i
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 1
ii
2.3.1 Albumin ............................................................................................... 14
2.4 Hubungan kadar D-dimer dan albumin dengan derajat klinis pasien COVID-
19...................................................................................................................... 17
2.5 Hubungan kadar D-dimer dan albumin dengan luaran pasien COVID-
19...................................................................................................................... 18
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR SINGKATAN
IFN-γ : interferon γ
IL : Interleukin
v
PAMPs : pathogen-associated molecular patterns
S : spike
TF : tissue factor
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
prioritas untuk dinilai saat awal rawatan pasien COVID-19.1,4 Peningkatan D-dimer
sebagai marker koagulopati merefleksikan keadaan hiperkoagulopati dan trombosis
sehingga menjadi panduan klinisi untuk penggunaan antikoagulan pada pasien
COVID-19.1,2,5 Penelitian Varikasuvu dkk melaporkan terdapat hubungan kadar D-
dimer dengan progresivitas COVID-19. Kadar D-dimer yang tinggi dihubungkan
dengan risiko koagulopati dan trombosis pasien. Pasien COVID-19 klinis kritis
memperlihatkan kadar Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1) tinggi yang
dapat berdampak terhadap gangguan sistem fibrinolitik dan pembentukan trombus,
hal tersebut dapat mengindukasi vasokonstriksi karena hipoksemia melalui
pengurangan aliran darah dan oklusi vaskuler, disfungsi endotel, inflamasi,
terutama pada komorbid seperti hipertensi, diabetes, dan usia tua.1,3
Disfungsi multi organ pada COVID-19 dilaporkan oleh Khodeir MM dkk
melalui beberapa marker yang dapat merefleksikan keadaan tersebut diantaranya
peningkatan Aspartate Aminotransferase (AST), kreatinin dan penurunan kadar
albumin. Penurunan kadar albumin sangat berhubungan dengan progresivitas
penyakit pada kasus berat dan kritis dengan nilai mean 3,0 gr/dL.4 Menurut Violi
dkk terdapat hubungan yang sangat erat antara hipoalbuminemia dengan
hiperkoagulopati yang dibuktikan terjadinya peningkatan kadar D-dimer plasma.7
Menurut Aloisio dkk kadar serum albumin 3,5 gr/dL sangat signifikan terhadap
peningkatan kadar D-Dimer empat kali batas nilai atas (nilai atas ≤ 500 ng/ml)
dibandingkan dengan kadar serum albumin 3,5 gr/dL, hal ini mempresentasikan
harmonisasi pada penurunan kadar albumin dan peningkatan D-dimer sebagai suatu
hubungan sebab akibat.8 Menurut Hariyanto dkk albumin memiliki kemampuan
untuk menurunkan regulasi Angiotensine Convertizing Enzyme-2 (ACE-2) yang
penting untuk memodulasi infeksi COVID-19, jika kadar albumin rendah maka
terjadi peningkatan regulasi reseptor ACE-2 dan terjadi peningkatan infektivitas
COVID-19.9
Peningkatan marker koagulopati D-dimer dan marker inflamasi C-reactive
protein (CRP) juga dilaporkan oleh Mahardika dkk terjadi pada pasien dengan
klinis tanpa gejala dan merupakan keadaan yang tidak biasa.10 Tantangan yang
muncul adalah bagaimana cara mendeteksi kondisi perburukan secara dini untuk
2
membantu dalam tatalaksana pasien COVID-19. Penanda yang efektif dapat
membantu skrining, tatalaksana dan pencegahan komplikasi serius.9
Berdasarkan latar belakang diatas dan masih terbatasnya penelitian tentang
hubungan kadar D-dimer dan albumin dengan derajat klinis dan luaran pasien,
maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana hubungan kadar D-dimer dan
albumin dengan derajat klinis dan luaran pasien COVID-19 yang dirawat di RSUP
Dr. M. Djamil Padang.
3
RSUP Dr. M. Djamil padang sehingga dapat diaplikasikan dalam manajemen
penatalaksanaan pasien.
1.4.2 Bagi Rumah Sakit
Memperoleh data epidemiologi tentang hubungan kadar D-dimer dan
albumin dengan derajat klinis dan luaran pasien COVID-19 yang menjalani
perawatan sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam membuat keputusan dan
peraturan dalam penanganan dan perawatan COVID-19.
