Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Perkembangan Psikologi Anak


1. Pengertian Perkembangan Anak
Secara umum, dapat diartikan bahwa perkembangan merupakan pola
perubahan yang dimulai pada saat konsepsi (pembuahan) dan berlanjut di
sepanjang rentang kehidupan. Kebanyakan perkembangan melibatkan
pertumbuhan, meskipun perkembangan juga meliputi penurunan.1
Perkembangan adalah suatu perubahan fungsional yang bersifat kualitatif,
baik dari fungsi-fungsi fisik maupun mental sebagai hasil keterkaitannya
dengan pengaruh lingkungan. Perkembangan ditunjukkan dengan perubahan
yang bersifat sistematis, progresif, dan berkesinambungan. Sampai beranjak
dewasa dan mengerti dengan sendirinya, mana yang harus dilakukan dan
mana pula yang harus ditinggalkan.
Perkembangan manusia merupakan suatu studi ilmiah tentang pola-
pola perubahan dan stabilitas di sepanjang rentang kehidupan manusia. Hal itu
menunjukkan bahwa manusia mengalami perubahan dalam beberapa hal,
misalnya dalam hal tinggi dan berat badan, perbendaharaan kata, dan
kematangan berpikir. Akan tetapi, ada pula hal-hal yang cenderung menetap,
seperti temperamen dan kepribadian.2

2. Prinsip-Prinsip Perkembangan Anak


Baltes dkk mengidentifikasi tujuh prinsip kunci tentang pendekatan
perkembangan sepanjang hidup. Prinsip-prinsip tersebut menjadi kerangka

