Anda di halaman 1dari 36

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Luas perikanan budidaya secara nasional kurang lebih sebesar 15,59 juta
ha dengan rincian 2,23 juta ha air tawar, 1,22 juta ha air payau dan 12,14 juta ha
air laut. Pemanfaatan lahan perikanan budidaya saat ini baru mencapai 10,1%
untuk budidaya air tawar, 40% budidaya air payau dan 0,01% untuk budidaya air
laut. Ketiga angka tersebut menunjukkan tingkat pemanfaatannya tergolong masih
rendah, karenanya diperlukan langkah-langkah konkrit untuk mendorong
peningkatan pemanfaatan lahan budidaya yang bermuara pada peningkatan
produksi ikan yang permintaan pasarnya sangat besar baik untuk konsumsi dalam
negeri maupun luar negeri (Ath-thar dan Rudhy, 2010).
Berdasarkan jenis ikan yang digemari masyarakat saat ini, lele dumbo
(Clarias gariepinus) merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai
pengemar fanatik dari kelas bawah sampai kelas menengah ke atas. Menurut Lim,
C, E & C, D. Webster (2006), ikan lele dumbo juga merupakan salah satu
komuditas unggulan produk perikanan air tawar. Karena kelebihan ikan lele
diantaranya adalah rasa yang enak serta kandungan gizi yang tinggi dan mudah
untuk dibudidayakan. Fakta ini didasari pertimbangan bahwa, kandungan protein
pada ikan lele dumbo cukup tinggi, rasanya enak dan harganya relatif terjangkau
bagi masyarakat luas. Pada sisi lain, kenaikan permintaan konsumen terhadap ikan
lele tidak diimbangi dengan produksi di sektor pembenihan yang memadai.
Untuk memenuhi pasokan pasar baik dalam maupun luar negeri membuat
para pembudidaya juga harus memikirkan cara agar ikan ini selalu tersedia. Salah
satu cara yang dapat diupayakan adalah dengan melakukan pemijahan buatan
dengan menggunakan hormon agar bisa menghasilkan larva dan benih dalam
jumlah yang banyak. Akan tetapi, kendala yang sering dihadapi dalam pemijahan
buatan seperti yang dikemukakan oleh Masrizal dan Efrizal (1997) adalah masih
rendahnya fertilisasi sperma yang mengakibatkan rendahnya daya tetas telur.
Selain itu, menurut Isnaini dan Suyadi (2000), kurangnya ketersediaan cairan
2

spermatozoa pada waktu pembuahan buatan serta aktivitas sperma yang relatif
singkat. Konsentrasi sperma yang tinggi dapat menghambat aktivitas
spermatozoa, karena berkurangnya daya gerak sehingga spermatozoa sukar
menemukan atau menembus mikrofil sel telur yang mengakibatkan rendahnya
fertilisasi sperma karena motilitas spermatozoa akan terus menurun setelah
dikeluarkan dari tubuh ikan, sehingga menurutnya salah satu cara untuk mengatasi
hal ini adalah menggunakan larutan pengencer yang dapat mempertahankan
kehidupan spermatozoa. Bahan yang sering digunakan dalam pengenceran sperma
adalah larutan NaCl, larutan ini memberi sifat buffer, mempertahankan pH dalam
suhu kamar, bersifat isotonis dengan cairan sel, melindungi spermatozoa terhadap
penyeimbangan elektron yang sesuai. Namun penyimpanan spermatozoa dengan
larutan ini hanya bisa digunakan tidak lebih dari 60 menit setelah penampungan
karena kurang mengandung sumber energi yang dibutuhkan oleh spermatozoa.
Penambahan madu dalam pengenceran sperma ikan merupakan salah satu
cara yang digunakan untuk memperoleh benih ikan, karena monosakarida yang
dibutuhkan oleh spermatozoa terkandung dalam madu. Berdasarkan data United
States Department of Agricultur (USDA) yang dikemukakan oleh Rahardianto et
al, (2012), madu mengandung 38% fruktosa; 31% glukosa; 17,1% air; 7,2%
maltose, 4,2% trisakarida dan beberapa poliskarida, 1.5% sukrosa; 0,5% mineral,
vitamin dan enzim. Madu dalam pengencer NaCl fisiologis diharapkan dapat
mendukung daya hidup dan pergerakan spermatozoa sebagai sumber energi yang
akan mempengaruhi daya tetas telur.
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, perlu dilakukan penelitian tentang
Pengaruh Konsentrasi Larutan Madu Yang Berbeda Dalam NaCl Fisiologis Pada
Proses Pengenceran Sperma Terhadap Daya Tetas Telur Ikan Lele Dombo
(Clarias gariepinus).
3

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini sebagai berikut :
a. Bagaimana pengaruh konsentrasi larutan madu yang berbeda dalam nacl
fisiologis pada proses pengenceran sperma terhadap daya tetas telur ikan lele
dombo (Clarias gariepinus)?.
b. Berapakah dosis penambahan larutan madu dalam nacl fisiologis pada proses
pengenceran sperma yang tepat terhadap daya tetas telur ikan lele dombo
(Clarias gariepinus)?.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dosis optimal penambahan
larutan madu dalam NaCl fisiologis pada proses pengenceran sperma yang tepat
terhadap daya tetas telur ikan lele dombo (Clarias gariepinus). Sedangkan
manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada
pembudidaya ikan lele dumbo tentang pengaruh konsentrasi larutan madu yang
berbeda dalam NaCl fisiologis pada proses pengenceran sperma terhadap daya
tetas telur ikan lele dombo (Clarias gariepinus).

1.4. Hipotesis Penelitian


a) Ho : Diduga pengaruh konsentrasi larutan madu yang berbeda dalam NaCl
fisiologis pada proses pengenceran sperma tidak berpengaruh terhadap
daya tetas telur ikan lele dombo (Clarias gariepinus).
b) H1 : Diduga pengaruh konsentrasi larutan madu yang berbeda dalam NaCl
fisiologis pada proses pengenceran sperma berpengaruh terhadap daya
tetas telur ikan lele dombo (Clarias gariepinus).
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Lele Dumbo

Klasifikasi ikan Lele Dumbo menurut Santoso, B (2000), adalah sebagai berikut :

Phyllum : Chordata
Klass : Pisces
Sub klass : Teleostei
Ordo : Ostrariophysi
Sub Ordo : Siluroidea
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Specsies : Clarias gariepinus
Nama Inggris : King cat fish
Nama Indonesia : Lele Dumbo

Gambar 1. Morfologi Ikan Lele Dumbo(Clarias gariepinus)


Sumber: Najiyati (2003)
5

Gunawan, S. (2009), ikan lele dumbo (Clarias gariepinus Burchell)


memiliki morfologi yang mirip dengan lele lokal (Clarias batrachus). Bentuk
tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng dan batok kepalanya keras, tidak
bersisik dan berkulit licin, mulut besar, warna kulit badannya terdapat bercak-
bercak kelabu seperti jamur kulit manusia (panu). Ikan lele dalam bahasa Inggris
disebut juga catfish, siluroid, mudfish dan walking catfish.

