Anda di halaman 1dari 14

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.1 (2021.2)

Nama Mahasiswa : RUSLAN EFENDI

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 530050172

Tanggal Lahir : 02 MARET 1980

Kode/Nama Mata Kuliah : MAPO5203/PEMERINTAHAN DAERAH

Kode/Nama Program Studi : 590/MAGISTER ILMU ADMINISTRASI BIDANG MINAT ADMINISTRASI PUBLIK ONLINE

Kode/Nama UPBJJ : 48/PALANGKA RAYA

Hari/Tanggal UAS THE : MINGGU/ 23 JANUARI 2022

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : RUSLAN EFENDI


NIM : 530050172
Kode/Nama Mata Kuliah : MAPO5203/PEMERINTAHAN DAERAH
Fakultas : HUKUM, ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Program Studi : MAGISTER ILMU ADMINISTRASI BIDANG MINAT ADMINISTRASI PUBLIK ONLINE
UPBJJ-UT : PALANGKA RAYA

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Nanga Bulik, 23 Januari 2022

Yang Membuat Pernyataan

RUSLAN EFENDI
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS

1. Undang-undang nomor 23 tahun 2014 menjadi acuan dalam implementasi pemerintahan daerah di
Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 telah menciptakan perubahan fundamental dalam
dataran kosnep hubungan pemerintah daerah dan DPRD , tetapi dalam parkteknya tidak serta merta
hubungan pemerintah daerah dan DPRD berubah secara signifikan setelah adanya UU tersebut. Di
berbagai daerah memperlihatkan setelah UU nomor 32 tahun 2004 maupun UU no.32 Tahun 2014
diberlakukan sering terjadi konflik anatra Pemerintah Daerah dan DPRD. penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah. DPRD dan kepala daerah
berkedudukansebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi mandat rakyat untuk
melaksanakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Dengan demikian maka DPRD
dan kepala daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD
mempunyai fungsi pembentukan Perda, anggaran dan pengawasan, sedangkan kepala daerah
melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah. Dalam mengatur dan mengurus
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD dan kepala daerahdibantu
oleh Perangkat Daerah. Sebagai konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah maka susunan, kedudukan, peran, hak, kewajiban, tugas, wewenang, dan fungsi
DPRD tidak diatur dalam beberapa undang-undang namun cukup diatur dalam Undang-Undang ini
secara keseluruhan guna memudahkan pengaturannya secara terintegrasi. Sebagai akibat dari
perkembangan ketatanegaraan dan semakin kompleksnya urusan pemerintahan, maka ruang lingkup
urusan pemerintahan tidak lagi dapat diidentifikasikan secara kuantitatif namun sebaliknya urusan
pemerintahan tersebut senantiasa akan selalu dinamis dan terbuka, serta dipengaruhi pula oleh konsep
negara kesejahteraan. Dianutnya konsep negara kesejahteraan (welfarestate) telah membawa
perubahan pada ruang lingkup dan isi wewenang, tugas dan tanggung jawab pemerintah baik
kuantitatif maupun kualitatif, dimana tugas-tugas baru bertambah dan tugas-tugas lam makin
berkembang. Dalam kaitan dengan pemerintahan daerah maka sentralisasi dibutuhkan untuk
mempermudah dan memperkuat koordinasi antara level pemerintahan. Tidak tergantung bentuk
negara, apakah di negara federal atau di negara kesatuan, sentralisasi selalu ada dalam derajat
yang berbeda-beda. Semakin banyak kewenangan yang bersifat mengatur dan mengurus yang
dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusatmaka semakin sentralistis sebuah negara. Sebaliknya
jika pemerintah pusat hanya membuat undang-undang, peraturan umum, kebijakan, dan pedoman,
sehingga masih terdapat ruang untuk melakukan improvisasi dan diskresi bagi pemerintah
daerahmaka derajat desentralisasi akan semakin besar. Kehadiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah memang sudah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya
sehingga ada keluasaan untuk mengatur daerahnya sendiri. Desentralisasi asimetris bagi semua daerah
Indonesia walaupun terkesan sulit, namun jika dilakukan bersama maka akan mudah untuk
dilaksanakan. Apabila ditelaah desentralisasi asimetris memang berasal dari konsep negara federal
namun belakangan akhirnya konsep ini berkembang sehingga di beberapa negara sudah menggunakan
hal yang serupa. Terkait desentralisasi asimetris untuk Indonesia ini sudah diterapkan terhadap empat

