Anda di halaman 1dari 57

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sistem pemerintahan di Indonesia mengalami perubahan sejak

era reformasi pada tahun 1998. Pola pemerintahan antara pusat dan

daerah juga mulai mengalami perubahan sejak adanya amandemen

pada Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesi tahun

1945 dan terjadinya perubahan Undang – Undang. Perubahan ini

kemudian diikuti

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sistem pemerintahan di Indonesia mengala

era reformasi pada tahun 1998. Pola pemerinta

daerah juga mulai mengalami perubahan sejak

pada Undang – Undang Dasar Negara Repu

1945 dan terjadinya perubahan Undang – Un

kemudian diikuti adanya pemberlakuan oto

diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang P

dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbang

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oto

hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom

mengurus sendiri urusan pemerintahan

masyarakat setempat sesuai dengan peratu

undangan sedangkan perimbangan keuangan

pusat dan pemerintah daerah adalah suatu

keuangan yang adil, proporsional, demokra

efisien dalam rangka penyelenggaraan De

2
adanya pemberlakuan otonomi daerah yang diatur dalam UU No.

33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33

Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah. Otonomi daerah adalah hak,

wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan per undang –

undangan sedangkan perimbangan keuangan antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah adalah suatu sistem pembagian

keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan

efisien dalam rangka penyelenggaraan Desentralisasi dengan

mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah sejalan

dengan kewajiban dan pembagian kewenngan tersebut, termasuk

pengelolaan dan pengawasan keuangannya.

Dalam penyelenggaraan otonomi daerah lebih dititikberatkan

pada daerah kabupaten/kota guna meningkatkan efisiensi dan

efektivitas dimana hal ini dilakukan untuk mendekatkan pelayanan

pemerintah kepada masyrakat, memudahkan masyrakat mengontrol

penggunaan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD).

Semua itu dilakukan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan

yang baik ( good governance dan clean government ). Untuk

melihat tata kelola yang baik, pemerintah daerah diwajibkan

menyusun laporan keuangan dalam penggunaan APBD yang diatur

3
dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 102 Ayat (1) yang nantinya

diserahkan dan diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Laporan keuangan yang disusun menyediakan informasi yang

relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang

dilakukan oleh suatu entitas pelaporan selama satu periode

pelaporan. Laporan keuangan yang disusun digunakan untuk

mengetahui nilai sumber daya ekonomi yang dimanfaatkan untuk

melaksanakan kegiatan operasional pemerintah, menilai kondisi

keuangan, mengevaluasi efektivitas dan efisiensi suatu entitas

pelaporan dan membantu menentukan ketaatannya terhadap

peraturan perundang – undangan.

Dalam pelaporan keuangan informasi yang disajikan harus

memenuhi karakteristik kualitatif sehingga dapat digunakan untuk

mengambil keputusan. Untuk menjami terpenuhinya karakteristik

kualitatif tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan atas laporan

keuangan dalam menilai kewajaran laporan keuangan sesuai

dengan prinsip akuntansi berterima umum dalam hal ini PP No.

71 Tahun 2010. Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi

masalah, menganalisis masalah dan melakukan evaluasi secara

keseluruhan secara independent, obyektif, dan professional

berdasarkan standar pemeriksaan, dalam menilai kebenaran,

kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai

4
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang tertuang

dalam UU No. 15 Tahun 2014 tentang Pemeriksaan Pengelolaan

dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

BPK melakukan tiga (3) jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan

keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan

tertentu. Adapun hasil pemeriksaan yang dihasilkan BPK berupa

temuan audit, opini audit dan rekomendasi. Temuan audit

menunjukkan baik atau tidaknya pengelolaan keuangan pemerintah

daerah, dimana semakin banyak temuan audit menunjukkan

pengelolaan keuangan daerah tersebut kurang baik ataupun

sebaliknya. Setiap pemerintahan daerah mengharapkan opini

tertinggi dari BPK- RI. Ada beberapa alasan setiap daerah untuk

mendapatkan opini tertinggi seperti yang disampaikan oleh Wahyu

Prioyono (2017) yaitu :

1. Prestise adalah kebanggaan karena telah berhasil menyajikan

laporan keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi

Pemerintahan (SAP).

2. Clear and cleas berarti keuangan telah dinyatakn bersih

transparan, akuntabel, dan bebas dari korupsi.

3. Pencitraan yang baik dapat digunakan sebagai modal untuk

maju lagi sebagai calon kepala daerah.

Dari hasil opini audit yang diumumkan BPK dapat menaikkan

dan menurunkan tingkat kepercayaan publik atas pelaporan

5
keuangan yang disajikan oleh pemerintah daerah. Menurut Wendy

(2012) semakin baik opini yang diterima oleh pemerintah daerah,

maka semakin baik pula kinerja pemerintah tersebut dalam

penyajian laporan keuangannya. Laporan Keuangan Pemerintah

Daerah (LKPD) merupakan bentuk pertanggungjawaban

pemerintah daerah kepada rakyat atas pengelolaan keuangan

daerah. Adapun jenis opini yang dihasilkan BPK dalam

pemeriksaan yaitu Wajar Tanpa Pengecualiaan (WTP ), Wajar

Dengan Pengecualiaan (WDP), Tidak Wajar (TW), Tidak

Memberikan Pendapat (TMP). Berdasarkan jenis opini yang

dikeluarkan BPK, setiap pemerintahan daerah mengharapkan opini

Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Provinsi Papua Barat salah satu provinsi yang mendapatkan hak

otonomi daerah. Provinsi Papua barat memiliki tiga belas (13 )

kabupaten/kota. Semua pemerintahan daerah dibawah naungan

Provinsi Papua Barat juga mendapatkan kewenangan menjalakan

otonomi daerah. Setiap tahunnya pemerintahan daerah ini

menyususn laporan pertanggungjawaban penggunaan APBD

sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat dan DPRD dan

kemudian diperiksa oleh BPK. Di bawah ini menunjukkan

perkembangan opini atas laporan keuangan untuk semua

kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat mulai tahun 2015 sampai

dengan tahun 2019.

6
Tabel 1.1 Opini Audit Kabupaten/Kota Provinsi Papua Barat Tahun
2015 – 2019

No Kab/Kota 2015 2016 2017 2018 2019


1 Raja Ampat WTP WTP WTP WTP WTP
2 Kaimana WTP WTP WTP WTP WTP
3 Fak Fak WTP WTP WTP WTP WTP
4 Manokwari WDP WDP WDP WDP WTP
Manokwari
5 WDP WDP WDP WDP WTP
Selatan
6 Maybrat WTP WTP WTP WTP WTP
Pegunungan
7 WDP WDP WDP WDP WDP
Arfak
8 Sorong WTP WTP WTP WTP WTP
9 Tambrauw WTP WTP WTP WTP WTP
10 Bintuni WTP WTP WTP WTP WTP
Teluk
11 WDP WDP WDP WTP WTP
Wondama
12 Sorong Selatan WTP WTP WTP WTP WTP
13 Kota Sorong WDP WDP WDP WDP WTP

Sumber : BPK – RI Perwakilan Prov. Papua Barat.

Berdasarkan tabel di atas, kita dapat melihat bahwa secara

keseluruhan kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat mendapatkan

hasil opini WTP. Ini menandakan bahwa keberhasilan pelaporan

pengelolaan laporan keuangan daerah yang diwujudkan dengan

perolehan opini WTP idealnya juga mencerminkan keberhasilan

dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut. Yang artinya bahwa

keberhasilan dalam pengelolaan dan pelaporan keuangan daerah akan

berdampak positif terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dan seharusnya ada perbedaan antara penerima opini WTP dan WDP

dalam hal kinerja keuangan dan penyelenggaraan pemerintah daerah.

7
Dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan ternyata banyak

pemerintahan daerah yang sudah memperoleh opini WTP tidak diikuti

keberhasilan dalam kinerja. Kurnia dan Fefri dalam Khairuddin

(2013) mengatakan bahwa opini WTP yang diperoleh pemerintah

daerah atas LKPD belum bisa menjadi acuan atas keberhasilan kinerja

keuangan pemerintah daerah dikarenakan opini WTP hanya sebatas

keberhasilan pada administratife saja. Pernyataan ini diperkuat ketika

dalam laporan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (2018)

yang mengumumkan bahwa kabupaten Maybrat salah satu kabupaten

yang masuk dalam kategori 10 besar yang memiliki kinerja paling

rendah, dimana kita ketahui berdasarkan tabel 1.1 di atas bahwa

Kabupaten Maybrat sudah lima kali mendapatkan opini WTP .

