TINJAUAN PUSTAKA
Ikan lele merupakan hewan nokturnal dimana ikan ini aktif pada malam
hari dalam mencari mangsa. Ikan-ikan yang termasuk ke dalam genus lele
6
7
dicirikan dengan tubuhnya yang tidak memiliki sisik, berbentuk memanjang serta
licin. Ikan Lele mempunyai sirip punggung (dorsal fin) serta sirip anus (anal fin)
berukuran panjang, yang hampir menyatu dengan ekor atau sirip ekor. Ikan lele
memiliki kepala dengan bagian seperti tulang mengeras di bagian atasnya. Mata
ikan lele berukuran kecil dengan mulut di ujung moncong berukuran cukup lebar.
Dari daerah sekitar mulut menyembul empat pasang barbel (sungut peraba) yang
berfungsi sebagai sensor untuk mengenali lingkungan dan mangsa. Lele memiliki
alat pernapasan tambahan yang dinamakan Arborescent. Arborescent ini
merupakan organ pernapasan yang berasal dari busur insang yang telah
termodifikasi. Pada kedua sirip dada lele terdapat sepasang duri (patil), berupa
tulang berbentuk duri yang tajam. Pada beberapa spesies ikan lele, duri-duri patil
ini mengandung racun ringan. Hampir semua species lele hidup di perairan tawar.
Berikut kisaran parameter kualitas air untuk hidup dan pertumbuhan optimum
ikan lele menurut beberapa penelitian dalam Witjaksono (2009).
Tabel 2.1 Kualitas air optimal untuk perumbuhan lele pada beberapa penelitian
Ikan lele Dumbo memiliki tubuh yang lebih besar 6-8 kali panjang standar
dibandingkan lele Lokal dan memiliki gen pertumbuhan yang lebih cepat. Ukuran
kepala 3-3,5 kali lebih besar. Kepala agak persegi panjang dan lancip ke garis
dorsal. Moncongnya yang bulat melebar. Mata memiliki posisi supero-lateral dan
relatif kecil. Gigi pada premaxilla dan rahang bawah kecil, halus dan diatur dalam
beberapa baris. Barbels 1/5 sampai ½ kali dari ukuran kepala dan ½ sampai 4/5
kali dari ukuran kepala ketika individu masih kecil. Sirip pektoral hanya bergerigi
dibagian luar dan tidak beracun. Jumlah gerigi semakin banyak seiring
bertumbuhnya individu. Berwarna abu ungu kemerahan dan bercorak marble.
Warnanya akan semakin pucat dan corak tampak lebih jelas apabila stress. Bagian
perut, ventral dan sirip yang berpasangan berwarna keputih-putihan. Selain itu
juga lele Dumbo dapat dibudidayakan dalam tingkat kepadatan yang tinggi,
tingkat kematangan gonad yang relatif lebih cepat dan dapat mengkonsumsi
9
banyak jenis produk samping agrikultur serta dapat mentolerir kualitas air yang
buruk.
Lele Lokal memiliki tubuh yang pipih dibagian posterior. Rahang atas
yang lebih menjorok. Ujung dari sirip pectoral mengeras menyerupai duri dan
kasar dibagian sisi luar serta bergerigi dibagian ujung dalam. Duri atau sirip
pektoral mengandung racun, dan memiliki panjang 2 kali dari lebar tubuh. Genital
jantan panjang dan meruncing, serta memiliki warna hitam ke abuan walaupun
dalam keadaan stress disertai bintik putih. Lele Lokal dapat bertahan hidup
dengan berpindah tempat selama tempat itu tetap menjaga lele dalam keadaan
lembab dan basah seperti berpindah dari kolam air stagnan, rawa, sungai, atau
bahkan lahan padi yang terkena banjir. Ikan lele Lokal mampu bertahan cukup
lama di daratan karena memiliki alat bantu pernafasan berupa arborescent. Lele
Lokal memiliki tubuh paling panjang rata-rata 30cm, lele Lokal dapat
mengkonsumsi ikan kecil, moluska, invertebrata lain, detritus, bahkan gulma air
di habitat alaminya.
