Anda di halaman 1dari 8

Penugasan Tinjauan Pustaka Blok XIX

“Penyakit Dekompresi pada Penyelam”

Oleh:
Muhammad Faeyza Arifin Putra
H1A019073

Dosen Pembimbing:
dr. I Gusti Ayu Trisna Aryani, Sp.THT-KL

Fakultas Kedokteran
Universitas Mataram
Tahun Ajaran 2022-2023
Penyakit Dekompresi pada Penyelam
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang tersusun dari sekitar 17.508 pulau besar dan kecil
yang tersebar disekitar garis khatulistiwa dengan iklim tropis. Luas perairan laut Indonesia
diperkirakan sebesar 5.8 juta km2 dengan garis pantai sebesar 81.000 km dan merupakan negara
dengan garis pantai terpanjang di dunia (Suranani, Hartono and Aluddin, 2019). Penyelaman
menjadi aktivitas pilihan turis lokal maupun mancanegara dalam rangka menikmati keindahan
laut Indonesia. Selain wisatawan, terutama di daerah pesisir, masih banyak masyarakat Indonesia
yang berprofesi sebagai nelayan yang mencari mahkluk laut sebagai mata pencaharian dengan
cara menyelam. Aktivitas menyelam ini merupakan kegiatan yang berisiko menyebabkan
penyakit dekompresi (Linggayani and Ramadhian, 2017; Suranani, Hartono and Aluddin, 2019).
Penyakit dekompresi merupakan sindrom yang berhubungan dengan pembentukan dan
peningkatan ukuran gelembung di jaringan dan/atau darah ketika tekanan parsial dalam gas
dalam darah dan jaringan melebihi tekanan di luar tubuh (ambient) (Linggayani and Ramadhian,
2017; Suranani, Hartono and Aluddin, 2019; Moon and Mitchell, 2021; Cooper and Hanson,
2022).
Insidensi penyakit dekompresi untuk penyelaman rekreasional diperkirakan sekitar tiga kasus per
10.000 penyelaman. Sementara untuk penyelaman okupasional diperkirakan berkisar antara 1.5-
10 kasus per 10.000 penyelaman (Cooper and Hanson, 2022). Kejadian di Eropa berkisar antara
10-100 kasus per-tahunnya. Di Indonesia, angka kejadian penyakit dekompresi belum diketahui
secara pasti (Linggayani and Ramadhian, 2017). Namun jumlah nelayan yang di Indonesia yang
menunjukan gejala-gejala penyakit dekompresi adalah 15,3% (Widyastuti, Hadisaputro and
Munasik, 2019). Penelitian di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta mencatat sebanya 6,91% nelayan
mengalami kelainan dekompresi, sedangkan penelitian di Pulau Bungin NTB, sebanyak 57,5%
nelayan penyelam menunjukan gejala penyakit dekompresi berupa nyeri sendi dan gangguan
pendengara ringan hingga tuli sebanyak 11,3% (Jusmawati, Arsin and Naiem, 2016; Widyastuti,
Hadisaputro and Munasik, 2019).

Isi
Etiopatofisiologi
Terjadinya penyakit dekompresi diakibatkan oeh masuknya udara ke dalam sirkulasi darah atau
jaringan selama atau setelah penurunan tekanan di lingkunngan sekitar. Udara tersebut
(umumnya gas nitrogen) terlepas dari carian fisiologis dan membentuk gelembung udara pada
lingkungan bertekanan rendah. Nitrogen merupakan gas mulia yang secara normal tersimpan
dalam jaringan dan cairan tubuh manusia. Peningkatan tekanan dari luar seperti saat penyelaman
menyebabkan jumlah nitrogen yang terlarut meningkat (Linggayani and Ramadhian, 2017;
Cooper and Hanson, 2022). Jumlah gas nitrogen yang terlarut dalam tubuh penyelam akan sesuai
dengan durasi dan kedalaman penyelaman (Jusmawati, Arsin and Naiem, 2016; Mitchell, Bennet
and Moon, 2022). Ketika seorang penyelam naik ke permukaan terlalu cepat, nitrogen yang
telah terlarut akan kembali terbentuk menjadi gas dan menimbulkan gelembung udara di dalam
jaringan dan pembuluh darah (Linggayani and Ramadhian, 2017). Penyakit dekompresi dimulai
sesaat tekanan dari gelembung udara yang terbentuk di intravaskular maupun ekstravaskular
melebihi tekanan absolut lokal (Linggayani and Ramadhian, 2017; Cooper and Hanson, 2022).
