Anda di halaman 1dari 4

A.

Peraturan Hukum dan Peristiwa Hukum


Peristiwa hukum merupakan suatu kejadian dalam masyarakat yang menggerakan peraturan hukum
sehingga ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum tersebut dapat diwujudkan dalam kehidupan. Jika
kita asosiasikan maka rumusan dalam peraturan hukum seakan sedang tertidur dan menanti peristiwa yang
akan menggerakannya. Namun, tidak semua peristiwa merupakan peristiwa hukum. Sebuah peristiwa
dikatakan sebagai peristiwa hukum apabila peristiwa tersebut memuat sebua rumusan peraturan hukum.
Sebab, hanya pristiwa yang dicantumkan di dalam hukum yang bisa menggerakan hukum.
Menurut Vinogradoff, peristiwa hukum berupa garis besar yang bersifat bagan dari peristiwa
sesungguhnya. Hal ini dikarenakan peristiwa hukum hanya memuat suatu kerangka dari peristiwa-peristiwa
yang dapat terjadi di dalam masyarakat.
Peristiwa hukum mengakibatkan timbulnya kelanjutan-kelanjutan yang disebut akibat hukum.
Maka, untuk mewujudkan sebuah akibat hukum diperlukan sebuah persyaratan yaitu terpenuhinya rumusan
peraturan hukum oleh sebuah peristiwa. Nantinya persyaratan ini biasa disebut sebagai dasar hukum.
Sebagai contoh adalah dalam hukum sewa menyewa. Dalam hukum sewa menyewa, yang menjadi dasar
hukum adalah ketika suatu peristiwa memenuhi unsur peraturan hukum sewa menyewa. Kemudian, hal ini
berlanjut menjadi sebuah akibat hukum jika kedua belah pihak dapat menikmati hasil dari sewa menyewa.
Masyarakat merupakan himpunan dari berbagai macam hubungan antar-anggota masyarakat. Maka,
kehidupan sosial merupakan ikatan dari berbagai hubungan masyarakat yang berdasar pada kepentingan-
kepentingan.
Rentetan kejadian dalam hukum dapat disingkat menjadi sebagai berikut. Peraturan hukum memuat
norma hukum yang mengandung penilaian dan rumusan hipotesis. Jika terjadi sebuah peristiwa yang
termuat dalam peraturan hukum, maka akan tampil kelanjutan-kelanjutan yang disebut bergeraknya hukum
yang bermuara pada akibat hukum. Menurut Vinogradoff, kelanjutan-kelanjutan dapat berupa penciptaan,
modifikasi atau penegasan dari hak-hak tertentu.

B. Akibat Hukum, Dasar Hukum, Hubungan Hukum

Terdapat sebuah kesulitan untuk membedakan antara pristiwa sosial dan pristiwa hukum. Sebagai
contoh kasus adalah dalam hal jual beli, kegiatan jual beli tidak lantas dapat dijadikan sebagai pristiwa
hukum hanya karena terjadi aktivitas memberikan uang dan mengambil barang. Sebab peristiwa hukum
baru tampak karena suatu peristiwa diberi sebuah kualifikasi hukum, dalam contoh adalah sebagai jual beli.
Selain itu, peristiwa hukum hanya dijumpai dalam rumusan hukum atau peraturan hukum yang bukan
bagian dari dunia kenyataan. Maka, dikarenakan keabstarkkan dari hukum, diperlukan peristiwa nyata
sebagai perwujudan dari peristiwa hukum yang akan menjadikan peristiwa hukum menjadi kebendaan.

Hubungan hukum terjadi karena adanya pengkualifikasian oleh hukum atas hubungan-hubungan tertentu.
Dalam hubungan hukum, pertama diperlukan pihak yang melakukan yaitu subjek hukum. Kemudian sasaran
dari jalinan hubungan antara kedua subjek hukum disebut objek hukum. Ketiga unsur tersebut kemudian
disebut sebagai kategori-kategori hukum atau pengertian-pengertian yang bersifat dasar dari hukum (tidak
terpisahkan).

Pada mulanya, di dalam dunia kenyataan terjadi pertalian antar dua orang yang kemudian dikualifikasikan.
Dengan pemberian kualifikasi tersebut maka hubungan antar anggota masyarakat tersebut berubah menjadi
hubungan hukum. Ketika sudah memasuki dunia tatanan hukum, maka pertalian tersebut didefinisikan sebagai
hubungan antar subjek hukum mengenai sebuah objek hukum.