daerah yakni DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh dan Papua namun peneliti
mengharapkan ke depan Indonesia akan dengan mudah melakukan perubahan lagi terhadap Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Terkait dengan kewenangan daerah yang
nanti menjadi sangat luas tentunya metode pengawasan akan jauh lebih diperketat dari pada
sebelumnya karena desentralisasi memperkenankan ke level kekuasaan pemerintahan yang lebih
rendah atau di bawah untuk menentukan sejumlah isu yang langsung mereka perhatikan.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUK
2. Pemerintah lokal otonom disebut juga dengan istilah daerah otonom yaitu kesatuan masyarakat
hukum yang berwenang mengatur dan mengurus urusan rumah tanggannya sendiri dalam arti
tidak mendapatkan campur tangan langsung dari pemerintah pusat. Frasa “kesatuan masyarakat
hukum” adalah terjemahan bebas “rechtsgemeenschap” (rechts = hukum; gemeenschap =
komunitas). Jadi, ia adalah badan hukum komunitas. Hal ini berbeda dengan pemerintah lokal
administrasi dan instansi vertikal. Dua satuan pemerintahan ini bukan badan hukum komunitas
otonom tapi satuan pemerintahan cabang dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, masing-
masing tidak dapat mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Masing-masing
hanya melaksanakan kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah lokal
otonom tidak mempunyai struktur organisasi vertikal dari atas ke bawah. Ia hanya mempunyai
susunan-dalam dan susunan-luar yang bersifat tiers bukan hierarchy. Sebaliknya pemerintah
lokal administratif dan instansi vertikal mempunyai struktur organisasi yang bersifat hierarchy.
Susunan-dalam pemerintah lokal otonom di Indonesia berganti-ganti sejak 1903 sampai
sekarang. Di berbagai negara susunan-dalam pemerintah lokal otonom bentuknya tidak tunggal
tapi berbagai bentuk. Akan tetapi, umumnya susunan-dalam pemerintah lokal selalu ada
council. Struktur organisasi pemerintah lokal administratif sejak dibentuk oleh Daendels 1803
sampai sekarang berganti-ganti. Akan tetapi, struktur hirarkis pemerintah lokal administrasi
yang paling panjang adalah yang diatur dalam UU No. 5/1974. Meskipun demikian, desa tetap
tidak dimasukkan ke dalam struktur resmi pemerintahan baik sebagai pemerintah lokal otonom
maupun sebagai pemerintah lokal adminstratif. Desa tetap status quo sebagaimana
pengaturannya pada zaman penjajahan: hanya dijadikan badan hukum komunitas di luar sistem
pemerintahan formal.

Secara umum di Indonesia, desa (atau yang disebut dengan nama lain sesuai bahasa daerah

