Anda di halaman 1dari 7

USWATUN HASANAH RESUME TUTORIAL PAI

PEKAN 5

Disusun oleh
Pipid Mupidin
NIM 1705841
PKn 2017 B

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


BANDUNG
2018
MATERI

A. Pengertian Uswatun Hasanah

Uswatun Hasanah berasal dari dua kata yaitu uswah yang berarti teladan, dan h}asanah,
berasal dari kata h}asuna, yah}sunu, h}usnan wa h}asanatan, yang berarti sesuatu yang baik,
pantas dan kebaikan. Menurut Raghib al-Asfahani (seorang pakar bahasa), h}asanah adalah
segala sesuatu kebaikan atau kenikmatan yang diperoleh manusia bagi jiwa, fisik, dan kondisi
perasaannya. Maka Uswatun Hasanah adalah suatu perilaku yang mulia yang menjadi teladan
bagi umat manusia.

B. Prilaku Rasulullah ‫ ﷺ‬adalah Uswah Hasanah

Kaedah Rasulullah adalah uswah hasanah’, kaedah yang agung yang dipratekkan oleh

tokoh tokoh umat ini, termasuk oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬ sendiri.

Marilah kita perhatikan hadits berikut ini, bagaimana beliau menegur salah

seorang Sahabat beliau dengan kaedah agung ini :

‫اس@@ َمهَا َخوْ لَةَ بِ ْنتَ َح ِك ٍيم – َعلَى عَاِئ َش@@ةَ َو ِه َى بَا َّذةُ ْالهَيَْئ ِة‬ ْ ُ‫ظعُ@@و ٍن – َأحْ ِس@@ب‬ ْ ‫@@رَأةُ ع ُْثمَانَ ْب ِن َم‬ َ ‫ت ا ْم‬ِ َ‫” َد َخل‬:‫ع َْن عُ@@رْ َوةَ قَا َل‬
َّ َ
‫ ف َدخَ َل النبِ ُّى‬.”‫ار‬ َّ َّ ُ
َ َ‫” َزوْ ِجى يَقو ُم الل ْي َل َويَصُو ُم النه‬: ‫ فقالت‬.”‫ك ؟‬ ْ َ َ َ ‫ْأ‬ ْ ‫َأ‬ ‫هَّللا‬
ِ ‫” َما َش ن‬:‫ – ف َس لتهَا‬n – ِ ‫ك لَهُ فَلَقِ َى َرسُو ُل‬
ُ َ َ َ ِ‫ت عَاِئ َشةُ َذل‬
ْ ‫فَ َذ َك َر‬
‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫ُأ‬
– n – ‫ى س َْوةٌ فَ َوهَّللا ِ ِإنِّى ْخ َشا ُك ْم هَّلِل ِ َو حْ فَظُ ُك ْم لِ ُحدُو ِد ِه‬ ‫َأ‬ ْ ْ
َّ ِ‫”يَا عُث َمانُ ِإ َّن ال َّر ْهبَانِيَّةَ لَ ْم تُ ْكتَبْ َعلَ ْينَا فَ َما لَكَ ف‬: ‫“ عُث َمانَ فَقَا َل‬.

Dari ‘Urwah, dia berkata, “Istri ‘Utsman bin Mazh’un – menurutku namanya adalah

Khaulah binti Hakim- menemui ‘Aisyah dengan pakaian seadanya.

Aisyah bertanya kepadanya, “Kenapa engkau ini?”

Dia menjawab, “Suamiku selalu (sibuk) sholat malam dan berpuasa di siang hari”.

Kemudian Rasulullah  masuk, ‘Aisyah pun menyampaikan hal itu kepada beliau.

Kemudian Rasulullah menemui ‘Utsman seraya berkata, “‘Utsman, sesungguhnya

kependetaan tidak diwajibkan atas kita. Tidakkah pada diriku terdapat uswah (teladan)

bagimu? Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah  dan orang yang

paling menjaga hukum-hukumNya di antara kamu’. [ HR. Ahmad dan dishahîhkan oleh al-

Albâni dalam Silsilah ash-Shahîhah no.1782 ] Allahu Akbar, alangkah

lembutnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur Sahabat ini, “Utsman, sesungguhnya


kependetaan tidak diwajibkan atas kita. Tidakkah pada diriku terdapat uswah (teladan)

bagimu?”

