Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

SINDROM NEFROTIK DAN


INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)

Disusun oleh:
Agnes Rekawati
406201__

Pembimbing:
___________ (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD CIAWI
PERIODE ______________ 2023
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA

1
LEMBAR PENGESAHAN

Referat :
Sindrom Nefrotik dan Infeksi Saluran Kemih (ISK)

Disusun oleh :
__
406201__

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Ciawi, 17 Oktober 2023

Dr._______

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan bimbingan-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Sindrom
Nefrotik dan Infeksi Saluran Kemih (ISK)”. Adapun tujuan penulisan referat ini
untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh kegiatan Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di
RSUD Ciawi pada periode ___________. Penulis juga berterima kasih kepada
________ yang telah membimbing dalam penyusunan referat ini. Penulis
menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu, penulis memohon maaf jika ada penulisan yang kurang
berkenan. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
segala pihak sebagai masukan agar menjadi lebih baik di waktu mendatang. Akhir
kata, semoga referat ini dapat berguna dan bermanfaat bagi orang lain. Atas
perhatian dan dukungannya penulis mengucapkan terima kasih.

Ciawi, 17 Oktober 2023

3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................
KATA PENGANTAR....................................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................
BAB II SINDROM NEFROTIK....................................................................................
2.1 Definisi .............................................................................................
2.2 Etiologi .............................................................................................
2.3 Epidemiologi .............................................................................................
2.4 Patofisiologi .............................................................................................
2.5 Manifestasi Klinis ............................................................................................
2.6 Diagnosis ...........................................................................................
2.7 Diagnosis Banding ...........................................................................................
2.8 Tatalaksana ...........................................................................................
2.9 Komplikasi dan Prognosis..................................................................................
KESIMPULAN ...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
BAB III INFEKSI SALURAN KEMIH......................................................................
2.1 Definisi Infeksi Saluran Kemih ..........................................................................
2.2 Epidemiologi dan Faktor Risiko Infeksi Saluran Kemih.....................................
2.3 Etiologi Infeksi Saluran Kemih...........................................................................
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi Infeksi Saluran Kemih .......................................
2.5 Manifestasi Klinis Infeksi Saluran Kemih..........................................................
2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding Infeksi Saluran Kemih ...............................
2.7 Tatalaksana Infeksi Saluran Kemih....................................................................
2.8 Komplikasi dan Prognosis Infeksi Saluran Kemih.............................................
KESIMPULAN ...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................

4
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit infeksi yang sering terjadi di
masyarakat. ISK diklasifikasikan sebagai ISK atas (pielonefritis) dan ISK bawah
(sistitis, prostatitis) tergantung pada tempat infeksi dan sebagai non-komplikata
atau komplikata menurut penyakit yang mendasari dan kelainan anatomi atau
fungsional dari saluran kemih. ISK menduduki peringkat kasus infeksi nomor 1
yang menyebabkan peresepan antibiotik setelah kunjungan dokter. Infeksi ini
kadang menyusahkan dan bahkan mengancam, baik pria (12%) dan wanita (40%)
mengalami setidaknya satu episode gejala ISK sepanjang hidup mereka.
Manifestasi klinis ISK bervariasi dari bakteriuria asimtomatik hingga syok septik.
Memiliki pemahaman yang cukup tentang gejala-gejala ini dan menggunakan
antibiotik yang tepat sangat penting untuk mencegah komplikasi serius dan
penyalahgunaan antibiotik dan untuk menghambat ekspresi bakteri resisten.

Sindrom nefrotik adalah sindrom klinis yang menunjukkan gambaran


proteinuria berat dan hipoalbuminemia atau hipoproteinemia sebagai
konsekuensinya. Hal ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas protein serum
melalui membran basal yang rusak di glomerulus ginjal. Sindrom nefrotik
merupakan penyakit yang cukup langka tetapi memiliki peran penting dalam
gangguan ginjal. Pada orang dewasa, kejadian kondisi ini adalah sekitar 3 per
100.000 per tahun. Kejadian sindrom nefrotik yang lebih tinggi telah dilaporkan
pada ras Arab dan Asia daripada Kaukasia. Sindrom nefrotik dapat menyebabkan
berbagai komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitias seperti
infeksi, trombosis, hipovolemia, dan aterosklerosis. Referat ini disusun dengan
tujuan untuk meningkatkan pemahaman penulis dan pembaca mengenai sindrom
nefrotik dan tatalaksananya.

5
BAB II
SINDROM NEFROTIK

2.1. Definisi Sindrom Nefrotik


Sindrom nefrotik adalah penyakit ginjal dengan trias edema, proteinuria masif
(>3,5 g/24 jam), dan hipoalbuminemia (<3 g/dL). Sindrom nefrotik disebabkan
oleh peningkatan permeabilitas protein serum melalui membran basal yang rusak
di glomerulus ginjal. Berdasarkan penyebabnya, sindrom nefrotik primer tidak
memiliki penyakit yang mendasari, sedangkan sindrom nefrotik sekunder
memiliki penyakit yang mendasari. Sebagai akibat dari proteinuria masif dan
hipoalbuminemia, sindrom ini sering disertai dengan edema, dislipidemia,
kelainan koagulasi/fibrinolisis, penurunan fungsi ginjal, dan gangguan
1,2
imunologis.

2.2. Etiologi Sindrom Nefrotik


Berdasarkan penyebabnya, sindrom nefrotik dapat diklasifikasikan menjadi : 3
- Primer
Membranous nephropathy (MN) dan minimal change disease (MCD)
menjadi penyebab paling umum sindrom nefrotik pada orang dewasa,
sedangkan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) adalah penyebab
paling umum pada pasien berkulit hitam (50-57% kasus)
- Sekunder Berbagai macam penyakit dan obat-obatan dapat menyebabkan
sindrom nefrotik (Tabel 2.1.). Nefropati diabetik adalah penyebab umum
yang mencerminkan meningkatnya prevalensi diabetes. Amiloid juga
merupakan penyebab penting, dengan nefropati amiloid rantai ringan
imunoglobulin menyumbang 10% kasus.

6
Tabel 2.1. Penyebab-penyebab sindorm nefrotik 4

2.2. Epidemiologi
Sindrom nefrotik adalah penyakit yang cukup jarang dijumpai di praktik klinis 3,
Sindrom nefrotik angka kejadian sekitar 1-3 per 100.000 per tahun, dan 80-90%
kasus bersifat idiopatik, dan 10-20% lainnya disebabkan oleh penyakit medis
yang mendasari. Kondisi ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria
dengan rasio 2:1. Kejadian sindrom nefrotik yang lebih tinggi telah dilaporkan
pada ras Arab dan Asia daripada Kaukasia. Kejadian sindrom nefrotik pada orang
dewasa biasanya mengenai usia < 45 tahun. 5,6
MCD menyebabkan 70-90% sindrom nefrotik pada masa kanak-kanak
namun hanya 10-15% sindrom nefrotik pada orang dewasa. Insiden FSGS
meningkat, dan kini mewakili sepertiga kasus sindrom nefrotik pada orang
dewasa dan setengah kasus sindrom nefrotik pada warga Amerika keturunan
Afrika. MGN, atau kadang-kadang disebut nefropati membranosa, menyumbang
~20% kasus sindrom nefrotik pada orang dewasa Nefropati diabetik adalah
penyebab paling umum dari gagal ginjal kronis di Amerika Serikat, mencakup
45% pasien yang menerima terapi penggantian ginjal, dan merupakan masalah
yang berkembang pesat di seluruh dunia. 7

7
2.4. Patofisiologi
Berbagai penyakit glomerulus primer (idiopatik) dan penyakit sekunder dapat
menyebabkan sindrom nefrotik. Sindrom nefrotik adalah bentuk konsekuensi dari
adanya patologi glomerular dan penyebab pastinya hanya dapat diketahui dengan
pemeriksaan histopatologi ginjal. Mekanisme patofisiologis yang berbeda di balik
penyebab sindrom nefrotik sangat bervariasi berdasarkan keadaan penyakit.
Antibodi yang menargetkan PLA2-r pada podosit kemungkinan besar merupakan
penyebab MN dan karenanya dianggap sebagai penyakit autoimun spesifik ginjal.
Aktivasi sel T dan sel B kemungkinan besar berperan dalam MCD. FSGS dapat
disebabkan oleh faktor sirkulasi dan mutasi podosit. 8
Trias klasik sindrom nefrotik terdiri dari proteinuria (> 3,5 g/hari pada
orang dewasa dan >40 mg/m2 pada anak-anak), hipoalbuminemia dan edema.
Semua penyebab sindrom nefrotik menyebabkan cedera pada membrane basalis
glomerulus yang menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap
molekul besar, sebagian besar albumin tetapi juga protein plasma lainnya,
termasuk immunoglobulin, yang menyebabkan pasien sindrom nefritik lebih
rentan terkena infeksi. Proses ini merupakan proses patologis utama pada sindrom
nefrotik dengan etiologi apa pun. 9-11
Proteinuria menyebabkan hypoalbuminemia, sehingga sintesis albumin di
hepar meningkat untuk mengkompensasi kehilangan albumin yang signifikan.
Jika hepar gagal sepenuhnya untuk mengkompensasi kehilangan protein urin
dengan peningkatan sintesis albumin, konsentrasi albumin plasma menurun,
menyebabkan terjadinya edema. Edema interstisial terbentuk baik sebagai akibat
dari penurunan tekanan onkotik plasma dari kehilangan albumin melalui urin atau
dari retensi natrium di tubulus ginjal. 8,9 Proteinuria itu sendiri akan menyebabkan
inflamasi tubulointerstitial dan fibrosis, berkontribusi pada memburuknya fungsi
ginjal; proteinuria juga merupakan faktor risiko independen untuk penyakit
kardiovaskular. 9-11
Edema dapat terjadi akibat dua mekanisme. Hipotesis underfill
mengusulkan bahwa penurunan tekanan onkotik, karena hipoalbuminemia,
menyebabkan perpindahan cairan dari ruang intravaskular ke kompartemen
interstisial. Hal ini memicu retensi natrium dan air, melalui sistem renin

