Anda di halaman 1dari 47

PENGUKURAN KINERJA APOTEKER

DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN


DAN HASIL-HASIL PENELITIAN
PENDUKUNGNYA

Prof. Dr. Satibi, M.Si., Apt


Satibi@ugm.ac.id
Dosen Fakultas Farmasi UGM

Disampaikan di Alumni Gathering


Kementrian Kesehatan RI
1 Februari 2023
Dasar Hukum
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Nomor 51 Tahun 2009.
Tentang. Pekerjaan Kefarmasian
2. Permenkes No. 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di puskesmas
3. Permenkes No. 3 tahun 2015 ttg Peredaran, Penyimpanan,
Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi
4. Peraturan Bpom Nomor 4 Tahun 2018. Tentang. Pengawasan
Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, Dan
Prekursor Farmasi.
Interprofessionals’ collaboration in primary care
Competencies of pharmacists required in primary care
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas

Perencanaan Pengkajian
R/
Monev Permintaan
Evaluasi
PIO
Penggunaan

Administrasi Pengelolaan Penerimaan Pelayanan


Sediaan Farmasi Farmasi Klinik
PTO Konseling

Pengendalian Penyimpanan

Pemusnahan Distribusi MESO Visite


*Permenkes 74 tahun 2016
Mengapa indikator diperlukan untuk pelayanan
kefarmasian?

Sumber:
https://www.slideshare.net/AdamFitzGerald/what-
metrics-matter-in-developer-relations
Proses Manajemen

INPUT PROSES OUTPUT

Pemenuhan standar INDIKATOR-standar INDIKATOR-standar


INPUT PROSES OUTPUT

4.9%
death

13.7%
permanent
disability

5% permanent
disability
MODEL MANAJEMEN STRATEGIS
PERUMUSAN STRATEGI IMPLEMENTASI STRATEGI EVALUASI &
PENGAMAT PENGENDALI
AN AN
LINGKUNG MISI
AN
EKSTERNAL TUJUAN
LINGKUNG
AN SOSIAL

STRATEGI

PROGRAM
LINGKUNG
AN TUGAS

LINGKUNG ANGGARAN
AN
INTERNAL
PROSEDUR
STRUKTUR
BUDAYA
SUMBER
DAYA
KINERJA
Definisi
• Indikator adalah sebuah kriteria yang digunakan untuk mengukur
adanya perubahan, baik langsung maupun tidak langsung, dan untuk
menilai kesesuaian dengan tujuan dan target dari program yang
dilaksanakan (Quick 1997)
• Indikator adalah suatu alat ukur kuantitatif yang digunakan untuk
monitoring, evaluasi dan mengubah atau meningkatkan mutu
pengelolaan obat di suatu pelayanan kesehatan (Nadzam, 1996)
Evaluasi
• Evaluasi adalah penilaian secara pereodik kemajuan yang dapat dicapai
dari perjalanan program dalam mencapai tujuan jangka panjang
• Evaluasi adalah proses dimana aktivitas-aktivitas dan hasil kinerja
sesungguhnya dibandingkan dengan kinerja yang diinginkan.
• Pengukuran kinerja dengan indikator → output
• Selain itu dapat berupa indikator input, dan proses
Key Performance Indicator
•Generally there are two approaches
KPI based on Strategic themes
KPI Based on Critical success factors

They both drive from:


Objectives from strategic aims
Performance indicators flowing from objectives
Status and progress indicators
Year on year change indicators
What are
KPIs?

• Secara sederhana, KPI adalah ukuran yang digunakan oleh


sektor atau organisasi untuk menentukan keberhasilan dan
melacak kemajuan dalam mencapai tujuan strategisnya.
• Key Performance Indicator (KPI) adalah ukuran kuantitatif
dan kualitatif yang digunakan untuk meninjau kemajuan
organisasi terhadap tujuannya.
• KPI sebagai alat ukur.
(Alahmed, 2017)

15
What are
KPIs?
• KPI berfokus pada aspek kinerja organisasi yang paling penting bagi
kesuksesan organisasi saat ini dan masa depan.

• KPI mengukur kinerja dengan menunjukkan tren untuk menunjukkan


bahwa perbaikan dilakukan dari waktu ke waktu.