Wahai orang-orang yang menelantarkan keluarganya dengan alasan dakwah dan memikirkan

umat, tidakkah pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat uswah

(teladan) bagi kalian?”

Wahai, orang-orang yang membuat-buat ibadah sendiri, tanpa tuntunan Rasulullah ‫ ﷺ‬,

dengan hanya mengikuti seorang ustadz, kyai dan figur tertentu saja, tidakkah pada

diri Rasulullah ‫ ﷺ‬terdapat uswah (teladan) bagi kalian?”

Marilah kita perhatikan kejadian berikut ini : Sahabat ‘Ubaid bin Khaalid al-Muharibi

Radhiyallahu anhu berkata :

َ‫ص َر ٍة فَقَا َل ارْ فَ ْع ِإزَا َركَ فَِإنَّهُ َأ ْبقَى َوَأ ْنقَى( َأمَا لَك‬
َ ‫ي بُرْ َدةٌ لِي َم ْل َحا ُء َأ ْس َحبُهَا قَا َل فَطَ َعنَنِي َر ُج ٌل بِ ِم ْخ‬ ِ ‫ُوق ِذي ْال َم َج‬
َّ َ‫از َعل‬ ِ ‫ِإنِّي لَبِس‬
‫اف َساقَ ْي ِه‬
ِ ‫ص‬َ ‫ت فَِإ َذا ِإزَ ا ُرهُ ِإلَى َأ ْن‬
ُ ْ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَنَظَر‬ ُ ْ‫ي ُأس َْوةٌ ) فَنَظَر‬
َ ِ ‫ت فَِإ َذا َرسُو ُل هَّللا‬ َّ ِ‫ف‬
Aku berada di pasar Dzil Majaz mengenakan burdah (semacam selimut) bergaris-garis hitam

dan putih milikku dengan menyeretnya. Lalu seorang laki-laki menekanku dengan

tongkatnya, sambil berkata : “Angkatlah sarungmu, itu (akan membuatnya) lebih awet dan

lebih bersih. (Tidakkah pada diriku terdapat teladan baik bagimu?)”.

Lalu aku melihatnya, ternyata dia (lelaki itu) adalah Rasulullah ‫ ﷺ‬, lalu aku memandang

ternyata sarung beliau sampai pertengahan kedua betis beliau. [ HR. Ahmad, no:22007;

tambahan dalam kurung riwayat at Tirmidzi dalam asy Syamail ]

Maka, orang orang yang sengaja memanjangkan sarung atau celananya melebihi mata kaki,

dengan alasan tidak sombong, dengan dalih Sahabat Abu BakarRadhiyallahu anhu juga

melakukannya tanpa kesombongan, tidakkah pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi

wa sallam terdapat uswah (teladan) bagi mereka?”

Padahal, Sahabat Abu Bakar Radhiyallahu anhu selalu menjaga diri untuk tidak isbal, beliau

tidak sengaja melakukan isbal. Oleh karenanya, mendapatkan rekomendasi

dari Rasulullah ‫ ﷺ‬bahwa dia tidak melakukannya karena sombong!

Ibnu ‘Umar berkata :


‫ت فَمَا‬ ُ ‫فَز ْد‬
ِ ‫ال ِز ْد‬ َ َ‫اري ا ْستِرْ خَ ا ٌء فَقَا َل يَا َع ْب َد هَّللا ِ ارْ فَ ْع ِإزَ ا َركَ فَ َرفَ ْعتُهُ ثُ َّم ق‬
ِ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوفِي ِإز‬
َ ِ ‫ت َعلَى َرسُو ِل هَّللا‬
ُ ْ‫َم َرر‬
‫اف السَّاقَي ِْن‬ِ ‫ص‬ ْ ‫َأ‬
َ ‫ال ن‬ ‫َأ‬ َ ْ
َ َ‫ال بَعْضُ القَوْ ِم ِإلى ْينَ فَق‬ ‫َأ‬
َ َ‫ِزلت تَ َحرَّاهَا بَ ْع ُد فَق‬ ُ ْ

Aku melewati Rasulullah ‫ ﷺ‬, sedangkan sarungku turun, maka beliau bersabda : “Wahai

‘Abdullâh, angkatlah sarungmu!”, maka aku mengangkatnya.