8
angiotensin aldosterone (RAAS) dan pelepasan hormon antidiuretic (ADH), yang
selanjutnya menyebabkan pergerakan cairan ke dalam kompartemen interstisial
lebih lanjut. Hipotesis overfill mengusulkan bahwa defek pada ekskresi natrium
adalah masalah utama yang menyebabkan retensi cairan. Hal ini mungkin dipicu
oleh proteinuria, yang kemudian mengaktifkan epithelial sodium channel (ENaC)
di ductus kolektivus ginjal yang mendorong retensi garam dan air. Tekanan
onkotik yang rendah mendorong pergerakan cairan ke dalam kompartemen
interstisial dengan menghasilkan edema. 9-11
Penurunan tekanan onkotik plasma dapat menyebabkan peningkatan
metabolisme lipid di hati, yang menyebabkan hiperlipidemia. Terjadi pula
peningkatan produksi faktor prokoagulan, peningkatan pengeluaran faktor
antikoagulan (antitrombin III) dan perubahan fungsional trombosit, yang
menyebabkan keadaan prothombotik pada pasien dengan sindrom nefrotik,
terutama pada nefropati membranosa. Hilangnya imunoglobulin dan komplemen
melalui glomerulus yang bocor dapat meningkatkan risiko infeksi. Patologi yang
mendasari dan proteinuria itu sendiri juga dapat menyebabkan acute kidney injury
(AKI) dan dalam beberapa kasus, end stage renal disease jika tidak diobati. 8,9

2.5. Manifestasi Klinis


Gejala sindrom nefrotik yang paling umum adalah edema, terutama pada
ekstremitas bawah. Seiring dengan perkembangan penyakit, edema anasarca juga
bisa muncul, hingga melibatkan periorbita dan genitalia. Gejala lain meliputi
fatigue dan dispnea saat beraktivitas akibat penumpukan cairan di paru. Albumin
yang rendah dapat menyebabkan garis Muehrcke (garis melintang putih tipis)
pada kuku. Karena urin yang tinggi protein, pasien dapat mengatakan urinnya
menjadi berbusa. 8,9
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan edema, tanda-tanda efusi pleura,
ascites hingga tanda-tanda infeksi. Pasien sindrom nefrotik umumnya tidak
mengalami hipertensi, namun dapat terjadi seiring penyakit berprogresi. Karena
pasien dengan sindrom nefrotik mengalami hiperkoagulabilitas, dapat terjadi
thrombosis vena, paling umum di ekstremitas bawah, ditandai dengan nyeri.

9
Pemeriksaan laboratorium memainkan peran penting dalam memastikan
diagnosis sindrom nefrotik. Menurut definisi, sindrom nefrotik ditandai dengan
hilangnya 3,0 - 3,5 g protein dalam urin dalam periode 24 jam, atau nilai
protein/kreatinin urin sebesar 3,0 - 3,5 mg. Cara semikuantitatif untuk mengukur
proteinuria adalah dengan dipstick, yang hasilnya biasanya 3+. Pemeriksaan kimia
darah dapat didaditemukan hypoalbuminemia ( seringkali < 2,5 g/dL),
hiperlipidemia (peningkatan kolesterol dan trigliserida, tanpa perubahan
LDL/HDL). Fungsi ginjal pada banyak kasus sindrom nefrotik bersifat progresif,
dan penanda kerusakan ginjal fungsi termasuk blood urea nitrogen dan kreatinin
biasanya dalam batas normal pada sebagian besar kasus pada gejala awal. Namun
seiring perkembangan penyakit, CKD dapat berkembang seiring dengan
meningkatnya nilai laboratorium. 8
Kemungkinan komplikasi sindrom nefrotik termasuk tromboemboli vena
yang disebabkan oleh hilangnya faktor pembekuan dalam urin, infeksi yang
disebabkan oleh hilangnya imunoglobulin melalui urin, dan gagal ginjal akut.
Tromboemboli dapat muncul dalam bentuk thrombosis vena dalam, emboli paru,
atau thrombosis vena renalis. Infeksi bakteri invasif, terutama selulitis, peritonitis,
dan sepsis, adalah infeksi paling umum yang disebabkan oleh sindrom nefrotik.
Mekanisme infeksi tidak jelas, tetapi mungkin berhubungan dengan derajat
edema, hilangnya IgG serum dengan proteinuria keseluruhan, efek terapi
kortikosteroid, penurunan fungsi komplemen atau sel T, atau gangguan fungsi
fagositik. Gagal ginjal akut adalah komplikasi spontan namun jarang. 12,13

2.6. Diagnosis
Dari manifestasi klinis didukung oleh temuan laboratorium, diagnosis klinis dari
sindrom nefrotik dapat ditegakkan. Setelah diagnosis klinis dikonfirmasi,
penilaian diagnostik lebih lanjut ditujukan untuk mengidentifikasi penyebab yang
mendasari sesuai kecurigaan klinis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu :
6,10,11,13

- Skrining autoimun (dilakukan jika dicurigai adanya penyakit autoimun,


seperti lupus eritematosus sistemik)

10
- Skrining virologi (dilakukan untuk kasus yang dicuriagi terkait dengan
HIV atau hepatitis B atau C)
- HbA1c dan glukosa puasa – untuk menyingkirkan nefropati diabeitk
- Free light chain serum atau elektroforesis protein urin – dapat
menunjukkan amiloidosis atau multiple myleloma
- Ultrasonografi ginjal – untuk menilai ukuran dan morfologi ginjal;
Ultrasonografi ginjal dapat mengidentifikasi trombosis vena ginjal jika
ditemukan gejala yang mendukung, seperti nyeri pinggang, hematuria,
atau gagal ginjal akut.
- Biopsi ginjal – untuk menentukan tipe histologis sindrom nefrotik,
termasuk imunofluoresensi dan mikroskop elektron. Biopsi ginjal adalah
modalitas utama dalam menegakkan diagnosis definitif sindrom enfrotik.
Biopsi ginjal sering direkomendasikan pada orang dengan sindrom
nefrotik untuk menetapkan subtipe patologis penyakit, untuk menilai
aktivitas penyakit, atau untuk memastikan diagnosis penyakit, seperti
amiloidosis atau lupus eritematosus sistemik. Namun, tidak ada pedoman
yang jelas tentang kapan biopsi ginjal diindikasikan atau apakah
diperlukan pada semua orang dengan sindrom nefrotik.

Tabel 2.2. Kriteria diagnostik sindrom nefrotik 4

Beberapa gambaran diagnostik dari penyebab-penyebab paling sering sindrom


nefrotik yaitu : 8
- Minimal Change Disease

11
MCD adalah sindrom nefrotik yang paling umum terjadi pada anak-anak;
oleh karena itu, biopsi ginjal tidak dilakukan kecuali pasien tidak
memberikan respon terhadap terapi glukokortikoid. Pada orang dewasa,
MCD telah dikaitkan dengan penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid,
limfoma Hodgkin, dan penggunaan litium. MCD didiagnosis dengan
biopsi ginjal yang menunjukkan histologi glomerulus normal pada
mikroskop cahaya, pewarnaan imunofluoresensi negatif untuk
imunoglobulin dan komplemen, dan fusi foot processes podosit pada
mikroskop elektron.
- Membranous Nephropathy
Diagnosis nefropati membranosa ditegakkan melalui biopsi ginjal, yang
menunjukkan adanya spike pada membran basal glomerulus pada
mikroskop cahaya menggunakan pewarnaan Jones. Spike tersebut
sebenarnya merupakan puncak subepitel di sekitar endapan imun yang
tidak ternoda pada dinding kapiler glomerulus, yang terlihat jelas pada
mikroskop elektron. Pengujian antibodi PLA2R serum diperlukan,
meskipun biopsi juga harus dilakukan pewarnaan untuk antigen PLA2R.
Etiologi lain dari nefropati membranosa termasuk penggunaan obat
antiinflamasi nonsteroid, tumor, penyakit autoimun (terutama lupus),
sifilis, dan hepatitis B dan C; oleh karena itu, pengujian penyakit ini
diperlukan sesuai indikasi klinis. Ada banyak penyebab yang lebih jarang
dari nefropati membranosa sekunder (termasuk banyak kondisi autoimun
dan inflamasi seperti sarkoidosis dan penyakit Hashimoto) dan harus
diselidiki jika dicurigai berdasarkan riwayat klinis.
- Focal Segmental Glomerulosclerosis
FSGS umum terjadi pada orang Afrika-Amerika karena variabilitas gen
APOL1. FSGS juga dapat terjadi pada pasien dengan hipertensi jangka
panjang, HIV, obesitas, hepatitis C, dan penggunaan heroin. Seperti semua
sindrom nefrotik, FSGS didiagnosis melalui biopsi ginjal. Pada mikroskop
cahaya, glomerulosklerosis (jaringan parut pada glomeruli) terlihat dalam
distribusi fokal (<50%) dan segmental (mempengaruhi sebagian tetapi
tidak keseluruhan glomeruli individu). Bentuk primer dan sekunder

