Anda di halaman 1dari 5

Model Bisnis Social Enterprise

Social enterprise memiliki ciri khas tersendiri yang membuatnya berbeda dengan model bisnis
konvensional. Alih-alih profit sebagai tujuan utama, social enterprise lebih memprioritaskan
tercapainya misi sosial.

Model Bisnis Social Enterprise

1. Entrepreneur Support Model

Social enterprise jenis ini menjalankan bisnis mereka dengan menjual jasa berupa bantuan
pengembangan bisnis kepada kliennya, baik itu perorangan maupun perusahaan dalam bentuk firma.
Klien ini pun akan menjual produk dan jasa mereka ke pasar bebas.

Tipe-tipe social enterprise yang cocok untuk menerapkan model bisnis ini adalah institusi keuangan,
konsultan manajemen, jasa professional seperti akunting, firma hukum, dan teknologi.

PT. Mudah Teknologi yang berkecimpung di bidang IT, ingin membantu para UMKM untuk
meningkatkan efisiensi manajemen keuangan. Perusahaan tersebut menciptakan aplikasi pencatatan
keuangan yang kemudian dijual kepada UMKM.

Keuntungan dari penjualan aplikasi dan jasa tersebut dipakai untuk operasional perusahaan,
seperti marketing, pengembangan inovasi (research and development) dan kampanye edukasi bagi
UMKM.

2. Model Perantara Pasar (Market Intermediary Model)


Dalam model bisnis ini, social enterprise menyediakan jasa yang dapat membantu populasi targetnya
menemukan market pembeli atau singkatnya menjadi perantara. Social enterprise biasanya membeli
produk target populasinya atau bekerja sama sebagai mitra dalam produksi.

Hal ini kemudian membantu kesejahteraan ekonomi populasi tersebut. Untuk bisa terus menjalankan
bisnis ini, social enterprise mengambil keuntungan dari margin produk setelah melakukan
penambahan nilai.

Contoh salah satu social enterprise yang menerapkan model bisnis market


intermediary adalah Kainnesia. Bisnis yang digagas oleh Nur Salam ini membantu para penenun dari
berbagai daerah yang kesulitan untuk menjual kain tenunnya.

Hasil karya tangan para penenun ini kemudian diolah dan dikembangkan oleh Kainnesia menjadi
berbagai produk fashion yang menarik dan dipasarkan dengan mengusung tema yang unik.

3. Model Pemberdayaan Pekerja (Employment Model)

Social enterprise jenis ini menyediakan lapangan kerja bagi target populasinya. Populasi yang
diberikan pekerjaan umumnya memiliki hambatan tertentu dalam bersaing di dunia kerja atau
kelompok yang tergolong marginal. Misalnya, mantan narapidana, orang dengan disabilitas, dan
tunawisma.

Selain itu, model bisnis ini juga bergantung pada keberhasilan melatih populasi target, konsistensi
mendampingi mereka, serta nilai komersial dari produk yang dihasilkan. Keuntungan dari penjualan
akan diinvestasikan kembali untuk keberlangsungan social enterprise serta populasi target yang
menjadi pegawainya.

Salah satu contoh social enterprise yang mengadopsi employment model ini adalah Hijab Nalacity.


Hijab Nalacity didirikan oleh Hafiza Elfira untuk membantu para mantan penderita kusta bertahan
hidup.
Setelah mendapatkan pengobatan, mereka yang rata-rata berasal dari kampung mengaku enggan
untuk kembali ke rumahnya karena malu sebab kusta menyebabkan cacat permanen pada bagian
tubuh mereka. Populasi ini cukup banyak dan mendirikan perkampungan sendiri di daerah Tangerang
dengan nama Sitanala.

4. Upah atas Jasa (Fee-for-Service Model)

Program sosial pada model bisnis ini adalah bisnis itu sendiri. Artinya, social enterprise jenis ini
membuat produk dan jasanya menjadi komersial dan target populasinya adalah pembelinya.