Lalu beliau bersabda; “Tambahlah (Naikkan lagi)!” Maka aku menambahkan (menaikkannya

lagi). Setelah itu aku selalu menjaganya.” Sebagian orang bertanya: “Sampai mana?” Ibnu

‘Umar berkata: “Pertengahan betis”. [ HR. Muslim, no: 2086. Riyadhus Shalihin, no: 800 ]

Pada riwayat Imam Ahmad rahimahullah disebutkan, Zaid bin Aslam berkata : bahwa Ibnu

‘Umar Radhiyallahu anhu bercerita, “Bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬melihatnya memakai sarung baru.

Kemudian beliau bertanya : “Siapa ini?” Aku menjawab: “’Abdullah”. Beliau bersabda :

“Jika engkau ‘Abdullah, maka angkatlah sarungmu!”, maka aku mengangkatnya. Kemudian

beliau bersabda; “Tambahlah (Naikkan lagi)!” Maka aku menaikkannya sehingga sampai

pertengahan betis”. Kemudian beliau menoleh kepada Abu Bakar sambil bersabda :

“Barangsiapa menyeret pakaiannya karena ke sombongan, Allah ‫ ﷻ‬tidak akan melihatnya

pada hari Kiamat”. Lalu Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya terkadang sarungku turun”.

Maka Nabi bersabda : “Engkau tidak termasuk mereka”. [ HR. Ahmad, no: 6056 ]

Namun Anda, wahai orang yang memanjangkan celana sampai menutupi mata kaki, sengaja

melakukannya, tidak menjaga dengan menaikkannya, NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam tidak

pernah memberikan rekomendasi kepada Anda bahwa anda tidak sombong! Jika Anda

beranggapan diri Anda seperti Abu BakarRadhiyallahu anhu – insan terbaik dari umat ini

setelah Nabinya- maka alangkah besarnya kesombongan Anda!

Tidakkah Anda mengetahui bahwa isbal merupakan kesombongan atau sarana menuju

kesombongan. Marilah kita perhatikan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jabir

bin Sulaim Radhyiallahu anhu di bawah ini:

ُّ‫ار فَِإنَّهَا ِمنَ ْال َم ِخيلَ ِة َوِإ َّن هَّللا َ اَل يُ ِحب‬
ِ ‫ال اِإْل َز‬ َ ‫اق فَِإ ْن َأبَيْتَ فَِإلَى ْال َك ْعبَي ِْن َوِإيَّا‬
َ َ‫ك َوِإ ْس@ب‬ َّ ‫ف‬
ِ @‫الس‬ ْ ِ‫َوارْ فَ ْع ِإ َزا َركَ ِإلَى ن‬
ِ @‫ص‬
َ‫ْال َم ِخيلَة‬
Angkatlah sarungmu sampai pertengahan betis, jika engkau enggan maka sampai kedua mat

kaki. Janganlah engkau menjulurkan kain sarung, karena sesungguhnya itu termasuk

kesombongan, dan Allah ‫ ﷻ‬tidak menyukai kesombongan. [ HR.Abu Dâwud, no: 4084,

dishahîhkan oleh Syaikh al Albani ]

C. Praktek Sahabat Nabi Terhadap Kaidah di atas 

Para Sahabat Radhiyallahu anhu juga mengikuti pemahaman Rasulullah ‫ ﷺ‬, berhujjah

dengan ayat yang artinya “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah ‫ ﷺ‬itu suri teladan

yang baik bagimu”. Contoh bagaimana mereka mengaplikasikan kaedah agung ini sangat

banyak, berikut beberapa permisalannya.