1
J.W. Santrock, Child Development 12th ed, (New York: McGraw-Hil, 2009), h.65
2
D.E. Papalia, S.W. Olds, dan R.D. Feldman, Human Development 11th ed, (New York: McGraw-Hill
Companies Inc, 2009), h.135
konseptual untuk mempelajari perkembangan sepanjang hidup (life-span
development) adalah sebagai berikut;
a. Development is Lifelong
Perkembangan adalah proses perubahan sepanjang hidup. Setiap periode
dari rentang kehidupan dipengaruhi oleh apa yang terjadi pada periode
sebelumnya dan apa yang terjadi saat ini akan pula mempengaruhi apa yang akan
terjadi kemudian.
b. Development is Multidimensional
Perkembangan berlangsung dalam banyak dimensi. Maksudnya,
perkembangan terjadi pada dimensi biologis, psikologis, dan sosial. Setiap
dimensi dapat berkembang dalam derajat yang bervariasi.
c. Development is Multidirectional
Perkembangan berlangsung dalam lebih dari satu arah. Sejalan dengan
meningkatnya kemampuan di satu area, seseorang mungkin akan mengalami
penurunan dalam area yang lain dalam waktu yang bersamaan. Anak-anak
kebanyakan tumbuh dalam satu arah yaitu kea rah peningkatan, baik dalam ukuran
maupun kemampuan. Remaja secara khusus, mengalami peningkatan dalam
kemampuan fisik, tetapi kecakapannya dalam belajar bahasa mengalami
penurunan.
d. Relative Influences of Biology and Culture Shift Over the Life Span
Proses perkembangan dipengaruhi oleh faktor biologis dan budaya.
Keseimbangan diantara kedua pengaruh tersebut berubah sepanjang waktu.
Pengaruh biologis, seperti ketajaman sensoris dan memori, menurun sejalan
dengan bertambahnya usia. Akan tetapi dukungan budaya, seperti penemuan
kacamata dan buku agenda, dapat mengompensasi penurunan yang terjadi.
e. Development Involves Changing Resource Allocations
Seseorang dapat mengalokasikan sumber-sumber yang ada, seperti waktu,
energi, talenta, uang, dan dukungan sosial dalam cara yang beragam. Pertama,
sumber-sumber tersebut mungkin digunakan untuk pertumbuhan. Kedua, sumber
tersebut digunakan untuk memelihara atau memperbaiki diri. Dan yang ketiga,
sumber-sumber tersebut dipakai untuk menghadapi kehilangan atau penurunan
ketika perbaikan tidak dapat lagi dilkukan.
f. Development Shows Plasticity
Banyak kemampuan dapat ditingkatkan melalui latihan. Misalnya, anak-
anak yang mengalami kesulitan untuk membaca dan menulis, dapat dilatih dengan
mengikuti program remedial. Namun, beberapa kemampuan tetap memiliki
keterbatasan sekalipun telah dimodifikasi.
g. Development is Influenced by the Historical and Cultural Context
Manusia tidak hanya mempengaruhi tetapi juga dipengaruhi oleh konteks
sejarah dan budayanya. Sebagai contoh, seorang anak yang terbiasa hidup bebas,
mungkin akan memberontak saat berada dilingkungan yang penuh dengan
keteraturan.3
Sedangkan menurut Syaodih, dalam perkembangan anak dikenal prinsip-
prinsip perkembangan sebagai berikut;
a. Perkembangan berlangsung seumur hidup dan meliputi semua aspek.
Perkembangan bukan hanya berkenaan dengan aspek-aspek tertentu tetapi
menyangkut semua aspek. Perkembangan aspek tertentu mungkin lebih terlihat
dengan jelas, sedangkan aspek yang lainnya lebih tersembunyi.
b. Setiap anak memiliki kecepatan (tempo) dan kualitas perkembangan yang
berbeda. Seorang anak mungkin mempunyai kemampuan berpikir dan membina
hubungan sosial yang sangat tinggi dan tempo perkembangannya dalam segi itu
sangat cepat, sedangkan dalam aspek lainnya seperti keterampilan atau estetika
kemampuannya kurang dan perkembangannya lambat.
c. Perkembangan secara relatif beraturan, mengikuti pola-pola tertentu.
Perkembangan suatu segi didahului atau mendahului segi yang lainnya. Anak bisa
merangkak sebelum anak bisa berjalanan, anak bisa meraban sebelum anak bisa
berbicara.
d. Perkembangan berlangsung secara berangsur-angsur sedikit demi sedikit. Secara
normal perkembangan itu berlangsung sedikit demi sedikit tetapi dalam situasi-
situasi tertentu dapat juga terjadi loncatan-loncatan. Sebaliknya dapat juga terjadi
kemacetan perkembangan aspek tertentu.
e. Perkembangan berlangsung dari kemampuan yang bersifat umum menuju ke yang
lebih khusus, mengikuti proses diferensiasi dan integrasi. Perkembangan dimulai
dengan dikuasainya kemampuan-kemampuan yang bersifat umum.
3
Ibid., h.145-147
f. Perkembangan individu mengikuti seluruh fase, tetapi karena faktor-faktor
khusus, fase tertentu dilewati secara cepat, sehingga nampak keluar seperti tidak
melewati fase tersebut. sedangkan fase lainnya diikuti dengan sangat lambat,
sehingga nampak seperti tidak berkembang.
g. Perkembangan suatu aspek dapat dipercepat atau diperlambat. Perkembangan
dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan juga faktor lingkungan. Kondisi yang
wajar dari pembawaan dan lingkungan dapat menyebabkan laju perkembangan
yang wajar pula.
h. Perkembangan aspek-aspek tertentu berjalan sejajar atau berkorelasi dengan aspek
lainnya. Perkembangan kemampuan sosial berkembang sejajar dengan
kemampuan berbahasa dan kemampuan motorik sejajar dengan kemampuan
pengamatan.
i. Pada saat-saat tertentu dan dalam bidang-bidang tertentu perkembangan pria
berbeda dengan wanita. Pada usia 12-13 tahun, anak wanita lebih cepat matang
secara sosial dibandingkan dengan pria. Fisik pria pada umumnya tumbuh lebih
tinggi dibandingkan dengan wanita. Pria lebih kuat dalam kemampuan inteleknya
sedangkan wanita lebih kuat dalamkemampuan berbahasa dan estetikanya.4

