Anda di halaman 1dari 18

BAB IV

METODE ILMIAH

PENDAHULUAN
Sains merupakan salah satu rumpun ilmu pengetahuan yang mempelajari dua aspek,
yaitu Sains sebagai produk (aspek teoretis) dan Sains sebagai proses (aspek empiris). Produk
Sains terdiri atas bangunan pengetahuan (knowledge dimension) dan kemampuan berpikir
kognitif (cognitive process dimension), dapat berupa fakta konsep, prinsip, prosedur, teori,
hukum dan postulat, sedangkan proses Sains terdiri atas kerja ilmiah (scientific process) dan
sikap ilmiah (scientific attitude). Dalam mempelajari Sains berarti mempelajari 4 unsur, yaitu
produk, proses, sikap dan nilai, serta aplikasinya (pendekatan kontekstual). Semua produk
Sains diperoleh melalui serangkaian proses penemuan ilmiah melalui metoda ilmiah yang
didasari oleh sikap ilmiah.
Struktur keilmuan Sains digambarkan bahwa Sains mempelajari fenomena/gejala
alam, baik fenomena/gejala kebendaan maupun fenomena/gejala kejadian (Djohar, 2000).
Semua persoalan yang berkait dengan gejala alam tersebut harus dipelajari mekanismenya
melalui Sains. Dalam hal ini, termasuk di dalamnya adalah semua gejala alam kebendaan
maupun kejadian yang berkait dengan rekayasa manusia, maupun yang terjadi di bumi dan
antariksa. Jika kemudian mekanisme yang terjadi dispesifikasi atas dasar mekanismenya,
maka terdapat mekanisme fisis, kemis, dan biologis.
Ditinjau dari segi proses, maka Sains memiliki berbagai keterampilan Sains,
diantaranya: (a) keterampilan mengidentifikasi dan menentukan variabel tetap/bebas dan
variabel berubah/tergayut, (b) menentukan apa yang diukur dan diamati, (c) keterampilan
mengamati menggunakan sebanyak mungkin indera (tidak hanya indera penglihat),
mengumpulkan fakta yang relevan, mencari kesamaan dan perbedaan, mengklasifikasikan, (d)
keterampilan dalam menafsirkan hasil pengamatan seperti mencatat secara terpisah setiap
jenis pengamatan, dan dapat menghubung-hubungkan hasil pengamatan, (e) keterampilan
menemukan suatu pola dalam seri pengamatan, dan keterampilan dalam mencari kesimpulan
hasil pengamatan, (f) keterampilan dalam meramalkan apa yang akan terjadi berdasarkan
hasil-hasil pengamatan, dan (g) keterampilan menggunakan alat/bahan dan mengapa
alat/bahan itu digunakan. Selain itu adalah keterampilan dalam menerapkan konsep, baik
penerapan konsep dalam situasi baru, menggunakan konsep dalam pengalaman baru untuk
menjelaskan apa yang terjadi, maupun dalam menyusun hipotesis.

16
Keterampilan Sains juga menyangkut keterampilan dalam berkomunikasi seperti (a)
keterampilan menyusun laporan secara sistematis, (b) menjelaskan hasil percobaan atau
pengamatan, (c) cara mendiskusikan hasil percobaan, (d) cara membaca grafik atau tabel, dan
(e) keterampilan mengajukan pertanyaan, baik bertanya apa, mengapa dan bagaimana,
maupun bertanya untuk meminta penjelasan serta keterampilan mengajukan pertanyaan yang
berlatar belakang hipotesis. Jika aspek-aspek proses ilmiah tersebut disusun dalam suatu
urutan tertentu dan digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi, maka
rangkaian proses ilmiah itu menurut Towle (1989) menjadi suatu metode ilmiah. Rezba dkk.
(1995) dan Bryce dkk (1990) mendeskripsikan keterampilan proses Sains yang harus
dikembangkan pada diri seseorang secara dini mencakup kemampuan yang paling sederhana,
yaitu mengamati, mengukur sampai dengan kemampuan tertinggi, yaitu kemampuan
bereksperimen.

CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari materi tentang metode ilmiah ini diharapkan mahasiswa dapat
mendeskripsikan secara lengkap mengenai landasan metode ilmiah, menjelaskan langkah-
langkah metode ilmiah, dan menunjukkan langkah penalaran deduktif dan induktif yang
merupakan kerangka berpikir metode ilmiah dari suatu kegiatan ilmiah, seperti penelitian dan
penulisan karya ilmiah, serta menjelaskan keunggulan dan keterbatasan metode ilmiah.

SUB-CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari materi tentang metode ilmiah, diharapkan mahasiswa dapat:
1. menjelaskan secara runtut sejarah pengetahuan manusia beserta ciri-ciri pengetahuan
untuk setiap tahap;
2. memberikan contoh pengetahuan pada setiap tahap;
3. menjelaskan penalaran deduktif dan induktif beserta ciri-ciri dan contohnya;
4. menjelaskan kelemahan penalaran deduktif dan induktif dalam membangun ilmu pengeta-
huan yang ilmiah, sistematis, dan logis;
5. mendeskripsikan landasan dibangunnya ilmu pengetahuan melalui metode ilmiah;
6. menunjukkan metode ilmiah sebagai pangkal kelahiran Sains;
7. menunjukkan langkah-langkah metode ilmiah;
8. menunjukkan peran penalaran deduktif dan induktif dalam membangun metode ilmiah;
9. menunjukkan tahap penerapan deduktif dan induktif dalam langkah-langkah metode
ilmiah; dan

17
10. menjelaskan keunggulan dan keterbatasan metode ilmiah dalam membangun ilmu
pengetahuan.