12
biasanya dibedakan dengan kuantifikasi penipisan podosit di bawah
mikroskop elektron.
- Nefropati diabetik
Diagnosis nefropati diabetik harus dipertimbangkan pada pasien dengan
diabetes jangka panjang, proteinuria, dan bukti komplikasi mikrovaskuler
(nefropati, neuropati, atau retinopati) atau komplikasi makrovaskuler
(stroke, penyakit jantung iskemik, atau penyakit arteri perifer). Biopsi
biasanya hanya diindikasikan untuk diagnosis pasti jika gambarannya
tidak sesuai dengan nefropati diabetik. Pada mikroskop cahaya,
Kimmelstiel Wilson atau sklerosis nodular merupakan patognomonik
untuk nefropati diabetik.
- Nefritis lupus
Nefritis lupus dapat muncul sebagai nefritis atau nefrosis. Antibodi anti-
DNA positif dengan kadar komplemen yang rendah menunjang diagnosis.
Biopsi ginjal penting untuk menentukan stadium lupus nefritis untuk
diagnosis dan penatalaksanaan. Biopsi ginjal juga diindikasikan pada
pasien dengan nefritis lupus dengan peningkatan kreatinin yang tidak
dapat dijelaskan, sedimen aktif, proteinuria lebih dari 1 g/24 jam, atau
hematuria dengan proteinuria 500 mg/24 jam.
- Amiloidosis
Penyakit ginjal amiloidosis biasanya menyebabkan proteinuria rentang
nefrotik danpaling sering disebabkan oleh amiloid AL (primer) atau
amiloid AA (sekunder). Amiloid AL terdiri dari rantai ringan k atau l
monoklonal. Amiloid AA diproduksi oleh protein amiloid A dan paling
sering terlihat pada penyakit inflamasi kronis seperti artritis reumatoid,
penyakit radang usus, dan osteomielitis kronis. Oleh karena itu, pada
pasien gagal ginjal, jika rasio rantai ringan bebas serum lebih besar dari 3,
maka kemungkinan besar diagnosis amiloidosis. Biopsi ginjal klasik
menunjukkan birefringence hijau di bawah cahaya terpolarisasi
menggunakan pewarnaan Kongo merah.
- Multiple myeloma

13
Multiple myeloma harus dipertimbangkan pada pasien dengan kadar
kalsium lebih besar dari 11 mg/dL, kreatinin serum lebih dari 2 mg/dL,
hemoglobin kurang dari 10 g/dL, dan lesi tulang litik. Adanya rantai
ringan monoklonal dan lonjakan protein M signifikan untuk multiple
myeloma. Biopsi sumsum tulang biasanya menunjukkan lebih dari 10%
sel plasma klonal atau bukti plasmasitoma tulang atau ekstrameduler.
Biopsi ginjal hanya diindikasikan jika ginjal myeloma tidak dapat
dibedakan dari etiologi lain seperti nefropati diabetik.

2.7. Diagnosis Banding


Secara klinis, kategorisasi penyakit ginjal glomerulus sebagai sindrom nefrotik
dan sindrom nefritik membantu mempersempit diagnosis banding. Sindrom
nefritik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis proliferatif akut (pasca infeksi
dan terkait dengan infeksi), glomerulonefritis cresentic, dan glomerulonefritis
lupus proliferatif. Gejala klasik sindrom nefritik adalah:14
• Edema periorbital dan pedal
• Hematuria dengan urin berwarna merah atau cola-colored urine
• Proteinuria dalam kisaran non-nefrotik (yaitu < 3,5 g/24 jam)
• Hipertensi atau tekanan darah (TD) yang tidak terkontrol dengan baik pada
pasien yang sebelumnya tekanan darahnya terkontrol
• Insufisiensi ginjal yang ditandai dengan oliguria dan azotemia

Edema berat (atau anasarca) yang disebabkan oleh sindrom nefrotik perlu
dibedakan dari edema yang disebabkan oleh gagal jantung kongestif atau penyakit
hati, yaitu dengan adanya proteinuria berat. Pasien dengan edema dari sindrom
nefrotik seringkali dapat berbaring dengan nyaman, memungkinkan mereka untuk
mengembangkan edema wajah. Umumnya, pasien dengan CHF atau penyakit hati
yang parah tidak dapat berbaring dengan nyaman dan cenderung tidak mengalami
edema wajah. 13,15,16

14
Tabel 2.3. Perbedaan sindrom nefrotik dan nefritik 15

2.8. Tatalaksana
Tatalaksana sindrom nefrotik terdiri dari manajemen simtomatik dan
imunosupresan. Manajemen simtomatik terdiri dari : 15-18
- Diet : pengurangan asupan natrium hingga < 2 g per hari dan asupan
cairan < 1.500 mL per hari. Protein dapat diberikan 0,8-1/kgBB/hari
umumnya direkomendasikan namun tidak ditemukan memberikan
keuntungan apapun. (KDIGO)
- Edema : loop diuretic oral (furosemide 40 mg 2 kali sehari, maksimal 240
mg per kali pemberian) dapat diberikan, dengan pemantauan berat badan
seharusnya berkurang 1-2 kg per hari. Bila respon klinis inadekuat,
furosemide dapat diberikan intravena dengan penambahan diuretic thiazid
atau pemberian albumin
- Antiproteinurik : pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACEi) atau angiotensin receptor blocker (ARB) dapat digunakan untuk
mengurangi proteinuria. ACE-I dan ARB sering digolongkan sebagai obat
renoprotektif' karena mencegah vasokonstriksi arteriol eferen, mengurangi
tekanan intraglomerulus, sehingga dapat mengurangi proteinuria. Dengan
menghambat RAAS, retensi natrium dan air dihambat, sehingga
eksaserbasi edema juga akan diminimalkan. Agen-agen ini andal

15
manajemen untuk pasien dengan varian sindrom nefrotik yang lebih
ringan, seperti yang terkait dengan diabetes. Belum terdapat pedoman
mengenai dosis pasti yang harus diberikan. Targer proteinuria yaitu < 1g
per hari
- Antihipertensi : hipertensi dapat terjadi pada perjalanan penyakit sindorm
nefrotik sehingga dapat diberikan ACE-I atau ARB. Target TD yaitu
sistolik < 120 mmHg
- Hiperlipidemia : tidak ada rekomendasi untuk pengobatan hiperlipidemia,
karena pengobatan penyebab yang mendasari akan memperbaiki profil
lipid
- Albumin : albumin intravena dapat digunakan untuk memperbaiki
diuresis, dengan meningkatkan memfasilitasi distribusi diuretik dan
sebagai volume expander. Albumin sering digunakan pada pasien
hipotensi di mana pengobatan konvensional gagal memberikan repon.
Pemberian albumin dapat memiliki efek berbahaya, seperti anafilaksis,
hipertensi, dan edema paru.
- Antikoagulan dan infeksi : tidak ada data dari uji klinis prospektif
mengenai pengobatan dan pencegahan infeksi dan profilaksis
antikoagulasi pada orang dewasa dengan sindrom nefrotik. Namun, tanda
gejala infeksi dan troboemboli tetap harus diwaspadai. Orang yang
berisiko tinggi mengalami tromboemboli (misalnya, berdasarkan kejadian
sebelumnya, memiliki riwayat koagulopati) harus dipertimbangkan untuk
diberikan antikoagulasi profilaksis. 11,14,15

Pengobatan imunosupresi umumnya menggunakan kortikosteroid dan terapi


imunosupresan lain bila tidak responsif terhadap kortikosteroid. Pada umumnya,
agen imunosupresi hanya diberikan pada pasien dengan sindrom nefrotik primer.
Pada sindrom nefrotik sekunder, pengobatan berfokus pada mengobati penyakit
yang mendasari dan terapi suportif.
Pengobatan imunosupresi sindrom nefrotik melibatkan dua fase: induksi
remisi diikuti dengan mempertahankan remisi untuk mencegah relapse.
Prednisolon oral dosis tinggi biasanya dimulai pada dosis 1mg/kg/hari (sampai