3. Aspek-Aspek Perkembangan Anak


Dodge dkk membagi area perkembangan ke dalam empat aspek, yaitu aspek
sosial-emosional, aspek fisik, aspek kognitif, dan aspek bahasa. Dalam pendidikan
Taman Kanak-Kanak (TK) di Indonesia, ada enam aspek yang menjadi fokus program
pengembangan, yaitu aspek pengembangan fisik, bahasa, kognitif, sosial-emosional,
seni, serta moral dan nilai-nilai agama.5
Secara umum, para ahli perkembangan sering membagi aspek-aspek tersebut
ke dalam tiga area besar, dengan istilah yang berbeda. Menurut Santrock aspek
perkembangan adalah sebagai berikut;
a. Perkembangan Motorik
Pertumbuhan fisik pada setiap anak tidak selalu sama, ada beberapa anak
yang mengalami pertumbuhan secara cepat, tetapi ada pula yang mengalami
keterlambatan. Pada masa kanak-kanak, pertumbuhan tinggi badan dan berat
badan relatif seimbang, tetapi secara bertahap tubuh anak akan mengalami
4
Ernawulan Syaodih, Bimbingan di Taman Kanak-Kanak, (Jakarta: Dikti Depdiknas, 2004), h.42
5
D.T. Dodge, L.J. Colker, dan C. Heroman, The Creative Curriculum for Preschool 4th ed, (Washington DC:
Teaching Strategies Inc, 2002), h.20
perubahan. Di masa bayi, anak memiliki penampilan yang gemuk, maka secara
perlahan-lahan tubuhnya berubah menjadi lebih langsing, sedangkan kaki dan
tangannya mulai memanjang. Ukuran kepala masih tetap besar jika dibandingkan
dengan tubuhnya, namun pada akhir masa kanak-kanak ukuran kepala tidak lagi
terlalu besar jika dibandingkan dengan tubuhnya.
Selain berubahnya berat dan tinggi badan, anak juga mengalami perubahan
fisik secara proporsional. Pada masa kanak-kanak, anak mengalami perubahan
fisik menuju proporsi tubuh yang lebih serasi, walaupun tidak seluruh bagian
tubuh dapat mencapai proporsi kematangan dalam waktu yang bersamaan.
b. Perkembangan Kognitif
Kognitif atau sering disebut kognisi mempunyai pengertian yang luas
mengenai berfikir dan mengamati. Ada yang mengartikan bahwa kognitif adalah
tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengetahuan atau yang
dibutuhkan untuk menggunakan pengetahuan. Selain itu kognitif juga dipandang
sebagai suatu konsep yang luas dan inklusif yang mengacu kepada kegiatan
mental yang terlibat di dalam perolehan, pengolahan, organisasi, dan penggunaan
pengetahuan. Proses utama yang digolongkan di bawah istilah kognisi mencakup
mendeteksi, menafsirkan, mengelompokkan dan mengingat informasi,
mengevaluasi gagasan, menyimpulkan prinsip dan kaidah, mengkhayal
kemungkinan, menghasilkan strategi, dan berfantasi.
Kognisi dapat dipandang sebagai kemampuan yang mencakup segala
bentuk pengenalan, kesadaran, pengertian yang bersifat mental pada diri individu
yang digunakan dalam interaksinya antara kemampuan potensial dengan
lingkungan. Proses kognitif penting dalam membentuk pengertian, karena
berhubungan dengan proses mental dari fungsi kognitif. Hubungan kognisi dengan
proses mental disebut sebagai aspek kognitif.
Faktor kognitif memiliki pemahaman bahwa cirri khasnya terletak dalam
belajar memperoleh dan menggunakan bentuk-bentuk representasi yang mewakili
obyek-obyek yang dihadapi dan dihadirkan dalam diri seseorang melalui
tanggapan, gagasan atau lambang yang semuanya merupakan sesuatu yang
bersifat mental.
c. Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan suatu urutan kata-kata, dan bahasa dapat digunakan
untuk menyampaikan informasi mengenai tempat yang berbeda atau waktu yang
berbeda. Perkembangan bahasa seiring dengan perkembangan kognitif, keduanya
saling melengkapi, dan berkembang dalam satu lingkup sosial. Bahasa adalah
salah satu cara yang utama untuk mengekspresikan pikiran, dan dalam seluruh
perkembangan, pikiran selalu mendahului bahasa. Bahasa dapat membantu
perkembangan kognitif. Bahasa dapat mengarahkan perhatian anak pada benda-
benda baru atau hubungan baru yang ada di lingkungan, mengenalkan anak pada
pandangan-pandangan yang berbeda dan memberikan informasi pada anak.
Bahasa adalah salah satu dari berbagai perangkat yang terdapat dalam sistem
kognitif manusia.6