URAIAN MATERI
A. Landasan Metode Ilmiah
1. Sejarah Pengetahuan Manusia
Menurut A. Comte, sejarah perkembangan pengetahuan manusia ada 3 tahap, yaitu:
a. Tahap Teologi/Metafisika/Mitos
Pada tahap ini, manusia menyusun mitos atau dongeng untuk mengenal realita atau
kenyataan, yaitu pengetahuan yang tidak objektif tetapi subjektif. Mitos ini diciptakan untuk
memuaskan rasa ingin tahu manusia. Dalam alam pikiran mitos, rasio atau penalaran belum
terbentuk, yang bekerja hanya daya khayal, intuisi, atau imajinasi.
Menurut C.A. van Peursen, mitos adalah suatu ceritera yang memberikan pedoman
atau arah tertentu kepada sekelompok orang. Ceritera itu dapat ditularkan melalui berbagai
cara, seperti diceritakan kembali secara lisan kepada orang lain, diungkapkan melalui tari-tari
atau pementasan wayang. Inti cerita biasanya merupakan lambang-lambang yang mencetus-
kan pengalaman manusia, kejahatan dan kebaikan, maupun dua sisi kehidupan lain yang
saling bertentangan. Pada tahap teologi ini, manusia menemukan identitas dirinya dengan cara
bertindak sebagai subjek yang masih terbuka dikelilingi oleh objek yaitu alam, sehingga
manusia mudah sekali dimasuki oleh daya dan kekuatan alam. Manusia belum mampu
memandang objek atau realita dengan inderanya, sehingga manusia dan alam lebur jadi satu.
Lewat mitos, manusia dapat turut serta mengambil bagian dalam kejadian-kejadian alam
sekitarnya, dapat menanggapi daya kekuatan alam. Dengan cara demikian, manusia merasa
nyaman, karena menganggap dirinya bagian dari peristiwa alam tersebut.
Contoh :
1) Adanya gunung api meletus yang menimbulkan gempa bumi disertai keluarnya lahar
panas dan awan panas, sehingga menimbulkan banyak korban manusia dan kerusakan
alam. Manusia pada tahap teologi (A. Comte) atau pada tahap mitos (C.A. van Peursen)
belum dapat melihat realita ini dengan inderanya, artinya manusia belum dapat
mengetahui dan menangkap peristiwa tersebut dengan alam pikirannya, sehingga untuk
menenangkan pikirannya dan memenuhi rasa ingin tahunya manusia tahap ini
menganggap peristiwa tersebut akibat dewa yang sakti sedang murka.

18
2) Adanya gempa bumi dianggap sebagai peristiwa yang disebabkan raksasa yang memikul
bumi pada bahunya yang bernama Atlas sedang memindahkan bumi dari bahu yang satu
ke bahu yang lain.
3) Adanya gerhana bulan dianggap terjadi karena bulan dimakan raksasa. Lebih lanjut,
menurut mitosnya raksasa itu takut pada bunyi-bunyian, sehingga ketika gerhana
berlangsung mereka memukul benda apa saja yang dapat menimbulkan bunyi, agar
raksasa itu takut dan memuntahkan kembali bulan.
4) Adanya bunyi guntur dianggap karena ditimbulkan oleh roda kereta yang dikendarai dewa
melintasi langit.

Dalam menghadapi peristiwa yang menakjubkan, seperti terjadinya gerhana, halilintar,


topan, banjir, gempa, gunung meletus, manusia tahap mitos selalu menghubungkan dengan
kekuasaan atau perbuatan dewa, hantu, setan, atau makhluk gaib lainnya. Mencari jawaban
seperti ini merupakan cara berpikir irasional. Pengetahuan yang diperoleh secara irasional
tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pada tahap mitos, semua realita ditanggapi
dengan mengadakan selamatan, tari-tarian, nyanyian yang isinya riwayat para dewa yang
sedang mengatur peristiwa-peristiwa alam. Dengan cara demikian, manusia merasa aman dan
dapat menghindarkan diri dari keganasan peristiwa alam. Pada jaman itu mitos sangat
berpengaruh, bahkan sampai sekarangpun mitos masih belum sepenuhnya hilang. Jadi,
manusia pada tahap mitos/teologi menjawab keingintahuannya dengan menciptakan dongeng
atau mitos, karena alam pikirannya masih terbatas pada imajinasi atau intuisi.

Gambar 4.1. Mitos gunung meletus, dewa sakti sedang murka


(Sumber Gambar: satujam.com)

b. Tahap Filsafat
Dengan bertambah majunya alam pikiran manusia dan makin berkembangnya cara-
cara penyelidikan, manusia dapat menjawab banyak pertanyaan tanpa mengarang mitos. Oleh
karena itu mitos semakin kurang disukai dan hanya digunakan untuk memberi keterangan
pada anak kecil kalau kita kebetulan terlalu malas untuk memberi keterangan ilmiah yang