Gelembung udara yang terbentuk di dalam pembuuh vena (venous gas emboli (VGE)) dapat
menyebabkan obstruksi dan reaksi inflamasi pada pembuluh darah dan dapat memengaruhi
aliran darah ke jaringan yang dituju, sehingga menimbulkan gejala-gejala dari penyakit
dekompresi(Linggayani and Ramadhian, 2017; Cooper and Hanson, 2022; Mitchell, Bennet and
Moon, 2022). Nitrogen terbukti secara langsung memberikan kontribusi terhadap 6% kematian
pada penyelam (Wijaya et al., 2021).
Faktor Risiko
Faktor risiko utama dari penyakit dekompresi berupa kedalaman penyelaman, durasi, kecepatan
pendakian (ascent), dan frekuensi penyelaman. Faktor risiko lainnya berupa penyelaman di suhu
rendah, paten foramen ovale, usia, obesitas, hipertensi, konsumsi alkohol, penyakit paru-paru,
riwayat penyakit dekompresi sebelumnya, olahraga berat, tingkat pendidikan, dan penggunaan
kompresor sebagai alat bantu napas saat menyelam (Jusmawati, Arsin and Naiem, 2016;
Suranani, Hartono and Aluddin, 2019; Widyastuti, Hadisaputro and Munasik, 2019; Wijaya et
al., 2021). Kedalaman ≥ 30 m berisiko 1,89 - 2,6 kali lebih besar untuk menderita penyakit
dekompresi dibandingkan dengan menyelam pada kedalaman < 30 m (Widyastuti, Hadisaputro
and Munasik, 2019; Wijaya et al., 2021). Penyakit dekompresi lebih sering terjadi pada
penyelaman > 12 m (Jusmawati, Arsin and Naiem, 2016; Suranani, Hartono and Aluddin, 2019).
Semakin dalam kedalaman penyelaman dan durasi penyelaman, maka semakin banyak pajanan
terhadap tekanan tingkat tinggi dalam air sehingga meningkatkan kemungkinan nitrogen yang
larut dalam jaringan dan juga pembuluh darah menjadi lebih banyak. Selain itu semakin singkat
atau semakin cepat penyelam naik ke permukaan, maka risiko terjadinya penyakit dekompresi
juga semakin tinggi. Hal tersebut dapat terjadi karena waktu yang diberikan kepada tubuh untuk
mengeliminasi nitrogen dari jaringan dan pembuluh darah semakin sedikit sehingga
meningkatkan kemungkinan terbentuknya gelembung-gelembung udara ekstravaskular dan
intravaskular (Duke et al., 2016; Linggayani and Ramadhian, 2017; Suranani, Hartono and
Aluddin, 2019; Widyastuti, Hadisaputro and Munasik, 2019; Wijaya et al., 2021). Risiko akan
sangat meningkat apabila penyelam naik ke permukaan dengan kecepatan melebihi 19 m/menit
(Linggayani and Ramadhian, 2017). Penyelam yang naik ke permukaan dengan cepat berisiko
5,9 kali lebih tinggu untuk menderita penyakit dekompresi (Wijaya et al., 2021). Frekuensi
penyelaman lebih dari dua kali dalam sehari dapat meningkatkan risiko sebanyak empat kali
untuk menderita penyakit dekompresi. Hal ini dapat terjadi karena tubuh memerlukan waktu
sekitar 24 jam untuk menormalkan kembali kadar nitrogen dalam tubuh (Jusmawati, Arsin and
Naiem, 2016; Wijaya et al., 2018)
Manifestasi Klinis
Berdasarkan tingkat keparahannya, gejala penyakit dekompresi terbagi menjadi dua kelompok,
yaitu gejala penyakit dekompresi tipe 1 dan tipe 2. Gejala penyakit dekompresi terdiri atas nyeri
