Anda di halaman 1dari 44

HUBUNGAN ANTARA NILAI LAKTAT, ScvO2, DAN PvaCO2 GAP PADA

PASIEN SEPSIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK


MEDAN

PROPOSAL TESIS

Oleh :

dr. Muhammad Arif Siregar


NIM. 187114015

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
HUBUNGAN ANTARA NILAI LAKTAT, ScvO2, DAN PvaCO2 GAP PADA
PASIEN SEPSIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
MEDAN

PROPOSAL TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Dokter


Spesialis dalam Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif pada
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh :

dr. Muhammad Arif Siregar


NIM. 187114015

Pembimbing I :
Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn, KIC, KAO

Pembimbing II :
dr. Rr. Sinta Irina, SpAn, KNA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI …………………………………………………………………… iii


DAFTAR TABEL ………………………………………………………………. v
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………… vi
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………………… vii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………… ix
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………... 4
1.3 Hipotesis …………………………………………………………………. 4
1.4 Tujuan Penelitian ………………………………………………………… 4
1.4.1 Tujuan Umum ……………………………………………………. 4
1.4.2 Tujuan Khusus …………………………………………………… 4
1.5 Manfaat Penelitian ……………………………………………………….. 5
1.5.1 Manfaat Umum …………………………………………………... 5
1.5.2 Manfaat Akademisi ………………………………………………. 5
1.5.3 Manfaat Klinis …………………………………………………… 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………... 6
2.1 Definisi, Patofisiologi, dan Diagnosis Sepsis …………………………….. 6
2.2 Laktat, ScvO2, dan PvaCO2 Gap pada Pasien Sepsis …………………… 12
2.3 Kerangka Teori dan Kerangka Konsep ………………………………….. 19
2.3.1 Kerangka Teori …………………………………………………. 19
2.3.2 Kerangka Konsep ……………………………………………….. 19
BAB III METODOLOGI PENELITIAN …………………………………….. 20
3.1 Desain Penelitian ……………………………………………………….. 20
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian …………………………………………... 20
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian …………………………………………. 20
3.3.1 Populasi Penelitian ……………………………………………… 20
3.3.2 Sampel Penelitian ……………………………………………….. 20
3.3.3 Besar Sampel …………………………………………………… 20

iii
3.4 Pemilihan Subjek Penelitian ……………………………………………. 21
3.4.1 Kriteria Inklusi ………………………………………………….. 21
3.4.2 Kriteria Ekslusi …………………………………………………. 21
3.4.3 Kriteria Drop Out ……………………………………………….. 21
3.5 Variabel Penelitian ……………………………………………………… 21
3.6 Definisi Operasional ……………………………………………………. 21
3.7 Bahan dan Cara Kerja …………………………………………………… 22
3.7.1 Alat dan Bahan Penelitian ………………………………………. 22
3.7.2 Cara Kerja ………………………………………………………. 23
3.8 Rencana Manajemen dan Analisis Data ………………………………… 23
3.9 Masalah Etika …………………………………………………………… 24
3.10 Alur Penelitian ………………………………………………………….. 25
DAFTAR PUSTAKA

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 SOFA (Sequential Organ Failure Assessment) ……………………… 11

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Perubahan Patofisiologi pada Sepsis Akibat Infeksi ………………. 7


Gambar 2.2 Perubahan Patofisiologi Utama dari Sepsis ………………………... 8
Gambar 2.3 Kriteria Klinis Identifikasi Pasien dengan Sepsis dan Syok Septik . 12
Gambar 2.4 Bagaimana Menggunakan Laktat dalam Resusitasi Sepsis ……….. 14
Gambar 2.5 Interpretasi Klinis ScvO2 ………………………………………….. 15
Gambar 2.6 Interpretasi Kadar PvaCO2 Gap dan Laktat ………………………. 16
Gambar 2.7 Interpretasi Pasien dengan PvaCO2 gap yang Tinggi ……………… 17
Gambar 2.8 Analisis Profil Hemodinamik ………………………………………. 18

vi
DAFTAR SINGKATAN

AGDA : Analisa gas darah arteri


AGDV : Analisa gas darah vena
CVP : Central venous pressure
CO2 : Karbon dioksida
DAMPs : Damage-associated molecular patterns
DIC : Disseminated intravascular coagulation
DO2 : Delivery oxygen
GCS : Glasgow coma scale
ICU : Intensive care unit
IGD : Instalasi gawat darurat
IL : Interleukin
MAP : Mean arterial pressure
NOD-LRR : Nucleotide oligomeration domain leucine-rich repeat
PaCO2 : Tekanan parsial karbon dioksida pada arteri
PAMPs : Pathogen-associated molecular patterns
PvaCO2 gap : Perbedaan antara tekanan parsial CO2 pada vena dan arteri
PvCO2 : Tekanan parsial karbon dioksida pada vena
qSOFA : Quick sequential organ failure assessment
RIG-I : Retinoic acid-inducible gene I
RR : Respiratory rate
RSUP : Rumah sakit umum pusat
ScvO2 : Saturasi oksigen vena sentral
SD : Standard deviation
SIRS : Systemic inflammatory response syndrome
SpO2 : Saturasi oksigen perifer
SPSS : Statistical package for the social sciences
SOFA : Sequential organ failure assessment
SvO2 : Saturasi oksigen vena
SVR : Systemic vascular resistance
TDS : Tekanan darah sistolik

vii
TLR : Toll-like receptors
TNF : Tumour necrosis factor
VO2 : Kebutuhan oksigen

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Curriculum Vitae


Lampiran 2 Lembar Penjelasan
Lampiran 3 Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Lampiran 4 Anggaran Penelitian

ix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sepsis didefinisikan sebagai disregulasi respon imun terhadap infeksi yang
mempengaruhi jutaan individu per tahun dengan angka morbiditas dan mortalitas
yang tinggi. Secara global, ada diperkirakan 49 juta kasus sepsis per tahunnya.1
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh
disregulasi respon host pada infeksi. Sepsis dan syok septik berdampak pada jutaan
orang di seluruh dunia setiap tahun dan membunuh antara satu dari tiga kasus.2
Sepsis merupakan kondisi penyakit yang berat dan meningkatkan angka
morbiditas. Sepsis berat dan syok septik masih menjadi salah satu penyebab utama
kematian pasien perawatan intensif di dunia. Insidensi sepsis semakin meningkat
dan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan usia.3
Sepsis menjadi masalah utama di seluruh dunia, dengan perkiraan 31,5 juta
kasus dan 5,3 juta kematian per tahun. Sepsis adalah penyebab 35 % dari semua
kematian di rumah sakit, dengan kematian keseluruhan berkisar antara 20-30 %.4
Sepsis adalah penyebab kesepuluh dari kematian secara global dan
penyebab kematian paling umum pada pasien dengan infeksi, terutama bila sepsis
tidak teridentifikasi tidak dan segera diobati.5
Perkiraan insiden sepsis mulai dari 66 hingga 300 per 100.000 populasi di
negara berkembang. Perkiraan kematian pada pasien sepsis berkisar dari 27 %
hingga 36 %. Namun, risiko kematian akibat sepsis telah menurun dalam dekade
terakhir, meskipun insiden meningkat, karena adanya kemajuan ilmu dalam
penanganan dan perawatan.6
Angka kejadian sepsis mencapai 535 kasus per 100.000 orang per tahun dan
terus meningkat, dengan kematian tetap sekitar 25-30 %.7
Secara global, insiden populasi sepsis yang dirawat di rumah sakit pada
orang dewasa diperkirakan 270 per 100.000, dengan kematian keseluruhan
diperkirakan 26 %.8