• KPI juga mengukur kinerja dengan membandingkan hasil terhadap


standar atau kinerja dari organisasi sejenis lainnya.

16
Characteristics of good
KPIs
• People often use the acronym “SMART” to refer to
the characteristics of good performance indicators.

Specific Measurable Achievable

Relevant: Time-bound

19
https://doi.org/10.21315/mjms2019.26.4.13
Malays J Med Sci. 2019;26(4):110–121

16
26 indikator pengelolaan obat dan 19 indikator
Pelayanan Farmasi Klinik
Beberapa penelitian yang terkait signifikansi kinerja
Apoteker di Puskesmas:
1. Developing Consensus Indicators to Assess Pharmacy Service Quality at Primary Health
Centres in Yogyakarta, Indonesia
2. Kinerja Apoteker di Puskesmas Kota Y, Br dan Kota Bm (2016,2017)
3. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Pelayanan Kefarmasian Puskesmas Di
Kota S (2018)
4. Evaluasi Peranan Tenaga Kefarmasian Dalam Pelayanan Dan Pengelolaan Obat, BMHP, dan
Alkes Program Poned Di Puskesmas Kota Semarang dan Brebes (2017,20180
5. Analisis Mutu Pengelolaan Obat dan Farmasi Klinik DI Puskesmas (Yogyakarta, Bantul,
Sleman, OKI Sumatra Selatan, Kota Mataram, Maluku Tengah, Garut, Kupang, Tulung
Agung (dilakukan 2018,2019)
6. Penelitian Lain yang terkait
Gambaran ketersediaan obat dan nilai ITOR di
beberapa kabupaten Propinsi di Indonesia

1/26/2023 19
Satibi, dkk., 2019
Gambaran ketersediaan obat dan nilai ITOR di
beberapa kabupaten Propinsi di Indonesia

Satibi, dkk., 2019


1/26/2023 20
Analisis Kinerja Apoteker dan Faktor Yang Mempengaruhi
Pada Era Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas
CAPAIAN KINERA APOTEKER DI
PUSKESMAS
capaian ± SD
Aspek Kategori
(%)
Pengelolaan Obat 77,14 ± 3,22 Tinggi
Pelayanan Farmasi Klinis 89,97 ± 9,79 Tinggi
Keseluruhan Aspek 82,13%±5,11 Tinggi

Capaian kinerrja apoteker di Puskesmas Kota Banjarmasin termasuk dalam


kategori tinggi. Berdasarkan capaian kinerja tersebut apoteker di
puskesmas dapat dikatakan telah melakukan pekerjaannya dengan baik
sesuai dengan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas pada aspek
pengelolaan obat maupun pelayanan farmasi klinis

Satibi dkk, 2018


CAPAIAN KINERJA PADA
ASPEK PENGELOLAAN
OBAT
Kinerja apoteker pada aspek pengelolaan
obat secara keseluruhan termasuk dalam
kategori tinggi. Namun jika dilihat pada
masing-masing indikator, masih terdapat
indikator yang memiliki kategori capaian
sedang, rendah dan sangat rendah yaitu
ketepatan permintaan obat, tingkat
ketersediaan obat dengan kategori aman
(12-18 bulan), Persentase Obat
Mengalami Over Stock dan ITOR.
Indikator diatas saling berhubungan satu
dengan yang lainnya.
CAPAIAN KINERJA PADA ASPEK
FARMASI KLINIS
Kinerja apoteker pada aspek farmasi klinis termasuk
kedalam kategori tinggi. Namun masih terdapat
indikator yang perlu di tinjau kembali karena
memiliki capaian kinerja pada kategori rendah yaitu
pada indikator konseling. Penelitian ini menunjukan
bahwa terdapat apoteker di puskesmas yang belum
melakukan konseling kepada pasien, selain itu juga
terdapat apoteker yang melakukan konseling namun
belum secara maksimal karena tidak semua
puskesmas memiliki fasilitas konseling,
pendokumentasian terhadap konseling yang
dilakukan juga hanya dilakukan oleh beberapa
apoteker saja. Penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Supardi dkk. (2012) menemukan bahwa
konseling obat oleh apoteker di Puskesmas hanya
dilakukan secara terbatas mengingat ketersediaan
waktu dan belum tersedianya ruangan khusus
konseling di sebagaian besar puskesmas.