19
lengkap atau kalau kita menganggap bahwa anak itu masih terlalu kecil untuk dapat
mencernakan keterangan yang benar.
Menurut A. Comte, dalam perkembangan manusia, sesudah tahap mitos, manusia
berkembang dalam tahap filsafat. Pada tahap filsafat, rasio sudah terbentuk, tetapi belum
ditemukan metode berpikir secara objektif. Rasio sudah mulai dioperasikan, tetapi masih
kurang objektif. Berbeda dengan tahap teologi, pada tahap filsafat ini manusia mencoba
menggunakan rasionya untuk memahami objek secara dangkal, tetapi objek belum dimasuki
secara metodologis yang definitif.
C.A. van Peursen mengatakan bahwa di dalam mitos manusia terikat dan ada dalam
peristiwa yang sedang terjadi, dan manusia menerima keadaan sebagai takdir yang harus
diterima. Namun lama kelamaan manusia ingin bebas dan berusaha mencari pemecahan
masalah dengan rasio. Pada tahap filsafat, manusia berusaha memisahkan dirinya dari
peristiwa yang sedang terjadi dengan memandang kejadian alam (objek) di luar dirinya,
terlepas dari kekuatan alam tersebut, sehingga manusia memandang objek lebih leluasa.
Perubahan pola pikir terjadi ketika manusia tahap ini menghadapi peristiwa alam,
misalnya ketika gunung meletus. Peristiwa itu tidak ditanggapi dengan selamatan, tari-tarian
atau nyanyian, tetapi mengamati peristiwa itu, mempelajari mengapa gunung api itu dapat
meletus, kemudian berusaha mencari jawaban dengan tindakan-tindakan yang sesuai dengan
hasil pengamatan, seperti mencegah terjadinya letusan yang hebat atau mengevakuasi
penduduk yang ada di sekitar gunung api tersebut. Inilah bukti bahwa pola pikir manusia
mulai berubah dan berkembang dari irasional menjadi rasional.
Pada tahap ini manusia seringkali melakukan trial and error dalam hal pengobatan
dengan menggunakan bahan yang tersedia di alam. Hasil-hasil trial and error ternyata saat ini
dapat dijelaskan secara rasional ditinjau dari dunia kesehatan dan merupakan warisan yang
tak ternilai harganya. Sebagai contoh, daun jambu biji sebagai obat diare, kunyit sebagai obat
maag, jeruk nipis sebagai obat batuk, dan air kelapa muda sebagai penawar racun.

Gambar 4.2. Daun jambu biji, kunyit, jeruk nipis, dan air kelapa muda terbukti dapat
digunakan sebagai obat diare, maag, batuk, dan keracunan.
(Sumber Gambar : Dokumetasi pribadi)

20
c. Tahap Positif/Ilmu
Perkembangan alam pikiran manusia merupakan suatu proses dimana manusia tidak
akan puas dengan pemikiran yang sudah ada, sehingga akhirnya pola pikirnya berkembang ke
dalam tahap positif atau tahap ilmu. Pada tahap ini dikenal dua macam bentuk penalaran,
yaitu :
1) Penalaran Deduktif (Rasionalisme)
Seperti diketahui alam pikiran manusia terus berkembang seiring dengan perkem-
bangan jaman. Hal ini wajar, karena pola pikir manusia semakin berkembang ke arah
penggunaan rasio yang dioperasikan secara objektif. Adanya pengetahuan yang irasional
sebelumnya memacu manusia yang hidup di jaman sesudahnya untuk melakukan perbaikan,
karena ternyata adanya ketidaksejalanan pengetahuan irasional dengan kenyataan yang dimati
dalam kehidupan.
Sejalan dengan pemikiran itu, muncullah kaum rasionalis yang mencoba mengem-
bangkan paham yang disebut rasionalisme. Pemecahan secara rasional berarti mengandalkan
rasio dalam usaha memperoleh pengetahuan yang benar. Dalam menyusun pengetahuan,
kaum rasionalis menggunakan penalaran deduktif. Penalaran adalah suatu proses berpikir yg
membuahkan pengetahuan, atau proses mental dalam mengembangkan pikiran dari beberapa
fakta atau prinsip. Penalaran deduktif adalah cara berpikir yang bertolak dari pernyataan yang
bersifat umum untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara
deduktif ini menggunakan pola berpikir yang disebut silogisme, yang terdiri atas dua buah
pernyataan dan sebuah kesimpulan. Kedua pernyataan itu disebut premis mayor dan premis
minor, sedangkan kesimpulan / konklusi diperoleh berdasarkan penalaran deduktif dari kedua
premis tersebut.
Contoh :
Premis mayor : Semua makhluk hidup berkembang biak
Premis minor : Gajah adalah makhluk hidup
Kesimpulan : Jadi, gajah juga berkembang biak
Kesimpulan yang diambil hanya benar, jika kedua premis yang digunakan benar dan
cara menarik kesimpulannya juga benar. Jika salah satu dari ketiga hal ini salah, maka
kesimpulan yang diambil juga akan salah.
Contoh penalaran deduktif yang salah :
Premis mayor : Semua orang yang menangis pasti sedang sedih
Premis minor : Santy menangis
Kesimpulan : Jadi, Santy pasti sedang sedih

21
Kesimpulan tersebut salah, karena premis mayor dalam penalaran tersebut salah. Jadi,
untuk menghasilkan kesimpulan yang benar, maka syaratnya kedua premis (mayor dan minor)
harus benar. Inilah permasalahan dalam penalaran deduktif dimana terdapat kesulitan dalam
menilai kebenaran premis-premis yang digunakan, karena tidak didasarkan pada pengamatan
berulang-ulang terhadap fenomena tersebut. Selain itu penalaran deduktif memiliki kele-
mahan, yaitu penalaran yang digunakan bersifat abstrak, lepas dari pengalaman karena tidak
mungkin diamati dengan panca indera, tanpa ada kesepakatan yang dapat diterima semua
pihak, dan kesulitan menerapkan konsep rasional pada kehidupan praktis. Dengan kata lain,
konsep yang rasional kadang-kadang kontradiktif dengan kenyataan hidup sehari-hari.