1.4.3 Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah mengenai hubungan
kadar D-dimer dan albumin dengan derajat klinis dan luaran pasien COVID-19.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 COVID-19
2.1.1 Koagulopati pada COVID-19
Badai sitokin berperan penting sebagai awal tanda perburukan COVID-
19.11,12,13 Hal ini membuat terganggunya regulasi yang menyebabkan produksi
berlebih sitokin proinflamasi. Awalnya, hal tersebut bersifat lokal pada paru
selanjutnya dapat meluas kepada sistemik seluruh tubuh.11,13 Meningkatnya kadar
plasma CRP, ferritin, prokalsitonin, interleukin-6 (IL-6), interleukin-10 (IL-10),
dan Tumor Necrosis Factor- (TNF-) sebagai indikator terjadinya respon
hiperinfalamasi pada badai sitokin.13 Peningkatan tersebut berhubungan dengan
progresivitas penyakit dan luaran yang buruk pada pasien COVID-19.14 Badai
sitokin dihubungkan dengan koagulopati melalui aktivasi sel endotel dan leukosit
khususnya netrofil sebagai respon yang menyebabkan produksi neutrophil
extracellular traps (NETs) dikenal dengan proses NETosis. 15
Neutrophil extracellular traps (NETs) meningkatkan terbentuknya formasi
trombus melalui produksi siotkin inflamasi. 15 Disisi lain, terbentuknya aktivasi sel
endotel dan netrofil secara langsung juga terjadi karena interaksi spesifik virus
dengan sistem imun inate bersama faktor XII (FXII) dan prekalikrein plasma. Hal
ini membuat keadaan protombik yang meningkat pada lokasi infeksi. 16
Pembentukan aktivasi FXII melalui kontak langsung SARS-CoV-2 tidak hanya
mengaktifkan trombosis pada jalur intrinsik (sebagai contoh dapat meningkatkan
terbentuknya trombin, fibrin (mikrotrombosis), fibrinolisis, dan peningkatan kadar
D-dimer), tetapi juga mengeluarkan bradikinin yang meningkatkan vasodilatasi
vaskular dan permeabilitas membran. Sehingga baik secara langsung dan tidak
SARS-CoV-2 mempengaruhi sistem koagulasi dengan membuat peningkatan
keadaan protombik dapat dilihat pada gambar 1.16 Triad Virchow telah lama
menjelaskan setidaknya terdapat tiga faktor yang berkontribusi pada risiko
tromboemboli diantaranya disfungsi endotel, statis aliran darah, dan
hiperkoagulopati pada gambar 2. Hal ini dapat menjelaskan terjadinya keadaan
status hiperkoagulopati pada pasien COVID-19.17
5
Gambar 1. Skema patogenesis COVID-19 berhubungan dengan koagulopati.
Dikutip dari (17)
Gambar 2. Dampak infeksi SARS-CoV-2 sebabkan trombosis yang dijelaskan oleh triad virchow.
Dikutip dari (17)
6
sel endotel dan reseptor plasmin lalu akan mendegradasi fibrin yang dan
meningkatkan kadar D-dimer plasma.18 Reseptor membran plasmin, yang
merupakan serine protease kuat, dapat membelah protein S virus dan membantu
masuknya virus ke dalam sel inang. Fungsi pembelahan virus bersama dengan
reseptor transmembran protease serine 2 (TMPRSS2) ini berkontribusi pada
peningkatan infektivitas virus dan memfasilitasi penyebarannya. Selain itu,
produksi plasmin yang berlebihan akan mengaktifkan jalur pensinyalan reseptor
protease-activated receptor 1, 2 (PAR 1, 2) yang terlibat dalam inflamasi dan
respons imun. Kompleks endhotelial protein C receptor (EPCR)-protein C
kehilangan aktivitas sitoprotektifnya disebabkan oleh keadaan hiperkoagulasi.
Keadaan prokoagulasi dan inflamasi yang diinduksi oleh virus juga melibatkan
makrofag. Patofisiologis ini menjelaskan peningkatan infektivitas dan replikasi
virus serta hubungan antara produksi D-dimer yang tinggi dan badai sitokin
(terutama IL-6, IL-10, dan TNF) pada COVID-19.18
7
2.1.3 Manifestasi Klinis
Pedoman tatalaksana COVID-19 edisi 3 membagi berdasarkan beratnya
kasus menjadi tanpa gejala, gejala ringan, sedang, berat dan kritis. 19
1. Tanpa gejala
Pasien tidak memiliki gejala dan merupakan kondisi yang paling ringan.
2. Gejala Ringan
Pasien memiliki gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia.
Gejala dapat berupa demam, batuk, kelelaham, anoreksia, napas pendek,
dan myalgia. Gejala lain tidak spesifik dapat berupa sakit tenggorokan,
kongesti hidung, sakit kepala, diare, mual, muntah, anosmia, ageusia yang
muncul sebelum onset gejala pernafasan. Pasien usia tua dan pasien dengan
imunitas rendah bisa mengalami gejala atipikal berupa kelelahan,
penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan,
delirium dan tidak ada demam.
3. Gejala Sedang
Pasien dengan gejala sedang memiliki klinis pneumonia seperti demam,
batuk, sesak, nafas cepat tetapi tidak ada tanda pneumonia berat termasuk
SpO2 ≥ 93% pada udara ruangan.
