KAJIAN TEORI
1
J.W. Santrock, Child Development 12th ed, (New York: McGraw-Hil, 2009), h.65
2
D.E. Papalia, S.W. Olds, dan R.D. Feldman, Human Development 11th ed, (New York: McGraw-Hill
Companies Inc, 2009), h.135
konseptual untuk mempelajari perkembangan sepanjang hidup (life-span
development) adalah sebagai berikut;
a. Development is Lifelong
Perkembangan adalah proses perubahan sepanjang hidup. Setiap periode
dari rentang kehidupan dipengaruhi oleh apa yang terjadi pada periode
sebelumnya dan apa yang terjadi saat ini akan pula mempengaruhi apa yang akan
terjadi kemudian.
b. Development is Multidimensional
Perkembangan berlangsung dalam banyak dimensi. Maksudnya,
perkembangan terjadi pada dimensi biologis, psikologis, dan sosial. Setiap
dimensi dapat berkembang dalam derajat yang bervariasi.
c. Development is Multidirectional
Perkembangan berlangsung dalam lebih dari satu arah. Sejalan dengan
meningkatnya kemampuan di satu area, seseorang mungkin akan mengalami
penurunan dalam area yang lain dalam waktu yang bersamaan. Anak-anak
kebanyakan tumbuh dalam satu arah yaitu kea rah peningkatan, baik dalam ukuran
maupun kemampuan. Remaja secara khusus, mengalami peningkatan dalam
kemampuan fisik, tetapi kecakapannya dalam belajar bahasa mengalami
penurunan.
d. Relative Influences of Biology and Culture Shift Over the Life Span
Proses perkembangan dipengaruhi oleh faktor biologis dan budaya.
Keseimbangan diantara kedua pengaruh tersebut berubah sepanjang waktu.
Pengaruh biologis, seperti ketajaman sensoris dan memori, menurun sejalan
dengan bertambahnya usia. Akan tetapi dukungan budaya, seperti penemuan
kacamata dan buku agenda, dapat mengompensasi penurunan yang terjadi.
e. Development Involves Changing Resource Allocations
Seseorang dapat mengalokasikan sumber-sumber yang ada, seperti waktu,
energi, talenta, uang, dan dukungan sosial dalam cara yang beragam. Pertama,
sumber-sumber tersebut mungkin digunakan untuk pertumbuhan. Kedua, sumber
tersebut digunakan untuk memelihara atau memperbaiki diri. Dan yang ketiga,
sumber-sumber tersebut dipakai untuk menghadapi kehilangan atau penurunan
ketika perbaikan tidak dapat lagi dilkukan.
f. Development Shows Plasticity
Banyak kemampuan dapat ditingkatkan melalui latihan. Misalnya, anak-
anak yang mengalami kesulitan untuk membaca dan menulis, dapat dilatih dengan
mengikuti program remedial. Namun, beberapa kemampuan tetap memiliki
keterbatasan sekalipun telah dimodifikasi.
g. Development is Influenced by the Historical and Cultural Context
Manusia tidak hanya mempengaruhi tetapi juga dipengaruhi oleh konteks
sejarah dan budayanya. Sebagai contoh, seorang anak yang terbiasa hidup bebas,
mungkin akan memberontak saat berada dilingkungan yang penuh dengan
keteraturan.3
Sedangkan menurut Syaodih, dalam perkembangan anak dikenal prinsip-
prinsip perkembangan sebagai berikut;
a. Perkembangan berlangsung seumur hidup dan meliputi semua aspek.
Perkembangan bukan hanya berkenaan dengan aspek-aspek tertentu tetapi
menyangkut semua aspek. Perkembangan aspek tertentu mungkin lebih terlihat
dengan jelas, sedangkan aspek yang lainnya lebih tersembunyi.
b. Setiap anak memiliki kecepatan (tempo) dan kualitas perkembangan yang
berbeda. Seorang anak mungkin mempunyai kemampuan berpikir dan membina
hubungan sosial yang sangat tinggi dan tempo perkembangannya dalam segi itu
sangat cepat, sedangkan dalam aspek lainnya seperti keterampilan atau estetika
kemampuannya kurang dan perkembangannya lambat.
c. Perkembangan secara relatif beraturan, mengikuti pola-pola tertentu.
Perkembangan suatu segi didahului atau mendahului segi yang lainnya. Anak bisa
merangkak sebelum anak bisa berjalanan, anak bisa meraban sebelum anak bisa
berbicara.
d. Perkembangan berlangsung secara berangsur-angsur sedikit demi sedikit. Secara
normal perkembangan itu berlangsung sedikit demi sedikit tetapi dalam situasi-
situasi tertentu dapat juga terjadi loncatan-loncatan. Sebaliknya dapat juga terjadi
kemacetan perkembangan aspek tertentu.
e. Perkembangan berlangsung dari kemampuan yang bersifat umum menuju ke yang
lebih khusus, mengikuti proses diferensiasi dan integrasi. Perkembangan dimulai
dengan dikuasainya kemampuan-kemampuan yang bersifat umum.