Kita juga dapat melihat laporan Badan Pusat Statistik 2018 bahwa

kabupaten Fak – Fak, Kabupaten Sorong dan Kabupaten Maybrat

masih memiliki tingkat kemiskinan di atas 25%. Dibawah ini disajikan

tabel persentase (%) tingkat kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi

Papua Barat sebagai berikut :

Tabel 1.2.
Persentase Tingkat Kemiskinan Penduduk Kabupaten/Kota Propinsi Papua
Barat

% Tingkat Kemiskinan Penduduk


No Kab/Kota
2019 2020 2020
1 Raja Ampat 17.16 17,01 17,50
2 Kaimana 16,11 15,50 16,04
3 Fak Fak 23,25 22,27 22,86
4 Manokwari 21,06 20,14 20,56
5 Manokwari 29,94 28,88 29,30

8
Selatan
6 Maybrat 32,20 30,78 31,39
Pegunungan
7 34,83 33,81 34,70
Arfak
8 Sorong 28,61 27,48 27,78
9 Tambrauw 33,66 32,80 33,86
10 Bintuni 30,57 29,39 29,79
Teluk
11 32,42 30,91 31,61
Wondama
12 Sorong Selatan 18,41 18,28 18,55
13 Kota Sorong 15,45 14,99 15,35
Sumber : BPS Papua Barat (2022)

Berdasarkan tabel 1.2 di atas, dapat dilihat persentase kemiskinan

penduduk Kabupaten/Kota Provinsi Papua Barat, dimana persentase kemiskinan

penduduk yang paling tinggi adalah Kabupaten Maybrat, Pegunungan Arfak,

Tambrauw, Teluk Wondama dan Bintuni. Dari hasil opini BPK diketahui

Kabupaten Maybrat, Bintuni dan Tambrau dari tahun 2015 – 2019 memperoleh

opini WTP sedangkan Kabupaten Teluk Wondama Tahun 2015 – 2017

memperoleh opini WDP, tahun 2018 – 2019 memperoleh opini WTP dan

Kabupaten Pegunungan Arfak dati 2015 – 2019 memperoleh opini WDP. Dalam

UUD 1945 pasal 23 ayat (1) berbunyi bahwa anggaran pendapatan dan belanja

daerah sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun

dengan undang – undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab

sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Namun kenyataannya, dari segi

kesejahteraan masyarakat di daerah yang memperoleh opini WTP dengan non

WTP tidak berbeda bahkan dibawah daerah yang memperoleh opini non WTP.

9
Menurut Abdul Halim ( 2006) salah satu alat untuk menganalisis kinerja

keuangan pemerintah daerah dalam rangka mengelola keuangan daerahnya adalah

dengan melakukan analisis terhadap APBD yang telah ditetapkan dan

dilaksanakannya. Untuk menganalisis kemampuan keuangan yang disajikan

adalah dengan menganalisis derajat desentralisasi fiskal, rasio kemandirian, rasio

efektivitas, rasio efisiensi, rasio aktivitas, rasio indeks kemampun rutin, rasio

ketergantungan keuangan daerah. Pengukuran kinerj keuangan ini sangat perlu

dilakukan dalam membantu pemerintah menili akuntabilitas pemerintah. Evaluasi

ini dilakukan dengan membandingkan kinerja keuangan antara satu periode

dengan periode sebelumnya atau antara satu daerah dengan daerah lainnya untuk

melihat perbedaannya.

Beberapa penelitian yang dilakukan antara lain penelitin yang dilakukan

oleh Udin Kumis (2003) melakukan penelitian untuk menguji perbandingan

kinerja pemerintah daerah antara yang menerim opini WTP dan Non WTP

kabupaten/kota di Indonesia yang menunjukkan bahwa ada perbedaan antara yang

menerima opini WTP dan Non WTP. Taufik (2017 ) melakukan penelitian

analisis perbandingan kinerja keuangan pemerintah kabupaten kota se – Sumatera

( 2017). Hasil penelitiaannya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kinerja

keuangan antara penerima opini WTP dan non WTP.

Netty Nurhayati, dkk (2019) melakukan penelitian serupa tentang

perbandingan kinerja pemerintah daerah di Indonesia yang mendapatkan hasil

bahwa ada perbedaan signifikan kinerja pemerintah daerah yang mendapat hasil

opini WTP dengan non WTP. Ketidak konsistenan hasil penelitian – penelitian

10
terdahulu mengenai kinerja keuangan daerah antara yang mendapat opini WTP

dan non WTP mendorong peneliti untuk melakukan pengujuan lebih lanjut

temuan – temuan empiris mengenai kinerja keuangan daerah dengan mengambil

penelitian di Kabupaten/Kota Provinsi Papua Barat.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini berjudul “

PERBEDAAN KINERJA KEUANGAN YANG MENERIMA OPINI WTP

DENGAN YANG MENERIMA WDP DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI

PAPUA BARAT”

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan penelitian ini adalah

bagaimana perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah yang memperoleh opini WTP

dengan pemerintah daerah yang memperoleh opini WDP perioe 2015 sampai dengan

2019.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah

untuk menguji secara empiris apakah ada perbandingan kinerja keuangan

pemerintah daerah yang memperoleh opini WTP dengan pemerintah daerah yang

memperoleh opini WDPperiode 2015 sampai dengan 2019.

1.4. Manfaat Penelitian

11
Penelitian ini dihrapkan dapat bermanfaat bagi pihak – pihak yang

berkepentingan yaitu :

1. Bagi pemerintah daerah supaya terus melakukan evaluasi terhadap

penyelengaraan pemerintahannya.

2. Bagi pembaca agar dapat mengetahui bagaimana perbandingan kinerja

pemerintah yang memperoleh opini WTP dengan opini WDP

3. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan teori

terutama untuk penelitian yang sama di masa yang akan datang.

1.5. Sistematika Penelitian

Adapun sistematika dalam penelitian ini adalah

1. Bab 1 menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian serta sistematika penelitian.

2. Bab 2 menguraikan tentang teori keagenan, akuntabilitas pelaporan keuangan

daerah, laporan keuangan daerah, pemeriksaan keuangan daerah, kinerja

keuangan daerah, penelitian terdahulu, pengembangan hipotesis dan kerangka

piker.

3. Bab 3 menguraikan tentang jenis penelitian, populasi & sampel, jenis dan

sumber data, defenisi operasional variable dan Teknik analisis data.

4. Bab 4 menguraikan tentang gambaran umum Provinsi Papua Barat, gambaran

umum data, statistik deskriptif, uji normalitas data, uji hipotesis dan

pembahasan hipotesis.

12
5. Bab 5 menguraikan tentang kesimpulan, keterbatasan dan saran.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Teori Keagenan

Penelitian ini didasari adanya teori keagenan. Menurut Jensen &

Meckling (1976) dalam Nurhayati, dkk ( 2019) teori keagenan sebagai

hubungan antar agen (manajeman) dan principal (pemilik usaha). Teori

13
agensi menggunakan tiga sumsi sifat manusia yaitu (1). Umumnya

manusia suka mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia

memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang

(bounded rationality), (3) manusia selalu menghindari resiko (risk

averse). Berdasarkan asumsi sifat manusia tersebut maka manajer akan

bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya.

Agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan

ekonomi dan psikologinya, antara lain dalam hal memperoleh investasi,

pinjaman , maupun kontrak kompensasi (Ujiyantho & Agus Pramuka,

2007 dalam Taufik 2017).

Konflik kepentingan semakin meningkat karena informasi yang

dimiliki agent lebih banyak dibanding pemilik (principal) dan pemilik

tidak dapat memonitor aktivitas agent. Hal ini mengakibatkan adanya

ketidakseimbangan informasi yang dimiliki antara principal dan agent.

Ketidak seimbangan ini disebut dengan asimetris informasi dimana agent

lebih memiliki banyak informasi mengenai perusahaan dan prospek

perusahaan dimasa mendatang bila dibanding principal. Kondisi inilah

yang memberikan kesempatan kepada agent untuk melakukan manipulasi

laporan keuangan untuk meningkatkan kesejahteraannya sendiri.

Pada sector pemerintahan, pemerintah bertindak sebagai agent

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan sesuai kepentingan

masyarakat yang bertindak sebagai principal. Pemerintah mendapatkan

amanat dari masyrakat untuk menjalankan roda pemerintahan dan

14
sebagai agent, pemerintah mempunyai kewajiban untuk melaporkan hasil

pelaksanaan pemerintahan kepada masyrakat ( Trisnawati & Achmad,

2013 dalam Taufik 2017).

LKPD merupakan gambaran tingkat akuntabilitas keuangan

pemerintah daerah yang menjadi kebutuhan penting dalam pelaksanaan

otonomi daerah, sehingka untuk mengetahui akuntabilitas LKPD sangat

penting untuk selalu diaudit oleh pihak independent. Menurut UU No.

15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab

Keuangan Negara, pemeriksaan keuangan meliputi pemeriksaan

keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

BPK RI merupkan lembaga yang bertanggungjawab untuk melakukan

pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab kuangan Negara

( Nurhayati, 2019).