Satibi dkk, 2018


Kinerja Apoteker Aspek Pengelolaan Obat
Daerah Status N Rerata capaian ± SD (%) Nilai p*
Yogyakarta BLUD penuh 8 79,97 ± 1,66
Brebes BLUD holding 5 74,24 ± 1,59
0.002**
Banjarmasin Non BLUD 5 76,48 ± 3,79
MEAN 77,41 ± 3,38
Keterangan:
*Uji oneway ANOVA
**Nilai p < 0,05

Ada perbedaan kinerja apoteker


dalam pengelolaan obat yang
signifikan antara Puskesmas
Yogyakarta, Brebes, dan
Banjarmasin yang memiliki status
hukum yang berbeda

Satibi dkk, 2018


KINERJA APOTEKER ASPEK PELAYANAN FARMASI
KLINIK
Daerah Status N Rerata capaian ± SD (%) Nilai p*
Yogyakarta BLUD penuh 8 95,31 ± 2,68
Brebes BLUD holding 5 86,18 ± 7,63
Banjarmasin Non BLUD 5 85,20 ± 9,79 0,008**

MEAN 89,97 ± 9,79


Keterangan:
*Uji Kruskal-Wallis
**Nilai p < 0,05

Kinerja apoteker dalam pelayanan farmasi klinis lebih


tinggi dibanding dalam pengelolaan obat (77,41 ± 3,38)
Ada perbedaan kinerja apoteker dalam
pelayanan farmasi klinik yang signifikan
antara Puskesmas Yogyakarta, Brebes, dan
Banjarmasin yang memiliki status hukum
pengelolaan obat lebih banyak urusan yang berbeda
administratif yang sering lalai dilakukan apoteker
akibat beban kerja yang tinggi.

Satibi dkk, 2018


Capaian Kinerja Apoteker Keseluruhan
Rerata capaian ± SD
Daerah Status N Persentase
(%)
Yogyakarta BLUD penuh 8 44,44 % 86,19 ± 1,48
Brebes BLUD holding 5 27,78 % 78,01 ± 3,36
Banjarmasin Non BLUD 5 27,78 % 79,79 ± 5,94
MEAN 82,14 ± 5,12
Keterangan:
*Uji Kruskall Wallis
**Nilai p < 0,05

Urutan Kinerja Apoteker :


1. Puskesmas Kota Yogyakarta
2. Puskesmas Kota Banjarmasin
3. Puskesmas Kabupaten Brebes

Satibi dkk, 2018


Status hukum puskesmas secara tidak langsung mempengaruhi kinerja apoteker dari segi penyediaan barang dan/atau jasa dan fleksibilitas dalam
mengelola keuangan dimana seharusnya urutan kinerja apoteker yang tertinggi adalah apoteker yang bekerja di puskesmas dengan status BLUD
penuh (Kota Yogyakarta), diikuti BLUD holding (Kabupaten Brebes), dan terakhir puskesmas dengan status non BLUD (Kota Banjarmasin).

Hanya Puskesmas Kabupaten Brebes yang belum terakreditasi → dokumentasi Standar Operasional Prosedur, Laporan Penggunaan Obat Generik
dan Penggunaan Obat Rasional, Konseling, dan lain-lain tidak dikerjakan → keterbatasan baik dari segi kualitas maupun kuantitas sumber daya
manusia dalam hal ini adalah tenaga kefarmasian (apoteker dan tenaga teknis kefarmasian) yang menyebabkan terjadinya overload beban kerja
sehingga ada beberapa elemen yang terbengkalai/tidak dikerjakan seperti dokumentasi dan konseling.

Status Puskesmas yang berbentuk BLUD holding disisi lain juga menuntut apoteker untuk membuat dokumen tersendiri yang
dilaporkan ke PPK-BLUD sehingga makin menambah daftar panjang beban kerja yang dimiliki oleh apoteker.