1
2

Sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan


disregulasi respon host terhadap infeksi. Angka kematian kasus ini selama 28 hari
perawatan di rumah sakit berkisar antara 15-45 %.9
Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa yang
disebabkan oleh disregulasi respon host terhadap infeksi. Pada tahun 2017, tercatat
48,9 juta kasus sepsis dan 11 juta kematian terkait sepsis di seluruh dunia, mewakili
sekitar 20 % dari semua kematian global. Dengan demikian, sepsis telah menjadi
masalah kesehatan global yang serius dengan konsekuensi yang mengancam jiwa,
yang membutuhkan diagnosa sedini mungkin dan manajemen terapi yang efektif.10
Sepsis berhubungan dengan meningkatnya biaya yang sangat mahal untuk
diobati, dengan total rawat inap rumah sakit dan fasilitas perawatan, serta
meningkatnya morbiditas dan mortalitas setiap tahunnya.1
Telah ada update yang signifikan dalam definisi dan manajemen sepsis
selama tiga dekade terakhir. Update ini melibatkan identifikasi dini dari risiko yang
dimiliki pasien dan pengobatan segera dengan antibiotik, optimalisasi
hemodinamik, dan perawatan suportif yang tepat. Update ini mempunyai kontribusi
secara signifikan terhadap hasil yang lebih baik secara keseluruhan dengan sepsis.
Investigasi terhadap biomarker yang relevan secara klinis dari sepsis sedang
berlangsung dan belum memberikan hasil yang efektif.11
Suatu nilai prediksi prognostik pada pasien sepsis dan syok septik sangat
dibutuhkan untuk menentukan agresivitas terapi yang akan kita pilih. Berbagai cara
digunakan untuk memprediksi mortalitas pasien yang dirawat di ruang intensif.
Berdasar atas hal tersebut maka diperlukan penanda untuk menilai gangguan
perfusi jaringan.3
Pilar utama manajemen sepsis adalah source control, terapi antimikroba,
dan resusitasi sirkulasi. Identifikasi sepsis secara dini merupakan elemen yang
memberikan dampak paling penting dalam kelangsungan hidup.12
Biomarker dalam manajemen pasien sepsis juga dapat menggambarkan
prognosis dan respons terhadap terapi yang diberikan.9
Pasien sepsis dengan kadar laktat dalam kisaran normal (antara 1,4-2,3
mmol/L) memiliki peningkatan risiko kegagalan organ dan kematian yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien yang kadar laktat kurang dari 1,4 mmol/L.5
3

Korelasi antara kadar laktat dan sepsis, ditemukan nilai rata-rata laktat yang
secara signifikan lebih tinggi di antara pasien sepsis dibandingkan kelompok
kontrol (3,13 ± 2,86 vs 2,16 ± 1,86, p = 0,03). Morbiditas dan mortalitas yang terkait
dengan sepsis sangat tinggi dengan sedikitnya 1 dari 4 kasus berujung kematian.
Peningkatan kadar laktat dari 2,1 menjadi 8 mmol/L menurunkan kelangsungan
hidup dari 90 % menjadi 10 %. Nilai laktat 0-2,4; 2,5-3,9; dan 4 mmol/L dikaitkan
dengan persentase kematian 4,9 %, 9 %, dan 28,4 %.13
Target ScvO2 ≥ 70% disarankan tercapai selama resusitasi dimana ScvO2
kurang dari 70 % merupakan prediksi mortalitas yang tinggi.14
ScvO2 rendah yang terjadi pada 25-30 % pasien dengan syok septik,
dikaitkan dengan outcome yang buruk.15
Pemantauan nilai ScvO2 ini telah banyak digunakan sebagai parameter
target resusitasi dan nilai ScvO2 < 70% akan meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas. Pasien yang dilakukan resusitasi berdasarkan ScvO2 dapat menurunkan
angka kematian secara signifikan sebesar 16,5 % dibandingkan dengan pasien yang
menggunakan parameter CVP (central venous pressure), MAP (mean arterial
pressure), dan produksi urin.9
ScvO2 menggambar keseimbangan antara konsumsi oksigen dan
pengiriman oksigen (DO2), sehingga ScvO2 yang rendah merupakan sinyal penting
pada pasien yang secara hemodinamik tidak stabil. Resusitasi dengan memberikan
cairan, transfusi, dan dobutamin pada pasien sepsis ketika ScvO2 < 70 %, dikaitkan
dengan penurunan angka kematian hingga 46,5 %.16
PvaCO2 gap adalah indeks metabolik yang dapat digunakan untuk menilai
kecukupan perfusi jaringan untuk mendukung metabolisme tubuh. PvaCO2 gap > 6
mmHg menunjukkan bahwa perfusi jaringan tidak cukup untuk menghilangkan
CO2 yang dihasilkan oleh jaringan. Sebagai catatan, tingkat PvaCO2 abnormal yang
persisten dapat dikaitkan dengan outcome yang buruk pada pasien sepsis.17
Gangguan perfusi jaringan dikaitkan dengan peningkatan kematian pada
pasien syok septik. PvaCO2 gap telah diusulkan sebagai marker alternatif
hipoperfusi jaringan dan telah digunakan untuk memandu penanganan syok.
PvaCO2 gap bisa menjadi alat untuk mendeteksi ketidakcukupan resusitasi selama
syok septik. PvaCO2 gap lebih besar pada pasien yang mengalami komplikasi paska
4

operasi daripada pada mereka yang tidak (7,8 ± 2 vs 5,6 ± 2 mmHg). Pasien dengan
PvaCO2 gap > 6 mmHg memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien dengan PvaCO2 gap < 6 mmHg.18
Meskipun laktat dan saturasi oksigen vena (SvO2) umumnya digunakan
sebagai biomarker awal untuk menilai perfusi jaringan dan oksigenasi seluler,
kegunaannya memiliki keterbatasan. PvaCO2 gap semakin diakui sebagai marker
yang andal untuk mengevaluasi perfusi jaringan pada pasien sepsis. PvaCO2 gap
yang meningkat telah dilaporkan didapati pada pasien dengan sepsis. Pada pasien
sepsis, terdapat bukti bahwa PvaCO2 gap > 6 mmHg, bahkan setelah normalisasi
laktat, berhubungan dengan outcome yang buruk. PvaCO2 gap yang tinggi adalah
terkait dengan tingkat laktat yang tinggi, curah jantung yang lebih rendah dan
saturasi oksigen vena sentral (ScvO2) yang rendah, dan secara signifikan
berkorelasi dengan kematian.19

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut, “Apakah terdapat hubungan antara nilai laktat, ScvO2, dan PvaCO2
gap pada pasien sepsis?”

1.3 Hipotesis
Terdapat hubungan antara nilai laktat, ScvO2, dan PvaCO2 gap pada pasien
sepsis.

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui adanya hubungan antara nilai laktat, ScvO2, dan PvaCO2 gap
pada pasien sepsis.

1.4.2 Tujuan Khusus


1. Menilai hasil yang ditunjukkan antara nilai laktat pada pasien sepsis.
2. Menilai hasil yang ditunjukkan antara nilai ScvO2 pada pasien sepsis.
3. Menilai hasil yang ditunjukkan antara nilai PvaCO2 gap pada pasien sepsis
5

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Umum
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber referensi
tambahan dalam penelitian lanjutan tentang penilaian hubungan antara nilai laktat,
ScvO2, dan PvaCO2 gap pada pasien sepsis.

1.5.2 Manfaat Akademisi


Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan dalam
menilai hubungan hubungan antara nilai laktat, ScvO2, dan PvaCO2 gap pada pasien
sepsis.

