Anda di halaman 1dari 63

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

PENERAPAN MOBILISASI PROGRESIF LEVEL 1


DALAM MENINGKATKAN SATURASI OKSIGEN
PADA PASIEN STROKE YANG MENGALAMI
PENURUNAN KESADARAN DI RSUD
DR. M. YUNUS BENGKULU
TAHUN 2024

DISUSUN OLEH :

ZIKRI JAZULI M. NOER


NIM. P05120221104

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU
PROGRAM D III KEPERAWATAN BENGKULU
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2023-2024
HALAMAN JUDUL
PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

PENERAPAN MOBILISASI PROGRESIF LEVEL 1


DALAM MENINGKATKAN SATURASI OKSIGEN
PADA PASIEN STROKE YANG MENGALAMI
PENURUNAN KESADARANDI RSUD
DR. M. YUNUS BENGKULU
TAHUN 2024

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menyelesaikan


Program Diploma III Jurusan Keperawatan
Poltekkes Kemenkes Bengkulu

DISUSUN OLEH :

ZIKRI JAZULI M. NOER


NIM. P05120221104

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU
PROGRAM D III KEPERAWATAN BENGKULU
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2023-2024
ii
HALAMAN PERSETUJUAN

Dengan judul :

PENERAPAN MOBILISASI PROGRESIF LEVEL 1


DALAM MENINGKATKAN SATURASI OKSIGEN
PADA PASIEN STROKE YANG MENGALAMI
PENURUNAN KESADARANDI RSUD
DR. M. YUNUS BENGKULU
TAHUN 2024

Dipersiapkan dan dipresentasikan oleh:

ZIKRI JAZULI M. NOER


NIM. P05120221104

Program Studi Diploma III Keperawatan


Poltekkes Kemenkes Bengkulu

Oleh:
Pembimbing Karya Tulis Ilmiah

Ns. Erni Buston,SST.,M.Kes

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikah rahmat dan
karunia Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan
Judul Penerapan Abdominal Swedish Massage Dalam Mencegah konstipasi pada
pasien stroke Di RSUD Dr. M. Yunus bengkulu Tahun 2024. Dalam penyusunan
Proposal Karya Tulis Ilmiah ini penulis mendapatkan bimbingan dan bantuan baik
materi maupun nasehat dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan
proposal ini tepat pada waktunya. Oleh karena itu penulis mengucapkan
terimakasih kepada :
1. Ibu Eliana, SKM.,MPH., selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kementerian
Kesehatan Bengkulu yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan di Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan
Kementerian Kesehatan Bengkulu.
2. Ibu Ns.Septiyanti, S.Kep.,M.Pd., selaku Ketua Jurusan Keperawatan
Poltekkes Kemenkes Bengkulu.
3. Ibu Asmawati, S.Kp.,M.Kep., selaku Ketua Program Studi D-III
Keperawatan Poltekkes Kemenkes Bengkulu.
4. Ibu Ns. Husni, S.Kep.,M.Pd selaku pembimbing yang telah menginspirasi
dan banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan
bimbingan dan pengarahan dengan penuh kesabaran dan penuh perhatian
kepada penulis dalam menyusun studi kasus ini.
5. Seluruh Dosen dan Staff di Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes
Bengkulu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah
ini masih banyak terdapat kesalahan baik dari segi penulisan maupun penyusunan,
oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan bimbingan dari berbagai pihak
agar penulis dapat berkarya lebih baik dan optimal lagi di masa yang akan datang.
Bengkulu, 8 Januari 2024

Penulis

iv
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stroke masih menjadi salah satu masalah kesehatan terbesar dan
sangat serius di dunia. Stroke merupakan kondisi medis darurat yang dapat
menyebabkan kerusakan otak permanen, kecacatan, atau bahkan kematian.
(Cahyati et al., 2023). World Health Organization (WHO) melaporkan
stroke menempati posisi kedua dari sepuluh penyebab kematian terbesar di
dunia. Stroke menyumbang 16% dari total kematian dan 11% dari total
kasus morbiditas. Sejak tahun 2000, jumlah kematian akibat stroke
meningkat lebih dari 2 juta menjadi 8,9 juta pada tahun 2019 (WHO),
2023)
World Stroke Organization (WSO) menginformasikan pada tahun
2022 terdapat lebih dari 101 juta penderita stroke dan bertambah sebanyak
12,2 juta setiap tahunnya. WSO juga menyatakan Stroke menyebabkan 6,5
juta kematian setiap tahun dan lebih dari 143 juta tahun kehilangan hidup
sehat karena kecacatan dan kematian akibat stroke.((WSO), 2022). Data
dari Centers for Disease Control and Prevention menyatakan satu dari 6
kematian penyakit kardiovaskular disebabkan oleh stroke dan
menunjukkan ada lebih dari 795.000 kasus baru stroke di Amerika setiap
tahunnya. Angka kematian akibat stroke pada tahun 2020 sampai tahun
2021 meningkat dari 38,8% menjadi 41,1% (CDC, 2020)

Indonesia menempati peringkat pertama dengan penderita penyakit


stroke terbanyak di Asia yang diprediksi akan terus meningkat pada tahun
2030 sebesar 23,3 juta. Data Riskesdas menunjukkan pada tahun 2018
Secara umum, prevalensi tanda dan gejala stroke di Indonesia 10,9 per
1000 yang dapat diartikan terdapat 10 individu dari 1000 penduduk yang
tercatat menderita penyakit stroke. Prevelensi penderita stroke yang
tinggal di perkotaaan lebih besar (63,9%) dibandingkan yang tinggal di
pedesaan sebesar (36,1%) dan prevalensi stroke untuk Provinsi Bengkulu

1
2

sebesar (9,5%) meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar 0,3%.


(Riskesdas, 2018).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan provinsi Bengkulu 2018
prevalensi penyakit stroke pada individu berusia lebih dari lima belas tahun
di Bengkulu adalah 12.322 ribu (9,54%). Jumlah tersebut meningkat
sebanyak 9,24% dibanding dengan prevalensi stroke di Provinsi Bengkulu
tahun 2013 yaitu 0,30% (Riskesdas, 2018).
American Heart Association menjelaskan bahwa stroke merupakan
suatu sindrom klinik yang di tandai dengan hilangnya fungsi otak secara
akut dan mengakibatkan kematian (Lindsay et al., 2019). Stroke terjadi
ketika terhentinya suplai darah ke otak secara tiba- tiba sehingga
memblokade suplai oksigen yang merupakan kebutuhan vital bagi otak
sehingga menyebabkan penurunan fungsi otak secara normal (Amin,
2023).
Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang
dikendalikan oleh jaringan itu. Aliran darah yang berhenti membuat suplai
oksigen dan zat makanan ke otak berhenti, sehingga sebagian otak tidak
bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga mengakibatkan kelainan
hemodinamik, salah satunya saturasi oksigen yang rendah, disebabkan oleh
tidak teraturnya aliran darah pada pasien stroke. Saturasi oksigen
menunjukan apakah perfusi jaringan atau oksigen adekuat, sehingga
pemantauan saturasi oksigen sangat penting untuk di lakukan (Dzulhidayati
AS,2021).
Kekurangan oksigen memiliki efek yang signifikan pada tubuh
seperti kehilangan kesadaran hingga kematian, karena oksigen sangat
penting untuk metabolisme sel. Karena itu, berbagai upaya selalu perlu
dilakukan untuk memastikan kebutuhan dasar ini terpenuhi.(Ramadiansya).
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki saturasi oksigen adalah
mobilisasi progresive (Astuti et al., 2022).
Mobilisasi progresif adalah pergerakan yang di lakukan secara
bertahap pada pasien-pasien dengan kondisi kritis (Mobiliu & Tomayahu,
3

2021). Mobilisasi progresif level 1 merupakan tindakan yang di lakukan


secara bertahap berurutan dengan posisi awal Head OF Bbed 30°, latihan
ROM pasif, selanjutnya pasien di posisikan miring kiri dan ke kanan
(Astuti et al., 2022).
Mobilisasi progresif dapat meningkatkan saturasi oksigen hal ini di
karenakan setelah diberikan mobilisasi progresif level 1 pada posisi Head
of Bed, gravitasi akan menarik diafragma kebawah sehingga terjadi
ekspansi paru (menyebarnya oksigen dalam paru) yang lebih baik
sehingga oksigen yang diikat oleh hemoglobin meningkat maka
terjadi peningkatan nilai saturasi oksigen (Suyanti et al.,2019)
American Association of Critical Care Nurses (AACN)
memperkenalkan intervensi mobilisasi progresif yang terdiri dari 5 level:
level I terdiri dari Head of Bed (HBO), latihan Range of Motion (ROM)
pasif, di lanjutkan dengan posisi Continous Lateraly Rotation Therapy
(CLRT). Level II jika status hemodinamik pasien sudah mulai stabil maka
pasien diberikan ROM aktif dan posisi duduk di kursi. Level III adalah
lanjutan dari level II tetapi pasien diminta melakukan duduk di penggir
tempat tidur dengan kaki menggantung. Level VI dilakukan kegiatan
duduk di kursi khusus atau kursi kecil, kemudian di lanjutkan dengan
duduk di tepi tempat tidur. Level V kegiatan yang dilakukan adalah dengan
duduk di kursi khusus atau kecil di lanjutkan dengan berdiri dan berpindah
tempat. Mobilisasi progresif yang diberikan kepada pasien diharapkan
dapat mengurangi resiko dekubitus dan menimbulkan respon hemodinamik
yang baik.
Hal ini di buktikan dari hasil penelitian terdahulu yang di lakukan
oleh Regita Novrianti (2023) menyatakan bahwa saturasi oksigen sebelum
diberi intervensi mobilisasi progresif level 1 yaitu pada hari pertama 96%,
hari kedua 97%, dan hari ketiga 96%. Hasil saturasi oksigen sesudah diberi
intervensi mobilisasi progresif level 1 yaitu pada hari pertama 100%, hari
kedua 99%, dan hari ketiga 98%. (Novrianti, 2023).
4