Hal inilah yang menyebabkan kinerja apoteker yang bekerja di Puskesmas Kabupaten Brebes berada di urutan terakhir walaupun
memiliki fleksibilitas dalam mengelola keuangan dan penyediaan barang dan/atau jasa
Uji Statistik Kinerja Apoteker Antar Daerah
Nilai p (α = 0,05)
Kinerja Apoteker
Keseluruhan* Antar Puskesmas**
Yogyakarta vs Brebes 0,003***
Yogyakarta vs Banjarmasin 0,004*** 0,012***
Banjarmasin vs Brebes 0,754
Keterangan:
*Uji Kruskal Wallis
**Uji Mann-Whitney
***Nilai p < 0,05
1. Terdapat perbedaan
Ada perbedaan kinerja yang signifikan antara
apoteker dalam pelayanan kinerja apoteker yang
Seharusnya tidak ada farmasi klinik yang bekerja di Yogyakarta
signifikan antara Puskesmas dengan Banjarmasin
perbedaan kinerja secara Yogyakarta, Brebes, dan dan Brebes
statistik karena walaupun Banjarmasin yang memiliki 2. Tidak ada perbedaan
berbeda status hukum, status hukum yang berbeda yang signifikan antara
apoteker menggunakan kinerja apoteker yang
Standar yang sama bekerja di Banjarmasin
dan Brebes

Satibi dkk, 2018


Faktor-Faktor yang Mempengruhi Kinerja Apoteker
di Puskesmas
JENIS KELAMIN
Skor
Faktor Kategori n (N=18) Nilai p
Mean SD
Laki-laki 5 7,79 0,40
Jenis Kelamin* 0,025**
Perempuan 13 8,38 0,46
Keterangan:
*Independent sample t-test
**nilai p<0,05

Faktor jenis kelamin memberikan pengaruh terhadap kinerja Apoteker di Puskesmas. Kinerja
Apoteker perempuan lebih tinggi dari kinerja laki-laki (Khaliq dkk., 2005; Green dkk., 2009;
Penm dan Chaar, 2009; Schafheutle dkk., 2011).

Satibi dkk, 2018


USIA

Skor
Faktor Kategori n (N=18) Nilai p
Mean SD
< 30 tahun 3 8,39 0,34
Usia** 30-40 tahun 13 8,20 0,54 0,761
> 40 tahun 2 8,04 0,72
Keterangan:
*One Way ANOVA

Faktor usia tidak mempengaruhi kinerja apoteker di puskesmas (p=0,761). Rerata skor pada
kategori usia <30 tahun lebih tinggi dibandingkan pada kategori usia >40 tahun. Pekerja yang
lebih muda lebih mudah beradaptasi, fleksibel dan mudah menerima teknologi baru
(Robbins dan Judge, 2015; Schafheutle dkk., 2011; Szeinbach dkk., 2007).

Satibi dkk, 2018


PENDIDIKAN TERAKHIR

Skor
Faktor Kategori n (N=18) Nilai p
Mean SD
Apoteker 17 8,18 0,51
Pendidikan Terakhir* 0,333
Strata 2 1 8,71
Keterangan:
*Independent sample t-test

Faktor tingkat pendidikan tidak memberikan pengaruh pada kinerja apoteker di puskesmas,
meskipun skor kategori Strata 2 lebih tinggi dari Apoteker. Tingkat pendidikan tidak
mempengaruhi kinerja pegawai pemerintah (Ng dan Feldman, 2009; Shaffril dan Uli, 2010)

Satibi dkk, 2018


LAMA BEKERJA

Skor
Faktor Kategori n (N=18) Nilai p
Mean SD
< 3 tahun 4 8,13 0,59
Lama Bekerja* 3-7 tahun 9 8,38 0,37 0,392
>7 tahun 5 7,99 0,67
Keterangan:
*One Way ANOVA

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara lama bekerja dan kinerja apoteker di Puskesmas, lama
bekerja pada kategori lama kerja <3 tahun dan lama kerja 3-7 tahun memiliki rerata yang lebih tinggi
dibandingkan dengan lama kerja >7 tahun. Apoteker dengan lama bekerja lebih pendek memiliki
kinerja yang lebih baik, terkait dengan kemampuan adaptasi (Austin dkk., 2004; Robbins dan Judge,
2015; Schafheutle dkk., 2011).