2.2. Akuntabilitas Pelaporan Keuangan Daerah

Akuntabilitas berasal dari kata latin accomptare

(mempertanggungjawabkan) yaitu dari kata dasar computare

(memperhitungkan). Dalam bahasa Inggris adalah accountability yang

berarti pertanggungjawaban atau keadaan untuk

dipertanggungjawabkan atau keadaan untuk diminta

pertanggungjawaban (Salim, 1987 dalam Udin Kumis 2013).

Akuntabilitas dikenal sebagai salah satu prinsip utama good

governance disamping transparancy, predictability dan participation,

15
sehingga menjadikannya penting untuk dilakukan oleh sebuah lembaga

atau instansi pemerintah (Suryanto, 2017 dalam Nurabiah 2018).

Akuntabilitas dan transparansi merupakan atribut yang terpisah,

akan tetapi kedua istilah tersebut tidak independen, sebab pelaksanaan

akuntabilitas memerlukan transparansi. Akuntabilitas yang efektif

tergantung kepada akses publik terhadap laporan pertanggungjawaban

maupun laporan temuan yang dapat dibaca dan dipahami.Transparansi

mengisyaratkan bahwa laporan tahunan tidak hanya dibuat tetapi juga

terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat, karena aktivitas pemerintah

adalah dalam rangka menjalankan amanat rakyat (Shende & Bennett,

2004 dalam Nurabiah 2018). Transparansi dibangun atas dasar

kebebasan memperoleh informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Artinya, informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara

langsung dapat diperoleh oleh mereka yangmembutuhkan (Mardiasmo,

2006).

Akuntabilitas muncul sebagai jawaban terhadap permasalahan

information asymmetry, yang beranggapan bahwa banyak terjadi

kesenjangan informasi antara pihak manajemen yang mempunyai akses

langsung terhadap informasi dengan pihak konstituen atau masyarakat

yang berada di luar manajemen (Mohamad, et al., 2004 dalam

Nurhayati 2019).Akuntabilitas keuangan merupakan

pertanggungjawaban mengenai integritas keuangan, pengungkapan, dan

ketaatan terhadap peraturan perundangan-undangan. Sasaran

16
pertanggungjawaban ini adalah laporan keuangan dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku mencakup penerimaan,

penyimpanan, dan pengeluaran uang oleh instansi pemerintah (LAN &

BPKP, 2003).

Pelaporan keuangan merupakan sebuah wujud

pertanggungjawaban manajemen atas pengelolaan sumber daya

perusahaan kepadapihak-pihak yang berkepentingan terhadap

perusahaan selama periode tertentu. Sedangkan laporan keuangan itu

sendiri merupakan salah satu sumber informasi keuangan perusahaan

yang dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat beberapa

keputusan, seperti penilaian kinerja manajemen, penentuan kompensasi

manajemen, pemberian deviden kepada pemegang saham dan lain

sebagainya (Fanani et al., 2008 dalam Nurabiah 2018). Pelaporan

keuangan yang baik mencakup pelaporan yang relevan (relevance) dan

terpercaya (faithfull representation). Selain itu karakteristik kualitatif

atas pelaporan keuangan yang baik telah ditetapkan dalam Statement of

Financial Accounting Concepts (SFAC)No. 8).

Financial Accounting Standard Board (FASB)telah menjelaskan

dalam SFAC No. 8 mengenai kerangka kerja konseptual untuk

pelaporan keuangan. SFAC No. 8 ini mencakup tujuan dan karakteristik

kualitatif pelaporan keuangan, yang sebelumnya dinyatakan dalam

SFAC No. 1 dan SFAC No. 2. Tujuan pelaporan keuangan tidak

terbatas pada isi dari laporan keuangan tetapi juga pada media

17
pelaporan lainnya. Cakupan pelaporan keuangan lebih luas

dibandingkan dengan laporan keuangan. FASB menyatakan bahwa

pelaporan keuangan mencakup tidak hanya laporan keuangan tetapi

juga media pelaporan informasi lainnya, yang berkaitan langsung atau

tidak langsung, dengan informasi yang disediakan oleh sistem

akuntansi, yaitu informasi tentang sumber-sumber ekonomi, hutang,

laba periodik dan lain-lain (Ghozali &Chariri, 2007 dalam Nurabiah

2018).

2.3. Laporan Keuangan Daerah

Perubahan tata kelola keuangan daerah dimulai sejak terbitnya UU

No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara serta UU No. 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pemerintah dituntut lebih

transparan dan akuntabel dalam mempertanggungjawabkan

penggunanaan uang maupun barang.Pemerintah daerah juga dituntut

untuk menyajikan laporan keuangan daerah sebagai wujud pertanggung

jawaban pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.

Dalam konteks pemerintahan daerah, LKPD merupakan bagian

dari evaluasi kinerja pembangunan pemerintah pada tahun sebelumnya,

yang akan diproyeksikan untuk perencanaan tahun selanjutnya

( Fontanella & Rossieta 2014 dalam Nurhayati dkk, 2019). LKPD

merupakan bentuk pertanggung jawaban pengeloaan sumber ekonomi

18
yang dimiliki suatu entitas. Laporan keuangan yang dikeluarkan harus

disiapkan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku sehingga

laporan keuangan bisa dibandingkan dengan laporan keuangan tahun

sebelumnya atau jika dibandingkan dengan laporan keuanganentitas

lainnya (Suwanda, 2015). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Republik

Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 LKPD terdiri dari :

1. Laporan Realisasi Anggaran yang menyajikan ikhtisar sumber,

alokasi dan pemakaian sumber daya yang dikelola oleh pemerintah

pusat/daerah yang menggambarkan perbandingan antara angaran dan

realisasinya dalam satu periode pelaporannya. Unsur yang dicakup

secara langsung oleh LRA terdiri dari pendapatan-LRA, belanja,

transfer, dan pembiayaan.

2. Laporan Perubahan SAL menyajikan informasi kenaikan atau

penurunan Saldo Anggaran Lebih tahun pelaporan dibandingkan

dengan tahun sebelumnya.

3. Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan

mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu. Unsur

yang dicakup oleh neraca terdiri dari aset, kewajiban, dan ekuitas

4. Laporan Operasional menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi

yang menambah ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh

pemerintah pusat/daerah untuk kegiatan penyelenggaraan

pemerintahan dalam satu periode pelaporan. Unsur yang dicakup

19
secara langsung dalam Laporan Operasional terdiri dari pendapatan-

LO, beban, transfer, dan pos-pos luar biasa.

5. Laporan Arus kas menyajikan informasi kas sehubungan dengan

aktivitas operasi, investasi, pendanaan, dan transitoris yang

menggambarkan saldo awal, penerimaan, pengeluaran, dan saldo

akhir kas pemerintah pusat/daerah selama periode tertentu.

6. Laporan Perubahan Ekuitas menyajikan informasi kenaikan atau

penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun

sebelumnya.

7. Catatan Atas Laporan Keuangan meliputi penjelasan naratif atau

rincian dari angka yang tertera dalam LRA, Laporan Perubahan

SAL, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, Neraca, dan

Laporan Arus Kas. Catatan atas Laporan Keuangan juga mencakup

informasi tentang kebijakan akuntansi yang dipergunakan oleh

entitas pelaporan dan informasi lain yang diharuskan dan dianjurkan

untuk diungkapkan di dalam Standar Akuntansi Pemerintahan serta

ungkapan-ungkapan yang diperlukan untuk menghasilkan penyajian

laporan keuangan secara wajar.

Pengelolaan keuangan daerah dapat dikatakan akuntabel apabila

dilakukan penyusuanan laporan keuangan yang merupakan syarat

transparasi. Transparansi informasi terutama informasi keuangan dan

fiskal harus dilakukan dalam bentuk yang relevan dan mudah dipahami.

Opini BPK atas laporan keuangan merupakan salah satu indikator

20
laporan keuangan dinyatakan transparan. Apabila memperoleh opini

WTP, maka laporan keuangan dapat dinyatakan sudah transparan,

sebaliknya apabila opini yang diperoleh belum WTP berarti laporan

keuangan belum transparan. Perbaikan akuntabilitas keuangan oleh

pemerintah daerah dalam menyajikan laporan keuangan sesuai dengan

prinsip dan standar akuntasi yang berlaku secara umum dapat

digambarkan dengan adanya kenaikan persentase opini WTP (Suryanto,

2017 dalam Kartolo 2019).