1.5.3 Manfaat Klinis


Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui manfaat dan keterbatasan
dalam penilaian hubungan hubungan antara nilai laktat, ScvO2, dan PvaCO2 gap
pada pasien sepsis dalam beberapa kondisi klinis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi, Patofisiologi, dan Diagnosis Sepsis


Kata sepsis berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata untuk “dekomposisi” atau
“pembusukan”, dan pertama digunakan sekitar 2700 tahun yang lalu. Sepsis adalah
kedaruratan medis yang menggambarkan keadaan respon imunologis sistemik
tubuh terhadap proses infeksi yang dapat menyebabkan disfungsi organ dan
kematian.11
Sepsis adalah kondisi klinis yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh
disregulasi respon host terhadap infeksi.20
Sepsis adalah sindrom yang ditandai dengan disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan oleh disregulasi respon host terhadap infeksi.
Sementara sepsis secara tradisional dianggap sebagai konsekuensi dari peradangan
yang tidak terkontrol dan interaksi imun-patogen yang kompleks.21
Pertama sekali terjadi inisiasi respon host terhadap patogen adalah aktivasi
sel-sel kekebalan bawaan, terutama terdiri dari makrofag, monosit, neutrofil, dan
natural killer cell. Hal ini terjadi melalui pengikatan PAMPs (pathogen-associated
molecular patterns), seperti endotoksin bakteri dan β-glukan jamur untuk
pengenalan pola tertentu reseptor, pada sel-sel ini. Selain itu, terjadi interaksi
DAMPs (damage-associated molecular patterns) yang mengikat reseptor spesifik
pada monosit dan makrofag, seperti TLR (toll-like receptors), C-type leptin
receptors, nucleotide-binding oligomerization domain like receptors, dan retinoic
acid inducible gene-1 like receptors. Hal ini menyebabkan aktivasi intraseluler jalur
transduksi sinyal yang menyebabkan transkripsi dan pelepasan sitokin
proinflamasi, seperti TNFα, IL-1, IL-1β, IL-6, dan IL-18. Sitokin proinflamasi
menyebabkan aktivasi dan proliferasi leukosit, aktivasi sistem komplemen, dan
upregulation adhesi endotel.11
Mekanisme awal sepsis dan dimulai dari infeksi mikroorganisme patogen
ke dalam tubuh pasien. Selanjutnya mikroorganisme tersebut akan diidentifikasi
oleh tubuh, kemudian tubuh akan merespon melalui sel imun tubuh. Sel imun akan
mengekspresikan respon tubuh melalui PAMPs (Pathogen-Associated Molecular

6
7

Patterns), MAMPs (Microbial-Associated Molecular Patterns), dan atau DAMPs


(Damage-Associated Molecular Pattern). Ketiga sel tersebut memicu produksi
PRR (Pattern Recognition Receptor) yang terdiri dari 4 golongan, yaitu TLR (Toll-
Like Receptor), protein NOD-LRR (Nucleotide Oligomeration Domain Leucine-
Rich Repeat), reseptor RIG-I (Retinoic acid-Inducible Gene I), dan reseptor C-Type
lectin. Seluruh tipe TLR tersebut akan berikatan dengan DAMPs sebagai respons
inflamasi terhadap infeksi mikroorganisme patogen. Setelah terbentuk ikatan TLR-
DAMPs, akan terjadi transduksi sinyal intraseluler yang kemudian menstimulasi
produksi sitokin dan non-sitokin, mengakibatkan ketidakseimbangan antara
inflamasi dengan anti-inflamasi, koagulasi dengan antikoagulasi, oksidasi dengan
anti-oksidasi, dan apoptosis dengan anti-apoptosis. Efek pada jaringan berupa
disfungsi endotel, gangguan keseimbangan sistem koagulasi, peningkatan
permeabilitas membran dan penurunan tonus vaskuler.9

Gambar 2.1 Perubahan Patofisiologi pada Sepsis Akibat Infeksi10


8

Sepsis adalah kondisi umum dengan morbiditas dan kematian yang tinggi.
Patogenesis sepsis sangat kompleks. Banyak bakteri dan produk patogen lainnya
dapat menginduksi produksi TNF (tumour necrosis factor), respons inang terhadap
infeksi memainkan peran penting dalam patogenesis. Antiinflamasi jalur diaktifkan
dan dapat menurunkan respons selama sepsis. Ada banyak mediator lain terlibat,
termasuk prostanoid, platelet activating factor, dan DAMPS (damage-associated
molecular patterns). Aktivasi endotel meningkatkan ekspresi sejumlah adhesin
leukosit, dengan peningkatan jumlah leukosit bertransmigrasi ke dalam jaringan.
Permeabilitas endotel meningkat, di paru-paru menyebabkan edema paru
interstisial dan di usus meningkatkan translokasi bakteri, berpotensi memperburuk
kaskade inflamasi.22

Gambar 2.2 Perubahan Patofisiologi Utama dari Sepsis22

Perubahan koagulasi sangat sering terjadi pada sepsis. Kerusakan endotel


menghilangkan fungsi pelindung jalur antikoagulasi protein C. Produk bakteri dan
sitokin inflamasi mengaktifkan faktor jaringan, inisiator utama dari jalur ekstrinsik
9

pembekuan darah. Protrombotik ini dapat menyebabkan DIC (disseminated


intravascular coagulation). Pasien dengan sepsis memiliki penurunan SVR
(systemic vascular resistance) dengan normal curah jantung yang normal atau dapat
meningkat. Curah jantung dipertahankan dengan mengorbankan pelebaran
ventrikel kiri, dengan penurunan fraksi ejeksi dan penurunan fungsi kerja ventrikel
kiri. Perubahan ini dapat menyebabkan hipotensi yang menjadi ciri syok septik.
Perubahan SVR adalah sebagian besar dimediasi oleh kelebihan produksi
vasodilator nitrat oksida dalam pembuluh darah. Perfusi jaringan yang buruk juga
mendasari peningkatan laktat.22
Patofisiologi terjadinya hipoperfusi jaringan oleh sepsis dimulai dari
interaksi kompleks antara penyebab infeksi dengan sistem imun, respon inflamasi
dan koagulasi, sehingga menimbulkan manifestasi berupa disfungsi endotel
pembuluh darah yang mengakibatkan vasodilatasi dan kebocoran kapiler.
Terjadinya vasodilatasi dan kebocoran kapiler akan menyebabkan aliran darah ke
jaringan berkurang, yang dapat diperberat oleh adanya depresi otot jantung. Hal lain
yang dapat terjadi adalah disfungsi mikrovaskular, sehingga terjadi gangguan
ambilan oksigen di jaringan.9
Perfusi adalah proses aliran darah dari jantung ke capillary bed jaringan,
membawa oksigen dan nutrisi yang diperlukan untuk metabolisme di masing-
masing jaringan. Hipoperfusi merupakan dampak dari ketidakseimbangan antara
penghantaran oksigen (DO2) dan kebutuhan oksigen (VO2) ke sel. Berdasarkan
jenisnya, hipoperfusi dibagi menjadi 2, yaitu hipoperfusi global dan hipoperfusi
regional. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena dapat terjadi secara bersamaan.
Hipoperfusi regional khususnya regio splanknik terjadi pada fase awal syok sebagai
mekanisme kompensasi awal untuk memenuhi perfusi pada organ vital yaitu otak,
jantung, dan paru.9
Hipoperfusi global adalah berkurangnya aliran darah menuju jaringan yang
terjadi secara menyeluruh, yang dapat dilihat pada parameter makrosirkulasi, yaitu
tekanan darah, frekuensi nafas, jumlah nadi, produksi urin, atau parameter
mikrosirkulasi yaitu kadar laktat darah, ScvO2, dan PvaCO2. Tanda dan gejala
hipoperfusi global yaitu perubahan tanda vital, tekanan darah sistolik (TDS) < 90
mmHg, MAP < 65 mmHg, denyut nadi > 90 kali/menit dan frekuensi pernapasan >
10