B. Kekerasan terhadap Anak


1. Pengertian Kekerasan terhadap Anak
Secara umum kekerasan dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang
dilakukan oleh individu kepada individu lain yang dapat mengakibatkan gangguan
fisik maupun mental. Perilaku kekerasan mengandung resiko fisik, psikologis, dan
sosial bagi orang lain maupun pelaku kekerasan. Perilaku kekerasan tidak hanya
mencakup aspek tindakan yang bersifat fisik, tetapi juga mencakup kekerasan verbal,
psikologis, dan simbolis atau kombinasi dari semua aspek-aspek tersebut.7
M. Marwan dan Jimmy (2009) menyatakan bahwa kekerasan adalah hal yang
bersifat atau berciri keras yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain
kerusakan fisik atau barang atau paksaan. Kekerasan merupakan tindakan yang
disengaja yang mengakibatkan cidera fisik atau tekanan mental.8
Anak merupakan makhluk yang membutuhkan perhatian, kasih sayang, dan
tempat bagi perkembangannya. Selain itu, anak juga merupakan pribadi yang masih
bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan. Anak
juga merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberikan kesempatan bagi
anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik
dalam kehidupan bersama.9

6
J.W. Santrock, Op. Cit., h.26
7
Syamsul Bachri Thalib, Op. Cit., h.191-192
8
L.J. Carpenito, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, (Jakarta: EGC, 2009), h.22
9
Hastuti, Psikologi Perkembangan Anak, (Yogyakarta: Tugu Plubisher, 2012), h.7
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa yang dimaksud anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dalam Islam, batas usia seorang anak adalah setelah dia mendapatkan tanda-tanda
baligh (mumayyiz).10
Menurut WHO, kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan
atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual,
melalaikan pengasuhan, dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara
nyata ataupun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat,
atau perkembangannya, tindakan kekerasan diperoleh dari orang yang brtanggung
jawab, dipercaya, atau berkuasa dalam perlindungan anak tersebut.11
Menurut Fontana (1971) dalam Soetjiningsih, memberikan pengertian
kekerasan terhadap anak dengan definisi yang lebih luas yaitu memasukkan malnutrisi
dan menelantarkan anak sebagai stadium awal dari sindrom perlakuan salah, dan
penganiayaan fisik berada pada stadium akhir yang paling berat dari spectrum
perlakuan salah oleh orang tuanya atau pengasuhnya.12 Sedangkan menurut Ricard J.
Gelles, kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan yang disengaja yang
menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak (baik secara fisik maupun
emosional).13

2. Bentuk Kekerasan terhadap Anak


Menurut Azevedo dan Viviane, mengklasifikasikan bentuk kekerasan terhadap
anak, bentuk kekerasan ini dapat dilihat sebagai berikut;
a. Kekerasan Anak Secara Fisik
Kekerasan anak secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan
penganiayaan terhadap anak, dengan menggunakan benda-benda tertentu, yang
menimbulkan luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet
memar akibat persentuhan kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan,
ikat pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau
berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada
daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung, atau daerah bokong.
10
Herlina, Minat Belajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h.2
11
Agustina Lidya, “Pengaruh Konflik Peran, Ketidakjelasan Peran, dan Kelebihan Peran terhadap Kepuasan
Kerja dan Kinerja Auditor”, Jurnal Akutansi, 2009, h.40
12
Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Anak, (Jakarta: EGC, 2005), h.511
13
Abu Huraerah, Op, Cit., h.47
Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh
tingkah laku anak yang tidak disukai oleh orang tuanya, seperti anak nakal atau
rewel, menangis terus, minta jajan, buang air, kencing atau muntah di sembarang
tempat, memecahkan barang berharga.
b. Kekerasan Anak Secara Psikis
Kekerasan anak secara psikis meliputi penghardikkan, penyampaian kata-
kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, atau film pornografi pada
anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala
perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut
keluar rumah, dan takut bertemu orang lain.14

Terry E. Lawson seorang psikiater internasional yang mengemukakan bentuk-


bentuk kekerasan terhadap anak, sebagai berikut;
a. Kekerasan Secara Fisik (Physical Abuse)
Physical abuse, terjadi ketika orang tua atau pengasuh dan pelindung anak
memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan
diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu.
Kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak.
b. Kekerasan Emosional (Emotional Abuse)
Emotional abuse, terjadi ketika orang tua atau pengasuh anak setelah
mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia memberikan
anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada
waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau
dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional itu berlangsung
konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus
menerus melakukan hal yang sama sepanjang kehidupan anak itu.