setempat) dapat dikatakan sebagai suatu wilayah terkecil yang dikelola secara formal dan
mandiri oleh kelompok masyarakat yang berdiam di dalamnya dengan aturan-aturan yang
disepakati bersama, dengan tujuan menciptakan keteraturan, kebahagiaan dan kesejahteraan
bersama yang dianggap menjadi hak dan tanggungjawab bersama kelompok masyarakat
tersebut. Pada awalnya, sebelum terbentukya sistem pemerintahan yang menguasai seluruh
bumi nusantara sebagai suatu kesatuan negara, Urusan-urusan yang dikelola oleh desa adalah
urusan-urusan yang memang telah dijalankan secara turun temurun sebagai norma-norma atau
bahkan sebagian dari norma-norma itu telah melembaga menjadi suatu bentuk hukum yang
mengikat dan harus dipatuhi bersama oleh masyarakat desa, yang dikenal sebagai hukum
adat1.Urusan yang dijalankan secara turun temurun ini meliputi baik urusan yang hanya murni
tentang adat istiadat, maupun urusan pelayanan masyarakat dan pembangunan (dalam
administrasi pemerintahan dikenal sebagai urusan pemerintahan), bahkan sampai pada masalah
penerapan sanksi, baik secara perdata maupun pidana. Urusan yang demikian, dalam teori dan
praktek sistem pemerintahan daerah di Indonesia, selama ini dikenal sebagai “urusan asal-
usul”. Dalam sistem administrasi negara yang berlaku sekarang di Indonesia, wilayah desa
merupakan bagian dari wilayah kecamatan, sehingga kecamatan menjadi instrumen koordinator
dari penguasa supra desa (negara melalui Pemerintah dan pemerintah daerah). Diperjelas dalam
Pasal 371 ayat (1) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014, menyatakan: “Dalam pemerintahan
daerah kabupaten/ kota dapat dibentuk pemerintahan Desa“. Penggunaan istilah “dibentuk” ini
menegaskan bahwa pemerintah Desa merupakan subsistem atau bagian dari pemerintah
kabupaten/kota, karenanya ia menjalankan sebagian kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
Dalam undangundang ini Desa merupakan satuan pemerintah yang ada dalam pemerintah
kabupaten/kota. Ini berbeda dengan istilah yang digunakan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota ...”. Pemakaian istilah “dibagi atas
daerahdaerah” menunjukkan selain menghormati daerah otonom juga menegaskan adanya
hubungan pemerintah pusat dan daerah bersifat hirarkhis dan vertikal. Dengan demikian ada
perbedaan model hubungan pusat dan daerah berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 dengan model
hubungan Kabupaten/kota dengan Desa berdasar UU No. 23/2014. Namun hal tersebut
berkembang dengan dikeluarkannya Undang-Undang Desa, bahwa pengakuan dan
penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia diakui dan diberikan kejelasan status dan
kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Upaya penguatan otonomi daerah dan “otonomi Desa”
menjadi bagian dari cita-cita itu, sekaligus hendak membangun imajinasi Indonesia yang kuat
dan sempurna, yang melampui sentralisme dan lokalisme. NKRI akan menjadi lebih kuat bila
ditopang oleh kedaulatan rakyat serta kemandirian lokal (daerah dan Desa), yakni pusat yang
“menghargai” lokal dan lokal yang “menghormati” pusat. Kemandirian Desa akan menjadi
fondasi dan kekuatan NKRI dan imajinasi Indonesia itu. Jika Desa selamanya marginal dan
tergantung, maka justru akan menjadi beban berat pemerintah dan melumpuhkan fondasi
NKRI. Kedepan kita membutuhkan Desa sebagai entitas lokal yang bertenaga secara sosial,
berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Berdasarkan
realita di lapangan tersebut menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan kewenangan desa masalah
utama yang dihadapi antara lain pertama, dalam kewenangan asalusul di mana posisi Desa yang
merupakan desa transisi dari desa tradisional ke arah desa modern mengakibatkan adat dan
budaya yang ada tidak begitu kental dan otonomi asli yang dimiliki mulai memudar dengan
seiring berjalannya waktu. Dalam pelaksanaannya, pengaturan mengenai Desa tersebut belum
dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang hingga saat ini
sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu)Desa. (Data Kementerian Dalam Negeri
2015) Selain itu, pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat hukum
adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan
pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah
sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk
menyesuaikan perkembangan tersebut Pemerintah mengundangkan UndangUndang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa, pada tanggal 15 Januari 2014. Undang-Undang ini disusun dengan
semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan
ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan
ketentuan Pasal 18 ayat (7). Walaupun demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat
mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan
sektoral yang berkaitan. Undang-undang ini tentu tidak mungkin melakukan pengaturan
terhadap seluruh aspek kehidupan Desa, apalagi yang terkait dengan aspek kemasyarakatan
(adat-istiadat, kearifan lokal, modal sosial, kearifan lokal, dan sebagainya) Desa yang sudah
berjalan normal. Pengaturan yang terlalu detail dan jauh terhadap ”Desa” juga menunjukkan
intervensi negara yang justru melumpuhkan masyarakat. Prinsip dasarnya, Undang-Undang ini
memberi amanat kepada negara untuk memberikan pengakuan (rekognisi) dan perlindungan
(proteksi) terhadap aspek-aspek kemasyarakatan Desa. Karena itu Undang-Undang ini
bukanlah Undang-undang Desa (yang menyeluruh) melainkan Undangundang tentang
tatakelola (governance) Desa atau disebut dengan Undang- Undang tentang Desa, yang akan
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional.

Kemudian berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan desa berupa urusan distributif yang
tergolong baru dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yaitu urusan yang diserahkan
pengaturannya dari pemerintah atau pemerintah kabupaten kepada desa sehingga diasumsikan
pemerintah desa sulit melaksanakan otonomi desanya karena terdapat urusan-urusan
pemerintahan yang baru. Oleh karena itu menarik untuk melihat pelaksanaan kewenangan desa.