20 kali/menit. Selain itu hipoperfusi global juga dapat dinilai dari ScvO2 < 70 %,
kadar laktat dalam darah > 4 mmol/L dan PvaCO2 > 6 mmHg. Hal ini sesuai dengan
teori bahwa pada sepsis terjadi hipoperfusi jaringan oleh sepsis dimulai dari
interaksi kompleks antara penyebab infeksi dengan sistem imun, respons inflamasi
dan koagulasi, sehingga menimbulkan manifestasi berupa disfungsi endotel
pembuluh darah yang mengakibatkan vasodilatasi dan kebocoran kapiler.
Terjadinya vasodilatasi dan kebocoran kapiler akan menyebabkan aliran darah ke
jaringan berkurang, yang dapat diperberat oleh adanya depresi otot jantung. Hal lain
yang dapat terjadi adalah disfungsi mikrovaskular, sehingga terjadi gangguan
ambilan oksigen di jaringan.9
Sepsis adalah masalah utama yang mempengaruhi jutaan orang di seluruh
dunia setiap tahun, membunuh satu dari empat, dan seringkali lebih. Sepsis adalah
sindrom klinis yang dihasilkan dari disregulasi respon inflamasi terhadap infeksi
dengan dua atau lebih dari kelainan berikut, suhu > 38,3 °C atau < 36° C, denyut
jantung > 90 kali/menit, frekuensi pernapasan > 20 kali/menit atau tekanan parsial
karbon dioksida arteri (PaCO2) < 32 mmHg, dan sel darah putih > 12.000 sel/mm3,
< 4000 sel/mm3, atau > 10 % bentuk immature, disertai infeksi yang terbukti secara
kultur. Syok septik terjadi jika ada sepsis berat ditambah satu atau kedua hal berikut,
tekanan darah rata-rata sistemik adalah < 60 mmHg, atau < 80 mmHg jika pasien
memiliki baseline hipertensi.18
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa yang mengakibatkan
dari respon tubuh terhadap infeksi. Pada tahun 1991, sepsis pertama kali
didefinisikan sebagai SIRS (systemic inflammatory response syndrome) dengan
infeksi yang dicurigai atau dikonfirmasi dengan 2 atau lebih dari kriteria berikut,
suhu di bawah 36 °C atau di atas 38 °C; denyut jantung lebih dari 90 kali/menit;
laju pernapasan di atas 20 kali/menit, atau tekanan parsial karbon dioksida arteri
kurang dari 32 mmHg; dan jumlah sel darah putih kurang dari 4 × 109/L atau lebih
besar dari 12 × 109/L, atau lebih dari 10 % bentuk immature. Sepsis berat
didefinisikan sebagai progresi sepsis disertai disfungsi organ, hipoperfusi jaringan,
atau hipotensi. Syok septik digambarkan sebagai hipotensi dan disfungsi organ
yang menetap setelah diberikan resusitasi cairan, memerlukan obat vasoaktif, dan
dengan 2 atau lebih kriteria SIRS. Pada tahun 2001, definisi diperbarui dengan
11

variabel klinis dan laboratorium. Pada tahun 2004, sepsis didefinisikan sebagai
adanya minimal 2 kriteria SIRS ditambah infeksi; sepsis berat sebagai sepsis
dengan disfungsi organ (dengan serum laktat serum > 2 mmol/L); dan syok septik
sebagai hipotensi yang resisten terhadap resusitasi cairan dan membutuhkan
vasopresor, atau kadar asam laktat minimal 4 mmol/L. Pada tahun 2016, definisi
baru sebagai berikut, sepsis adalah kondisi yang mengancam jiwa disebabkan oleh
respon host terhadap infeksi, yang mengakibatkan disfungsi organ; dan syok septik
adalah pasien sepsis dengan hipotensi yang resisten terhadap resusitasi cairan dan
membutuhkan terapi vasopresor dengan hipoperfusi jaringan (laktat > 2 mmol/L).
Klasifikasi sepsis berat dihilangkan. Selain itu, SOFA (sequential organ failure
assessment) atau versi cepatnya (qSOFA) untuk mendefinisikan sepsis
digunakan.23

Tabel 2.1 SOFA (Sequential Organ Failure Assessment)11

SOFA adalah sistem penilaian objektif untuk menentukan disfungsi organ,


berdasarkan kadar oksigen (tekanan parsial oksigen dan fraksi oksigen inspirasi),
jumlah trombosit, skor GCS (Glasgow Coma Scale), kadar bilirubin, tingkat
kreatinin (atau output urin), dan rata-rata tekanan arteri (atau apakah agen vasoaktif
diperlukan). qSOFA mengidentifikasi 3 prediktor disfungsi organ yang
berhubungan dengan sepsis, yaitu frekuensi pernapasan minimal 22 kali/menit,
tekanan darah sistolik 100 mmHg atau lebih rendah, dan perubahan status mental
12

(GCS < 15). Skor qSOFA 2 atau lebih dengan suspek atau infeksi yang dikonfirmasi
telah diusulkan untuk dapat mendiagnosis sepsis lebih dini dan mudah dalam
praktek klinis.23
qSOFA menggunakan tiga variabel untuk memprediksi kematian dan lama
tinggal di ICU pada pasien sepsis, yaitu GCS < 15, laju pernapasan 22 kali/menit,
dan tekanan darah sistolik 100 mmHg. Ketika didapatkan dua dari tiga variabel,
pasien dianggap qSOFA positif.22

Gambar 2.3 Kriteria Klinis Identifikasi Pasien dengan Sepsis dan Syok Septik24

2.2 Laktat, ScvO2, dan PvaCO2 gap pada Pasien Sepsis


Laktat, ScvO2, dan PvaCO2 gap menandakan terjadinya hipoperfusi
jaringan. Kombinasi laktat, ScvO2, dan PvaCO2 gap lebih akurat sebagai penanda
hipoperfusi jaringan dibandingkan pengukuran tunggal, baik laktat, ScvO2, dan
PvaCO2 gap.25
Laktat, produk metabolisme anaerobik, dianggap sebagai biomarker untuk
menentukan adanya hipoksia jaringan. ScvO2 menurun pada pasien dengan perfusi
jaringan yang tidak adekuat, dan perfusi jaringan yang tidak adekuat akan
meningkatkan produksi laktat.26
Laktat menandakan terjadinya metabolisme anaerobik. Peningkatan kadar
laktat berhubungan dengan outcome yang buruk.15
13