4. Gejala Berat
Pasien dangan gejala berat memiliki tanda klinis pneumonia (demam, batuk,
sesak,napas cepat ditambah satu dari frekuensi napas > 30x/ menit, distress
pernapasan berat atau saturasi oksigen < 93% pada udara ruangan.
5. Kritis
Pasien kritis termasuk pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS), sepsis dan syok sepsis. Diagnosis ARDS ditegakkan berdasarkan
hipoksemia berat, derajatnya dilihat dari PaO2/FiO2, jika ≤ 100 mmHg
merupakan ARDS berat, antara 100-200 mmHg derajat sedang, dan antara
200-300 mmHg derajat ringan.
8
2.2 D-dimer pada COVID-19
2.2.1 D-dimer
D-dimer adalah produk sampingan dari proses pembekuan dan pemecahan
darah yang dapat diukur melalui analisis sampel darah. 20 D-dimer dilepaskan saat
bekuan darah mulai lisis. Ketika terjadi cedera pada pembuluh darah dan darah
mulai keluar, serangkaian mekanisme dan fakor-faktor pembekuan diaktifkan.
Selama proses ini, sejumlah protein yang disebut sebagai fibrin mulai dihasilkan.
Benang-benang fibrin ini direkatkan oleh sebuah protein yang disebut trombin
sehingga pada akhirnya akan membentuk jaring fibrin. Jaring fibrin ini akan
menangkap trombosit dan membantu mempertahankan bekuan darah yang
terbentuk di lokasi cedera.21,22 Ketika area tersebut mulai sembuh, tubuh akan
menggunakan sebuah protein yang disebut plasmin untuk memecah bekuan
tersebut menjadi potongan-potongan kecil sehingga mudah disingkirkan.
Fragmen dari bekuan yang hancur tersebut dikenal dengan produk degradasi
fibrin, dan salah satunya yaitu D-dimer yang terdiri dari potongan-potongan cross-
linked fibrin dengan berbagai ukuran seperti dapat dilihat kaskade koagulasi dan
fibrinolisis serta pembentukan D-dimer pada gambar 4.21,22 Secara normal, D-dimer
tidak terdeteksi di dalam darah karena hanya dihasilkan ketika bekuan telah
terbentuk dan dalam proses akan dihancurkan kembali.20,21 Oleh karena itu,
pemeriksaan D-dimer dilakukan pada penyakit atau kondisi yang menyebabkan
pembentukan bekuan darah abnormal seperti Deep Vein Thrombosis (DVT), emboli
paru, dan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC).5,8,9 D-dimer yang positif
menggambarkan bahwa terdapat peningkatan abnormal dari degradasi cross-linked
fibrin di dalam tubuh.20,21,23
9
Gambar 4. Kaskade koagulasi dan fibrinolisis serta pembentukan D-dimer.
Dikutip dari (18)
10
Kondisi tertentu yang dapat disertai dengan peningkatan D-dimer,
diantaranya adalah wanita hamil, usia lanjut, penyakit keganasan dan infeksi.
Hiperkoagulasi pada kehamilan normal terjadi karena terjadi peningkatan
konsentrasi prokoagulan, penurunan kadar antikoagulan dan penurunan aktivitas
fibrinolitik yang merupakan mekanisme fisiologis tubuh untuk mencegah
perdarahan pada saat terjadi abortus atau persalinan. Namun, sebagai konsekuensi
dari perubahan fisiologis tersebut, wanita hamil cenderung memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami venous thromboembolism (VTE). Penelitian
menemukan bahwa ditemukan peningkatan D-dimer selama kehamilan dengan
konsentrasi tertinggi pada trimester dua dan tiga.26,27
Konsentrasi D-dimer pada usia lanjut meningkat seiring bertambahnya usia
yang menyebabkan tingginya proporsi pasien usia lanjut dengan konsentrasi D-
dimer lebih tinggi dari nilai batas konvensional (500 µg /L). Peningkatan D-dimer
terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu konsentrasi fibrinogen yang lebih tinggi,
menurunnya kemampuan eliminasi ginjal, maupun adanya penyakit keganasan dan
proses inflamasi kronis yang tidak terdeteksi.26 Usia lanjut juga dikaitkan dengan
prevalensi obesitas yang lebih besar, peningkatan frekuensi penyakit dan periode
imobilitas yang berkepanjangan, kondisi medis penyerta, dan peningkatan tingkat
prokoagulan tanpa peningkatan antikoagulan yang sepadan seperti protein. Hal ini
menimbulkan rendahnya spesifisitas atau hasil positif palsu dari pengujian D-dimer
pada pasien usia tua dengan dugaan VTE, yaitu 49-67% untuk pasien berusia
kurang dari 50 tahun, dan 0-18% pada pasien ≥ 80 tahun.25
Oleh karena itu, terdapat penelitian yang menyarankan penggunaan nilai
batas yang disesuaikan dengan usia sebagai indikator penetapan nilai D-dimer.