3. UUD 1945 mengatur pemerintahan lokal pada pasal 18. Pasal ini mengatur bahwa
pemerintahan daerah terdiri atas daerah besar dan daerah kecil. Di samping itu, sebagaimana
dimuat dalam Penjelasannya pasal 18 juga mengatur daerah bekas zelfbesturende landscahppen
(swapraja) dan volksgemeenschappen (volks = rakyat, gemeenschappen = rakyat, komunitas
rakyat) sebagai daerah istimewa karena memiliki susunan asli. Hubungan Pusat-Daerah
berdasarkan UUD 1945 adalah hubungan desentralistik sesama badan hukum publik. Di
samping itu, juga tidak meninggalkan hubungan dekonsentrasi. UUD NRI 1945 mengatur
pemerintahan daerah pada pasal 18, 18A, 18B. Tiga pasal ini mengatur bahwa pemerintahan
daerah terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota. Di samping itu, pasal 18B ayat (1) mengatur
daerah khusus dan daerah istimewa sedangkan pasal 18B ayat (2) mengatur tentang pengakuan
terhadap kesatuan masyarakat hukum adat. Hubungan PusatDaerah berdasarkan UUD NRI
1945 sama dengan pengaturan UUD 1945 ditambah hubungan pengakuan
(rekognisi/erkenning) terhadap daerah khusus, daerah istimewa, dan kesatuan masyarakat
hukum adat. Saat ini norma UUD NRI 1945 dibuat UU organiknya yaitu UU No. 23/2014 dan
UU No. 2014. Banyak kritik akademik terhadap dua UU tersebut. UU No. 23/2014 dikritik
karena mengatur pemerintah pusat mirip pemerintah federal dan provinsi dan kabupaten/kota
mirip negara bagian (state) di negara federasi. Pemerintah pusat hanya mengatur lima urusan
pemerintahan. Hal ini mirip dengan pemerintah federal dalam model federasi. Pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota berwenang mengatur semua urusan di luar lima urusan. Hal ini
mirip dengan kewenangan negara bagian dalam negara federasi. Di samping itu, gubernur dan
bupati/walikota dipilih lansgung oleh rakyat. Hal ini mirip dengan kepala negara bagian karena
di negara kesatuan di luar Indonesia tidak semua kepala eksekutif pemerintah lokal dipilih
langsung. UU No. 6/2014 dikritik karena hanya melanjutkan kebijakan penjajah yaitu mengatur
korporasi komunitas sebagaiamana diatur dalam IGO 1906, bukan mengatur satuan
pemerintahan formal. Di dunia, pemerintahan lokal mempunyai banyak bentuk. Akan tetapi,
dari sekian bentuk tersebut terdapat tiga model yang dikiblati dunia: 1) model Inggris; 2) model
Prancis; 3) model Jerman; dan 4) model Soviet dan negara-negara komunis. Ciri model Prancis
dan Jerman (Eropa Kontinental) adalah adanya wakil pemerintah pusat pada daerah otonom
sedangkan pada model Inggris tidak mempunyai wakil pemerintah pusat. Adapun ciri model
Soviet dan negara-negara komunis adalah adanya pengawasan langsung oleh pejabat partai
komunis (polit biro) pada semua struktur pemerintah lokal. Dalam konteks sejarah, pemerintah
modern di Indonesia dibentuk oleh Daendels (Prancis) pada 1808. Sembilan puluh lima tahun
kemudian pemerintah lokal dibentuk berdasarkan Desentralisatie Wet 1903. Model Prancis
dengan berbagai variasainya bertahan sampai 1998. Ketika Orde Baru jatuh, model Prancis
diganti model campuran: Jerman dan anglo saxon (UU No. 22/1999). Akan tetapi, karena tidak
sepenuhnya mengadopsi model Jerman dan anglo saxon jalannya pemerintahan daerah kacau.
UU ini lalu direvisi menjadi UU No. 32/2004 dan direvisi lagi menjadi UU No. 23/2014 dengan
cara tambal sulam. Akibatnya jalannya pemerintahan daerah tidak kunjung demokratis,
akuntabel, transparan, efektif, efisien, ekonomis, dan meningkatkan kesejahteraan.
Menurut Djohermansyah Djohan proses mencari format pemerintahan daerah yang ideal di
Indonesia telah berlangsung sejak diproklamasikannya kemerdekaan yang diawali dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Kedudukan Komite
Nasional Daerah, dan disusul silih berganti dengan diterbitkannya beberapa undang-undang dan
peraturan lainnya, hingga saat ini Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti dari UU No. 32 Tahun 2004.1 Setiap
undangundang Pemerintahan Daerah yang baru pada dasarnya merupakan koreksi dan
penyempurnaan dari undang-undang dan peraturan lama, yang dianggap tidak sesuai lagi
dengan amanah konstitusi dan perkembangan zaman. Begitu seterusnya, undang-undang
pemerintahan daerah baru selalu memuat ketentuan-ketentuan baru guna memenuhi tuntutan
faktual masyarakat lokal sebagai stakeholder dan kehendak pemerintah pemerintah pusat
sebagai shareholder. Dampaknya, implementasi kebijakan otonomi daerah dipenuhi dengan
aneka eksperimen. Sejalan dengan pemahaman di atas Bagir Manan juga selalu ingin
menemukan konsep ideal antara hubungan pusat dan daerah hal ini bisa dilihat dari disertasi
beliau yang berjudul “Hubungan Antara Pusat dan Daerah menurut UUD 1945.2 Hal ini karena
ditengarai kegalauan beliau pada saat itu melihat pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru
sangat sentralistis. Ditambah lagi selama ini di masa Orde Lama dan Orde Baru tidak ada
keseimbangan antara perbedaan dan kesatuan, yang ada hanya serba kesatuan. Setiap perbedaan
dianggap ancaman yang membahayakan.3 Latar belakang pemikiran ini sebenarnya upaya
