Anda di halaman 1dari 21

Teori Identitas Sosial

melihat bahwa individu cenderung mendefinisikan diri untuk memperluas dan mengembangkan diri
dalam kelompok sosial dan cenderung untuk mencari identitas sosial yang positif.

Identitas sosial ini terdiri dari seluruh aspek dari citra diri individu yang berasal dari kategori sosial
dimana individu tersebut dikategorikan dan juga nilai dan emosi yang menggambarkan keanggotaan
individu tersebut dalam kelompok.

Identitas sosial yang positif cenderung ditingkatkan dengan cara membandingkan kelompoknya dengan
kelompok lain untuk membangun nilai positif yang membedakan dengan kelompok lain. Teori identitas
sosial menekankan bahwa perbandingan yang positif (perbedaan antar kelompok terlihat lebih memihak
kepada kelompok sendiri, atau kelompok sendiri terlihat lebih baik ketika dibandingkan dengan yang
lain) akan menghasilkan identitas sosial yang memuaskan, namun ketika perbandingannya negatif
(kelompok lain terlihat lebih baik dari kelompok sendiri) hal ini akan menghasilkan identitas yang tidak
memuaskan.

MEMBANGUN BUDAYA DAMAI BERKESINAMBUNGAN:


PENDEKATAN TEORI IDENTITAS SOSIAL, ETNOSENTRISME DAN PSIKOLOGI
KOMUNITAS DI POSO, SULAWESI TENGAH
(BUILDING A CONTINUOUS PEACE CULTURE: SOCIAL IDENTITY THEORY,
ETHNOCENTRISM AND COMMUNITY PSYCHOLOGY APPROACHES IN POSO,
CENTRAL SULAWESI)
Setiawati Intan Savitri
Mahasiswa Magister Sains
Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada

Jurnal Psikologi Indonesia


2008, No. 1, 22-30, ISSN. 0853-3098

Dinamika identitas sosial lebih lanjut, ditetapkan secara lebih sistematis oleh Tajfel dan Turner pada
tahun 1979. Mereka membedakan tiga proses dasar terbentuknya identitas sosial, yaitu social
identification, social categorization, dan social comparison.

Saturday, May 16, 2015


TEORI SOSIOLOGI MODERN PETER M. BLAU
TEORI SOSIOLOGI MODERN
PETER M. BLAU
Anggota Kelompok 8 :
Bethari Estining Pawestri                 ( D0313014 )
Rani Pangesti Sipasi                ( D0313058 )
Widia Lestari                           ( D0313080 )
Winda Putri Cahayani             ( D0313082 )

