Tugas ini disusun untuk memenuhi Mata Kuliah Praktik Klinik Asuhan Keperawatan
Anestesi Pre-Intra-Post
Disusun oleh:
Laporan Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktik Klinik Asuhan
Keperawatan Anestesi Pre-Intra-Post
Oleh :
Mengetahui,
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan di atas, maka dapat
dirumuskan menerapkan Asuhan Kepenataan anestesi Pada Ny. S dengan Ulkus Dinding
Dada dengan tindakan operasi STSG dengan general anestesi
C. TUJUAN
Tujuan Umum
b. Sebagai bahan untuk pembelajaran dan pemahaman bagi mahasiswa untuk lebih
memahami tentang asuhan kepenataan pada pasien Ulkus Dinding Dada
dilakukan tindakan operasi STSG dengan tindakan general anestesi.
Tujuan Khusus
c. Dapat menyusun rencana kepenataan anestesi pada pasien Ulkus Dinding Dada
dilakukan tindakan operasi STSG dengan tindakan anestesi umum
D. METODE
Metode adalah suatu atau serangkaian cara yang digunakan untuk menyelesaikan
suatu permasalahan. Metode yang digunakan pada karya tulis ilmiah ini adalah studi
kasus. Studi kasus merupakan rancangan penelitian yang mencakup pengkajian satu unit
penelitian secara intensif misalnya satu klien, keluarga, kelompok, komunitas, atau
institusi (Nursalam, 2014)
Studi kasus ini adalah studi untuk mengeksplorasi masalah asuhan kepenataan
anestesi pada pasien ULKUS DINDING DADA dilakukan tindakan operasi STSG
dengan tindakan anestesi umum.
.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3. Manifestasi
Ulkus Diabetikum akibat mikriangiopatik disebut juga ulkus panas walaupun
nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh peradangan dan
biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal . Proses mikroangipati menyebabkan
sumbatan pembuluh darah, sedangkan secara akut emboli memberikan gejala klinis
5 P yaitu :
a. Pain (nyeri).
b. Paleness (kepucatan)
c. Paresthesia (kesemutan).
d. Pulselessness (denyut nadi hilang)
e. Paralysis (lumpuh).
4. Patofisiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2001: 1223), patofisiologi dari diabetes mellitus adalah
a. Diabetes tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin
karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.
Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh
hati. Disamping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup
tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring
keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (Glukosuria). Ketika
glukosa yang berlebih dieksresikan dalam urin, ekskresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan
diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien
akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus
(polidipsia). Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan
lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori.
Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.Proses ini akan terjadi tanpa
hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu
akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan
keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton
merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila
jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis diabetik yang diakibatkannya dapat
menyebabkan tandatanda dan gejala seperti nyeri abdominal, mual, muntah,
hiperventilasi, napas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan
perubahan kesadaran, koma bahkan kematian.
b. Diabetes tipe II
Pada Diabetes tipe II terdapat dua masalah yang berhubungan dengan
insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II
disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi
tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Akibat
intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif maka awitan
diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien,
gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas,
poliuria. polidipsia, luka yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan
yang kabur ( jika kadar glukosanya sangat tinggi).
Penyakit Diabetes membuat gangguan/ komplikasi melalui kerusakan pada
pembuluh darah di seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik. Penyakit ini
berjalan kronis dan terbagi dua yaitu gangguan pada pembuluh darah besar
(makrovaskular) disebut makroangiopati, dan pada pembuluh darah halus
(mikrovaskular) disebut mikroangiopati. Ulkus Diabetikum terdiri dari kavitas
sentral biasanya lebih besar disbanding pintu masuknya, dikelilingi kalus keras
dan tebal. Awalnya proses pembentukan ulkus berhubungan dengan
hiperglikemia yang berefek terhadap saraf perifer, kolagen, keratin dan suplai
vaskuler. Dengan adanya tekanan mekanik terbentuk keratin keras pada daerah
kaki yang mengalami beban terbesar. Neuropati sensoris perifer memungkinkan
terjadinya trauma berulang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan
dibawah area kalus. Selanjutnya terbentuk kavitas yang membesar dan akhirnya
ruptur sampai permukaan kulit menimbulkan ulkus. Adanya iskemia dan
penyembuhan luka abnormal manghalangi resolusi.
Mikroorganisme yang masuk mengadakan kolonisasi didaerah ini. Drainase
yang inadekuat menimbulkan closed space infection. Akhirnya sebagai
konsekuensi sistem imun yang abnormal, bakteria sulit dibersihkan dan infeksi
menyebar ke jaringan sekitarnya, (Anonim 2009).
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Arora (2007: 15), pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu:
a. Postprandial
Dilakukan 2 jam setelah makan atau setelah minum. Angka diatas 130 mg/dl
mengindikasikan diabetes.
b. Hemoglobin glikosilat: Hb1C adalah sebuah pengukuran untuk menilai kadar
gula darah selama 140 hari terakhir. Angka Hb1C yang melebihi 6,1%
menunjukkan diabetes.
c. Tes toleransi glukosa oral.