2.4. Pemeriksaan Keuangan Daerah

Setiap tahun setelah LKPD sudah selesai disusun maka akan

diserahkan kepada BPK untuk dilakukan pemeriksaan. Tujuan dari

proses audit pemerintah mencakup pernyataan pendapat mengenai

penyajian laporan keuangan pemerintah daerahsecara adil, penilaian

atas kecukupan pengendalian internal pemerintah atas pelaporan

keuangan, dan uji kepatuhan pemerintah terhadap peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Proses ini tidak hanya memungkinkan warga

negara untuk memantau kinerja pejabat terpilih namun juga

menyediakan mekanisme dimana pejabat terpilih tersebut dapat

memperbaiki kinerja berdasarkan temuan dari audit tersebut (Cagle &

Pridgen, 2015 dalam Pajrin 2019). Berdasarkan UUNomor15 Tahun

2006 tentang BPK, pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah,

analisis, danevaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan

profesional berdasarkanstandar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran,

21
kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Keandalan dan akuntabilitas pengelolaan dan pelaporan pengelolaan

keuangan daerah dapat dipastikan dengan melakukan proses

pemeriksaan.Audit yang dilakukan oleh BPK berfungsi untuk

memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan

dan pelaporan keuangan pemerintah. Pemeriksaan BPK berpedoman

pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Pemeriksaan

keuangan yang dilakukan BPK bertujuan untuk memberikan keyakinan

yang memadai (reasonable assurance) bahwa laporan keuangan telah

disajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai prinsip

akuntansi pemerintah (SAP). Berdasarkan UUNomor15 Tahun 2004

tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan

Negara, opini audit merupakan pernyataan profesional pemeriksa

mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalamlaporan

keuangan. BPK tidak hanya memberikan opini atas laporan keuangan

tersebut,tetapi juga melaporkan hasil pemeriksaan, baik terhadap sistem

pengendalian intern maupun kepatuhan terhadap peraturan perundang-

undangan. Terdapat lima jenis opini audit yang diberikan BPK yaitu:

1. Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP -Unqualified

Opinion)mmerupakan opini tertinggi yang diberikan olehBPK

terhadap LKPD. Opini ini menjelaskan bahwa laporan keuangan

telahdiungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material

22
sehingga informasidalam laporan keuangan tersebut dapat digunakan

oleh para pengguna laporan keuangan untuk mengambil keputusan.

2. Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP -Qualified Opinion)

menyatakan bahwa laporan keuangan telah disajikan dan

diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material, namun

terdapat hal-hal tertentu yang dikecualikan.

3. Opini Tidak Wajar (TW -Adverse Opinion) menyatakan bahwa

laporan keuangan tidak disajikan dandiungkapkan secara wajar dalam

semua hal yang material sehingga informasi keuangan dalam LKPD

tidak dapat digunakan.

4. Tidak Memberikan Pendapat (TMP -Disclaimer of Opinion) adalah

opini terburuk yang dikeluarkan oleh BPK terhadap audit atas LKPD.

Auditor menyatakan menolak memberikan opini dan sekaligus

menyatakan bahwa laporan keuangan tidak dapat diperiksa sesuai

dengan standar pemeriksaan (Fontanella & Rossieta, 2014 dalam

Taufik 2019).

Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK disusun dan disajikan

dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) segera setelah kegiatan

pemeriksaan selesai. LHP BPK disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD

kemudian sesuai dengan kewenangannya untuk menindaklanjuti,

diantaranya adalah dengan membahasnya bersama pihak terkait. Selain

disampaikan kepada lembaga perwakilan, LHP BPK juga disampaikan

kepada pemerintah. Hasil pemeriksaan BPK dapat digunakan

23
pemerintah untuk melakukan koreksi dan penyesuaian yang diperlukan.

Laporan keuangan yang disampaikan kepada DPR/DPRD merupakan

laporan yang telah diperiksa (audited financial statements) dan telah

memuat koreksi yang dimaksud (Nalurita, 2015 dalam Udin Kumis

2019).

2.5. Kinerja Keuangan Daerah

Kinerja (Performance) diartikan sebagai aktivitas terukur dari

suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran

keberhasilan pekerjaan (Kamus Akuntansi Manajemen Kontemporer,

1994). Selanjutnya measurement atau pengukuran kinerja diartikan

sebagai suatu indikator keuangan dan non keuangan dari suatu

pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari suatu

aktivitas, suatu proses atau suatu unit organisasi. Pengukuran kinerja

merupakan wujud akuntabilitas, dimana penilaian yang lebih tinggi

menjadi tuntunan yang harus dipenuhi, data pengukuran kinerja dapat

menjadi peningkatan program selanjutnya.

Menurut Mardiasmo (2002 : 121) ” Sistem pengukuran kinerja

sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu

manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur

finansial dan nonfinansial”. Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan

sebagai Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah adalah tingkat

pencapaian dari suatu hasil Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, yang

meliputi anggaran dan realisasi PAD dengan menggunakan indikator

24
keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan

perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari

pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan.

Kinerja (performance) menurut kamus akuntansi manajemen

dikatakan sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode

tertentu sebagai  bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan.

Pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu sistem keuangan atau non

keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang

dicapai dari suatu aktivitas, suatu proses atau suatu uit organisasi.

Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian dari

suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi peneriman

dan belanja daerah dengan menggunakan sistem keuangan yang

ditentukan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan

selama satu periode anggaran. Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut

berupa rasio keuangan yang terbentuk dari sistem laporan

pertanggungjawaban daerah berupa perhitungan APBD.

2.5.1. Tujuan dan Manfaat Pengukuran kinerja Keuangan

Pemerintah Daerah

Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong

pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara

berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara

terus menerus dan pencapaian tujuan di masa mendatang. Salah satu

alat menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan

25
daerahnya adalah dengan melakukan análisis rasio keuangan terhadap

APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya.

Menurut Widodo (Halim, 2002 : 126) hasil análisis rasio keuangan ini

bertujuan untuk:

1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai

penyelenggaraan otonomi daerah.

2. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan

pendapatan daerah.

3.  Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam

membelanjakan pendapatan daerahnya.

4.  Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam

pembentukan pendapatan daerah.

5.  Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan

pengeluaran yang dilakukan selama periode tertentu.

2.5.2. Indikator Kinerja Keuangan Daerah

Pada dasarnya terdapat 2 hal yang dapat dijadikan sebagai

indikator kinerja, yaitu Kinerja Anggaran dan Anggaran Kinerja.

KinerjaAnggaran merupakan instrumen yang dipakai oleh DPRD untuk

mengevaluasi kinerja kepala daerah, seadngkan Anggaran Kinerja

merupakan instrumen yang dipakai oleh kepala daerah

untukmengevaluasi unit-unit kerja yang ada di bawah kendali daerah

selakumanager eksekutif. Penggunaan indikator kinerja sangat penting

untukmengetahui apakah suatu program kerja telah dilaksanakan secara

26
efisien dan efektif (Mardiasmo, 2002:19). Indikator yang digunakan

dalam mengukur kinerja keuangan daerah adalah sebagai berikut:

1. Analisis Surplus/Defisit APBD

Analisis ini digunakan untuk memantau kebijakan fiskal

dipemerintahan daerah. Analisis ini disajikan dengan 2 pendekatan

menurut (PP 58 Tahun 2005) yaitu:surplus/defisit = pendapatan

daerah-belanja daerah, sedangkan menurut PMK (Peraturan

Menteri Keuangan) 72 Tahun 2006 yaitu: surplus/defisit =

(pendapatan-belanja) + silpa + pencairan dana cadangan.

2. Derajat Desentalisasi Fiskal (DDF)

DDF antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

padaumumnya ditunjukkan oleh variabel-variabel seperti (i) PAD

terhadaptotal penerimaan daerah, (ii) Rasio Bagi Hasil Pajak dan

Bukan Pajakdaerah (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah

(TPD), (iii) RasioSumbangan Bantuan Daerah (SBD) terhadap

TPD (Halim, 2002).

3. Derajat otonomi Fiskal

Kemandirian Keuangan Daerah adalah menunjukkan

kemampuanPemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan

pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat

yang telah membayar pajak dan retribusi sebagi sumber

pendapatan yang diperlukan daerah (Halim, 2002).

4. Upaya Fiskal/Posisi Fiskal

27
Usaha pajak dapat diartikan sebagai rasio antar penerimaan

pajakdengan kapasitas membayar disuatu daerah. Salah satu

indikator yangdapat digunakan untuk mengetahui kemampuan

membayar pajakmasyarakat adalah PDRB. Jika PDRB meningkat,

maka kemampuandaerah dalam membayar pajak juga meningkat.

Hal berarti bahwa administrasi penerimaan daerah dapat

meningkatkan daya pajak (Halim, 2002).

5. Analisa Efektifitas

Analisis ini menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam

merealisasi PAD yang direncanakan, dibandingkan dengan target

yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2002).

6. Indeks Kinerja Pajak dan Restribusi Daerah

Indeks Kinerja Pajak dan Retribusi Daerah digunakan

untukmengetahui jenis pajak/retribusi daerah termasuk dalam

kategori prima, potensial, berkembang dan terbelakang.

7. Rasio Kemandirian Daerah

Rasio ini digunakan untuk mengukur pola hubungan dan

tingkatkemampuan daerah.

8. Kemampuan Pinjaman Daerah

Kemampuan suatu daerah dalam mendapatkan uang atau

manfaatdari pihak lain yang digunakan untuk mempercepat

pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan pelayanan public.