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015

A. Biografi Peter M. Blau


Foto Peter M. Blau
Peter Blau lahir di Wina, Austria, pada 7 Februari 1918. Dia berimigrasi ke
Amerika Serikat pada 1939 dan menjadi warga negara Amerika Serikat pada 1943.
Pada 1942 dia menerima gelar sarjana muda dari Elmhurst College yang tidak banyak
dikenal di Elmhurst, Illinois. Kuliahnya disela oleh Perang Dunia II, dan dia bertugas di
pasukan Amerika Serikat dan diberi penghargaan Bintang Tembaga. Setelah perang,
dia kembali kuliah dan menyelesaikan pendidikannya dan menerima Ph.D. dari
Universitas Columbia pada 1952.
Blau pertama menerima pengakuan yang luas di bidang sosiologi karena
kontribusinya bagi studi organisasi-organisasi formal. Studi-studi empirisnya atas
organisasi dan juga buku-buku pelajaran yang ditulisnya mengenai organisasi-
organisasi formal masih dikutip secara luas di dalam subbidang itu, dan dia terus
bekerja sebagai kontributor reguler hingga wafatnya pada 2002. Dia juga memberi
catatan untuk sebuah buku yang dia karang bersama Otis Dudley Duncan, The
American Occupational Structure (1967), yang memenangkan Penghargaan Sorokin
yang bergengsi dari Asosiasi Sosiologis Amerika pada 1968. Karya itu merupakan
sumbangan yang sangat penting kepada studi sosiologis stratifikasi sosial.
Meskipun dia dikenal karena sederetan karya, perhatian kita disini ialah
sumbangan Blau kepada teori sosiologis. Hal yang khas tentang sumbangan itu ialah
bahwa Blau memberikan sumbangan-sumbangan penting kepada dua orientasi teoretis
yang berbeda. Bukunya 1964 Exchange and Power in Social Life adalah komponen
utama teori pertukaran kontemporer. Kontribusi utama Blau ialah mengambil teori
pertukaran berskala kecil yang utama dan berusaha menerapkannya kepada isu-isu
berskala besar. Meskipun hal itu mempunyai beberapa kelemahan yang mencolok, itu
merupakan usaha yang penting untuk memadukan secara teoritis isu-isu sosiologis
berskala besar dan berskala kecil. Blau juga berada di garis terdepan teori struktural.
Selama masa jabatannya sebagai Presiden Asosiasi Sosiologis Amerika (1973-1974)
dia membuat hal tersebut sebagai tema pertemuan tahunan asosiasi itu. Dia
menerbitkan sejumlah buku dan artikel yang dirancang untuk menjelaskan dan
memperluas teori struktural. Di antara karya-karyanya yang belakangan di wilayah itu
ada Structural Contexts of Opportunities (1994) dan edisi kedua Crosscutting Social
Circle (Blau dan Schwartz, 1997). Peter Blau wafat pada 12 Maret 2002.
B. Perbedaan Antara Teori Peter M. Blau dengan Teori George Homans
Dalam beberapa tulisan hasil karya Blau banyak ditemukan bahwa ide
pertukaran Blau merupakan reaksi atas gagasan yang sebelumnya telah dirumuskan
oleh George Homans pada Social Exchange. Blau dan Homans sama-sama berusaha
menekankan pentingnya sosiologi sebagai ilmu yang mengembangkan teori deduktif
yang lebih sistematis dan menghasilkan beberapa ramalan yang dapat diuji.
Ada dua hal dari Homans yang dikritisi Blau. Pertama, pertukaran yang selalu
diasumsikan simestris. Bagi Blau, tidak semua transaksi bersifat timbal balik. Transaksi
sosial sangat mungkin bersifat unilateral atau berpihak pada satu orang atau kelompok
tertentu, dimana prestise dan kekuasaan dibedakan karena ego menerima keuntungan
dari perubahan, tetapi tidak ada sumber daya yang mengubah keinginan untuk timbal
balik dan konsekuensinya, yang bersifat tergantung dan subordinat dalam
mengubahnya (Peter M. Blau dalam Social Exchange Theory, Karen S. Cook, 1987:
86). Pihak pertama membutuhkan pertolongan pada pihak kedua yang mampu
memberikan bantuan, tetapi hubungan semacam ini dianggap oleh Blau bukanlah
hubungan timbal balik. Blau menyatakan bahwa “sementara yang lain dapat diganjar
dengan cara yang memadai melalui pengungkapan kepuasaan karena telah
menolongnya, maka pihak yang ditolong itu tidak harus memaksa dirinya dan
menghabiskan waktunya untuk membalas pertolongan dari penolongnya”. Berbeda
dengan Homans, yang melihat bahwa tidak ada alasan untuk tidak membalas atas
pertolongan nasehat dan penghargaannya, Blau lebih menekankan pada adanya
perbedaan yang mendasar antara jenis dua bentuk pertukaran, yakni dunia mikro dan
dunia makro yang kemudian menggarisbawahi bahwa ketidakseimbangan kekuasaan
yang akan menyebabkan adanya perbedaan pembagian tugas nampaknya memang
harus ada. Misalnya jika pihak pertama membutuhkan jasa pihak kedua, proses
pertukaran dalam konteks ini akan menimbulkan adanya perbedaan kekuasaan. Pihak
kedua bisa memerintah karena ia menguasai sumber dan jasa yang dibutuhkan oleh
pihak pertama dan pihak pertama akan patuh karena ia membutuhkan sumber-sumber
tersebut. Apa yang dituntut pihak kedua hendaknya sebanding dengan apa yang ia
berikan kepada pihak pertama dan jika tuntutan pihak kedua berlebihan terhadap pihak
pertama maka timbul adanya suatu perasaan dieksploitasi dan perasaan bahwa apa
yang dipersembahkan oleh pihak pertama melebihi daripada ganjaran yang telah
ditentukan kepadanya. Inilah merupakan dasar dari norma-norma sosial di mana para
bawahan itu mengevaluasi tuntutan atas mereka. jika tuntutan itu jujur, maka mereka
akan memberikan kesepakatan dan menunjukkan adanya penghargaan. Sebaliknya
jika tuntutan itu tidak jujur dan bawahan merasa diekspoitasi maka mereka akan
menunjukkan penghinaan. Dengan lahirnya suatu pertentangan ini, maka menurut Blau
akan mendorong adanya ideologi oposisi dan akan mengembangkan gerakan-gerakan
oposisi yakni orang-orang yang mengorganisasikan suatu persatuan untuk menentang
majikan mereka atau lahir suatu partai revolusioner yang menentang pemerintahan
mereka (Irving M. Zeitlin, 1995: 121-123).
Kedua, pendekatan Homans bisa dikatakan terlalu mikro, karena mendekati
kajian psikologi. Bagi Blau, sosiologi harus kembali kepada jati diri kajian makro bukan
fenomena mikro, sosiologi harus mengkaji kembali konsep-konsep seperti posisi sosial,