Ciri-ciri morfologi lele dumbo lainnya adalah sungutnya. Sungut berada di


sekitar mulut berjumlah delapan buah atau 4 (empat) pasang terdiri dari sungut
nasal dua buah, sungut mandibular luar dua buah, mandibular dalam dua buah,
serta sungut maxilar dua buah. Ikan lele mengenal mangsanya dengan alat
penciuman, lele dumbo juga dapat mengenal dan menemukan makanan dengan
cara rabaan (tentakel) dengan menggerak-gerkan salah satu sungutnya terutama
mandibular (Susanto, H, 2000).

Gambar 2. Bagian tubuh Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)


Sumber : Najiyati (2003)

Lele Dumbo memiliki lima buah sirip yang terdiri dari sirip pasangan dan
sirip tunggal. Sirip yang berpasangan adalah sirip dada (pectoral) dan sirip perut
(ventral), sedangkan yang tunggal adalah punggung (dorsal), ekor (caudal) serta
sirip dubur (anal). Sirip dada ikan lele dumbo dilengkapi dengan patil atau taji
tidak beracun. Patil lele dumbo lebih pendek dan tumpul bila dibandingkan
6

dengan lele lokal. Dengan sirip yang dimilikinya, lele dumbo mampu merangkak
dengan gerakan zig-zag di atas tanah tanpa air dalam waktu cukup lama, asalkan
lembab (Santoso, B, 2000).

2.2 Habitat dan Penyebaran

Pada habitat asalnya, Lele Dumbo dapat ditemukan di hampir semua


perairan tawar, misalnya di danau, waduk, sungai, genangan air dan rawa-rawa.
Namun di Indonesia, Lele Dumbo tidak jarang juga dapat ditemui di peraiaran
sedikit payau (Santoso, B, 2000).Di sungai, Lele Dumbo banyak dijumpai pada
tempat-tempat yang alirannya tidak terlalu deras. Pada perairan, ikan ini menyukai
daerah yang relatif dalam dan memberikan suasana gelap dengan suhu air kerkisar
antara 20-250C.

Lele Dumbo tidak menyukai perairan yang permukaannya tertutup rapat


oleh tanaman air, tetapi lebih menyukai tempat yang terbuka (Susanto, H, 2000).
Namun demikian, Lele Dumbo sangat tahan pada lingkungan perairan yang
minim oksigen bahkan dapat hidup pada perairan yang tercemar oleh bahan-bahan
organik. Hal ini karena Lele Dumbo memiliki alat pernafasan tambahan berupa
arborescent (bentuk seperti bunga karang), sehingga memungkinkan untuk
mengambil oksigen bagi pernafasannya secara langsung dari udara di luar air
(Suyanto, S, R, 2001).

Ikan Lele Dumbo pada awalnya berasal dari benua Afrika, dan kemudian
tersebar secara merata hampir di seluruh kawasan Asia, yang meliputi negara
Filipina, Thailand, Indonesia, Malaysia, Laos, Kamboja, Vietnam, Birna dan India
(Hartono, A, H, S, 1999).

2.3 Sifat dan Tingkah Laku

Lele Dumbo sebagian besar hidup pada perairan tawar dan bersifat
nokturnal, artinya Ikan Lele Dumbo aktif pada malam hari atau lebih menyukai
tempat yang gelap. Pada siang hari yang cerah, ikan ini lebih suka berdiam di
dalam lubang-lubang atau tempat yang tenang dan alirannya tidak terlalu deras.
7

Pada habitat aslinya, Ikan Lele Dumbo membuat sarang di dalam lubang-lubang
di tepian sungai, tepi rawa atau pematang sawah dan kolam yang teduh dan
tenang.

Teugels, G. G. (1986), Ikan Lele Dumbo termasuk hewan yang sangat


ekstrim dan toleran, karena dapat hidup pada peraiaran yang lingkungannya jelek
atau pada tempat yang kondisinya tidak stabil. Santoso, B (2000), menambahkan
bahwa Ikan Lele Dumbo juga tahan hidup pada perairan yang airnya mengandung
sedikit oksigen dan relatif tahan terhadap pencemaran bahan-bahan organik. Ikan
Lele Dumbo sangat kuat dan tidak mudah mati karena penyakit. Keadaan ini
sebagai konsekuensi karena sangat toleran terhadap lingkungan. Selain itu, Ikan
Lele Dumbo juga dapat hidup dengan baik di daratan rendah sampai daerah
perbukitan yang tidak terlalu tinggi, hingga mencapai 700 meter dari permukaan
laut, selebihnya pertumbuhan Ikan Lele Dumbo kurang begitu baik.

Menurut Hartono, A, H, S (1999) ditinjau dari pakannya spesies ini


sebenarnya omnivora, tetapi dapat berubah sifat makannya, tergantung pada
ketersediaan mangsa. Kadang-kadang terjadi persaingan terhadap makanan dan
tempat berlindung, sehingga menyebabkan terjadi kanibalisme atau memangsa
antar sesamanya. Menurut Muktiani, (2011) bahwa pemberian pakan dilakukan
mulai pukul 08.00 dan diakhiri pukul 21.00. pemberian pakan dilakukan secara ad
libitum (sekenyang-kenyangnya). Jumlah pakan adalah banyaknya yang
dibutuhkan dan harus diberikan pada ikan, biasanya dihitung dalam persen
(%)/bobot biomassa ikan. Pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan
ikan agar tidak terjadi penurunan kualitas air dan jumlah yang diberikan
tergantung terhadap frekuensi pemberian pakan (Afrianto & Liviawaty 2005).

2.4 Teknik pembenihan ikan lele


Pembenihan ikan lele dapat dilakukan melalui seleksi induk ikan lele.
Menurut Muktiani, (2011) seleksi induk bertujuan untuk mendapatkan indukan
yang berkualitas agar sifat genetiknya dapat diturunkan pada anakannya. Induk
jantan ikan lele yang berkualitas dapat dilihat dari bentuk tubuhnya yang
berukuran panjang  dan jika diurut akan keluar sperma. Pembeniha ikan lele dapat
8

dilkukan dengan cara pemijahan secara alami maupun buatan, pemijahan ikan lele
secara alami tidaklah sulit dilakukan caranya simple saja, pemijahan dilakukan
didalam hapa perlakuan yang diterapkan dalam pemijahan alami ikan lele seperti
dilakukan rangsangan dengan menggosok bagian alat kelamin ikan lele baik
jantan maupn betinanya dengan menggunakan getah batang daunt alas, kemudian
ditaruhkan kakaban tempat menempelkan talurnya setelah itu pisahkan induk dari
telurnya, setelah menetas 5 – 7 hari lakukan pendederan pada bak pendederan bak
yang digunakan adalah bak dari beton dengan perlakuan seperti persiapan air yang
bersih dan airasi agar benih mendapatkan O 2 yang cukup, barulah dilakukan
pendederan pada benih ikan lele.