2.6. Penelitian Terdahulu

28
Penelitian ini sudah pernh diteliti oleh peneliti - peneliti

sebelumnya diantaranya Khairudin (2013) meneliti tentang “Does

Financial Performance Of Local Government Influence On The Audit

Agency Opinion”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kinerja

keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se – Indonesia yang beropini

WTP lebih baik dan berbeda secara signifikan.

Yuni Wulan Dary & Rizal (2016) melakukan penelitian tentang

Analisis Perbedaan Kinerja Keuangan Pendapatan Asli Daerah Periode

Opini Non WTP dengan Periode Opini WTP Pada Kabupaten/Kota

Provinsi Aceh periode Tahun 2013 – 2014. Penelitian ini menunjukkan

bahwa Kinerja Keuangan PAD perolehan opini Non WTP dengan Opini

WTP tidak berbeda, dari aspek Derajat Desentralisasi Fiskal, dan aspek

Kemandirian secara statistik menyatakan bahwa ada kinerja keuangan

menagalami perbedaan antara Pemerintah Daerah yang mendapatkan

opini non WTP dengan Pemerintah Daerah yang mendapatkn opini

WTP. Dari aspek Efektifitas dan aspek pertumbuhan PAD secara

statistik kinerja keuangan tidak berbeda antara Pemerintah Daerah yang

mendapatkan opini Non WTP dengan opini WTP.

Riki Kurnian, dkk (2017) melakukan penelitian tentang Analisis

Perbandingan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah yang Memperoleh

Opini WTP dengan Pemerintah Daerah yang memperoleh opini Non

WTP pada LK Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat (2015 –

2017). Hasil penelitian ini menyatakan tidak ada perbedaan kinerja

29
keuangan kriteria ekonomis dan kriteria efisiensi antara Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota yang memperoleh opini WTP dan Non WTP,

tetapi terdapat perbedaan perhitungan rasio keuangan Pemerintah

Daerah baik yang memperoleh opini WTP dan non WTP. Taufik (2017)

juga melakukan penelitian yang sama di Pemerintahan Kota Se-

Sumatera (2007 – 2011). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa kinerja

keuangn Pemerintah Daerah periode opini WTP_WDP tidak lebih dan

tidak berbeda dengan kinerja daerah opini TW_TMP.

Nurabiah (2018) melakukan penelitian tentang Analisis

perbandingan kinerja keuangan Pemerintah Daerah yang memperoleh

opini WTP di Nusa Tenggara Barat (2016). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa kinerja keuangan antara pemerintah daerah yang

memiliki opini WTP menunjukkan rasio yang berbeda sehingga tingkat

kinerjanya juga beda. Netty Nurhayati, dkk (2019) melakukan

penelitian terkit Perbandingan Kinerja Pemerintah Daerah di Indonesia

(2014-2016). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada perbedaan

kinerja keuangan pPemerintah daerah yang mendatkan opini WTP

dengan opini Non WTP.

Pajrin Sandi kartolo (2019) melakukan penelitian terkait

Komparasi Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten Muara Enim Pada

Opini WDP dan WTP (2009-2017). Hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa kinerja keuangan Pemerintah Daerah Opini WTP berbeda

30
dengan kinerja keuangan Pemerintah Daerah periode opini WDP pada

Kabupaten Muara Enim.

2.7. Pengembangan Hipotesis

Dengan kata lain output dalam hasil audit merupakan gambaran

secara keseluruhan terhadap apa yang telah dilakukan oleh pemerintah

daerah selama ini dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Untuk meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas laporan

keuangan kementerian/lembaga, maka laporan keuangan pemerintah

daerah perlu dilakukan pemeriksaan (Kawedar, 2008 dalam Kurnia, dkk

2019). Khairudin (2013) menemukan bahwa kinerja keuangan

Pemerintah Kabupaten/Kota se-Indonesia yang beropini WTP lebih

baik dan berbeda secara signifikan dibandingkan dengan kinerja

keuangan Pemerintah Daerah yang beropini Non WTP. Jika

pengelolaan keuangan suatu daerah sudah baik, diharapkan

kesejahteraan masyarakat daerah tersebut juga baik, yang

mengindikasikan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah

tersebut. Berdasarkan uraian diatas, maka dinyatakan hipotesis sebagai

berikut:

H1: Ada perbedaan Kinerja keuangan pemerintah daerah dengan opini

WTP dari kinerja keuangan pemerintah daerah yang mempunyai

opini WDP.

Laporan keuangan pemerintah merupakan bagian yang terpenting

untuk keberlangsungan organisasi sektor publik dan juga sebagai

31
bentuk dari penilaian masyarakat terhadap semua pelayanan yang telah

diberikan kepada masyakat. Semakin baik kinerja keuangansuatu

pemerintah daerah mengandung arti bahwa pengelolaan keuangan

daerahnya semakin baik dan demikian pula sebaiknya (Halim, 2004).

2.8. Kerangka Pikir

Berdasarkan uraian di atas maka kerangka pikir pada penelitian ini

digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1. Kerangka Pikir

Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah


Dengan Opini WTP Dengan Opini WDP

 Kemandirian Keuangan Daerah


 Kemandirian Keuangan Daerah  Efektifitas Keuangan Daerah
 Efektifitas Keuangan Daerah 32
 Efisiensi Keuangan Daerah
 Efisiensi Keuangan Daerah  Pertumbuhan Keuangan daerah
 Pertumbuhan Keuangan daerah
 

Sumber : Alur Pikir Penulis (2021)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengn bentuk

perbandingan (komparatif). Metode kuantitatif merupakan metode yang

digunakan oleh banyak penelitian ilmiah sebagai bagian dari pengujian ,

selain itu pendekatan penelitian ilmiah juga berguna untuk mencari tau

33
sejauh mana pengaruh dari masing-masing variabel penelitian untuk

dapat dilakukan, ini dilakukan untuk memandang suatu realitas itu

dapat diklasifikasikan, konkrit, teramati, dan terukur, jika hubungan

variabelnya bersifat sebab akibat dimana data penelitiannya berupa

angka-angka dan analisisnya menggunakan statistik (Sugiyono, 2010).

Penelitian komparatif adalah penelitian yang membandingkan

keberadaan satu variabel atau lebih pada dua atau sample yang berbeda,

atau waktu yang berbeda (Sugiyono, 2012). Dalam penelitian ini

dilakukan perbandingan tingkat kinerja keuangan pemerintah daerah

kabupaten kota di Provinsi Papua Barat yang memperoleh opini Wajar

Tanpa Pengecualian (WTP) dan Wajar Dengan Pengecualiaan (WDP)

untuk periode 2015-2019. Jenis output data yang dipakai dalam

penelitian ini yakni data dokumenter. Data dokumenter sendiri

diperoleh dari beberapa sumber yang berupa LKPD serta LHP yang

telah diterbitkan oleh badan pemeriksa keuangan. Laporan Hasil

Pemeriksaan (LHP) yang dijadikan objek penelitian merupakan LHP

(Laporan hasil pemeriksaan) yang telah di publikasikan di website

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau diperoleh dari kantor

perwakilan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang ada di masing-

masing provinsi.

3.2 Populasi dan Sampel

34
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kabupaten/Kota di

Provinsi Papua Barat yang terdiri dari 13 Kabupaten/Kota. Pemilihan

sampel berdasarkan Teknik purposive sampling, dimana sampel dipilih

berdasarkan kriteria tertentu. Adapun kriteria pemilihan sampel adalah

kabupaten/kota yang mengalami peningkatan opini WDP dari tahun

2015 menjadi WTP sampai tahun 2019.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder yang meliputi LHP BPK dan LKPD. Sedangkan sumber data

merupakan subjek dari mana data diperoleh. Sumber data dalam

penelitian ini diperoleh dari LKPD dan LHP yang sudah diperiksa oleh

BPK untuk tahun 2015 sampai dengan tahun 2019.

3.4 Defenisi Operasional

Dalam penelitian ini terdapat dua jenis variable yang digunakan

yaitu variable independent dan variable dependen. Variabel indepen

dalam penelitian ini adalah opini audit sedangkan variable dependen

adalah kinerja keuangan Pemerintah Daerah. Adapun defenisi

operasioanl setiap variable dijelaskan di bawah sebagai berikut :

3.4.1 Opini Audit

Opini audit menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 adalah

pernyataan profesional dari auditor berupa kesimpulan terkait

tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan

keuangan. Opi-ni audit dalam penelitian ini merupakan variabel

35
independen, dimana pengukuran variabel bebas bersifat non metrik

menggunakan skala nominal (Ghozali, 2016). Skala nominal

menyatakan kategori dari suatu subyek, dalam hal ini opini audit.

Variabel opini audit dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kate-

gori yaitu WTP (opini WTP) dan WDP. Kedua kategori ini diberi

kode angka, untuk kategori WTP diberi kode 1 dan WDP diberi

kode 0. Angka 1 dan 0 hanya sebagai cara untuk mengelompokkan

subyek kedalam kelompok yang berbeda (Ghozali, 2015).