Nilai cut-off D-dimer yang disesuaikan berdasarkan umur dapat diperoleh melalui
hasil perkalian antara usia (tahun) dengan 10 μg /L pada pasien berusia di atas 50
tahun (misalnya, untuk pasien berusia 78 tahun, D-dimer konsentrasi akan dianggap
normal di bawah 780 μg/L). Penggunaan nilai cut-off untuk penetapan batas D-
dimer pada pasien usia tua menunjukkan peningkatan spesifisitas yang cukup
signifikan. Sehingga secara umum, pembentukan trombosis adalah proses
multikausal yang dinamis bergantung pada keseimbangan antara faktor fisik dan
biokimia.25 Penyakit keganasan dapat ditemukan peningkatan D-dimer melalui
11
perkembangan penyakitnya yang dapat menekan pembuluh darah vena sehingga
terjadi stasis. Hal ini menyebabkan pelepasan prokoagulan seperti tissue factor
pada membran di partikel yang berperan dalam proses trombosis.28
12
Gambar 5. Mekanisme koagulopati pada COVID-19.
Dikutip dari (29)
Pasien COVID-19 derajat klinis berat dan kritis dapat mengalami pelepasan
sitokin dan kemokin proinflamasi yang dikenal dengan Cytokine Release Syndrome
(CRS) atau badai sitokin. Fenomena ini diduga kuat bertanggungjawab sebagai
patogenesis terjadinya Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), disfungsi
koagulasi, disfungsi multi organ seperti jantung, hepar, ginjal sehingga
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada COVDI-19.2,5,29
Penelitian Tang dkk menunjukan koagulopati dan trombosis merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien COVID-19 yang meninggal.3
Penelitian Tang dkk juga melaporkan terdapatnya hubungan yang sejalan antara D-
dimer dengan protombine time terhadap 28 hari kematian pada pasien COVID-19.5
Kejadian DIC dan disfungsi multi organ dilaporkan oleh Tang dkk terjadi pada
71,4% pasien yang meninggal.3,5 Penelitian Cui dkk melaporkan bahwa terdapat
25% pasien COVID-19 dengan VTE dan memiliki prognosis yang buruk.30
Dissemenated Intravascular Coagulation bermanifestasi akibat berlebihnya
deposisi trombosis didalam mikrovaskular. Bekuan darah dan deposisi fibrin
didalam pembuluh darah berperan pada hambatan penghantaran oksigen ke organ
yang sebabkan disfungsi multi organ berdampak pada komplikasi kematian pada
pasien COVID-19.6 Hiperkoagulopati dilaporkan juga terdapat pada tahap awal
13
COVID-19, sehingga penting dideteksi terhadap pasien terutama yang memiliki
faktor risiko untuk peningkatan tersebut.4
Penelitian Varikasuvu dkk melaporkan terdapat hubungan D-dimer dengan
progresivitas COVID-19. Kadar D-dimer yang tinggi dihubungkan dengan risiko
koagulopati dan trombosis pasien. Pasien COVID-19 klinis kritis mempresentasian
kadar Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1) tinggi yang dapat berdampak
terhadap gangguan sistem fibrinolitik dan pembentukan trombus, hal tersebut dapat
mengindukasi vasokonstriksi karena hipoksemia melalui pengurangan aliran darah
dan oklusi vaskuler, disfungsi endotel, inflamasi, terutama pada komorbid seperti
hipertensi, diabetes, dan usia tua.1,3 Meskipun demikian, terdapat laporan yang
tidak biasa terjadi pada pasien COVID-19, Mahardika dkk melaporkan terjadi
peningkatan marker koagulopati D-dimer dan marker inflamasi CRP pada pasien
dengan klinis tanpa gejala dan merupakan keadaan yang tidak biasa.10
14
fisiologis. Hati adalah bagian utama dalam sintesis albumin dengan jumlah sintesis
albumin menempati hampir 50% dari upaya metabolisme hati. Albumin dapat
disintesis di kelenjar payudara dan juga otot rangka, namun jumlahnya tidak
sebanyak albumin yang disintesis oleh hati. 29 Tidak ada tempat khusus untuk
penyimpanan albumin. Albumin yang diproduksi oleh hepatosit kemudian
dilepaskan ke interstitium hati dan selanjutnya ke sinusoid dan vena hepatika.