Mobilisasi progresif level 1 tidak hanya berpengaruh pada saturasi


oksigen tetapi berpengaruh terhadap tekanan darah. Hal ini dibuktikan oleh
Fatin dkk (2023) menyatakan terdapat penurunan tekanan darah serta
peningkatan saturasi oksigen sebelum dan sesudah dilakukan penerapan
mobilisasi progresif level I. Kesimpulan; Mobilisasi Progresif level I dapat
dijadikan sebagai salah satu teknik non-farmakologis atau intervensi
mandiri pada pasien penurunan kesadaran untuk menurunkan tekanan
darah serta meningkatkan saturasi oksigen (Nurhayati et al., 2023).
Berdasarkan dari data serta uraian diatas, maka penulis tertarik
untuk melakukan studi kasus tentang penerapan Mobilisasi Progrisif Level
1 untuk meningkatkan saturasi oksigen pada penderita stroke yang
mengalami penurunan kesadaran di Ruang Stroke RSUD M.Yunus Kota
Bengkulu tahun 2024.
B. Rumusan Masalah
Apakah Penerapan mobilisasi progresif level 1 Dapat Meningkatkan nilai
saturasi oksigen pada pasien dengan penurunan kesadaran ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui penerapan mobilisasi progresif level 1 dalam
Meningkatkan nilai saturasi oksigen pada penderita stroke yang
mengalami penurunan kesadaran.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui Karakteristik responden meliputi usia, jenis kelamin,
pendidikan, riwayat penyakit keluarga, jenis penyakit dan nilai
saturasi oksigen.
b. Mengetahui perubahan saturasi oksigen sebelum diberikan terapi
mobilisasi progresif level 1.
c. Mengetahui perubahan saturasi oksigen sesudah diberikan terapi
mobilisasi progresif level 1.
5

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pendidikan (Dosen dan Mahasiswa)
Sebagai pengalaman dan menambah pengetahuan bahwa terapi
mobilisasi progresif level 1 dapat digunakan untuk meningkatan nilai
saturasi oksigen pada penderita stroke.
2. Bagi Pasien dan Keluarga
Pasien dapat mengalami peningkatan status hemodinamik,
meningkatnya kekuatan otot, keluarga memperoleh pengetahuan dan
keterampilan untuk melatih pasien secara mandiri.
3. Bagi RSUD M.Yunus Kota Bengkulu
Studi kasus ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan informasi
tentang terapi non farmakologi yang dapat digunakan oleh perawat
dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan Implementasi Terapi
mobilisasi progresif level 1 untuk meningkatkan saturasi oksigen pada
penderita stroke.
4. Bagi Peneliti Lain
Karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan untuk
penelitian selanjutnya tentang penerapan terapi mobilisasi progresif level 1
dalam meningkatkan saturasi oksigen pada penderita stroke.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar Stroke
1. Definisi Stroke
Stroke atau cedera serebrovaskuler didefinisikan sebagai hilangnya
fungsi otak secara mendadak akibat suplai darah ke bagian otak tidak terpenuhi
(Suddarth, 2018).Gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dan
berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali pembedahan atau kematian) tanpa tanda-
tanda penyebab non-vaskuler (seperti perdarahan subarakhnoid, perdarahan
intraserebral, iskemik, atau infark serebri) dikenal sebagai stroke (Mutiarasari,
2019).
2. Klasifikasi, Etiologi dan Manifestasi Klinis Stroke
a. Stroke Non Hemoragik (Stroke Iskemik)
Stroke yang terjadi karena suplai darah yang tidak lancar atau
terhambat ke area otak karena penyumbatan atau penyempitan pembuluh
darah, disebut stroke iskemik. (Tamburian, 2020).Stroke iskemik terjadi
ketika pembuluh darah arteri yang membawa darah dan oksigen ke otak
menyempit, mengakibatkan penurunan aliran darah ke otak. (E. C. Utami,
2018).

Etiologi :
Stroke Non Hemoragik dapat disebabkan oleh : (Wijaya & Putri,
2013) :

1. Trombosis Serebral
Gumpalan dalam arteri dapat menghasilkan gangguan aliran darah ke
otak, mengakibatkan kekurangan oksigen dan menyebabkan kondisi iskemik
dan infark. Arterosklerosis merujuk pada kondisi pembuluh darah mengalami
penyempitan, mengakibatkan penumpukan plak.
2. Emboli Serebral
Emboli dapat menyebabkan penyumbatan atau konklusi pada
pembuluh darah otak karena berada di dalam pembuluh darah. Udara, tumor,

6
7

lemak, dan bakteri adalah beberapa sumber emboli. Trombosis dapat terjadi
di dalam jantung, namun juga bisa berasal dari plak aterosklerosis yang
terbentuk pada sinus karotikus atau arteri karotis interna.
Manifestasi Klinis :
Tanda dan Gejala Stroke Non Hemoragik melibatkan gangguan aliran
darah ke otak tanpa adanya pendarahan. Beberapa manifestasi umum dari jenis
stroke ini mencakup: (Wijaya & Putri 2013) :
a. Kehilangan Kemampuan Motorik
1. Salah satu anggota tubuh mengalami kelemahan dan kelumpuhan.
2. Kekuatan otot mengalami penurunan
b. Gangguan Bicara
1. Disatria adalah kelumpuhan pada saraf yang mengontrol fungsi
berbicara, sehingga menyebabkan kesulitan dalam kemampuan
berbicara.

2. Wajah tidak simetris (Facial Palsy), bicara cedal atau pelo dan
kehilangan kemampuan dalam berbicara.
c. Gangguan Persepsi
1. Hemoplasia atau kehilangan setengah lapang pandang di salah satu sisi
tubuh.
2. Menghindari sisi tubuh yang sakit
3. Ketidakmampuan merasakan atau kehilangan kemampuan sensori, baik
itu rasa atau sentuhan.
Menurut (Budi, 2018), manifestasi klinis stroke yaitu :
1) Defisit lapang penglihatan
a) Homonimus hemianopsia, atau kehilangan setengah lapang penglihatan,
adalah kondisi di mana seseorang kehilangan separuh dari lapangan
penglihatannya.
b) Diplopia Penglihatan ganda
2) Defisit Motorik
a) Hemiparesis merujuk pada kelemahan pada wajah, lengan, dan kaki di
sisi tubuh yang sama; paralisis pada wajah dapat terjadi akibat cedera
pada hemisfer yang berlawanan.
8

b) Kesulitan dalam berjalan tegak, kesulitan menyatukan kaki, dan


kebutuhan akan dasar berdiri yang luas menciptakan tantangan dalam
mobilitas dan keseimbangan.
c) Disfagia merujuk pada kesulitan menelan atau sulitnya proses menelan
makanan atau cairan.

3) Defisit Verbal
a) Afasia ekspresif , Penderita afasia ekspresif hanya mampu bicara
dengan respon satu kata dan membentuk kata yang sulit untuk dipahami.
b) Afasia reseptif, penderita afasia reseptif sulit untuk memahami kata
yang diucapkan dan cenderung mengucapkan kata-kata yang tidak
masuk akal.
c) Afasia global adalah suatu bentuk kombinasi antara afasia ekspresif dan
afasia reseptif.
Disartria, gangguan motorik yang mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk mengontrol otot-otot yang terlibat dalam berbicara, menghasilkan
ketidakmampuan dalam mengucapkan kata-kata dengan jelas.
4) Defisit Kognitif
Kehilangan memori baik yang bersifat jangka pendek maupun
panjang, penurunan kemampuan fokus, kesulitan dalam berkonsentrasi,
penurunan kemampuan merespons hal-hal abstrak, dan perubahan dalam
kemampuan menilai merupakan gejala-gejala dari serangan stroke.
5) Defisit Emosional
Penderita akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan diri,
mengelola perasaan emosional, mengalami penurunan toleransi terhadap
situasi yang menimbulkan stres, depresi, kecenderungan untuk menarik
diri, rasa takut, sikap bermusuhan, dan kemarahan, juga merasakan
perasaan isolasi.
b. Stroke Hemorogik
Stroke hemoragik adalah jenis stroke yang disebabkan oleh cedera
atau perdarahan di otak. Hipertensi, aneurisma, dan pengenceran darah
adalah beberapa kondisi yang dapat menyebabkan pembentukan pembuluh
darah otak pecah (H. & Utami, 2019).
9

Ketika pembuluh darah di otak pecah dan menyebabkan


perdarahan, kondisi tersebut disebut sebagai stroke hemoragik. Beberapa
faktor yang dapat memengaruhi pembuluh darah, seperti tekanan darah
tinggi yang tidak terkontrol, pelemahan dinding pembuluh darah, dan
penggunaan obat pengencer darah, dapat menjadi penyebab terjadinya
pendarahan di otak. Stroke hemoragik dibagi menjadi dua kategori utama,
yaitu perdarahan intraserebral dan subarachnoid.(Setiawan, 2020).
Etiologi :
Stroke hemoragik disebabkan karena adanya kebocoran atau pecahnya
pembuluh darah di otak (Lingga, 2013) Ada beberapa kondisi penyebab
pembuluh darah di otak pecah dan mengalami pendarahan :

a) Aneurisma Berry, Ruptur aneurisma berry (aneurisma sakuler atau


aneurisma kongenital), jenis aneurisma intra serebral yang paling umum,
disebabkan oleh hipertensi dan merokok. Perdarahan subaraknoid non
traumatik paling sering terjadi pada aneurisma berry. Aneurisma Berry
jarang ditemukan pada anak-anak dan meningkat seiring bertambahnya
usia.
b) Aneurisma Fusiformis dari Aterosklerosis
Aterosklerosis adalah kondisi di mana dinding pembuluh darah mengeras
dan mengalami penurunan elastisitas atau kelenturan. Dinding arteri
menjadi lemah, menyebabkan aneurisma, yang kemudian menyebabkan
robek dan perdarahan.
c) Malformasi arteriovenosa, yang merupakan pembuluh darah dengan
bentuk abnormal, menyebabkan pembuluh darah langsung masuk ke vena,
yang mudah pecah dan menyebabkan perdarahan otak.
d) Ruptur Arteriol Serebral terjadi akibat hipertensi yang menyebabkan
penebalan dan degenerasi pembuluh darah.