3
Ibid., h.145-147
f. Perkembangan individu mengikuti seluruh fase, tetapi karena faktor-faktor
khusus, fase tertentu dilewati secara cepat, sehingga nampak keluar seperti tidak
melewati fase tersebut. sedangkan fase lainnya diikuti dengan sangat lambat,
sehingga nampak seperti tidak berkembang.
g. Perkembangan suatu aspek dapat dipercepat atau diperlambat. Perkembangan
dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan juga faktor lingkungan. Kondisi yang
wajar dari pembawaan dan lingkungan dapat menyebabkan laju perkembangan
yang wajar pula.
h. Perkembangan aspek-aspek tertentu berjalan sejajar atau berkorelasi dengan aspek
lainnya. Perkembangan kemampuan sosial berkembang sejajar dengan
kemampuan berbahasa dan kemampuan motorik sejajar dengan kemampuan
pengamatan.
i. Pada saat-saat tertentu dan dalam bidang-bidang tertentu perkembangan pria
berbeda dengan wanita. Pada usia 12-13 tahun, anak wanita lebih cepat matang
secara sosial dibandingkan dengan pria. Fisik pria pada umumnya tumbuh lebih
tinggi dibandingkan dengan wanita. Pria lebih kuat dalam kemampuan inteleknya
sedangkan wanita lebih kuat dalamkemampuan berbahasa dan estetikanya.4
6
J.W. Santrock, Op. Cit., h.26
7
Syamsul Bachri Thalib, Op. Cit., h.191-192
8
L.J. Carpenito, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, (Jakarta: EGC, 2009), h.22
9
Hastuti, Psikologi Perkembangan Anak, (Yogyakarta: Tugu Plubisher, 2012), h.7
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa yang dimaksud anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dalam Islam, batas usia seorang anak adalah setelah dia mendapatkan tanda-tanda
baligh (mumayyiz).10
Menurut WHO, kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan
atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual,
melalaikan pengasuhan, dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara
nyata ataupun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat,
atau perkembangannya, tindakan kekerasan diperoleh dari orang yang brtanggung
jawab, dipercaya, atau berkuasa dalam perlindungan anak tersebut.11
Menurut Fontana (1971) dalam Soetjiningsih, memberikan pengertian
kekerasan terhadap anak dengan definisi yang lebih luas yaitu memasukkan malnutrisi
dan menelantarkan anak sebagai stadium awal dari sindrom perlakuan salah, dan
penganiayaan fisik berada pada stadium akhir yang paling berat dari spectrum
perlakuan salah oleh orang tuanya atau pengasuhnya.12 Sedangkan menurut Ricard J.
Gelles, kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan yang disengaja yang
menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak (baik secara fisik maupun
emosional).13
14
Azevedo dan Viviane, “Teori Tipologi Bentuk Kekerasan Psikologis terhadap Anak”, Jurnal Akutansi, 2012,
h.21
Verbal abuse, biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan
pola komunikasi yang berisi penghinaan ataupun kata-kata yang melecehkan anak.
Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau
juga mengkambinghitamkan anak tersebut.
d. Kekerasan Seksual (Sexual Abuse)
Sexual abuse, meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri,
anak, dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse
adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan
hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan
hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan
tertentu.15
15
Abu Huraerah, Op. Cit., h.22
g. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, pemukiman kumuh, tergusurnya tempat
bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan
terhadap nilai anak yang terlalu rendah.16
Sementara itu menurut Rusmil, menjelaskan bahwa penyebab terjadinya
kekerasan dan penelantaran terhadap anak adalah sebagai berikut;
a. Faktor Orang Tua atau Keluarga
Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan
penelantaran terhadap anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua
melakukan hal tersebut adalah;
1) Praktik-praktik budaya yang merugikan anak.
2) Dibesarkan dengan penganiayaan.
3) Gangguan mental.
4) Belum mencapai kematangan fisik, emosi, maupun sosial.
5) Pecandu minuman keras dan obat.
b. Faktor Lingkungan Sosial atau Komunitas
Kondisi sosial juga dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan dan
penelantaran terhadap anak. Lingkungan adalah berbagai faktor dan kondisi yang
melingkupi dan sedikit banyak mempengaruhi kehidupan, serta kehidupan
seorang anak. Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan
terhadap anak antara lain;
1) Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis.
2) Kondisi sosial ekonomi yang rendah.
3) Adanya anggapan orang tua bahwa anak adalah milik orang tua sendiri.
4) Status wanita yang dianggap rendah.
5) Nilai masyarakat yang terlalu individualistis.17
16
Edi Suharto, Pembangunan, Kebijakan Sosial danPekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran (Bandung: Lembaga
Studi Pembangunan-STKS, 1997), h.366-367
17
Abu Huraerah, Op. Cit., h. 72
anak dalam keluarga tentu saja mempunyai dampak baik secara fisik, psikis, dan
tumbuh kembang pertumbuhan anak. Anak merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang
dititipkan kepada orang tua untuk dijaga, dirawat, diberi pendidikan, dan penghidupan
yang layak, bukan dianiaya maupun ditelantarkan yang tidak lain dilakukan oleh
orang tua anak itu sendiri.