sendi, nyeri otot, kelemahan otot, kelelahan, dan gejala pada kulit. Gejala penyakit dekompresi
tipe 2 menyangkut kelainan sistem saraf pusat (stroke), sistem pernapasan, hingga sistem
kardiovaskular (Linggayani and Ramadhian, 2017; Mitchell, Bennet and Moon, 2022). Gejala
yang paling sering muncul ialah nyeri sendi sebanyak 58% kasus, nyeri otot sebanyak 35%, dan
nyeri pinggang sebanyak 7%. Lokasi anatomis nyeri sendi berdasarkan urutan dari yang paling
sering hingga jarang adalah bahu, siku, lutut, dan pergelangan kaki (Linggayani and Ramadhian,
2017; Cooper and Hanson, 2022; Mitchell, Bennet and Moon, 2022). Gejala kedua terbanyak
akibat penyakit dekompresi adalah parestesia sebanyak 63,4% kasus. Gejala penyerta lainnya
dapat berupa sakit kepala, lelah, malaise, gatal-gatal, purpura marmorata, nyeri dada, dyspnea,
mual muntah, anoreksia, kram, dan spasme. Penyakit dekompresi juga dapat menyebabkan
trombositopenia karena menempelnya trombosit pada gelembung gas nitrogen (Linggayani and
Ramadhian, 2017; Wijaya et al., 2021). Kemungkinan defisit neurologis juga dapat terjadi pada
penyakit dekompresi seperti kelainan kognitif, lesi nervus kranialis, hingga disfungsi korda
spinalis karena hancurnya white matter akibat terbentuknya mikrotrombus pada sirkulasi spinal
(Linggayani and Ramadhian, 2017; Moon and Mitchell, 2021; Mitchell, Bennet and Moon,
2022). Manifestasi lainnya dapat berupa gangguan pendengaran seperti tinnitus dan vertigo
(Linggayani and Ramadhian, 2017; Mitchell, Bennet and Moon, 2022). Kemungkinan terburuk
dari penyakit dekompresi merupakan kelumpuhan/paralysis atau bahkan kematian (Linggayani
and Ramadhian, 2017; Wijaya et al., 2021).
Diagnosis
Penegakan diagnosis dari penyakit dekompresi bergantung dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
pasien, tanpa ada kebergantungan terhadap pemeriksaan penunjang spesifik (Linggayani and
Ramadhian, 2017; Cooper and Hanson, 2022). Hal tersebut karena magnetic resonance imaging
(MRI) dan computed tomography (CT) scan memiliki sensitivitas yang rendah dalam membantu
diagnosis penyakit dekompresi (Linggayani and Ramadhian, 2017; Cooper and Hanson, 2022;
Mitchell, Bennet and Moon, 2022). Pengecualian untuk foto polos toraks dengan
mempertimbangkan waktu yang dipakai untuk mlekukan pemeriksaan tersebut. Foto polos toraks
dilakukan untuk melihat apakah pasien mengidap pneumotoraks yang merupakan kontraindikasi
pemberian O2 murni (Cooper and Hanson, 2022; Mitchell, Bennet and Moon, 2022). Kecurigaan
terhadap penyakit dekompresi dapat disimpulkan apabila pasien datang dengan gejala-gejala
penyakit dekompresi dan riwayat menyelam dalam kurun waktu 24 jam sebelumnya (Mitchell,
Bennet and Moon, 2022). Pemeriksaan neurologis harus dilaksanakan secara menyeluruh pada
pasien dengan kecurigaan penyakit dekompresi untuk melihat gangguan lain yang tidak
dikeluhkan pada saat anamnesis (Cooper and Hanson, 2022).
