Anda di halaman 1dari 8

LEMBAR KERJA MAHASISWA 5

Mata Kuliah : Psikologi Sosial 1

Dosen Pengampu : Erna Ipak Rahmawati, S. Psi

Kelompok :6

Anggota Kelompok :

1. Ivan Maulana 2010811064


2. Annisa Aulia Ulillah 2110811014
3. Sindi Lestari 2110811016
4. Fitri Irmawati 2110811022
5. Rosyidha Salsabila Firdaus 2110811044

Identitas Sosial

1. Definisi Identitas Pribadi dan Identitas Sosial


Menurut Touchfel & Turner (1986), teori identitas sosial adalah kita mungkin melihat
diri kita secara berbeda pada kesempatan yang berbeda tergantung pada posisi kita pada
kontinum identitas pribadi dan sosial. Dalam hal identitas pribadi (kontinum) kita umumnya
melihat diri kita sebagai individu. Sedangkan pada identitas sosial, kita melihat diri kita
sebagai anggota kelompok sosial tertentu. Identitas personal kita menonjol dan menganggap
diri kita sebagai individu yang unik. Hal itu akan menunjuk pada deskripsi diri yang unik dan
apa yang membedakan diri kita dengan orang lain.
Deskripsi diri tentang identitas individu dapat dilihat sebagai perbandingan intra-
kelompok yang melibatkan perbandingan dengan orang lain yang juga anggota kelompok
yang sama.
Dalam aspek identitas sosial dari kontinum ini, gagasan kita tentang diri kita sebagai
anggota suatu kelompok berarti menekankan apa yang kita bagikan dengan anggota
kelompok. Deskripsi diri adalah perbandingan antar kelompok dan mencakup perbedaan
antara dua kelompok.
Identitas sosial adalah pengetahuan bahwa kita merupakan bagian dari suatu kelompok
tertentu, dan norma kelompok tersebut menjadi bagian penting bagi identitas diri.

2. Tahapan Terbentuknya Identitas Sosial


Michael A. Hogg mengatakan bahwa proses identitas sosial terjadi dalam tiga tahap:
kategori sosial, depersonalisasi, dan prototipe.
1. Kategori sosial yang menjelaskan dan menentukan perilaku mempengaruhi definisi diri
dan perilaku. Pengenalan prototipe yang menjelaskan dan menentukan perilaku. Ketika
ketidakcocokan identitas ini terjadi, konsep diri dan masyarakat juga menjadi tidak jelas.
2. Prototipe adalah struktur sosial yang dibentuk secara kognitif yang dirancang untuk
memaksimalkan perbedaan yang dimiliki kelompok lain. Hal ini dilakukan untuk
menekankan keunggulan kelompok.
3. Depersonalisasi adalah proses di mana individu menginternalisasi bahwa orang lain
adalah bagian dari mereka, atau melihat diri mereka sebagai contoh kategori sosial yang
dapat diganti daripada individu yang unik.

3. Faktor yang Mempengaruhi Identitas Sosial


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi identitas sosial sebagai berikut:
1. Self-kategorisasi
Teori Self-kategorisasi (Turner & Oakes, 1989), mengusulkan bahwa
mengkategorikan diri sebagai anggota kelompok menjadi lebih mungkin seperti yang
dirasakan ketika perbedaan antara ingroup dan outgroup meningkat. Salah satu cara untuk
melihat proses ini adalah dalam hal kekhasan, sejauh mana seseorang merasa bahwa ia
berbeda bersama beberapa dimensi dari orang lain dalam suatu situasi (Sampson, 1999).
Semakin besar perbedaan yang dirasakan, semakin besar kemungkinan seseorang untuk
mengkategorikan diri pada dimensi membedakan dan mengambil identitas sosial yang
terkait dengan dimensi itu. Misalnya, anggota kelompok minoritas ras dan etnis lebih
mungkin untuk memakai identitas dengan dengan kelompok-kelompok pada sebagian
besar orang di sekitar mereka (McGuire & Mc Guire, 1988).
2. Kebutuhan untuk kekhasan yang optimal
Teori Self-kategorisasi menyatakan bahwa orang termotivasi untuk
mengidentifikasi dengan kelompok-kelompok yang provide mereka dengan identitas
sosial yang berbeda positif dan yang memenuhi kebutuhan mereka pada kepastian. Salah
satu hasil dari proses ini adalah self-stereotip, di mana orang mengganti identitas pribadi
mereka dengan identitas kelompok. Salah satu kelemahan dari hipotesis diri stereotip
adalah bahwa orang memiliki kebutuhan dan mengalami diri mereka sebagai individu
yang unik yang berbeda dari orang lain (Brewer, 1991; Brewer & Pickett, 1999). Marilyn
Brewer (1991) karena itu disarankan modifikasi teori self-kategorisasi, yang dia sebut
teori kekhasan yang optimal.
3. Identitas sosial kronis
Meskipun teori identitas sosial memiliki peran bahwa konteks sosial bermain di
elicting identitas sosial yang dapat berubah dari situasi ke situasi, Steven Sherman dan
rekan- rekannya (Sherman, Hamilton, & Lewis, 1999) mengingatkan kita bahwa manusia
juga memiliki identitas kronis yang mempengaruhi perilaku mereka.
4. Perbedaan individu.
Stephane Perreault dan Richard Bourhis (1999) mempelajari hubungan
ethnocentrims, kecenderungan untuk mendukung kelompok-kelompok etnis dan
kebangsaan seseorang sendiri atas kelompok-kelompok sejenis, identifikasi sosial.
Menggunakan paradigma kelompok minimal, mereka menemukan bahwa orang yang
tinggi dalam etnosentrisme lebih cenderung memiliki identitas dengan kelompok mereka
untuk ditugaskan daripada orang-orang yang rendah dalam ethnocentrims.