Manifestasi Klinis :
Menurut (Unnithan, A. K., & Mehta, 2022) Manifestasi klinis umum
dari stroke hemoragik melibatkan sejumlah gejala yang dapat muncul secara
tiba-tiba. Beberapa di antaranya termasuk:
10

a) Sakit kepala biasanya terjadi pada hematoma besar.


b) Mutah, yang sering terjadi pada hematoma sereblar, menunjukkan
peningkatan tekanan intrakranial..
c) Koma terjadi ketika sistem aktivasi retikuler batang otak terlibat.
e) Perdarahan lobaris dapat menyebabkan kejang, afasia, dan hemianopia.
Perdarahan lobaris juga dapat menyebabkan prodrom seperti sakit kepala,
kesemutan, dan kelemahan.
f) hilangnya semua modalitas sensorik, yang merupakan karakteristik utama
perdarahan thalamic.
g) Defisit sensorimotor kontralateral adalah gambaran dari perdarahan di
ganglia basalis dan talamus.
h) Kelumpuhan tatapan vertikal, ptosis, dan pupil tidak reaktif dapat terjadi
jika hematoma talamus menyebar ke otak tengah.
i) Disfungsi saraf kranial dengan kelemahan kontralateral menunjukkan
adanya hematoma pada batang otak.
j) Hematoma pontine dapat menghasilkan koma dan quadriparesis.

a) Faktor Resiko
Faktor risiko terjadinya stroke menurut ((AHA), 2015) dapat
dikelompokkan menjadi 2, yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain:
1) Faktor genetik,
Riwayat keluarga dapat menjadi salah satu faktor resiko seseorang
mengalami stroke
2) Ras
Ras kulit hitam lebih sering mengalami hipertensi dari pada ras kulit
putih, sehingga ras kulit hitam memiliki risiko lebih tinggi terkena
stroke.
3) Usia
Orang berusia 55 tahun atau lebih memiliki risiko stroke yang
lebih tinggi daripada orang yang lebih muda.
11

4) Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki risiko stroke lebih tinggi dibandingkan perempuan
karena kebiasaan merokok.
5) Riwayat Stroke Sebelumnya
Seseorang yang pernah mengalami serangan iskemia transien (TIA)
juga berisiko mengalami stroke. Menurut American Heart Association
(2015), serangan TIA menyumbang 25% dari semua stroke.
b. Faktor risiko yang dapat diubah meliputi :
1) Obesitas (kegemukan)
Obesitas secara tidak langsung menyebabkan stroke, yang diperantarai
oleh sejumlah penyakit yang ditimbulkan oleh obesitas.
2) Hipertensi
Penyebab utama stroke adalah hipertensi; beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pengendalian tekanan darah dapat mengurangi
risiko stroke sebesar 41% (AHA, 2015; WHO, 2014).
3) Hiperlipidemia
Sumbatan aliran darah dapat terjadi karena hiperlipidemia, kondisi
yang ditandai dengan tingginya kadar lemak di dalam darah.
4) Kebiasaan Merokok dan Mengkonsumsi Alkohol

Menurut American Heart Association (2015), merokok dan


mengkonsumsi alkohol meningkatkan risiko stroke karena memicu
pembentukan plak dalam pembuluh darah.
12

c. WOC

- Faktor pencetus hipertensi, DM, Penyakit jantung


- Merokok, ster, gaya hidup yang tidak baik
- faktor obesitas dan kolesterol yang meningkat dalam
darah
Penimbunan lemak / kolesterol yang meningkat dalam darah

Lemak yang sudah nekrotik dan berdegenerasi

Infiltrasi limfosit (trombus) Penyempitan pembuluh


darah (oklusi Vaskuler)
Arteriosklerosis
Pembuluh darah menjadi
Aliran darah lambat
Pembuluh darah menjadi
Trombus Mengikuti
Cerebral Aliran
darah Turbulensi
Stroke Stroke Non
Hemoragik Hemoragik
Eritrosit bergumpal
Stroke non Emboli
hemoragic
Endotil Rusak

Proses metabolism dalam otak Cairan plasma hilang


terganggu
MK 3: Resiko Edema Cerebral
Ketidakefektifan
Penurunan suplai darah & O2 MK 7:
Perfusi jaringan
ke Otak Nyeri
Otak Peningkatan TIK kronik

Arteri Vetebra Arteri Arteri cerebri


Basilaris carotis media
Kerusakan Kerusakan Penurunan
neurocerebros Neurologis, Fungsi N.X,
Disfungsi N.II
Disfungsi N XI N.IX Disfungsi N.XI
pinal N.VII, deficit N.I,
NIX, N.XII N.II, N
Kelemahan anggota Proses menelan Penurunan Kegagalan
gerak tidak efektif Aliran Darah menggerakkan
Perubahan
ketajaman ke Retina anggota tubuh
Kehilangan fungsi sensori,
MK 1: Hambatan Tonus otot fasial penghidu, Refluk MK4:
mobilitas fisik penglihatan dan
Resiko MK1:
pengecapan
Jatuh Hambatan
MK 2: Hambatan Disfagia Mobiltas Fisik
komunikasi verbal Kebutaan
Sumber :
1. Nanda 2015
Gangguan MK MK 5:
2. Smeltzer & Bare 2008 6:Ketidakseimb
Sensori Gangguan MK 8: Defisit
angan Nutrisi Menelan Perawatan Diri
13

d. Pemeriksaan Penunjang Stroke


Pemeriksaan diagnostik menurut (Sutarwi et al., 2020)
1. Angiografiserebral
Angiografi serebral adalah suatu prosedur diagnostik yang
digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor khusus yang
dapat menjadi penyebab stroke, seperti pendarahan atau
penyumbatan arteri.
2. Single-Photon Emission Computed Tomography (SPECT) Single-
Photon Emission Computed Tomography (SPECT) adalah suatu
metode pencitraan medis yang digunakan untuk mendeteksi,
mengidentifikasi, dan mengukur stroke di daerah otak serta area
yang mengalami ketidaknormalan.
3. Computed tomography scan (CT-Scan)
Pemindaian ini menunjukkan di mana edema, hematoma, dan
infark atau iskemia terletak di jaringan otak. Pada kasus di mana
ada kemungkinan perdarahan subarachnoid, pemeriksaan ini
harus dilakukan dalam waktu kurang dari dua belas jam. Jika
hasil scan CT scan tidak menunjukkan perdarahan subarachnoid,
tindakan fungsi lumbal dilakukan segera untuk melihat hasil
cairan serebrospinal selama dua belas jam. Setelah itu,
xanthochroxanthochromia ditemukan melalui spektrofotometri
cairan serebrospinal.
4. MRI
Dengan menggunakan gelombang magnet, dapat diidentifikasi lesi
dan infark yang disebabkan oleh perdarahan di otak. MRI tidak
disarankan untuk menemukan perdarahan, dan tidak disarankan
untuk menemukan perdarahan subarachnoid.
5. Elektroensefalografi (EEG)
Elektroensefalografi (EEG) adalah suatu metode diagnostik yang
digunakan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan berdasarkan
14

pola gelombang otak atau untuk mendeteksi adanya lesi tertentu


di otak.
6. Sinar X tengkorak
Dalam klasifikasi karotis interna, terdapat trhombus serebral,
yang menunjukkan perubahan di daerah kelenjar pineal yang
berlawanan dari waktu ke waktu. klasifikasi parsial dinding,
aneurisma pada perdarahan subarchnoid
7. Ultrasonografi Doppler
Ultrasonografi Doppler adalah teknik pencitraan medis digunakan
untuk mengidentifikasi penyakit arteriovena, yaitu masalah jangka
panjang dengan sistem atau aliran darah, termasuk munculnya
plak atau aterosklerosis.
8. Pemeriksaan foto thorax
Pemeriksaan foto thorax dapat memberikan informasi mengenai
pembesaran ventrikel kiri, yang dapat menjadi tanda hipertensi
kronis. Pemeriksaan labolatorium
a. Fungsi lumbal :
Tekanan tinggi dan cairan darah menunjukkan perdarahan
subarchnoid atau intrakranial. Sebaliknya, trhombosis, emboli,
dan TIA biasanya terjadi dengan tekanan normal. Trhombosis
memiliki korelasi dengan inflamasi.
b. Pemeriksaan darah rutin pada penderita stroke melibatkan analisis
berbagai parameter darah untuk membantu menilai kondisi
kesehatan secara umum dan mengidentifikasi faktor- faktor risiko
yang mungkin berkontribusi pada stroke.
c. Pemeriksaan kimia darah : Kadar glukosa yang tinggi dapat
terjadi pada fase akut stroke dan dapat memengaruhi prognosis
serta manajemen pasien.
15