2.5 Fertilisasi buatan ikan lele


Fertilisasi buatan merupakan peroses pembuahan sel telur oleh seperma
karena adanya campur tangan manusia. Dalam fertilisasi buatan ini induk betina
ikan lele yang siap, diurut perutnya dengan cara menekan bagian perutnya kearah
lubang genitalnya, sedangkan untuk induk ikan lele jantan dibedah perutnya dan
diambil sepermanya. Setelah sel telur dan seperma disiapkan, lakukan
pencampuran antara sel telur dan seperma didalam baskom dan tetaskan pada
akuarium (Mahyuman, K. 2008).

2.6 Madu

Madu mengandung 38% fruktosa; 31% glukosa; 17,1% air; 7,2% maltose,
4,2% trisakarida dan beberapa poliskarida, 1.5% sukrosa; 0,5% mineral, vitamin
dan enzim(Rahardianto et al, 2012). Madu merupakan salah satu suplemen
alternatif yang dapat berperan sebagai antioksidan.
Madu banyak mengandung metabolit sekunder yang bersifat semi polar
atau polar. Senyawa-senyawa kimia pada fraksi semi polar seperti golongan
flavonoid selain memiliki ikatan rangkap majemuk juga memiliki gugus hidroksi
lebih banyak sehingga memiliki potensi lebih tinggi untuk mengikat radikal
bebas. Flavonoid spesifik yang terkandung dalam madu adalah isoflavon
(Rahardianto et al, 2012). Zat gizi yang terkandung dalam madu adalah
karbohidrat, protein, asam amino, vitamin dan mineral. Vitamin yang terkandung
9

dalam madu yaitu vitamin B1, B2, B3, B6, C, A, E, flavonoid, sedangkan mineral
yang terkandung di dalamnya antara lain Na, Ca, K, Mg, Cl, Fe, Zn.
2.7 Larutan NaCl 0,9%
Larutan fisiologis adalah larutan isotonik yang terbuat dari NaCl 0,9%
yang sama dengan cairan tubuh atau darah. Penggunaan larutan fisiologis yang
mengandung NaCl dan urea karena dapat mempertahankan daya hidup
spermatozoa antara 20-25 menit. Larutan fisiologis lebih kecil dari NaCl 0,9 %
(0,8 %; 0,6 %; 0,3 %; 0,1 %) disebut hipotonis. Larutan fisiologis lebih besar dari
NaCl 0,9 % ( 1 %; 2 %) disebut hipertonis (Muktiani, 2011).

2.8 Ovaprim
Ovaprim adalah merek dagang bagi hormon analog yang mengandung
20µg analog salmon gonadotropin releasing hormon (s GnRH) LHRH dan 10µg
domperidone sejenis anti dopamin, per milliliter (Rahardianto et al, 2012).
Ovraprim biasanya dibuat dari campuran ekstra kelenjar hipofisa dan hormon
mamalia. Ovaprim digunakan sebagai agen perangsang bagi ikan untuk memijah,
kandungan sGnRHa akan menstimulus pituatari untuk mensekresikan GtH I dan
GtH II. Sedangkan anti dopamin menghambat hipotalamus dalam mensekresi
dopamin yang memerintahkan pituatari menghentikan sekresi GtH I dan GtH II.
Teknik penyuntikan dengan arah jarum suntik membuat sudut 600 dari ekor
bagian belakang dan jarum dimasukkan sedalam kurang lebih 1,5 cm. Hal ini
ditujukkan supaya ovaprim benar – benar masuk ke bagian organ target. Pada saat
dilakukan penyuntikan sebaiknya ikan dibungkus dengan jarring agar tidak lepas.

Pada ikan yang lebih besar biasanya penyuntikkan dilakukan lebih dari
satu orang, yakni orang pertama memegang ekor dan kepala, sedangkan orang
yang lainnya menyuntikkan hormon ovaprim. Muktiani, (2011) menambahkan
penyuntikan disarankan mengarah ke bagian kepala ikan, agar tidak mengenai
organ bagian pencernaan dan tulang ikan. Apabila mengenai organ tersebut maka
proses penyuntikkan tidak akan memacu kelenjar hipofisa untuk mengeluarkan
hormon GnRH dalam proses pemijahan (tidak terjadinya proses pemijahan).
10

2.9 Kualitas Air

Air merupakan faktor terpenting dan mutlak ada dalam budidaya ikan,
baik sebagai media hidup maupun sebagai alat pengangkut. Informasi tentang
kualitas air ini sangat diperlukan bagi kehidupan ikan dan organisme air lainnya,
agar dapat mempertahankan kehidupannya. Ikan Lele Dumbo sangat toleran
terhadap lingkungan, maupun dapat hidup normal pada kondisi perairan yang
optimal. Faktor kualitas air yang sangat berperan untuk budidaya ikan lele dumbo
antara lain yaitu : suhu, oksigen terlarut, derajat keasaman dan amoniak (Santoso,
B, 2000).
Kualitas air sangat berpengaruh dalam proses pembenihan dan pembesaran
ikan lele. Air yang buruk dengan kadar oksigen yang rendah menyebabkan nafsu
makan ikan lele menurun. Hal ini akan mengganggu pertumbuhan ikan lele,
bahkan bisa memperlambat panen. Agar ikan lele cepat besar dan nafsu makannya
tinggi, air yang digunakan harus berkualitas, dalam arti tidak tercemar dan pH
sesuai dengan kelayakan hidup ikan lele dumbo. Kualitas air yang baik menurut
Gunawan, S, (2009) ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut :
 Bening
 Tidak berbau dan Tidak tercemar
 pH air antara 6-7
 Kandungan zat besi rendah
 Tidak mengandung merkuri

2.9.1 Suhu

Suhu merupakan faktor yang mempengaruhi laju metabolisme dan


kelarutan gas dalam air (Zonneveld et al., 1991). Suhu yang semakin tinggi akan
meningkatkan laju metabolisme ikan sehingga respirasi yang terjadi semakin
cepat. Hal tersebut dapat mengurangi konsentrasi oksigen di air sehingga dapat
menyebabkan stress bahkan kematian pada ikan. Dalam keadaan stres larva ikan
lele akan memerlukan oksigen lebih, sehingga mengakibatkan seringnya gerak
naik-turun untuk mengambil oksigen langsung dari permukaan udara
(Witjaksono, 2009). Dampak stres mengakibatkan daya tahan tubuh ikan menurun
11

selanjutnya terjadi kematian (Wedemeyer, 2001). Suhu yang optimum bagi


pertumbuhan ikan lele berkisar antara 25-32oC (Arifin, 1999).