Apabila tubuh mengalami penurunan jumlah albumin, hati dapat meningkatkan
jumlah sintesis pada saat itu yang jumlahnya hampir tiga kali lipat tingkat dari
jumlah produksi albumin awal.29,32
Laju sintetis dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk tekanan onkotik,
peradangan, status hormon, dan nutrisi. Tekanan onkotik pada hewan yang sehat,
adalah penentu utama tingkat sintetik albumin. Osmoreseptor dalam interstitium
hati mendeteksi perubahan tekanan onkotik. Ketika tekanan onkotik menurun,
sintesis albumin meningkat; ketika tekanan onkotik meningkat, sintesis albumin
menurun.32 Peradangan memberikan pengaruh negatif pada sintesis albumin
khususnya albumin mRNA yang berkurang hingga 90% selama peradangan.
Penurunan potensial sintetik yang dalam ini disebabkan oleh fakta bahwa albumin
adalah protein fase akut negatif. Sitokin yang diproduksi selama inflamasi
meluruhkan asam amino untuk meningkatkan sintesis protein fase akut yang
penting untuk proses inflamasi. Sitokin yang sama ini melepaskan asam amino dari
sintesis albumin karena albumin tidak penting untuk peradangan.32,33 Berbagai
hormon juga berperan dalam sintesis albumin seperti hormon adrenokortikal,
hormon pertumbuhan, insulin, testosteron, dan hormon tiroid yang semuanya
menunjukkan efek positif pada sintesis serta apabila terjadi defisiensi pada hormon
ini maka dapat menyebabkan penurunan sintesis albumin. Nutrisi adalah penentu
lain dari tingkat sintetik albumin, dengan penurunan paling dalam terjadi dengan
malnutrisi protein.29,32
Sintesis albumin hati bukanlah prioritas utama, sintesis terjadi ketika tubuh
diberi nutrisi yang memadai. Keadaan nutrisi yang buruk, peradangan, paparan
hepatotoksin, dan paparan tekanan osmotik koloid tinggi dapat menghambat
sintesis albumin. Albumin terutama dimetabolisme di endotel vaskular. Hampir
60% dari total albumin dalam tubuh didistribusikan ke ruang interstitial, sedangkan
15
40% berada di vaskular. Mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya
hipoalbuminemia dapat direpresentasikan pada setiap tahap metabolisme albumin,
yaitu adanya kemungkinan penurunan pasokan asam amino misalnya intestinal
malabsorption, terganggunya proses sintesis misalnya kegagalan hati,
meningkatnya pengeluaran albumin misalnya sindrom nefrotik, katabolisme
jaringan misalnya sepsis, atau masalah distribusi misalnya edema. Waktu paruh
albumin sekitar 20 hari, terjadi perubahan kadar albumin yang sangat cepat.
Pertukaran albumin dari vaskular ke interstitial (transcapillary escape rate) menjadi
penyebab terjadinya sepuluh kali lipat jumlah albumin yang disintesis. 32,33
Hipoalbuminemia dapat mencerminkan penurunan sintesis albumin atau
penurunan konsentrasi relatif terhadap cairan bebas. Keadaan tersebut sering
menyertai pada kasus gagal hati dengan asites, serta gagal jantung kongestif atau
gagal ginjal.29,32 Beberapa pasien dengan status kurang gizi mengalami
hipoalbuminemia atau kadar albumin serum yang rendah. Efek puasa dapat
memiliki onset yang cepat dengan puasa yang menyebabkan penurunan sepertiga
albumin dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah onset puasa. Namun, hal ini dapat
berbalik dengan cepat dengan setelah pemberian nutrisi yang memulihkan
kemampuan hati untuk mensintesis albumin hanya dalam 15 sampai 30 menit.
Kadar albumin dapat turun pada kondisi inflamasi. Hal ini dapat disebabkan oleh
penurunan regulasi produksi mRNA albumin oleh hati, yang menyebabkan
penurunan sintesis, dan peningkatan katabolisme albumin, serta peningkatan
permeabilitas vaskular.29,32
16
dengan hepatotoksisitas akibat badai sitokin yang memicu kepada perburukan
derajat klinis dan meningkatnya mortalitas. 34
2.4 Hubungan kadar D-dimer dan Albumin dengan derajat klinis pasien
COVID-19
Penigkatan D-dimer dengan kadar Albumin terhadap derajat klinis pasien
COVID-19 Menurut Violi dkk terdapat hubungan yang sangat erat antara
hipoalbuminemia dengan hiperkoagulopati yang dibuktikan terjadinya peningkatan
kadar D-dimer plasma.7 Menurut Aloisio dkk kadar serum albumin 3,5 gr/dL
sangat signifikan terhadap peningkatan kadar D-Dimer empat kali batas nilai atas
(nilai atas ≤ 500 ng/ml) dibandingkan dengan kadar serum albumin 3,5 gr/dL.