4. Hubungan Identitas Sosial dan Gender


Apakah ada perbedaan antara harga diri perempuan dan laki-laki? Menurut George
Herbert Meade (1934), harga diri dipengaruhi oleh seberapa banyak orang berpikir tentang
kita di sekitar kita. Kota diterima dari orang lain.
Sehubungan dengan tingkat harga diri, ada perbedaan yang signifikan antara kedua
kelompok gender, sehingga sangat luas untuk mengidentifikasi perbedaan kelompok yang
tepat dalam harga diri di dalam atau antar negara. Major er al (1999) menemukan bahwa
peerbedaan harga diri antara pria dan wanita di kalangan profesional dan terbesar di kelas
menengah dan bawah. Sekali lagi, kami menemukan bahwa wanita yang diuntungkan secara
sosial mengalami penurunan harga diri lebih sedikit daripada mereka yang cenderung
mengalami penurunan harga diri paling sedikit. Faktanya, pendidikan tinggi untuk wanita
dikatkan dengan harga diri yang lebih baik sepanjang hidup (Orth, Trzesniewski, & Robins,
2010).
Meskipun sejauh mana diskriminasi jenis kelamin mempengaruhi harga diri konsisten
dengan gagasan bahwa tidak ada perbedaan gender yang jelas dalam harga diri sebelum
pubertas, perbedaan harga diri selama masa remaja awal (ketika pengalaman diskriminasi
yang umum) muncul dan karena wanita memiliki harga diri yang lebih rendah daripada pria,
itu bertahan selama harga diri sepanjang masa dewasa.

5. Komponen Identitas Sosial


Diketahui bahwa identifikasi sosial mewakili internal, kriteria psikologis dari keberadaan
kelompok yang berbeda dari kriteria atribusi eksternal (Tajfel, 1982).
Sehingga, di tahap ini identifikasi sosial bergantung pada tiga komponen identitas sosial yang
ada yakni (Ellemers dkk., 1999):
1. Komponen kognitif yang menangkap kesadaran keanggotaan;
2. Komponen evaluatif yang mengacu pada nilai yang dikaitkan dengan keanggotaan
seseorang
3. Komponen emosional yang mengacu pada pengalaman afektif yang ditautkan dengan
keanggotaan grup seseorang.