Satibi dkk, 2018


PENGHASILAN

Skor
Faktor Kategori n (N=18) Nilai p
Mean SD
< Rp. 1.500.000,00 2 7,70 0,48
Rp. 2.600.000,00 - Rp. 3.500.000,00 4 8,43 0,37
Penghasilan* 0,189
Rp. 3.600.000,00 - Rp. 5.000.000,00 10 8,32 0,52
> Rp. 5.000.000,00 2 7,76 0,34
Keterangan:
*One Way ANOVA

Faktor penghasilan tidak memberikan pengaruh (nilai p < 0,05) pada kinerja apoteker di
puskesmas. Penghasilan tidak memberikan pengaruh signifikan pada personel yang bekerja di
fasilitas publik (Lee dan Sabharwal, 2016).
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi
Pelayanan Kefarmasian Puskesmas Di Kota Semarang (2018)
Peran SDM Farmasi terhadap
Pelayanan Kefarmasian

SDM Farmasi Rata-rata Nilai Yanfar ± SD Uji Independent Sample


T-Test (Sig.2-tailed)
Apoteker (n=16) 88,44 ± 5,549
0,000
TTK (n=20) 79,56 ± 3,360
Keterangan : n = Frekuensi

Hasil uji Independent Sample T Test diperoleh nilai signifikasi 0,000


kurang dari probabilitas 0,05 dengan demikian terdapat perbedaan
peran SDM farmasi dalam pelayanan kefarmasian di Puskesmas
Kota Semarang. Pelayanan kefarmasian di Puskesmas lebih baik
dari pada tenaga teknis kefarmasian(TTK).

35
Ketersediaan Anggaran
HASIL PENELITIAN Farmasi Klinik

Seluruh Puskesmas di Kota Semarang sudah mengalokasikan


anggaran untuk pengadaan sediaan farmasi dan BMHP, hanya
10 Puskesmas yang memanfaatkan anggaran BLUD untuk
penyediaan tenaga farmasi.
Anggaran Rata-rata Nilai Yanfar ± SD Uji Independent Sample
T-Test (Sig.2-tailed)
Ada (n=10) 86,50 ± 5,681
0,079
Tidak (n=26) 82,42 ± 6,172
Keterangan : n = Frekuensi

Nilai signifikasi yang diperoleh lebih dari probabilitas 0,05 dengan


demikian tidak terdapat perbedaan pelayanan kefarmasian di
Puskesmas Kota Semarang berdasarkan ketersediaan Anggaran
untuk pendidikan dan pelatihan farmasi klinik serta pengadaan
tenaga farmasi.
36
HASIL PENELITIAN Tipe Puskesmas

Terdapat perbedaan pelayanan kefarmasian di Puskesmas Kota


Semarang berdasarkan Tipe Puskesmas (Rawat Inap dan Rawat Jalan)
dengan nilai signifikasi 0,000

Tipe Rata-rata Nilai Yanfar Uji Independent Sample


± SD T-Test (Sig.2-tailed)
RI (n=11) 88,82 ± 6,493
0,000
RJ (n=25) 81,24 ± 4,576
Keterangan : n = Frekuensi; RI = Rawat Inap; RJ = Rawat Jalan

Hal ini berhubungan dengan ketersediaan atau penempatan


Apoteker lebih diutamakan untuk Puskesmas Rawat Inap, karena
belum semua Puskesmas di Kota Semarang memiliki tenaga
Apoteker
37
Evaluasi Peranan Tenaga Kefarmasian Dalam Pelayanan
Dan Pengelolaan Obat, Bmhp, dan Alkes Program Poned
Di Puskesmas Kota Semarang dan Brebes

• Tenaga teknis kefarmasian (TTK) belum melakukan semua kegiatan pelayanan farmasi klinis.
Peran TTK sebatas pengkajian administratif resep, penyiapan obat berdasarkan permintaan
resep dan penyerahan obat disertai pemberian informasi obat.
No Tenaga Kefarmasian Rata-Rata Persentase Kegiatan Uji Statistika Mann Whitney (Sig. 2-
Pelayanan Farmasi (%)±SD tailed

1 Apoteker 44,05±10,56
0,009
2 TTK 20,24±23,73

Peran apoteker dalam pelayanan farmasi klinis dan evaluasi mutu pelayanan
kefarmasian di Puskesmas PONED lebih baik daripada tenaga teknis kefarmasian,
sehingga bisa mendorong untuk pemenuhan apoteker di Puskesmas PONED oleh
Dinas Kesehatan Kota Semarang baik melalui CPNS dan BLUD.