Penelitian ini melaporkan terdapatnya harmonisasi penurunan kadar albumin
dengan peningkatan D-dimer sebagai hubungan sebab akibat yang berdampak pada
pasien dengan kelompok klinis berat dan kritis.8 Menurut Hariyanto dkk albumin
memiliki kemampuan untuk menurunkan regulasi Angiotensine Convertizing
Enzyme-2 (ACE-2) yang sangat penting untuk memodulasi infeksi COVID-19, jika
kadar albumin rendah maka terjadi peningkatan regulasi reseptor ACE-2 dan terjadi
peningkatan infektivitas COVID-19.9
17
2.5 Hubungan kadar D-dimer dan Albumin dengan luaran pasien COVID-
19
Pasien terinfeksi SARS-CoV-2 dengan klinis berat dan kritis menunjukkan
kadar sitokin proinflamasi serum yang tinggi akibat induksi badai sitokin yang
dapat ditandai dengan peningkatan marker koagulasi seperti D-dimer yang
berdampak kepada disfungsi organ dalam hal ini pada hati. Kadar albumin yang
rendah atau hipoalbuminemia dipercaya berperan penting kepada luaran pasien
COVID-19 yang buruk karena dapat membuat pulmonary capillary leakage.35
Disfungsi organ pada COVID-19 dilaporkan oleh Khodeir MM dkk melalui
beberapa marker yang dapat merefleksikan keadaan tersebut diantaranya
peningkatan Aspartate Aminotransferase (AST), kreatinin, Lactate Dehydrogenase
(LDH) dan albumin, tetapi dilaporkan bahwa penurunan kadar albumin sangat
berhubungan dengan progresivitas penyakit pada kasus berat dan kritis dengan nilai
mean 3,0 gr/dL yang berdampak pada hati pada kelompok survivor dan tidak
survivor.4
Penelitian Zerbeto dkk melaporkan bahwa nilai treshold albumin yang dapat
memprediksi risiko tinggi terjadinya kematian dalam 90 hari pasien COVID-19
adalah 3,23 g/dL pada 15% pasien COVID-19. Hipoalbumin dengan kadar 3,17
g/dL juga dikaitkan dengan kebutuhan pasien terhadap ventilasi mekanik.36
18
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Faktor lain:
-Gizi buruk Sintesis albumin
-Penyakit hepar kronis tergangu
Luaran:
-Sintas
-Meninggal
19
Keterangan :
20
BAB 4
METODE PENELITIAN
𝒛𝟐 𝐩(𝟏 − 𝒑) Keterangan :
𝒏=
𝒅𝟐 n = Jumlah Sampel
2
1,96 . 0,86(1 − 0,86) z = Nilai Standar = 1,96
𝑛=
0,052
p = Nilai Proporsi (0,86)
3,8416.0,1204
𝑛= d = limit dari error atau presisi absolut
0,0025
0,4625 (5% atau 0,05)
𝑛=
0,0025
𝑛 = 185,01 = 185
Dari perhitungan jumlah subjek diperoleh jumlah minimal dalam penelitian
sebesar 185,01 atau 185 orang.
21
4.4 Kriteria Subjek Penelitian
4.4.1 Kriteria Inklusi
a. Pasien COVID-19 yang dirawat di ruang isolasi RSUP Dr. M.Djamil yang
diperiksa kadar D-dimer dan Albumin yang memiliki data rekam medik
lengkap.
b. Berusia > 18 tahun.
4.4.2 Kriteria Eksklusi
a. Pasien COVID-19 yang mendapatkan terapi albumin sebelumnya baik oral
maupun intravena.
b. Pasien COVID-19 yang terkonfirmasi >72 jam.
c. Pasien dengan penyakit komorbid penyakit autoimun (reumatik artritis,
sistemik lupus eritematosa (SLE), penyakit jantung rematik, sindrom
sjogren primer, fibrosis displasia tulang, juvenile idiopatik artritis (JIA), dan
uveitis pada JIA), inflamasi kronis (penyakit erdheim chester, sindrom
behcet, sistemik sklerosis, arteritis sel besar), penyakit kelainan hormon,
penyakit tiroid, post-tranplantasi organ, gizi buruk kwarshiorkor dan
sindroma nefrotik.
4.4.3 Variabel Bebas
Variabel bebas adalah kadar D-dimer dan Albumin pasien COVID-19 pada
24 jam pertama rawatan.
4.4.4 Variabel Terikat
Variabel tergantung adalah derajat klinis dan luaran pasien COVID-19.
22
b. Usia adalah usia yang tercantum dalam rekam medik saat pasien
memulai rawatan COVID-19 dan diambil berdasarkan ulang tahun
terakhir. Dikelompokkan berdasarkan:
<50 tahun
50 - 59 tahun
60 - 69 tahun
≥70 tahun
c. Komorbid pasien COVID-19: merupakan penyakit penyerta yang
bersifat kronik pada pasien COVID-19 saat menjalani rawatan yang
telah ada pada awal rawatan dan tertera di dalam penyakit dahulu sesuai
dengan rekam medis atau hasil assesment DPJP komorbid di rekam
medis.