Konsentrasi laktat darah direfleksikan sebagai keseimbangan antara


produksi dan penggunaan laktat di jaringan yang memiliki nilai normal 0,5-1,8
mmol/L. Jika terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen,
maka dapat menyebabkan hipoksia jaringan. Hal tersebut dapat terlihat saat
penggunaan otot yang berat maka piruvat akan direduksi menjadi laktat untuk
menghasilkan energi yang disebut metabolisme anaerob.3
Kadar laktat serum secara tradisional rendah dalam keadaan normal
individu. Rentang normal sekitar 1 ± 0,5 mmol/L dan kurang dari 2 mmol/L pada
pasien sakit kritis. Peningkatan laktat dalam darah hanya terlihat pada kondisi
seperti hiperlaktatemia dan asidosis laktat. Nilai dalam kasus seperti itu bervariasi
dari 2 mmol/L hingga 5 mmol/L pada hiperlaktatemia dan di atas 5 mmol/L pada
asidosis laktat. Dengan demikian, kadar laktat serum berfungsi sebagai pembuat
diagnostik pada pasien sakit kritis. Laktat adalah produk dari metabolisme anaerob.
Tingkat laktat yang tinggi dalam jaringan merupakan indikasi langsung dari
hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan yang lama dapat menyebabkan kerusakan
permanen pada jaringan mengakibatkan kematian jaringan. Kegagalan organ adalah
fitur umum terlihat pada pasien syok septik. Kegagalan organ dikaitkan dengan
hipoksia jaringan. Hiperlaktatemia sebenarnya terkait dengan periode hipoksia
jaringan yang lama dan kegagalan organ berikutnya.13
Laktat diproduksi oleh sebagian besar jaringan dalam tubuh dengan otot
menghasilkan jumlah laktat tertinggi. Serum laktat biasanya dibersihkan dengan
sangat cepat. Organ utama untuk pembersihan adalah hati diikuti oleh ginjal. Nilai
laktat di atas 4 mmol/L dianggap tinggi dan antara 2-2,5 mmol/L dianggap
meningkat. Peningkatan laktat biasanya disebabkan oleh penurunan pembersihan
atau peningkatan produksi laktat, atau kombinasi keduanya. Beberapa faktor lain,
seperti hipoperfusi, disfungsi mitokondria, disfungsi hati dan keadaan
hipermetabolik juga dapat meningkatkan kadar laktat dalam darah.13
Karena laktat adalah produk glukosa dan metabolisme piruvat, setiap
peningkatan metabolisme glukosa atau penurunan metabolisme piruvat akan
meningkatkan laktat. Pada sepsis, respon inflamasi muncul terkait dengan
peningkatan glikolisis dan gangguan piruvat dehidrogenase. Sehingga, sitoplasma
piruvat meningkat dengan pembentukan laktat yang lebih besar.27
14

Gambar 2.4 Bagaimana Menggunakan Laktat dalam Resusitasi Sepsis28

Hipoperfusi jaringan tidak menyebabkan peningkatan laktat sampai


penurunan pengiriman oksigen ke jaringan, sebagai efek hipoperfusi, mencapai titik
kritis, di mana tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan,
menyebabkan disoksia seluler dan kadar laktat meningkat. Selain itu, oleh karena
kapasitas pembersihan hati hampir menghilang pada sepsis, peningkatan kadar
laktat mungkin tidak berhubungan dengan disoksia jaringan. Faktor lain pada sepsis
mungkin berkontribusi pada peningkatan kadar laktat dengan adanya pengiriman
oksigen jaringan. Laktat merupakan penanda penting dari respon pasien terhadap
inisiasi terapi yang dilakukan. Jika kadar laktat tidak menurun setelah inisiasi terapi,
dapat diartikan ada sesuatu yang salah. Meskipun ada banyak alasan mengapa
pasien dengan sepsis terjadi peningkatan kadar laktat, delivery oksigen yang tidak
adekuat adalah penyebab yang paling mungkin.28
15

ScvO2 menggambarkan keseimbangan antara delivery oksigen dan


konsumsi oksigen.17

Gambar 2.5 Interpretasi Klinis ScvO229

ScvO2 telah dipertimbangkan sebagai marker prognosis yang sesuai di


berbagai situasi klinik pada pasien sakit kritis. ScvO2 > 70 % sebagai parameter
target yang harus dicapai dalam 6 jam pertama. Nilai ScvO2 rendah mencerminkan
output jantung yang tidak memadai dengan ekstraksi oksigen yang berlebihan,
konsentrasi hemoglobin rendah, dan atau rendahnya tingkat tekanan oksigen arteri
(PaO2). Sebaliknya nilai ScvO2 tinggi berarti pengiriman oksigen yang sangat tinggi
melebihi dari permintaan jaringan dan atau penurunan konsumsi oksigen seluler
(disfungsi mitokondria) dan atau lebih jarang adanya shunting arterio-venous.
Kemampuan ScvO2 untuk menggambarkan keseimbangan antara penghantaran dan
konsumsi oksigen tidak selalu konstan. Hal ini tergantung dari beberapa kondisi,
seperti pemakaian sedasi, ventilator, ujung kateter vena sentral yang dipengaruhi
oleh posisi tubuh, dan hal-hal lainnya. Interpretasi nilai ScvO2 sebaiknya dilakukan
bersamaan dengan pemantauan parameter mikrosirkulasi lainnya, seperti kadar
laktat darah dan atau PvaCO2 gap.9
16

ScvO2 rendah menandakan delivery oksigen yang tidak adekuat. ScvO2


rendah menjadi penanda untuk gangguan makrosirkulasi (delivery oksigen ke
seluruh tubuh tidak adekuat) dan nilai ScvO2 yang tinggi dapat menggambarkan
gangguan mikrosirkulasi. Baik ScvO2 yang rendah dan tinggi dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas.25
PvaCO2 gap dianggap sebagai marker alternatif hipoperfusi jaringan dan
telah digunakan untuk memandu penanganan syok.18
PvaCO2 gap adalah perbedaan antara tekanan parsial CO2 pada vena
(PvCO2) dan tekanan parsial CO2 pada arteri (PaCO2). Dalam kondisi normal,
rentang PvaCO2 gap berkisar dari 4 sampai 6 mmHg. PvaCO2 gap > 6 mmHg
adalah abnormal. PvaCO2 gap tergantung pada produksi CO2 global, curah jantung,
dan CO2 content.18
PvaCO2 gap membantu untuk mengidentifikasi pasien dengan hipoperfusi
global persisten dan memandu proses resusitasi. PvaCO2 gap > 6 mmHg
mencerminkan keadaan hipoperfusi jaringan.25

Gambar 2.6 Interpretasi Kadar PvaCO2 Gap dan Laktat15

Pada pasien sakit kritis, PvaCO2 gap berhubungan hipoperfusi jaringan.


Peningkatan PvaCO2 gap mencerminkan gangguan mikrosirkulasi. PvaCO2 gap
memberikan informasi tambahan untuk laktat. PvaCO2 gap normal dengan laktat
17

tinggi menunjukkan keadaan di mana perfusi jaringan adekuat dan laktat meningkat
baik sebagai konsekuensi dari peristiwa hipoksia yang teratasi (clearance laktat
lambat) atau karena produksi non anaerob (stimulasi adrenergik atau proses
inflamasi). Di sisi lain, peningkatan PvaCO2 gap dengan laktat normal
menunjukkan gangguan perfusi jaringan yang belum mengarah ke jaringan
hipoksia.15
PvaCO2 gap dapat menunjukkan kecukupan aliran darah mikrovaskular
pada fase awal resusitasi pada pasien sepsis. Mean arterial pressure lebih rendah
pada pasien dengan PvaCO2 gap tinggi, dan laktat lebih tinggi, menunjukkan
hipoperfusi global. Kematian yang lebih tinggi dicatat pada kelompok pasien
dengan PvaCO2 gap tinggi. PvaCO2 gap yang meningkat dapat menunjukkan
prognosis yang buruk dan tidak respon terhadap terapi atau dapat mengindikasikan
disfungsi mikrosirkulasi.30