Gambar 4.3. Menangis, dapat disebabkan sedih maupun gembira yang luar biasa
(Sumber Gambar : dakwatuna.com)

Pada jaman alkimia (abad pertama sampai kedua) pernah digunakan penalaran
deduktif berdasarkan ajaran Aristoteles. Menurut pendapat ini, semua benda (termasuk
logam) akan mengalami perkembangan ke arah kedewasaan. Logam yang telah dewasa atau
“matang” adalah emas dan perak. Muncullah penalaran deduktif berikut :
Premis mayor : Semua logam akan mengalami proses perkembangan menjadi emas
Premis minor : Air raksa adalah logam
Kesimpulan : Jadi, air raksa dapat berubah menjadi emas

Kesimpulan bahwa air raksa dapat berubah menjadi emas tergantung dari kebenaran
premis mayor, premis minor, dan cara menarik kesimpulannya. Bila kedua premis benar,
kesimpulan yang diambil juga benar. Namun bila salah satu premis diragukan kebenarannya,
maka kesimpulan yang diambil akan salah. Anehnya pada jaman itu penganut Aristoteles
mempercayai kebenaran kesimpulan tersebut, sehingga untuk membuktikan kebenaran itu
dicarilah “batu filosofi” yang sanggup mengubah air menjadi emas. Usaha ini gagal karena
memang air raksa tidak dapat diubah menjadi emas. Namun pada jaman sekarang ini
mengubah air raksa menjadi emas dapat dilakukan melalui proses transmutasi inti.

22
Dengan demikian jelas bahwa dalam penalaran deduktif harus diawali dengan
pernyataan yang sudah pasti kebenarannya. Aksioma dasar ini yang digunakan untuk
membangun sistem pemikiran yang diturunkan atau berasal dari ide yang menurut anggapan-
nya jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran manusia. Pada kenyataannya, seringkali ide yang
menurut seorang cukup jelas dan dapat dipercaya, tetapi tidak dapat diterima oleh orang lain.
Namun demikian, dengan penalaran deduktif ini kita dapat memperoleh bermacam-macam
pengetahuan mengenai sesuatu objek tertentu tanpa ada kesepakatan yang dapat diterima oleh
semua pihak.

2) Penalaran Induktif (Empirisme)


Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan deduktif ternyata memiliki kelemahan, maka
muncullah pandangan lain yang berdasarkan pengalaman konkrit yang teramati oleh panca
indera yang disebut paham empirisme. Menurut paham ini, pengetahuan yang benar adalah
pengetahuan yang diperoleh langsung dari pengalaman konkrit. Gejala alam bersifat konkrit,
sehingga dapat ditangkap dengan panca indera manusia. Dengan pertolongan panca indera ini,
manusia dapat menghimpun sangat banyak pengetahuan. Himpunan pengetahuan ini belum
dapat disebut ilmu pengetahuan, karena belum disusun secara teratur dan belum dicari
hubungan sebab akibatnya, sehingga perlu dilakukan penalaran. Penalaran haruslah dimulai
dari yang sederhana ke yang lebih kompleks.
Ketika melakukan penalaran, fakta yang didasarkan atas pengamatan tidak boleh
dicampuradukkan dengan dugaan atau pendapat orang yang melakukan penalaran, karena hal
ini akan mengacaukan penalaran yang dilakukan. Jika pendapat tersebut bermanfaat, maka
dapat saja dicatat, tetapi harus dipisahkan secara tegas dengan dugaan dan fakta. Objek yang
diamati berupa gejala alam dimana suatu gejala alam ada yang dapat ditirukan oleh manusia,
ada juga yang tidak. Sebagai contoh, penyelidikan gejala alam yang dilakukan di laboratorium
merupakan gejala alam yang dapat ditirukan dan biasanya lebih cepat membawa hasil
dibandingkan gejala alam yang tidak dapat diulangi di laboratorium.
Berdasarkan pengamatan secara sistematis dan kritis terhadap gejala-gejala alam akan
diperoleh pengetahuan tentang gejala itu. Hasil pengamatan ini akan memunculkan adanya
karakteristik tertentu, kesamaan, ulangan dan keteraturan dalam pola-pola tertentu, sehingga
akan dapat ditarik suatu generalisasi dari berbagai kasus yang terjadi.
Penganut empirisme menyusun pengetahuan dengan menggunakan penalaran
induktif, yaitu cara berpikir dengan menarik kesimpulan umum berdasarkan pengamatan
terhadap gejala-gejala yang bersifat khusus. Sebagai contoh, pada pengamatan logam besi,

23
tembaga, timah, timbal, alumunium, dan sebagainya, jika dipanasi ternyata dapat
menghantarkan panas. Berdasarkan pengamatan khusus terhadap berbagai jenis logam
tersebut, maka dapat disimpulkan secara umum bahwa semua logam jika dipanasi akan
menghantarkan panas. Contoh lainnya, pengamatan terhadap berbagai macam hewan seperti
ayam, kucing, kambing, kerbau, sapi, kuda, semua membutuhkan makan, sehingga dapat
disimpulkan secara umum bahwa semua hewan membutuhkan makan.
Melalui penalaran induktif semakin lama semakin banyak disusun pernyataan yang
lebih umum lagi dan semakin bersifat fundamental. Berdasarkan contoh kedua tadi, maka
dapat disusun pernyataan yang lebih umum, yaitu manusia membutuhkan makan, tumbuh-
tumbuhan membutuhkan makan, sehingga kesimpulan yang diperoleh akan semakin umum
dan fundamental, yaitu semua makhluk hidup (hewan, manusia, dan tumbuh-tumbuhan)
membutuhkan makan. Dengan cara demikian akan dapat diperoleh prinsip-prinsip yang
bersifat umum yang memudahkan kita dalam memahami gejala alam yang beraneka ragam.
Seperti halnya penalaran deduktif, pada penalaran induktif-pun timbul permasalahan,
yaitu bahwa sekumpulan fakta/gejala/kasus yang diamati belum tentu menunjukkan
konsistensi, bahkan mungkin sebaliknya bersifat kontradiktif. Hal ini karena fakta-fakta yang
diamati yang nampaknya berkaitan tersebut belum dapat menjamin tersusunnya pengetahuan
yang sistematis dan benar. Selain itu batasan yang dimaksud pengalaman itu apakah
sebenarnya stimulus pengalaman atau hanya persepsi pengamat.
Contoh penalaran induktif yang salah :
Pengamatan : Aji suka berenang, ia tinggi
Akbar suka berenang, ia tinggi
Amin suka berenang, ia tinggi
Kesimpulan : Jadi, semua anak yang suka berenang pasti tinggi

