Anda di halaman 1dari 7

Rangkuman Ilmu Kealaman Dasar

1. Pengertian Mitos

Pada awal prasejarah kemampuan manusia masih terbatas, baik keterbatasan pada peralatan
maupun keterbatasan pemikiran. Keterbatasan perlatan menyebabkan pengamatan menjadi kurang
seksama, dan cara berpikir yang sederhana menyebabkan hasil pemecahan masalah memberikan
kesimpulan yang kurang tepat. Dengan demikian, pengetahuan yang terkumpul belum dapat
memberikan kepuasan terhadap rasa ingin tahu manusia, dan masih jauh dari kebenaran.

Untuk menjawab keingintahuan tentang alam, manusia menciptakan mitos.

Dalam KBBI, Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu,
mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut
mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.

Mitos (bahasa Yunani: mythos) atau mythe dalam bahasa Belanda, adalah bagian dari suatu folklor
yang berupa kisah berlatar masa lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta (seperti
penciptaan dunia dan keberadaan makhluk di dalamnya), serta dianggap benar-benar terjadi oleh
yang mempercayainya. Dalam pengertian yang lebih luas, mitos dapat mengacu kepada cerita
tradisional. Pada umumnya mitos menceritakan terjadinya alam semesta, dunia dan para makhluk
penghuninya, bentuk topografi, kisah para makhluk supranatural, dan sebagainya. Mitos dapat
timbul sebagai catatan peristiwa sejarah yang terlalu dilebih-lebihkan, sebagai alegori atau
personifikasi bagi fenomena alam, atau sebagai suatu penjelasan tentang ritual. Mereka disebarkan
untuk menyampaikan pengalaman religius atau ideal, untuk membentuk model sifat-sifat tertentu,
dan sebagai bahan ajaran dalam suatu komunitas. Dalam pengertian yang lebih luas, istilah tersebut
dapat mengacu kepada cerita tradisional atau—dalam percakapan sehari-hari—suatu hal salah
kaprah dalam masyarakat atau suatu entitas khayalan.

Mitos merupakan cerita yang dibuat-buat, yang ada kaitannya dengan apa yang terdapat di alam.
Mitos erat kaitannya dengan legenda dan cerita rakyat. Mitos, legenda, dan cerita rakyat adalah
cerita tradisional dalam jenis yang berbeda. Tidak seperti mitos, cerita rakyat dapat berlatar kapan
pun dan dimana pun, dan tidak harus dianggap nyata atau suci oleh masyarakat yang
melestarikannya. Sama halnya seperti mitos, legenda adalah kisah yang secara tradisional dianggap
benar-benar terjadi, namun berlatar pada masa-masa yang lebih terkini, saat dunia sudah terbentuk
seperti sekarang ini. Legenda biasanya menceritakan manusia biasa sebagai pelaku utamanya,
sementara mitos biasanya fokus kepada tokoh manusia super. Dalam mitos sebenarnya, manusia
berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan imajinasinya menerangkan gejala alam yang ada,
namun belum tepat karena kurangnya pengetahuan, sehingga orang mengaitkannya dengan seorang
tokoh atau dewa.

Pada masa lalu, mitos dapat diterima dan diyakini kebenarannya, karena :

• Keterbatasan pengetahuan, yang disebabkan karena keterbatasan pengindraan, baik langsung


maupun dengan alat.

• Keterbatasan penalaran manusia pada masa itu

• Hasrat ingin tahunya terpenuhi.


Di indonesia masih banyak orang – orang yang menanggapi serius dengan mitos – mitos yang ada,
berikut contoh – contoh mitos yang ada di indonesia :

* Anak gadis dilarang duduk di depan pintu, katanya nanti jodohnya kehalang atau susah dapat
jodoh. (ini mitosnya). Kalau dipikir-pikir memang tidak pantas duduk di depan pintu, fungsi pintu
hanya untuk jalan keluar masuk. jadi sebenarnya, kalau ada orang yang duduk di depan pintu, itu
menghalangi orang yang ini keluar masuk.