6. Definisi dan Terbentuknya Stereotipe


Stereotipe adalah gambaran yang muncul dalam pikiran ketika dihadapkan pada suatu
kelompok sosial tertentu. Stereotipe dapat terbentuk melalui beberapa mekanisme, seperti
self fulfilling propecy, deteksi covariasi, ilustrasi correlation (Hilton & von Hippel, 1996),
outgroup homogenity effect dan kategorisasi sosial.
Istilah self sufilling prophecy pertama kali dikenalkan oleh Robert K. Marton (1948).
Menurutnya self sufilling prophecy merupakan konsepsi mengenai suatu situasi yang
awalnya mungkin keliru, tapi kemudian mendorong suatu perilaku yang membuat konsepsi
keliru itu benar-benar nyata dan terjadi. Ibarat pepatah “jika berpikir bisa, maka pasti bisa”.
Jika dikaitkan dengan pembentukan stereotipe kita awalnya mempunyai konsepsi atau
harapan yang belum tentu benar mengenai suatu kelompok. Konsep itu kemudian
berpengaruh pada bagaimana kita memperlakukan kelompok tersebut dan akhirnya
kelompok tersebut benar-benar menunjukkan perilaku sesuai dengan konsepsi keliru tadi
karena konsepsi tersebut berulang kali sesuai dengan fakta, maka terbentuklah keyakinan
yang kemudian dinamai stereotipe.
Selain itu, terbentuknya stereotipe terjadi dikarenakan 2 mekanisme, yaitu deteksi
kovariasi dan illusory correlation. Stereotipe dapat terbentuk karena secara tidak sadar kita
mendeteksi adanya kovariasi antara perilaku orang-orang yang ada dalam suatu kelompok
(Hilton & von Hippel, 1996). Deteksi variasi ini terjadi terutama ketika kita tidak memiliki
pengetahuan yang memadai. Namun, deteksi kovariasi dan illusory correlation menunjukkan
kecenderungan kita untuk menghubungkan antara satu peristiwa dengan peristiwa yang
lainnya. Hubungan antar peristiwa tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga peristiwa itu
terstruktur dan mudah dipahami. Namun, pada kenyataannya hubungan antara peristiwa
tersebut boleh jadi hanya ilusi belaka.
Mekanisme yang selanjutnya yaitu social categorization dan outgroup homogenity effect.
Kategorisasi sosial sendiri merupakan proses yang sifatnya alamiah. Sadar ataupun tidak
sadar, ketika dihadapkan pada suatu objek termasuk manusia, kita tidak melihatnya sebagai
objek tunggal, yang tidak ada hubungannya dengan objek lain. Namun sebaliknya, kita selalu
menghubungkan objek tersebut ke dalam kategori-kategori yang ada dalam benak kita.
Ketika kategorisasi sosial dilakukan, kita sesungguhnya tidak berada dalam posisi netral. Hal
yang sering terjadi kita ternyata merupakan bagian dari kategori-kategori tertentu. Disaat
mengkategorikan orang lain sebagai perempuan mungkin saja kita termasuk laki-laki
(outgroup); atau disaat mengkategorikan orang lain sebagai orang Jawa, mungkin saja
kitapun termasuk orang Jawa (ingroup). Dari fenomena tersebut terciptalah ingroup dan
outgroup.

7. Beda dan Batasan Antar Sikap dan Perilaku


Sikap menurut Carl Jung merupakan kesiapan dari psyche untuk bertindak atau bereaksi
dengan cara tertentu. Sikap sering muncul dalam bentuk pasangan, satu disadari sedangkan
lainnya tidak disadari. Sikap muncul sebagai bentuk penilaian. Sikap juga dikembangkan
dalam 3 model, yaitu afeksi, kecenderungan perilaku, dan kognisi. Gagne (1947) berpendapat
bahwa sikap merupakan suatu keadaan internal (internal state) yang mempengaruhi pilihan
tindakan individu terhadap beberapa objek, pribadi, dan peristiwa. Perilaku merupakan
respon individu atau kelompok terhadap lingkungan.
Batasan sikap dan perilaku, antara lain:
1. Sikap dapat sesuai dengan perilaku.
2. Sikap yang diekspresikan oleh seseorang tidak selalu bisa memperkirakan perilaku yang
terkait.
3. Perilaku dapat mempengaruhi sikap.
DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, Z. A. (2019). Proses Pembentukan Identitas Sosial di Komunitas Pengemudi Ojek


Online. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Psikologi Sosial. Jilid 1. Edisi Kesepuluh. Jakarta: Penerbit
Erlangga.

Michael A Hogg., The Social Identity Prespective: Intergroup Relation, Self-Conception, and
Small Group, Sall Group Research, Vol 35 No.3,( June 2004), 254., pdf.

Rahman, A. A. (2013). Psikologi Sosial; Integrasi Pengetahuan Wahyu dan Pengetahuan


Empirik. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Absari, A. (2013). Identitas sosial penggemar K-Pop: perbandingan antara penggemar k-pop
yang tergabung dalam komunitas KFM dan penggemar K-Pop yang tidak tergabung
dalam komunitas KFM (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim).
NILAI SOSIOMETRI

Ivan Annisa Sindi Fitri Rosyidha


Ivan 80 80 80 80 80
Annisa 85 90 90 90 90
Sindi 85 90 89 87 89
Fitri 88 92 90 88 88
Rosyidha 90 90 90 90 90

Anda mungkin juga menyukai