struktur sosial, dan birokrasi. Menurut Blau, keterjebakan sosiologi pada kajian-kajian
mikro nantinya justru akan berakibat “buruk”, yakni hampir saja dikatakan sama dengan
psikologi (20 tokoh : 267).
Namun, Blau sepakat dengan Homans, bahwa orang tidak dapat secara
sederhana membuat generalisasi dari dunia sosial mikro ke dunia makro (Irving M.
Zeitlin, 1995: 119). Blau setuju dengan Homans yang menyatakan pentingnya sosiologi
untuk mengembangkan teori deduktif yang lebih sistematis. Blau tidak menghapus
asumsi pertukaran yang dirintis oleh Homans, karena ia tetap menyetujui dasar-dasar
pertukaran yang berlaku dalam kehidupan sosial (20 tokoh : 267). Blau mengikuti
dasar-dasar konsep Homans tentang asosiasi sosial sebagai suatu aktivitas pertukaran
baik yang nampak maupun yang tidak nampak, baik yang lebih mengeluarkan ongkos
dan ganjaran maupun yang kurang mengeluarkannya. Blau memberikan tekanan yang
berbeda, pertukaran itu bukan menempatkan pada batasan hubungan individu-individu,
tetapi juga melahirkan adanya posisi kaum atas dan posisi kaum bawah. Blau
menyatakan bahwa seseorang akan memberikan ganjaran terhadap orang lain yang
mematuhinya. Untuk menguatkan hubungan itu yang kedua hendaknya melengkapi
keuntungan kepada pihak pertama sebagai balasannya (Irving M. Zeitlin, 1995: 124-
125).
Berbeda dengan Homans, Blau lebih memperhatikan pada perangkat-perangkat
dimensi kekuasaan di dalam pertukaran sosial. Transaksi dan kekuasaan adalah akibat
dari pertukaran yang membentuk tekanan sosial sehingga harus dipelajari dari dimensi
pertukaran itu sendiri, dan bukan hanya dari sudut pandang nilai dan konteks normatif
sehingga dapat membatasi atau menguatkan studi tersebut. Ketika seorang
menggunakan kekuasaannya terhadap orang lain, maka apapun bentuk kepuasannya
berarti ia telah menekan dan menarik ongkos dari yang lain, yakni orang yang dibebani
kekuasaan tersebut. Hal ini tidaklah berarti bahwa hubungan sosial itu tidak harus
dalam permainan yang seri, tetapi kekuasaan itu berarti bahwa walaupun setiap
individu dapat memperoleh keuntungan dari perkumpulan mereka, mereka tidak
memperoleh keuntungan yang sama. Beberapa individu mungkin mendapatkan
keuntungan yang lebih dibandingkan dengan individu yang lain, sebagaimana beberapa
individu mengeluarkan ongkos yang lebih dibandingkan dengan individu yang lainnya.
Blau menyatakan denga adanya tarik menarik secara mendasar di antara orang-orang
tersebut, maka akan mengakibatkan adanya pertukaran sosial. Dengan menggunakan
paradigma duaan sebagaimana yang kita temukan dalam karya Homans, Blau tertarik
persoalan adanya ketimpangan kekuasaan. Ketimpangan kekuasaan ini juga
merupakan karakteristik pertukaran yang diuji oleh Homans (Irving M. Zeitlin, 1995:
121).
C. Pertukaran dan Kekuasaan Dalam Karya Peter M. Blau
1.      Nilai-nilai, Norma-norma, dan Kepentingan dalam Pertukaran Sosial
Adanya pertanyaan mengenai bagaimana terjadinya pertukaran sosial, Alvin
Gouldner menyatakan bahwa norma hubungan timbal balik ini bukan hanya bersifat
mempertahankan atau mekanisme stabil tetapi juga mengandung suatu pengertian apa
yang disebut dengan mekanisme awal, hal inilah yang menolong untuk memahami
karakter interaksi sosial. Tetapi Blau tidak sependapat dengan apa yang dikemukakan
oleh Alvin Gouldner. Blau memiliki pandangan yaitu bahwa mekanisme pola yang
mendasar dari interaksi sosial itu haruslah ditemukan di dalam kondisi dari pertukaran
dan bukan dalam norma hubungan timbal balik. Blau menekankan adanya kepentingan
diri dari pada norma-norma moral, dimana kepentingan diri itu merupakan kondisi yang
diperlukan dalam pertukaran.
2.      Kekuasaan dan Diferensiasinya
Pengertian kekuasaan disini adalah kemampuan untuk menekan kepatuhan melalui
sangsi-sangsi tindakan negatif. Kekuasaan itu merupakan suatu hal yang secara
inheren bersifat hubungan sepihak yang terletak pada jaringan kemampuan seseorang
untuk mempertahankan ganjaran dn menggunakan hukuman terhadap yang lain.
Sumber kekuasaan bersifat ketergantungan yang sepihak. Sebab saling
ketergantungan dan saling memiliki pengaruh terhadap kekuatan yang sama
menunjukan adanya kelemahan kekuasaan tersebut.
3.      Alternatif Terhadap Kepatuhan
Dalam buku Richard M Emerson, Blau menyatakan ada empat kemungkinan yang
logis di mana individu dapat menjauhi kepatuhan ini:
-          Ia dapat memperoleh pelayanan yang sama sehingga dengan demikian hubungan
dengan yang lainnya masih merupakan hubungan timbal balik yang sama.
-          Ia dapat memperoleh pelayanan yang sama di mana-mana.
-          Ia dapat menekan yang lain untuk memberikan pelayanan, hal ini merupakan hasil
dari dominasinya terhadap yang lain.
-          Ia bekerja tanpa mengharapkan pelayanan seperti itu atau ia menemukan beberapa
penggantinya.
Jika keempat alternatif ini tidak ada, maka individu ini tidak memiliki pilihan lain
kecuali ia harus tunduk, hal tersebut dikarenakan pihak yang mengontrol pelayanan
yang dibutuhkan itu telah mampu membuat prasyarat untuk patuh. Adanya empat
alternatif ini akan menciptakan suatu kondisi kemandirian sosial, karena dengan adanya
empat alternatif tersebut maka individu-individu akan mampu menjauhi bentuk
ketergantungan pelayanan yang lainnya.
Yang diinginkan disini yaitu bahwa siapa yang menginginkan untuk dapat
melaksanakan dan menjaga kekusaan maka haruslah mengambil suatu strategi
tertentu. Disinilah dapat timbulnya konflik kepentingan antara mereka yang mencoba
untuk mendominasi dengan mereka yang mencari kebebasan konflik kepentingan yang
ada di dalam masyarakat secara umum memiliki suatu asumsi bentuk-bentuk ideologis,
ekonomi, politik, dan hukum.
4.      Kepemimpinan dan Kekuasaan dalam Organisasi Formal
Sesuai dengan pendapat Blau tentang adanya perbedaan yang mendasar antara
jenis dua bentuk pertukaran yang akan menyebabkan adanya perbedaan pembagian
tugas.