e. Penatalaksanaan Medis
Menurut (LeMone, 2016) terapi yang diperlukan untuk
rehabilitasi pasien pasca stroke adalah :
1) Pemeriksaan Saraf Kranial
a) Saraf 1 (olfaktorius) Metode pemeriksaan dimulai dengan
meminta klien untuk mencium aroma lemah seperti cologne,
vanili, dan cengkeh dengan menutup lubang hidung. (Mutaqin,
2011).
b) Saraf II (optikus) Pemeriksaan saraf optik termasuk
pemeriksaan ketajaman penglihatan, lapang pandang, dan
fundus. (Mutaqin, 2011).
c) Saraf III (okulomotor), IV (troklearis), VI (abdusen)
Pemeriksaan saraf okulomotor, troklearis, dan abdusen
termasuk memeriksa fungsi dan reaksi pupil, melihat bentuk
dan ukuran pupil, membandingkan pupil kanan dan kiri,
memeriksa refleks pupil, dan memeriksa gerakan bolamata
volunter dan involunter. (Mutaqin, 2011)
d) Saraf V (trigeminus) Pemeriksaan fungsi saraf trigeminus
termasuk evaluasi fungsi saraf motorik, sensorik, dan refleks
trigeminal. (Mutaqin, 2011).
e) Saraf VII (fasialis) adalah dengan memeriksa apakah ada
asimetri di wajah, kemudian melakukan latihan kekuatan otot
dengan meminta klien memandang ke atas dan mengerutkan
dahi. Setelah itu, klien diminta untuk menutup kedua matanya
dengan kuat dan membandingkan seberapa dalam bulu mata
terbenam. Setelah itu, mencoba membuka kedua matanya.
(Mutaqin, 2011).
16

f) Saraf VIII (vestibulokoklearis/saraf akustikus) Perawat dapat


memeriksa fungsi vestibular dengan melihat apakah ada
keluhan pusing atau gangguan pendengaran. Ini dapat
dilakukan dengan menggunakan garputala (Mutaqin, 2011).
g) Saraf IX dan X (glosofaringeus dan vagus) Pemeriksaan
palatum mole adalah langkah pertama dalam menilai saraf
glosofaringeus dan vagus. Jika klien mengatakan "ah", palatum
mole harus terangkat secara simetris dan tidak miring ke satu
sisi. Reaksi wajah klien saat mereka minum segelas air
digunakan untuk menilai efek menelan mereka (Mutaqin,
2011).
h) Saraf XI (asesorius) Dengan memperhatikan atrofi
sternokleidomastoideus dan trapezius serta kekuatan otot- otot
tersebut, fungsi saraf asesorius dapat dinilai. Klien diminta
untuk memutar kepala ke arah satu bahu dan mencoba
menggerakkan kepala ke arah bahu yang berlawanan untuk
menguji kekuatan 35 otot sternokleidomastoideus. Untuk
mengetahui kekuatan otot sternokleidomastoideus pada sisi
yang berlawanan, tes ini dapat diulang pada sisi yang
berlawanan (Mutaqin, 2011).
i) Saraf XII (hipoglosus) Selama pemeriksaan, klien diminta
untuk menjulurkan lidahnya, yang akan mengakibatkan deviasi
ke arah sisi yang lemah (terkena). Ini dilakukan untuk
menentukan apakah terdapat lesi pada neuron motor atas atau
bawah unilateral. Lesi pada saraf otak atas biasanya bilateral
dan menyebabkan kelumpuhan dan imobilitas. Lesi pada saraf
otak bawah bilateral dari saraf IX, X, dan XII disebut
kelumpuhan pseudobulber. Lesi pada saraf otak bawah
bilateral dari saraf XII menyebabkan fasikulasi, kelumpuhan,
dan disartria (Mutaqin, 2011).
17

2) Terapi Fisik
Terapis fisik mengajarkan pasien kembali berjalan, duduk,
berbaring, dan beralih dari satu gerakan ke gerakan lain untuk
mencegah otot menjadi lemah

3) Terapi Okupasi
Keterampilan motorik yang hilang dapat diperoleh kembali melalui
terapi okupasi, yang sangat meningkatkan kualitas hidup setelah
stroke. Membaca, menulis, makan, memasak, dan membersihkan
diri adalah contoh dari terapi okupasi
4) Terapi Bicara
Terapi bicara diberikan untuk memperbaiki cara menelan dan
meningkatkan keterampilan bahasa dan komunikasi.

B. Konsep Penurunan Kesadaran


1. Definisi
Disorders Of Consciousness (DOC) adalah gangguan kesadaran
atau mungkin istilah yang lebih dikenal selama ini adalah penurunan
kesadaran. Kesadaran terdiri dari dua komponen : Awareness (tanggap)
dan Arousal (bangun). Arousal/wakefullness adalah tingkat kesadaran
(secara klinis ditentukan oleh kemampuan membuka mata), sedangkan
awareness merujuk pada makna kesadaran itu sendiri (secara klinis
ditentukan oleh kemampuan berspons terhadap perintah atau perilaku
non-refleks seperti kemampuan melihat obyek atau melokalisasi
rangsang nyeri). Arousal berkaitan dengan struktur otak yaitu
brainstem/batang otak dan hipotalamus, sedangkan Awareness berkaitan
dengan koneksi yang luas meliputi area fronto-parietal korteks, jaras
asosiasi dan talamus.
2. Patofisiologi
Secara patologi, penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh :
a. Gangguan metabolik, infeksi , toksik, yang menyebar difus ke korteks
otak, ARAS atau keduanya.
18

b. Masa di supratentorial yang menyebabkan penekanan atau pergeseran


diensefalon atau brainstem.
c. Masa atau lesi disruptif di subtentorial yang menyebabkan penekanan
atau merusak ARAS.
d. Trauma, hipoksik-iskemik, kerusakan akson akibat gangguan metabolic
yang mengganggu kedua hemisfer otak, ARAS atau koneksinya.
Beberapa macam gangguan komunikasi sebagai berikut:

Penurunan kesadaran disebabkan gangguan fungsi neuron di area


tersebut. Koma yang berkepanjangan akibat cedera kepala berat
disebabkan kerusakan akson tanpa adanya cedera berat di korteks atau
ARAS. Oleh karena itu pasien dengan cedera kepala berat akibat trauma
mempunyai prognosis yang lebih baik untuk pemulihan kesadaran
dibandingkan pasien dengan cedera otak akibat hipoksik-iskemik.
3. Etiologi
Infeksi bakteri, virus, riketsia atau protozoa menyebabkan
gangguan kesadaran akibat keterlibatan langsung pada parenkim otak,
pengaruh terhadap aliran darah ke otak, edema otak yang menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial dan peningkatan metabolisme tubuh.
Infeksi virus (ensefalitis) yang tersering melibatkan parenkim otak.
Meningitis bakteri menyebabkan kerusakan otak melalui mekanisme
oklusi pembuluh darah besar, inflamasi mikrovaskular atau gangguan
autoregulasi serebral. Edema otak, lesi fokal /abses, hidrosefalus akibat
infeksi intrakranial dapat menyebabkan kerusakan melalui penurunan
aliran darah ke otak atau herniasi.
Penyebab metabolik dan toksik termasuk ensefalopati hipoksik-
iskemik, ketidakseimbangan elektrolit, endokrinopati, gagal ginjal atau
hati, penyakit genetik-metabolikseperti organik/aminoasiduria, gangguan
sikulus urea, penyakit mitokondria dan porfiria. Gangguan yang bersifat
paroksismal seperti kejang yang tidak terkontrol, status epileptikus non
konvulsif atau migren dapat menyebabkan perubahan kesadaran yang
bersifat episodik.
19

4. Tingkat Kesadaran
a. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
b. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
c. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
d. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
e. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
f. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya)
5. Pemeriksaan Pasien Dengan Gangguan Kesadaran
a. Anamnesis
Penurunan kesadaran dapat bermanifestasi sebagai perburukan,
akibat yang tidak dapat diprediksi atau komplikasi dari penyakit primer,
atau akibat yang tidak diduga dari suatu kejadian atau penyakit.
Penurunan kesadaran tiba-tiba dapat dicurigai sebagai akibat kejang
atau penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran yang didahului rasa
mengantuk atau ketidakseimbangan mengarah kepada konsumsi obat
atau toksin. Demam merupakan tanda penting infeksi susunan saraf
pusat sebagai penyebab penurunan kesadaran. Riwayat sakit kepala
menandakan peningkatan tekanan intrakranial. Pasien dengan riwayat
trauma kepala tetapi tidak terdapat kelianan pada pemeriksaan CT scan
dapat dilakukan peemriksaan MRI kepala untuk melihat ada tidaknya
diffuse axonal injury.
20

b. Pemeriksaan Fisik Umum


Pemeriksaan meliputi tanda vital (laju nadi, laju napas, suhu,
tekanan darah) dan respons terhadap nyeri. Demam biasanya
mengindikasikan infeksi, jarang disebabkan oleh gangguan
termoregulasi di otak. Demam dengan penurunan kesadaran
mengindikasikan sepsis, pneumonia, meningitis, ensefalitis, abses
intrakranial, atau empiema. Demam sangat tinggi dan kulit kering
menandakan heat stroke. Hipotermia sering terapat pada intoksikasi
obat. Takikardia menandakan syok hipovolemik, efek sekunder
demam dan gagal jantung. Bradikardi yang abnormal menandakan
gangguan miokardium, efek lambathipoksemia dan peningkatan
tekanan intrakranial. Laju napas yang cepat menandakan oksigenasi
yang terganggu seperti pada pneumonia, asma atau emboli paru,
asidosis pada ketoasidosis diabetik dan uremia. Lesi di batang otak
dapat menyebabkan hiperventilasi sentral. Pola napas yang periodik,
lambat, ireguler menandakan ingesti toksin atau peningkatan tekanan
intrakranial. Hipotensi terdapat pada syok, sepsis, ingesti obat
tertentu, kerusakan miokardium atau gagal jantung dan insufisiensi
adrenal. Hipertensi dapat merupakan penyebab penurunan kesadaran
seperti pada ensefalopati hipertensi, tetapi dapat juga merupakan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan perfusi ke jaringan
otak pada keadaan peningkatan tekanan intrakranial atau stroke.