Tatalaksana
Ketepatan terapi terhadap penyakit dekompresi dipengaruhi oleh keluhan yang muncul, hasil
pemeriksaan fisik, dan juga kondisi lingkungan (Gambar 1) (Mitchell, Bennet and Moon, 2022).
Sebagian besar gejala penyakit dekompresi akan segera berkurang jika diterapi dengan segera.
Secara umum kondisi gejala ringan seperti nyeri sendi dan otot akan berkurang dan menghilang
seiring dengan berkurangnya kedalaman/tekanan atau beberapa saat setelah selesai melakukan
penyelaman (Linggayani and Ramadhian, 2017). Apabila tanda dan gejala yang muncul persisten
maka terapi utama yang diberikan kepada pasien adalah oksigen 100% bertekanan tinggi atau
hyperbaric oxygen therapy (HBOT) (Linggayani and Ramadhian, 2017; Moon and Mitchell,
2021).

Gambar 1: Alur Penatalaksanaan Penyakit Dekompresi dan Emboli Gas Arteri pada Penyelam.
(Mitchell, Bennet and Moon, 2022)
Pertolongan pertama pada pasien penyakit dekompresi adalah reposisi, pemberian oksigen 100%,
dan resusitasi cairan. Pemeriksaan terhadap airway, breathing, dan circulation (ABC)
dilaksanakan apabila pasien datang dalam keadaan tidak sadar. Pasien diposisikan pada posisi
terlentang/supinasi atau left lateral decubitus (pada pasien tidak sadar atau pasien muntah) untuk
mempertahankan airway (Moon and Mitchell, 2021; Cooper and Hanson, 2022; Mitchell, Bennet
and Moon, 2022). Oksigen 100% pada tekanan permukaan (1 ATA) diberikan secepatnya setelah
dicurigai mengalami penyakit dekompresi (Linggayani and Ramadhian, 2017; Moon and
Mitchell, 2021; Mitchell, Bennet and Moon, 2022). Penelitian menunjukan dari 1045 penyelam
dengan penyakit dekompresi yang mendapatkan oksigen sebagai pertolongan pertama, 14%
mengalami kehilangan gejala secara total dan 51% mengalami penurunan keparahan gejala
(Mitchell, Bennet and Moon, 2022). Dehidrasi ringan umum terjadi pada penyelam yang
diakibatkan oleh immersion diuresis. Resusitasi secara oral diberikan kepada pasien sadar
dengan cairan yang mengandung sodium dan glukosa. Apabila pasien tidak sadar, cairan yang
diberikan berupa cairan kristaloid isotonik sebanyak satu liter (Moon and Mitchell, 2021;
Mitchell, Bennet and Moon, 2022). Penyelam dengan gejala berat (tipe 2) harus dirujuk
secepatnya untuk dilakukan rekompresi setelah dilakukan stabilisasi dan diberikan oksigen
secara kontinu (Mitchell, Bennet and Moon, 2022).
Terapi definitif dari penyakit dekompresi adalah rekompresi dengan HBOT di dalam hyperbaric
chamber (Linggayani and Ramadhian, 2017; Moon and Mitchell, 2021; Cooper and Hanson,
2022; Mitchell, Bennet and Moon, 2022). Tujuan dari pemberian oksigen bertekanan tinggi ini
adalah untuk mengurangi volume dari gelembung gas yang tebentuk dan mengurangi iskemia
dengan cara mendorong proses redistribusi dari gelembung intravaskular. Oksigen bertekanan
tinggi meningkatkan gradien difusi gas mulia di dalam pembuluh darah ke dalam darah dan
mengembalikan perfusi yang baik untuk jaringan yang rusak (Linggayani and Ramadhian, 2017;
Mitchell, Bennet and Moon, 2022). Tekanan udara 2 ATA akan mengurangi volume gelembung
gas sebesar 50% dan radius gelembung gas sebesar 21,7% (Linggayani and Ramadhian, 2017).