Sepintas nampaknya penalaran induktif tersebut benar jika dilihat dari hasil
pengamatan terhadap 3 anak, tetapi apakah sebenarnya ada hubungan antara kesukaan
berenang dengan postur tubuh yang tinggi? Nah, inilah kelemahan penalaran induktif, sesuatu
yang nampaknya bersifat konsisten dan ada hubungannya, ternyata tidak dapat menjamin
tersusunnya pengetahuan yang benar dan sistematis. Kesimpulan tersebut akan menjadi salah
jika suatu saat kita mengamati ada anak yang suka berenang dan ternyata anak tersebut justru
pendek (kontradiktif dengan yang diamati sebelumnya, bukan?).

24
Gambar 4.4. Berenang menyebabkan tinggi, perlu dikaji kebenarannya
(Sumber Gambar : Dokumentasi Pribadi)

Kelemahan lainnya, oleh karena penalaran induktif melibatkan pengamatan dengan


menggunakan panca indera, maka kesalahan pengamatan sangat dimungkinkan, mengingat
panca indera manusia memiliki keterbatasan dan tidak dapat diandalkan. Sebagai contoh, jika
sebagian tongkat yang lurus dibenamkan dalam air, maka tongkat yang terendam akan terlihat
bengkok. Hal ini karena indera penglihatan kita tertipu oleh adanya pembiasan. Demikian
juga ketika tangan kita dicelupkan dari air hangat kemudian ke air dingin, maka kita akan
mengatakan bahwa air dingin tersebut hangat, karena indera peraba (kulit) kita masih
terpengaruh dengan yang dirasakan sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan yang diperoleh,
baik melalui penalaran deduktif atau induktif tidak dapat diandalkan. Oleh karena itu,
himpunan pengetahuan yang diperoleh belum dapat disebut ilmu pengetahuan, tetapi hanya
sekedar pengetahuan (segala apa yang kita ketahui tentang objek tertentu).

2. Metode Ilmiah sebagai Pangkal Kelahiran Sains


Seperti diketahui bahwa pada tahap ilmu/positif muncul dua penalaran, yaitu
penalaran deduktif (rasionalisme) dan induktif (empirisme). Keduanya memiliki kelebihan
dan kelemahan dalam mengungkap suatu kebenaran. Oleh karena itu perlu dipikirkan cara
berpikir lain yang dapat mengatasi kelemahan tersebut, sehingga himpunan pengetahuan yang
diperoleh dapat disebut ilmu pengetahuan. Jika diperhatikan ternyata kelebihan kedua
penalaran tersebut jika digabungkan / dipadukan akan saling menutupi kelemahannya.
Seperti telah kita pelajari, kelemahan penalaran deduktif adalah pengetahuan yang
diperoleh bersifat abstrak dan lepas dari pengalaman, sehingga dengan memadukan penalaran
induktif yang mendasarkan pada pengalaman konkrit kelemahan tersebut dapat diatasi.
Demikian pula kelemahan penalaran induktif yang hanya mendasarkan pada pengamatan
panca indera dapat diatasi dengan kelebihan penalaran deduktif yang mengandalkan pola
berpikir silogisme. Perpaduan kedua penalaran inilah yang kemudian dikenal sebagai metode
ilmiah atau pendekatan ilmiah.

25
Pengetahuan yang disusun dengan menerapkan metode ilmiah atau cara pendekatan
ilmiah diperoleh melalui kegiatan penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah dilaksanakan secara
sistematis dan terkontrol berdasarkan data-data empiris, hingga akhirnya menghasilkan
kesimpulan yang jika kebenarannya teruji berulang-ulang dapat menghasilkan suatu teori.
Teori ini masih dapat diuji konsistensi dengan cara mengadakan penelitian ulang yang dapat
dilakukan oleh siapapun dengan langkah-langkah serupa dan pada kondisi yang sama,
sehingga diperoleh hasil yang ajeg (konsisten). Metode ilmiah bersifat objektif, bebas dari
keyakinan, perasaan dan prasangka pribadi, serta bersifat terbuka. Dengan demikian
kesimpulan yang diperoleh lebih dapat diandalkan dan hasilnya lebih mendekati kebenaran.
Jadi suatu himpunan pengetahuan dapat digolongkan sebagai ilmu pengetahuan jika
cara memperolehnya menggunakan metode ilmiah, yaitu gabungan antara penalaran deduktif
(rasionalisme) dan induktif (empirisme). Dengan kata lain, suatu himpunan pengetahuan
dapat disebut Sains jika objeknya pengalaman manusia yang berupa gejala-gejala alam, yang
dikumpulkan melalui metode ilmiah dan memiliki manfaat untuk kesejahteraan manusia.

Gambar 2.1. Kebakaran hutan sebagai fenomena alam yang dapat menjadi objek penelitian
dalam IPA (Sumber Gambar: http://www.trakearth.com).