Marilah kita amati sikap ‘Abdullah bin ‘Umar Radhayallahu anhu yang tertuang dalam

riwayat berikut :

‫ت‬ ْ ‫الص@ب َْح‬


ُ ‫نَزَل‬ ُّ ‫يت‬ ِ ‫ “فَلَ َّما‬: ‫ فَقَا َل َس@ ِعي ٌد‬.“ َ‫@ق َم َّكة‬
ُ @‫خَش‬ ِ @‫ُمَر بِطَ ِري‬َ ‫ت َأ ِس@ي ُر مَ َع َعبْ@ ِد هَّللا ِ ْب ِن ع‬
ُ ‫ ” ُك ْن‬:‫ار َأنَّهُ قَا َل‬
ٍ @‫ع َْن َس ِعي ِد ْب ِن يَ َس‬
‫هَّللا‬ َ َ‫ ف‬..“ ‫ت‬
”:ِ ‫قَال َع ْب@ ُد‬ ‫َأ‬
ُ ْ‫ت فَ وْ تَر‬ ْ
ُ ‫ فَنَ َزل‬، ‫الص@ ْب َح‬
ُّ ‫يت‬ ُ ‫ “ َخ ِش‬: ‫ت‬ ْ ُ ‫َأ‬ ‫هَّللا‬
ُ ‫ فَقل‬.”‫ “ ْينَ ُك ْنتَ ؟‬: ‫ال َع ْب ُد ِ بْنُ ُع َم َر‬ َ َ‫ فَق‬.”ُ‫ ثُ َّم لَ ِح ْقتُه‬، ‫ت‬ُ ْ‫فََأوْ تَر‬
‫قَال فَِإ َّن َر ُس@و َل هَّللا ِ – ص@لى هللا علي@@ه‬َ .“ ِ ‫”بَلَى َوهَّللا‬: ‫ت‬ ُ ‫ُول هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – ُأ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ ؟” فَقُ ْل‬ ِ ‫ك فِى َرس‬ َ ‫َألَي‬
َ َ‫ْس ل‬
ْ
ِ ‫”وسلم – َكانَ يُوتِ ُر َعلَى البَ ِع‬.
‫ير‬

Dari Sa’id bin Yasar, dia berkata, “(Pernah) aku pergi bersama ‘Abdullah bin ‘Umar di suatu

jalan di kota Mekah. Ketika aku khawatir (masuk waktu) Subuh, aku turun (dari ontaku, lalu

aku mengerjakan shalat witir, kemudian aku menyusulnya”. ‘Abdullah bin ‘Umar bertanya,

‘Dimana saja engkau?’ Aku menjawab,”‘Aku khawatir (masuk waktu) Subuh, aku turun (dari

ontaku) untuk mengerjakan sholat witir”. ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Tidakkah pada

diri Rasulullah ‫ ﷺ‬terdapat uswah (teladan baik) bagimu?” Maka aku menjawab, ‘Ya,

demi Allah ‫’ﷻ‬. ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah ‫ ﷺ‬biasa

mengerjakan sholat witir di atas onta’. [ HR. al-Bukhari, no. 999 ]

Contoh lain, berkait dengan ketulusan Sahabat Nabi menerima kebenaran ketika diingatkan

dengan kaedah yang agung ini. Karena kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti. Lihatlah

kisah yang menakjubkan di bawah ini :


ٍ ‫اويَةُ يَ ْستَلِ ُم اَأْلرْ َكانَ ُكلَّهَا فَقَا َل لَهُ ابْنُ َعبَّا‬
‫س ِل َم ت َْس @تَلِ ُم هَ َذي ِْن ال@@رُّ ْكنَي ِْن َولَ ْم‬ ِ ‫اويَةَ بِ ْالبَ ْي‬
ِ ‫ت فَ َج َع َل ُم َع‬ ِ ‫س َأنَّهُ طَافَ َم َع ُم َع‬
ٍ ‫ع َِن ا ْب ِن َعبَّا‬
ُ َ
‫س { لقَ ْد كَانَ لك ْم فِي‬ َ ٍ ‫ت َم ْه ُج@@ورًا فَقَا َل ابْنُ َعبَّا‬ ْ
ِ ‫ْس َش ْي ٌء ِم ْن البَ ْي‬ َ
َ ‫اويَة لي‬ُ َّ َ ‫هَّللا‬
ِ ‫صلى ُ َعل ْي ِه َو َسل َم يَ ْستَلِ ُمهُ َما فَقَا َل ُم َع‬ َّ َ ِ ‫يَ ُك ْن َرسُو ُل هَّللا‬
‫ُأ‬
َ‫ص َد ْقت‬
َ ُ‫اويَة‬ ِ ‫رسُو ِل هَّللا ِ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ } فَقَا َل ُم َع‬. َ