c. Kekerasan Secara Verbal (Verbal Abuse)

14
Azevedo dan Viviane, “Teori Tipologi Bentuk Kekerasan Psikologis terhadap Anak”, Jurnal Akutansi, 2012,
h.21
Verbal abuse, biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan
pola komunikasi yang berisi penghinaan ataupun kata-kata yang melecehkan anak.
Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau
juga mengkambinghitamkan anak tersebut.
d. Kekerasan Seksual (Sexual Abuse)
Sexual abuse, meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri,
anak, dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse
adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan
hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan
hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan
tertentu.15

3. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak


Terjadinya kekerasan terhadap anak disebabkan oleh beberapa faktor yang
memengaruhinya. Faktor-faktor yang memengaruhinya begitu kompleks, seperti yang
dijelaskan oleh Suharto, kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor
internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternalyang berasal dari
kondisi keluarga dan masyarakat, seperti;
a. Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, ketidaktahuan
anak akan hak-haknya, anak terlalu tergangtung kepada orang dewasa.
b. Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak
anak.
c. Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home).
d. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak,
harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan, anak lahir di
luar nikah.
e. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua.
Gangguan mental pada orang tua bisa juga memegang peran penyebab timbulnya
penganiayaan atau penelantaran anak karena pola berfikir atau keputusan-
keputusan orang tua menjadi terganggu.
f. Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan
salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya.

15
Abu Huraerah, Op. Cit., h.22
g. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, pemukiman kumuh, tergusurnya tempat
bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan
terhadap nilai anak yang terlalu rendah.16
Sementara itu menurut Rusmil, menjelaskan bahwa penyebab terjadinya
kekerasan dan penelantaran terhadap anak adalah sebagai berikut;
a. Faktor Orang Tua atau Keluarga
Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan
penelantaran terhadap anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua
melakukan hal tersebut adalah;
1) Praktik-praktik budaya yang merugikan anak.
2) Dibesarkan dengan penganiayaan.
3) Gangguan mental.
4) Belum mencapai kematangan fisik, emosi, maupun sosial.
5) Pecandu minuman keras dan obat.
b. Faktor Lingkungan Sosial atau Komunitas
Kondisi sosial juga dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan dan
penelantaran terhadap anak. Lingkungan adalah berbagai faktor dan kondisi yang
melingkupi dan sedikit banyak mempengaruhi kehidupan, serta kehidupan
seorang anak. Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan
terhadap anak antara lain;
1) Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis.
2) Kondisi sosial ekonomi yang rendah.
3) Adanya anggapan orang tua bahwa anak adalah milik orang tua sendiri.
4) Status wanita yang dianggap rendah.
5) Nilai masyarakat yang terlalu individualistis.17

4. Dampak Kekerasan terhadap Anak


Kekerasan terhadap anak memiliki faktor-faktor yang telah dipaparkan
sebelumnya, dimana dari faktor-faktor yang menjadi penyebab kekerasan terhadap

16
Edi Suharto, Pembangunan, Kebijakan Sosial danPekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran (Bandung: Lembaga
Studi Pembangunan-STKS, 1997), h.366-367
17
Abu Huraerah, Op. Cit., h. 72
anak dalam keluarga tentu saja mempunyai dampak baik secara fisik, psikis, dan
tumbuh kembang pertumbuhan anak. Anak merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang
dititipkan kepada orang tua untuk dijaga, dirawat, diberi pendidikan, dan penghidupan
yang layak, bukan dianiaya maupun ditelantarkan yang tidak lain dilakukan oleh
orang tua anak itu sendiri.
Berbagai kasus telah membuktikan bahwa terjadinya kekerasan terhadap anak
sering disertai dengan penelantaran dan penganiayaan. Baik penganiayaan atau
penelantaran terhadap anak dapat memberikan dampak pada kesehatan fisik dan
kesehatan mental anak.
Dampak yang terjadi akibat kekerasan tersebut mungkin saja diingat dalam
jangka panjang oleh sang anak tersebut hingga ia dewasa. Daan tidak menutup
kemungkinan kekerasan yang dialaminya akan ia lakukan juga terhadap anaknya
kelak.
Menurut Lidya, dampak dari kekerasan terhadap anak secara umum adalah;
a. Anak berbohong, ketakutan, kurang dapat mengenal cinta atau kasih sayang, sulit
percaya dengan orang lain.
b. Harga diri anak rendah dan menunjukkan perilaku yang destruktif.
c. Mengalami gangguan dalam perkembangan psikologis dan interaksi sosial.
d. Pada anak yang lebih besar anak melakukan kekerasan pada temannya dan anak
yang lebih kecil.
e. Kesulitan untuk membina hubungan dengan orang lain.
f. Kecemasan berat atau panik, depresi anak mengalami sakit fisik dan bermasalah
di sekolah.18
Sedangkan menurut Soetjoningsih dampak kekerasan terhadap anak yaitu;
a. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebayanya yang
tidak mendapat perlakuan salah.

b. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yang meliputi;


1) Kecerdasan

18
Agustina Lidya, “Pengaruh Konflik Peran, Ketidakjelasan Peran, dan Kelebihan Peran terhadap Kepuasan
Kerja dan Kinerja Auditor”, Jurnal Akutansi, 2009, h.52
a) Keterlambatan dalam perkembangan kognitif, bahasa, membaca, dan
motorik.
b) Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga
karena malnutrisi.
c) Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh lingkungan anak,
dimana tidak adanya stimulasi yang kuat atau karena gangguan emosi.
2) Emosi
a) Terjadi gangguan emosi dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan
hubungan sosial dengan orang lain, termasuk untuk percaya diri.
b) Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau
bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik
diri menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh,
kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, dan temper tantrum.
3) Konsep Diri
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak
dicintai, tidak dikehendaki, muram tidak bahagia, tidak mampu menyenangi
aktivitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
4) Agresif
Anak yang mendapat perlakuan salah secara badan, lebih agresif
terhadap teman sebayanya. Sering melakukan tindakan agresif tersebut meniru
tindakan orang tua mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman
sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep diri.
5) Hukuman Sosial
Pada anak-anak ini sering kurang dapat bergaul dengan teman
sebayanya atau dengan orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit teman, dan
suka mengganggu orang dewasa, misalnya dengan melempari batu atau
perbuatan-perbuatan kriminal lainnya.19

Anak yang mengalami kekerasan fisik dan seksual akan memperlihatkan


tanda-tanda sebagai berikut;
a. Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya memar, nyeri perineal, sekret
vagina, dan pendarahan anus.
19
Soetjoningsih, Op. Cit., h.525
b. Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis, dan
anoreksia atau perubahan tingkah laku.
c. Tingkah laku atau perilaku seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya.20
Anak yang mengalami atau menyaksikan peristiwa kekerasan dalam keluarga
dapat menderita post traumatic stress disorder (stres pasca trauma), yang dapat tampil
dalam bentuk sebagai gangguan tidur, sulit memusatkan perhatian, keluhan
psikosomatik (sakit kepala atau sakit perut). Anak juga akan mengalami frustasi yang
dapat membuatnya berusaha mencari pelarian yang negatif seperti melalui alkohol
atau pengguna napza.

C. Pola Asuh Orang Tua dalam Keluarga


1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua dalam Keluarga
Menurut Rohn, pola asuh adalah sikap orang tua dalam berinteraksi dengan
anak-anaknya. Sikap tersebut dapat dilihat dari beberapa segi antara lain; (1) cara
orang tua memberikan peraturan-peraturan, hadiah, dan hukuman. (2) cara orang tua
menunjukkan kekuasaan. (3) cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan
terhadap keinginan anak-anaknya. Sedangkan menurut Havighurst, pola asuh orang
tua adalah cara-cara pengaturan tingkah laku anak yang dilakukan oleh orang tua nya
sebagai perwujudan dari tanggung jawabnya dalam pembentukan kedwasaan diri
anak.21 Adapun menurut Sri Lestari, pola asuh orang tua adalah serangkaian sikap
yang ditunjukkan oleh orang tua kepada anak untuk menciptakan iklim emosi yang
meliputi interaksi orang tua dan anak.22
Keluarga adalah rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau
perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar
dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu
jaringan. Menurut Reiss, keluarga adalah suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam
pertalian keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan
terhadap generasi baru. Sedangkan Murdock menguraikan bahwa keluarga merupakan
kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerja sama
ekonomi, dan terjadi proses reproduksi.23