Pemeriksaan dan perabaan kepala, kulit kepala dapat sangat


membantu. Sianosis menandakan oksigenasi yang buruk, kuning
mennadakan penyakit hati. Pucat menunjukkan anemia atau syok,
cherry-red spot menandakan keracunan karbon monoksida.
Ditemukannya sefalhematoma, memar, benjolan atau pembengkakan
di kepala menandakan trauma kepala. Cairan bening yang keluar dari
hidung dan telinga menandakan fraktur basis kranii. Jejas atau luka
bakar yang multipel, berbagai bentuk dan terdapat di beberapa lokasi
mencurigakan adanya child abuse. Ruam kemerahan disertai
21

penurunan kesadaran mengindikasikan kearah infeksi riketsia atau


meningokokus. Lesi neurokutaneus seperti tuberosklerosis dengan
penurunan kesadaran menandakan adanya masa intrakranial.
Hiperpigmentasi umum terdapat pada penyakit Addison atau
adrenoleukodistrof.

Bau nafas dapat spesifik pada intoksikasi alkohol,


ketoasidosis diabetik (aroma buah), uremia (bau urin) dan koma
hepatik (musty/ lembab). Pemeriksaan kardiovaskular sangat penting
pada kasus kecurigaan penyakit jantung bawaan atau endokarditis
yang dapat menyebabkan abses intrakranial. Perubahan warna kulit
abdomen atau akut abdomen menandakan perdarahan intrabdomen
sebagai penyebab syok.

c. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan yang penting selain Glasgow Coma Scale adalah


pemeriksaan saraf kranial, gerakan spontan, respons motor terhadap
stimulus serta postur. Inti saraf kranial terdapat di brainstem yang
berdekatan dengan pusat tanda vital. Oleh karena itu pemeriksaan
saraf kranial mencerminkan juga fungsi brainstem. Pemeriksaan
neurologi ini selain bermanfaat untuk diagnosis juga dipergunakan
untuk mengevaluasi kondisi pasien dengan penurunan kesadaran
selama perawatan.

C. Konsep Saturasi Oksigen


1. Definisi
Saturasi oksigen adalah persentase hemoglobin darah yang
berikatan dengan oksigen dalam arteri. Saturasi oksigen normal adalah
Antara (95%-100%).Pada tekanan parsial oksigen yang rendah, sebagian
besar hemoglobin terdeoksigenasi, maksudnya adalah proses
pendistribusian darah beroksigen dari arteri ke jaringan tubuh (Hidayat,
2011).
22

2. Cara Pengukuran Saturasi Oksigen

Peralatan :

1) Oksimeter.

2) Pena, lembar observasi.

Komunikasi terapeutik dan pertimbangan pasien:

1) Konfirmasi identitas pasien

2) Dapatkan persetujuan pasien

3) Memulai komunikasi dengan perkenalan

4) Jelaskan prosedur pada pasien untuk memperjelas pemahaman

5) Menilai pengetahuan dan harapan pasien untuk memastikan


pemahaman pasien

6) Menjelaskan tindakan dan ketidaknyamanan potensial di semua tahapan


prosedur.
Langkah kerja :

1) Pertimbangkan kondisi medis sebelumnya untuk perubahan saturasi


oksigen
2) Kaji tanda dan gejala perubahan dalam saturasi oksigen pernapasan,
kedalaman atau ritme; bunyi napas adanya sianosis pada kuku, bibir,
selaput lendir dan kulit, gelisah, marah,kebingungan,penurunan
tingkat kesadaran, sesak atau kesulitan bernapas.
3) Kaji faktor-faktor yang biasanya mempengaruhi pengukuran saturasi
oksigen, seperti terapi oksigen, kadar hemoglobin dan suhu.
4) Diskusikan temuan dengan pasien sesuai kebutuhan

5) Lakukan cuci tangan


23

Pencatatan dan pelaporan:

1) Informasikan kepada pasien tentang hasil dan kebutuhan untuk


penilaian ulang secara periodik

Catat hasil pada lembar observasi dan catatan perkembangan bila perlu
(Eni, 2020)Suara sengau atau serak:

1) Irama berbicara tidak seperti biasanya

2) Nada bicara monoton

3) Berbicara dengan cepat atau lambat

4) Bicara seperti cadel

5) Otot-otot wajah dan lidah sulit digerakkan

6) Air liur yang keluar tidak terkontrol disebabkan oleh kesulitan menelan
(disfagia) kerugian pada cuping temporal atau pariental otak sebelah
kiri menyebabkan gangguan bahasa.(Okyere, 2011).
3. Faktor Yang Mempengaruhi Saturasi

Faktor yang mempengaruhi saturasi :

a. Hemoglobin (Hb)
Jika Hemoglobin (Hb) tersaturasi penuh dengan O2 walaupun nilai
Hemoglobin (Hb) rendah maka akan menunjukkan nilai normalnya.
Misalnya pada klien dengan anemia memungkinkan nilai SaO 2
dalam batas normal.
b. Sirkulasi
Oksimetri tidak akan memberikan bacaan yang akurat jika area yang
di bawah sensor mengalami gangguan sirkulasi.
c. Aktivitas
Menggigil atau pergerakan yang berlebihan pada area sensor dapat
mengganggu pembacaan SaO2 yang akurat (Kozier, 2010).
24

D. Konsep Mobilisasi
1. Pengertian Mobilisasi Progresif
Mobilisasi progresif yaitu serangkaian rencana yang dibuat
untuk mempersiapkan pasien agar mampu bergerak atau berpindah
tempat secara berjenjang dan berkelanjutan (Zakiyyah, 2014). Terdapat
lima tahapan atau level dalam pelaksanaan mobilisasi progresif yang
disebut sebagai Richmond Agitation Sedation Scale (RASS).
2. Tujuan

a. Mengurangi resiko dekubitus


b. Menurunkan lama penggunaan ventilator
c. Mengurangi insident ventilated acute pnenomia(VAP)
d. Mengurangi waktu penggunaan sedasi
e. Meningkatkan kemampuan pasien untuk berpindah
f. Meningkatkan fungsi organ-organ tubuh.
g. Meningkatkan status fungsional
h. Mengurangi lama waktu rawat dan pulang dengan resiko rendah
(Vollman, 2013).
3. Jenis Posisi Mobilisasi Progresif

a. Head of bed (HOB)

Memposisikan tempat tidur pasien secara bertahap hingga


pasien posisi setengah duduk. Posisi ini dapat dimulai dari 30°
kemudian bertingkat ke posisi 45°,65° hingga pasien dapat duduk tegak.
Pada pasien dimulai mobilisasi progresif. Sebelumnya dikaji dulu
kemampuan kardiovaskuler dan pernafasan pasien. Alat untuk
mengukur kemiringan head of bed bisa menggunakan busur atau
pun accu angle level. Alat ini dapat ditempelkan di posisi tempat tidur
(AACN,2010).
25

b. Range of motion (ROM)

Range of Motion (ROM) merupakan istilah baku untuk


menyatakan batas/besarnya gerakan sendi baik normal. ROM juga di
gunakan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan batas
gerakan sendi abnormal (Helmi, 2012). Range of Motion juga dapat
didefenisikan sebagai jumlah pergerakan maksimum yang dapat
dilakukan pada sendi, disalah satu dari tiga bidang, yaitu : sagital,
frontal, transversal. (Potter, 2010).
Ketika otot mengalami imobilisasi akan terjadi pengurangan
masa otot dan mengalami kelamahan. Kegiatan ROM dilakukan pada
semua pasien kecuali pada pasien patah tulang dan tingkat
ketergantungan yang tinggi. Kegiatan Range of Motion dilakukan
pada ekstremitas atas dan bawah,dengan tujuan untuk menguatkan
dan melatih otot agar kembali ke fungsi semula. Kegiatan Range of
Motion dialakukan dalam 2-3 kali sehari.
c. Continous Lateraly Rotation Therapy (CLRT)