2.9.2 Oksigen Terlarut

Oksigen merupakan satu parameter yang sangat penting bagi selurah


organisme dalam kehidupannya, kadar oksigen terlarut 4,4 ppm - 4,6 ppm
menunjukkan kadar yang optimal bagi pertumbuhan ikan lele dumbo, dimana
oksigen sangat diperlukan untuk pernapasan dan metabolisme ikan. Kandungan
oksigen yang tidak mencukupi kebutuhan ikan dapat menyebabkan penurunan
daya hidup ikan yang mencakup seluruh aktifitas ikan, seperti berenang,
pertumbuhan dan reproduksi. Kandungan oksigen terlarut dalam air yang ideal
untuk kehidupan dan pertumbuhan ikan lele dumbo adalah 5 ppm (Cahyono,
2009).

2.9.3 Derajat Keasaman (pH)

pH air merupakan ukuran dari konsentrasi ion hidrogen terlarut di dalam


air yang menunjukkan perairan tersebut bersifat asam, basa atau netral. pH air
kolam kolam sangat dipengaruhi oleh sifat tanahnya, sehingga pada kolam baru
yang tanahnya asam, maka pH airnya akan rendah. Fluktuasi pH dapat terjadi
karena terbentuknya asam atau basa kuat, gas-gas dalam proses perombakan
bahan organik, reduksi karbon anorganik, proses metabolisme organisme perairan
dan lain-lain. Arifin, Z, (2000), menyatakan bahwa derajat keasaman (pH) air
antara 7,5 sampai 8,5 sangat baik untuk budidaya ikan lele dumbo.
12

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan selama 7 hari pada tanggal 15 Februari 2019
sampai 21 Februari di Laboratorium Breeding Fakultas Pertanian Universitas dr.
Soetomo Surabaya.

3.2. Alat dan Bahan Penelitian


3.2.1 Alat Penelitian
Beberapa peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Alat sexio
b. Spuit/alat suntik 1 ml
c. Handuk/ lap
d. Aerator
e. Kertas tissue
f. Alat injeksi (spuite) 3 ml
g. Mortar
h. Centrifuge
i. Saringan penetasan
j. Bak penetasan
k. Kapas
l. termometer
m. DO meter
n. pH meter
3.2.2 BahanPenelitian
a. Induk lele betina matang gonad dengan berat 1 kg berumur 12 bulan
b. Induk lele jantan matang gonad dengan berat 1,5 kg berumur 12 bulan
c. NaCl 0,9%
d. Madu
e. Ovaprim
13

3.3 Hewan Uji


Hewan uji yang akan digunakan pada penelitian ini adalah induk ikan lele
berjenis kelamin jantan dan betina yang diperoleh berasal dari Kabupaten
Sidoarjo. Induk ikan lele tersebut berbobot 1-1,5 kg. Sebelum diberi perlakuan,
induk ikan lele diaklimatisasi selama satu hari di kolam stok. Setelah proses
aklimatisasi, induk ikan lele akan dipindahkan ke dalam kolam percobaan.

3.4 Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode eksperimental, metode ini paling
dapat diandalkan keilmiahannya (paling valid), karena dilakukan dengan
pengontrolan secara ketat terhadap variabel-variabel pengganggu di luar yang
dieksperimenkan (Jaedun, 2011).
Selanjutnya penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL),
dengan 4 perlakuan dengan 6 kali ulangan, hal ini sesuai dengan rumus yang
dikemukakan oleh (Kusriningrum, 2010) sebagai berikut:

(t - 1) (n - 1) ≥ 15

Dimana :
t = jumlah perlakuan
n = jumlah ulangan
Berdasarkan rumus diatas, maka perhitungan ulangan dalam penelitan ini
adalah sebagai berikut :

(t – 1) (n - 1) ≥ 15
(4 – 1) (n - 1) ≥ 15
3 (n – 1) ≥ 15
3n - 3 ≥ 15
3n ≥ 15 + 3
3n ≥ 18
n ≥6
14

Penelitian ini menggunakan 4 perlakuan dengan rincan sebagai berikut :


Perlakuan A (0 ml madu dalam 100 ml NaCl Fisiologis)
Perlakuan B (0,70 ml madu dalam 99,30 ml NaCl Fisiologis)
Perlakuan C (0,75 ml madu dalam 99,25 ml NaCl Fisiologis)
Perlakuan D (0,80 ml madu dalam 99,20 ml NaCl Fisiologis)

3.5 Lay Out Penelitian


Agar pengambilan data tetap homogen dan tidak bias, maka penempatan
bak-bak percobaan ini dilakukan dengan cara undian. Hasil lengkap pengundian
bak-bak penelitian dapat dilihat sebagaimana lay out di bawah ini :

10. B.3 7. C.2 9. A.3 4. D.1

22. B.6 16. D.4 18. B.5 5. A.2

14. B.4 23. C.6 13. A.4 21. A.6

8. D.2 1. A.I 20. D.5 17. A.5

15. C.4 11. C.3 2. B.1 6. B.2


Gambar 4. Lay out penelitian
3. C.1 24. D.6 12. D.3 19. C.5

Gambar 3: Lay out penelitian


Keterangan :
A, B, C, D, = Perlakuan
1, 2, 3….24 = Nomor urut undian
1-6 = Jumlah ulangan

3.6 Analisa Data


Setelah penelitan selesai, data dikumpulkan selanjutnya dilakukan analisa
data. Untuk mengetahui ada atau tidak efek varabel bebas terhadap variabel
tergantung (Pengaruh Konsentrasi Larutan Madu Yang Berbeda Dalam NaCl
15

Fisiologis Pada Proses Pengenceran Sperma Terhadap Daya Tetas Telur Ikan Lele
Dombo (Clarias gariepinus), maka dilakukan analisa sidik ragam (ANOVA) satu
jalur dengan cara membandingkan nilai signifkans uji F hitung dengan F tabel 5%
dan 1% dengan ketentuan :
a) Jika F hitung ˃ F tabel 1%, maka antar perlakuan terdapat perbedaan yang
sangat nyata.
b) Jika F hitung > F tabel 5%, maka antar perlakuan terdapat perbedaan yang
nyata.
c) Jika F hitung > F tabel 5% dan < F tabel 1%, maka antar perlakuan tidak
terdapat perbedaan yang nyata.
Jika dari hasil ANAVA ternyata perlakuan menunjukkan hasil yang
berbeda nyata (significant) atau sangat nyata (highly significant), maka
dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) atau yang dikenal sebagai uji
HSD (Honestly Significant Difference). Menurut Suhaemi (2011) menyatakan
bahwa Uji BNJ adalah prosedur perbandingan dari nilai tengah perlakuan (rata-
rata perlakuan) dengan menggunakan gabungan kuadrat tengah sisa (KTG/S) dari
hasil sidik ragam. Nilai uji menggunakan nilai-nilai pada tabel t, rumus yang
digunakan adalah sebagai berikut