untuk menemukan atau mengembangkan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Jika dilihat ke masa lalu acuan dari hubungan pusat dan daerah ini masih
tertuang di dalam GBHN mulai dari tahun 1978, 1983, dan 1988. Hal ini mempertegas dalam
pernyataan GBHN yakni4 : “Dalam rangka memperlancar pembangunan yang tersebar dan
merata di seluruh pelosok tanah air dalam rangka membina persatuan dan kesatuan bangsa
maka hubungan kerja yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu terus
dikembangkan atas dasar keutuhan negara kesatuan dan diarahkan pada pelaksanaan otonomi
yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab. Upaya ini perlu dilakukan bersama-sama dengan
dekonsentrasi dan kebijaksanaan lainnya yang mendorong kemajuan dan pembangunan
daerah”. Amanah otonomi daerah memang sudah diatur di dalam konstitusi bangsa ini. Jika kita
lihat UUD 1945, Pasal 18 yang menjadi sumber penyelenggaraan otonomi dapatlah dipahami
untuk mendorong terwujudnya ide yang dicita-citakan yaitu otonomi. Definisi otonomi
merupakan kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfstandigheid) satuan pemerintahan
yang lebih rendah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan.5 Untuk itu pendiri
negara kesatuan ini jauh-jauh hari sudah memikirkannya secara hukum tentang pemerintahan
daerah. Oleh sebab itu, persoalan otonomi daerah harus diwujudkan dalam kerangka negara
kesatuan sebagaimana yang diamanatkan Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan tersebut,
yang berbunyi : “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul
dalam derah-daerah yang bersifat istimewa”6 Sejarah otonomi di negeri ini mengalami
perubahan yang signifikan karena jika dilihat sejarahnya banyak sekali perubahan mulai dari
Orde Baru, Orde Lama, dan Era Reformasi saat ini. Untuk menelusuri ini menurut Sunaryati
Hartono7 yang dikutip oleh Afif Syarif mengatakan untuk mewujudkan Pasal 18 terjadi suatu
tarik menarik dalam kehidupan bernegara. Tarik menarik ini tidak perlu dihilangkan ini
merupakan sejarah hukum dalam kehidupan bernegara dan pemerintahan. Terkait dengan
sejarah maka setelah pemerintah Orde Lama tumbang dan digantikan oleh Orde Baru maka
dibentuklah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah.
Pembentukan ini secara politis merupakan sejarah hukum akibat UU No. 22 Tahun 1948 yang
dibuat pada masa revolusi disertai tekanan dari penjajah Belanda yang pada waktu itu akan
melaksanakan kehendaknya di bumi Indonesia. Setelah berakhirnya penjajahan Belanda dan
berlakunya UUDS 1950, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan daerah
tetap berlaku.8 Setelah kembali ke UUD 1945 diadakan perubahan tentang pemerintahan
daerah yang sebelumnya telah diundangkan dengan UU No. 1 Tahun 1957 yang
pelaksanaannya dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 1959. Kemudian diganti lagi
dengan UU No. 18 Tahun 1965 dalam upaya pelaksanaan otonomi kepada daerah. Meskipun
UU No. 18 Tahun 1965 dibuat pada masa orde lama, akan tetapi penerapannya mulai berlaku
pada orde baru, ini adalah merupakan historis hukum dalam sistem ketatanegaraan. Akibat
perkembangan politik, UU No. 18 Tahun 1965 dianggap tidak sesuai dengan perkembangan
pemerintahan, maka perlu dilakukan perubahan atau diganti dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pemerintahan daerah.9 Di sadari atau tidak jika peneliti telaah beberapa
karya ilmiah tentang otonomi daerah, orde baru ternyata melakukan penataan hubungan pusat-
daerah dan undang-undang ini dengan watak yang sangat dominatif dan represif oleh pusat ke
daerah.10 Bahkan di era orde baru kepala daerah dikuasai oleh militer atas perintah Soeharto
hal ini membuat daerah semakin kabur dari sistem tata kelola pemerintahan yang baik dan
daerah jauh tertinggal dari kata sejahtera. Setelah seperempat abad UU No. 5 Tahun 1974
berlaku dan diiringi tumbangnya rezim orde baru, maka pemerintahan yang baru memandang
perlu untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pemerintahan Daerah. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, maka UU No. 5 Tahun 1974 yang telah berlaku selama 25 Tahun
dinyatakan tidak berlaku lagi. Apabila dilihat dari sejarah perjalanan panjang UU No. 5 Tahun
1974 dikaitkan dengan perkembangan hukum untuk mendukung otonomi daerah, maka perlu
dilakukan perubahan terhadap undang-undang pemerintahan daerah tersebut Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diundangkan pada tanggal 7 Mei Tahun
1999 dengan Lembaran Negara nomor 60 Tahun 1999, dan secara yuridis formal
penyelenggaraan otonomi daerah dapat diharapkan sesuai dengan amanat kontitusi negara kita
yaitu dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.11 Akan tetapi masih ada yang tertinggal dalam
muatan-muatan hukum terhadap UU No. 22 Tahun 1999 tersebut, maka pemerintah
memandang perlu untuk menyempurnakan dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Apabila dilihat perjalanan panjang undang-undang
pemerintahan daerah telah mengalami pasang surut dalam sistem ketatanegaran kita. Setelah
berlakunya UU No. 32 Tahun 2004, diharapkan otonomi dan demokrasi untuk menjalankan