Continous Lateraly Rotation Therapy merupakan suatu bagian


dari mobilisasi progresif, yang dilakukan untuk mengurangi komplikasi
fungsi pernafasan. Terapi ini dilakukan melalui gerakan kontinu rangka
tempat tidur yang memutar pasien dari sisi ke sisi. CLRT mencapai
hasil terbaik saat dilakukan setidaknya 18 jam/hari setiap 2 jam
(Zakiyyah, 2014).
4. Tahapan Mobilisasi Progresif
Pada mobilisasi Progresif terdapat lima tahapan/level yaitu;

a. Level 1

Pada level I dimulai dengan meninggikan posisi pasien >300 kemudian


diberikan ROM pasif selama dua kali sehari. Mobilisasi progresif
dilanjutkan dengan miring kiri dan kanan latihan dilakukan setiap dua
jam.
26

b. Level 2
Apabila pasien dengan kondisi hemodinamik stabil kemudian
dengan tingkat kesadaran meningkat yaitu pasien mampu membuka
mata tapi kontak belum baik (RASS-3).
Kegiatan mobilisasi di level II ini dimulai dengan Range of Motion
hingga tiga kali per hari, mulai direncanakan aktif Range of Motion,

kemudian dimulai meninggalkan posisi tidur pasien hingga 45 0-650


dilakukan setiap 15 menit, dilanjutkan dengan melatih pasien duduk
selama 20 menit.
c. Level 3
Pasien pada level ini belum sepenuhnya sadar penuh, tetapi sudah ada
kontak mata (RASS-1). Pada level ini bertujuan untuk melatih kekuatan
otot pasien hingga mentolelir gravitasi. Kegiatan mobilisasi pada level
ini dimulai dengan berlatih duduk di tepi tempat tidur lalu meletakkan
kaki menggantung (mentolelir gravitasi) selama 15 menit, hal ini
dilakukan sebanyak dua kali sehari.
d. Level 4
Pada kegiatan mobilisasi ini kegiatan mobilisasi dimulai dengan duduk
sepenuhnya, seperti duduk dikursi selama 20 menit sebanyak tiga kali
perhari, lalu dilanjutkan dengan duduk di tepian tempat tidur secara
mandiri dan akhirnya melakukan berpindah duduk dari atau tempat
tidur ke kursi khusus. Pasien pada level ini sudah sadar penuh dan
dalam kondiisi tenang (RASS -0).

e. Level 5
Tujuan mobilisasi pada level ini untuk meningkatkan kemampuan
pasien berpindah dan bergerak. Pasien pada level ini kooperatif, sadar
penuh (RASS-0). Kegiatan mobilisasi pada level ini dengan duduk di
kursi khusus lalu dilanjutkan dengan berdiri dan berpindah tempat.
Kegiatan ini dilakukan sebanyak dua hingga tiga kalli dalam sehari
(VHA, 2010).
27

5. Prosedur Pelaksanaan
a. Persiapan
1. Mencuci tangan

2. Menjelaskan prosedur dan tujuan tindakan kepada klien dan


keluarganya
3. Peneliti meminta izin persetujuan (Informed Consent) kepada
keluarga pasien
4. Menempatkan klien pada posisi sesuai dengan gerakan yang
akan dilakukan
5. Menutup tirai untuk menjaga privasi klien

b. Pelaksanaan
1. Catat dahulu nilai saturasi oksigen sebelum melakukan
intervensi mobilisasi progresif level I.
2. Lakukan mobilisasi progresif level I yang terdiri dari Head of

Bed 300 (posisi semifowler 300 )

3. Kemudian lakukan ROM pasif (ekstremitas atas : fleksi dan


ekstensi jari tangan, fleksi dan ekstensi pergelangan tangan,
adduksi dan abduksi pergelangan tangan, fleksi dan ekstensi
siku, fleksi dan ekstensi bahu; ekstemitas bawah : fleksi dan
ekstensi jari kaki, dorsofleksi, plantarfleksi, fleksi dan ekstensi
lutut, adduksi dan abduksi kaki) setiap gerakan dilakukan 5 kali.

4. Selanjutnya berikan posisi Continuous lateraly Rotation


Therapy(CLRT) yaitu memposisikan pasien miring kanan dan
miring kiri.

c. Evaluasi
1. Mencuci tangan
2. Mendokumentasi saturasi oksigen setelah mobilisasi progresif level
1 (AACN, 2010; Handayani, 2017; Zakiyyah, 2014).
28

6. Hal-hal yang harus di perhatikan dalam melakukan Mobilisasi


Progresif
a. Tidak ditemukan disritmia yang membutuhkan pemberian agen
antidisritmia dalam 24 jam terakhir
b. Tidak ditemukan iskemik Miokard dalam 24 jam terakhir
c. Tidak ada peningkatan dosis pemberian vasopressor dalam 2 jam
terakhir FiO2 < 0.6; PEEP < 10 cmH2O (Zaelani K, 2018).

E. Pengaruh Mobilisasi Progresif Level 1 Dalam Meningkatkan Saturasi


Oksigen Pada Penderita Stroke
Salah satu bentuk intervensi yang dapat menstabilkan hemodinamik
adalah mobilisasi progresif level I, dimana tindakan ini terbukti memiliki
hasil yang sangat baik dalam meningkatkan status klinikal pasien stroke
(Titsworth WL, Hester J, Correia T, Reed R, Guin P, Archibald L, 2012).
Mobilisasi progresif level 1 diharapkan memberikan respon hemodinamik
yang baik. Pada head of bed 30° menyebabkan meningkatnya fungsi paru-
paru sehingga proses distribusi ventilasi serta perfusi akan meningkat pula.
Selain itu proses sirkulasi darah dapat pula dipengaruhi oleh posisi tubuh
terhadap gravitasi.Sehingga fungsi perfusi, difusi, dan distribusi aliran
darah serta oksigenasi dapat terpenuhi ke seluruh tubuh (Vollman, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Regita Novrianti (2023) menyatakan
bahwa saturasi oksigen sebelum diberi intervensi mobilisasi progresif level
1 yaitu pada hari pertama 96%, hari kedua 97%, dan hari ketiga 96%. Hasil
saturasi oksigen sesudah diberi intervensi mobilisasi progresif level 1 yaitu
pada hari pertama 100%, hari kedua 99%, dan hari ketiga 98%.
Kesimpulan : Nilai rata-rata saturasi oksigen sebelum dan sesudah
diberikan mobilisasi progresif level 1 meningkat. Hal ini membuktikann
mobilisasi progresif level 1 memiliki pengaruh terhadap saturasi oksigen
pada pasien kritis di intensive care unit (Novrianti, 2023).
29

penelitian yang di lakukan oleh Fatin dkk (2023) menyatakan


terdapat penurunan tekanan darah serta peningkatan saturasi oksigen
sebelum dan sesudah dilakukan penerapan mobilisasi progresif level I.
Kesimpulan; Mobilisasi Progresif level I dapat dijadikan sebagai salah satu
teknik non-farmakologis atau intervensi mandiri pada pasien penurunan
kesadaran untuk menurunkan tekanan darah serta meningkatkan saturasi
oksigen (Nurhayati et al., 2023)
Penelitian yang dilakukan Rahmat Hidayat (2022) menunjukkan
bahwa terdapat pengaruh mobilisasi progresif terhadap status
Hemodinamika (Heart Rate (HR), Respiratory Rate (RR), saturasi oksigen
(Sa ), Tekanan Darah) pada pasien kritis di ICU. Dapat disimpulkan
mobilisasi progresif dapat meningkatakn status hemodinamika pada pasien
kritis di Ruang ICU (Hidayat & Julianti, 2022)
Penelitian yang dilakukan oleh Ani Astuti dkk (2022) menunjukkan
bahwa mobilisasi progresif level 1 berpengaruh menurunkan tekanan darah
dan meningkatkan saturasi oksigen pada pasien stroke dengan p-value 0.00.
Dengan demikian Tekanan Darah dan saturasi oksigen pasien stroke dapat
distabilkan dengan intervensi keperawatan progressive mobilisasi level I
(Astuti et al., 2022).
BAB III

METODE STUDI KASUS

A. Rancangan Studi Kasus


Jenis penelitian ini adalah studi kasus deskriptif, dengan model
studi kasus. Tujuan dari penelitian untuk memberikan gambaran mengenai
penerapan mobilisai progresif level 1 dalam meningkatkan saturasi oksigen
pada penderita stroke yang mengalami penurunan kesadaran di ruang
stroke Rumah Sakit M.Yunus Kota Bengkulu. Penelitian ini menggunakan
pendekatan asuhan keperawatan yang dimulai dari pengkajian, diagnosa,
intervensi, implementasi dan evaluasi keperawatan.

B. Subjek Studi Kasus


Subjek studi kasus ini yaitu penderita stroke yang memiliki kadar
oksigen rendah <95% di ruang stroke Rumah Sakit M.Yunus Kota
Bengkulu. Jumlah subyek studi kasus yaitu 2 orang.
Adapun kriteria inklusi dan ekslusi yang ditetapkan pada subjek studi
kasus yaitu:
1. Kriteria inklusi
1. Bersedia menjadi partisipan
2. Penderita Stroke non hemoragik yang menjalani rawat inap di ruang
stroke Rumah Sakit M.Yunus.
3. Pasien stroke non hemoragik yang memiliki nilai saturasi oksigen
rendah <95% yang Bersedia menjadi partisipan sampai selesai
penelitian

2. Kriteria eksklusi
1. Pasien stroke yang memiliki nilai saturasi oksigen yang normal.
2. Pasien stroke yang tidak mengalami penrunan kesadaran kurang dari
14 GCS.

30
31

C. Fokus Studi Kasus


Fokus studi dalam penelitian ini adalah implementasi mobilisasi
progresif level 1 dalam meningkatkan saturasi oksigen pada penderita
stroke yang mengalami penurunan kesadaran.

