kualitas perairan yang dilihat dari tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi dalam
penilaian ini, tidak diukur. Sebagai subtitusi dari ketidaktersediaan data untuk indikator ini,
digunakan indikator kecerahan. Kecerahan perairan adalah kemampuan perairan untuk
meloloskan cahaya matahari ke dalam kolom air sangat bergantung dari kandungan padatan
tersuspensi, sudut matahari dan jenis awan.

Pengukuran tingkat kecerahan yang dilakukan pada tiga lokasi, masing-masing perairan desa
Sawai, Labuang dan Gale-Gale, dilakukan pada kondisi cuaca yang cerah. Kondisi perairan pada
saat pengukuran tingkat kecerahan, umumnya pada keadaan tenang, kecuali di desa Labuang
dimana berada pada kondisi bergelombang.

Hasil pengukuran pada ketiga lokasi menunjukan hampir pada seluruh lokasi memiliki tingkat
kecerahan di atas nilai baku mutu air laut untuk biota laut sesuai Lampiran III Kepmen LH No. 51
tahun 2004. Satu-satunya lokasi yang memiliki nilai di bawah baku mutu air laut adalah pesisir
laut tempat tinggal di desa Labuang (Tabel 1).

Tabel 1 Distribusi tingkat kecerahan pada tiga lokasi pengamatan di perairan Teluk Sawai dan
sekitarnya
Desa Kawasan Lokasi Baku Mutu Nilai Terukur Status
Pesisir laut
± 100 m dari
tempat > 5 m 8,50 Baik
Pantai
tinggal
Sawai
Lokasi
± 500 m dari
penangkapan > 5 m 14,10 Baik
Pantai
ikan
Pesisir laut
± 100 m dari
tempat > 5 m 4,50 Kurang
Pantai
tinggal
Labuang
Lokasi
± 500 m dari
penangkapan > 5 m 8,55 Baik
Pantai
ikan
Pesisir laut
± 100 m dari
tempat > 5 m 13,35 Baik
Pantai
tinggal
Gale-Gale
Lokasi
± 500 m dari
penangkapan > 5 m 14,70 Baik
Pantai
ikan

Distribusi tingkat kecerahan perairan ini menghasilkan nilai-rata-rata sebesar 10,62m. Hasil
analisis terhadap tingkat kecerahan pada perairan Teluk Sawai dan sekitarnya membuktikan
bahwa kemampuan perairan untuk meloloskan cahaya matahari ke dalam kolom air cukup tinggi.
Jika dibandingkan dengan nilai baku butu air laut untuk perairan terumbu karang sesuai Kepmen
LH No. 51 tahun 2004, maka distribusi tingkat kecerahan ini termasuk dalam kategori Sangat
Baik. Dalam konteks tingkat kekeruhan sebagai balikan dari tingkat kecerahan, tentunya
distribusi nilai kecerahan perairan seperti ini sejalan dengan distribusi nilai tingkat kekeruhan
Di Bawah Buku Mutu.

Ketiga, parameter eutrofikasi klorofil-a diukur menggunakan data Citra Satelit sesuai data deret
waktu dari bulan September 2016 sampai dengan Agustus 2017. Hasil pengukuran secara spasial
di perairan Teluk Sawai dan sekitarnya menunjukan distribusi klorofil-a relatif bervariasi
(Gambar 1a dan 1b). Distribusi seperti ini menunjukkan konsentrasi klorofil-a tertinggi berada
pada perairan dalam Teluk Sawai. Sumbangan yang tinggi terhadap nilai klorofil-a ini diduga
berasal dari kawasan mangrove di desa Sawai dan sekitarnya.


Gambar 1a Distribusi konsentrasi klorofil-a pada calon KKP3K Teluk Sawai dan sekitarnya di
Kabupaten Maluku Tengah, bulan September 2016 – Pebruari 2017


Gambar 1b Distribusi konsentrasi klorofil-a pada calon KKP3K Teluk Sawai dan sekitarnya di
Kabupaten Maluku Tengah, bulan Maret 2017 – Agustus 2017