Untuk mengetahui adanya perbedaan yang nyata atau sangat nyata antar
perlakuan, dilakukan dengan membandingkan selisih nilai tengah antar perlakuan.
Untuk mempermudah kesimpulan dibuat notasi (dengan huruf kecil) pada rata-
rata perlakuan tersebut dengan menyusun kembali rata-rata pengamatan tersebut
secara mendatar. Nilai-nilai yang tidak berbeda nyata ditandai dengan huruf kecil
yang sama, sedangkan yang berbeda nyata atau sangat nyata ditandai dengan
huruf kecil yang tidak sama. Sebagai alat bantu untuk menganalisis data
statistiknya, digunakan program IBM SPSS Statistik 21.
16

3.7 ProsedurPenelitian
3.7.1 Persiapan dan Seleksi Induk
Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah induk ikan lele (Clarias
batrachus) dengan bobot 1000–1500 gr/ekor sebanyak 2 ekor jantan dan 2 ekor
betina, induk yang akan digunakan adalah induk yang telah matang gonad dan
berusia 12-15 bulan.

3.7.2 Persiapan Wadah


Wadah penelitian yang akan digunakan pada proses penetasan telur adalah
loyang plastik transparan yang berukuran panjang 25 cm x 25 cm 12 unit.

3.7.3 Pengisian Air


Air yang akan digunakan terlebih dahulu disaring dan kemudian
diendapkan pada loyang plastik, pengisian air sebanyak liter air dengan
ketinggian 15-18cm.

3.7.4 Penyuntikan Hormon Ovaprim


Hormon ovaprim yang digunakan adalah syndel ovaprim, penyuntikan
dilakukan dengan cara menutupi bagian mata induk ikan lele yang bertujuan agar
induk lele tenang saat penyuntikan hormon, hormon akan bekerja sekitar 7-8 jam.

3.7.5 Pembuatan Larutan Pengencer Sperma


Larutan pengencer sperma dibuat dengan menggunakan madu kelengkeng
yang dilarutkan dalam NaCl 0,9% pada loyang plastik. Variasi larutan pengencer
madu yaitu dari volume 0 ml; 0,70 ml; 0,75 ml ; 0,80 ml dan NaCl 0,9% yaitu
dari volume 100 ml; 99,30 ml; 99,25 ml; 99,20 ml, masing-masing larutan
perlakuan dihomogenkan.

3.7.6 Proses Pengenceran Sperma Induk Lele Jantan


Induk lele jantan yang telah disuntik dengan horman ovaprim selama 7-8
jam dibedah di bagian perut menuju ke anus dan kantung sperma diambil lalu
dibersihkan mengunakan larutan NaCl fisiologis agar kantung sperma terhindar
dari bakteri. Kemudian kantung sperma diencerkan dengan cara dipotong-potong
kecil menggunakan gunting, cairan sperma yang ada di dalam kantung sperma
ditampung dalam loyang plastik dan dicampurkan larutan pengencer sperma,
17

setelah itu induk lele betina yang sudah disuntik dipijat/stripping di bagian perut,
telur-telur hasil striping ditampung di loyang plastik. Cairan sperma yang sudah
tercampur laruran pengencer sperma dimasukkan ke dalam loyang yang telah
berisi telur dan diaduk menggunakan bulu ayam sekitar 1 - 2 menit. Setelah
tercampur rata dengan telur kemudian larutan pengencer dibuang sehingga tersisa
telur saja, kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang sudah terisi air untuk
mengaktifkan sperma hingga terjadi penetasan telur, proses penetasannya 17 jam.

3.7.7 Penebaran Telur Lele


Telur yang ditebar dihitung dengan cara manual, telur yang digunakan
dalam setiap wadah penelitan sebanyak 100 butir telur/wadah. Sehingga telur
yang ditebar dalam 24 wadah penelitian sebanyak 2400 butir telur lele.

3.7.8 Perhitungan Larva Ikan Lele


Telur ikan lele yang sudah menetas / larva dihitung secara manual yaitu
dihitung satu per satu dengan cara menggunakan sendok makan sampai larva
yang ada di dalam wadah penelitian habis.

3.8 Penghitungan Daya Tetas Telur (Hatching Rate)


Hatching rate (HR) adalah daya tetas telur atau jumlah telur yang menetas.
Penetasan telur dapat disebabkan oleh faktor gerakan telur, perubahan suhu,
intensitas cahaya, dan kadar oksigen terlarut. Dalam penekanan mortalitas telur,
yang banyak berperan adalah faktor kwantitas air dan kualitas telur selain
penanganan secara intensif. Rumus perhitungan Daya Tetas Telur (Hatching Rate)
adalah sebagai berikut:
18

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Daya Tetas Telur Ikan Lele Dumbo

Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh konsentrasi larutan madu


yang berbeda dalam NaCl fisiologis pada proses pengenceran sperma terhadap
daya tetas telur ikan lele dumbo (Clarias gariepinus), maka diperoleh data rata-
rata yang berbeda pada setiap perlakuan. Adapun data kisaran, rata-rata dan
standar deviasi tingkat kelangsungan daya tetas telur ikan lele dumbo di akhir
penelitian setiap perlakuan dan ulangan tersaji sebagaimana Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Data kisaran, rata-rata dan standar deviasi daya tetas telur ikan lele
dumbo di akhir penelitian setiap perlakuan dan ulangan.

Konsentrasi Larutan Daya Tetas Telur ikan Rata-rata Standar deviasi


Madu Lele dumbo (%) (%) (sd)

A : 0 ml 68-76 70,6 4,131

B : 0,70 ml 72-84 77,3 4,844

C : 0,75 ml 80-92 85,3 4,844

D : 0,80 ml 92-96 94,6 2,066

Berdasarkan Tabel 1 diatas dapat dijelaskan, bahwa perlakuan D


menunjukkan pengaruh tertinggi terhadap rata-rata tingkat daya tetas telur ikan
lele dumbo. Sementara itu pada perlakuan A dan B secara berurutan efeknya
semakin sangat menurun terhadap rata-rata tingkat daya tetas telur ikan lele
dumbo bila dibandingkan dengan perlakuan C dan D. Walaupun perlakuan A, B,
dan C sama-sama terjadi penurunan bila dibandingkan dengan perlakuan D,
namun perlakuan B dan C efeknya masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan
perlakuan A terhadap rata-rata daya tetas telur ikan lele dumbo.
19

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan,


maka dilakukan uji ANAVA satu jalur dan hasilnya dapat dilihat pada Lampiran
1. Berdasarkan Lampiran 1 dapat diilustrasikan bahwa perlakuan pengaruh
konsentrasi larutan madu yang berbeda dalam NaCl fisiologis pada proses
pengenceran sperma terhadap daya tetas telur ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus) memberikan pengaruh yang nyata (P < 0,05).
Selanjutnya untuk mengetahui tingkat perbedaan masing-masing
perlakuan terhadap daya tetas telur ikan lele dumbo, maka dilakukan uji BNJ taraf
5%. Lampiran 2 menyajikan data hasil perhitungan uji BNJ taraf 5% rata-rata
daya tetas telur ikan lele dumbo akibat konsentrasi larutan madu yang berbeda
dalam NaCl fisiologis pada proses pengenceran sperma, sedangkan perbedaan
notasi rata-ratanya dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Perbedaan notasi hasil uji BNJ taraf 5% rata-rata daya tetas telur
ikan lele dumbo akibat konsentrasi larutan madu yang berbeda
dalam NaCl fisiologis pada proses pengenceran sperma.