3.4.2 Kemandirian Keuangan Daerah

Rasio kemandirian keuangan daerah merupakan perbandingan total

PAD dengan jumlah pendapatan transfer baik dari pusat maupun

provinsi serta pinjaman daerah. Rasio ini dapat dirumuskan sebagai

berikut (Mahmudi, 2016 dalam Nurhayati 2019). Rasio Kemandirian

dapat dirumuskan sebagai berikut :

PAD
Rasio Kemandirian = X 100%
Tarnsfer Pusat + Provinsi+ Pinjaman

3.4.3 Efektivitas Keuangan Daerah

Rasio efektivitas keuangan daerah menunjukkan kemampuan

pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan daerah sesuai

dengan yang telah dianggarkan. Rasio efektivitas dapat dirumuskan

sebagai berikut (Mahsun, 2016 dalam Nurhayati 2019). Rasio

Efektivitas Keuangan Daerah dirumuskan sebagai berikut

36
Realisasi Pendapatan Daerah
Rasio Efektivitas = X 100%
Anggaran Pendapatan Daerah

3.4.4 Efisiensi Keuangan Daerah

Rasio Efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan

antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh

pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Dapat dihitung

dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

Total Belanja
Rasio Efisiensi = X 100%
Total Pendapatan

3.4.5 Pertumbuhan Keuangan Daerah

Rasio pertumbuhan mengukur besarnya kemampuan dari pemerintah

daerah dalam meningkatkan dan mempertahankan keberhasilan yang

telah diraih dari periode ke periode berikutnya. Rasio pertumbuhan

dapat dirumuskan sebagai berikut :

Pendapatan Tahun t−Pendapatan tahun t−1


Rasio Pertumbuhan = X
Pendapatan tahun t−1

100%

3.5 Teknik Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode kuantitatif. Alat analisi yang digunakan adalah

3.5.1 Statistik Deskriptif

37
Adapaun fungsi uji statistik deskriptif yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu untuk menggambarkan data yang

diperoleh. Dari analisis statistic deskriptif akan diperoleh

nilai terendah (minimum), nilai tertinggi (maksimum), nilai

rata – rata (mean) dari data yang diolah.

3.5.2 Uji Normalitas Data

Pengujian normalitas data dimaksudkan untuk mengetahui

apakah data berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas

penting dilakukan karena untuk menentukan alat uji statistik

apa yang sebaiknya digunakan pengujian hipotesis. Apabila

data berdistribusi normal maka digunakan test parametik,

dan sebaliknya apabila data berdistribusi tidak normal maka

lebih sesuai dipilih alat uji statistik non parametik dalam

pengujian hipotesis (Wiyono,2011 dalam Khairudin 2013).

Uji statistik Kolmogorov-Smirnov dipilih karena lebih peka

untuk mendeteksi normalitas data dibandingkan pengujian

dengan menggunakan grafik (Ghozali, 2006). Penentuan

normal tidaknya data ditentukan dengan cara, apabila hasil

signifikansinya lebih besar dari tingkat signifikansi yang

sudah ditentukan (≥0,05) maka H0 diterima maka data

tersebut terdistribusi normal. Sebaliknya apabila

signifikansi uji lebih kecil dari nilai signifikansi (< 0,05) H0

ditolak maka data tersebut terdistribusi tidak normal.

38
3.5.3 Uji Hipotesis Penelitian

Pengujian hipotesis untuk variabel penelitian ini

menggunakan uji beda Independent Sample t-Test dengan

menggunakan uji dua sisi pada taraf signifikansi 0,05 atau

5% melalui software SPSS 23.0. Uji beda Independent

Sample t-Test ini digunakan untuk menguji signifikansi

beda rata-rata dua kelompok sampel yang tidak

berhubungan, yaitu yang beropini WTP dengan WDP pada

satu periode pengamatan (Gozhali, 2006).

39
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Data

Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan peneliti dalam pengambilan

sampel adalah dengan menggunakan metode purposive sampling, artinya sampel

yang dipilih dalam penelitian ini adalah populasi yang memiliki kriteria – kriteria

tertentu yang sudah ditetapkan. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan jumlah

sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 13 Kabupaten / Kota. Berikut

keterangan mengenai seleksi sampel penelitian :

Tabel 4.1
Seleksi Sampel

Keterangan Jumlah
Kabupaten / Kota di Provinsi Papua Barat 13
Kabupaten / Kota yang memiliki LKPD Lengkap dari 13
BPK
Total data pengamatan selama 5 tahun ( 5 X 13 ) 65
Sumber : data diolah penulis (2021)

Berdasarkan tabel di atas, dari 13 kabupaten/kota yang ada di Provinsi

Papua Barat semua Kabupaten / Kota yang memiliki LKPD lengkap, sehingga

total data pengamatan sebanyak 65 data.

4.2. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan

pengumpulan / penyajian data hingga memberi informasi yang berguna. Statistik

40
deskriptif berfungsi untuk untuk memberikan ringkasan dari sampel data dan tidak

menggunakan data untuk membuat kesimpulan atas populasi. Pada Tabel 4.2

akan disajikan hasil statistik deskriptif untuk variabel kinerja keuangan

pemerintah daerah yaitu kemandirian daerah, efektivitas, efisiensi, pertumbuhan

daerah sebagai berikut:

Tabel 4.2
Uji Statistik Deskriptif
Group Statistics

OPINI Mean Std. Deviation Valid N (listwise)

Unweighted Weighted

KMD ,04605 ,048860 21 21,000

EFV ,95995 ,050940 21 21,000


WDP
EFS ,94800 ,169725 21 21,000

PTD ,45495 ,827873 21 21,000


KMD ,05391 ,110689 44 44,000
EFV ,99105 ,082744 44 44,000
WTP
EFS ,89498 ,105256 44 44,000
PTD ,09491 ,126278 44 44,000
KMD ,05137 ,094824 65 65,000

EFV ,98100 ,075004 65 65,000


Total
EFS ,91211 ,130652 65 65,000

PTD ,21123 ,503673 65 65,000

Sumber : Hasil Output SPSS 21

Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat dilihat perbandingan nilai rata – rata

(mean) dari rasio kinerja keuangan pemerintah daerah yaitu Kemandirian Daerah

(KMD), Efektivitas (EFV), Efisiensi (EFS) dan Pertumbuhan Daerah (PTD)

terhadap Opini Audit. Untuk rasio kemandirian daerah yang memperoleh opini

wajar tanpa pengecualian dapat dilihat nilai rata – ratanya sebesar 0,05391

(5,391% ) sedangkan nilai rata – rata (mean) kemandirian daerah yang

41
memperoleh opini wajar dengan pengecualian sebesar 0,04605 (4, 605% ) atau

memiliki selisih sebesar 0,00786 (0,786%). Jika dilihat dari rasio kemandirian

daerah maka untuk daerah yang memperoleh opini WTP dengan daerah yang

memperoleh opini WDP masih ketergantungan dengan dana transferan dari pusat,

provinsi dan pinjaman yang dilakukan daerah. Nilai rasio masih disekitaran 0 -

25% yang berarti memiliki hubungan yang tinggi dengan dana transfer. Walaupun

perbedaan nilai tidak besar maka dapat kita simpulkan data yang memperoleh

opini wajar tanpa pengecualian memiliki tingkat kemandirian lebih tinggi

dibandingkan data yang memperoleh opini wajar dengan pengecualian.

Untuk rasio efektivitas data yang memperoleh opini wajar tanpa

pengecualian sebesar 0,99105 ( 99,105% )sedangkan data yang memperoleh opini

wajar dengan pengecualian sebesar 0,95995 ( 95,995% )atau memiliki selisih

sebesar 0,0311( 3,11% ) yang berarti bahwa data yang memperoleh opini wajar

tanpa pengecualian memiliki kemampuan lebih tinggi dalam menghasilkan

pendapatan daerah dibandingkan data yang memperoleh opini wajar dengan

pengecualian.Analisis rasio efektifitas dikatakan efektif jika rasio yang dicapai

minimal 100%. Semakin tinggi rasio efektifitas menggambarkan kemampuan

daerah semakin baik. Dalam penelitian ini daerah yang memperoleh opini audit

WTP degan daerah yang memperoleh opini WDP memiliki rasio efektifitas masih

dibawah 100% sehingga dapat disimpulkan semua darah masih kurang efektif

dalam merealisasikan pendapatan daerah.