Hasil cuplikan konsentrasi klorofil-a pada perairan Teluk Sawai dan sekitarnya dinyatakan secara
tabular untuk mengekspresikan distribusi nilai minimum dan maksimum secara bulanan, sejak
bulan September 2016 sampai dengan Agustus 2017 (Tabel 2). Hasil ini menyatakan kisaran
konsentrasi klorofil-a minimum secara bulanan antara 0,15-0,25 µg/l, sedangkan kisaran nilai
maksimum antara 0,35-1,30 µg/l. Sesuai hasil cuplikan ini, konsentrasi minimum klorofil-a di
perairan Teluk Sawai dan sekitarnya sebesar 0,15 µg/l, sedangkan nilai konsentrasi
maksimumnya hanya mencapai 1,30 µg/l. Sesuai dengan pola distribusi seperti ini, maka rata-
rata konsentrasi klorofil-a pada kawasan ini hanya sebesar 0,44 µg/l. Hasil analisis kandungan
klorofil-a pada perairan calon KKP3K Teluk Sawai dan Sekitarnya di Kabupaten Maluku Tengah
seperti ini termasuk dalam kriteria Konsentrasi Klorofil-a < 2 µg/l.

Tabel 2 Distribusi konsentrasi klorofil-a bulanan di perairan Teluk Sawai dan sekitarnya, periode
September 2016 – Agustus 2017
Kisaran klorofil-a (µg/l)
Bulan
min max
September 2016 0.20 0.45
Oktober 2016 0.20 1.00
Nopember 2016 0.15 0.35
Desember 2016 0.25 0.80
Januari 2017 0.15 0.25
Pebruaru 2017 0.15 0.80
Maret 2017 0.20 1.30
April 2017 0.15 0.70
Mei 2017 0.25 0.75
Juni 2017 0.20 0.60
Juli 2017 0.20 0.55
Agustus 2017 0.20 0.75
Minimum 0.15
Maksimum 1.30
Rata-Rata 0.44

1.2.2. Status Ekosistem Lamun
Penilaian pada indikator meliputi dua komponen penilaian, yaitu: tutupan dan keanekaragaman
spesies lamun. Pertama, pengamatan persen tutupan lamun pada saat survey dilakukan di
perairan desa Horale. Total jumlah transek
sebanyak 11 transek dan total jumlah kuadran
sebanyak 73 kuadran. Hasil survey ini
menemukan enam jenis lamun yaitu Enhalus
acoroides, Cymodocea rotundata, C. serrulata,
Thalassia hemprichii, Halodule pinifolia, dan
Syringodium isoetifolium. Rata-rata persen
tutupan lamun pada perairan ini sebesar 53,27%.

Dukungan terhadap data ini mengacu pada hasil survey yang dilakukan oleh Project SEA (2017)
menemukan distribusi luasan tutupan dan jenis lamun secara spasial relatif bervariasi. Cuplikan
yang diambil pada 13 lokasi dari 16 lokasi yang diamati (Gambar 13) menunjukan:
(1) Padang lamun di Pulau Sawai 1 memiliki persen tutupan 16% dengan jenis yang ditemukan
yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Cymodocea serulatta.


Gambar 2 Distribusi persen tutupan lamun di Teluk Sawai dan sekitarnya
(Sumber: SEA Project, 2017)

(2) Padang lamun di Pulau Sawai 2 memiliki
persen tutupan 15% dengan jenis yang
ditemukan Enhalus acoroides, Thalassia
hemprichii dan genus Halodule.
(3) Padang lamun di Pulau Raja Besar Bagian
Barat memiliki persen tutupan 18% dengan
jenis yang ditemukan Enhalus acoroides, dan
Cymodocea serulatta.
(4) Padang lamun di Pulau Raja Kecil Barat memiliki persen tutupan 23% dengan jenis yang
ditemukan yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Cymodocea serulatta.
(5) Padang lamun di Desa Sawai memiliki persen tutupan 21% dengan jenis yang ditemukan
yaitu Enhalus acoroides, dan Cymodocea serulatta.
(6) Padang lamun di Pantai Ora memiliki persen tutupan 17% dengan jenis yang ditemukan
yaitu Enhalus acoroides, dan Cymodocea serulatta.
(7) Padang lamun di Saleman memiliki persen tutupan 13% dengan jenis yang ditemukan yaitu
Thalassia hemprichii, genus Halodule dan Cymodocea serulatta.
(8) Padang lamun di Paa memiliki persen tutupan 28% dengan jenis yang ditemukan yaitu
Thalassia hemprichii dan Cymodocea serulatta.
(9) Padang lamun di Pulau Campeda memiliki persen tutupan 65% dengan jenis yang
ditemukan yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan genus Halodule.
(10) Padang lamun di Pasanea memiliki persen tutupan 75% dengan jenis yang ditemukan yaitu
Thalassia hemprichii, genus Halodule dan Cymodocea serulatta.
(11) Padang lamun di Pulau Sawu memiliki persen tutupan 59% dengan jenis yang ditemukan
yaitu Thalassia hemprichii, Halophila ovalis dan Cymodocea serulatta.
(12) Padang lamun di Pulau Air memiliki persen tutupan 75% dengan jenis yang ditemukan
yaitu Enhalus acoroides, dan Thalassia hemprichii.
(13) Padang lamun di Pulau Seram Bagian Timur Laut memiliki persen tutupan 35% dengan
jenis yang ditemukan yaitu Enhalus acoroides, dan Cymodocea serulatta.
Cuplikan yang dilakukan pada 13 lokasi ini didasarkan pada pandangan bahwa pada tiga lokasi
yang lain, diduga kuat tidak menggambarkan kondisi sebenarnya karena tingkat tutupan lamun
dianggap sangat rendah. Hasil cuplikan ini memberikan gambaran rata-rata tutupan lamun di
kawasan ini mencapai 35,38%.