kepentingan rakyat di daerah dapat berjalan lancar. Namun pada saat ini UU No. 32 Tahun
2004 sudah diganti oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Apabila diperhatikan jauh lebih dalam peraturan yang selama ini, tentang pemerintah daerah
sangat beragam mulai dari sistem yang sangat sentralistis hingga ke desentralisasi, konsentrasi
hingga dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Karena di era reformasi saat ini ada beberapa
perubahan yang terhadap konstitusi yang awal mulanya hanya satu pasal namun sekarang sudah
terdiri dari tiga pasal dengan sebelas ayat mulai dari Pasal 1812, 18A13, dan 18B14 .
Menurut Bagir Manan, penentuan luas sempitnya penyelenggaraan wewenang mengatur
dan mengurus urusan-urusan daerah ditentukan oleh faktor yang melingkupi hubungan
kekuasaan (gezagsverhouding) Pusat dan Daerah, yang antara lain mencakup: hubungan
kewenangan, hubungan keuangan, hubungan pengawasan, dan hubungan yang timbul dari
susunan organisasi pemerintahan di daerah.15 Terkait dengan itu hubungan kewenangan antara
pemerintah pusat dan daerah merupakan amanat konstitusi yang memerlukan bentuk
pengaturan dalam undang-undang tersendiri. Dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh Enny
Nurbaningsih bahwa kewenangan yang dimaksud ialah hak untuk melakukan sesuatu tindakan
dalam batas-batas tertentu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewenangan memilik arti yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan karena
merupakan dasar utama untuk setiap tindakan dan perbuatan hukum dari setiap tingkat
pemerintahan yang ada disuatu negara. Tanpa adanya dasar kewenangan yang sah, maka
berbagai tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap tingkat pemerintahan dapat
dikategori tindakan dan perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat juga
dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap asas pemerintahan yang baik.16 Sesuai dengan
konsep di atas hubungan kewenangan antara pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam
sistem negara kesatuan melahirkan konsep sentralisasi dan desentralisasi. Pengertian dari
sentralisasi merupakan adanya pemusatan semua kewenangan pemerintah pada pemerintah
Pusat. Sedangkan definisi desentralisasi menurut Bagir Manan adalah bentuk atau tindakan
memencarkan kekuasaan atau wewenang dari organisasi, jabatan atau pejabat.17 Hubungan
Pusat Daerah apabila ditelusuri, hal ini telah diteliti oleh Bagir Manan, latar belakang adanya
hubungan pusat dan daerah dikarenakan pada saat rancangan UUD susunan BPUPKI ada
keinginan untuk menjadikan pemerintah daerah berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
4. Otonomi daerah dalam konsepsi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan amanat
Pasal 18 ayat 1 UUD NRI 1945, bahwa susunan pemerintahan Indonesia terbagi atas
pemerintah dan pemerintah daerah, dimana pemerintah daerah menjalankan rumah tangganya
sendiri berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Urusan
yang dijalankan pemerintah daerah sebagai upaya pelaksanaan otonomi daerah, tentu
dijalankan secara hirarkhis dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
diatasnya. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, desentralisasi diselenggarakan dengan pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada
daerah untuk mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Pemberian otonomi yang luas-seluasnya kepada daerah antara lain dimaksudkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peranserta masyarakat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula
prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, dengan pengertian bahwa penanganan
urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban sesuai dengan
potensi dan kekhasan daerah dalam rangka memberdayakan daerah dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. 1 titik temu dasarnya adalah upaya untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakat daerah. Pembanguann di daerah tidak terlepas dari tiga peran besar yang menjadi
dasar implementasinya, yaitu
Ketiganya merupakan dasar utama dari kemajuan masyarakat daerah. Peran pemerintah
sebagai pemangku kebijakan dan memberikan pelayanan publik, peran swasta adalah
pendorong ekonomi masyarakat melalui dunia usaha yang membutuhkan berbagai macama
kebijakan dan pelayanan publik agar kegiatan bisnis dapat berjalan dan peran besar
masyarakat adalah ikut serta dalam segala macam pembangunan. Dengan ketiga konsep ini,
maka pembangunan didaerah akan berjalan secara maksimal. Dalam kerangka otonomi daerah
saat ini, berdasarkan ketentuan pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945, bahwa pemerintah daerah
yang tersusun dari provinisi dan kabupaten/kota menjalankan urusan rumah tangganya sendiri.
Dengan konsep dasar tersebut, maka pemerintah daerah dituntut untuk mampu mengelola
sumber daya dan memberikan pelayanan secara maksimal. Konsep dasar dari adanya otonomi
daerah, pada dasarnya upaya untuk memperpendek proses pelayanan publik, karena dengan