3. Kadar D-dimer adalah hasil pemeriksaan laboratorium pasien saat awal
terdiagnosis dalam 24 jam pertama rawatan yang terdapat di rekam medis
dengan menggunakan alat Biomerux dengan satuan ng/ml di laboratorium
RSUP Dr. M. Djamil, dikelompokkan menjadi 2 kelompok menjadi:
a. ≤ 500 ng/ml
b. > 500 ng/ml
4. Kadar albumin adalah hasil pemeriksaan laboratorium pasien saat awal
terdiagnosis dalam 24 jam pertama rawatan yang terdapat di rekam medis
dengan menggunakan alat Architect dengan satuan g/dL di laboratorium
RSUP Dr. M. Djamil, dikelompokkan menjadi 2 kelompok menjadi:
a. ≤ 3,5 g/dL
b. > 3,5 g/dL
5. Derajat klinis penyakit adalah kondisi terberat pasien selama rawatan yang
ditetapkan oleh DPJP sesuai yang tercantum di rekam medis terdiri dari:
a. Gejala Ringan: Tertulis di rekam medis derajat klinis ringan atau
selama rawatan tidak pernah mendapatkan suplementasi oksigen atau
antivirus intravena selama rawatan.
b. Gejala Sedang: Tertulis di rekam medis derajat klinis sedang dan pada
pemeriksaan foto toraks terdapat bukti adanya pneumonia atau selama
23
rawatan pernah mendapatkan suplementasi oksigen tidak melebihi
nasal kanula.
c. Gejala Berat: Tertulis di rekam medis derajat klinis berat dan pada
pemeriksaan foto toraks terdapat bukti adanya pneumonia atau selama
rawatan pernah mendapatkan suplementasi oksigen dengan Non-
rebreathing mask (NRM) atau tidak pernah mendapatkan vasopresor
selama rawatan.
d. Kritis: Tertulis di rekam medis derajat klinis kritis dan pada
pemeriksaan foto toraks terdapat bukti adanya pneumonia atau selama
rawatan pernah mendapatkan suplementasi oksigen dengan high flow
nasal canul (HFNC), ventilasi mekanik, atau pernah mendapatkan
vasopresor selama rawatan.
6. Luaran pasien COVID-19: Luaran pasien COVID-19 yang dinilai
berdasarkan status akhir rawatan. Status Akhir Rawatan COVID-19 adalah
kondisi terakhir saat pasien selesai dari perawatan COVID-19 di RSUP Dr.
M. Djamil Padang, terdiri dari:
1) Sintas: pasien dinyatakan sembuh oleh DPJP atau pasien pindah
dari ruang rawatan redzone COVID-19.
2) Meninggal: pasien yang meninggal pada saat rawatan COVID-19
dikarenakan infeksi COVID-19 yang tercantum pada penyebab
kematian dalam rekam medis dan bukan karena penyakit
komorbid.
24
4.6.3 Analisis Bivariat
Analisis bivariat yaitu untuk mengetahui hubungan antara kadar D-Dimer
dan albumin dengan derajat klinis dan luaran pasien COVID-19 yang
dirawat dilakukan menggunakan Chi-square atau alternatifnya.
4.6.4 Analisis Multivariat
Karakteristik yang memiliki nilai p>0,25 akan dilanjutkan analisis untuk
menilai hubungan dengan menggunakan Uji Regresi Logistik. Uji Regresi
Logistik dengan menilai odds ratio di masing-masing kategori. Apabila
p<0,05 maka dintakana signifikan, data dianalisis secara komputerisasi.
Pasien COVID-19
Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi
Subjek penelitian
Karakteristik
Analisis Data
25
DAFTAR PUSTAKA
26
review, meta-analysis, and comparison with other inflammatory
syndromes. Lancet Respir Med. 2020; 8:1233–44
15. Veras FP, Pontelli MC, Silva CM, Toller-Kawahisa JE, de Lima M,
Nascimento DC, dkk. SARS-CoV-2–triggered neutrophil extracellular traps
mediate COVID-19 pathology. J Exp Med. 2020; 217: e20201129
16. Meini S, Zanichelli A, Sbrojavacca R, et al. Understanding the
pathophysiology of COVID-19: could the contact system be the key?. Front
Immunol. 2020;11:2014
17. Metha JL, Calcaterra G, Bassareo PP. COVID‐19, thromboembolic risk, and
Virchow’s triad: lesson from the past. Clin Cardiol. 2020;43:1362-7
18. Jacob G, Aharon A, Brener B. COVID-19-Associated Hyper-Fibrinolysis:
Mechanism and Implementations. Front. Physiol. 2020;11:596057
19. PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI. Pedoman tatalaksana COVID-
19 Edisi 3. 3rd ed. Pedoman Tatalaksana COVID-19. Jakarta; 2020. h.16–
37
20. Guler N, Siddiqui F, Fareed J. Is teh reason of increased D-Dimer levels in
COVID-19 because of ACE-2 induced apoptosis in endhothelium?. Clin
Appl Thromb Haemost. 2020;26:19-21
21. Ortega-Paz L, Capadanno D, Montalescot G, Angiolillo DJ. Coronavirus
disease 2019-associated thrombosis and coagulopathy: Review of the
pathophysiological characteristics and implication for antithrombotic
management. J Am Heart Assoc. 2021;10:(3)1-24
22. Duz ME, Balci A, Menekse E. D-dimer levels and COVID-19 severity:
Systematic review and meta-analysis. Tuberk Toraks.2020;68(4):353-360.