16
maksimum 80mg/hari) selama sekitar 4-16 minggu, tergantung kapan remisi
tercapai. Setelah remisi tercapai, prednisolon harus diturunkan secara bertahap
selama 6 bulan. MCD lebih responsif terhadap steroid daripada penyebab sindrom
nefrotik lainnya, dengan 80% kasus merespons steroid dibandingkan 20% dengan
FSGS. Pada MCD yang sering kambuh atau corticosteroid-dependent, pilihan
pengobatan potensial berikutnya adalah sebagai berikut : 8,9,13
- Siklofosfamid oral 2–2,5mg/kg/hari selama 8 minggu;
- Rituximab IV
- Inhibitor kalsineurin oral selama satu sampai dua tahun
- Mikofenolat mofetil 500mg dua kali sehari minimal satu tahun
Pada FSGS primer yang resisten terhadap kortikosteroid, inhibitor kalsineurin
umumnya digunakan; jika dikontraindikasikan maka rituximab atau mikofenolat
dapat digunakan. 8,9,13
Pasien dengan MN diberikan imunosupresan bila mereka memiliki risiko
9
perkembangan penyakit, yaitu :
• Kadar antibodi PLA2R yang tinggi dan proteinuria berat (>8g/hari) yang
menetap selama enam bulan;
• Sindrom nefrotik gejala berat
• Perkiraan eGFR <60mL/menit/1,73m

Pengobatan termasuk steroid ditambah siklofosfamid atau rituximab, atau


penghambat kalsineurin dengan tambahan rituximab selama enam bulan.
Regimen dosis meliputi:9
• Siklofosfamid siklik: metilprednisolon 1 g intravena pada hari ke 1 hingga
ke 3 pada bulan 1, 3, dan 5. Disusul dengan prednisolon 0,5 mg/kg setiap
hari pada bulan ke 1, 3, dan 5. Siklofosfamid diberikan secara oral (2,5
mg/kg) setiap hari selama bulan 2, 4 dan 6 (untuk menyelesaikan 6 bulan);
• Dosis kumulatif maksimum siklofosfamid harus 25g untuk meminimalkan
risiko jangka panjang, termasuk keganasan;
• Rituximab intravena diberikan dengan dosis 1g/dosis untuk 2 dosis (jarak
2 minggu) atau 375mg/m2 setiap minggu untuk 4 dosis;

17
• Inhibitor kalsineurin oral dalam 2 dosis terbagi dengan selang waktu 12
jam (disesuaikan berdasarkan kadar terendah): siklosporin (kadar target:
125–175ng/mL) 3,5mg/kg/hari; atau tacrolimus (tingkat target:
3–8mg/mL) 0,05-0,1mg/kg/hari[21–25]. (pharmaceutical journal)

Tabel 2.4. Definisi remisi dan relapse pada sindrom nefrotik 9

2.9. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien sindrom nefrotik berupa : 4,11
1. Infeksi : pasien dengan sindrom nefrotik rentan terhadap infeksi karena
kehilangan imunoglobulin dan komplemen melalui urin.
2. Trombosis (baik arteri maupun vena) : dapat disebabkan oleh hilangnya
antitrombin III, protein C, dan protein S dalam urin. Trombosis sering
terjadi pada pasien dengan nefropati membranosa.
3. Hipovolemia : dapat terjadi akibat overdiuresis atau kehilangan cairan
intravascular
4. Penurunan berat badan : akibat deplesi protein.
5. Aterosklerosis : akibat hiperlipidemia.
Prognosis sindrom nefrotik sangat tergantung pada penyebab yang mendasari,
histologi penyakit, dan faktor klinis pasien. Meskipun banyak pasien membaik
dengan perawatan suportif yang tepat dan tidak memerlukan terapi khusus,
perburukan dapat terjadi pada sebagian pasein hingga memerlukan terapi spesifik
dan memerlukan dialisis. Pengobatan rutin dengan ACE-I atau ARB, ditambah
penggunaan selektif kortikosteroid atau imunosupresan lainnya, menyebabkan
tingkat remisi 76%, dengan 12% pasien yang memerlukan hemodialisis. Nefropati
membranosa idiopatik adalah salah satu bentuk SN primer yang paling umum

18
pada orang dewasa, dan memiliki prognosis yang umumnya baik. Prognosis untuk
sindrom nefrotik secara kasar mengikuti “rule of thirds”, dimana sekitar sepertiga
pasien memiliki perjalanan penyakit yang ringan dan mencapai remisi; sepertiga
memiliki bukti proteinuria atau edema yang berkelanjutan tetapi mempertahankan
fungsi ginjal normal; dan sepertiga pasien berkembang menuju penyakit ginjal
stadium akhir dalam 10 tahun. FSGS cenderung memiliki prognosis yang lebih
buruk, dan derajat proteinuria merupakan faktor prognostik yang signifikan. 17,18

19
KESIMPULAN

Sindrom nefrotik primer tidak memiliki penyakit yang mendasari, sedangkan


sindrom nefrotik sekunder memiliki penyakit yang mendasari. Sebagai akibat dari
proteinuria masif dan hipoalbuminemia, sindrom ini sering disertai dengan edema,
dislipidemia, kelainan koagulasi/fibrinolisis, penurunan fungsi ginjal, dan
gangguan imunologis. Berbeda dengan MCD yang terjadi pada anak-anak, MCD
pada dewasa biasanya terjadi sekunder dari kondisi lain, seperti nefropati diabetik.
FSGS adalah penyebab paling umum dari sindrom nefrotik idiopatik pada orang
dewasa. Edema ekstremitas bawah yang progresif, penambahan berat badan, dan
kelelahan merupakan gejala khas dari sindrom nefrotik. Pada penyakit lanjut,
pasien dapat mengalami edema periorbital atau genital, asites, atau efusi pleura
atau perikardial. Pengobatan sindrom nefrotik melibatkan dua fase: induksi remisi
diikuti dengan mempertahankan remisi untuk mencegah relapse. Kortikosteroid
atau imunosupresan lain, diuretik, ACE-i dan ARB, serta albumin adalah agen
yang digunakan dalam penatalaksanaan sindrom nefrotik.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Nishi S, Ubara Y, Utsunomiya Y, Okada K, Obata Y, Kai H et al.


Evidence-based clinical practice guidelines for nephrotic syndrome 2014.
The Japanese Society for Nephrology. 2014.
2. Golay V, Trivedi M, Kurien AA, Sarkar D, Roychowdhary A Pandey R.
Spectrum of nephrotic syndrome in adults: clinicopathological study from
a single center in India. Renal Failure. 2013;35(4):487-91.
3. Hull RP, Goldsmith DJA. Nephrotic syndrome in adults. Bmj.
2008;336(7654):1185–9.
4. Ware T. Nephrotic Syndrome. InnoAiT. 2020;13(3):159-63.
5. Konanan G, Varma V, Eswarappa M, Puri S, Mathihally G, Madhaysatha
R et al. Histologic patters of primary adult onset nephrotic syndrome and
their clinical characteristics; a single center study from South India. J
Neprhopathol. 2017;6(4):304-8.
6. Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J.
Harrison’s Principles of Internal Medicine 20th edition. McGraw Hill.
2020.
7. Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Loscalzo J.
Glomerular Diseases. In: Harrison’s Manual of Medicine, 20e [Internet].
New York, NY: McGraw-Hill Education; 2020. Available from:
http://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?aid=1167067527
8. Politano SA, Colbert GB, Hamiduzzaman N. Nephrotic Syndrome. Prim
Care - Clin Off Pract [Internet]. 2020;47(4):597–613. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.pop.2020.08.002
9. Bentley J, Chande H, Kanigicherla D, Parker K. Nephrotic syndrome in
adults: diagnosis and management. The Pharmaceutical Journal.
2021;306(7945).
10. Ipswich MA. Nephrotic syndrome in adults. DynaMed. 2018.

21
11. McGuire M, Pennathur S. Neprhotic Syndrome. Oxford University Press.
2018.
12. Hull RP, Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in adults. BMJ.
2018;336:1185-9.
13. Kodner C. Nephrotic syndrome in adults : diagnosis and management. Am
Fam Physician. 2019;80(10):1129-4.
14. Hashmi MS, Pandey J. Nephritic Syndrome. [Updated 2023 Aug 8]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK562240
15. Lydia A. Practical approach in glomerular disease. PAPDI. 2016.
16. Peppmer R, Connolly J. Nephrotic syndrome. BMJ Practice. 2018.
17. Canetta PAA, Radhaskrishnan J. The evidence-based approach to adult-
onset idiopathic nephrotic syndrome. Frontiers in Pediatrics. 2015; 3(78).
18. Kodner C. Diagnosis and management of nephrotic syndrome in adults.
Am Fam Physician. 2016;93(6):479-85.