Seorang manager akan menambah kekuasaannya dengan cara mempengaruhi
pribadi para bawahan. Pengaruh atasan terhadap individu yang merasa mempunyai
hutang pribadi biasanya masih belum dapat melegitimasi otoritasnya. Otoritas itu, kata
Blau, akan muncul hanya ketika nilai secara kolektif melegitimasi kekuasaan manager
tersebut (Irving M. Zeitlin, 1995: 134). Manager yang dianggap jujur dan mendukung
kesejahteraan bawahannya maka tentu saja membuat bawahannya akan selalu
melaksanakan perintah-perintah dan tunduk kepada manager tersebut sehingga akan
menimbulkan suatu norma sosial yang akan melegitimasi otoritas manajerial tersebut.
Hal tersebut adalah suatu bentuk manipulasi untuk mengefektifkan kepatuhan dan
mengurangi oposisi, sehingga membuat kewajiban dan operasi organisasi tersebut
lebih lancar tanpa mengurangi ongkos.
5.      Pembeda Kognitif
Untuk dapat menjelaskan bagaimana pihak yang diperintah ini merasionalisasikan
kebutuhan mereka, Blau menggunakan konsep “pembeda kognitif” dari Leon Festinger.
Pengertian pembeda kognitif merujuk pada suatu situasi di mana individu dihadapkan
pada beberapa alternatif yang tarik menarik. Dalam hal ini individu diharuskan untuk
memilih meskipun individu tersebut masih ragu dengan pilihannya itu. Teori ini beserta
dengan konsepnya menyatakan bahwa dengan adanya kesulitan kognitif, maka individu
tersebut akan berjuang untuk mengurangi kesulitannya dengan cara menaikkan
pilihannya dan merendahkan yang bukan pilihannya.
Jika melihat kembali pada hubungan antara manajer dengan pekerjanya, Blau
menyatakan bahwa pembeda kognitif ini hanya akan dialami oleh para pekerja disaat
mereka memiliki rasa tanggung jawab untuk mematuhi perintah-perintah dari manajer.
Pembeda kognitif tidak akan terjadi pada saat pekerja tunduk pada perintah manajer.
Tunduknya para pekerja tersebut akibat adanya rasa takut terhadap sanksi-sanksi yang
akan diterima apabila mereka tidak patuh terhadap perintahnya.
Versi pembeda kognitif Blau menyatakan bahwa keraguan itu hanya akan muncul
disaat para pekerja merasakan adanya beberapa jasa yang diberikan oleh pihak
penguasa. Jika para penguasa ini tidak menggunakan jabatannya untuk melaksanakan
kehendaknya, maka pihak yang diperintah akan merasa memiliki suatu kewajiban dan
akan mematuhi pihak penguasa sepenuhnya. Tetapi haruskah keraguan itu muncul
pada saat mereka merasakan adanya pemberian jasa dari pihak penguasa, kemudian
mereka menjadikan keraguan itu melebur ke dalam suatu kepatuhan dan
menyenangkan diri mereka sendiri melalui rasionalisasi bahwa hal ini memang benar,
dan bukan sebaliknya.
Bahkan disaat dia memfokuskan kepada kekuasaan pemimpin formal atas orang
lain, seperti kekuasaan yang dimiliki oleh manajer, ternyata ia tidak menggali
mekanisme hubungan dominasi akan tetapi hanya dengan membandingan dengan
permasalahan yang ada pada pemimpin non-formal. Pemimpin non-formal harus
menggantungkan kepada kualitas-kualitas mereka sendiri untuk memerintahkan
pengikutnya sesuai dengan keinginannya
6.      Eksploitasi
Menurut Blau, “oposisi terhadap kekuasaan itu muncul, ketika mereka yang
diperintah merasakan adanya eksploitasi dan penekanan”. Jika seseorang berkuasa
maka ia memiliki kemampuan untuk memaksa bawahannya dan memanfaatkan
kekuasaannya. Selanjutnya Blau menyatakan bahwa definisi norma sosial itu
tergantung atas apakah permintaan yang dibuat oleh penguasa itu jujur dan adil atau
apakah permintaan itu terlalu berlebihan dibandingkan dengan jasa yang diberikan
sehingga penguasa mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan menggunakan
kekuasaannya. Pemaksaan secara berlebihan yang tidak menawarkan adanya
keuntungan akan selalu ditolak bahkan ditentang. Jadi pihak yang dikontrol oleh
kekuasaan dan mendapatkan pelayanan, tidak selalu berada pada posisi yang tidak
diuntungkan meskipun terkadang memang berada pada posisi yang tidak diuntungkan
(Irving M. Zeitlin, 1995: 140).
Eksploitasi ini sendiri terjadi apabila para penguasa sudah mengabaikan norma-
norma sosial dan munculnya ketidakkejujuran penguasa kepada bawahannya.
Perasaan balas dendam, kemarahan, merupakan awal dari kecenderungan adanya
perasaan ditekan.
Permasalahan pokok konsep eksploitasi Blau ini adalah terlalu subjektif. Sebab
untuk mengetahui apakah dan dalam tingkat yang bagaimana mereka itu telah
dieskploitasi, maka pihak yang diperintah harus merasakan secara subjektif terhadap
pelayanan pihak penguasa dengan membandingkan porsi ganjaran yang diberikan
kepada pihak penguasa dengan porsi ganjaran yang diberikan oleh pihak penguasa
kepada bawahannya (Irving M. Zeitlin, 1995: 142).
7.      Peranan Nilai-nilai dalam Struktur yang Kompleks
Blau menekankan bahwa analisa hubungan sosial yang memadai haruslah
memberikan perhatian terhadap pola-pola kekuasaan, pelapisan dan bagaimana pola-
pola semacam ini dipengaruhi oleh mobilitas dan oposisi. Dengan pengertian semacam
ini maka legitimasi nilai hanya merupakan suatu dimensi dari struktur makro. Oleh
karena itu jika terdapat analisa yang memfokuskan pada nilai-nilai masyarakat, maka
analisa tersebut bersifat sepihak dan tidak efektif sebab mengabaikan mobilitas dan
oposisi.
Nilai-nilai umum cenderung melegitimasi dan membuat stabil hubungan-hubungan
sosial yang ada. “Bahkan nilai-nilai dan norma-norma itu digunakan sebagai media
pertukaran yang sekaligus akan memperluas arah interaksi sosial dan hubungan
struktur sosial itu melalui ruang dan waktu sosial itu sendiri”. Ketika nilai-nilai umum itu
telah melegitimasi dan menjembatani pola-pola secara normatif, maka dapat dinyatakan
bahwa norma-norma itu telah dilembagakan, dan akan dilangsungkan oleh suatu
generasi pada beberapa abad yang lampau maupun yang akan datang, jika terdapat
tiga hal yaitu:
a.      Adanya pemindahan prinsip-prinsip organisasi dan tatanan formal itu secara historis,
misalnya hukum, struktur kerja sama, dogma serta ritual keagamaan tertentu,