Umumnya, bisnis model ini diterapkan oleh rumah sakit, klinik, museum, institusi pendidikan. Uang
hasil penjualan digunakan untuk mencukupi biaya operasional dalam menyediakan jasa kepada
populasi target.

Contoh: Universitas yang menarik biaya pendidikan kepada para mahasiswa untuk membayar biaya
tenaga pengajar, perawatan gedung, dan fasilitas untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
mahasiswa untuk belajar.

5. Model Subsidi Pelayanan (Service Subsidization Model)

Berbeda dengan model bisnis yang lainnya, aktivitas sosial dan aktivitas bisnis pada service
subsidization model dijalankan secara terpisah. Produk yang dihasilkan dijual ke pasar eksternal dan
pendapatannya digunakan untuk membiayai program sosial.

Bila social enterprise memiliki aset, maka aset tersebut juga bisa disewakan atau dikomersialkan
kepada publik. Aset fisik dapat berupa gedung, tanah, maupun peralatan. Sedangkan aset non fisik
dapat berupa metodologi, brand, atau jejaring.

Keuntungan dari model bisnis ini adalah perolehan dana tambahan tidak bergantung dengan aktivitas
sosial. Namun, meskipun secara struktur terpisah, pastikan aktivitas bisnis memiliki nilai yang tidak
bertentangan dengan aktivitas sosial. Sebab, jika bertentangan, tentu akan merusak citra dari social
enterprise itu sendiri.

Model subsidi pelayanan ini diterapkan oleh Associacao Nacional de Cooperacao Agricola (ANCA),


sebuah social enterprise di Brazil yang menyediakan layanan literasi dan pendidikan kepada anak-
anak, orang tua, dan para aktivis komunitas.

Setelah beberapa waktu berjalan, mereka menyadari bahwa layanan ini juga dibutuhkan oleh para
pemimpin organisasi non-profit dan aktivis komunitas. ANCA pun memutuskan untuk
mengembangkan training dan materi edukasi dan dikomersilkan sebagai pendapatan tambahan untuk
membiayai program literasi untuk populasi target utamanya.

6. Model Penghubung Market (Market Linkage Model)

Jenis model bisnis yang satu ini hampir mirip dengan model market intermediary. Perbedaannya
terletak pada peran model market linkage yang tidak memasarkan produk mitranya, melainkan hanya
menghubungkan mitra pada pasar.

Model market linkage model ini dicontohkan oleh salah satu platform penggalangan dana terbesar di


Indonesia, yakni Kitabisa.com. Social enterprise yang memiliki tagline “Connecting Kindness” ini
memberikan fasilitas bagi campaigner atau orang yang memulai penggalangan dana agar terhubung
dengan para donatur. Dengan model ini, Kitabisa.com berhasil menggalang lebih dari 60 juta dollar
AS (858 miliar rupiah) sejak 8 tahun yang lalu berdiri.

7. Model Dukungan Organisasi (Organizational Support Model)

Organizational support model menggunakan model bisnis dimana social enterprise menjual produk


dan jasanya kepada publik dengan berorientasi pada profit. Keuntungan bersih yang diperoleh
digunakan untuk mendanai program sosial organisasi yang dimilikinya. Model ini dikatakan sukses
apabila seluruh atau sebagian besar modal program sosial didanai oleh social enterprise.
Contoh social enterprise yang menggunakan model ini adalah Para la Saud di Guatemala. Wilayah
Guatemala yang sebagian besar pegunungan dengan akses jalan yang belum memadai membuat
akses terhadap obat dan pelayanan kesehatan tidak merata.

Klinik di pedesaan pun kesulitan untuk beroperasi secara optimal karena terkendala dana. Para la
Saud kemudian didirikan untuk menjembatani akses tersebut dengan mendirikan toko-toko obat di
masing-masing desa.

Anda mungkin juga menyukai