22
BAB III
INFEKSI SALURAN KEMIH

3.1. Definisi
Bakteriuria didefinisikan sebagai adanya bakteri dalam urin; kondisi ini mungkin
asimtomatik atau menjadi simtomatik. Infeksi saluran kemih (ISK) didefinisikan
sebagai kombinasi dari adanya gambaran klinis dan adanya bakteri dalam urin. 1-3
ISK bagian bawah melibatkan kandung kemih (sistitis) dan prostat (prostatitis).
2,4
ISK bagian atas melibatkan ginjal (pielonefritis). ISK tanpa komplikasi
mengacu pada sistitis akut atau pielonefritis pada wanita usia reproduksi yang
tidak hamil dan tidak memiliki kelainan anatomis atau instrumentasi saluran
kemih. ISK komplikata adalah istilah yang mencakup semua jenis ISK lainnya.
ISK komplikata mengacu pada ISK pada pasien dengan kondisi predisposisi yang
mendasari, baik medis, fungsional, atau anatomis, atau yang baru saja dirawat di
rumah sakit, yang meningkatkan risiko infeksi awal dan kekambuhan atau
mengurangi efektivitas terapi. Bakteriuria asimtomatik (ABU) adalah adanya
bakteri dalam urin tanpa menimbulkan gejala. ABU sering terjadi wanita hamil
atau individu yang menjalani tindakan genitourinaria invasif. 1-4

Tabel 2.1. Definisi terkakit ISK 3

23
3.2. Epidemiologi dan Faktor Risiko
ISK menduduki peringkat kasus infeksi nomor 1 yang menyebabkan peresepan
antibiotik setelah kunjungan dokter. Infeksi ini terkadang menyusahkan dan
bahkan mengancam nyawa, dan baik pria (12%) dan wanita (40%) mengalami
setidaknya satu episode gejala ISK sepanjang hidup mereka. 5 Kecuali di antara
bayi dan orang tua, ISK terjadi jauh lebih sering pada wanita daripada pria.
Wanita muda yang aktif secara seksual berusia 18-24 tahun memiliki insiden ISK
tertinggi. 6,7
Selama periode neonatus, kejadian ISK sedikit lebih tinggi pada laki-laki
daripada perempuan karena bayi laki-laki lebih sering memiliki kelainan saluran
kemih bawaan. Setelah usia 50 tahun, obstruksi akibat hipertrofi prostat sering
terjadi pada pria, dan insiden ISK hampir sama tinggi pada pria dibandingkan
pada wanita. Kurangnya sunat juga dikaitkan dengan peningkatan risiko ISK,
karena E. coli lebih mungkin berkolonisasi pada glans dan preputium, dan
kemudian bermigrasi ke saluran kemih. 1,2
ISK yang paling umum pada wanita adalah sistitis tanpa komplikasi.
Penggunaan diafragma baru-baru ini dengan spermisida, hubungan seksual yang
sering, dan riwayat ISK merupakan faktor risiko independen untuk sistitis akut.
Banyak faktor predisposisi wanita untuk sistitis juga meningkatkan risiko
pielonefritis. Faktor risiko independen terkait dengan pielonefritis pada wanita
muda yang sehat termasuk hubungan seksual yang sering, pasangan seksual baru,
episode ISK dalam 12 bulan sebelumnya, riwayat ibu mengalami ISK, diabetes,
dan inkontinensia. 1-3
Sekitar 20-30% wanita yang pernah mengalami satu episode ISK akan
mengalami episode berulang. Sebuah studi kasus-kontrol dari wanita
premenopause dengan ISK berulang mengidentifikasi hubungan seksual yang
sering, penggunaan spermisida, pasangan seksual baru, ISK pertama sebelum usia
15 tahun, dan riwayat ISK pada ibu sebagai faktor risiko independen untuk ISK
rekuren. Satu-satunya faktor risiko perilaku yang didokumentasikan secara
konsisten untuk ISK berulang termasuk hubungan seksual yang sering dan
penggunaan spermisida. Pada wanita pascamenopause, faktor kelainan anatomis

24
yang mempengaruhi pengosongan kandung kemih, seperti sistokel, inkontinensia
urin, dan sisa urin, paling kuat terkait dengan ISK rekuren. 1,2
Wanita dengan diabetes memiliki tingkat ABU dan ISK 2-3 kali lipat lebih
tinggi daripada wanita tanpa diabetes. Peningkatan durasi diabetes dan
penggunaan insulin daripada obat oral juga dikaitkan dengan risiko ISK yang
lebih tinggi di antara wanita dengan diabetes. Fungsi kandung kemih yang buruk,
obstruksi aliran urin, dan pengosongan yang tidak lengkap merupakan faktor
tambahan yang biasa ditemukan pada pasien diabetes yang meningkatkan risiko
ISK. 1,3,5

Gambar 3.1. Faktor risiko ISK 1

3.3. Etiologi
ISK dapat disebabkan oleh bakteri Gram-negatif maupun Gram-positif dan jamur.
Patogen utama yang dominan adalah uropathogenic Escherichia coli (UPEC). Di
antara mikro-organisme yang menyebabkan ISK tanpa komplikasi, UPEC
dominan diikuti oleh: Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae,
Staphylococcus saprophyticus, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus faecalis,

grup B Streptococcus (GBS), Candida spp. dan Proteus mirabilis. 8,9


Pada sistitis akut tanpa komplikasi, E. coli menjadi penyebab dari 75-90%
kasus; Staphylcoccus saprophyticus untuk 5-15% kasusl dan spesies Klebsiella,
Proteus, Enterococcus, Citrobacter, dan organisme lain untuk 5-10% kasus.
Spektrum agen penyebab pielonefritis tanpa komplikasi serupa, dengan dominasi

25
E. coli. Pada ISK komplikata, E.coli tetap menjadi organisme yang dominan,
tetapi batang gram negatif aerobik lainnya, seperti spesies Klebsiella, Proteus,
Citrobacter, Acinetobacter, Morganella, dan Pseudomonas aeruginosa juga
sering diisolasi. Bakteri gram positif (misalnya, enterococci dan Staphylococcus
aureus) dan ragi juga merupakan patogen penting pada ISK yang komplikata. 5,8

3.4. Patogenesis dan Patofisiologi


ISK yang non-komplikata biasanya hanya melibatkan kandung kemih. Ketika
bakteri menyerang dinding mukosa kandung kemih, reaksi inflamasi yang disebut
sistitis dihasilkan. Mayoritas organisme penyebab ISK adalah koliform enterik
yang biasanya dari introitus vagina periuretra. Organisme ini naik ke uretra ke
dalam kandung kemih dan menyebabkan ISK, bahkan berlanjut hingga mencapai
ginjal dan menyebabkan pielonefritis. Hubungan seksual adalah penyebab umum
ISK karena mendorong migrasi bakteri ke dalam kandung kemih. Orang yang
sering buang air kecil dan mengosongkan kandung kemih cenderung memiliki
risiko ISK yang lebih rendah. 1,9
Urin merupakan media yang ideal untuk pertumbuhan bakteri. Faktor-
faktor yang mencegah pertumbuhan bakteri meliputi pH kurang dari 5, adanya
asam organik dan kadar urea yang tinggi. Sering buang air kecil dan volume urin
yang tinggi juga diketahui dapat menurunkan risiko ISK. Bakteri penyebab ISK
cenderung memiliki adhesin pada permukaannya yang memungkinkan organisme
tersebut menempel pada permukaan mukosa urothelial. Selain itu, uretra yang
pendek juga memudahkan uropatogen untuk menyerang saluran kemih. 1,9
Traktus urinarius meruapkan suatu unit anatomi yang terus menerus
memanjang dari uretra ke ginjal. Pada sebagian besar ISK, bakteri membentuk
infeksi dengan naik dari uretra ke kandung kemih, berlanjut ke ureter dan ke
ginjal. Namun, masuknya bakteri ke dalam kandung kemih tidak selalu mengarah
pada infeksi yang berkelanjutan dan bergejala. Interaksi antara host, patogen, dan
faktor lingkungan menentukan apakah invasi jaringan dan infeksi simtomatik
akan terjadi. Sebagai contoh, bakteri sering memasuki kandung kemih setelah
hubungan seksual, tetapi mekanisme pertahanan berkemih yang normal dan inang
bawaan dalam kandung kemih menghilangkan organisme ini. Setiap benda asing

26
di saluran kemih, seperti kateter urin atau batu, menyediakan permukaan inert
untuk kolonisasi bakteri. Berkemih abnormal dan/atau volume urin residu yang
signifikan meningkatkan infeksi yang sebenarnya. Dalam istilah yang paling
sederhana, apa pun yang meningkatkan kemungkinan bakteri memasuki kandung
kemih dan menetap di sana meningkatkan risiko ISK. 1,5,9
Bakteri juga bisa mendapatkan akses ke saluran kemih melalui aliran
darah. Namun, penyebaran hematogen menyumbang <2% dari ISK yang
terdokumentasi dan biasanya disebabkan oleh bakteremia yang disebabkan oleh
organisme yang relatif virulen, seperti Salmonella dan S. aureus. Infeksi
hematogen dapat menyebabkan abses fokal atau area pielonefritis di dalam ginjal.
1,5,9

Gambar 3.2. Patogenesis ISK 1

3.5. Manifestasi Klinis


Gejala ISK termasuk keinginan yang sering dan kuat untuk buang air kecil,
sensasi terbakar saat buang air kecil, nyeri di perut bagian bawah bahkan saat
buang air kecil, darah saat buang air kecil dan lebih banyak bau daripada bau khas
urin. ISK bagian bawah biasanya ditandai dengan nyeri saat buang air kecil
dengan atau tanpa frekuensi, nyeri di daerah suprapubik atau hematuria yang
terlihat. ISK bagian atas umumnya dimanifestasikan oleh demam (>38°C), nyeri