b.      Pemindahan nilai-nilai legitimasi secara umum dari satu generasi ke generasi
selanjutnya melalui sosialisasi, dan
c.       Identifikasi kelompok-kelompok dominan yang ada dalam masyarakat yang telah
memiliki legitimasi nilai dan telah menggunakan kekuasaan itu untuk menjaga
kelembagaan yang mereka perlukan. Oleh karna itu kelembagaan sosial itu memiliki
akar struktur kekuasaan dan memiliki akar kesejarahan yang lebih mendalam pada
masa yang lampa”.
D. Teori Pertukaran Peter M. Blau : Munculnya Struktur Makro Dari
Pertukaran Sosial Dasar
Perspektif teori pertukaran Blau penting bagi kita karena secara eksplisit dia
memperlihatkan saling ketergantungan antara pertukaran sosial di tingkat mikro (seperti
pertukaran langsung tatap-muka yang dibicarakan oleh Homans) dan munculnya
srtuktur sosial yang lebih besar atau makro. Kebanyakan penyajian sistematis
mengenai teori pertukarannya diberikan dalam bukunya, Exchange and Power in Sosial
Life.
Tidak seperti Homans, Blau tidak memusatkan perhatiannya pada proses
psikologi dasar seperti dukungan dan sebagainya. Meskipun “proses-proses psikologi
yang sangat dasar” (primitive psychological processe) yang melandasi hubungan sosial,
perhatiannya adalah pada struktur asosiasi yang muncul dan transaksi pertukaran.
Singkatnya, kalau Homans adalah seorang reduksionis yang mau menjelaskan perilaku
sosial menurut proses-proses psikologi dasar, Blau berusaha memperlihatkan bahawa
proses pertukaran dasar itu melahirkan gejala yang munculdalam bentuk struktur sosial
yang lebih kompleks. Jadi teori Blau memperlihatkan suatu tradisi ideal dari tingkat
mikro ke makro.
Blau tidak mengemukakan bahwa prinsip-prinsip teori pertukaran menjelaskan
semua interaksi. Tetapi “pertukaran sosial yang dimaksudkan disini terbatas pada
tindakan-tindakan yang tergantung pada reaksi-reaksi penghargaan dari orang lain dan
yang  berhenti apabila reaksi-reaksi yang diharapkan ini tidak kunjung datang”. Dalam
model Blau, manusia tidak didorong hanya oleh kepentingan diri yang sempit. Seperti
Homans, Blau menekankan pentingnya dukungan sosial sebagai suatu imbalan.
Perilaku altruistik dapat didorong oleh keinginan untuk pujian sosial.
1.      Penghargaan Instrinsik dan Ekstrinsik
Hubungan sosial dapat dikelompokan ke dalam dua kategori umum yang didasarkan
pada apakah reward yang ditukarkan itu bersifat intrinsik atau
ekstrinsik. Reward yang intrinsik berasal dari hubungan itu sendiri, Sebaliknya,
hubungan ekstrinsik berfungsi sebagai alat dari suatu reward untuk hubungan itu
sendiri.
Ikatan sosial yang secara intrinsik mendatangkan penghargaan yang
dimanifestasikan dalam suatu persahabatan intim dan pertukaran ekonomi di pasaran
yang bersifat impersonal, menggambarkan perihal reward yang intrinsik dan ekstrinsik
yang bersifat ekstrem. Namun, perbedaan antara yang intrinsik dan ekstrinsik harus
dilihat dalam suatu continuum, dengan banyak sekali hubungan yng mencerminkan
campuran reward yang intrinsik dan ekstrinsik yang bermacam-macam.
Transformasi hubungan dari daya tarik ekstrinsik (termasuk perbandingan) ke daya
tarik intrinsik (dalam hal ini perbandingan tidak tepat lagi) akan paling jelas diterapkan
dalam hubungan dimana individu memiliki suatu tingkat kebebasan tertentu untuk
memilih dari antara beberapa alternative teman. Blau mengatakan “Seorang individu
merasa tertarik satu sama lain kalau dia mengharap kan sesuatu yang bermanfaat bagi
dia sendiri karena hubungan itu”. Tetapi untuk memperoleh reward itu, individu itu harus
merangsang orang lain untuk memberikannya. Rangsangan seperti itu diberikan
dengan menawarkan suatu reward. Dalam pertukaran sosial, tawaran akan
suatu reward itu tidak perlu dalam bentuk proses yang sadar. Sama halnya orang yang
sedang membina suatu persahabatanakan berusaha memperkuat persahabatan itu
dengan saling memberikan reward, dan dengan demikian meningkatkan kerelaan pihak
lain untuk memberikan reward  yang lebih bernilai tinggi.
Tetapi ada dilemma juga dalam usaha individu untuk menjadi menarik. Seseorang
yang menunjukkan mutu daya tarik atau daya kesan yang tidak biasa, mungkin
menghalangi kerelaan orang lain untuk masuk pada suatu hubungan karena
tingginya cost  yang mereka terima akan menjadi persyaratan. Salah satu cost nya
adalah nilainya, daripada pemberian apapun yang mungkin dapat diberikannnya
sebagai balasannya. Cost yang lain adalah subordinasi dalam status yang timbul
karena dia membandingkannya dengan status orang lain yang sangatb tinggi. Jadi,
ironisnya, kualitas yang membuat seseorang itu menjadi teman yang menarik
(kemampuan untuk memberikan penghargaan yang lebih tinggi) mungkin menghalangi
orang lain untuk berusaha meneggak kan hubungan dengan mana reward itu dapat
diperoleh. Pertukaran itu seimbang apabila reward dan cost yang ditukarkan kurang
lebih sama nilainya dalam jangka panjang kalau bukan dalam jangka pendek. Ikhtiar
untuk mempertahankan suatu keseimbangan yang memadai dalam transaksi
pertukaran mencerminkan “norma timbal-balik”. Norma timbal-balik ini bahwa
keuntungan yang diberikan kepada orang lain harus dibalas.
Usaha untuk menjelaskan bagaimana perbedaan kekuasaan itu muncul dari
pertukaran yang tidak seimbang, merupakan tema central dalam teori pertukaran Blau
dan merupakan transisi antara proses pertukaran di tingkat mikro dan struktur makro.
2.      Munculnya Struktur Kekuasaan Dari Pertukaran Tak Seimbang
Orang yang selalu menerima kemurahan hati secara sepihak harus menerima suatu
posisi subordinasi, paling tidak kalau dia mau mepertahankan hubungan itu. Menerima
suatu posisi subordinasi adalah mengakui utang seseorang dan ketergantungannya
pada kemurahan hati pihak lain; juga sama dengan menerima perasaan rendah diri
seseorang atau kurangnya daya tarik sebagai pasangan tukar-menukar dalam
perbandingannya dengan daya tarik seseorang yang murah hati yang jauh lebih besar.
Perbedaan status muncul sebagai akibat  dari perbedaan dalam transaksi pertukaran,