Rekomendasi dari The U.S. Navy Treatment untuk terapi penyakit dekompresi dimulai dengan
rekompresi dengan oksigen bertekanan 2,8 ATA (Moon and Mitchell, 2021; Cooper and Hanson,
2022; Mitchell, Bennet and Moon, 2022). Penggunan oksigen bertekanan tinggi harus dilakukan
dengan hati-hati karena oksigen memeliki efek toksik terhadap sistem saraf pusat dan paru-paru.
Untuk mengurangi kemungkinan intoksikasi seperti kejang, membatasi penggunaan oksigen
100% hingga 3,0 ATA dan digabungkan dengan pernapasan udara bebas secara bergantian
(Linggayani and Ramadhian, 2017). Terapi tambahan dengan nonsteroidal antiinflammatory
drugs (NSAID) seperti tenoksikam dapat mengurangi jumlah terapi rekompresi untuk mengalami
resolusi sempurna dari gejala-gela penyakit dekompresi (Cooper and Hanson, 2022; Mitchell,
Bennet and Moon, 2022). Pemberian NSAID tidak dianjurkan pada pertolongan awal
dikarenakan dapat menutupi gejala yang terdapat pada pasien (Moon and Mitchell, 2021).
Apabila tidak terdapat fasilitas rekompresi yang tersedia dalam jangkauan, maka alternatif dalam
melakukan rekompresi adalah in-water recompression (IWR) (Linggayani and Ramadhian,
2017; Moon and Mitchell, 2021; Cooper and Hanson, 2022; Mitchell, Bennet and Moon, 2022).
Terapi IWR merupakan teknik rekompresi dengan cara mengembalikan pasien ke dalam air pada
kedalaman 9 meter selama 30 menit disertai penggunaan face mask yang terhubung dengan
oksigen 100% bertekanan tinggi (Linggayani and Ramadhian, 2017; Doolette and Mitchell,
2018). Tujuan dari terapi ini adalah untuk mengikuti prinsip dari hyperbaric chamber agar
gelembung-gelembung gas yang terbentuk dapat menghilang secara perlahan (Linggayani and
Ramadhian, 2017; Mitchell, Bennet and Moon, 2022). Teknik ini memiliki risiko lebih tinggi
terhadap hipotermia, dehidrasi, kejang karena toksisitas oksigen, dan tenggelam. Oleh karena itu,
penggunan teknik ini dilakukan pada keadaan darurat dan oleh petugas yang telah terlatih
(Linggayani and Ramadhian, 2017; Doolette and Mitchell, 2018; Moon and Mitchell, 2021;
Cooper and Hanson, 2022; Mitchell, Bennet and Moon, 2022)
Pencegahan
Penyakit dekompresi dapat dicegah dengan edukasi terkait risiko dari penyelaman, mengikuti
instruksi dari instruktur penyelaman, tidak melakukan penyelaman ketika penyelam memilik
penyakit paru-paru, edukasi terkait safety stop/ tidak naik ke permukaan secara cepat setelah
menyelam (Linggayani and Ramadhian, 2017; Cooper and Hanson, 2022).