D. Definisi Operasional
1. Implementasi dalam studi kasus ini didefinisikan sebagai tindakan yang
di lakukan selama tiga hari secara bertahap berurutan dengan posisi
awal Head OF Bbed 30°, latihan ROM pasif dua kali sehari, selanjutnya
pasien di posisikan miring kiri dan ke kanan setiap 2 jam sekali agar
mendapatkan hasil yang baik.
2. Stroke dalam studi kasus ini didefinisikan sebagai suatu diagnosa medis
yang didasarkan pada tanda dan gejala serta pemeriksaan penunjang
yang dilakukan terhadap pasien Stroke non hemoragik yang mengalami
serangan pertama yang mendapatkan perawatan di ruang stroke.
3. Penurunan kesadaran dalam studi kasus ini didefinisikan ketika
penderita stroke non hemoragik dilakukan pemeriksaan nilai GCS dan
didapatkan nilai <14, sedangkan nilai GCS normal 14-15.
4. Saturasi oksigen dalam studi kasus ini didefinisikan sebagai suatu
kondisi dimana seseorang memiliki nilai saturasi oksigen yang rendah
dibawah <95%, sedangkan nilai saturasi normal di atas 95%-100%.
5. Mobilisasi Progresif level 1 dalam studi kasus ini didefinisikan sebagai
suatu rangkaian tindakan implementasi dalam meningkatkan saturasi
oksigen dan meningkatkan kekuatan otot serta mengurangi resiko
dekubitus pada pasien stroke non hemoragik

E. Instrumen Studi Kasus


1. Standar Operasional Prosedur Mobilisasi Progresif Level 1.
2. Lembar observasi.
3. Oxymeter.
4. Alat tulis.
32

F. Metode Pengumpulan Data


Studi kasus ini menggunakan sumber data primer dan sumber dan
skunder Sumber data primer didapat langsung dari pasien sedangkan
sumber data sekunder didapatkan dari keluarga dan rekam medis klien
untuk mengetahui data riwayat perjalanan penyakit pasien.Metode
pengumpulan data yang digunakan pada studi kasus ini adalah:

1. Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti
mengenai nilai saturasi oksigen pada penderita stroke. Dengan cara
pengambilan data sebagai berikut:
1. Data diambil langsung dari responden yang terdiagnosis stroke oleh
dokter yang berada di ruang stroke Rumah Sakit M.Yunus Kota
Bengkulu.
2. Mula-mula peneliti menjelaskan tujuan penelitian kemudian meminta
persetujuan untuk menjadi partisipan, apabila menolak maka peneliti
akan membatalkan untuk meneliti pasien, namun apabila pasien
bersedia maka peneliti meminta partisipan untuk menandatangani
surat pernyataan kesediaan menjadi partisipan penelitian.
3. Menjelaskan pada pasien dan keluarga tentang tujuan, manfaat,
lamanya penelitian yang akan dilakukan.
4. Pertama melakukan pengkajian (GCS) skala sebelum dilakukan
Mobilisasi Progresif Level 1 serta dicatat dilembar observasi.
Kemudian dilakukan Mobilisasi Progresif Level 1 sebanyak 2 kali
dalam sehari dengan waktu 15 menit yang diberikan intervensi selama 3
Hari. Kemudian pada hari terakhir dilakukan pengukuran Saturasi
Oksigen dan pengkajian Glasgow Coma Scale.
2. Data Sekunder
Data sekunder diambil dari keluarga penderita dan ruang
stroke Rumah Sakit M.Yunus Kota Bengkulu pada tahun 2024.
33

G. Langkah-langkah Pelaksanaan Studi Kasus


Prosedur penelitian pada responden dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Pendataan nama partisipan yang akan menjadi partisipan yang telah
dipilih dengan menggunakan teknik kriteria inklusi dan eksklusi sesuai
data nama partisipan didapatkan dari Ruang Stroke Rumah Sakit
M.Yunus Kota Bengkulu.
2. Menjelaskan tujuan, manfaat, prosedur penelitian, jadwal kontrak
penelitian pada responden. Peneliti mengontrak partisipan selama 6 kali
pertemuan selama 3 hari untuk melakukan intervensi pada partisipan
dan meminta partisipan untuk menandatangani lembar persetujuan
untuk dilakukannya intervensi.
3. Memberikan informed consent kepada partisipan
4. Pada pertemuan ke-1 sampai pertemuan ke-6 melakukan intervensi pada
partisipan. Mengajarkan partisipan cara melakukan Mobilisasi Progresif
Level 1 meliputi cara, lama latihan, waktu dilakukannya latihan serta
manfaat dari Mobilisasi Progresif level 1.

H. Tempat dan Waktu


Studi kasus dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2024 berlokasi di
Ruang Stroke Rumah Sakit Dr. M.Yunus Kota Bengkulu.

I. Analisis Data dan Penyajian Data


Pada studi kasus data akan disajikan secara narasi dan terstruktur
maupun bentuk tabel yang berisi hasil implementasi dari Mobilisasi
Progresif Level 1 dalam meningkatkan saturasi oksigen pada penderita
stroke di Ruang Stroke Rumah Sakit M.Yunus Kota Bengkulu.
34

J. Etika Studi Kasus


Studi kasus ini dilakukan dengan mempertimbangkan etik dan
legal penelitian untuk melindungi subjek studi kasus agar terhindar dari
segala bahaya serta ketidaknyamanan fisik dan psikologis. Ethical
clearance mempertimbangkan hal-hal di bawah ini:

1. Self Determinan
Dalam penelitian ini, partisipan diberi kebebasan untuk berpartisipasi
atau tidak tanpa ada paksaan.
2. Tanpa nama (anonymity)
Peneliti menjaga kerahasiaan partisipan dengan cara tidak
mencantumkan nama partisipan pada lembar pengumpulan data, peneliti
hanya akan memberi inisial sebagai pengganti identitas partisipan.
3. Kerahasiaan (confidenlity)
Segala informasi yang diperoleh dari partisipan hanya akan dipahami oleh
penulis dan tidak akan dibagikan kepada orang lain. Informasi yang telah
dikumpulkan dianonimkan dengan menggunakan nama samaran "anonim"
dan disimpan dalam file lunak yang akan bertahan setidaknya selama lima
tahun.
4. Asas kemanfaatan (beneficiency)
Bebas penderitaan, bebas eksploitasi, dan bebas risiko harus menjadi
dasar kemanfaatan. Bebas penderitaan—peneliti menjamin bahwa
informasi yang diberikan responden akan digunakan sebaik mungkin
oleh peneliti dan tidak akan digunakan secara sewenang-wenang untuk
keuntungan peneliti. Bebas risiko, artinya responden tidak berada dalam
bahaya yang akan datang.
5. Malbeneficence
Peneliti menjamin tidak akan menyakiti, membahayakan, atau
memberikan ketidaknyamanan baik secara fisikmaupun psikologis.
35
36
37
38
39
40

PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan


Indikator Diagnostik. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
Puspitasari, D. (2017). Pengaruh Terapi AIUEO terhadap Kemampuan
Komunikasi Pada Pasien Pasca Stroke di Kota Pontianak. Jurnal
Keperawatan, 1(3), 1–2.
Setiawan, P. A. (2020). Diagnosis Dan Tatalaksana Stroke Hemoragik.
Jurnal Medika Utama, 02(01), 402–406.
Suddarth, B. &. (2018). Buku ajaran keperawatan medikal bedah
(edisi 12).
Jakarta : EGC.
Sutarwi, S., Bakhtiar, Y., & Rochana, N. (2020). Sensitivitas dan
Spesifitas Skor Stroke Literature Review. Gaster,
18(2), 186.
https://doi.org/10.30787/gaster.v18i2.521
Unnithan, A. K., & Mehta, P. (2022). Hemorrhagic Stroke. StatPearls.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559173/#_ncbi_dlg_citbx
_NBK55 9173
Utami, E. C. (2018). Asuhan Keperawatan Stroke Iskemik Pada Ny.K &
Ny.S Dengan Masalah Keperawatan Hambatanmobilitasfisikdi
Ruang Melati RSUD Dr. Haryoto Lumajang Universitas Jember.
Utami, H. &. (2019). Keperawatan medikal bedah II. Pustaka Baru press.
Wahyu, A., Wati, L., & Fajri, M. (2019). Pengaruh Terapi AIUEO
terhadap Kemampuan Bicara Pasien Stroke yang Mengalami Afasia
Motorik. Journal of Telenursing (JOTING),
1(2), 226–235.
https://doi.org/10.31539/joting.v1i2.787
Wardhani, I. O., Martini, S., & Timur, J. (n.d.). HUBUNGAN ANTARA
KARAKTERISTIK PASIEN STROKE DAN. 24–34.
Wijaya, P. &. (2013). Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa)
41

Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.


Wiwit. (2010). STROKE & Penangananya Memahami, Mencegah, &
Mengobati Stroke. . Jogjakarta: Kata Hati.
Yanti, D. (2012). Penatalaksanaan Terapi Wicara pada Tuna Rungu.
Akrab :
42

ECG.
Yasmara, D. N. (2016). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah :
Diagnosis NANDA – I 2015-2017 intervensi NIC, Hasil NOC. Jakarta :
EGC.
Yuningsih. (2022). Bahan Mata Ajar Kmb Ll. In Suparyanto dan Rosad
(2015
(Vol. 5, Issue 3).
43

LAMPIRAN
44

Lampiran 1
STANDAR OPERASIONAL
PROSEDUR (SOP) TERAPI AIUEO
(Khotimah, D. K, K, S. P., & Purnomo, 2016)

Definisi Terapi wicara atau terapi AIUEO,


merupakan terapi untuk membantu
seseorang menguasai komunikasi bicara
dengan lebih baik. Terapi ini
memfokuskan pada perbaikan cara
bicara penderita stroke yang pada
umumnya mengalami kehilangan
kemampuan bicara akibat adanya saraf
yang mengalami gangguan. Terapi
wicara membantu penderita untuk
mengunyah, berbicara, maupu mengerti
kembali kata-kata.