Dukungan data lainnya berdasarkan hasil penelitian Makatita (2017) pada empat stasiun
pengamatan di Pulau Raja. Hasil ini menemukan enam jenis lamun yaitu Cymodocea rotundata,
Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis dan Halodule
uninervis dengan rata-rata persen tutupan 56,11%.

Hasil penilaian secara agregat memberikan gambaran bahwa variasi rata-rata persen tutupan
lamun relative berbeda antara lokasi. Walaupun demikian, kisaran tutupan lamun masih berada
pada kisaran tutupan sedang yakni antara ≥30 sampai dengan < 60%.

Kedua, penilaian keanekaragaman sebagai salah satu parameter status lamun yang dimaksudkan
adalah keanekaragaman spesies lamun yang didasarkan pada hasil perhitungan yang
menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). Hasil perhitungan menunjukkan
distribusi nilai keanakeragaman spesies lamun di perairan ini memiliki variasi yang tidak terlalu
besar.

Hasil ini sesuai dengan distribusi nilai keanekaragaman spesies lamun (H’) pada lokasi survey,
perairan pesisir desa Horale, sebesar 1,47 (Tabel 4). Hasil ini membuktikan distribusi nilai
keanekaragaman spesies lamun termasuk dalam kategori keanekaraman sedang karena nilai
H’ berada di antara satu dan tiga (1<H’<3).

Tabel 3 Nilai keanekaragaman jenis lamun di perairan desa Horale
Jenis Jumlah tegakan pi ln pi -pi * ln pi
Thalasia hemprichii 891 0.17 -1.76 0.30
Syringodium isoetifolium 597 0.12 -2.16 0.25
Enhalus acoroides 560 0.11 -2.22 0.24
Cymodocea rotundata 2512 0.49 -0.72 0.35
Cymodocea serrulata 196 0.04 -3.27 0.12
Halodule pinifolia 407 0.08 -2.54 0.20
5163 H’ 1.47

1.2.3. Status Ekosistem Mangrove
Wilayah pesisir di sekitar calon Kawasan Konservasi Sawai juga memiliki potensi hutan
mangrove. Potensi ini tentunya juga menjadi salah satu faktor yang memberikan kontribusi
positif secara ekologis bagi fungsi kawasan. Penilaian yang dilakukan terhadap status ekosistem
mangrove di wilayah ini meliputi dua parameter, yaitu: persen tutupan dan kerapatan jenis
mangrove.

Pertama, hasil analisis tutupan mangrove di sekitar
calon Kawasan Konservasi Sawai dan sekitarnya
dalam kajian ini dilakukan melalui ground check pada
komunitas mangrove di Tanjung Sawai (2017). Pada
lokasi ini ditemukan sebanyak enam jenis mangrove
yang terdistribusi pada daerah dengan substrat dasar
berlumpur sampai berlumpur dengan campuran
patahan karang. Jenis-jenis yang ditemukan yaitu
Ceriops tagal, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, R. Mucronata, Lumnitzera littorea
dan Sonneratia alba. Rata-rata tingkat penutupan mangrove yang ditemukan di lokasi ini
mencapai 55,63%.