Gambar 2.7 Interpretasi Pasien dengan PvaCO2 gap yang Tinggi31

PvaCO2 gap adalah selisih CO2 vena dan CO2 arteri, yang telah digunakan
untuk sebagai indikator kecukupan aliran darah vena untuk menghilangkan CO2
yang dihasilkan oleh jaringan perifer. PvaCO2 gap yang tinggi menunjukkan
gangguan curah jantung dan hipoperfusi jaringan. PvaCO2 gap yang tinggi (> 6
mmHg) terkait dengan outcome yang buruk pada pasien syok septik. Pasien syok
18

septik dengan PvaCO2 gap yang lebih tinggi memiliki clearance laktat yang buruk,
skor SOFA yang lebih tinggi, dan tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan
pasien dengan nilai PvaCO2 gap normal (< 6 mmHg). PvaCO2 gap yang tinggi
dalam 24 jam pertama setelah pasien masuk ICU terkait dengan kematian yang
tinggi.31
Tidak seperti laktat, PvaCO2 gap memberikan penilaian secara real-time,
dan, tidak seperti ScvO2, PvaCO2 gap lebih bersifat informatif. Dengan kombinasi
variabel-variabel ini terbentuk pendekatan terstruktur tiga tingkat untuk
mengidentifikasi gangguan makro dan mikrosirkulasi.12

Gambar 2.8 Analisis Profil Hemodinamik12


19

2.3 Kerangka Teori dan Kerangka Konsep


2.3.1 Kerangka Teori

Pasien suspek sepsis

qSOFA ≥ 2

Sepsis

Gangguan perfusi jaringan

Laktat > 2 mmol/L ScvO2 < 70 % PvaCO2 gap > 6 mmHg

2.3.2 Kerangka Konsep

Laktat

Pasien Sepsis ScvO2

PvaCO2 gap

Variabel dependent (terikat) Variabel independent (bebas)


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang mencari
hubungan antara nilai laktat, ScvO2, dan PvaCO2 gap pada pasien sepsis.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di IGD RSUP Haji Adam Malik Medan setelah
keluar ethical clearance dari komisi etik penelitian bidang kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan komisi etik Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi Penelitian
Pasien sepsis di IGD RSUP Haji Adam Malik Medan.

3.3.2 Sampel Penelitian


Populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.

3.3.3 Besar Sampel


Perhitungan besar sampel akan dilakukan menggunakan sistem perhitungan
analitik numerik tidak berpasangan. Adapun rumusnya adalah :

n = 2 (Zα + Zβ) Sd 2

x1 – x2
2
n = 2 (1,96 + 0,842) 15,9
13,4
n = 2 (3,3)2 = 2 x 10,89 = 21,78 pasien ~ ± 10%
~ 24 pasien

20
21

n : jumlah sampel minimal yang diperlukan


x1 - x2 : selisih antar kelompok didapatkan 13, berdasarkan referensi
Zα : deviat baku normal untuk α, bila α = 0,05 maka Zα = 1,96
Zβ : deviat baku untuk β, bila β = 0,2 maka Zβ = 0,842

3.4 Pemilihan Subjek Penelitian


3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien berusia 18 tahun ke atas.
2. Pasien sepsis sebelum dilakukan tindakan one-hour sepsis bundle.

3.4.2 Kriteria Eksklusi


1. Keluarga pasien menolak untuk diikutkan dalam penelitian.

3.4.3 Kriteria Drop Out


1. Pasien dalam keadaan henti jantung saat dilakukan pemeriksaan.

3.5 Variabel Penelitian


1. Variabel terikat : Pasien sepsis
2. Variabel bebas : Laktat, ScvO2, dan PvaCO2 gap

3.6 Definisi Operasional


1. Sepsis
Definisi : Kondisi klinis yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh
disregulasi respon host terhadap infeksi.
Alat ukur : qSOFA score ≥ 2 di IGD.
Hasil ukur : Sepsis (qSOFA ≥ 2) dan tidak sepsis (qSOFA < 2).
Skala ukur : Hasil pengukuran berupa skala ordinal.
2. Laktat
Definisi : Produk metabolisme anaerobik, dianggap sebagai biomarker untuk
menentukan adanya hipoksia jaringan.
22

Alat ukur : Pengambilan sampling pada vena jugularis interna salah satu sisi
kanan atau kiri, penempatan ke dalam vaccum tube lalu dilakukan pemeriksaan ko-
oksimetri dikirim ke sejawat Patologi Klinik.
Hasil ukur : Hiperlaktatemia (laktat > 2 mmol/L) dan normal (laktat ≤ 2
mmol/L).
Skala ukur : Hasil pengukuran berupa skala ordinal.
3. ScvO2
Definisi : Keseimbangan antara konsumsi oksigen dan pengiriman oksigen.
Alat ukur : Pengambilan sampling pada vena jugularis interna salah satu sisi
kanan atau kiri, penempatan ke dalam vaccum tube lalu dilakukan pemeriksaan ko-
oksimetri dikirim ke sejawat Patologi Klinik.
Hasil ukur : Low ScvO2 (ScvO2 < 70 %) dan normal (ScvO2 ≥ 70 %).
Skala ukur : Hasil pengukuran berupa skala ordinal.
4. PvaCO2 gap
Definisi : Perbedaan antara tekanan parsial CO2 pada vena (PvCO2) dan
tekanan parsial CO2 pada arteri (PaCO2).
Alat ukur : Pengambilan sampling pada arteri karotis dan vena jugularis
interna salah satu sisi kanan atau kiri, penempatan ke dalam 2 buah vaccum tube
yang berbeda lalu dilakukan pemeriksaan ko-oksimetri dikirim ke sejawat Patologi
Klinik.
Hasil ukur : High PvaCO2 gap (PvaCO2 gap > 6 mmHg) dan normal (PvaCO2
gap ≤ 6 mmHg).
Skala ukur : Hasil pengukuran berupa skala ordinal.

3.7 Bahan dan Cara Kerja


3.7.1 Alat dan Bahan Penelitian
1. Lembar observasi pasien.
2. Alat ultrasonografi.
3. Disposable syringe ukuran 3 ml.
4. Vaccum tube yang mengandung lithium heparin.
23

3.7.2 Cara Kerja


1. Mendata populasi penelitian
Melakukan pendataan sampel penelitian yaitu pasien sepsis di RSUP Haji Adam
Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
2. Penjelasan kepada keluarga pasien
Penjelasan kepada keluarga pasien yang menjadi subjek penelitian mengenai
tujuan, cara dan manfaat pemeriksaan ini dan selanjutnya pada keluarga pasien
yang akan diminta terlebih dahulu menandatangani informed consent.
3. Pencatatan data dasar
Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di RSUP Adam Malik Medan seperti
nama, jenis kelamin. Melakukan pemeriksaan vital tanda-tanda vital, berupa
tekanan darah, laju napas, GCS, dan SpO2.
4. Dilakukan pengambilan darah
Membersihkan daerah pengambilan darah, pada leher kanan atau kiri dengan
povidon iodin, setelah beberapa saat dengan alkohol dan kemudian dikeringkan
dengan kassa. Melalui panduan ultranonografi dilakukan pengambilan sampel
darah dengan menggunakan spuit 3 ml, pada arteri karotis untuk pemeriksaan
AGDA dan vena jugularis interna untuk pemeriksaan Analisa Gas Darah Vena
dengan keduanya berada pada setinggi level yang sama, kemudian dimasukkan ke
2 buah vaccum tube yang mengandung lithium heparin disertai pemeriksaan laktat.
Posisi pengambilan disesuaikan dengan gambar. Setiap dilakukan pengambilan
darah, kemudian dilakukan kompresi pada tempat pengambilan kurang lebih
selama 5-10 menit hingga tidak tampak adanya perdarahan aktif atau
pembengkakan akibat darah tertumpuk dibawah kulit.