Konsentrasi Larutan Subset for alpha = 0,05


Madu N 1 2 3 4
A : 0 ml 6 70,67a
B : 0,70 ml 6 77,33b
C : 0,75 ml 6 85,33c
D : 0,80 ml 6 94,67d

Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat dijelaskan bahwa pengaruh konsentrasi


larutan madu yang berbeda dalam NaCl fisiologis pada proses pengenceran
sperma terhadap daya tetas telur ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) pada
perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan B, C, dan D. Selanjutnya perlakuan
B berbeda nyata dengan perlakuan C, dan D. Berikutnya perlakuan C berbeda
nyata dengan perlakuan D.
20

4.1.2. Kualitas Air


Hasil pengukuran kualitas air yang terdiri suhu air, oksigen terlarut dan
derajad keasaman yang diperoleh selama penelitian secara umum menunjukan
masih berada dalam kisaran yang masih dapat ditoleransi untuk menunjang daya
tetas telur ikan lele dumbo. Adapun data pengukuran rata-rata kualitas air secara
lengkap sebagai berikut.

4.1.2.1. Suhu Air


Berdasarkan hasil penelitian, kadar suhu air pada setiap perlakuan tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap daya tetas telur ikan lele dumbo, data
tersebut secara lengkap disajikan pada Lampiran 3. Adapun data kisaran, rata-rata
dan standar deviasi kadar suhu air selama penelitian setiap perlakuan dan ulangan
sebagaimana Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Data kisaran, rata-rata dan standar deviasi kadar suhu air setiap
perlakuan dan ulangan selama penelitian.

Konsentrasi Larutan Kisaran Rata-rata Standar


Madu suhu air ( oC ) suhu air ( oC ) deviasi (sd)
A : 0 ml 28,7-28,9 28,8 0,0753
B : 0,70 ml 28,7-29,0 28,8 0,1169
C : 0,75 ml 28,7-29,0 28,8 0,1211
D : 0,80 ml 28,7-29,0 28,8 0,1033

Berdasarkan Tabel 3 di atas, dapat dijelaskan bahwa secara statistik rata-


rata kadar suhu air untuk setiap perlakuan tidak berpengaruh terhadap daya tetas
telur ikan lele dumbo. Guna mengetahui apakah terdapat perbedaan yang nyata
antar kadar suhu air selama penelitian, maka dilakukan uji ANAVA satu jalur dan
hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan Lampiran 4 dapat
diilustrasikan bahwa kadar suhu air selama penelitian tidak memberikan pengaruh
yang nyata terrhadap daya tetas telur ikan lele dumbo (P > 0,05).

4.1.2.2. Oksigen Terlarut


Berdasarkan hasil penelitian, kadar oksigen terlarut pada setiap perlakuan
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap daya tetas telur ikan lele dumbo,
data tersebut secara lengkap disajikan pada Lampiran 5. Adapun data kisaran,
21

rata-rata dan standar deviasi kadar oksigen terlarut selama penelitian setiap
perlakuan dan ulangan sebagaimana Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Data kisaran, rata-rata dan standar deviasi kadar oksigen terlarut
setiap perlakuan dan ulangan selama penelitian.

Konsentrasi Larutan Kisaran Rata-rata


Standar
Madu oksigen terlarut oksigen terlarut
deviasi (sd)
(ppm) (ppm)
A : 0 ml 5,5-6,0 5,8 0,1941
B : 0,70 ml 5,5-6,0 5,8 0,1862
C : 0,75 ml 5,5-6,0 5,7 0,1722
D : 0,80 ml 5,5-6,0 5,8 0,1897

Berdasarkan Tabel 4 di atas, dapat dijelaskan bahwa secara statistik rata-


rata kadar oksigen terlarut untuk setiap perlakuan tidak berpengaruh terhadap
daya tetas telur ikan lele dumbo. Guna mengetahui apakah terdapat perbedaan
yang nyata antar kadar oksigen terlarut selama penelitian, maka dilakukan uji
ANAVA satu jalur dan hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Berdasarkan
Lampiran 6 dapat diilustrasikan bahwa kadar oksigen terlarut selama penelitian
tidak memberikan pengaruh yang nyata terrhadap daya tetas telur ikan lele dumbo
(P > 0,05).

4.1.2.3. Derajad Keasaman


Berdasarkan hasil penelitian, kadar derajad keasaman pada setiap
perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap daya tetas telur ikan
lele dumbo, data tersebut secara lengkap disajikan pada Lampiran 7. Adapun data
kisaran, rata-rata dan standar deviasi kadar derajad keasaman selama penelitian
setiap perlakuan dan ulangan sebagaimana Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Data kisaran, rata-rata dan standar deviasi kadar derajad keasaman
setiap perlakuan dan ulangan selama penelitian.

Konsentrasi Larutan Kisaran Rata-rata Standar


Madu derajad keasaman derajad keasaman deviasi (sd)
A : 0 ml 7,0-7,5 7,4 0,0894
B : 0,70 ml 7,0-7,5 7,4 0,0894
C : 0,75 ml 7,0-7,5 7,3 0,0753
D : 0,80 ml 7,0-7,5 7,4 0,0894
22

Berdasarkan Tabel 5 di atas, dapat dijelaskan bahwa secara statistik rata-


rata kadar derajad keasaman untuk setiap perlakuan tidak berpengaruh terhadap
daya tetas telur ikan lele dumbo. Guna mengetahui apakah terdapat perbedaan
yang nyata antar kadar derajad keasaman selama penelitian, maka dilakukan uji
ANAVA satu jalur dan hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan
Lampiran 8 dapat diilustrasikan bahwa kadar derajad keasaman selama penelitian
tidak memberikan pengaruh yang nyata terrhadap daya tetas telur ikan lele dumbo
(P > 0,05).