Hasil survey SEA Project (2017) melaporkan sekitar 1.678 hektar komunitas mangrove
membentang sepanjang Teluk Sawai yang tersebar pada Pulau Nusa Maina, Pulau Campedak,
Desa Waliulu, Tanjung Sawai dan daerah estuari pada Sungai Salawai. Sebagian kecil sebaran
mangrove juga ditemukan pada bagian timur Desa Wahai. Tutupan tertinggi ditemukan pada
sepanjang Tanjung Sawai sampai ke daerah estuari Sungai Salawai dengan jenis yang dominan
yaitu Rhizophora apiculata, R. Mucronata dan Bruguiera gymnorrhiza. Sementara pada estuari
Sungai Salawai, jenis Nypa fruticans merupakan jenis yang dominan hadir karena memang
merupakan habitat preferensinya.



Hasil ini memberikan gambaran bahwa rata-rata tingkat tutupannya sebesar 55,63% dan berada
kriteria kisaran tutupan sedang yakni antara ≥50 sampai dengan < 75%. Dengan demikian,
tingkatan tutupan mangrove pada calon Kawasan Konservasi Sawai termasuk dalam kategori
Tutupan Sedang.

Kedua, analisis tingkat kerapatan jenis mangrove diperoleh dari hasil ground check komunitas
mangrove di Tanjung Sawai. Hasil ground check komunitas mangrove di lokasi ini menemukan
sebanyak enam jenis mangrove yang diperoleh dari hasil pengamatan pada dua transek dan
setiap transek terdiri dari delapan kuadran. Perhitungan dilakukan pada jarak antar kuadran
sejauh 10 meter dan jarak antar transek sejauh 50 meter.

Hasil perhitungan menunjukkan distribusi nilai kerapatan spesies mangrove di lokasi ini sangat
kecil. Hasil ini sesuai dengan distribusi nilai kerapatan spesies mangrove sebesar 691 tegakan
per hektar (Tabel 4). Hasil analisis ini menunjukkan bahwa tingkat kerapatan maka distribusi
nilainya termasuk ke dalam kriteria rendah, karena berada pada kisaran < 1000 pohon/ha.




Tabel 4 Tingkat kerapatan jenis mangrove di kawasan Tanjung Sawai
Jenis Tingkat Kerapatan (teg/ha)
Ceriops tagal 425
Bruguiera gymnorrhiza 30
Rhizophora apiculata 113
Rhizophora mucronata 114
Lumnitzera littorea 6
Sonneratia alba 4
Jumlah 691

1.2.4. Status Ekosistem Terumbu Karang
Penilaian status terumbu karang yang ditetapkan dua indikator, meliputi: persentase tutupan
karang keras hidup (live hard coral cover) dan keanekaragaman karang hidup yang didasarkan
atas live form. Dalam kajian ini, hanya dilakukan penilaian persentase tutupan karang keras
hidup.

Monitoring kesehatan karang yang dilakukan SEA Project (2017) di perairan Teluk Sawai dan
sekitarnya, dilakukan pada terumbu karang dengan luasan 2.503 hektar, meliputi: reef flat 1.590
ha, reef crest 285 ha, dan reef slope 628 ha. Hasil monitoring ini menunjukkan persen tutupan
karang keras pada perairan ini mencapai 32,25%, karang lunak 12,57%, algae 1,25%, patahan
karang 22,29%, available substrate 7,22%, dan substrat lain 24,4% (Gambar 3).

40
32,25
35

30 24,4
22,29
25
% Cover

20
12,57
15

10 7,22

5
1,25
0
0
Hard Coral Soft Coral Algae Bleached Rubble Availabe Other
Coral Substrate
Categories

Gambar 13 Distribusi rata-rata tutupan bentik terumbu karang di Teluk Sawai dan sekitarnya
(Sumber: SEA Project, 2017)

Parameter penilaian kondisi terumbu karang yang menjadi dasar penilaian adalah karang keras
hidup (live hard coral cover) di kawasan ini. Hasil penilaian di kawasan ini sedikit lebih tinggi
dibanding tutupan karang keras di Taman Nasional Komodo sebesar 29,4% dan Taman Nasional
Wakatobi sebesar 25.15%), namun lebih kecil dibandingkan hasil monitoring Amkieltiela et al.
(2017) pada Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulau Koon dan Neiden sebesar 32.6% .