10
Kulitnya berwarna merah keputihan dan ada bercak hitam. Memiliki sirip
mengeras pektoral yang tumpul dan tidak berbisa.
denaturasi DNA (denaturing), pada tahap pertama DNA diberikan kondisi tinggi
berkisar antara 93oC-100oC. tahap denaturasi bertujuan untuk mengubah sifat
DNA yang disebabkan suhu tinggi. Perubahan sifat DNA terlihat pada lepasnya
rantai ganda DNA menjadi single helix (Dunham 2004).
Tahap kedua adalah annealing atau penempelan primer pada rantai DNA.
Primer akan menempel pada masing-masing DNA yang berpisah. Letak
menempelnya primer akan spesifik sesuai dengan urutan basa pada primer dan
urutan basa pada DNA. Tahap penempelan primer pada DNA bekerja pada
kisaran suhu 37oC - 63oC. spesifitas penempelan primer pada rantai DNA
bergantung pada suhu yang digunakan. Suhu optimal untuk proses penempelan
primer berkisar 3oC - 5oC di bawah melting temperature (Tm) atau suhu lebur dari
primer yang digunakan. Semakin tinggi suhu yang digunakan spesifitas akan
semakin tinggi, namun amplifikasi akan lebih efisien jika proses penempelan
dilakukan pada suhu lebih rendah dari suhu Tm (Dunham 2004).
Tahap ketiga adalah tahap pemanjangan primer (elongation) dengan
bantuan enzim taq polymerase dan campuran deoxyribonucleoside triphospate
(dNTP). Pemanjangan primer dilakukan pada suhu 72oC (Dunham 2004).
Nukleotida bebas digunakan untuk menjadi bahan dasar pemanjangan primer,
nukleotida akan dipasangkan pada urutan basa yang sesuai dengan yang
dibutuhkan pada pemanjangan primer. Enzim taq polymerase berfungsi sebagai
perangkai dan penempel nukleotida pada primer.
Setelah selesai tahap pemanjangan DNA, proses PCR diulang dari tahap
awal denaturing – annealing – elongation, tiga tahapan tersebut biasanya disebut
dengan 1 siklus. Pada proses PCR umumnya dilakukan lebih dari 1 siklus untuk
menghasilkan fragmen DNA spesifik yang banyak.
pada keturunanya dan terpaut dengan sifat yang dikehendaki. Pada perkembangan
penanda genetik dapat dikelompokan sebagai penanda sitology, penanda
morfologi, dan penanda molekuler. Penanda molekuler dikelompokan kembali
menjadi dua bagian penanda isoenzim dan penanda molekuler (Mulyani 2003
dalam Rafsanjani 2011).
Penanda morfologi merupakan penanda yang mengacu pada karakter
morfologi yang terlihat secara jelas pada individu dan diturunkan mengikuti
hukum Mendel (Liu 1998). Setiap individu mempunyai gen-gen yang khas yang
diekspresikan menjadi morfologi individu tersebut. Penampakan morfologi dapat
dikaitkan dengan gen-gen yang spesifik dan penanda genetik dalam kromosom.
Penampakan morfologi mudah diamati dan sejak jaman dahulu dijadikan sebagai
penanda genetik untuk melihat kekerabatan. Penanda morfologi mempunyai
kelemahan dalam mengidentifikasi keanekaragaman subjektifitas pada penanda
morfologi sangat tinggi, tidak efektif, sulit dan rentan dengan kondisi lingkungan
(Mulyani 2003 dalam Rafsanjani 2011).
Penanda protein merupakan penanda genetik pada tingkat protein, teknik
yang sering digunakan adalah isoenzim. Setiap gen-gen pada DNA menghasilkan
protein yang spesifik dengan komposisi asam amino yang spesifik dengan melihat
protein yang dihasilkan maka dapat terpetakan gen yang terdapat pada kromosom.