adanya otonomi daerah, maka peran sentral pemerintah sudah mulai berkurang, dan urusan-
urusan diberikan sebagain kepada pemerintah daerah. Penguatan pelayanan publik dalam
otonomi daerah, maka disipakan perangkat penguatan pelayanan public, yaitu keberadaan
lembaga Ombudsmen RI, dimana berfungsi sebagai lembaga untuk menyelesaikan
problematika pelayanan public termasuk di daerah, karena pada setiap provinsi terbentuk
lembaga Ombdusmen provinsi.
Memberikan kepastian bagi masyarakat dalam bidang pelayanan, maka tidak dapat terlepas
dari konsep Negara hukum. Setiap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah baik pemerintah
pusat atau pemerintah daerah, maka harus memiliki dasar regulasi sebagai tonggak dalam
menjalankan pelayanan publik kepada masyarakat. oleh karena itu, peran Negara hukum
diperlukan untuk memaksimalkan pelayanan public terhadap masyarakat. Konsep negara
hukum modern menjadi suatu keharusan sebagaimana dikatakan oleh FJ. Stahl dalam
konsepsinya mengenai negara hukum yaitu : “Negara harus menjadi negara hukum, itulah
semboyan dan sebenarnya juga menjadi daya pendorong perkembangan pada zaman baru ini.
Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-batas kegiatannya
sebagaimana lingkungan (suasana) kebebasan warga negara menurut hukum itu dan harus
menjamin suasana kebebasan itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau
memaksakan gagasan akhlak dari segi negara, juga langsung tidak lebih jauh daripada
seharusnya menurut suasana hukum”.6 Dari dimensi pemerintahan, dapat dikatakan bahwa
Pemda memiliki peran kuat dalam penyediaan layanan publik (strong local government). Hal
ini dapat dipastikan dari berbagai indikator, seperti luasnya fungsi yang diemban daerah
karena menganut general competence principle. Indikator lainnya adalah cara penyediaan
layanan publik yang bersifat positif, atau kuatnya inisiatif pemerintah dalam penyediaan
layanan publik. Indikator berikutnya adalah derajat otonomi yang kuat, ditandai dengan
adanya hak untuk mengatur dan mengurus sendiri setiap fungsi yang diemban. Sedangkan
Indikator terakhir adalah derajat kontrol pemerintah pusat yang rendah, karena menggunakan
cara represif. Ditinjau dari dimensi politik, dapat diketahui bahwa penyelenggaraan demokrasi
dalam pemerintahan di daerah, mempergunakan cara demokrasi perwakilan. Ini mengandung
arti bahwa penyelenggaraan pemerintahan secara intensif tidak dijalankan secara langsung
oleh masyarakat sebagai stakeholder utama pemerintahan daerah, tetapi dijalankan wakil
masyarakat yang dipilih setiap lima tahun sekali. Wakil masyarakat ini terdiri dari dua organ,
yakni wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan tugas utama menjalan hak
mengatur daerah (policy making); dan wakil rakyat yang duduk sebagai Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah yang tugas utamanya mengatur dan mengurus. Mengurus berarti
memimpin perangkat daerah untuk menjalankan kebijakan yang sudah dibuat.7 Ciri-ciri
pembangunan daerah yang memanfaatkan kewenangan otonomi dapat di identifikasi ke dalam
beberapa hal, antara lain :8 a. Bahwa pembangunan itu berasal dari ide, aspirasi dan inspirasi
masyarakat yang dicetuskan melalui lembaga-lembaga legislatif setempat, sebagai aspek
politis. b. Bahwa pembangunan direncanakan secara relatif tepat dengan kebutuhan dan
potensi daerah, yang umumnya untuk jangka waktu sedang dan pendek. c. Proses
pembangunan akan benyak berorientasi dengan mekanisme kedaerahan, baik secara fisik
maupun secara sosial budaya. Menurut Josep Riwu Kaho, bahwa suatu daerah disebut daerah
otonom apabila memiliki atribut sebagai berikut : a. Mempunyai urusan tertentu yang disebut
urusan rumah tangga daerah; urusan rumah tangga daerah ini merupakan urusan yang
diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; b. Urusan rumah tangga daerah itu
diatur dan diurus/diselenggararak atas inisiatif/parakarsa dan kebijaksanaan daerah itu sendiri;
c. Untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah tersebut, maka daerah
memerlukan aparatur sendiri yang terpisah dari aparatur pemerintah pusat, yang mampu untuk
menyelengarakan urusan rumah tangga daerahnya; d. Mempunyai sumber keuangan sendiri
yang dapat menghasilkan pendapatan yang cukup bagi daerah, agar dapat membiayai segala
kegiatan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangga daerahnya.9 Menurut Fisher
yang dikutip oleh Alamsyah mengkategorikan pelayanan publik ke dalam beberapa kelompok,
antara lain : 1. Pelayanan yang dibutuhkan untuk mengembangkan, menginformasikan, dan
memproteksi individu (misalnya, pendidikan, kesehatan, dan keamanan). 2. Pelayanan yang
mendukung dan mendorong perkembangan sektor swasta (misalnya, infrastruktur jalan,
regulasi, energi). 3. Pelayanan dan mendukung dan mendorong infrastruktur kebudayaan
(misalnya, jasa penyiaran, festival budaya). 4. Pelayanan yang terkait dengan redistribusi
kesejahteraan (misalnya, pelayanan pajak, jaminan sosial).10 Sejauh ini Pemerintah Pusat
telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pelayanan organisasi pemerintah. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
mewajibkan kepada para penyelenggara pelayanan untuk menyusun dan menetapkan standar
pelayanan. PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal memberikan pedoman kepada Menteri/Pimpinan Lembaga Non-
Departemen untuk menyusun standar pelayanan minimal dan penerapannya oleh
pemerintahan daerah. Permendagri No. 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan
dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal memberikan acuan kepada Menteri/Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non-Departemen dalam menyusun dan menetapkan SPM sesuai lingkup
tugas dan-fungsinya sehingga kemudian dapat diterapkan oleh Pemerintahan Daerah Provinsi
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Kepmenpan No. KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang
Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi
Pemerintah yang selain dimaksudkan sebagai acuan untuk mengetahui tingkat kinerja masing-
masing unit pelayanan instansi pemerintah, juga diharapkan dapat memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk menilai secara obyektif dan periodik terhadap perkembangan
kinerja unit pelayanan publik.11 Standar pelayanan public sebagai batasan-batasan untuk
memenntukan pelayanan public bagi masyarakat, sehingga dengan standar pelayanan public
tersebut, maka diharapkan akan memperjelas arah pelayanan pemerintah terhadap masyarakat.
Keberadaan pedoman umum untuk menyusun indeks kepuasaan masyarakat adalah bagian
dari upaya untuk menciptakan objektifitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat,
terutama dalam kerangkan otonomi daerah. amanat konstitusi dan UU No. 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah yang telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk
menjalankan urusannya pemerintahan daerah secara mendiri, menunjukan bahwa daerah
dituntut untuk mampu mengembangkan kapasitas daerah, sehingga orientasi pembangunan
daerah dapat dilakanskana secara maksimal oleh pemerintah daerah. Nilai-nilai otonomi
daerah yang ditansformasi kedalam kewenangan daerah menjadi landasan bagi pemerintah
daerah untuk membangun sistem dalam pemerintahan daerah yang berlandaskan kepada
sistem pemerintahan daerah yang beroreantasi kepada pelayanan publik (public service).
Pelayanan publik sebagai bagian dari upaya untuk menciptakan good gavernance, maka perlu
adanya sistem yang terpadu, sehingga sistem tersebut dapat memberikan pelayanan yang
bersifat maksimal terhadap masyarakat didasarkan kepada standar-standar pelayanan minimal
sesuai dengan amanat UU Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik dan PP Nomor 96
tahun 2012 tentang pelaksanaan Undang-Undang No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Dalam ketentuan Undang Undang No 25 tahun 2009 tentang Standar pelayanan, komponen
yang terdapat dalam standar palayanan minimum adalah: 1. Dasar hukum, 2. Persyaratan, 3.
Sistem, mekanisme, prosedur; 4. Jangka waktu penyelesaian; 5. Biaya/tarif; 6. Produk
layanan; 7. Sarana, prasarana, dan/atau fasilitas; 8. Kompetensi pelaksana; 9. Pengawasan
internal; 10. Penanganan pengaduan, sarana, dan masukan; 11. Jumlah pelaksana; 12. Jaminan
pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar
pelayanan; 13. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk
memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan resiko keragu raguan; dan 14. Evaluasi kinerja
pelaksana komponen-komponen tersebut memberikan batasan yang menjadi dasar dalam
memberikan pelayanan publik kepada masyarakat, sehingga pelayanan tersebut dapat bersifat
maksimal terhadap masyarakat.
Pelayanan publik merupakan bagian yang utama dalam pembangunan dan peningkatan
kesejahteraan, standar pelayanan public harus dibangun dalam kerangka otonomi daerah, oleh
karena itu penyusunan standar pelayanan publik di daerah harus dirumuskan oleh seluruh
steakholder sehingga dengan merumuskan standar pelayanan publik dengan menggunakan
inovasi-inovasi pelayanan publik seperti dengan cara menggunakan one get service atau
weekend service merupakan bagian dari pembangunan sistem pelayanan yang berorintasi
kepada nilai-nilai pelayanan pablik. Pemerintah daerah sebagai bagian dari pemerintahan
Indonesia, diberikan kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri, kewenangan
tersebut adalah amanat konstitusi dan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Oleh karena itu, maka sebagai pemerintahan yang menyelenggarakan urusan rumah tangganya
sendiri, pemerintah daerah memeiliki kewajiban untuk membangun sistem pelayanan pada
tingkat daerah, dengan asumsi dasar kepada UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Standar
Pelayanan Publik. Selain itu, dalam rangka untuk meningkatkan pelayanan public dan
membangun sistem pengawasan terhadap perlayanan public, maka eksistensi Ombdusmen RI
pada tingkat wilayah perlu disinergikan sebagai upaya untuk memperkuat tingkat pelayanan
public yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

Anda mungkin juga menyukai