Untuk rasio efesiensi, data yang memperoleh opini wajar tanpa

pengecualian memiliki nilai rata – rata (mean) sebesar 0,89498 ( 89,498% )

42
sedangkan untuk data yang memperoleh opini wajar dengan pengecualian

memiliki nilai rata -rata (mean) lebih tinggi sebesar 0,94800 ( 94,800% ) atau

memiliki selisih sebesar 0,0530 (5,30% ) yang berarti bahwa data yang

memperoleh opini wajar dengan pengecualian lebih efisien dalam mengeluarkan

biaya untuk memperoleh pendapatan dibandingkan dengan data yang memperoleh

opini wajar tanpa pengecualian. Analisis rasio efisiensi dikatakan semakin baik

apabila nilai rasionya dibawah 100% .Semakin kecil nilai rasio efisiensi maka

kinerja pemerintah daerah dikatakan semakin baik. Dalam penelitian ini untuk

daerah yang memperoleh opini WTP dan daerah yang memperoleh opini WDP

masih berada dikisaran 81% - 99% sehingga dapat disimpulkan belum ada daerah

yang melakukan efisiensi.

Rasio Pertumbuhan daerah untuk data yang mmperoleh opini wajar tanpa

pengecualian memiliki nilai rata – rata (mean) sebesar 0,09491 ( 9,491% )

sedangkan data yang memperoleh opini wajar dengan pengecualian memperoleh

nilai rata – rata (mean) lebih tinggi yaitu sebesar 0,45495 (45,495% ) atau

memiliki selisih sebesar 0,36004 (36,004% ) yang menunjukkan bahwa data yang

memperoleh opini wajar dengan pengecualian lebih bertumbuh dibandingkan

dengan data yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian.

4.3. Uji Normalitas Data

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah data terdistribusi

normal atau tidak yang dilakukan menggunakan analisis regresi linier. Model

regresi yang baik adalah distribusi data masing-masing variabelnya normal atau

43
mendekati normal. Pengujian normalitas dilakukan dengan Uji Kolmogorov –

Smirnov yang dilakukan terhadap data residual model regresi. Adapun pengujian

total sampel data disajikan pada Tabel 4.3 berikut ini :

Tabel 4.3.
Uji Normalitas Data
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized
Residual

N 65
Mean ,0000000
Normal Parametersa,b
Std. Deviation ,43203894
Absolute ,257
Most Extreme Differences Positive ,158
Negative -,257
Kolmogorov-Smirnov Z 2,070
Asymp. Sig. (2-tailed) ,000

Sumber : Hasil Output SPSS 21

Berdasarkan tabel 4.3 di atas maka dapaT disimpulkan data yang

digunakan dalam penelitian ini secara keseluruhan berdistribusi normal,

itu bisa dilihat dari nilai Asymp.Sig. (2-tailed) lebih kecil dari nilai alpha

yaitu 0,05 (α =5%) yaitu 0,00 < 0,05 yang menunjukkan data dalam

penelitian tidak terdistribusi secara normal. Dalam pengolahan data,

peneliti sudah melakukan penormalan data dengan cara melakukan

transform data tetapi hasil pengolahan tetap menunjukkan data tidak

terdistribusi secara normal.

4.4. Uji Hipotesis

44
Dalam penelitian ini, pengujian hipotesis dilakukan dengan

menggunakan uji beda Independent Sample T – test untuk memperoleh hasil

apakah ada perbedaan kinerja keuangan daerah Kabupaten / Kota di Provinsi

Papua Barat antara yang menerima opini WTP dengan Non WTP. Berikut tabel

perhitungan rasio kinerja keuangan untuk Kabupaten/Kota di Provinsi Papua

Barat :

Tabel 4.4. Kinerja Keuangan untuk WTP


Rasio Kemandirian 2015 -2019
No Kab/Kota 2015 2016 2017 2018 2019
1 Raja Ampat 0,004 0,044 0,034 0,042 0,020
2 Kaimana 0,028 0,041 0,038 0,034 0,051
3 Fak Fak 0,037 0,340 0,032 0,009 0,034
4 Maybrat 0,028 0,009 0,003 0,055 0,008
5 Sorong 0,055 0,065 0,681 0,005 0,043
6 Tambrauw 0,008 0,006 0,005 0,022 0,007
7 Bintuni 0,032 0,030 0,020 0,016 0,019
8 Sorsel 0,026 0,044 0,025 0,035 0,024
9 Manokwari 0,096
10 Kota Sorong - - - - 0,162
11 Manokwari 0,021
Selatan
Sumber : Data Sekunder diolah (2022)

Tabel 4.5. Kinerja Keuangan untuk Non WTP


Rasio Kemandirian 2015 -2019
No Kab/Kota 2015 2016 2017 2018 2019
1 Manokwari 0,062 0,062 0,052 0,097 -
2 Manokwari 0,009 0,009 0,014 0,010 -
Selatan
3 Peg Arfak 0,011 0,011 0,008 0,010 0,010
4 Teluk 0,026 0,026 0,010 - 0,031
Wondama
5 Kota Sorong 0,106 0,106 0,010 0,0106 -
Sumber : Data Sekunder diolah (2022)

Dari tabel di atas dapat dilihat kinerja keuangan dari sisi Kemandirian

untuk daerah yang memperoleh opini WTP dan Non WTP dari tahun 2015 –

2019. Berdasarkan perhitungan tidak ada perbedaan kinerja keuangan dari sisi

45
kemandirian untuk daerah – daerah yang memperoleh opini WTP dengan Non

WTP.

Hasil tersebut diperkuat dengan hasil pengolahan data yang

menggunakan alat uji non parametrik yaitu uji statistic Mann – Whitney U Test

(Ghozali, 2015). Hasil pengujian dapat dilihat dalam tabel 4.6 di bawah ini

Tabel 4.6
Hasil Pengujian Mann – Whitney U Test
No Variabel Mann Asym. Sig Mean Rank
Whitney - (2 – Tailed) WTP WDP
U
1 KMD 449,00 0,855 32,70 33,62
2 EFV 300,500 0,023 36,67 25,31
3 EFS 381,500 0,259 31,17 36,83
4 PTD 434,00 0,694 32,36 34,33
Sumber : Hasil Pengolahan SPSS 21

Dari tabel di atas kita dapat melihat nilai Mann Whitney -U untuk

variabel rsio keuangan yang dibandingkan dengan Asym. Sig (2 – Tailed) dimana

jika Mann Whitney – U lebih besar (>) dari nilai sig 0,05 (5%) maka tidak ada

perbedaan antara kinerja keuangan daerah yang memperoleh opini WTP dengan

kinerja keuangan daerah yang memperoleh opini WDP. Berdasarkan tabel di atas

maka hasil penelitian ini adalah tidak ada perbedaan kinerja keuangan daerah

yang memperoleh opini WTP dengan yang memperoleh opini WDP.

4.5. Pembahasan Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian inilah adalah untuk melihat apakah ada

perbedaan antara kinerja keuangan pemerintah daerah yang memperoleh opini

WTP dengan yang memperoleh opini WDP. Dari hasil pengujian hipotesis yang

46
sudah dilakukan dengan pengujian Mann – Whitney U Test diperoleh bahwa tidak

ada perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah yang memperoleh opini audit

WTP dengan yang memperoleh opini audit WDP. Itu dapat dilihat dari

perbandingan Nilai Mann Whitney U dengan nilai signifikansi sebesar 5% (0,05).

Dari tabel 4.6 di atas kita dapat melihat nilai mann whitney u untuk rasio

kemandirian daerah ( KMD ) sebesar 449,00 lebih besar dari nilai signifikansi 5%

(449,00 > 0,05), rasio efektivitas ( EFV ) sebesar 300,500 lebih besar dari nilai

signifikansi 5% (300,500 > 0,05), rasio efisiensi ( EFS ) sebesar 381, 500 lebih

besar dari nilai signifikansi 5% (381,500 > 0,05 ) dan rasio pertumbuhan daerah (

PTD ) sebesar 434,00 lebih besar dari nilai signifikansi 5% ( 434,00 > 0,05 ).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dary dan

Yahya serta Kurnia Riki dan Fefri Indra Arza (2016) yang meneliti tentang

perbandingan kinerja keungan antara daerah yang menerima opini WTP dan Non

WTP di Kabupaten / Kota Sumatera Barat. Tetapi hasil ini tidak sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Nurhayaty Netty dkk (2019). Hasil penelitian ini

memberikan bukti empiris bahwa Pemerintah Kabupaten / Kota yang

memperoleh opini WTP kenyataannya tidak selalu diikuti dengan keberhasilan

dalam kinerja pemerintah daerah. Opini WTP yang diperoleh oleh daerah belum

bisa menjadi acuan atas keberhasilan kinerja keuangan pemerintah daerah,

dikarenakan opini WTP hanya sebatas pada keberhasilan administrasi saja

( Evanna dalam Khairuddin, 2013).