Indikasi Latihan vokal di indikasikan untuk


penderita stroke yang mengalami
gangguan bicara atau berkomunikasi,
serta melatih kemampuan mengunyah
dan menelan

Tujuan 1) Memperbaiki dan meningkatkan


kemampuan komunikasi baik dari
segi bahasa maupun bicara, yang
mana melalui rangsangan saraf
kranial V, VII,IX,X,dan XII.
2) Meningkatkan kemampuan menelan
yang mana melalui rangsangan saraf
kranial V, VII, IX, X, dan XII
45

Prosedur Tindakan A. Tahap Pra Interaksi


1) Melihat data klien yang lalu
2) Melihat intervensi keperawatan
yang telah diberikan oleh
Perawat
3) Mengkaji terapi yang diberikan
dokter
4) Mencuci tangan
46

B. Tahap Orientasi
1) Mengucapkan salam teraupetik
2) Memperkenalkan diri
3) Menjelaskan tujuan, prosedur
dan lamanya tindakan pada
klien
4) Menanyakan kesiapan klien dan
keluarga
5) Berikan kesempatan klien untuk
bertanya sebelum tindakan
dilakukan
C. Tahap Kerja
1) Atur posisi pasien duduk atau
dalam keadaan nyaman dan
jangan berbaring
2) Wajah pasien diposisikan
menghadap kedepan ke arah
terapis
3) Kedua tangan pasien masing-
masing berada di samping
kanan dan kiri
4) Pasien dianjurkan untuk
mengucapkan huruf ―A‖ dengan
keadaan mulut terbuka
5) Selanjutnya pasien dianjurkan
mengucapkan huruf ―I‖
dengan keadaan gigi dirapatkan
dan bibir dibuka
6) Kemudian pasien dianjurkan
untuk mengucapkan huruf
―U‖ dengan keadaan mulut
mecucu ke depan bibir atas dan
depan tidak rapat (seperti
keadaan ingin mencium)
7) Setelah itu pasien dianjurkan
untuk mengucapkan huruf
47

―O‖ dengan keadaan mulut dan


bibir
mecucu ke depan
48

8) Selanjutnya pasien
dianjurkan untuk
mengucapkan huruf
―E‖ dengan keadaan
pipi, mulut dan bibir
tersenyum
9) Lakukan secara
bergantian, pada point
7 dan 8 sebanyak 5 kali
10) Kemudian anjurkan
membuka mulut lebar-
lebar, lalu julurkan
lidah dan gerakkan
lidah ke arah kanan dan
kiri.
11) Tutup bibir dengan
rapat dan ucapkan
―eemm‖
12) Ucapkan ―ma ma ma‖
dengan cepat
13) Kembungkan salah satu
pipi, tahan selama 5
detik dan kemudian
keluarkan. Lakukan
secara bergantian pada
sisis yang lain.
14) Anjurkan menjulurkan
lidah sejauh mungkin
dan cobalah untuk
menyentuh dagu dan
menyentuh hidung
15) Kemudian tanyakan
respon pasien dan
kembalikan pasien ke
posisi semula atau
posisi nyaman.
D. Tahap Terminasi
1) Melakukan evaluasi
49

tindakan
2) Melakukanevaluasi
kenyamanan dan
respon klien
3) Melakukan kontrak
pertemuan selanjutnya
4) Melakukan

dokumentasi tindakan
dan hasil pemberian
terapi AIUEO
5) Mencuci tangan
6) Akhiri dengan salam
50

Lampiran 2
INSTRUMEN PENELITIAN
SKALA KOMUNIKASI FUNGSIONAL DERBY
(Erlinda, 2018)

Skor Ekspresi (E) Pemahaman (P) Interaksi (I)

0 Tidak mampu Kurang atau tidak Sedikit atau tidak


mengekspresikan dan menunjukkan ada interaksi (Tidak
tidak berusaha menarik pemahaman (Tidak merespon salam,
perhatian menunjukkan bisa tertawa dan
ekspresi muka bertanya dalam
apapun tidak ada situasi yang
respon atau tidak pantas).
memberikan
respon yang tidak
sesuai)
51

1 Tidak mampu Menunjukkan Menyadari adanya


mengekspre sikan tanda-tanda kehadiran orang
kebutuhan, tetapi pemahaman bahwa lain, melalui kontak
menunjukkan usaha orang lain sedang mata dan putar
pasien untuk berusaha untuk tubuh, sampai tidak
berkomunikasi mengkomunikasik mampu berinteraksi
an sesuatu, tetapi secara spesifik
tidak dapat (misalnya melalui
memahami bahkan salam)
pilihan
sebelumnya ya/
tidak
52

2 Menggunakan Memahami Merespon salam d


komunikasi non verbal beberapa pilihan an signal sosial
(misalnya bayam, sederhana dengan yang disampaikan
menunjuk dengan jari, dukungan non- melalui ekspresi
ekspresi wajah) dan atau verbal (misalnya (misalnya
suara untuk menunjukkan tersenyum dan
mengekspresikan sebuah cangkir cemberut). Dapat
kebutuhan dasar menunjuk berinteraksi dengan
(misalnya untuk pergi ke teh,kopi), tetapi satu orang tetapi
toilet). Responya tidak tidak dapat hanya untuk waktu
tidak dapa t diharapkan memahami kata- sebentar.
kata atau simbol-
simbol
3 Responya tidak dapat Memahami Dapat berinteraksi
diharapkan. Dapat ekspresi sederhana dengan satu orang
mengungkapkan konsep ya /tidak dan dapat secara konsisten
sebuah tindakan atau memahami beb dengan menggunak
benda (misalnya erapa kata-kata an kata-kata dan
―buku‖, atau simbol- atau komunikasi
―makan‖, ―kursi‖) simbol yang non verbal
sederhana
4 Mengekspresikan ide- ide Memahami ide-ide Dapat berinteraksi
sederhana secara verbal sederhana yang dengan dua orang
atau dengan berbicara disampaikan secara konsisten
singkat (misalnya dapat melalui kata-kata dan berpartisipasi
meminta supaya buku yang diucapkan sebagaimana
diletakkan di atas kursi) satu persatu atau mestinya
secara non verbal
53

5 Mengekspresikan ide- ide Memahami ide-ide Dapat berinteraksi


yang yang hanya bisa dengan beberapa
54

Lebih rumit tetapi harus diekspresi kan orang tetapi


di dukung oleh secara lengkap membutuhkan
komunikasi non verbal melalui kata-kata dukungan untuk
(misalnya dapat meminta berpartisipasi secara
supaya diberikan minum efektif
teh)
6 Mengekspresikan ide- ide Memahami Berinteraksi secara
yang memerlukan kata- beberapa mandiri dengan
kata (misalnya ―ayah percakapan yang berapapun
saya kecewa‖). rumit (rangkain banyaknya jumlah
Dapat kehilangan kalimat) tetapi orang, tetapi hanya
kelancaran bicara saat sering kehilangan bertahan sebentar
gelisah,lelah dll arah pembicaraan. dan dapat
mengalami
beberapa kesulitan
(misalnya giliran
berbicara)
7 Dapat mengekspresikan Benar- benar Dapat
ide-ide dalam banyak memahami mempertahankan
berkomunikasi yang komunikasi interaksi dengan
kompleks, tetapi kompleks, tetapi berapapun
kelancaran berbicaranya kadang-kadang banyaknya jumlah
berkurang mengalami orang dengan
kesulitan mengalami hanya
sedikit kesulitan
55

8 Tidak ada masalah yang Tidak ada masalah Tidak ada masalah
Terdeteksi yang terdeteksi yang terdeteksi
56

Hasil E P I

Indikator diklasifikasikan dengan total skor, yaitu sebagai berikut :

0-8 : Afasia berat


9-15 :
Afasia sedang
16-23 :
Afasia ringan
24 : Normal
57

Lampiran 3
LEMBAR OBSERVASI

Hari ke-0 Hari ke –1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 Hari ke-5 Hari ke-6 Hari ke-7

(Pre) (Post) (Post) (Post) (Post) (Post) (Post) (Post)

Indikator E P I E P I E P I E P I E P I E P I E P I E P I

Skor

Total

51
58

Lampiran 4

SURAT PERSETUJUAN MENJADI


RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini setelah mendengar


penjelasan tentang tujuan, manfaat, dan konsekuensi dari penelitian
menyatakan bersedia menjadi reponden atas penelitian yang dilakukan
oleh :

Nama : Dhea Fitaloka


Alamat : Jl. Batang Hari, Kec. Ratu Agung,
Bengkulu
No. Telepon : 085718688974
Judul Penelitian : Penerapan Terapi Wicara AIUEO
Untuk
Meningkatkan Kemampuan Bicara
Pada Pasien Stroke Di Wilayah Kerja
Puskesmas Sawah Lebar Kota
Bengkulu

Saya memahami bahwa data yang dihasilkan merupakan rahasia


dan hanya digunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu
keperawatan dan tidak merugikan bagi saya.

Bengkulu, 2024
Responden,

52
59

(………….……..)

52

Anda mungkin juga menyukai