Elektroforesis digunakan untuk melihat pita protein berdasarkan muatan dan jenis
protein. Kelemahan analisis keragaman menggunakan isoenzim adalah jumlah
lokus penanda ini terbatas dan tidak terdapat pada semua jaringan, serta
tergantung pada tahap perkembangan organisme yang bersangkutan (Liu 1998).
Perkembangan teknologi biologi molekuler menghasilkan metode penanda
genetik yang lebih efisien dan lebih cepat. Penanda genetik molekuler DNA.
Secara garis besar tidak berbeda dengan penanda genetik lainya. Keunggulan dari
penanda molekuler DNA menurut Liu (1998) dapat dikembangkan dengan cepat
dan dalam jumlah yang lebih banyak. DNA pada setiap sel individu sama dan
konsisten, maka pengambilan sampel DNA dapat dilakukan pada setiap bagian
tubuh individu. DNA tidak terpengaruh dengan lingkungan dan umur atau tingkat
perkembangan individu tidak berpengaruh terhadap DNA. Analisis dapat
15
dilakukan setiap saat tidak bergantung pada waktu. Dibandingkan dengan penanda
morfologi teknik penanda molekuler DNA lebih mudah dan murah.
Penanda DNA adalah sebagian kecil daerah yang khas pada DNA yang
menunjukan pita polimorfisme yang berbeda ada masing-masing individu dalam
satu spesies (Liu 1998). Pita dapat dideteksi melalui dua pendekatan, yaitu
hibridisasi asam nukleat contohnya RFLP atau melalui amplifikasi segmen DNA
dengan berbasis PCR (mikrosatelit, AFLP, dan RAPD) Erlich (1989).
meskipun sebenarnya merupakan lokus sama atau umum yang berlokasi sama dari
urutan DNA. Secara teknis, RAPD bukan gen atau alel karena RAPD bukan kode
untuk menghasilkan produk gen. Kerugian potensial untuk analisis RAPD adalah
bahwa ini pola pita dominan gagal untuk membedakan antara heterozigot dan
homozigot individu (Dunham 2004).
Pita-pita pada gel agarose yang merupakan hasil amplifikasi DNA genom,
Pola-pola pita tersebut dapat dikelompokan menjadi dua kategori yaitu pita
polimorfik dan pita monomorfik. Pita polimorfik adalah gambaran pita DNA yang
muncul pada ukuran tertentu, tetapi pada sampel lain tidak ditemukan pita DNA
pada ukuran tersebut. Pita monomorfik adalah pita yang terdapat pada beberapa
sampel hingga tidak memiliki variasi (Williams dan Ronald 1990).
Hubungan setiap sampel DNA kemudian ditentukan dengan menghitung
indeks kesamaan berdasarkan data numerik larik yang teramplifikasi. Indeks
kesamaan ini dihitung dengan menggunakan program NTSYS (Numerical
Taxonomy and Multivariate Analysis System). NTSYS dapat digunakan untuk
menemukan pola struktur dari data yang beragam dari data sampel yang
dihasilkan dari 1 atau lebih populasi. Kekerabatan diantara strain ikan Lele
dianalisis dengan menggunakan jarak genetik berdasar program UPGMA
(Unweighted Pair Group Method Using Arithmetic Average). Data yang
dihasilkan dari penggunaan program tersebut berupa konstruksi pohon filogeni
yang disajikan dalam bentuk fenogram (Buwono 2011).
Tujuan akhir pencegahan inbreeding adalah untuk pemuliaan mahluk
hidup guna keperluan manusia. Pencegahan inbreeding menjadikan kekerabatan
hayati menjadi sangat tinggi pada suatu populasi berdampak positif terhadap
kualitas genetik populasi. Rifai et al (1994) dalam Rafsanjani (2011)
menyebutkan pentingnya pemuliaan mahluk hidup berguna untuk keperluan
pembudidayaan oleh manusia, karena itu upaya memahami dan mempertahankan
keragaman genetik suatu populasi sangat penting dalam konservasi karena
keragaman genetik yang tinggi akan sangat membantu suatu populasi beradaptasi
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, termasuk
mampu beradaptasi terhadap penyakit-penyakit yang ada di alam.