B. LANGKAH-LANGKAH METODE ILMIAH


Berpikir secara rasional dan berpikir secara empiris ternyata membentuk dua kutub
yang saling bertentangan, karena keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena
itu untuk menutupi kekurangan keduanya akhirnya timbul gagasan untuk menggabungkan
kedua penalaran ini sedemikian rupa sehingga tersusun metode yang dapat lebih diandalkan
untuk menemukan pengetahuan yang benar. Gabungan/perpaduan antara penalaran deduktif
(rasionalisme) dan induktif (empirisme) inilah yang dinamakan metode ilmiah. Rasionalisme
memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis, sedangkan empirisme memberikan
kerangka pengujian dalam memastikan kebenarannya. Dengan demikian pengetahuan yang

26
dihasilkan merupakan pengetahuan yang konsisten dan sistematis serta dapat diandalkan,
karena telah diuji secara empiris.
Metode ilmiah merupakan cara untuk memperoleh pengetahuan secara ilmiah yang
ditempuh melalui suatu rangkaian prosedur tertentu. Prosedur tersebut terdiri atas langkah-
langkah yang harus diikuti dengan seksama hingga sampai pada kesimpulan yang benar. Cara
berpikir kedua penalaran tersebut tercermin dalam langkah-langkah yang terdapat dalam
proses kegiatan ilmiah. Adapun langkah-langkah metode ilmiah tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Penemuan/Perumusan Masalah
Pada dasarnya masalah adalah segala pertanyaan yang harus dicari pemecahannya
dimana banyak alternatif pemecahannya, yaitu bisa melalui penalaran (reasoning), penilaian,
maupun penelitian. Oleh karena itu langkah pertama jika kita akan melakukan suatu kegiatan
penelitian ilmiah adalah menemukan atau merumuskan masalah. Tanpa ada masalah yang
akan dipecahkan, maka kegiatan penelitian tidak dapat dilakukan.
Masalah timbul karena adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan, cita-cita
dan realita. Masalah dapat diperoleh atau tercetus ketika kita mengamati keadaan sekitar dan
ternyata terdapat kesenjangan di sana. Mudah tidaknya seseorang menemukan masalah sangat
tergantung kepekaannya terhadap kesenjangan yang terjadi. Kepekaan tersebut dipengaruhi
oleh latar belakang pendidikan seseorang, ketertarikan terhadap suatu bidang, dan perhatian
seseorang terhadap praktik kehidupan sehari-hari. Dengan adanya masalah yang ditemukan
secara empiris, maka otak kita mulai berpikir secara mendalam dan mengkaji secara rasional.

Gambar 4.5. Mobil pribadi. nyaman dan cepat sampai tujuan, tetapi menimbulkan masalah
kemacetan. (Sumber Gambar: Dokumentasi Pribadi)

Selanjutnya masalah yang ditemukan harus dirumuskan sedemikian rupa, sehingga


memungkinkan untuk dianalisis secara logis dan membawa kejelasan kemana kegiatan
penelitian yang kita lakukan akan diarahkan pemecahannya. Oleh karena itu pada langkah ini

27
kita juga harus membatasi ruang lingkup permasalahan agar tidak meluas kemana-mana dan
tidak terjadi kesalahan persepsi.

2. Pengkajian Pustaka
Langkah ini merupakan usaha untuk mendekati pemecahan masalah melalui pengka-
jian terhadap berbagai acuan/referensi, baik yang bersifat umum maupun khusus, seperti
buku, jurnal, majalah, hasil penelitian, dan lain-lain. Berdasarkan acuan/referensi tersebut kita
memperoleh teori-teori yang bersifat umum yang akan digunakan untuk memecahkan
masalah kita yang bersifat khusus. Dengan kata lain, pada langkah ini kita menerapkan
penalaran deduktif (umum ke khusus).
Perlu diketahui bahwa teori-teori yang ada dalam acuan/referensi bersifat plural,
artinya jumlahnya banyak. Kita harus pandai-pandai memilih teori mana yang paling sesuai
dan tepat digunakan untuk mendekati pemecahan masalah yang kita rumuskan. Dengan
demikian kualitas suatu kegiatan penelitian tidak ditentukan oleh banyaknya teori yang diacu
(tetapi tidak mengena pada pemecahan masalah), melainkan ditentukan oleh ketepatan kita
memilih teori yang sesuai dengan permasalahan.

Gambar 4.6. Buku adalah sumber utama dalam mengkaji teori

3. Perumusan Kerangka Berpikir


Seseorang yang melakukan kegiatan penelitian dengan menerapkan metode ilmiah
harus memiliki pola berpikir yang runtut dan sistematis, sehingga sampai pada kesimpulan
sementara (hipotesis) yang dapat diterima secara rasional. Keruntutan mendeskripsikan alur
pikir sampai pada pemecahan masalah yang akan dilakukan tercermin pada langkah ini. Oleh
karena itu dalam merumuskan kerangka berpikir harus jelas pola pikirnya dan dapat diikuti
dengan mudah oleh orang lain.

4. Pengajuan Hipotesis
Hipotesis adalah kerangka pemikiran sementara yang menjelaskan hubungan antara
unsur-unsur yang membentuk suatu kerangka permasalahan. Pengajuan hipotesis ini
didasarkan pada pendekatan pemecahan masalah secara rasional dengan menggunakan dasar

28
teori-teori yang diacu. Pengajuan hipotesis sangat mudah dilakukan jika kerangka berpikir
dideskripsikan secara runtut dan sistematis Kerangka pemikiran sementara yang diajukan
tersebut disusun secara deduktif berdasarkan premis-premis atau teori-teori yang telah
diketahui kebenarannya.