27
pinggang, kedinginan, muntah, nyeri ketok costovertebral angle (CVA), mual,
dengan atau tanpa gejala sistitis. Demam jarang terjadi pada ISK bagian bawah
dan umumnya dikaitkan dengan bentuk ISK yang komplikata . 6,7,10,11
Penting untuk dicatat bahwa gejala-gejala ini tidak mengkonfirmasi bahwa
orang tersebut menderita ISK. Hanya ada kemungkinan 50% bahwa seseorang
yang menunjukkan gejala-gejala ini menderita ISK dalam pengaturan perawatan
primer. Kemungkinan ini meningkat menjadi 84%-92% jika pasien memiliki
riwayat ISK berulang. Tanda dan gejala umum ISK termasuk demam, gatal,
sensasi terbakar, pembentukan lepuh di area genital, nyeri suprapubik dan piuria.
Infeksi simtomatik menunjukkan peradangan dan jumlah sel darah putih (WBC)
>8 sel/mL dalam urin. Urine mungkin tampak kabur dan kondisi ini disebut piuria
atau leukosituria. 6,7,10,11

Tabel 3.1. Gejala - gejala ISK 5

3.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis ISK dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta
didukung dengan hasil pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik, dapat
ditemukan beberapa tanda seperti nyeri tekan suprapubic dan distensi vesica
urinaria. 1,2 Nyeri ketok costovertebral angle (CVA) dapat ditemukan pada pasien
1-3
pielonefritis, biasanya unilateral. Pemeriksaan rectal toucher dapat dilakukan
pada pasien laki-laki bila ada kecenderungan ke arah prostatitis, dimana dapat

28
ditemukan adanya nyeri dan pembesaran prostat. Bila dari anamnesis ditemukan
adanya vaginal discharge, maka dapat dilakukan pemeriksaan ginekologi karena
dapat dicurigai adanya pelvic inflammatory disease (PID) seperti servisitis,
vaginitis, dll. 1
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis ISK adalah urine dipstick test,
urinalisis, dan kultur urin. Pemeriksaan dipstick dilakukan untuk penapisan cepat,
1,2
menunjukkan nitrit dan leukosit esterase positif. Perlu diingat bahwa nitrit
hanya dapat ditemukan bila patogen terkait adalah Enterobacteriaceae, dan nitrit
harus mencapai suatu kadar tertentu sampai bisa terdeteksi pada pemeriksaan
dipstick, sehingga pada pasien yang sering minum dan berkemih, kemungkinan
nitrit positif menjadi kecil. 1 Diagnosis ISK dapat ditegakkan bila salah satu dari
keduanya positif, tetapi hasil negatif tidak langsung mengeksklusikan diagnosis
ISK, khususnya pada wanita hamil, sehingga lebih baik dilakukan pemeriksaan
lanjutan. 1,2
Pemeriksaan urinalisa dapat menunjukkan pyuria, hematuria, serta bakteri.
Dalam praktik saat ini, sebagian besar laboratorium rumah sakit menggunakan
sistem otomatis daripada pemeriksaan manual mikroskopik. Sebuah mesin
mengaspirasi sampel urin dan kemudian mengklasifikasikan partikel dalam urin
berdasarkan ukuran, bentuk, kontras, hamburan cahaya, volume, dan sifat lainnya.
Sistem otomatis ini dapat diliputi oleh jumlah sel darah merah, sel darah putih,
atau kristal dismorfik yang tinggi; secara umum, deteksi jumlah bakteri kurang
akurat dibandingkan jumlah sel darah merah dan putih. 1 Deteksi bakteri dalam
kultur urin adalah gold standar diagnostik untuk ISK. Ambang batas yang
umumnya ditetakpan yaitu > 105 colony-forming units (cfu)/mL, tetapi studi
menemukan bahwa ambang batas > 102 cfu/mL lebih sensitif (95%) dan spesifik
(85%) daripada ambang 105 cfu/mL untuk diagnosis sistitis akut pada wanita. Pada
pria, abang batas minimal yang menunjukkan infeksi adalah 10 3/mL. Kekurangan
dari kultur yaitu hasil tidak tersedia secara cepat, sehingga biasanya tidak
dilakukan dan pemberian terapi bisa langsung dilaksanakan tanpa menunggu hasil
kultur. Pada pasien yang tidak merespon terhadap terapi atau mengalami ISK
rekuren, kultur urin sangat disarankan. 1-3

29
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu hitung darah lengkap dan
pemeriksaan ultrasonografi (USG) serta urodynamics khususnya pada pasien yang
1-3
dicurigai mengalami kelainan anatomis atau kelainan fungsional. Pada pria,
dapat dilakukan pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dan USG untuk
mengevaluasi keterlibatan prostat. Diagnosis bakteriuria asimptomatik hanya bisa
ditegakkan bila pasiennya tidak mengalami tanda gejala apapun. Penemuan
bacteriuria asimptomatik biasanya adalah insidental. Gejala sistitis umumnya
terdiri dari disuria, frequency dan urgency. Selain itu, gejala lain yang dapat
muncul yaitu nocturia, hesistancy dan nyeri suprapubik. Pasien juga dapat
1,2
mengeluhkan kencing berdarah (gross hematuria). Adanya gejala-gejala
tersebut dengan keluhan nyeri punggung unilateral adalah indikasi adanya
keterlibatan ginjal. Adanya demam juga mengindikasikan keterlibatan ginjal atau
prostat. 1
Pielonefritis ringan dapat memunculkan gejala demam ringan dengan atau
tanpa nyeri punggung, sedangkan pielonefritis berat dapat memunculkan gejala
demam tinggi, menggigil, mual muntah, dan nyeri punggung. Demam pada
pielonefritis digambarkan sebagai pola picket fence, yang akan secara progresif
membaik 72 jam setelah pengobatan. Bila demam tidak turun setelah diberikan
1,2
pengobatan, perlu dicurigai adanya pembentukan abses atau bakteremia.
Prostatitis dapat bersifat akut maupun kronik. Prostatitis akut memunculkan gejala
dysuria, frequency dan nyeri didaerah pelvis atau perineal. Prostatitis biasanya
juga disertai demam dan mengigil serta gejala-gejala obstruksi saluran kencing
karena adanya pembesaran prostat. Prostatitis kronik bermanifestasi klinis sebagai
sistitis rekuren dengan nyeri di pelvis atau perineal. 1
ISK non-komplikata ditegakkan bila mengenai wanita muda yang tidak
hamil tanpa kelainan anatomis atau fungsional dari saluran kemih. ISK ditegakkan
sebagai ISK komplikata bila episode simptomatik muncul pada pria atau wanita
dengan kelainan anatomis atau fungsional, terpasang benda asing di saluran
kemih, dan memiliki faktor predisposisi yang bisa menyebabkan penurunan
respon terhadap terapi, seperti pasien-pasien imunodefisiensi. 1,2

30
Gambar 3.3. Algoritma diagnosis dan penatalaksanaan ISK 1

3.7. Tatalaksana
Penatalaksanaan ISK adalah dengan terapi antibiotik yang adekuat. Dengan terapi
antibiotik yang tepat, respon klinis terjadi dalam 24 jam untuk sistitis dan dalam
48-72 jam untuk pielonefritis. 3,10 Kurangnya respons dalam 72 jam memerlukan
11,12
pemeriksaan lebih lanjut dengan studi pencitraan. Selama manajemen ISK,
hidrasi mengencerkan uropatogen dan menghilangkan urin yang terinfeksi dengan

31
sering mengosongkan kandung kemih. Namun, tidak ada bukti yang jelas bahwa
hidrasi meningkatkan outcome ISK. Kebanyakan ISK tanpa komplikasi dirawat
jalan, namun pasien yang datang dengan demam atau gejala sistemik infeksi
harus dirawat di rumah sakit dan diobati dengan antibiotik parenteral. 10-15
Sistitis akut tanpa komplikasi adalah infeksi ringan di mana 25% -42%
wanita dapat mengalami resolusi gejala bahkan tanpa pengobatan antibiotik aktif.
Antibiotik yang direkomendasikan untuk sistitis tanpa komplikasi adalah
trimetoprim/sulfametoksazol (jika resistensi uropatogen 20% atau kurang),
nitrofurantoin monohidrat/makrokristal, atau fosfomisin trometamol. Beta laktam
oral, termasuk amoksisilin/klavulanat, cefdinir, cefaclor, dan cefpodoxime,
direkomendasikan sebagai alternatif. Antibiotik golongan fluorokuinolon seperti
ciprofloxacin dan levofloxacin memiliki tingkat efikasi klinis yang tinggi. Namun,
karena kekhawatiran akan peningkatan resistensi fluorokuinolon dan efek
samping yang serius, fluorokuinolon harus dicadangkan sebagai pilihan
pengobatan alternatif ketika agen ISK lain tidak dapat digunakan. Durasi terapi
untuk sebagian besar sistitis tanpa komplikasi adalah 3-7 hari. Nitrofurantoin
direkomendasikan selama 5-7 hari, trimetoprim/sulfametoksazol selama 3 hari,
fluorokuinolon selama 3 hari, fosfomisin untuk dosis tunggal, dan beta-laktam
oral selama 3-7 hari. 3,10-15
Pielonefritis akut tanpa komplikasi dapat dirawat jalan dengan antibiotik
oral. Untuk pasien yang stabil secara klinis yang tidak memerlukan rawat inap dan
jika resistensi fluorokuinolon lokal kurang dari 10%, ciprofloxacin oral selama 7
hari atau levofloxacin selama 5 hari dengan atau tanpa dosis awal intravena
ciprofloxacin atau levofloxacin direkomendasikan. Jika tingkat resistensi
fluoroquinolone adalah 10% atau lebih besar, dosis ceftriaxone 1 g atau
aminoglikosida (misalnya, gentamisin 5-7 mg/kg sekali) dianjurkan pada inisiasi
terapi. 3,10-15