Hasil penelitian ini juga menunjukan bukti empiris lain yaitu bahwa

Opini WTP juga tidak menjamin suatu daerah memiliki tingkat kesejahteraan

47
yang tinggi. Sementara sesuai dengan UUD 1945 pasal 23 ayat (1) berbunyi:

“anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan

keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan

dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.” Namun, kenyataannya dari segi kesejahteraan masyarakat

di daerah yang memperoleh opini WTP tidak berbeda atau bahkan dibawah

daerah yang memperoleh opini Non WTP. Contoh, Kabupaten Jayawijaya

menerima opini WTP selama 3 tahun berturut – turut yaitu dari tahun 2017 –

2019, tetapi menurut Badan Pusat Statistik, salah satu kabupaten yang presentase

penduduk miskinnya di atas 25 %. Sama halnya juga Kabupaten Asmat pada

tahun 2018 mengalami musibah buruk yaitu penduduknya terserang campak dan

mengalami gizi buruk padahal termasuk kabupaten yang memperoleh opini WTP

dari tahun 2017 – 2019 yang mengakibatkan 66 orang meninggal dunia karena

campak dan 10 orang meninggal dunia karena kasus gizi buruk.

Pernyataan ini diperkuat ketika dalam laporan Menteri Dalam Negeri

Republik Indonesia (2018) yang mengumumkan bahwa kabupaten Maybrat salah

satu kabupaten yang masuk dalam kategori 10 besar yang memiliki kinerja paling

rendah dan berdasarkan data BPS Papua Barat ( 2021) memiliki persentase tingkat

kemiskinan penduduk paling tinggi di Provinsi Papua Barat sampai dengan tahun

2021, dimana kita ketahui berdasarkan tabel 1.1 di atas bahwa Kabupaten Maybrat

sudah lima kali mendapatkan opini WTP . Contoh kasus lainnya adalah seperti

yang kita ketahui sampai dengan tahun 2019, opini audit atas laporan keuangan di

kabupaten/kota Provinsi Papua Barat hampir semuanya memperoleh opini WTP,

48
dimana dari 13 Kabupaten/Kota, 12 daerah yang memperoleh opini WTP, tetapi

jika dikaitkan dengan berita yang diliris BPS tahun 2021 yang diperoleh dari

searching google tingkat kemiskinan di Provinsi Papua Barat mengalami

peningkatan tingkat kemiskinan sebesar 21,67% pada tahun 2020. Berdasarkan

hasil yang diperoleh dalam penelitian ini semakin mempertegas bahwa kinerja

penyelenggaraan pemerintahan daerah belum tergambar pada kabupaten / kota

yang memperoleh opini baik yang memperoleh predikat WTP dan predikat WDP.

49
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Penelitian ini dilakukan untuk mengamati perbandingan kinerja

keuangan daerah untuk pemerintah daerah yang memperoleh opini WTP

dengan pemerintah daerah yang memperoleh opini WDP pada kabupaten /

kota di Propinsi Papua Barat tahun 2015 – 2019. Berdasarkan hasil uji

anlisis data serta pembahasan yang dilakukan pada bab sebelumnya maka

ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa tidak

ada perbedaan kinerja keuangan pemerintah daerah untuk yang

memperoleh opini audit WTP dan opini audit WDP.

2. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ada enam (4) rasio

keuangan yang digunakan dalam menilai kinerja keuangan pemerintah

daerah yaitu rasio kemandirian daerah, rasio efektivitas, rasio efisiensi,

rasio pertumbuhan. Dari ke 4 jenis rasio tersebut diperoleh bahwa hanya

50
rasio efektivitas yang memiliki perbedaan untuk daerah yang

memperoleh opini WTP dengan daerah yang memperoleh opini non

WTP.

3. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pemerintah daerah yang

memperoleh opini WTP lebih efektif dalam merealisasikan Pendapatan

Daerah dari yang ditargetkan dibandingkan dengan daerah yang

memperoleh opini WDP.

5.2. Keterbatasan

Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah:

1. Indikator pengukuran kinerja keuangan yang digunakan pada penelitian

ini terbatas pada rasio kemandirian daerah, rasio efektifitas, rasio

efisiensi, rasio pertumbuhan.

2. Penelitian dilakukan hanya tiga (5) tahun pengamatan dan hanya pada

satu provinsi saja.

3. Penelitian dilakukan hanya sebatas opini audit BPK.

5.3. Saran

Adapun saran yang diberikan kepada peneliti selanjutanya adalah

1. Menggunakan indikator lain dalam penilaian kinerja keuangan

pemerintah daerah.

2. Menambahkan durasi waktu pengamatan penelitian.

3. Menambah provinsi yang mau diteliti.

51
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (2017). Peraturan BPK –


RI No. 1 Tahun 2017. Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara.

Badan Pusat Statistik (2018). Persentase Penduduk Miskin Menurut


Kabupaten/Kota 2015 – 2017. BPS.

Dary, Yuni Wulan & M. Rizal Yahya (2016). Analisis Perbedaan Kinerja
Keuangan Pendapatan Asli Daerah PEriode Opini Non WTP Dan
Periode WTP. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi Ekonomi.
Vol.1 Hal 60 -73.

Ghozali, I (2015). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM


SPSS 19. Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Halim, A (2007). Akuntansi Sektor Publik. Akuntansi Keuangan Daerah.


Jakarta. Salemba Empat.

52
Kartolo, Pajrin Sardi (2019). Komparasi Kinerja Keuangan Pemerintah
Kabupaten Muara Enim Pada Opini WDP dan WTP. Skripsi
Fakuktas Ekonomi. Universitas Sriwijaya.

Khairudin. (2013). Does Financial Performance Of Local Government


Influence On The Audit Agency Opinion? JURNAL Akuntansi &
Keuangan , 4, 33-54.

Kurnia, Riki & Fefri Indra Arza (2017). Analisis Perbandingan Kinerja
Keuangan Pemerintah Daerah Yang Memperoleh Opini WTP
Dengan Pemerintah Daerah Yang Memperoleh Opini Non WTP.
Jurnal Eksplorasi Akuntansi. Vol.1 No.2 Seri C. 781 – 794.
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. (1996). Keputusan Menteri
Dalam Negeri. Nomor 690.900.327. 1996. Tentang Pedoman
Penilaian dan Kinerja keuangan.

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. (2009). Peraturan Menteri


Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2009 Tentang Tatacara
Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. (2018). Keputusan Menteri


Dalam Negeri Nomor 100 - 53 Tahun 2018 Tentang Peringkat
dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Secara Nasional.

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia. (2016). Keputusan Menteri


Dalam Negeri Nomor: 120 - 10421 Tahun 2016 Tentang
Penetapan Peringkat Dan Status Kinerja Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah Secara Nasional Tahun 2015.

Nurabiah (2018). Analisis PErbandingan Kinerja Keuangan Pemerintah


Daerah Yang Memperoleh Opini WTP di Provinsi Nusa Tenggara
Barat. JAA Vol. 3, No. 1, Oktober.

Nurhayati Netty, dkk (2019). Perbandingan Kinerja Pemerintah Daerah di


Indonesia. Jurnal InFestasi Vol. 15, No.1 Juni, 67 – 82.

Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2008 Tentang Pedoman Evaluasi


Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan


Daerah.

53
Taufik (2017). Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Pemerintah Kota
Se-Sumatera. Jurnal Ilmiah Gema Ekonomi, Vol 7, No.1 februari
2017.

LAMPIRAN

Mann-Whitney Test

Ranks

OPINI N Mean Rank Sum of Ranks

WDP 21 33,62 706,00

KMD WTP 44 32,70 1439,00

Total 65
WDP 21 25,31 531,50
EFV WTP 44 36,67 1613,50
Total 65
WDP 21 36,83 773,50
EFS WTP 44 31,17 1371,50
Total 65
WDP 21 34,33 721,00

PTD WTP 44 32,36 1424,00

Total 65

Test Statisticsa

KMD EFV EFS PTD

Mann-Whitney U 449,000 300,500 381,500 434,000


Wilcoxon W 1439,000 531,500 1371,500 1424,000
Z -,182 -2,266 -1,129 -,393
Asymp. Sig. (2-tailed) ,855 ,023 ,259 ,694

a. Grouping Variable: OPINI

54
Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Frequencies

OPINI N

WDP 21

KMD WTP 44

Total 65
WDP 21
EFV WTP 44
Total 65
WDP 21
EFS WTP 44
Total 65
WDP 21

PTD WTP 44

Total 65

Test Statisticsa

KMD EFV EFS PTD

Absolute ,249 ,394 ,324 ,190

Most Extreme Differences Positive ,222 ,068 ,324 ,190

Negative -,249 -,394 -,061 -,104


Kolmogorov-Smirnov Z ,939 1,485 1,220 ,718
Asymp. Sig. (2-tailed) ,342 ,024 ,102 ,681

a. Grouping Variable: OPINI

55
NPar Tests

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized
Residual
N 65
Mean ,0000000
Normal Parametersa,b
Std. Deviation ,43203894
Absolute ,257
Most Extreme Differences Positive ,158
Negative -,257
Kolmogorov-Smirnov Z 2,070
Asymp. Sig. (2-tailed) ,000

a. Test distribution is Normal.


b. Calculated from data.

56
57

Anda mungkin juga menyukai