5. Pengujian Hipotesis
Langkah ini merupakan usaha untuk mengumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan
deduksi hipotesis yang berupa data-data empiris. Jika fakta-fakta tersebut sesuai dengan
konsekuensi hipotesis, berarti hipotesis yang diajukan terbukti/benar, karena didukung oleh
fakta-fakta yang nyata. Sebaliknya bila fakta-fakta yang ada tidak sesuai dengan konsekuensi
hipotesis, yang berarti bahwa hasil deduksinya meleset, maka hipotesis tersebut harus ditolak.
Jadi kriteria untuk menentukan apakah suatu hipotesis itu terbukti atau tidak ialah sesuai
tidaknya deduksi hipotesis (teori-teori yang diacu) dengan kenyataan empiris. Dengan kata
lain terbukti tidaknya kebenaran hipotesis tergantung apakah hipotesis tersebut didukung oleh
fakta atau tidak.
Dengan telah dibuktikannya kebenaran dari suatu hipotesis, maka hipotesis tersebut
dapat dianggap sebagai teori ilmiah dan merupakan pengetahuan baru. Pengetahuan baru
ini dapat berupa teori baru, kaidah baru, atau mungkin juga hanya sekedar penemuan lanjutan
dari teori yang sudah ada. Selanjutnya pengetahuan ini dapat digunakan sebagai premis dalam
usaha menjelaskan atau menelaah gejala-gejala lainnya. Proses kegiatan ilmiah tersebut
berlangsung terus-menerus dan merupakan daur yang tidak ada batas akhirnya.
Langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah tersusun dalam urutan yang teratur dimana
langkah yang satu merupakan persiapan bagi langkah berikutnya. Agar suatu penelaahan
dapat disebut ilmiah, maka harus ditempuh seluruh langkah-langkah tersebut, meskipun
praktiknya tidak selalu harus dengan format penulisan yang sama. Dengan adanya hubungan
langkah-langkah yang dinamis, langkah yang satu menjelaskan langkah-langkah lainnya,
maka pengetahuan yang ditemukan konsisten dengan pengetahuan sebelumnya dan didukung
oleh fakta-fakta yang nyata.
Penerapan metode ilmiah dalam suatu kegiatan penelitian yang bersifat ilmiah kadang-
kadang dituangkan dalam kemasan dengan tata urutan format penulisan yang berbeda-beda
untuk setiap institusi. Hal ini sah-sah saja tergantung selera dan preferensi institusi, karena
yang terpenting adalah pola pikir yang sistematis dan runtut tetap terjaga, artinya tidak
mungkin langkah-langkah metode ilmiah tersebut dibolak-balik sesukanya. Sebagai contoh,
tidak akan mungkin perumusan masalah dilakukan setelah perumusan kerangka berpikir.

29
Dalam penjabaran setiap langkahpun, setiap institusi akan berbeda formatnya. Ada yang
dalam penentuan masalah mengandung identifikasi masalah, ada pula yang tidak.
Selain itu, seseorang yang akan menerapkan metode ilmiah dalam suatu kegiatan
penelitian ilmiah harus menguasai dengan baik teknik penyusunan pelaporan hasil kegiatan
ilmiahnya tersebut dengan baik, termasuk sistematika tulisan dan penguasaan bahasa yang
sesuai dengan kaidah yang berlaku. Seseorang perlu banyak berlatih terus-menerus agar dapat
melakukan kegiatan ilmiah secara baik dan benar, sehingga pengetahuan tentang pengaturan
gagasan-gagasan melalui garis-garis pemikiran yang bersifat konseptual dan prosedural dapat
dikuasai dengan baik pula.
Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka dasar prosedur metode ilmiah dapat
digambarkan pada Bagan berikut ini :

Perumusan Masalah

Pengkajian Pustaka

deduktif Perumusan Kerangka Berpikir

Pengajuan Hipotesis

Fakta /Data Empiris Pengujian Hipotesis

Terbukti Tidak terbukti


induktif

Kesimpulan Perlu pengkajian ulang


Acuan yang mendukung

Generalisasi
pada populasi

Gambar 2. 4. Bagan Langkah-langkah Metode Ilmiah

C. KEUNGGULAN DAN KETERBATASAN METODE ILMIAH


Meskipun merupakan metode keilmuan yang menggunakan pendekatan ilmiah dan
dibangun dari perpaduan dua penalaran yang saling melengkapi, namun metode ilmiah juga

30
memiliki keterbatasan disamping keunggulan. Adapun keterbatasan dan keunggulan tersebut
dapat dijelaskan pada uraian berikut.
1. Keterbatasan Metode Ilmiah
Dengan penerapan metode ilmiah kita dapat menghasilkan ilmu atau pengetahuan
yang ilmiah. Namun dalam penerapan langkah per langkah tersebut tidak selamanya kita
memperoleh hasil seperti yang diharapkan karena berbagai penyebab. Sebagai contoh, ketika
kita akan melakukan pengujian hipotesis diperlukan berbagai data empiris yang diperlukan
untuk pengujian, namun tidak selamanya data yang diperoleh mendukung pada kebenaran
hipotesis, bahkan mungkin sebaliknya bertentangan dengan hipotesis yang kita ajukan. Hal ini
karena data-data empiris tersebut kita peroleh dan kumpulkan dari hasil pengamatan panca
indera kita yang memiliki keterbatasan. dalam menangkap sesuatu fakta. Dengan demikian
data yang terkumpul menjadi tidak sesuai dengan kenyataan. Kesimpulan yang diambil
berdasarkan data yang tidak benar, tentu saja juga akan tidak benar. Jadi, peluang terjadinya
kesalahan suatu kesimpulan yang diambil berdasarkan metode ilmiah tetap ada. Oleh karena
itu semua kesimpulan ilmiah, atau kebenaran ilmu, termasuk Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
bersifat tentatif, artinya kesimpulan itu dianggap benar selama belum ada kebenaran ilmu
yang dapat menolak kesimpulan itu. Sedangkan kesimpulan ilmiah yang dapat menolak
kesimpulan ilmiah yang terdahulu, menjadi kebenaran ilmu yang baru.
Kesalahan kesimpulan yang diambil juga dapat disebabkan ketika kita melakukan
penalaran deduktif dimana teori-teori yang diacu tidak cukup kuat sebagai pondasi untuk
merumuskan kerangka berpikir, sehingga akhirnya pola kerangka berpikir kita tidak tepat,
akibatnya hipotesis menjadi tidak terbukti. Oleh karena itu pemilihan teori yang mendukung
harus benar-benar tepat, relevan, dan kuat dalam mendekati permasalahan yang akan
dipecahkan.
Keterbatasan lain metode ilmiah adalah tidak dapat menjangkau untuk membuat
kesimpulan yang bersangkutan dengan baik dan buruk atau sistem nilai, tentang seni dan
keindahan (estetika), dan juga tidak dapat menjangkau untuk menguji adanya Tuhan. Khusus
untuk sistem nilai dan estetika, keduanya merupakan sesuatu yang bersifat subjektif dimana
masing-masing orang dan budaya sangat mempengaruhi dalam penilaiannya, padahal metode
ilmiah bersifat objektif. Sesuatu yang memiliki sistem nilai yang baik, sesuatu yang memiliki
nilai estetika yang indah di mata seseorang, belum tentu sama di mata orang lain.