Dari Ibnu ‘Abbas, dia mengerjakan tawaf di Baitullah bersama Mu’awiyah. Lalu Mu’awiyah

mulai menyentuh semua sudutnya (sudut Kabah). Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya,

“Mengapa Anda menyentuh dua pojok (Syami) ini, padahal Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak pernah

menyentuh keduanya?”.

Mu’awiyah menjawab, “Tidak ada sesuatu (pojok) dari Baitullah ini yang ditinggalkan!”.

Maka Ibnu ‘Abbas berkata kepadanya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah ‫ ﷺ‬itu

suri teladan yang baik bagimu”. Maka Mu’awiyah berkata, “Engkau benar!”. [ HR. Ahmad,

no. 1877 ]

Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu anhu, salah seorang Sahabat penulis wahyu di

masa kenabian, penguasa di zamannya, raja pertama dan terbaik di antara umat ini, beliau

tidak malu menerima kebenaran dari Sahabat yang usianya di bawahnya, yaitu Ibnu Abbas

Radhiyallahu anhu, karena memang “sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri

teladan yang baik bagi orang beriman”, maka selayaknya kita tidak malu untuk terbuka

menerima kepada kebenaran. Karena berpaling dari kesalahan untuk kembali kepada

kebenaran adalah keutamaan, bukan kehinaan.

D. Praktek Ulama Terhadap Kaidah diatas

Bukan hanya generasi Sahabat saja yang menjunjung tinggi keteladanan Rasulullah ‫ ﷺ‬dalam

kehidupan mereka, generasi generasi berikutnya pun juga berjalan di atas jalan mereka

(para Sahabat) yang baik itu. Marilah kita perhatikan bagaimana sikap Imam Malik bin Anas

Radhiyallahu anhu , terhadap orang yang menyelisihi petunjuk Rasulullah ‫ ﷺ‬dalam kisah

berikut ini :

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata : “Imam Mâlik rahimahullah didatangi seorang

lelaki, lalu bertanya : “Wahai Abu Abdullah, dari mana aku memulai ihrom?”

Beliau menjawab : “Dari Dzul Hulaifah, tempat berihrom Rasulullah ‫” ﷺ‬. Lelaki tadi

berkata : “Aku ingin berihrom dari masjid di dekat kubur (saja)”. Imam Malik rahimahullah


berkata : “Jangan engkau lakukan (itu), aku khawatir musibah akan menimpamu”. Dia

menjawab: “Musibah apa?”

Imam Malik rahimahullah berkata: “Apakah ada musibah yang lebih besar dari anggapanmu

bahwa engkau meraih keutamaan yang tidak dapat diraih oleh Rasulullah ‫ ? ﷺ‬Sesungguhnya

aku mendengar Allah ‫ ﷻ‬berfirman :

‫ُصيبَهُ ْم َع َذابٌ َألِي ٌم‬


ِ ‫صيبَهُ ْم فِ ْتنَةٌ َأوْ ي‬
ِ ُ‫فَ ْليَحْ َذ ِر الَّ ِذينَ يُخَالِفُونَ ع َْن َأ ْم ِر ِه َأ ْن ت‬

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-nya (Rasul) takut akan ditimpa

cobaan atau ditimpa azab yang pedih. ( Al Quran surat An Nuur [24] ayat63 ). [ Riwayat al

Khathib dalam al Faqih wal Mutafaqqih, 1/148; dll. Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’, hlm. 72 ]

Semoga Allah Azza wa Jalla merahmati Imam Malik rahimahullah, yang telah memberikan

contoh mulia dalam menasehati umat agar tetap mengikuti teladan terbaik mereka.

Anda mungkin juga menyukai