* Kalau nyapu harus sampai tuntas, nanti dapat suami yang brewokan. Ini adalah mitos buatan orang
jaman dahulu. orang tua jaman dulu menganggap bahwa pria yang brewokan identik dengan
gambaran seorang pria yang jahat. Maka dari itu, banyak wanita saat itu yang mulai menyapu
dengan bersih agar tidak mendapatkan suami orang jahat. Kalau jaman sekarang, supaya nyapu nya
bersih dan tidak setengah-setengah.

* Tidak Boleh bermain petak umpet di malam hari. Permainan kuno ini ternyata ada faktor mistis
nya juga. Orang dulu percaya Permainan ini tidak boleh dimainkan di malam hari karena akan di
sembunyikan oleh setan. Sebenarnya ini hanyalah sebuah gertakan orang tua zaman dulu untuk
menghentikan anak mereka yang bermain tanpa henti.

Karena kemampuna berpikir manusia makin maju dan disertai pula dengan perlengkapan
pengamatan yang makin baik, mitos dengan berbagai legendanya mulai ditinggalkan. Orang mulai
menggunakan akal sehat serta rasionya untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang alam.

Kegiatan untuk memperoleh atau menemukan pengetahuan yang benar disebut berpikir,
sedangkan proses berpikir dalam menarik kesimpulan yang benar disebut penalaran. Pengetahuan
yang diperoleh tidak berdasarkan penalaran digolongkan pada pengetahuan yang non ilmiah atau
bukan ilmu pengetahuan.

Terdapat beberapa cara untuk memperoleh kesimpulan atau pengetahuan yang tidak
berdasarkan penalaran, yaitu:

a. Prasangka, pengambilan kesimpulan berdasarkan perasaan.


b. Intuisi, kegiatan berpikir yang tidak analistis, tidak berdasarkan pola berpikir tertentu.
Pandangan batiniah yang sertamerta tembus mengenai suatu peristiwa atau kebenaran,
tanpa penurutan pikiran.
c. Trial and error, suatu cara untuk memperoleh pengetahuan secara coba-coba atau untung-
untungan.

2. Hukum 3 Tahap Manusia Auguste Comte

Auguste Comte. Ia dikenal sebagai bapak sosiologi dunia. Auguste Comte tumbuh dari keluarga yang
pandai dalam bidang matematika. Namun, latar belakang keilmuan Comte adalah fisika. Oleh karena
itu, ia berusaha menerapkan cara berfikir ilmu alam untuk mempelajari manusia sebagai makhluk
sosial. Comte merupakan pengikut aliran positivisme yang meyakini bahwa masyarakat merupakan
bagian dari alam. Setiap masyarakat memiliki pola (hukum) yang sama dalam proses perubahannya.
Sementara peranan sosiologi bertugas untuk mempelajari serta menemukan hukum sosial yang
sama tersebut. Penemuan hukum ini akan mempermudah dalam memprediksi kondisi kemajuan
suatu masyarakat. Untuk itu metode-metode penetitian empirislah yang dapat dipergunakan untuk
menemukan hukum-hukum sosial dalam masyarakat.

Di dalam kajian ilmu sosial, Comte membaginya menjadi dua pembahasan, yaitu statika sosial (social
statics) dan dinamika sosial (social dynamic). Yang dimaksud dengan statika sosial adalah teori
tentang keteraturan yang tidak direncanakan dari masyarakat manusia (theory of spontaneous order
of human society), atau struktur-struktur sosial yang sudah ada. Struktur ini relatif tidak berubah
dalam waktu yang lama. Dan adanya struktur tersebut didasari pada asumsi bahwa masyarakat
merupakan sebuah organisme yang disatukan oleh konsensus (kesepakatan) sehingga di dalamnya
terjalin sebuah hubungan yang harmonis. Meskipun demikian, pada sebenarnya statika sosial
merupakan bagian yang paling elementer di dalam sosiologi, hanya saja dia bukanlah bagian yang
paling penting di dalam studi tentang sosiologi, karena pada dasarnya statika sosial merupakan hasil
dari suatu pertumbuhan.

Adapun dinamika sosial adalah teori tentang kemajuan alami dari masyarakat manusia (theory of
natural progress of human society), atau teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat,
atau studi mengenai tata urutan perkembangan manusia. Studi ini mengacu pada pembahasan
mengenai proses perubahan sosial dalam masyarakat manusia. Dan menurut Auguste Comte,
dinamika sosial inilah merupakan bagian yang paling penting dari kajian sosiologi, karena ia dengan
ilmu pengetahuan yang bersifat positif akan dapat mengalahkan sifat spekulatif yang dibawa oleh
filsafat dalam menjaga keteraturan tatanan sosial yang ada.

Comte sebenarnya bukan orang pertama yang memberikan kajian berkaitan dengan masyarakat.
Lebih dulu memang Ibnu Khaldun yang sudah menyampaikan tentang masyarakat dalam buku
Mukaddimah, sekitar abad ke 14 an. Namun, karena Comte lebih sistematis dalam mengkaji
fenomena masyarakat dengan menggunakan ilmu sosiologi. Pada akhirnya, sekitar pertengahan
abad ke 19 (1856) ilmu sosiologi bisa melepaskan diri dari filsafat dan berdiri sendiri.

Menurut Comte, bukan hanya dunia saja yang melalui proses perkembangan dinamis atau evolusi
(natural progress) akan tetapi kelompok, masyarakat, ilmu, individu dan bahkan pikiran manusia pun
akan melalui tiga tahap. Dan hukum tiga tahap (law of three stages) adalah rumusan perkembangan
masyarakat dan individu yang bersifat evolusioner. Kekuatan perubahan sejarah manusia diawali
oleh dorongan semangat manusia untuk berkembang dan maju melalui pikiran atau intelegensianya.
Dengan semangat itulah manusia memahami realitas, berasumsi dan membuat metode yang
diterapkan dalam upaya menjelaskan, memprediksi dan mengendalikan kehidupan masyarakat.
Kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dimiliki masyarakat terus berkembang. Derajat
pengetahuan yang dimiliki masyarakat mempengaruhi atau menentukan semua aspek kehidupan
bermasyarakat lainnya seperti ekonomi, politik dan militer.

Perubahan sosial selalu berubah dari hal yang sederhana ke arah yang lebih kompleks, selalu
berubah dari kehidupan biasa menuju kemajuan. Perkembangan perubahan sosial suatu masyarakat
akan mengikuti pola linear yang terdapat pada hukum tiga tahap. Hukum ini merupakan generalisasi
dari tiap tahapan intelegensia manusia yang berkembang semakin maju melalui tiga tahapan : tahap
teologis, tahap metafisik dan tahap positif atau ilmu pengetahuan.

Pertama, tahap teologis (fiktif), Tahap ini merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia
dan disebut sebagai masa kekanakan intelegensia manusia. Pada tahap ini manusia mempercayai
adanya kekuatan-kekuatan supranatural yang muncul dari kekuatan zat adikodrati atau jimat atau
kekuatan yang berasal dari luar diri manusia atau muncul dari kekuatan tokoh-tokoh agamis yang
diteladani oleh manusia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat di sini hidup berdasarakan pada
penaklukan, yaitu hubungan sosial bersifat militer yang senantiasa menaklukkan dan menundukkan
masyarakat lain. Oleh karenanya, pada tahapan ini pula terbagi menjadi tiga sub-tahapan, yaitu:
fetisisme, politheisme dan monotheisme.

a. Fetisisme ialah suatu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi
kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri (roh-roh).
Dan manusia pada tahap ini mulai mempercayai kekuatan jimat atau benda. Fase ini pula dapat
dikatakan sebagai fase awal sistem teologis dan militer.
b. Politheisme ialah anggapan yang muncul karena ada kekuatan-kekuatan yang mengatur
kehidupan atau gejala alam (dewa-dewa atau makhluk ghaib). Pada tahap ini sudah muncul
kehidupan kota, pemilikan tanah menjadi institusi sosial, adanya sistem kasta dan perang
dianggap sebagai satu-satunya cara menciptakan atau meraih kehidupan politik yang kekal. Fase
ini dapat pula dikatakan sebagai fase pengembangan sistem teologi dan militer.
c. Monotheisme ialah kepercayaan pada dewa yang mulai digantikan dengan zat tunggal atau
hanya Tuhan yang berdaulat dan berkuasa untuk mengendalikan alam ini. Fase ini dapat
dikatakan sebagai fase modifikasi sistem teologi dan militer. Modifikasi sistem militer
(militerisme) yang dimaksud adalah suatu hubungan sosial masyarakat bersifat militer di mana
masyarakat senantiasa bertujuan untuk menundukkan dan menaklukkan masyarakat lain.

Kedua, tahap metafisik (abstrak), Tahapan ini merupakan fase transisi antara tahap teologis menuju
ke tahap positfistik sehingga disebut dengan masa remaja intelegensia manusia. Tahap ini ditandai
dengan adanya satu kepercayaan manusia akan hukum-hukum alam secara abstrak yang
diilustrasikan dengan bentuk pemikiran yang bersifat filosofis, abstrak dan universal. Jadi,
kepercayaannya bukan lagi kepada kekuatan dewa-dewa yang spesifik akan tetapi pemikiran
manusia terbelenggu oleh konsep filosofis dan metafisis yang ditanamkan oleh filosof maupun orang
agamawan secara abstrak dan universal (agen-agen ghaib digantikan dengan kekuatan abstrak).
Dalam kehidupan sosial, masyarakat tidak lagi bersifat militer akan tetapi juga belum bersifat
industrial. Pada konteks masa ini tujuan utama masyarakat bukan berupa penaklukan saja tetapi
diperkuat dengan adanya peningkatan produksi, sehingga sistem perbudakan individual memang
bergeser terhapus akan tetapi perbudakan yang dimiliki oleh produsen masih memperoleh berbagai
haknya dalam hubungannya dengan militer. Oleh karenanya ada dua tujuan aktifitasnya yaitu
penaklukan dan produksi. Produsen dilindungi sebagai suatu sumber kemiliteran dan perang
dianggap secara sistematik penting untuk mengembangkan tingkat produksinya. Artinya tahapan ini
merupakan jembatan atau tahap transisi dari masyarakat militer (primitif) menuju industry.

Ketiga, tahap positifisme (ilmiah), Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam pemikiran
evolusionisme sosial Auguste Comte dan dianggap sebagai masa dewasa intelegensia manusia. Pada
tahap ini pikiran manusia tidak lagi mencari ide-ide absolut yang asli, yang menakdirkan alam
semesta dan menjadi penyebab fenomena. akan tetapi pikiran manusia mulai mencari hukum-
hukum yang menentukan fenomena, atau menemukan rangkaian hubungan yang tidak berubah dan
memiliki kesamaan ( tahap berfikir secara ilmiah). Tahap ini manusia mulai mempercayai data
empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir namun bersifat sementara dan tidak mutlak. Namun,
melalui analisis sosial tersebut memungkinkan manusia dapat merumuskan hukum-hukum yang
seragam, sehingga manusia mulai maju dan berkembang di depan ilmu pengetahuan. Dalam
kehidupan sosial, manusia dicetak untuk mampu menerapkan dan memanfaatkan akal budinya
untuk menguasai lingkungan alam bagi kemajuan masa depan yang lebih baik. Masyarakat pada
tahapan ini adalah masyarakat industri, di mana relasirelasi mereka merupakan bentukan-bentukan
dasar industrial. Dan tahapan ini menunjukkan bahwa industri mendominasi hubungan sosial
masyarakat secara kolektif yang diorganisasikan dan produksi adalah menjadi tujuan utama
masyarakat.

Nah, dari ketiga tahap hasil pemikiran Comte kita bisa melihat bagaimana masyarakat sampai saat
ini mempunyai tingkatan intelegensi, pada situasi apapun. Mulai dari tahap teologis, metafisik, dan
positivisme.

Berikut table tahapan evolusi pengetahuan manusia dan masyarakat

3. Penalaran Deduktif (Rasionalisme)

Penalaran induktif adalah penalaran dari hal-hal spesifik ke umum. penalaran induktif juga
merupakan suatu bentuk penalaran yang menyimpulkan suatu proposisi umum dari sejumlah
proposisi khusus.

Jadi penalaran induktif merupakan penarikan kesimpulan- kesimpulan dari hal-hal yang bersifat
khusus kemudian menyatakan hal tersebut kedalam hal yang bersifat umum.

Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran induktif adalah sebagai berikut :

1) Transduktif, adalah menarik kesimpulan dari satu kasus atau sifat khusus yang satu
diterapkan pada kasus lainnya. Penalaran transduktif merupakan bentuk penalaran induktif yang
paling sederhana.

2) Generalisasi, adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena
individual untuk menurunkan suatu inferensi yang bersifat umum yang mencakup suatu fenomena.

3) Analogis, adalah kesimpulan yang ditarik dengan cara membandingkan situasi yang satu
dengan yang lain.

4) Hubungan kausal (sebab dan akibat), adalah suatu keadaan atau kejadian yang menimbulkan
atau kejadian yang lain.

5) Memperkirakan jawaban, solusi atau kecenderungan interpolasi dan ekstrapolasi.

6) Memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada.

CONTOH : ……

4. Penalaran Induktif (Empirisme)

Santrock (2010: 358) mengatakan penalaran deduktif merupakan penalaran dari umum ke khusus.
Surajiyo, Astanto dan Andini (2006: 63) juga menyatakan bahwa penalaran deduktif merupakan
mengambil suatu kesimpulan yang hakekatnya sudah tercakup diproporsisi atau lebih.

Jadi penalaran deduktif merupakan penarikan kesimpulan- kesimpulan dari hal-hal yang bersifat
umum kemudian menyatakan hal tersebut kedalam hal yang berdifat khusus.

Menurut Sumarno dan Hendriani (2014) ada kegiatan yang tergolong kedalam penalaran deduktif
yaitu:
a. Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu.

b. Menarik kesimpulan logis (penalaran logis) berdasarkan aturan inferensi, berdasarkan


proporsi yang sesuai, berdasarkan peluang, korelasi antara dua variabel, menetapkan kombinasi
beberapa variabel.

c. Menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung, dan pembuktian dengan induksi
matematika.

d. Menyusun analisis dan sintesis beberapa kasus.

CONTOH : …..

Jadi dapat disimpulkan bahwa penalaran matematis merupakan proses berfikir logis dan sistematis
dari fakta-fakta yang ada untuk memperoleh kesimpulan dari kumpulan informasi. Ada dua jenis
penalaran matematis, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif yaitu
penalaran dari hal yang spesifik ke umum, sedangkan penalaran deduktif merupakan penalaran dari
hal yang umum ke spesifik.

5. Pendekatan Ilmiah

Tidak semua pengetahuan disebut ilmu, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara
mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
suatu pengetahuan dapat disebut ilmu atau ilmiah, adalah:

a. Obyektif, artinya pengetahuan itu sesuai dengan obyeknya, atau didukung metodik fakta
empiris.
b. Metodik, artinya pengetahuan ilmiah itu diperoleh dengan menggunakan cara-cara tertentu
yang teratur dan terkontrol.
c. Sistematik, artinya pengetahuan ilmiah itu tersusun dalam suatu sistem, tidak berdiri sendiri,
satu dengan yang lain saling berkaitan, saling menjelaskan, sehingga seluruhnya merupakan
satu kesatuan yang utuh.
d. Berlaku umum / universal, artinya pengetahuan itu tidak hanya berlaku atau dapat diamati
oleh seseorang atau beberapa orang saja, tetapi semua orang dengan cara eksperimentasi
yang sama akan memperoleh hasil yang sama atau konsisten.