2. Macam-Macam Pola Asuh Orang Tua dalam Keluarga


20
Ibid., h.511
21
Aliyah Rasyid Baswedan, Wanita, Karir, dan Pendidikan Anak, (Yogyakarta: Ilmu Giri, 2015), h.102
22
Sri Lestari, Op. Cit., h.49
23
Ibid., h.4
Setiap orang tua mempunyai cara masing-masing untuk mengasuh anaknya.
Menurut Hurlock, terdapat tiga tipe pola asuh orang tua terhadap anak, yaitu sebagai
berikut;
a. Pola asuh demokratis, ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap
kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung pada
orang tua.
b. Pola asuh otoriter, ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturan-aturan
yang ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua),
kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi.
c. Pola asuh permisif, ditandai dengan cara orang tua mendidik anak yang cenderung
bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran
seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki.24
John menekankan tiga tipe macam-macam pengasuhan orang tua terhadap
anak, adalah sebagai berikut;
a. Pengasuhan otoriter, adalah suatu gaya membatasi dan menghukum yang
menuntut anak untuk mengikuti setiap perintah orang tua dan menghormati
pekerjaan dan usaha. Orang tua yang otoriter menetapkan batas-batas yang tegas
dan tidak memberi peluang yang besar kepada anak untuk berbicara. Pengasuhan
otoriter diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak.
b. Pengasuhan otoritatif, mendorong anak agar mandiri tetapi masih menetapkan
batas-batas dan pengendalian atas tindakan mereka. Orang tua memperlihatkan
kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Pengasuhan yang otoritatif
diasosiasikan dengan kompetensi sosial anak.
c. Pengasuhan permisif, terjadi dalam dua bentuk, permissive-indefferent dan
permissive-indulgent. Pengasuhan permissive-indefferent adalah suatu gaya
pengasuhan dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak, tipe
pengasuhan ini diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak, khususnya
kurangnya kendali diri. Adapun pengasuhan permissive-indulgent adalah suatu
gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak mereka
tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap mereka. Pengasuhan yang
permissive-indulgent diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak.25

24
B. Elizabeth Hurlock, Perkembangan Anak Jilid I, (Jakarta: Erlangga, 1978), h.205
25
John W. Santrock, Perkembangan Anak Edisi ke Tujuh Jilid Dua, (Jakarta: Erlangga, 2011), h.257
3. Ciri-Ciri Pola Asuh Orang Tua dalam Keluarga
Ciri-ciri pola asuh orang tua dalam keluarga menurut Baumrind adalah sebagai
berikut;
a. Pola Asuh Demokratis
1) Mendukung anak menjadi mandiri tetapi tetap menempatkan batasan dan
control pada tindakan anak.
2) Memperbolehkan diskusi yang cukup banyak.
3) Orang tua hangat dan peduli pada anak.
4) Kedudukan antara orang tua dan anak dalam berkomunikasi sejajar.
5) Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan keuntungan
kedua belah pihak.
6) Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apapun yang
dilakukan anak tetap harus ada di bawah pengawasan orang tua dan dapat
dipertanggung jawabkan secara moral.
7) Orang tua dan anak tidak dapat memaksakan sesuatu tanpa berkomunikasi
terlebih dahulu.
8) Setiap pengambilan keputusan disetujui oleh keduanya tanpa ada yang merasa
tertekan.
b. Pola Asuh Otoriter
1) Orang tua menghukum tanpa alasan.
2) Menuntut anak agar mengikuti arahan mereka tanpa menghargai kerja dan
usaha.
3) Membatasi aktifitas anak.
4) Orang tua bertindak semaunya tanpa dapat di kritik oleh anak.
5) Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa-apa yang
diperintahkan atau dikehendaki oleh orang tua.
6) Anak tidak diberi kesempatan menyampaikan apa yang dipikirkan, diinginkan,
atau dirasakannya.
c. Pola Asuh Permisif
1) Sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak.
2) Orang tua harus mengikuti keinginan anak baik orang tua setuju atau tidak.
3) Apa yang diinginkan anak selalu dituruti dan diperbolehkan orang tua.
4) Anak cenderung menjadi bertindak semena-mena.26
26
Iriani Indri Hapsari, Psikologi Perkembangan Anak, (Jakarta: PT. Indeks, 2016), h.201

Anda mungkin juga menyukai