4.2. Pembahasan
4.2.1. Daya Tetas Telur Ikan Lele Dumbo

Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh konsentrasi larutan madu


yang berbeda dalam NaCl fisiologis pada proses pengenceran sperma terhadap
daya tetas telur ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) hari diperoleh data bahwa
perlakuan A (0 ml) menghasilkan daya tetas telur ikan lele dumbo sebesar 70,6%,
perlakuan B (0,70 ml) sebesar 77,3%, perlakuan C (0,75 ml) sebesar 85,3% dan
perlakuan D (0,80 ml) sebesar 94,6%. Hasil uji BNJ taraf 5% menunjukkan
bahwa konsentrasi larutan madu yang berbeda dalam NaCl fisiologis pada proses
pengenceran sperma terhadap setiap perlakuan memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap daya tetas telur ikan lele dumbo.
Berdasarkan uji BNJ taraf 5%, perlakuan D memberi efek daya tetas telur
ikan lele dumbo yang paling tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan A, B, dan
C. Hal ini disebabkan pada perlakuan D dengan tambahan madu membuat daya
tahan sperma ketika pengenceran lebih lama. Menurut Rahardianto et al (2012),
madu mengandung gula pereduksi sebanyak 67,84% yang terdiri dari fruktosa dan
glukosa. Kandungan gula pereduksi ini digunakan oleh spermatozoa sebagai
sumber energi dan juga madu mengandung mineral. Bahan utama yang dipakai
spermatozoa sebagai sumber energi dari luar testis adalah fruktosa yang diubah
menjadi asam laktat dan energi dengan bantuan enzim fruktolisin dalam proses
glikolisis. menyatakan gula pereduksi tersebut dapat dimetabolisme oleh
spermatozoa untuk menghasilkan energi berupa Adenosin Trifosfat atau ATP.
23

Selanjutnya spermatozoa memanfaatkan ATP sebagai sumber energi dalam


mempertahankan daya hidupnya, terdapat unsur elektrolit seperti Na, Ca, K
berfungsi sebagai cryoprotectant di dalam pengencer.

Pada perlakuan A memberi pengaruh paling rendah terhadap daya tetas


telur ikan lele dumbo bila dibandingkan dengan perlakuan B, C dan D. Hal ini
disebabkan dalam pengenceran sperma tidak menggunakan tambahan madu
kedalam pengencernya sehingga membuat sperma banyak yang mati sebelum
membuahi sel telur. Menurut Rustidja (2000) apabila dalam proses pengenceran
sperma hanya menggunakan larutan NaCl saja kita dapat mengurangi aktivitas
sperma sehingga dapat mengurangi kualitas sperma pada proses pengenceran.
Yang mengakibatkan proses pembuahan telur tidak dapat terbuahi dengan
keseluruhan atau ketidakberhasilan penetasan pada telur. Sehingga mengurangi
daya tetas telur ikan lele menjadi rendah
Perlakuan B dan C memberi pengaruh yang agak rendah terhadap daya
tetas telur ikan lele dumbo bila dibandingan dengan perlakuan A dan B. Meriyanti
Ngabito, (2018) menyatakan bahwa pemberian konsentrasi perlakuan C (0,75 ml)
madu kurang tepat dosis. Sehingga peranan madu yang terkandung dalam air tidak
terlalu memberikan energi yang lebih pada sperma ikan lele sehingga
mengakibatkan sperma ikan lele lemah dan tidak mendapat asupan energi yang
cukup untuk proses pembuahan telur ikan, yang menyebabkan hampir 29 % telur
mati tidak terbuahi.

4.2.2. Kualitas Air


Selama penelitian berlangsung, pengamatan terhadap kualitas air media
percobaan masih menunjukkan dalam batas kisaran normal yang dapat ditoleransi
oleh larva ikan jelawat.

4.2.2.1 Suhu Air


Suhu air media percobaan selama penelitian berkisar antara 28,7-29,0 oC.
nilai kisaran tersebut masih menunjukkan dalam batas yang normal. Menurut
Mahyuman, K. (2008), suhu air yang ideal untuk pemeliharaan larva ikan lele
dumbo berkisar 25-30°C.
24

4.2.2.2 Oksigen Terlarut


Kandungan oksigen terlarut dalam media air percobaan selama penelitian
berkisar antara 5,5-6,0 ppm, nilai kisaran tersebut masih menunjukkan dalam
batas yang normal. Menurut Cahyono, (2009) Kandungan oksigen terlarut dalam
air yang ideal untuk kehidupan dan pertumbuhan larva ikan lele dumbo adalah 5-7
ppm.

4.2.2.3 Derajad Keasaman


Derajad keasaman air media percobaan selama penelitian berkisar antara
7,3-7,5 nilai kisaran tersebut masih menunjukkan dalam batas yang normal.
Menurut Gunawan, S. (2009), derajat keasaman yang baik untuk pertumbuhan
larva ikan lele dumbo berkisar 6,5-8.
25

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang tentang pengaruh konsentrasi larutan
madu yang berbeda dalam NaCl fisiologis pada proses pengenceran sperma
terhadap daya tetas telur ikan lele dumbo (Clarias gariepinus), maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengaruh Konsentrasi Larutan Madu Yang Berbeda Dalam Nacl Fisiologis
Pada Proses Pengenceran Sperma Terhadap Daya Tetas Telur Ikan Lele
Dumbo (Clarias gariepinus). Perlakuan D dengan dosis (0,80 cc) memberi
hasil daya tetas telur ikan lele dumbo tertinggi sebesar 94,6%.
2. Data pengamatan kualitas air selama penelitian bersifat homogen, artinya
masih dalam batas kisaran yang dapat ditoleransi untuk kelangsungan hidup
larva ikan jelawat. Data kualitas air selama penelitian diperoleh suhu air
berkisar 28,7-29,0oC, oksigen terlarut berkisar 5,5-6,0 ppm dan derajat
keasaman berkisar 7,3-7,5.

5.2 Saran
Berdasarkan penelitian tentang tentang Pengaruh Konsentrasi Larutan
Madu Yang Berbeda Dalam Nacl Fisiologis Pada Proses Pengenceran Sperma
Terhadap Daya Tetas Telur Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus), maka dapat
disarankan sebagai berikut :
a) Agar didapatkan daya tetas telur ikan lele dumbo yang tinggi maka
disarankan agar diberikan tamabahan madu sebesar (0,80 cc).
b) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang konsentrasi larutan madu yang
berbeda dalam NaCl fisiologis terhadap daya tetas telur ikan air tawar yang
lain.
26

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E dan E. Liviawaty. 2005. Pakan Ikan. Penerbit : Kanisius Yogyakarta.


145 hlm.
Arifin, Z. 1999. Budidaya Ikan Lele (Clarias gariepinus). Effhar. Semarang.
Ath-thar dan Rudhy, 2010. Performa Nila BEST dalam Media.
Cahyono. 2009. Budidaya lele dan Betutu (ikan langka bernilai tinggi). Pustaka
Mina. Jakarta.
Gunawan, S. 2009. Kiat Sukses Budidaya Lele Di Lahan Sempit. PT. AgroMedia
Pustaka.
Hartono, A. H, S, 1999. Pembudidayaan Ikan Lele Lokal dan Ikan Lele Dumbo
Secara Tradisional, Penerbit C. V. Gunung Mas.
Isnaini, N. dan Suyadi. 2000. Kualitas Semen Ayam Kedu Pada Suhu Kamar
Dalam Pengencer Larutan NaCl Fisiologis dan Ringer’s. J. Ternak
Tropika. Vol. 1, No. 2.
Jaedun, 2011, Metodologi Penelitian Eksperimen. Pelatiahan, Penulisan Artikel
Ilmiah LPMP Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kusriningrum, 2010. Perancangan Percobaan. Pusat Penerbitan dan Percetakan
Unair (AUP). Surabaya. 273 hal.
Lim, C. E., and C. D. Webster. 2006. Nutrient Requirement. Pp 469-501. In: C. E.
Lim and C. D. Webster, editors. Tilapia: Biology, culture and nutrion.
The Haworth Press, Inc., Binghamton, New York.
Mahyuman, K. 2008. Panduan Lengkap Agrobisnis Lele. Penebar Swadaya.
Jakarta. 171 hal.
Masrizal, Effrizal. 1997. Pengaruh Rasio Pengenceran Mani terhadap Fetilisasi
Sperma dan Daya Tetas Telur Ikan Mas (Cyprinus carpio L). Fisheries
J. Garing 6 :1-9.
Meriyanti ngabito, 2018. Pengaruh Penambahan Madu Pada Proses Pengenceran
Sperma Terhadap Daya Tetas Telur Ikan Lele (Clarias sp). Gorontalo
fisheries journal.
Muktiani, 2011. Budidaya Lele Sangkuriang dengan Kolam Terpal. Yogyakarta:
Pustaka Baru Press.
Najiyati. 2003. Memelihara Lele Dumbo Di Kolam Tanah. Penebar Swadaya :
Jakarta.
Rahardhianto, A., Abdulgani, N., dan Trisyani, N. 2012. Pengaruh Konsentrasi
Larutan Madu Dalam NaCl Fisiologis Terhadap Viabilitas dan
Motilitas Spermatozoa Ikan Patin (Pangasius pangasius) Selama Masa
Penyimpanan. Jurnal Sains dan Seni ITS Vol. 1 No. 1 (Sept. 2012)
ISSN: 2301-928X.
27

Rustidja. 2000. Prospek Pembekuan Sperma. Universitas Brawijaya, Malang.


Santoso, B. 2000. Petunjuk Praktis Budidaya Ikan Lele Dumbo dan Lokal,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Susanto, H, 2000. Budidaya Ikan Lele, Kanisius, Yogyakarta.
Suyanto, S. R, 2001. Budidaya Ikan Lele, Penebar Swadaya, Jakarta.
Teugels, G.G. 1986. Species Summary for Clarias gariepinus North Africa
catfish. Google Gen Bank Zoological Record.
Wedemeyer. 2001. Fish Hatchery Management. 2nd Edition. Bethesda. American
Fisheries Society. Maryland.
Witjaksono, 2009. Kinerja Produksi Pendederan Lele Sangkuriang (Clarias sp.)
Melalui Penerapan Teknologi Ketinggian Media Air 15 cm, 29 cm, 25
cm, 30 cm. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Zonneveld. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. Gramedia, Jakarta.
28

LAMPIRAN - LAMPIRAN
29

Lampiran 1. Data hasil penghitungan uji ANAVA satu jalur daya tetas telur ikan
lele dumbo di akhir penelitian.

Sum of df Mean Square F Sig.


Squares
Between Groups 1930.667 3 643.556 37.708 .000
Within Groups 341.333 20 17.067
Total 2272.000 23
30

Lampiran 2. Data hasil penghitungan uji BNJ 5% daya tetas telur ikan lele
dumbo di akhir penelitian.

Mean Std. Sig. 95% Confidence


(I) Differenc Error Interval
(J)
e (I-J) Lower Upper
Bound Bound
2 -6.667* 2.385 .011 -11.64 -1.69
1 3 -14.667* 2.385 .000 -19.64 -9.69
4 -24.000* 2.385 .000 -28.98 -19.02
1 6.667* 2.385 .011 1.69 11.64
2 3 -8.000* 2.385 .003 -12.98 -3.02
4 -17.333* 2.385 .000 -22.31 -12.36
1 14.667* 2.385 .000 9.69 19.64
3 2 8.000* 2.385 .003 3.02 12.98
4 -9.333* 2.385 .001 -14.31 -4.36
1 24.000* 2.385 .000 19.02 28.98
4 2 17.333* 2.385 .000 12.36 22.31
3 9.333* 2.385 .001 4.36 14.31
31

Lampiran 3. Data rata-rata pengamatan kadar suhu air selama penelitian ( 0C ).

Perlakuan
Ulangan
A B C D
1 28,8 29,0 28,9 29,0
2 28,9 28,8 28,8 28,7
3 28,8 28,7 29,0 28,8
4 28,7 28,8 28,7 28,9
5 28,9 28,9 28,8 28,8
6 28,8 28,7 29,0 28,8
Jumlah 172,9 172,9 173,2 173
Rata-rata 28,8 28,8 28,8 28,8
32

Lampiran 4. Data hasil perhitungan uji ANAVA satu jalur kadar suhu air selama
penelitian.

Sum of df Mean Square F Sig.


Squares
Between Groups .010 3 .003 .299 .826
Within Groups .223 20 .011
Total .233 23
33

Lampiran 5. Data rata-rata pengamatan kadar oksigen terlarut selama penelitian


(ppm).

Perlakuan
Ulangan
A B C D
1 6,0 5,8 5,8 5,7
2 5,7 5,8 5,7 6,0
3 5,5 6,0 5,8 5,8
4 5,8 5,5 5,5 5,5
5 5,9 5,9 6,0 5,8
6 6,0 6,0 5,9 6,0
Jumlah 34,9 35 34,7 34,8
Rata-rata 5,8 5,8 5,7 5,8
34

Lampiran 6. Data hasil perhitungan uji ANAVA satu jalur kadar oksigen terlarut
selama penelitian.

Sum of df Mean Square F Sig.


Squares
Between Groups .008 3 .003 .081 .970
Within Groups .690 20 .035
Total .698 23
35

Lampiran 7. Data rata-rata pengamatan kadar derajad keasaman selama


penelitian.

Perlakuan
Ulangan
A B C D
1 7,5 7,4 7,4 7,4
2 7,4 7,5 7,3 7,3
3 7,4 7,5 7,4 7,4
4 7,3 7,3 7,4 7,3
5 7,3 7,3 7,3 7,5
6 7,5 7,4 7,5 7,5
Jumlah 44,4 44,4 44,3 44,4
Rata-rata 7,4 7,4 7,3 7,4
36

Lampiran . Data hasil perhitungan uji ANAVA satu jalur kadar derajad
keasaman selama penelitian.

Sum of df Mean Square F Sig.


Squares
Between Groups .001 3 .000 .056 .982
Within Groups .148 20 .007
Total .150 23

Anda mungkin juga menyukai