38
Ketersediaan dan Kecukupan
Obat: BMHP:
Ketersediaan 26,50 ±30,73 bulan Ketersediaan 23,24 ±38,35 bulan
Kecukupan 77,09 ± 6,46% Kecukupan 57,47 ± 2,46%

Analisa Statistika
Obat PONED BMHP PONED
▰Tidak terdapat perbedaan yang signifikan
ketersediaan

ketersediaan
peran tenaga kefarmasian dalam pengelolaan
Kecukupan

Kecukupan
Tingkat

Tingkat

Tingkat

Tingkat
N Puskesma
±SD ±SD ±SD ±SD
o s PONED
(Bulan) (%) (Bulan) (%) ketersediaan dan kecukupan obat dan BMHP
PONED di Puskesmas PONED Kota
1 Apoteker 26,86 28,86 79,17 4,78 20,99 36,65 56,32 17,35 Semarang.
2 TTK 26,14 32,60 75,00 8,27 25,50 40,05 58,62 9,12

Uji Statistika
T-Test (Sig. 2- 0,623 0,492 0,421 0,849
tailed)

39
Analisis Mutu Pengelolaan Obat dan Farmasi
Klinik Di Puskesmas

(Yogyakarta, Bantul, Sleman, OKI Sumatra Selatan,


Kota Mataram, Maluku Tengah, Garut, Kupang,
Tulung Agung (2018,2019)

40
Rekapan Hasil
• Dari 9 kabupaten dan Kota, Puskesmas yang memiliki apoteker
pelaksanaan pelayanan Farmasi klinik lebih baik dibandingkan
dengan yang tidak ada apotekernya
• Pengelolaan obat antara yang memiliki apoteker dan Tidak,
tidak banyak perbedaan secara statistic, namun dari penilian
sedikit lebih baik Apoteker. Indikator yng masih jauh dari
standar adalah Inventory Turn Over Ratio masih sangat kecil
dan ketersesediaan obat cenderung berlebih (> 18 bulan)

41
Relationship of The Availability of Phamacist with Characteristics of
Primary Health Center and Pharmacy Practice in Health Center)

Herman, M.J.*, Sudibyo supardi, S.,* dan Yuniar, Y.,*


• Sebanyak 17,5% puskesmas di Indonesia memiliki
Apt sedangkan 32,2% puskesmas tidak memiliki
tenaga kefarmasian sama sekali.
• Apt dan TTK lebih banyak bekerja di lokasi
puskesmas perkotaan, jenis puskesmas
perawatan, bukan di daerah terpencil dan
memiliki status kepegawaian PNS.
• Apt dalam memberikan pelayanan farmasi,
mengelola obat dan menyusun LP-LPO dengan
lengkap lebih baik dari pada TTK. Demikian pula
TTK dalam memberikan pelayanan farmasi,
mengelola obat dan menyusun LP-LPO dengan
lengkap dalam setahun lebih baik dibandingkan
dengan tenaga non-farmasi

Herman, M.J dkk, 2013


Herman, M.J dkk, 2013
Tabel 3 menunjukkan persentase terbesar
puskesmas yang memiliki tenaga profesi Apt
memberikan pelayanan farmasi dengan baik
(26,6%)
diikuti oleh tenaga TTK saja (19,7%) dan bila
tidak adatenaga kefarmasian (12,1%).

Tabel 4 menunjukkan persentase terbesar


puskesmas yang memiliki tenaga profesi Apt
melakukanpengelolaan obat dengan baik
(27,3%) diikuti olehpuskesmas yang memiliki
tenaga TTK saja (23,3%) dan puskesmas yang
tidak ada tenaga kefarmasian
(16,0%).

Herman, M.J dkk, 2013


• Dalam Penyusunan LPLPO, keberadaan
Apt terlihat lebih lengkap dibandingkan
TTK apalagi tanpa tenaga farmasi.

Herman, M.J dkk, 2013


Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai