Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Ikan Lele


Ikan Lele adalah salah satu jenis ikan air tawar yang termasuk ke dalam
ordo Siluriformes dan digolongkan ke dalam ikan bertulang sejati. Lele dicirikan
dengan tubuhnya yang licin dan pipih memanjang, serta adanya sungut yang
menyembul dari daerah sekitar mulutnya. Nama ilmiah Lele adalah Clarias spp.
yang berasal dari bahasa Yunani "chlaros", berarti "kuat dan lincah". Dalam
bahasa Inggris lele disebut dengan beberapa nama, seperti catfish, mudfish dan
walking catfish. Klasifikasi ikan lele berdasarkan Saanin (1984) dalam Hilwa
(2004) yaitu sebagai berikut:

Gambar 2.1 Morfologi ikan Lele Lokal (Clarias batrachus)


(Sumber: Lovshin, L.)
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Ostarophysi
Subordo : Siluroidae
Famili : Clariidae
Genus : Clarias

2.2 Biologi Ikan Lele

Ikan lele merupakan hewan nokturnal dimana ikan ini aktif pada malam
hari dalam mencari mangsa. Ikan-ikan yang termasuk ke dalam genus lele

6
7

dicirikan dengan tubuhnya yang tidak memiliki sisik, berbentuk memanjang serta
licin. Ikan Lele mempunyai sirip punggung (dorsal fin) serta sirip anus (anal fin)
berukuran panjang, yang hampir menyatu dengan ekor atau sirip ekor. Ikan lele
memiliki kepala dengan bagian seperti tulang mengeras di bagian atasnya. Mata
ikan lele berukuran kecil dengan mulut di ujung moncong berukuran cukup lebar.
Dari daerah sekitar mulut menyembul empat pasang barbel (sungut peraba) yang
berfungsi sebagai sensor untuk mengenali lingkungan dan mangsa. Lele memiliki
alat pernapasan tambahan yang dinamakan Arborescent. Arborescent ini
merupakan organ pernapasan yang berasal dari busur insang yang telah
termodifikasi. Pada kedua sirip dada lele terdapat sepasang duri (patil), berupa
tulang berbentuk duri yang tajam. Pada beberapa spesies ikan lele, duri-duri patil
ini mengandung racun ringan. Hampir semua species lele hidup di perairan tawar.
Berikut kisaran parameter kualitas air untuk hidup dan pertumbuhan optimum
ikan lele menurut beberapa penelitian dalam Witjaksono (2009).

Tabel 2.1 Kualitas air optimal untuk perumbuhan lele pada beberapa penelitian

Parameter Nilai Satuan Sumber


o
Suhu 22-32 C BBPBAT (2005)
>0,3 Rahman et al (1992)
Oksigen Terlarut mg/L
>0,1 BBPBAT (2005)
6,5-8,5 Boyd (1990)
pH
6-9 Wedemeyer (2001)
0,05-0,2 mg/L Wedemeyer (2001)
Amonia (NH3)
<0,1 mg/L Rahman et al (2001)
50-500 mg/L CaCO3 Wedemeyer (2001)
Alkalinitas
5-100 mg/L CaCO3 Boyd (1990)
(sumber : Witjaksono 2009)
8

2.3 Jenis-jenis Ikan Lele

2.3.1. Ikan lele Dumbo


Di Indonesia lele merupakan jenis ikan yang cukup populer. Lele yang
berada di Indonesia bermacam-macam jenisnya. Terutama jenis lele yang biasa
dikonsumsi seperti lele Afrika, Dumbo, dan Lokal. Lele Afrika (Clarias
gariepinus) merupakan jenis ikan lele yang berasal dari Afrika yang diimpor ke
Indonesia untuk dikawin silangkan dengan lele Lokal dan dinamakan lele Dumbo.
Gambar morfologi ikan lele Dumbo terdapat pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)


(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Ikan lele Dumbo memiliki tubuh yang lebih besar 6-8 kali panjang standar
dibandingkan lele Lokal dan memiliki gen pertumbuhan yang lebih cepat. Ukuran
kepala 3-3,5 kali lebih besar. Kepala agak persegi panjang dan lancip ke garis
dorsal. Moncongnya yang bulat melebar. Mata memiliki posisi supero-lateral dan
relatif kecil. Gigi pada premaxilla dan rahang bawah kecil, halus dan diatur dalam
beberapa baris. Barbels 1/5 sampai ½ kali dari ukuran kepala dan ½ sampai 4/5
kali dari ukuran kepala ketika individu masih kecil. Sirip pektoral hanya bergerigi
dibagian luar dan tidak beracun. Jumlah gerigi semakin banyak seiring
bertumbuhnya individu. Berwarna abu ungu kemerahan dan bercorak marble.
Warnanya akan semakin pucat dan corak tampak lebih jelas apabila stress. Bagian
perut, ventral dan sirip yang berpasangan berwarna keputih-putihan. Selain itu
juga lele Dumbo dapat dibudidayakan dalam tingkat kepadatan yang tinggi,
tingkat kematangan gonad yang relatif lebih cepat dan dapat mengkonsumsi
9

banyak jenis produk samping agrikultur serta dapat mentolerir kualitas air yang
buruk.

2.3.2. Ikan lele Lokal


Lele Lokal (Clarias batrachus) atau yang sering disebut dengan “walking
catfish” ini merupakan lele habitat asli di Indonesia. Dinamakan walking catfish
karena kemampuanya untuk berjalan didaratan untuk mencari makanan atau
lingkungan yang cocok. Lele ini berjalan dengan menggunakan sirip pektoral
untuk mengangkat tubuhnya dan berjalan menyerupai ular.

Gambar 2.3 Ikan Lele Lokal (Clarias batrachus)


(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Lele Lokal memiliki tubuh yang pipih dibagian posterior. Rahang atas
yang lebih menjorok. Ujung dari sirip pectoral mengeras menyerupai duri dan
kasar dibagian sisi luar serta bergerigi dibagian ujung dalam. Duri atau sirip
pektoral mengandung racun, dan memiliki panjang 2 kali dari lebar tubuh. Genital
jantan panjang dan meruncing, serta memiliki warna hitam ke abuan walaupun
dalam keadaan stress disertai bintik putih. Lele Lokal dapat bertahan hidup
dengan berpindah tempat selama tempat itu tetap menjaga lele dalam keadaan
lembab dan basah seperti berpindah dari kolam air stagnan, rawa, sungai, atau
bahkan lahan padi yang terkena banjir. Ikan lele Lokal mampu bertahan cukup
lama di daratan karena memiliki alat bantu pernafasan berupa arborescent. Lele
Lokal memiliki tubuh paling panjang rata-rata 30cm, lele Lokal dapat
mengkonsumsi ikan kecil, moluska, invertebrata lain, detritus, bahkan gulma air
di habitat alaminya.
10

2.3.3. Ikan lele Sangkuriang


Lele Dumbo yang ada di Indonesia mengalami penurunan kualitas
diakibatkan sering terjadinya perkawinan satu keturunan (inbreeding). Untuk itu
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) memutuskan untuk
melakukan pemurnian kembali. Betina keturunan kedua lele Dumbo asli dari
Afrika Selatan (F2) dikawinkan dengan pejantan keturunan keenam yang Lokal
(F6). Dari proses pemurnian Back cross ini anakan yang dihasilkan kemudian
dinamakan Lele Sangkuriang. Melihat hal diatas bahwa lele Sangkuriang adalah
lele Dumbo hasil pemuliaan atau peremajaan.

Gambar 2.4 Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus)


(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Secara garis besar ikan lele Sangkuriang memiliki tingkat pertumbuhan


dan kualitas dan kuantitas fekunditas yang lebih baik dibanding dengan lele
Dumbo sebelumnya. Lele Sangkuriang memiliki fekunditas 33.33% lebih tinggi
dibandingkan lele Dumbo dan umur pertama matang gonad yang lebih tua. Pada
pemeliharaan umur 5-26 hari ikan ini menghasilkan laju pertumbuhan harian
43.57% lebih tinggi dibandingkan lele Dumbo sedangkan pada pemeliharaan
umur 26-40 hari 14.61% lebih tinggi. Pada pembesaran calon tetua tingkat
pertama dan kedua, lele Sangkuriang menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih
tinggi dibandingkan lele Dumbo yaitu 11.36% dan 16.44%. sedangkan pada
pembesaran kelas konsumsi, konversi pakan pada lele Sangkuriang mencapai 0.8
dibandingkan lele Dumbo yang mencapai >1 (Sunarma et al. dalam Hilwa 2004).
11

2.3.4. Ikan Lele Albino


Lele Albino merupakan lele jenis apa saja yang memiliki gen resesif dari
parental, tercermin dari warnanya yang putih akibat gen yang tidak dapat
membentuk pigmen melanin. Biasanya ikan lele Albino ini dipertahankan dan
diperbanyak oleh beberapa pembudidaya karena tergolong ikan lele hias serta
memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan ikan lele konsumsi pada
umumnya.

Gambar 2.5 Ikan lele Albino


(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Kulitnya berwarna merah keputihan dan ada bercak hitam. Memiliki sirip
mengeras pektoral yang tumpul dan tidak berbisa.

2.4 Hubungan Kekerabatan Genetik


Setiap populasi di alam akan memberikan respon yang berbeda terhadap
lingkungan yang berdampak pada terjadinya perbedaan bentuk, sifat, dan karakter
mahluk hidup satu spesies di tempat yang berbeda. Sifat-sifat yang muncul ini
yang digunakan untuk mempelajari hubungan kekerabatan.
Pendekatan morfologi merupakan sifat yang paling sering digunakan
dalam mempelajari hubungan kekerabatan pada suatu populasi atau spesies
(Rafsanjani 2011). Kelemahan dari pendekatan secara morfologi adalah tingkat
subjektifitas sangat tinggi, dan kondisi lingkungan yang harus selalu dijaga (Hu
dan Quiros 1991 dalam Rafsanjani 2011). Pendekatan lain yang sering digunakan
berupa isoenzim dan enzym. Isoenzim dapat membentuk lokus-lokus yang pada
gel yang merupakan hasil dari elektroforesisi protein (Abdelhamid, 1988; Rognon
et al. 1996; Agnese et al. 1997).
12

Beeching et al (1993) mengemukakan bahwa setiap makhluk hidup


memiliki DNA sumber informasi dan selalu konsisten pada setiap sel di jaringan
tubuh. DNA tidak terpengaruhi oleh lingkungan luar. Urutan DNA menunjukan
variasi yang lebih tinggi dibandingkan asam amino dalam enzim oleh karena itu
DNA merupakan sumber polimorfisme yang baik dan sangat potensial. Hal
tersebut menjadikan keunggulan untuk DNA dalam menganalisis hubungan
kekerabatan genetik.

2.5 Tinjauan Umum Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)


2.5.1 Teknik PCR
Menurut Erlich (1989), PCR adalah suatu teknik yang sangat tepat dan
teknik yang paling sering digunakan untuk biologi molekuler karena mudah,
cepat, dan murah. Teknik amplifikasi DNA dari sumber DNA yang terbatas dan
kualitas DNA yang rendah dapat dilakukan. DNA yang dihasilkan merupakan
DNA yang spesifik dari sejumlah kecil gen-gen yang berbeda. DNA diambil dari
sampel ikan Lele yang akan diteliti, penambahan primer RAPD dilakukan sebagai
penanda genetik pada PCR. Hasil yang dikeluarkan berupa pita-pita DNA ikan
Lele yang sudah diperbanyak dengan urutan sesuai dengan primer yang diberikan.
Pita-pita DNA tersebut yang akan dianalisisis untuk diketahui kekerabatanya.
Pada proses amplifikasi DNA oleh PCR diperlukan enzim yang
dinamakan dengan “taq polymerase”. Enzim ini diisolasi dari bakteri Thermus
aquaticus yang hidup pada kolam – kolam air panas (Erlich 1989). Menurut
Weaver (2004) enzim tersebut adalah enzim yang sangat stabil pada suhu rendah
maupun suhu tinggi, sehingga pada proses PCR tidak diperlukan penambahan
enzim baru untuk setiap perubahan suhu.

2.5.2 Prinsip Kerja PCR


Proses PCR terbagi dalam tiga tahapan, yaitu tahap denaturasi DNA
(denaturing), tahap penempelan primer pada DPA (annealing) dan tahap
pemanjangan (elongation). Tahap-tahap tersebut yang terjadi selama proses
amplifikasi DNA berlangsung pada PCR. Tahap pertama pada PCR adalah
13

denaturasi DNA (denaturing), pada tahap pertama DNA diberikan kondisi tinggi
berkisar antara 93oC-100oC. tahap denaturasi bertujuan untuk mengubah sifat
DNA yang disebabkan suhu tinggi. Perubahan sifat DNA terlihat pada lepasnya
rantai ganda DNA menjadi single helix (Dunham 2004).
Tahap kedua adalah annealing atau penempelan primer pada rantai DNA.
Primer akan menempel pada masing-masing DNA yang berpisah. Letak
menempelnya primer akan spesifik sesuai dengan urutan basa pada primer dan
urutan basa pada DNA. Tahap penempelan primer pada DNA bekerja pada
kisaran suhu 37oC - 63oC. spesifitas penempelan primer pada rantai DNA
bergantung pada suhu yang digunakan. Suhu optimal untuk proses penempelan
primer berkisar 3oC - 5oC di bawah melting temperature (Tm) atau suhu lebur dari
primer yang digunakan. Semakin tinggi suhu yang digunakan spesifitas akan
semakin tinggi, namun amplifikasi akan lebih efisien jika proses penempelan
dilakukan pada suhu lebih rendah dari suhu Tm (Dunham 2004).
Tahap ketiga adalah tahap pemanjangan primer (elongation) dengan
bantuan enzim taq polymerase dan campuran deoxyribonucleoside triphospate
(dNTP). Pemanjangan primer dilakukan pada suhu 72oC (Dunham 2004).
Nukleotida bebas digunakan untuk menjadi bahan dasar pemanjangan primer,
nukleotida akan dipasangkan pada urutan basa yang sesuai dengan yang
dibutuhkan pada pemanjangan primer. Enzim taq polymerase berfungsi sebagai
perangkai dan penempel nukleotida pada primer.
Setelah selesai tahap pemanjangan DNA, proses PCR diulang dari tahap
awal denaturing – annealing – elongation, tiga tahapan tersebut biasanya disebut
dengan 1 siklus. Pada proses PCR umumnya dilakukan lebih dari 1 siklus untuk
menghasilkan fragmen DNA spesifik yang banyak.

2.6 Penanda Genetik


Suatu penanda adalah karakter atau sifat yang diturunkan atau diwariskan
pada keturunannya dan dapat berasosiasi maupun berkorelasi dengan genotip
tertentu dan dapat digunakan untuk mengkarakterisasi atau mendeteksi suatu
genotip tertentu (Rafsanjani 2011). Penanda genetik dapat diwariskan secara tegas
14

pada keturunanya dan terpaut dengan sifat yang dikehendaki. Pada perkembangan
penanda genetik dapat dikelompokan sebagai penanda sitology, penanda
morfologi, dan penanda molekuler. Penanda molekuler dikelompokan kembali
menjadi dua bagian penanda isoenzim dan penanda molekuler (Mulyani 2003
dalam Rafsanjani 2011).
Penanda morfologi merupakan penanda yang mengacu pada karakter
morfologi yang terlihat secara jelas pada individu dan diturunkan mengikuti
hukum Mendel (Liu 1998). Setiap individu mempunyai gen-gen yang khas yang
diekspresikan menjadi morfologi individu tersebut. Penampakan morfologi dapat
dikaitkan dengan gen-gen yang spesifik dan penanda genetik dalam kromosom.
Penampakan morfologi mudah diamati dan sejak jaman dahulu dijadikan sebagai
penanda genetik untuk melihat kekerabatan. Penanda morfologi mempunyai
kelemahan dalam mengidentifikasi keanekaragaman subjektifitas pada penanda
morfologi sangat tinggi, tidak efektif, sulit dan rentan dengan kondisi lingkungan
(Mulyani 2003 dalam Rafsanjani 2011).
Penanda protein merupakan penanda genetik pada tingkat protein, teknik
yang sering digunakan adalah isoenzim. Setiap gen-gen pada DNA menghasilkan
protein yang spesifik dengan komposisi asam amino yang spesifik dengan melihat
protein yang dihasilkan maka dapat terpetakan gen yang terdapat pada kromosom.
Elektroforesis digunakan untuk melihat pita protein berdasarkan muatan dan jenis
protein. Kelemahan analisis keragaman menggunakan isoenzim adalah jumlah
lokus penanda ini terbatas dan tidak terdapat pada semua jaringan, serta
tergantung pada tahap perkembangan organisme yang bersangkutan (Liu 1998).
Perkembangan teknologi biologi molekuler menghasilkan metode penanda
genetik yang lebih efisien dan lebih cepat. Penanda genetik molekuler DNA.
Secara garis besar tidak berbeda dengan penanda genetik lainya. Keunggulan dari
penanda molekuler DNA menurut Liu (1998) dapat dikembangkan dengan cepat
dan dalam jumlah yang lebih banyak. DNA pada setiap sel individu sama dan
konsisten, maka pengambilan sampel DNA dapat dilakukan pada setiap bagian
tubuh individu. DNA tidak terpengaruh dengan lingkungan dan umur atau tingkat
perkembangan individu tidak berpengaruh terhadap DNA. Analisis dapat
15

dilakukan setiap saat tidak bergantung pada waktu. Dibandingkan dengan penanda
morfologi teknik penanda molekuler DNA lebih mudah dan murah.
Penanda DNA adalah sebagian kecil daerah yang khas pada DNA yang
menunjukan pita polimorfisme yang berbeda ada masing-masing individu dalam
satu spesies (Liu 1998). Pita dapat dideteksi melalui dua pendekatan, yaitu
hibridisasi asam nukleat contohnya RFLP atau melalui amplifikasi segmen DNA
dengan berbasis PCR (mikrosatelit, AFLP, dan RAPD) Erlich (1989).

2.7 Metode Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD)


Penanda genetik molekuler berupa penanda DNA sudah banyak dilakukan
untuk mempelajari hubungan kekerabatan mahluk hidup. Metode untuk
menganalisis penanda DNA semakin berkembang dan semakin efisiem dalam
penggunaan dan biaya. Metode dengan biaya yang efisien dengan hasil yang
akurat merupakan metode yang dicari.
Salah satu teknik pendekatan untuk mendeteksi adanya polimorfisme pada
DNA dapat dilakukan dengan metode Random Amplified Polymorphic DNA
(RAPD). Penanda RAPD menggunakan primer pendek (8-12 pasangan basa (bp)
berupa oligonukleotida acak (Liu dan Dunham, 1998a; Liu et al, 1998a, 1999b).
penanda RAPD sangat berguna untuk menentukan hubungan genetik, dan
konstruksi peta hubungan genetik. (Grattapaglia dan Sederoff, 1994; Liu dan
Dunham, 1998a,b).
Buwono (2004) menyebutkan setiap primer membuat pola satu amplifikasi
yang dipisahkan pada gel agarose dan divisualisasikan dengan pewarnaan
ethidium bromide. Pita-pita yang muncul pada gel agarose merupakan DNA
genom hasil amplikasi oleh primer RAPD. Setiap pola pita merupakan karakter
informatif untuk hubungan kekerabatan genetik. Penanda RAPD diungkapkan dan
mencetak sebagai alel dominan. Amplifikasi DNA dinilai berdasarkan ukuran dan
kemunculan pita pada gel agarose. Polimorfisme terjadi ketika sebuah pita muncul
dalam satu jenis orangtua dan tidak ada dalam yang lain. Bahkan jika sebuah pita
homolog ada pada orangtua yang lain, dimunculkan sebagai sebuah pita dengan
ukuran yang berbeda, itu akan mencetak hasil sebagai penanda yang berbeda
16

meskipun sebenarnya merupakan lokus sama atau umum yang berlokasi sama dari
urutan DNA. Secara teknis, RAPD bukan gen atau alel karena RAPD bukan kode
untuk menghasilkan produk gen. Kerugian potensial untuk analisis RAPD adalah
bahwa ini pola pita dominan gagal untuk membedakan antara heterozigot dan
homozigot individu (Dunham 2004).