C. Asas Hukum, Standar, Pengertian Hukum


Peraturan hukum merupakan sarana yang digunakan untuk mengutarakan maksud dari sebuah
norma hukum. Dalam penyampaian norma hukum, peraturan hukum menggunakan bahasa hukum yang
memiliki ciri yaitu penggunaan kata-kata yang teratur dan berusaha merumuskan pengertian yang hendak
disampaikan secara eskak untuk menghindari penafsiran ganda. Pengertian-pengertian yang digunakan
dalam peraturan hukum bertujuan untuk mengungkapkan abstraksi barang-barang yang bersangkutan
tersebut. Dalam hal ini, pengertian hukum dapat dijadikan patokan untuk menunjukan tingkat kematangan
sistem yang bersangkutan karena semakin tinggi abstraksi suatu pengertian hukum maka semakin kosong
pula keadaan hal yang bersangkutan tersebut. Puncak dari abstraksi tersebut disebut kategori hukum.
Meskipun demikian, terdapat beberapa hal yang tidak dapat diabstraksikan yaitu akibat hukum, hubungan
hukum, subjek hukum, objek hukum.
Meskipun beberapa pengertian hukum diangkat dari kehidupan sehari-hari, tetapi pengertian hukum
merupakan sebuah kategori tertentu dalam konteks berpikir secara hukum (Paton, 1971 : 206) dan hanya
boleh diartikan dalam konteks hukum bukan kehidupan sehari-hari. Pada praktiknya, pengertian hukum
memiliki kepastian yang relatif kurang sehingga harus ditafsirkan oleh pihak yang berwenang. Dewasa ini,
penafsiran akan pengertian hukum cenderung ke arah kerangka fungsional yang berkeinginan menciptakan
keadilan bagi kasus-kasus individual. Hal ini berbeda dengan kerangka logika a priori yang menekankan
kepada “isi yang pasti” dari pengertian hukum. Maka dalam hal ini dikenal adanya standar hukum yang
berarti kurangnya kadar kepastian dari pengertian-pengertian hukum. Walaupun demikian, standar hukum
memiliki kelebihan yaitu mudah mengikuti perkembangan zaman dikarenakan sifatnya yang luwes.
Sehingga, menurut Paton dapat dijadikan sebagai sarana bagi hukum untuk berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat.
Asas hukum merupakan jantung dari peraturan hukum. Hal ini dikarenakan asas hukum merupakan
landasan paling luas dari lahirnya suatu hukum dan dapat dikatakan sebagai alasan lahirnya hukum (ratio
legis).
Menurut Paton, kekuatan asas hukum tidak akan habis meskipun telah melahirkan peraturan hukum
dan akan tetap melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya. Menurut Rahardjo asas hukum memiliki nilai
etis dan tuntutan etis sehingga asas hukum dapat menjadi jembatan antara peraturan hukum dengan cita-cita
sosial serta pandangan etis masyarakat. Sehingga, melalui asas hukum nantinya peraturan hukum dapat
berubah sifat dan menjadi bagian dari suatu tatanan etis. Menurut Van Eikimma Homes, asas hukum tidak
boleh dianggap sebagai petunjuk norma yang konkret melainkan hanya sebagai petunjuk arah bagi
pembuatan hukum positif.
Beberapa contoh asas hukum khusus:
a. The binding of force precedent – keputusan hakim sebelumnya mengikat hakim-hakim lain dalam
perkara yang sama. (Anglo-Saxon)
b. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali – disebut juga asas legalitas yaitu tidak ada
perbuatan yang dapat dihukum kecuali sebelumnya ada UU yang mengatur. Pasal 1 KUHP. (Civil Law)
c. Cogatitionis poenam nemo patitur – tidak seorangpun akan dihukum karena apa yang ia pikirkan dalam
batinnya. (Sekuler)
d. Eidereen wordt geacht de wette kennen – setiap orang dianggap mengetahui hukum.
Untuk mengetahui makna dari suatu peraturan diperlukan usaha mencari ratio legis dari peraturan
tersebut. Sebab, tanpa menemukan alasan lahirnya suatu peraturan hukum, kita dapat kurang memahami
arah-arah etis dari peraturan-peraturan yang ada. Meskipun asas hukum bukan merupakan pengertian
hukum, tapi sebuah hukum tidak dapat dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukumnya.