dengan status yang lebih tinggi pada mereka yang memberikan keuntungan lebih besar
yang tidak dapat dibalas oleh mereka yang menerima.
Pertukaran sosial muncul dari pertukaran yang tidak seimbang, orang yang
menerima pemberian secara sepihak wajib menyesuaikan dirinya dengan kemauan,
tuntutan, atau pengaruh dari mereka yang memberikan pertolongan kalau mau
mempertahankan hubungan dan terus menerima sesuatu.
a.      Strategi Untuk Memperoleh Kekuasaan dan Menghindarkan Subordinasi
            Dalam banyak hal, orang yang memiliki surplus akan sumber-sumber atau sifat-
sifat yang mampu memberikan reward, cenderung untuk menawarkan pelbagai
pelayanan atau hadiah secara sepihak. Dalam hal ini mereka dapat menikmati
sejumlah reward yang berhubungan dengan status nya yang tinggi akan kekuasaan
atas orang lain. Suatu strategi yang bisa dipakai untuk berusaha memperoleh
kekuasaan atas orang lain adalah memberikan sesuatu kepada mereka sebanyak-
banyaknya yang mereka butuhkan untuk memperlihatkan status yang tinggi dan untuk
membuat mereka berhutang kepada kita. Proses yang umum dalam kompetisi untuk
memperoleh status dan kekuasaan sering meliputi usaha-usaha
memberikan reward yang lebih banyak kepada pasangan pertukaran daripada yang
dapat diberikan orang lain.
            Seseorang yang tidak mau berada dalam posisi subordinasi melalui utang dan
ketergantungan pada orang lain, dapat menggunakan strategi menolak menerima
pelayanan atau pemberian yang tidak dapat dibalas dengan nilai yang kurang lebih
sama. Strategi untuk berbuat tanpa suatureward tertentu hanya merupakan salah satu
dari empat strategi yang diperlihatkan Blau, dengan mengikuti Emerson, untuk
menghindari utang dan subordinasi.
b.      Munculnya Struktur Kekuasaan Dalam Kelompok Tugas
            Proses yang sama dimana orang memperoleh kekuasaan dengan memberikan
pelayanan sepihak sebagai imbalan, juga berlaku untuk kelompok atau organisasi yang
lebih besar. Pada dasarnya, seperti dikemukakan Blau, percakapan yang tidak ada
ujung pangkalnya itu menyangkut persaingan dikalangan para anggota itu untuk
membuktikan bahwa dirinya cukup menarik (atau lebih menarik dari orang lain) bagi
orang lain dalam kelompok itu. Tetapi syarat mutlak untuk menjadi berkesan adalah
dengan mendapat perhatian dari orang lain. Jadi persaingan awalnya adalah
persaingan untuk memperoleh perhatian orang lain, atau lebih sederhananya,
persaingan untuk memperoleh kesempatan berbicara.
            Dari percakapan yang tidak ada ujung pangkalnya ini muncullah pola-pola
tertentu. Beberapa orang akan berhasil dalam usahanya untuk meperlihatka kualitasnya
yang mngesankan lebih besar dari pada orang lain. Kalau beberapa orang berhasil
dalam memperlihatkan kualitas yang mengesankan, mereka mungkin bersaing satu
sama lain untuk mendominasi kelompok itu. Pada waktu yang sama, mereka yang
kalah dalam perjuangan kompetitif untuk memperoleh status yang tinggi akan mulai
bersaing diantara mereka sendiri untuk saling menghargai dan mendapat perhatian
yang pantas dari mereka yang muncul dominan dalam kelompok itu. Akhirnya, satu
orang berhasil menonjol sebagi orang yang lebih mengesankan daripada siapapun
lainnya. Akibatnya, kepemimpinan muncul dari kemampuan pemimpin yang potensial
untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain dalam kelompok itu secara
sepihak atau untukmeyakinkan orang lain bahwa mengikuti usaha-usahanya yang
berpengaruh akan lebih mendapat  reward daripada alternative apapun lainnya.
c.       Stabilisasi Struktur Kekuasaan
            Tetapi kalau seorang pemimpin muncul, ada proses-proses tambahan yang
muncul yang menyumbang pada stabilisasi struktur kepemimpinan. Proses-proses ini
terdiri dari perkembangan nilai-nilai dan norma-norma bersama yang memberikan
legitimasi pada struktur kepemimpinan itu. Hasilnya adalah pemimpin itu dilihat sebagai
orang yang memiliki suatu hakuntuk menharapkan kepatuhan bawahannya, tanpa
melihat keuntungan tertentu apa pun yang mungkin diberikan sebagai imbalannya.
Posisi pemimpin itu menjadi salah satu otoritas, tidak sekadar kekuasaan atas sumber-
sumber yang dibutuhkan. Kalau hal ini terjadi, pemimpin itu akan mampu menuntut
ketaatan pun apabila ada suatu gangguan dalam memberikan reward kepada
bawahannya.
            Legitimasi suatu struktur kepemimpinan melalui nilai dan norma bersama sering
sangat penting dalam memudahkan suatu kelompok untuk menuju tujuan-tujuan
jangka-panjang. Kemajuan dalam bergerak menuju tujuan-tujuan jangka panjang sering
menuntut penundaan kepuasan sekarang ini. Seorang pemimpin yang usaha-usaha
pengaruhnya diperkuat oleh nilai dan norma kelompok akan mampu meyakin kan
anggota-anggota untuk mengeluarkan cost untuk mencapai tujuan jangka panjang
tanpa reward yang langsung apapun kecuali kepuasan internal dan kepercayaan sosial
yang merupakan hasil dari konformitas normatif. Bawahan itu sendiri  mungkin juga
memperkuat otoritas pemimpin itu dengan memberikan dukungan sosial pada satu
sama lain dalam komformitas mereka terhadap usaha-usaha pemimpin itu.
3.      Teori Pertukaran Tak Seimbang Ke Struktur Makro
      Munculnya suatu struktur kepemimpinan dari pertukaran tak-seimbang, dan menjadi
kuatnya struktur itu dengan melegetimasi nilai dan norma berarti bahwa pemimpin itu
berada dalam suatu posisi mengontrol dan mengkoordinasi tindakan-tindakan
bawahannya dalam mengembangkan suatu garis atau patokan bertindak dalam
kelompok itu. Luasnya pengontrolan ini akan mencerminkan luasnya ketergantungan
bawahan pada imbalan atau penghargaan yang berasal dari keanggotaan kelompok
dan komitmen mereka terhadap nilai dan norma yang memberikan legitimasi. Tetapi
dalam beberapa hal, perilaku bawahan tidak akan seluruhnya untuk kepentingan
mereka sendiri melainkan diarahkan ke tujuan yang sudah ditentukan oleh
pemimpinnya.
      Kalau ada dua kelompok atau lebih dimana didalamnya sudah muncul suatu