2.8 Analisis Polimorfisme Untuk Mendeteksi Potensial Inbreeding


Inbreeding adalah reproduksi dari perkawinan dua induk genetik terkait
kuat (Arthur et al. 2005). Inbreeding menghasilkan homozigositas yang tinggi,
yang dapat meningkatkan kemungkinan keturunan yang dipengaruhi oleh sifat
resesif. Kejadian ini umumnya mengarah pada penurunan variasi genetik ovulasi,
yang disebut depresi inbreeding (Arthur et al. 2005). Pertemuan gen-gen resesif
pada induk yang berdekatan akan diturunkan pada keturunanya yang dapat
mengurangi kualitas genotip yang berpengaruh pada fenotip. Pengurangan
kualitas genotip suatu individu menyebabkan penurunan kualitas genotip suatu
populasi. Damayanti (2007) dalam Rafsanjani (2011) menyebutkan suatu populasi
dengan keragaman genetik yang rendah dapat diumpamakan sebagai suatu
populasi dengan individu yang saling bersaudara satu sama lainya. Sehingga
dalam jangka panjang perkawinan yang akan terjadi di dalam kelompok tersebut
akan merupakan perkawinan antara saudara atau Inbreeding yang akan
menyebabkan penurunan kualitas reproduksi dan menyebabkan suatu individu
menjadi sensitif terhadap pathogen. Oleh karena itu, inbreeding harus dicegah.
Pencegahan inbreeding dapat dilakukan dengan mengetahui informasi
genetik individu dari suatu populasi. Informasi genetik individu dapat digunakan
sebagai bahan untuk diteliti. Perkembangan teknik molekuler seperti penemuan
teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) yang mampu mengamplifikasi untai
DNA hingga mencapai konsentrasi tertentu dan penemuan metode sequencing
DNA dapat digunakan untuk meneliti informasi pada individu dan populasi.
Penggunaan metode RAPD PCR dapat menghasilkan hasil analisa genetik yang
lebih cepat dan lebih akurat untuk menentukan hubungan kekerabatan pada
individu.
17

Pita-pita pada gel agarose yang merupakan hasil amplifikasi DNA genom,
Pola-pola pita tersebut dapat dikelompokan menjadi dua kategori yaitu pita
polimorfik dan pita monomorfik. Pita polimorfik adalah gambaran pita DNA yang
muncul pada ukuran tertentu, tetapi pada sampel lain tidak ditemukan pita DNA
pada ukuran tersebut. Pita monomorfik adalah pita yang terdapat pada beberapa
sampel hingga tidak memiliki variasi (Williams dan Ronald 1990).
Hubungan setiap sampel DNA kemudian ditentukan dengan menghitung
indeks kesamaan berdasarkan data numerik larik yang teramplifikasi. Indeks
kesamaan ini dihitung dengan menggunakan program NTSYS (Numerical
Taxonomy and Multivariate Analysis System). NTSYS dapat digunakan untuk
menemukan pola struktur dari data yang beragam dari data sampel yang
dihasilkan dari 1 atau lebih populasi. Kekerabatan diantara strain ikan Lele
dianalisis dengan menggunakan jarak genetik berdasar program UPGMA
(Unweighted Pair Group Method Using Arithmetic Average). Data yang
dihasilkan dari penggunaan program tersebut berupa konstruksi pohon filogeni
yang disajikan dalam bentuk fenogram (Buwono 2011).
Tujuan akhir pencegahan inbreeding adalah untuk pemuliaan mahluk
hidup guna keperluan manusia. Pencegahan inbreeding menjadikan kekerabatan
hayati menjadi sangat tinggi pada suatu populasi berdampak positif terhadap
kualitas genetik populasi. Rifai et al (1994) dalam Rafsanjani (2011)
menyebutkan pentingnya pemuliaan mahluk hidup berguna untuk keperluan
pembudidayaan oleh manusia, karena itu upaya memahami dan mempertahankan
keragaman genetik suatu populasi sangat penting dalam konservasi karena
keragaman genetik yang tinggi akan sangat membantu suatu populasi beradaptasi
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, termasuk
mampu beradaptasi terhadap penyakit-penyakit yang ada di alam.

Anda mungkin juga menyukai