Secara parsial, distribusi tutupan bentik di 25 lokasi survey pada perairan terumbu karang Teluk
Sawai dan sekitarnya, bervariasi antar lokasi. Hasil ini membuktikan bahwa pada beberapa
lokasi, tutupan karang keras lebih dari 45%, masing-masing pada lokasi-lokasi seperti perairan
desa Warasiwa, perairan Pulau Tujuh, perairan desa Labuang, perairan pulau-pulau kecil di
Sawai, Wahai dan Malaku (Gambar 4).

Gambar 4 Distribusi spasial tutupan bentik terumbu karang di perairan Teluk Sawai dan
sekitarnya (Sumber: SEA Project, 2017)

Hasil analisis tersebut memberikan gambaran rata-rata tutupan karang keras hidup di wilayah
sebesar 32,25% termasuk dalam Tutupan Sedang. Kategori tutupan ini sesuai dengan distribusi
nilai rata-rata yang berada pada kriteria tutupan ≥ 25 sampai dengan <50%.

1.2.5. Habitat Unik/Khusus
Penilaian indikator habitat unik/khusus terkait dengan luasan, waktu, siklus, distribusi, dan
kesuburan perairan, spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling, dan nesting
beach. Dalam kajian di wilayah ini, teridentifikasi beberapa lokasi habitat khusus/unik,
khususnya untuk jenis-jenis sumberdaya yang termasuk dalam kategori ETP species.

Hasil pemetaan partisipatif memberikan gambaran tentang distribusi habitat unik/khusus untuk
berbagai jenis sumberdaya laut. Pemetaan terhadap lokasi feeding ground dari penyu
menunjukan konsentrasinya pada perairan sekitar desa Rohopantai (Gambar 16). SEA Project
(2017) menemukan distribusi feeding ground dan nesting beach di perairan Pulau Tujuh, pesisir
desa Horale, pulau-pulau kecil di Sawai dan sekitarnya, serta pesisir desa Malaku (Gambar 5).

Gambar 5 Hasil pemetaan partisipatif feeding ground penyu di perairan Teluk Sawai dan
sekitarnya


Gambar 6 Distribusi feeding ground dan nesting beach penyu di perairan Teluk Sawai dan
sekitarnya (Sumber: SEA Project, 2017)

Pemetaan partisipatif juga dilakukan terhadap feeding ground dugong, dimana perairan pulau
kecil di desa Sawai merupakan lokasi ditemukannya dugong, baik oleh nelayan maupun oleh
masyarakat sekitar (Gambar 8). Temuan ini juga diperkuat dengan hasil survey SEA Project
(2017) yang menemukan lokasi-lokasi feeding ground dugong. Perairan pulau tujuh, pesisir desa
Horale dan Saleman, perairan pulau-pulau kecil dan pesisir desa Sawai, serta perairan pesisir
desa Wahai merupakan lokasi-lokasi ditemukannya dugong (Gambar 8).

Daerah ruaya mega spesies lainnya seperti lumba-lumba dan paus juga diiidentifikasi sebagai
lokasi habitat unik/khusus. Lumba-lumba merupakan salah satu mega spesies yang memiliki
daerah ruaya yang cukup luas pada perairan Teluk Sawai dan sekitarnya (Gambar 20). Kehadiran
lumba-lumba dalam jumlah yang banyak pada perairan sekitar Pulau Tujuh, terutama pada
sebelah Utara dan Barat Pulau Nusa Maina dan sebelah Timur Pulau Tolun. Kehadiran yang sama
juga ditemukan pada Utara Pulau Raja, Pulau Sawai dan Pulau Lusaolat. Selama survei tersebut,
para peneliti juga menyaksikan kehadiran lumba-lumba sepanjang perairan sekitar Wahai dan
Desa Malaku (SEA Project, 2017).