32
Tabel 3.2. Antibiotik oral pilihan untuk sistitis non-komplikata 3

Tabel 3.3. Antibiotik oral pilihan untuk pielonefritis non-komplikata3

Pasien dengan gejala yang berat, disertai ketidakstabilan hemodinamik,


ketidakmampuan untuk mentoleransi obat oral, kepatuhan yang buruk, atau
adanya faktor komplikasi (yaitu, adanya batu ginjal) harus dirawat inap dan
diberikan antibiotik parenteral. Pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
pielonefritis harus diobati dengan rejimen parenteral awal termasuk
fluorokuinolon, aminoglikosida dengan atau tanpa ampisilin, atau sefalosporin
spektrum luas, atau penisilin dengan atau tanpa aminoglikosida. Pemilihan
antibiotik harus disesuaikan dengan hasil kultur dan resistensi yang tersedia.

33
European Urological Association menyarankan terapi awal dengan
aminoglikosida atau karbapenem jika jumlah E. coli penghasil ESBL tinggi (yaitu,
lebih besar dari 10%), diikuti dengan transisi ke antibiotik oral. Demam tinggi
yang persisten atau kultur darah positif (yaitu, selama 3-4 hari pertama)
mengindikasikan kebutuhan pemeriksaan lebih lanjut untuk mencari ada tidanya
faktor komplikasi, termasuk obstruksi urin dan abses (intrarenal atau perinefrik).
Pemeriksaan dapat menggunakan ultrasonografi ginjal, CT, dan MRI. 3,11,13,14

Tabel 3.4. Antibiotik parenteral pilihan untuk ISK non-komplikata 3

Bakteriuria asimtomatik sering terjadi selama kehamilan, terjadi pada 2% -


10% wanita hamil, dan meningkatkan risiko ISK simtomatik (terutama
pielonefritis) selama kehamilan. Wanita hamil harus diskrining untuk ASB
menggunakan kultur urin setidaknya sekali selama kehamilan, sebaiknya pada
usia kehamilan 12-16 minggu. Patogen paling umum yang menyebabkan ASB
dan ISK simtomatik selama kehamilan adalah E. coli. Sistitis dan ASB selama
kehamilan biasanya diobati dengan antibiotik oral. Untuk pielonefritis selama
kehamilan, antibiotik parenteral harus diberikan selama 48 jam sebelum beralih ke

34
3
terapi oral. Keamanan antibiotik pada kehamilan sangat penting ketika memilih
terapi pada wanita hamil. Potensi teratogenik dengan penggunaan fluorokuinolon,
tetrasiklin, dan sulfonamid membatasi antibiotik ini untuk digunakan dalam
pengobatan. Beta-laktam, nitrofurantoin, dan fosfomycin telah digunakan pada
wanita hamil untuk ASB dan ISK. Semua beta-laktam (kecuali seftriakson karena
dapat menyebabkan kernikterus oleh perpindahan bilirubin jika diberikan sehari
sebelum persalinan) dan fosfomycin umumnya dianggap aman selama kehamilan.
Nitrofurantoin dapat digunakan selama trimester kedua tetapi harus dihindari pada
trimester pertama karena efeknya pada organogenesis. Nitrofurantoin
dikontraindikasikan dalam waktu dekat (yaitu, 38-42 minggu) dan selama
persalinan karena potensinya menyebabkan anemia hemolitik pada bayi baru
lahir. Untuk ASB dan sistitis, durasi terapi adalah 3-7 hari, kecuali fosfomycin
1,13-15
dosis tunggal. Fluorokuinolon dihindari karena kemungkinan efek buruk
1
pada perkembangan tulang rawan janin. Ampisilin dan sefalosporin telah
digunakan secara luas pada kehamilan dan merupakan obat pilihan untuk
pengobatan ISK asimtomatik atau simtomatik pada kelompok pasien ini.
Umumnya, wanita hamil dengan ASB dirawat selama 4-7 hari. Untuk wanita
hamil dengan pielonefritis, diperlukan terapi beta -laktam parenteral dengan atau
tanpa aminoglikosida. Di antara beta-laktam parenteral, piperasilin/tazobactam
dan karbapenem harus dicadangkan untuk pielonefritis berat atau untuk pasien
dengan gangguan sistem imunitas. Imipenem/cilastatin telah menyebabkan efek
buruk pada janin pada hewan dan harus dihindari pada wanita hamil. 1,13-15
Pada ISK pria, infeksi sebagian besar melibatkan prostat, sehingga tujuan
pada pasien ini adalah untuk memberantas infeksi prostat serta infeksi kandung
kemih. Pemberian fluorokuinolon atau TMP-SMX selama 7 - 14 hari
direkomendasikan. Jika prostatitis bakterial akut dicurigai, terapi antimikroba
harus dimulai setelah sampel urin dan darah diperoleh untuk kultur. Terapi dapat
disesuaikan dengan hasil kultur urin dan harus dilanjutkan selama 2-4 minggu.
Untuk prostatitis bakteri kronis yang terdokumentasi, antibiotik 4-6 minggu sering
diperlukan. 1,3,15
Untuk prostatitis bakteri kronis, ciprofloxacin dan levofloxacin adalah
obat pilihan karena penetrasi yang baik ke prostat, bioavailabilitas tinggi, dan

35
memiliki aktivitas melawan P. aeruginosa. Untuk resistensi atau intoleransi
fluorokuinolon, trimetoprim merupakan alternatif yang tepat karena memiliki
penetrasi yang baik ke dalam prostat dan bioavailabilitas yang tinggi; namun,
pengobatan dengan trimetoprim membutuhkan durasi yang lebih lama yaitu 4-12
minggu. Pada pasien dengan chronic pelvic pain syndrome, manajemen harus
mencakup antibiotik, agonis alfa-adrenergik, dan analgesic. Antagonis alfa
adrenergik seperti tamsulosin, alfuzosin, doxazosin, terazosin, dan silodosin
mengurangi gejala dan meningkatkan skor kualitas hidup. 1,3,15
Pengobatan ISK komplikata sebaiknya bersifat individual dan dipandu
oleh hasil kultur urin. Pengobatan sistitis akut komplikata dapat dimulai dengan
antibiotic empiris termasuk fluorokuinolon, nitrofurantoin, fosfomisin,
trimetoprim/sulfametoksazol, dan beta-laktam dengan atau tanpa aminoglikosida.
1,3,5
Antibiotik oral dengan aktivitas melawan patogen resisten seperti bakteri
penghasil ESBL atau AmpC-β-laktamase terbatas pada nitrofurantoin dan
fosfomycin. Baru-baru ini, terdapat 2 sefalosporin dengan kombinasi inhibitor -
laktamase telah disetujui untuk tatalaksana ISK komplikata:
ceftolozane/tazobactam dan ceftazidime/avibactam. Ceftolozane adalah
sefalosporin baru (mirip dengan ceftazidime) dengan rantai samping pirazol yang
mencegah hidrolisis oleh AmpC beta-laktamase. Agen kombinasi kedua,
ceftazidime/avibactam, memiliki avibactam, yang merupakan inhibitor beta-
laktamase non-β-laktam. Avibactam mencegah hidrolisis ceftazidime oleh
beragam jenis BETA-laktamase seperti TEM, SHV, CTX-M, AmpC-β-laktamase,
dan sebagian besar KPC, tetapi tidak oleh logam-lo-β-laktamase seperti NDM.
Kedua agen baru ini memainkan peran potensial dalam pengobatan ISK
komplikata yang disebabkan oleh P. aeruginosa atau Enterobacteriaceae spp. 5
Individu dengan gejala CA-UTI diperlakukan sama dengan ISK
komplikata. Kultur urin harus diperoleh sebelum memulai terapi antibiotik, jika
memungkinkan, dari kateter yang baru dipasang karena biofilm bakteri pada
kateter yang ada dapat membuat hasil kultur kurang bermanfaat. Selain itu, kateter
menetap yang telah terpasang selama 7 hari atau lebih harus dilepas atau diganti
sebelum memulai antibiotic. Durasi pengobatan yang optimal untuk CA-UTI
belum didefinisikan dengan baik. Namun, IDSA dan European Association of