D. Sistem Hukum
Sistem dapat diartikan menjadi dua. Pertama, sebagai jenis satuan yang memiliki tatanan (struktur)
dan tersusun dari bagan-bagan. Kedua, sebagai sebuah rencana, metode dan prosedur melakukan sesuatu
(Shorde dan Voich). Namun, secara umum sistem merupakan satu kesatuan yang bersifat kompleks dan
terdiri bagian-bagian yang terhubung satu sama lain. Dalam pemahaman ini, menekankan kepada
keterhubungan bagan-bagan (mengabaikan ciri lain) yang bekerja sama secara aktif untuk mencapai tujuan
pokok dari kesatuan tersebut (Shrode dan Voich).
Karakteristik sistem :
a. Berorientasi kepada tujuan
b. Keseluruhan lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagian (wholism)
c. Ada kekuatan pengikat sistem (mekanisme kontrol)
d. Menciptakan sesuatu yang berharga (transformasi)
e. Berinteraksi dengan sistem yang lebih besar (keterbukaan sistem)
f. Masing-masing harus cocok (keterhubungan)
Pendekatan sistem merupakan pemahaman terhadap sistem sebagai sebuah metode melalui pendekatan
terhadap suatu masalah untuk menyadarkan kompleksitas masalah yang dihadapi supaya tidak terlalu
menyepelakan permasalahan.
Menurut Paul Scholten, asas hukum positif tetapi melampaui hukum positif dengan menunjuk kepada
suatu penilaian etis. Dengan kata lain, asas hukum berada di luar wilayah hukum positif untuk menunjukan
bahwa asas hukum memiliki nilai etis yang self evident.
Hukum dikatakan sebagai sebuah sistem karena memiliki ikatan-ikatan oleh asas hukum. Dalam Teori
Stufenbau, Hans Kelsen menyatakan bahwa untuk menjadikan hukum memenuhi persyaratan sebagai ilmu
diperlukan objek yang bisa ditelaah secara empiris menggunakan analisis rasional. Maka, dalam hal ini
hukum positif, tatanan dari hukum dasar (abstrak) hinga peraturan (konkret), haruslah dijadikan sebagai
sebuah objek. Maka, dengan begitu sumber hukum atau Grundnorm nantinya diletakkan di luar kajian
hukum (meta juridis). Dengan adanya Grundnorm peraturan hukum dapat menjadi satu susunan kesatuan.
Menurut Dias terdapat alasan hukum dapat dipertanggungjawabkan sebagai sistem. Hukum dikatakan
sebagai sebuah sistem karena hukum tidak hanya merupakan kumpulan peraturan tetapi terdapat kaitan
antar-peraturan yang tercermin dalam pengabsahan hukum. Hukum dianggap sah jika dikeluarkan dari
sumber-sumber hukum yang melibatkan kelembagaan seperti pengadilan, undang-undang dsb. Selain itu,
ikatan tersebut juga tercipta melalui praktik penerapan peraturan yang menjamin terciptanya susunan
kesatuan dari peraturan tersebut. Seperti contoh adalah dalam hal penafsiran.
Fuller mengemukakan principles of legality sebagai tolak ukur sistem hukum yang terdiri dari :
a. Harus mengandung peraturan, tidak dibenarkan jika hanya mengandung keputusan-keputusan
b. Peraturan harus diumumkan
c. Peraturan tidak boleh berlaku surut
d. Peraturan disusun dalam rumusan yang dimengerti
e. Peraturan tidak boleh bertentangan
f. Peraturan tidak boleh memberikan tuntutan melebihi apa yang dapat dilakukan
g. Tidak diperkenakan ada kebiasaan yang sering mengubah peraturan
h. Ada kecocokan peraturan dengan pelaksanaannya
Menurut Fuller, delapan asas tersebut merupakan lebih dari sekedar persyaratan sistem hukum
melainkan juga sebagai sebuah pengkualifikasian sistem hukum yang mengandung moralitas. Kegagalan
menciptaka sistem dapat mengakibatkan sesuatu tidak bisa dikatakan sebagai sistem hukum.

Anda mungkin juga menyukai