Agar himpunan pengetahuan itu dapat disebut ilmu pengetahuan, maka dilakukan kegiatan yang
dikenal sebagai metode keilmuan atau pendekatan ilmiah. Pengetahuan yang disusun dengan cara
pendekatan ilmiah atau menggunakan metode keilmuan, diperoleh melalui kegiatan penelitian
ilmiah. Penelitian ilmiah ini dilaksanakan secara sistematik dan terkontrol berdasarkan atas data-
data empiris. Kesimpulan dari penelitian ini dapat menghasilkan suatu teori. Teori ini masih terlalu
dapat menghasilkan suatu teori. Teori ini masih terlalu dapat diuji dalam hati keajegan dan
kemantapannya. Artinya bilamana diadakan penelitian ulang, yang dilakukan oleh siapapun dengan
langkah-langkah yang serupa dan pada kondisi yang sama, akan diperoleh hasil yang ajeg
(konsisten). Metode keilmuan itu bersifat objektif, bebas dari keyakinan perasaan dan prasangka
pribadi serta bersifat terbuka. Artinya dapat diuji ulang oleh siapapun. Dengan demikian kesimpulan
yang diperoleh lebih dapat diandalkan dan hasilnya lebih mendekati kebenaran. Jadi, suatu
himpunan pengetahuan dapat digolongkan sebagai ilmu pengetahuan bilamana cara
memperolehnya menggunakan metode keilmuan, yaitu gabungan antara rasionalisme dan
emperisme
Metode ilmiah adalah cara atau prosedur dalam memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Langkah-
langkah dalam menetapkan metode ini tidak selalu harus urut, yang penting pemecahan masalah
untuk mendapatkan kesimpulan umum hanya didasarkan atas data dan diuji dengan data, bukan
oleh keinginan, prasangka, kepercayaan atau pertimbangan.

Metode Ilmiah merupakan bagian yang paling penting dalam mempelajari ilmu alamiah.
Pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah diharapkan mempunyai karakteristik-
kaıakteristik tertentu, yakni sifat rasional dan teruji, sehingga pengetahuan yang disusun dapat
diandalkan. Dalam hal ini, metode ilmiah menggabungkan cara berpikir induktif dan cara berpikir
deduktif dalan membangun tubuh pengetahuannya.

Cara berpikir deduktif terkait dengan pengetahuan rasionalisme. Pengetahuan ini memberikan sifat
rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah
dikumpulkan sebelumnya. Rasionalisme adalah paham yang berpendapat bahwa rasio adalah
sumber kebenaran. Sedangkan Cara berpikir induktif terkait dengan empirisme, dimana dibutuhkan
fakta-fakta yang mendukung. Empirisme adalah paham yang berpendapat bahwa fakta yang
tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran.

Dalam metode ilmiah, pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris. Secara
sederhana hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi 2 syarat utama, yaitu :

a. harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya


kontradiksi dalam teori keilmuan secan keseluruhan

b. harus cocok dengan fakta-fakta empiris. sebab teori yang bagaimanapun konsistennya. jika
tidak didukung oleh pengujian empiris, tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.

Awal Lahirnya IPA

Pada penjelasan di awal tadi, telah diterangkan bahwa mula-mula manusia masih percaya pada
mitos yang sekarang hanya dinilai sebagai pengetahuan semu. Karena mitos kemudian dianggap
tidak memuaskan, maka dicarilah pengetahuan yang sesungguhnya. Obyek utama yang dipikirkan
manusia adalah alam sehingga lahirlah pengetahuan alam.

Awal dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dimulai pada saat manusia memperhatikan gejala-gejala
alam, mencatatnya, dan kemudian mempelajarinya. Pengetahuan yang diperoleh mula-mula
terbatas pada hasil pengamatan terhadap gejala alam yang ada. Kemudian ditambah dengan
pengetahuan yang diperoleh dari hasil pemikirannya. Dengan peningkatan daya pikirnya, manusia
akhimya dapat melakukan eksperimen untuk membuktikan dan mencari kebenaran dari suatu
pengetahuan. Setelah manusia mampu memadukan kemampuan penalaran dengan eksperimen,
maka lahirlah Ilmu Pengetahuan Alam yang mantap.

Anda mungkin juga menyukai