36
Urology merekomendasikan pengobatan CA-UTI selama 7 hari pada pasien yang
memiliki resolusi gejala yang tepat waktu dan selama 10-14 hari pada mereka
dengan respon klinis yang tertunda, bakteremia, hipotensi, atau tanda-tanda sepsis
berat. 1,3,15
Infeksi saluran kemih yang menunjukkan tanda-tanda sepsis berat dengan
hipotensi atau disfungsi organ harus diobati dengan antibiotik spektrum luas
parenteral dan penatalaksanaan syok sepsis pada umumnya. Terapi definitif harus
dioptimalkan berdasarkan hasil kultur dan resistensi. 1,3,5

3.8. Komplikasi dan Prognosis


Sistitis itu sendiri merupakan faktor risiko terjadinya sistitis rekuren dan
pielonefritis. ABU sering terjadi pada pasien lanjut usia dan pasien yang terpasang
1,5
kateter tetapi tidak dengan sendirinya meningkatkan risiko kematian. ISK
rekuren didefinisikan sebagai setidaknya dua infeksi dalam 6 bulan, atau
setidaknya tiga infeksi dalam 1 tahun. 1 ISK rekuren dapat terjadi pada wanita dari
segala usia, dan mungkin ada kecenderungan genetik karena beberapa wanita
lebih mungkin untuk mengembangkan infeksi berikutnya setelah episode pertama
ISK. Satu studi menunjukkan bahwa setelah episode pertama sistitis yang
disebabkan oleh E. coli pada wanita muda, 24% mengalami infeksi kedua dalam
44-6
waktu 6 bulan. Hubungan antara ISK rekuren, pielonefritis kronis, dan
insufisiensi ginjal telah dipelajari secara luas. Dengan tidak adanya kelainan
anatomis, infeksi berulang pada anak-anak dan orang dewasa tidak sampai
menyebabkan pielonefritis kronis atau gagal ginjal. Selain itu, infeksi tidak
memainkan peran utama dalam nefritis interstisial kronis; faktor etiologi utama
dalam kondisi ini adalah penyalahgunaan analgesik, obstruksi, refluks, dan
paparan toksin. Dengan adanya kelainan ginjal yang mendasari (terutama
obstruksi akibat batu), infeksi sebagai faktor sekunder dapat mempercepat
kerusakan parenkim ginjal. 1,5,13
Pasien dengan diabetes dapat mengalami uropati obstruktif yang
berhubungan dengan nekrosis papiler akut. Nekrosis papiler juga dapat terlihat
pada beberapa kasus pielonefritis dengan komplikasi obstruksi atau penyakit sel
sabit. Dalam kasus yang jarang dari nekrosis papiler bilateral, peningkatan cepat

37
tingkat kreatinin serum mungkin merupakan indikasi pertama dari kondisi
tersebut. Pielonefritis emfisematous adalah bentuk penyakit yang sangat berat,
dengan produksi gas di jaringan ginjal dan perinefrik dan terjadi hampir hanya
pada pasien diabetes. Pielonefritis xanthogranulomatous terjadi ketika obstruksi
saluran kemih kronis (seringkali oleh batu staghorn), bersama dengan infeksi
kronis, menyebabkan destruksi supuratif jaringan ginjal. Pielonefritis juga dapat
memunculkan komplikasi pembentukan abses intraparenkim. Kondisi ini harus
dicurigai bila pasien mengalami demam dan/atau bakteremia yang berlanjut
meskipun telah diberikan terapi antibakteri. Pielonefritis xanthogranulomatous
dapat ditangani dengan nefrektomi. Drainase perkutan dapat digunakan sebagai
terapi awal pada pielonefritis emfisematous dan dapat diikuti dengan nefrektomi
elektif sesuai kebutuhan. Nekrosis papiler dengan obstruksi memerlukan
intervensi untuk menghilangkan obstruksi dan mempertahankan fungsi ginjal.1
Urosepsis terjadi ketika infeksi menyebar secara hematogen. Angka
kematian terkait dengan sepsis bervariasi tergantung pada sumber organ, namun
sepsis saluran kemih umumnya memiliki angka kematian yang lebih rendah
dibandingkan dengan sumber lain. Sepsis lebih sering terjadi pada pria daripada
wanita. Pasien yang lebih mungkin untuk mengembangkan urosepsis termasuk
pasien lanjut usia, penderita diabetes, pasien imunosupresi, seperti penerima
transplantasi dan pasien kemoterapi kanker atau pengguna kortikosteroid.
Sebagian besar kasus urosepsis dan terjadi pada pasien berusia lebih dari 65 tahun
dengan urolitioasis. Faktor risiko yang berhubungan dengan urosepsis adalah
obstruksi saluran kemih karena batu, obstruksi tumor, pembesaran prostat, striktur
uretra, atau kelainan kongenital. Dalam beberapa tahun terakhir, insiden
keseluruhan sepsis yang timbul dari semua sumber telah meningkat sebesar 8,7%
per tahun, tetapi kematian terkait telah menurun dari 17.9% pada tahun 2000 dan
27.8% pada tahun 1995, yang menunjukkan peningkatan manajemen pasien Syok
septik merupakan penyebab kematian tersering pada pasien rawat inap karena
infeksi yang didapat dari komunitas dan nosokomial (20-40%). Pengobatan
urosepsis memerlukan kombinasi pengobatan termasuk kontrol sumber (obstruksi
saluran kemih), perawatan suportif yang memadai, dan terapi antimikroba yang
tepat. 3

38
KESIMPULAN

Infeksi saluran kemih (ISK) didefinisikan sebagai kombinasi dari adanya


gambaran klinis dan adanya bakteri dalam urin. ISK dapat disebabkan oleh bakteri
Gram-negatif maupun Gram-positif dan jamur. Patogen biologis utama yang
dominan adalah uropathogenic Escherichia coli (UPEC). Traktus urinarius
meruapkan suatu unit anatomi yang terus menerus memanjang dari uretra ke
ginjal. Pada sebagian besar ISK, bakteri membentuk infeksi dengan naik dari
uretra ke kandung kemih, berlanjut ke ureter dan ke ginjal. Diagnosis ISK dapat
ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta didukung dengan hasil
pemeriksaan penunjang urinalisa, dengan kultur urin sebagai gold standard untuk
penegakan diagnosis ISK. Ambang batas yang umumnya ditetakpan yaitu > 10 5
colony-forming units (cfu)/mL Penatalaksanaan ISK adalah dengan terapi
antibiotik yang adekuat, dan bergantung pada ada tidaknya kompikasi serta lokasi
terjadinya infeksi. Kasus tidak terkomplikasi umumnya dapat ditangani dengan
antibiotik oral sedangkan keterlibatan sistemik atau komplikata menggunakan
antibiotik parenteral. ISK sering mengalami rekurensi, terutama pada wanita
muda. Dengan adanya kelainan ginjal yang mendasari (terutama obstruksi akibat
batu), infeksi sebagai faktor sekunder dapat mempercepat kerusakan parenkim
ginjal. Pasien dengan diabetes dapat mengalami nekrosis papiler ginjal serta
pielonefritis xanthogranulomatous dan emfisematous. Urosepsis terjadi ketika
infeksi menyebar secara hematogen. Faktor risiko yang berhubungan dengan
urosepsis adalah obstruksi saluran kemih karena batu, obstruksi tumor,
pembesaran prostat, striktur uretra, atau kelainan kongenital.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J.
Harrison’s Principles of Internal Medicine 20th edition. McGraw Hill. 2020.
2. Wilkinson IB, Raine T, Wiles K, Goodhart A, Hall C, O’Neill H. Oxford
Handbook of Clinical Medicine 10th edition. Oxford University Press. 2017.
3. Boonkat G, Bartoletti R, Bruyere F, Cai T, Geerlings SE, Schubert S et al.
EAU Guidelines on Urological Infections. European Association of Urology.
2020.
4. Kang C, Kim J, Park DW, Kim BN, Ha U, Lee S J et al. Clinical practice
guidelines for the antibiotic treatment of community-acquired urinary tract
infections. Infect Chemother. 2018;50(1):67-100.
5. Kaur R, Kaur R. Symptoms, risk factors and diagnosis and treatment of
urinary tract infections. Postgrad Med J. 2020;0:1-10.
6. Lee HS, Le J. Urinary tract infections. PSAP 2018 Book 1. 2018.
7. Public Health England. Diagnosis of urinary tract infections : Quick reference
tool for primary care consultation and local adaptation. Crown. 2020.
8. Sahu R, Sahoo RK, Prusty SK, Sahu PK. Urinary tract infection and its
management. Sys Rev Pharm. 2019;10(1):42-8.
9. Bono MJ, Reygaert WC. Urinary tract infection. StatPearls Publishing. 2021.
10. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL. Panduan Praktik
Klinis. PAPDI. 2016.
11. University of Nebraska Medical Center. Urinary tract infection and
asymptomatic bacteriuria guidance. 2018.

40
12. National Healthcare Safety Network. Urinary Tract Infection (Catheter-
Associated Urinary Tract Infection [CAUTI] and Non-Catheter-Associated
Urinary Tract Infection [UTI]) Events. CDC. 2022.
13. Tan CW, Clebicki MP. Urinary tract infections in adults. Singapore Med J.
2016;57(9):485-90.
14. University of Michigan. Urinary tract ifnections in adults. 2021.
15. NICE guideline. Urinary tract infection : antimicrobial prescribing. 2018.

41

Anda mungkin juga menyukai