Berbagai kasus telah membuktikan bahwa terjadinya kekerasan terhadap anak
sering disertai dengan penelantaran dan penganiayaan. Baik penganiayaan atau
penelantaran terhadap anak dapat memberikan dampak pada kesehatan fisik dan
kesehatan mental anak.
Dampak yang terjadi akibat kekerasan tersebut mungkin saja diingat dalam
jangka panjang oleh sang anak tersebut hingga ia dewasa. Daan tidak menutup
kemungkinan kekerasan yang dialaminya akan ia lakukan juga terhadap anaknya
kelak.
Menurut Lidya, dampak dari kekerasan terhadap anak secara umum adalah;
a. Anak berbohong, ketakutan, kurang dapat mengenal cinta atau kasih sayang, sulit
percaya dengan orang lain.
b. Harga diri anak rendah dan menunjukkan perilaku yang destruktif.
c. Mengalami gangguan dalam perkembangan psikologis dan interaksi sosial.
d. Pada anak yang lebih besar anak melakukan kekerasan pada temannya dan anak
yang lebih kecil.
e. Kesulitan untuk membina hubungan dengan orang lain.
f. Kecemasan berat atau panik, depresi anak mengalami sakit fisik dan bermasalah
di sekolah.18
Sedangkan menurut Soetjoningsih dampak kekerasan terhadap anak yaitu;
a. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebayanya yang
tidak mendapat perlakuan salah.
18
Agustina Lidya, “Pengaruh Konflik Peran, Ketidakjelasan Peran, dan Kelebihan Peran terhadap Kepuasan
Kerja dan Kinerja Auditor”, Jurnal Akutansi, 2009, h.52
a) Keterlambatan dalam perkembangan kognitif, bahasa, membaca, dan
motorik.
b) Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga
karena malnutrisi.
c) Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh lingkungan anak,
dimana tidak adanya stimulasi yang kuat atau karena gangguan emosi.
2) Emosi
a) Terjadi gangguan emosi dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan
hubungan sosial dengan orang lain, termasuk untuk percaya diri.
b) Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau
bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik
diri menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh,
kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, dan temper tantrum.
3) Konsep Diri
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak
dicintai, tidak dikehendaki, muram tidak bahagia, tidak mampu menyenangi
aktivitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
4) Agresif
Anak yang mendapat perlakuan salah secara badan, lebih agresif
terhadap teman sebayanya. Sering melakukan tindakan agresif tersebut meniru
tindakan orang tua mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman
sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep diri.
5) Hukuman Sosial
Pada anak-anak ini sering kurang dapat bergaul dengan teman
sebayanya atau dengan orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit teman, dan
suka mengganggu orang dewasa, misalnya dengan melempari batu atau
perbuatan-perbuatan kriminal lainnya.19
24
B. Elizabeth Hurlock, Perkembangan Anak Jilid I, (Jakarta: Erlangga, 1978), h.205
25
John W. Santrock, Perkembangan Anak Edisi ke Tujuh Jilid Dua, (Jakarta: Erlangga, 2011), h.257
3. Ciri-Ciri Pola Asuh Orang Tua dalam Keluarga
Ciri-ciri pola asuh orang tua dalam keluarga menurut Baumrind adalah sebagai
berikut;
a. Pola Asuh Demokratis
1) Mendukung anak menjadi mandiri tetapi tetap menempatkan batasan dan
control pada tindakan anak.
2) Memperbolehkan diskusi yang cukup banyak.
3) Orang tua hangat dan peduli pada anak.
4) Kedudukan antara orang tua dan anak dalam berkomunikasi sejajar.
5) Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan keuntungan
kedua belah pihak.
6) Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apapun yang
dilakukan anak tetap harus ada di bawah pengawasan orang tua dan dapat
dipertanggung jawabkan secara moral.
7) Orang tua dan anak tidak dapat memaksakan sesuatu tanpa berkomunikasi
terlebih dahulu.
8) Setiap pengambilan keputusan disetujui oleh keduanya tanpa ada yang merasa
tertekan.
b. Pola Asuh Otoriter
1) Orang tua menghukum tanpa alasan.
2) Menuntut anak agar mengikuti arahan mereka tanpa menghargai kerja dan
usaha.
3) Membatasi aktifitas anak.
4) Orang tua bertindak semaunya tanpa dapat di kritik oleh anak.
5) Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa-apa yang
diperintahkan atau dikehendaki oleh orang tua.
6) Anak tidak diberi kesempatan menyampaikan apa yang dipikirkan, diinginkan,
atau dirasakannya.
c. Pola Asuh Permisif
1) Sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak.
2) Orang tua harus mengikuti keinginan anak baik orang tua setuju atau tidak.
3) Apa yang diinginkan anak selalu dituruti dan diperbolehkan orang tua.
4) Anak cenderung menjadi bertindak semena-mena.26
26
Iriani Indri Hapsari, Psikologi Perkembangan Anak, (Jakarta: PT. Indeks, 2016), h.201