struktur kepemimpinan yang mapan, bagaimana kelompok-kelompok itu berinteraksi
satu sama lain sebagai satuan-satuan (andaikan bahwa hasilnya disepakati)? Dalam
tipe situasi ini, kelompok-kelompok itu, buakan individu-individu yang kebetulan
termasuk didalamnya, merupakan satuan-satuan interaksi. Selama kurun waktu
tertentu, mungkin ada pergantian dalam keanggotaan kelompok itu, meskipun demikian
garis tindakan dalam kelompok itu tetap dipertahankan. Meskipun kelompok itu dapat
bertindak hanya lewat anggota-anggotanya saja, mereka akan bertindak bukan sebagai
individu, tetapi sebagai anggota kelompok itu. Ini lah hakikat dasar bagi munculnya
struktur makro. Struktur makro, dalam definisi pokoknya, adalah suatu struktur yang
terbentuk dari kelompok-kelompok; sedangkan suatu struktur mikro hanya terdiri dari
individu-individu.
      Interaksi dan pola-pola pertukaran yang berkembang antara kelompok-kelompok,
dalam banyak hal sejajar dengan proses yang sama yang terjadi antara individu.
Kelompok-kelompok (atau lebih tepat, individu-individu yang sedang bertindak atas
nama kelompok) saling bersaing dalam mengembangkan strategi untuk tampil secara
menarik didepan mata calon-calon temannya (individu atau kelompok-kelompok lain).
Diluar Proses ini, transaksi pertukaran yang seimbang atau tak-seimbang akhirnya
muncul. Kalau pertukaran antara dua kelompok atau lebih bersifat seimbang, maka
hubungan saling ketergantungan yang timbal-balik akan ditegakkan. Kalau hubungan
pertukaran itu tak-seimbang, diferensiasi status dan kekuasaan akan muncul.
      Gambaran umum tentang suatu masyarakat kompleks yang besar yang terkandung
dalam model Blau adalah bahwa masyarakat itu terdiri dari suatu jaringan perserikatan-
perserikatan yang rumit, yang didasarkan pada transaksi-transaksi pertukaran;
beberapanya bersifat langsung dan banyak yang tidak langsung ; banyak dari transaksi-
transaksi itu memperlihatkan pelbagai tingkat ketidakseimbangan. Singkatnya,
masyarakat modern adalah seperti sarang lebah dengan pelbagai organisasi yang
tumpang tindih dan saling terjalin. Dalam hal dimana organisasi-organisasi ini mampu
bertindak bersama atau secara kolektif, dalam analisa akhirnya mereka tergantung
pada proses pertukaran, khususnya pertukaran tak-seimbang dengan menghasilkan
kekuasaan dan hubungan ketergantungan.
a.      Legitimasi Struktur Kekuasaan Versus Oposisi
      Legitimasi suatu struktur kekuasaan tidak menjamin bahwa para anggotanya akan
merasa puas terhadap pemimpin dan para para anggota juga belum tentu mau
mengikuti tuntutan pemimpin. Dalam jangka panjang, struktur kekuasaan dan otoritas
bergantung pada hasil perbandingan cost-reward yang menguntungkan tiap anggota.
Kalau cost reward menguntungkan sesuai harapan semua anggota  maka para anggota
kelompok itu akan cenderung menerima pemimpin itu sebagai orang yang jujur dan
terus mempertahankan pola pertukaran yang sudah ada. Tetapi kalau hasil cost reward
ini kurang menguntungkan, maka mungkin mereka akan marah dan melawan atau
menolak tuntutan pemimpin. Karena mereka merasa kecewa dengan imbalan yang
mereka terima. Hal ini akan mengakibatkan pembentukan gerakan oposisi dan dalam
kasus yang eksterm bisa merombak struktur kekuasaan yang ada.
      Kalau pemimpin menyatakan kekuasaannya dengan suatu cara mengubah cost-
reward bagi para anggota yang tidak menguntungkan, mereka cenderung menganggap
pemimpin itu tidak adil. Tidak setiap anggota yang tidak puas akan menjadi calon-calon
dalam gerakan oposisi. Beberapa dari para anggota mngkin akan berpindah dengan
kelompok lain. Tetapi jika pelaksanaan kekuasaan pemimpin itu cukup menekan,
jumlah bawahan yang akan bertambah semakin besar akan rela merancang strategi
melawan tuntutan pimpinan itu, menggantikan pemimpin atau menggubah struktur
kepemimpinan.
      Hubungan antara mekanisme legitimasi dan mekanisme oposisi dapat dilihat
sebagai satu konflik dialektis yang kurang lebih bersifat terus menerus. Munculnya
kepemimpinan yang kuat akan memunculkan gerakan oposisi secara terus menerus.
Kalau gerakan oposisi itu mampu membuat kemajuan dalam menghadapi keluhan atau
menggantikan struktur kepemimpinan maka hal ini akan memperkuat struktur yang
muncul itu.
      Dengan kata lain, apakah gerakan oposisi itu sungguh-sungguh berhasil atau tidak,
dapat berfungsi secara positif yang membantu merangsang  pembaharuan atau
perubahan nilai-nilai dan norma-norma yang ada atau bahkan melahirkan nilai dan
norma yang baru yang akan memberikan legitimasi pada hasil-hasil cost-reward bagi
bawahan.
b.      Proses Institusionalisasi Dalam Struktur Makro yang Besar
Kepercayaan akan nilai-nilai dan norma-norma abstrak, dalam melegitimasipola-
pola organisasi maupun gerakan-gerakan oposisi, mungkin jelas dalam sistem-sistem
kecil, tetapi proses ini jauh lebih berkembang dari sistem yang lebih berkembang dan
komplek. Proses-proses seperti itu mungkin tidak seberapa kritis dalam sistem-sistem
kecil karena ada kesempatan untuk merembukan secara langsung cost daan reward
yang ditukarkan. Jadi internalisasi akan nilai-nilai dan norma-norma yang cocok,
menjadi jauh lebih penting dalam membentuk perilaku dan pola interaksi daripada
persetujuan-persetujuan pertukaran yang dirembukkan untuk suatu tujuan tertentu.
Teori tekanan yang terpenting dalam teori Blau adalah semua sistem pertukaran
yang kecil, tetapi karakteristik itu sangat penting untuk pekerjaan rutin dalam sisitem
pertukaran yang besar. Komitmen terhadap nilai dan norma yang abstrak dapat
membantu menjamin perilaku yang patuh, meskipun tidak ada imbalan tentu dalam
jangka pendek. Dalam jangka panjang, reward tambahan yang lain untuk social
approval tadi, sangatlah penting, apabila kepatuhan itu jarang  dijumpai atau harganya
sangat mahal.
Blau membedakan 4 tipe nilai sosial yang terdapat dalam  transaksi sosial dalam
struktur yang kompleks yakni :

1.      Nilai partikularistik sebagai nilai solidaritas


Perbedaan antara nilai partikularistik dan universalistic dihubungkan dengan
Perbedaan antara intrinsic dan ekstrinsik. Imbalan instrinsik dihubungkan dengan satu
orang tertentu. Sedangkan imbalan ekstrinsik tidak dihubungkan demikian dan dapat
diperoleh dari pelbagai sumber alternative. Dengan suatu hubungan yang lebih besar
daripada hubungan tatapmuka, nilai-nilai partikulasi menciptakan perasaan-perasaan
solidaritas dan integrasi antara orang-orang yang memiliki sifat-sifat tertentu yang
sama. Sifat-sifat ini mencakup latar belakang rasial dan etnis, status pekerjaan yang
sama, agama yang sama, dan kepentingan bersama lainnya.

2.      Nilai universalistic sebagai media pertukaran


Nilai ini menjebatani pertukaran antara orang-orang yang tidak sama. Nilai-nilai
serupa itu harus dihadapkan menjadi lebih penting apabila pembagian kerja tambah
tinggi. Karena pertumbuhan dalam pembagian kerja menghasilkan heterogenitas. Nilai
ini mencakup suatu humanitas bersama yang dimiliki tidak hanya oleh pelbagai
kelompok heterogen dalam suatu masyarakat pluralistic tetapi oleh semua orang
dimana saja tanpa memandang bangsa atau latarbelakang budayanya
Misalnya : keinginan yang umunya terdapat dikalangan pemuda yang idealistic untuk
berkecimpung dalam dunia karir yang memberikan pelayanan kepada orang lain.
Merupakan satu menifestasi nilai-nilai universalistic.
3.      Diferensiasi  nilai-nilai organisasi sebagai media organisasi
4.      Ideal-ideal oposisi sebagai media reorganisasi
E. Contoh Kasus Teori Pertukaran Sosial Peter M. Blau
                        Peran Partai Politik dalam Pemilihan Kepala Daerah
Di Kabupaten Dumpu NTB
Melihat kasus masyarakat Kabupaten Dompu lima tahun silam
dalammenyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah. Pemilihan Umum Kepala
Daerah yang berlangsung pada bulan Juli 2010 itu adalah pesta demokrasi yang kedua
kali dilakukan oleh masyarakat kabupaten Dompu setelah dilaksanakannya pemilihan
kepala daerah yang berlangsung tahun 2005 lalu.
Sesuai dengan teori Blau dilihat dari  Pertukaran sosial antar individu dan kelompok
dalam politik. Pemilihan kepala daerah di kabupaten Dumpu di era demokratisasi saat
ini, untuk menjadi calon kepala daerah harus melalui partai politik. Individu sebagai
calon harus memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi politik dengan partai
politik. Hemat saya komunikasi politik adalah proses menuju pertukaran sosial (dalam
politik, pertukaran sosial diartikan sebagai dil politik).
“ Untuk mendapatkan dukungan partai politik si calon harus mengorbankan segala yang
dibutuhkan oleh partai politik itu. Calon harus membayar mahal partai politik. Ini terbukti
ketika saya maju sebagai calon kepala daerah tahun 2010 di Kabupaten Dompu. Saya
harus membayar tiga partai politik dengan harga yang cukup mahal. Jika tidak dibayar
mereka (partai politik-penulis) tidak mungkin mengusung saya sebagai calon kepala
daerah di Kabupaten Dompu tahun 2010 lalu. (Drs. H. Amin, salah satu calon bupati di
Kabupaten Dompu pada Pilkada 2010).
Bagi M. Blau pertukaran individu dan kelompok social tersebut berlaku konsep norma.
Konsep norma adalah aturan yang berlaku secara umum dalam pertukaran social.
Pada contoh kasus diatas, konsep norma itu tidak berlaku dalam dunia politik. Partai
politik yang melakukan koalisi dalam menyatukan kekuatan politik adalah fakta sosial
yang memperkuat argument M. Blau terkait peran nilai dalam kelopok social itu. Koalisi
partai politik ada aturan dan nilai sebagai ikatan politik mereka. Dengan itu koalisi akan
terjaga dari kepentingan individu yang ada didalam partai politik itu sendiri.

F. Kesimpulan
Blau menempatkan kekuasaan, dominasi dan konflik kepentingan sebagai pusat
analisanya. Hasil konsepnya tentang realitas sosial lebih bermanfaat dibandingkan
dengan parsons maupun homans. Konsep blau sangat berbeda dengan parsons yang
menyatakan bahwa sistem-sistem nilai umum itu merupakan prinsip-prinsip pokok
penjelasan dan kekuasaan itu hubungkan media yang tergeneralisasikan dalam
kepentingan sosial yang bersifat kolektif. Demikian pula karya Blau berbeda dengan
karya Homans.
Konsep keseimbangan Homans, walaupun ia menyebutkan dengan “sifat-sifat
praktis”. Namun setidaknya dalam satu hal mirip dengan sistem nilai umum
parsons. Baik dalam teori sebelumnya maupun didalam penafsiranya dari study pada
kelompok-kelompok kecil ia tidak memperhatikan adanya kekuasaan yang diperoleh
dari yang lain dan sebagai suatu alat yang digunakan oleh para pengusaha agar
mendapatkan kepatuhan dari pihak yang dikuasai. Bahkan ia sendiri cenderung untuk
menghormati berbagai bentuk tekanan sosial dan pemaksaan kemudian dengan kritis
ia  memberikan keadaan itu dengan label kemudian dengan kritis ia memberikan
keadaan itu dengan label keadilan. Dengan mengabstrakkan  hubungan kelompok-
kelompok kecil dunia mikro yang diambil dari konteks yang lebih luas, ini bahwa
homans telah mengabaikan makna konteks kekuasaan dan dominasi yang lebih luas,
seperti korporasi bisnis dan birokrasi pemerintahan, dan perilaku beberapa orang
sebagai pengusaha dan  sebagian besar lainnya yang dikuasai. Memang kita telah
diberitahu tentang kompetisi  status antara para pekerja, kecemburuan antara mereka
dan hal- hal yang semacamnya, namun tidak dijelaskan tentang hubungan-hubungan
mereka dengan konteks kelembagaan masyarakat yang lebih luas.
Berbeda dengan Blau yang selalu menggabungkan baik tingkat mikro maupun
tingkat mikro menunjukan bagaimana beberapa prinsip dapat digunakan untuk kedua
hal tersebut.  Ia menyatakan bahwa pengontrolan sumber atau jasa kepada mereka
yang tidak mempunyai alternative yang lain merupakan sumber kekuasaan. Jika pihak
kedua memiliki sumber tersebut dan pihak pertama membutuhkannya, maka pihak
pertama harus mematuhi kehendak pihak kedua. Parsons atau Homans tidak
memberikan perhatian yang sistematis terhadap elementer dasar ini, melainkan fakta-
fakta yang rumit sekali.

Anda mungkin juga menyukai