3.8 Rencana Manajemen dan Analisis Data


1. Setelah data yang diperlukan telah terkumpul, kemudian data tersebut diperiksa
kembali tentang kelengkapannya sebelum ditabulasi dan diolah. Lalu data tersebut
diberikan pengkodean untuk memudahkan dalam mentabulasi. Data ditabulasi ke
dalam master tabel dengan menggunakan software SPSS.
2. Data numerik yang berdistribusi normal ditampilkan dalam nilai rata-rata SD
(Standard Deviation) sedangkan data numerik yang tidak berdistribusi normal
24

disajikan dalam nilai median (nilai minimum sampai dengan nilai maksimum). Data
kategorik ditampilkan dalam jumlah (persentase).
3. Uji normalitas yang digunakan dengan jumlah sampel kurang dari 50 yaitu uji
Shapiro-wilk. Nilai p uji normalitas dikatakan normal jika nilai p besar dari 0,05.
Uji hipotesis yang digunakan untuk membandingkan nilai laktat, ScvO2, dan
PvaCO2 gap pada pasien sepsis yaitu uji korelasi Pearson jika data berdistribusi
normal atau uji alternatif Spearman jika data tidak berdistribusi normal.
4. Interval kepercayaan 95% dengan nilai p < 0,05 dianggap bermakna signifikan
secara statistik.

3.9 Masalah Etika


1. Setelah mendapat informed consent dan disetujui oleh komisi etik penelitian
bidang kesehatan FK USU, komisi etik RSUP Haji Adam Malik Medan dan ijin
dari komite medik RSUP Haji Adam Malik Medan.
2. Keluarga pasien diberikan penjelasan mengenai tujuan, manfaat, resiko dan hal
yang terkait dengan penelitian. Keluarga pasien kemudian diminta untuk mengisi
formulir kesediaan menjadi subjek penelitian.
3. Tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah tindakan yang sudah lazim
dikerjakan terhadap pasien untuk proses diagnostik dan manajemen perawatan di
ruang perawatan intensif dengan resiko minimal. Saat dilakukan pemeriksaan akan
dipersiapkan obat kegawatdaruratan yang disediakan jika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
25

3.10 Alur Penelitian

Populasi

Kriteria inklusi Kriteria ekslusi

Sampel
Pencatatan data pasien,
identitas, tanda-tanda vital
seperti TD, RR, GCS, SpO2

Pemeriksaan laktat, AGDA


karotis dan AGDV jugular

Analisis data
26

DAFTAR PUSTAKA

1. Septimus EJ. Sepsis Perspective 2020. The Journal of Infectious Diseases.


2020; 222: 1-3.
2. Evans L, Rhodes A, Alhazzani W, Antonelli M, Coopersmith CM, French
C, et al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
Management of Sepsis and Septic Shock 2021. Critical Care Medicine
Journal. 2021 Nov; 49(11): 1064-1143.
3. Kurniawan MB, Pradian E, Nawawi AM. Lactate Clearance sebagai
Prediktor Mortalitas pada Pasien Sepsis Berat dan Syok Septik di Intensive
Care Unit Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Anestesi
Perioperatif. Apr 2017; 5(1): 45-50.
4. Chebl RB, Jamali S, Sabra M, Safa R, Berbari I, Shami A. Lactate/Albumin
Ratio as a Predictor of In-Hospital Mortality in Septic Patients Presenting to
the Emergency Department. Frontiers in Medicine. 2020 Sep 22; 7(550182):
1-11.
5. Liu Z, Meng Z, Li Y, Zhao J, Wu S, Gou S, et al. Prognostic Accuracy of
the Serum Lactate Level, the SOFA Score and the qSOFA Score for
Mortality Among Adults with Sepsis. andinavian Journal of Trauma,
Resuscitation and Emergency Medicine. 2019 Apr 30; 27(51): 1-10.
6. Keeley A, Hine P, Nsutebu E. The Recognition and Management of Sepsis
and Septic Shock: A Guide for Non-Intensivists. BMJ Postgraduate Medical
Journal. 2017 Jul 29; 93: 626-634.
7. Matthias AT, Indrakumar J, Ranasinghe T, Wijekoon S, Yashodara C. A
Descriptive Study on Sepsis: Causes, Outcomes, and Adherence to
Guidelines on Patients with Sepsis at a Tertiary Care Hospital in Sri Lanka.
Hindawi BioMed Research International. 2020 Jul 15: 1-4.
8. Thompson K, Venkatesh B, Finfer S. Sepsis and Septic Shock: Current
Approach to Management. Internal Medicine Journal. 2018 Sep 28: 160-
170.
27

9. Woyka S, Ardana, Purwoko. Korelasi Kadar ScvO2 dengan Skor Sequential


Organ Failure Assesment (SOFA) pada Pasien Sepsis di Intensive Care Unit
(ICU) RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Majalah Anestesia dan Critical Care.
1 Nov 2021: 152-158.
10. Pant A, Mackraj I, Govender T. Advances in Sepsis Diagnosis and
Management: A Paradigm Shift Towards Nanotechnology. Journal of
Biomedical Science. 2021 Jan 8; 28(6): 1-30.
11. Gyawali B, Ramakrishna K, Dhamoon AS. Sepsis: The evolution in
Definition, Pathophysiology, and Management. Sage Open Medicine. 2019
Feb 11; 7: 1-13.
12. Valeanu L, Bubenek-Turconi SI, Ginghina C, Balan C. Hemodynamic
Monitoring in Sepsis-A Conceptual Framework of Macro- and
Microcirculatory Alterations. Diagnostics. 2021 Aug 28; 11(1559): 1-21.
13. Asati AK, Gupta R, Behera D. To Determine Blood Lactate Levels in
Patients with Sepsis Admitted to a Respiratory Intensive Care Unit and to
Correlate with Their Hospital Outcomes. International Journal of Critical
Care and Emergency Medicine. 2018 Sep 28; 4(45): 1-14.
14. Ahmed W, Laimoud M. The Value of Combining Carbon Dioxide Gap and
Oxygen-Derived Variables with Lactate Clearance in Predicting Mortality
after Resuscitation of Septic Shock Patients. Hindawi Critical Care
Research and Practice. 2021 Sep 26: 1-10.
15. De-Backer D, Braik R, Hove M, Foulon P, Kadou J, Michiels G, Giglioli S.
Indices of Tissue Perfusion: Triggers of Targets of Resuscitation?. Journal
of Translational Critical Care Medicine. 2020 Dec 31; 2: 1-9.
16. Vincent J, De-Backer D. From Early Goal-Directed Therapy to Late(r)
ScvO2 Checks. Chest Journal. 2018 Dec; 154(6): 1267-1269.
17. Pierrakos C, De-Bels D, Nguyen T, Velissaris D, Attou R, Devriendt J, et
al. Changes in Central Venous-to-Arterial Carbon Dioxide Tension Induced
by Fluid Bolus in Critically Ill Patients. Plos One. 2021 Sep 10; 16(9): 1-11.
28