Penutup
Penyakit dekompresi merupakan sindrom yang disebakan oleh terbentuknya gelembung-
gelembung udara di jaringan atau pembuluh darah akibat gas mulia (umumnya nitrogen) yang
terlarut tidak terbuang secara sempurna melalui paru-paru. Faktor risiko utama dari penyakit
dekompresi pada penyelam adalah kedalaman penyelaman, durasi, frekuensi, dan kecepatan naik
ke permukaan. Penyakit dekompresi terbagi dua berdasarkan gejala yang terdapat pada
penyelam, tipe ringan atau tipe 1 dengan gejala nyeri sendi, otot, dan kelainan pada kulit seperti
gatal-gatal dan kebiruan dan tipe berat yang mencapai kelainan dari sistem saraf pusat atau tipe
2. Tanda dan gejala yang paling sering dari penyakit dekompresi merupakan nyeri sendi, nyeri
otot, dan rasa kesemutan/parestesia pada ekstermitas. Namun, komplikasi seperti kelumpuhan
dan bahkan kematian juga dapat terjadi. Penatalaksanaan penyakit dekompresi dimulai dengan
pemberian oksigen 100% pada tekanan atmosfer dan apabila gejala persisten maka harus
diberikan terpi definitif berupa rekompresi dengan hyperbaric chamber. Penyakit dekompresi
merupakan penyaki yang berisiko pada penyelam, namun masih dapat dicegah dengan cara
edukasi terkait risiko dari penyelaman, mengikuti instruksi dari instruktur penyelaman, tidak
melakukan penyelaman ketika penyelam memilik penyakit paru-paru, edukasi terkait safety stop/
tidak naik ke permukaan secara cepat setelah menyelam.
Daftar Pustaka
Cooper, J. S. and Hanson, K. C. (2022) ‘Decompression Sickness’, StatPearls, NCBI Bookshelf.
Doolette, D. J. and Mitchell, S. J. (2018) ‘In-water recompression’, Diving and Hyperbaric
Medicine, 48(2), pp. 84–95. doi: 10.28920/dhm48.2.84-95.
Duke, H. I. et al. (2016) ‘Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian Penyakit
Dekompresi pada Penyelam Tradisional (Studi Kasus di Karimunjawa)’, Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas, 1(1), pp. 9–14. Available at:
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jekk/article/view/3936.
Jusmawati, Arsin, A. A. and Naiem, F. (2016) ‘FAKTOR RISIKO KEJADIAN
DECOMPRESSION SICKNESS PADA PULAU SAPONDA Risk Factors of Decompression
Sicknessin Traditional Divers of a Fishing Community in Saponda Island’, Jurnal MKMI, 12(2),
pp. 63–69.
Linggayani, N. M. A. and Ramadhian, R. (2017) ‘Penyakit Caisson pada Penyelam’, Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung, 4(2), pp. 1–6.
Mitchell, S. J., Bennet, M. H. and Moon, R. E. (2022) ‘Decompression sickness and arterial gas
embolism’, The NewEngland Journal of Medicine, 386(13), pp. 1254–1264. doi:
10.1056/nejmra2116554.
Moon, R. E. and Mitchell, S. J. (2021) ‘Hyperbaric oxygen for decompression sickness’,
Undersea & hyperbaric medicine : journal of the Undersea and Hyperbaric Medical Society,
Inc, 48(2), pp. 195–203.
Suranani, M., Hartono, R. and Aluddin (2019) ‘Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Decompression Sickness Pada Aktivitas Penyelaman Menggunakan Kompressor’, Jurnal
Keperawatan, 3(2), pp. 30–35.
Widyastuti, S. R., Hadisaputro, S. and Munasik, M. (2019) ‘Berbagai Faktor yang Berpengaruh
Terhadap Kualitas Hidup Penyelam Tradisional Penderita Penyakit Dekompresi’, Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 4(1), p. 45. doi: 10.14710/jekk.v4i1.4429.
Wijaya, D. R. et al. (2018) ‘FAKTOR RISIKO MASA KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT
TERHADAP RISK FACTORS WORKING LIFE AND BREAK TIME TO DECOMPRESSION
SICKNESS IN FISHERMAN IN BARRANG LOMPO ISLAND AlamatKorespondensi : Dian
Rezki Wijaya , SKM , Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanud’, 2(1), pp. 318–327.
Wijaya, D. R. et al. (2021) ‘Faktor Risiko Penyakit Dekompresi Pada Nelayan Penyelam Di
Pulau Barrang Lompo’, Media Kesehatan Politeknik Kesehatan Makassar, 16(1), p. 69. doi:
10.32382/medkes.v16i1.2005.

Anda mungkin juga menyukai