31
Gambar 2.5. Keindahan karya seni tidak dapat dijangkau oleh metode ilmiah
(Sumber Gambar: http://www.finecraftsimports.com)

2. Keunggulan Metode Ilmiah


Ilmu atau Ilmu Pengetahuan (termasuk IPA) mempunyai ciri khas yaitu objektif,
metodik, sistematis, dan berlaku umum. Dengan sifat-sifat tersebut, maka orang yang
berkecimpung dan selalu berhubungan dengan ilmu pengetahuan akan terbimbing dan terarah
sedemikian rupa sehingga padanya tertanamkan dan berkembangnya suatu sikap yang disebut
sikap ilmiah. Sikap ilmiah seseorang dapat dilihat dari berbagai indikator, diantaranya :
a. Mencintai kebenaran yang objektif dan bersikap adil.
b. Menyadari bahwa kebenaran ilmu tidak absolut.
c. Tidak percaya pada takhayul, astrologi maupun untung-untungan (spekulatif).
d. Memiliki rasa ingin tahu lebih banyak.
e. Tidak berpikir berdasarkan prasangka.
f. Tidak mudah menerima suatu kesimpulan tanpa adanya bukti-bukti yang nyata.
g. Optimis dalam menghadapi dan memecahkan masalah.
h. Teliti dalam berpikir dan bertindak.
i. Berani menyatakan kesimpulan yang menurut keyakinan ilmiahnya adalah benar.

RANGKUMAN
1. Menurut A. Comte, sejarah perkembangan pengetahuan manusia ada 3 tahap, yaitu tahap:
(1) teologi/metafisika/mitos, pengetahuan yang bersifat subjektif, munculnya berbagai
mitos, rasio atau penalaran belum terbentuk, yang bekerja hanya daya khayal, intuisi, atau
imajinasi; (2) filsafat, pengetahuan yang diperoleh sudah mulai menggunakan rasio, tetapi
masih kurang objektif, memahami objek secara dangkal, tanpa metodologis yang definitif;
dan (3) positif/ilmu yang ditandai dengan munculnya penalaran deduktif dan induktif.
2. Penalaran deduktif (rasionalisme) adalah cara berpikir yang bertolak dari pernyataan yang
bersifat umum untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus (umum ke khusus).

32
3. Penalaran induktif (empirisme) adalah cara berpikir dengan menarik kesimpulan umum
berdasarkan pengamatan terhadap gejala-gejala yang bersifat khusus (khusus ke umum).
4. Metode ilmiah lahir sebagai gabungan/perpaduan antara dari penalaran deduktif
(rasionalisme) dan induktif (empirisme), karena keduanya memiliki kelebihan dan
kekurangan yang saling melengkapi. Rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang
koheren dan logis, sedangkan empirisme memberikan kerangka pengujian dalam
memastikan kebenarannya, sehingga pengetahuan yang dihasilkan konsisten dan
sistematis serta dapat diandalkan, karena telah diuji secara empiris.
5. Penalaran deduktif (rasionalisme) diterapkan pada langkah pengkajian pustaka menuju
pengajuan hipotesis, sedangkan penalaran induktif (empirisme) diterapkan pada langkah
pengujian hipotesis menuju penarikan kesimpulan.
6. Langkah-langkah metode ilmiah meliputi: (1) penemuan/perumusan masalah, (2) pengka-
jian pustaka, (3) perumusan kerangka berpikir, (4) pengajuan hipotesis, dan (5) pengujian
hipotesis.
7. Kelebihan penerapan metode ilmiah adalah berkembangnya suatu sikap yang disebut
sikap ilmiah, seperti mencintai kebenaran yang objektif, bersikap adil, menyadari
kebenaran ilmu tidak absolut, tidak percaya pada takhayul, astrologi, memiliki rasa ingin
tahu tinggi, tidak berprasangka, tak mudah percaya tanpa bukti, optimis menghadapi dan
memecahkan masalah, teliti dalam berpikir dan bertindak, dan berani menyatakan
kesimpulan yang menurut keyakinan ilmiahnya adalah benar.
8. Keterbatasan metode ilmiah diantaranya (1) kesimpulan yang diperoleh kadang tidak
sesuai dengan kenyataan (kontradiktif), (2) kebenarannya bersifat tentatif, (3) hipotesis
tidak terbukti jika dukungan teori-teori yang diacu tidak cukup kuat sebagai pondasi untuk
merumuskan kerangka berpikir, (4) tidak dapat menjangkau untuk membuat kesimpulan
yang bersangkutan dengan baik dan buruk atau sistem nilai, tentang seni dan keindahan
(estetika), dan juga tidak dapat menjangkau untuk menguji adanya Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2000). Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V. Jakarta: Depdikbud.

Abdullah Aly dan Eny Rahma. (2000). Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara

Heri Purnama. (1997). Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.

John, W., Hill, Doris, K., Kolb. (1995). Chemistry for Changing Times. Seventh Edition. New
Jersey: Prentice Hall, Inc.

Nana Sudjana. (1991). Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung: Sinar Baru.

33

Anda mungkin juga menyukai