18. Helmy TA, El-Reweny EM, Ghazy FG. Prognostic Value of Venous to
Arterial Carbon Dioxide Difference during Early Resuscitation in Critically
Ill Patients with Septic Shock. Indian Journal of Critical Care Medicine.
2017 Sep; 21: 589-593.
19. Ltaief Z, Schneider AG, Liaudet L. Pathophysiology and Clinical
Implications of the Veno‑Arterial PCO2 Gap. Critical Care. 2021 Aug 31;
25(318): 1-9.
20. Jarczak D, Kluge S, Nierhaus A. Sepsis, Pathophysiology and Therapeutic
Concepts. Journal Frontiers in Medicine. 2021 May 14; 8: 1-22.
21. Sauer CM, Gómez J, Botella MR, Ziehr DR, Oldham WM, Gavidia G.
Understanding Critically Ill Sepsis Patients with Normal Serum Lactate
Levels: Results from U.S. and European ICU Cohorts. Scientific Reports.
2021 Oct 8; 11(20076): 1-8.
22. Evans T. Diagnosis and Management of Sepsis. Clinical Medicine. 2018;
18(2): 146-149.
23. Dugar S, Choudhary C, Duggal A. Sepsis and Septic Shock: Guideline-
Based Management. 2020 Jan; 87(1): 53-64.
24. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Shankar-Hari M, Annane D,
Bauer M. The Third International Consensus Definitions for Sepsis and
Septic Shock (Sepsis-3). Clinical Review and Education. 2017 Feb 23;
315(8): 801-810.
25. Sitthikool K, Boyd JH, Russell JA, Walley KR. Value of Combined Lactate
and Central Venous Oxygen Saturation Measurement in Patients with
Sepsis: A Retrospective Cohort Study. Diagnostic Approaches and
Forecasting in the Intensive Care. 2022 Jan 19; 4: 59-68.
26. Bisarya R, Shaath D, Pirzad A, Satterwhite L, He J, Simpson SQ. Serum
Lactate Poorly Predicts Central Venous Oxygen Saturation in Critically Ill
Patients: A Retrospective Cohort Study. Journal of Intensive Care. 2019 Sep
5; 7(47): 1-8.
27. Hernandez G, Bellomo R, Bakker J. The Ten Pitfalls of Lactate Clearance
in Sepsis. Intensive Care Medicine. 2018 May 12; 45: 82-85.
29

28. Bakker J. Lactate is the Target for Early Resuscitation in Sepsis. Rev Bras
Ter Intensiva. 2017 Jan 5; 29(2): 124-127.
29. Teboul JL, Monnet X, De-Backer D. Should We Abandon Measuring SvO2
or ScvO2 in Patients with Sepsis? Annual Update in Intensive Care and
Emergency Medicine. 2019: 231-238.
30. Bitar ZI, Maadarani OS, El-Shably AM, Elshabasy RD, Zaalouk TM. The
Forgotten Hemodynamic (PCO2 Gap) in Severe Sepsis. Hindawi Critical
Care Research and Practice. 2020 Jan 7: 1-5.
31. Yuan S, He H, Long Y. Interpretation of Venous-to-Arterial Carbon Dioxide
Difference in the Resuscitation of Septic Shock Patients. Journal of Thoracic
Disease. 2019 Feb 25; 11(11): 1538-1543.
30

Lampiran 1

CURRICULUM VITAE

Nama : dr. Muhammad Arif Siregar


NIM : 187114015
Tempat, Tanggal Lahir : Pematangsiantar, 25 November 1990
Agama : Islam
Alamat : Jalan Garu 1 No. 57-1 Medan
Riwayat Pendidikan : 1. TK Al-Washliyah Pematangsiantar (1995-1996)
2. SD Negeri 122338 Pematangsiantar (1996-2002)
3. SMP Negeri 4 Pematangsiantar (2002-2005)
4. SMA Negeri 4 Pematangsiantar (2005-2008)
5. Sarjana Kedokteran USU Medan (2009-2013)
6. Profesi Dokter USU Medan (2013-2015)
31

Lampiran 2

LEMBAR PENJELASAN

Yth. Bapak ibu,


Nama saya dr. Muhammad Arif Siregar, saat ini saya sedang menjalani Program
Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Saat ini saya sedang melakukan penelitian yang berjudul :

“Hubungan Antara Nilai Laktat, ScvO2, dan PvaCO2 Gap pada Pasien Sepsis
di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan”

Adapun tujuan penelitian ini adalah :


Untuk mengetahui hubungan antara nilai laktat, ScvO2, dan PvaCO2 gap
pada pasien sepsis.

Penelitian ini menggunakan sampel darah. Dimana sampel darah akan diambil oleh
saya sendiri di salah satu sisi leher kanan atau kiri, yaitu daerah arteri karotis dan
vena jugularis interna menggunakan panduan alat USG sebanyak ± 3 ml serta
dengan persiapan alat dan obat-obatan gawat darurat. Efek samping dapat terjadi
bengkak pada bekas tempat pengambilan darah hingga kematian, mengingat
kondisi penyakit pasien yang belum stabil.
Hasil dari penelitian ini tidak ditunjukkan ke masyarakat umum dan dijaga
kerahasiaannya. Penelitian ini tidak memperberat penyakit pasien dan biaya
penelitian ini sepenuhnya tidak dibebankan kepada bapak dan ibu.
Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan bapak
dan ibu bersedia ikut serta dapat mengisi lembar persetujuan turut serta dalam
penelitian yang telah disiapkan.
Terima kasih saya ucapkan kepada bapak dan ibu yang telah berpartisipasi di dalam
penelitian ini. Jika selama menjalani penelitian ini terdapat hal-hal yang kurang
32

jelas, maka bapak dan ibu dapat menghubungi saya, dr. Muhammad Arif Siregar,
PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU, telp: 081262402654.
Terima kasih.

Medan,
Hormat saya,

dr. Muhammad Arif Siregar


33

Lampiran 3

LEMBAR PERSETUJUAN (INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, telah membaca dan mendengarkan
penjelasan dan keterangan dari peneliti serta memahami tujuan dan manfaat dari
penelitian ini, maka saya :

Nama :
Jenis Kelamin : Laki-laki / perempuan
Umur :
Alamat :

Menyatakan bersedia dan tidak berkeberatan untuk diikut sertakannya sebagai salah
satu subjek penelitian yang berjudul :

“Hubungan Antara Nilai Laktat, ScvO2, dan PvaCO2 Gap pada Pasien Sepsis
di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan”

Terhadap : diri saya sendiri / istri / suami / anak / ayah / ibu / ………………… saya

Nama :
Jenis Kelamin : Laki-laki / perempuan
Umur :
Alamat :
Nomor RM :

Saya memahami perlunya, manfaat serta tujuan dari penelitian tersebut


sebagaimana telah dijelaskan, termasuk risiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi. Saya juga menyadari bahwa oleh karena ilmu kedokteran bukanlah ilmu
pasti, melainkan sangat bergantung kepada izin Tuhan Yang Maha Esa.
34

Surat persetujuan ini saya buat dengan kesadaran saya sendiri dan tanpa paksaan
dari pihak manapun.

Medan,
Peneliti, Yang menyatakan,

dr. Muhammad Arif Siregar …………………………………..........


35

Lampiran 4

ANGGARAN PENELITIAN

Taksasi dana yang diperlukan selama penelitian :


1. Alat dan bahan penelitian :
Spuit 3 cc : 50 x Rp 1.000 Rp 50.000
Alcohol swab Rp 20.000
Kassa steril Rp 30.000
2. Pengadaan literatur Rp1.000.000
3. Pengadaan bahan seminar proposal dan hasil penelitian Rp 750.000
Cetak proposal dan hasil penelitian : 20 x Rp 50.000 Rp1.000.000
Biaya komisi etik penelitian Rp1.000.000 +
Subtotal Rp3.850.000
Biaya tak terduga (10% subtotal) Rp 385.000 +
Total perkiraan biaya penelitian Rp4.235.000

Anda mungkin juga menyukai