Gambar 7 Hasil pemetaan partisipatif feeding ground dan penyu di perairan Teluk Sawai dan
sekitarnya

Gambar 8 Distribusi feeding ground dugong di perairan Teluk Sawai dan sekitarnya (Sumber:
SEA Project, 2017)


Gambar 9 Distribusi lokasi ruaya lumba-lumba di perairan Teluk Sawai dan sekitarnya
(Sumber: SEA Project, 2017)


Di sisi lain, SEA Project (2017) menemukan mega spesies lainnya seperti Paus, memiliki daerah
ruaya yang juga termasuk luas di perairan ini. Kawasan pulau Tujuh dan perairan Utara Seram
Utara Barat, bagian tengan perairan Teluk Sawai dan perairan desa Wahai dan Malaku
merupakan lokasi-lokasi dimana ditemukan paus melakukan ruaya (Gambar 10). Dari data FGD
juga terungkap bahwa mamalia paus juga sering ditemukan pada perairan sekitar Pulau Tujuh
dan Pulau Raja.


Gambar 10 Distribusi lokasi ruaya paus di perairan Teluk Sawai dan sekitarnya (Sumber: SEA
Project, 2017)

Pemetaan partisipatif yang dilakukan Tim EAFM (2017) juga telah mengumpulkan informasi
terkait lokasi-lokasi yang diduga menjadi daerah spawning grounds ikan samandar dan ikan
kerapu. Dari informasi yang terkumpul secara partisipatif tersebut terungkap bahwa perairan
sekitar Pulau Nusa Manu dan Pulau Nusa Launa memiliki potensi habitat penting sebagai daerah
pemijahan ikan (Gambar 11).

Selain itu juga diperoleh informasi mengenai lokasi-lokasi saaru di kawasan ini. Lokasi saaru
merupakan lokasi-lokasi dimana kegiatan penangkapan ikan karang dan demersal selalu
dilakukan. Lokasi ini, oleh nelayan diketahui sebagai feeding ground terbaik untuk ikan karang
dan demersal. Hasil FGD mencatat sekitar 14 saaru yang memiliki nilai ekologis sehingga perlu
dikelola dengan baik (Gambar 23).


Gambar 11 Distribusi lokasi SPAG’s Ikan Samandar dan Ikan Kerapu di perairan Teluk Sawai
dan sekitarnya


Gambar 12 Distribusi lokasi Saaru di perairan Teluk Sawai dan sekitarnya
Secara agregat, penilaian indikator ini memberikan gambaran yang luas tentang pentingnya
kawasan perairan Teluk Sawai dan sekitarnya. Walaupun lokasi-lokasi tersebut diketahui, namun
belum ada upaya-upaya strategis yang dilakukan untuk tujuan pengelolaannya sebagai habitat
unik/khusus dengan nilai penting ekologinya. Lemahnya pengelolaan disebabkan belum banyak
kebijakan terkait kegiatan konservasi secara khusus dan secara umum pengelolaan pesisir dan
pulau-pulau kecil di kawasan ini. Hasil penilaian secara agregat menunjukkan kondisi pada
kriteria diketahui adanya Habitat Unik/Khusus tapi tidak dikelola dengan baik.

1.2.6. Perubahan Iklim
Kajian terhadap indikator perubahan iklim dilakukan untuk mengetahui dampak perubahan
iklim terhadap kondisi perairan dan habitat. Dua pendekatan yang digunakan dalam penilaian
indikator ini meliputi: (1) state of knowledge level yang menunjukkan kajian tentang dampak
perubahan iklim; dan (2) state of impact dengan key indicator menggunakan terumbu karang.

Beberapa pandangan responden (state of knowledge level) tentang pengaruh iklim masih terbatas
pada dampak kenaikan muka air laut. Gejala kenaikan muka air laut sangat jelas terlihat pada
Desa Sawai, Dusun Labuan dan Dusun Gale-Gale. Pada beberapa titik di sekitar kawasan telah
dikelola melalui strategi adaptasi dan mitigasi.

Bukti belum adanya state of impact dengan key indicator menggunakan terumbu karang yaitu
belum ditemukannya data coral bleaching dalam survei yang dilakukan Sea Project (2017).
Kondisi ini menunjukkan bahwa perairan Teluk Sawai dan sekitarnya masih alami dan sangat
mendukung pengembangan kegiatan konservasi ke depannya.

Dalam konteks state of knowledge level, diketahui adanya dampak perubahan iklim dan
diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi. Pada state of impact dengan key indicator
menggunakan terumbu karang, belum ditemukan dampak perubahan iklim (coral bleaching)
termasuk dalam kategori habitat terkena dampak perubahan iklim coral bleaching <5%.

Anda mungkin juga menyukai