23. Wang L, He W, Yu X, Hu D, Bao M, Liu H, dkk. Coronavirus disease 2019
in elderly patients: Characteristcs and prognostic factors based on 4-week
follow-up. J Infect. 2020 Jun;80(6):639-45
24. Linkins LA, Takach LS. Review of D-Dimer testing: Good, Bad, and Ugly.
Int J Lab Hematol. 2017;39(1):98-103
25. Zhang JJ, Dong X, Cao YY, Yuan YD, Yang YB, Yan YQ, dkk. Clinical
characteristics of 140 patients infected with SARS-CoV 2 in Wuhan, China.
Allergy. 2020 Jul;75(7):1730-41
26. Han Y, Yang L, Liu R, Liu F, Wu KL, Li J, dkk. Prominent changes in blood
coagulation of patients withs SARS-CoV 2 infection. Clin Chem Lab Med.
2020 Jun;58(7): 1116-20
27. Guitierrez GI, Perez CP, Martinez UJ, Garcia IO, Angeles J, Garcia GR. D-
dimer during pregnancy: establishing trimester-specific reference intervals.
Scand J Clin Lab Invest. 2018;78(6):439-42.
28. Zhang G, Zhang J, Wang B, Zhu X, Wang Q, Qiu S. Analysis of clinical
characteristics and laboratory findings of 95 cases of 2019 novel coronavirus
pneumonia in Wuhan, China: a retrospective analysis. Respiratory
Research. 2020;1-10
29. Sherwood L. Blood: in Introduction to Human Physiology Ed 8th. 2013.
Internasional Edition. p409-11
30. Iba T, Warkentin TE, Tachil J, Levi M, Levy JH. Review Proposal of the
definition for COVID-19-associated coagulopathy. J Clin Med.
2021;(10)191:1-9
27
31. Cui S, Chen S, Li X, Liu S, Wang F. Prevalence of venous tromboembolism
in patients with severe novel coronavirus pneumonia. J Thromb Haemost
2020;18:1421-4
32. Throop JL, Kerl ME, Cohn LA. Albumin in Health and Disease: Protein
Metabolism and Function. Compendium. 2004;932-39
33. Moman RN, Varacallo M. Physiology Albumin. StatPearls-NCBI
Bookshelf. 2018;1-4
34. Huang W, Li C, Wang Z, Wang H, Zhou W, Juang J, dkk. Decreased serum
albumin level indicates poor prognosis of COVID-19 patients: hepatic
injury analysis from 2.623 hospitalized cases. Sci China Life Sci. 2020:1-10
35. Wu MA, Fossali T, Pandolfi L, Carsana L, Ottolina D, Frangipane V, dkk.
Hypoalbuminemia in COVID-19: assesing the hypothesis for underlying
pulmonary capillary leakage. J Intern Med.2021;289:861-72
36. Zerbato Y, Sanson G, De Luca M, Di Bella S, Di Masi A, Caironi P, dkk.
The Impact of serum Albumin in levels on COVID-19 Mortality. Infect Dis
Rep. 2022;(14):278-286
28
Lampiran 1 : Dummy Table
29
Tabel 2. Hubungan Kadar D-dimer dengan Derajat Klinis
Derajat Klinis
Kadar D Dimer Ringan Sedang Berat Kritis p-value
n % n % n % n %
≤ 500 ng/ml
> 500 ng/ml
Total
Luaran Klinis
n % n %
≤ 500 ng/ml
> 500 ng/ml
Total
30
Lampiran 2 : Tabel Kegiatan Waktu Penelitian
No Kegiatan Bulan pada tahun 2022
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 Studi Pustaka x x x x x x x x x x x
2 Persiapan dan penelitian x x x x
pendahuluan
3 Penyusunan proposal x x x x x
4 Proses perijinan x
5 Pengumpulan data dan analisis x x x
data
6 Penulisan laporan x x x
7 Publikasi dan seminar x x
31
Lampiran 3: Rincian Dana Penelitian
B. Biaya Operasional
Jumlah Rp.6.500.000
32