Setelah berpuasa semalaman kemudian pasien diberi air dengan 75 gr gula, dan
akan diuji selama periode 24 jam. Angka gula darah yang normal dua jam
setelah meminum cairan tersebut harus < dari 140 mg/dl.
d. Tes glukosa darah dengan finger stick, yaitu jari ditusuk dengan sebuah jarum,
sample darah diletakkan pada sebuah strip yang dimasukkan kedalam celah
pada mesin glukometer, pemeriksaan ini digunakan hanya untuk memantau
kadar glukosa yang dapat dilakukan dirumah.
e. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan
dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna
pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ )
f. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai
dengan jenis kuman.
B. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi anestesi
Anestesi dan reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari
tatalaksana untuk mematikan rasa. Rasa nyeri, rasa tidak nyaman pasien dan rasa lain
yang tidak diharapkan. Anestesiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang
tatalaksana untuk menjaga atau mempertahankan hidup pasien selama mengalami
“kematian” akibat dari obat analgesia.
2. Jenis anestesi (General Anestesi)
General anestesi sendiri merupakan suatu tindakan meniadakan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Cara kerja anestesi
umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat
amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. General anesthesia atau anestesi umum
merupakan suatu tindakan yang bertujuan menghilangkan nyeri, membuat tidak
sadar dan menyebabkan amnesia yang bersifat reversible dan dapat diprediksi,
anestesi umum menyebabkan hilangnya ingatan saat dilakukan pembiusan dan
operasi sehingga saat pasien sadar pasien tidak mengingat peristiwa pembedahan
yang dilakukan . Prinsip dari general anestesi yaitu meminimalisir terjadinya potensi
bahaya baik secara langsung maupun tidak langsung dari tehnik anestesi dan agen
anestesi, mempertahankan keadaan se-fisiologis mungkin selama proses
pembedahan, meningkatkan kondisi umum setelah operasi.
3. Teknik anestesi
General anestesi menurut, dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu
a. General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi
parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
b. General Anestesi Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat
anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui
alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
c. Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat- obatan baik
obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik
general anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara
optimal dan berimbang, yaitu:
1) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau
obat anestesi umum yang lain.
2) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat
atau obat general anestesi atau dengan cara analgesia regional.
3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot
atau general anestesi, atau dengan cara analgesia regional.
4. Rumatan anestesi
Rumatan anestesi dapat dikerjakan secara IV atau dengan inhalasi atau
campuran intravena inhalasi. Biasanya mengacu pada trias anestesi Rumatan IV
dengan dosis tinggi, fentanyl 10-50 mcg/kgbb dapat menyebabkan pasien tidur
dengan analgetik cukup sehingga tinggal diberikan pelumpuh otot.Untuk rumatan
inhalasi biasanya menggunakan campuran N20 dan 02 ditambah dengan isofluran
atau sevofluran tergantung apakah pasien bernapas spontan dibantu atau
dikendalikan.
a. Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu;
1) Stadium I
Stadium induksi atau eksitasi volunter, dimulai dari pemberian agen anestesi
sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan
frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi.
2) Stadium II
Stadium eksitasi involunter, dimulai dari hilangnya kesadaran sampai
permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan
yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin,
muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia.
3) Stadium III
Pembedahan/operasi, terbagi dalam 3 bagian yaitu;
3. Rencana intervensi
a. Masalah kesehatan anestesi 1 (Nyeri Akut berhubungan dengan penyakit)
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan masalah dapat
teratasi.
2) Kriteria hasil
a) TTV pasien dalam keadaan normal
b) Pasien tampak lebih rileks
c) Nyeri berkurang menjadi 2
3) Rencana Tindakan
a) Kaji tinggkat nyeri pasien menggunakan pengkajian nyeri PQRST
b) Ajarkan terapi relaksasi napas dalam untuk mengurangi rasa nyeri
pasien
c) Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan obat analgesi
3) Rencana Tindakan
a) Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan bernapas
b) Pantau suara napas tambahan seperti ngorok atau mengi
c) Pantau saturasi oksigen pada pasien
d) Posisikan pasien semifowler
e) Berikan terapi oksigen jika diperlukan
c. Masalah kesehatan anestesi 3 (Hipotermia berhubungan dengan termoregulasi
pasca anestesi)
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan masalah dapat
teratasi.
2) Kriteria hasil
a) Pasien terlihat tenang
b) Tidak terlihat tanda shivering pada pasien
3) Rencana Tindakan
a) Kaji TTV pasien
b) Berikan selimut penghangat
c) Kolaborasi pemberian obat petidine untuk mengatasi shivering
d. Masalah kesehatan anestesi 4 (Resiko Aspirasi berhubungan dengan manipulasi
akibat intubasi)
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan masalah dapat
teratasi.
2) Kriteria hasil
a) Pasien terhindar dari resiko aspirasi
b) TTV pasien dalam batas normal
3) Rencana Tindakan
a) Monitoring TTV pasien
b) Pasang selang NGT
c) Minimalkan manipulasi dalam mulut saat intubasi
d) Kolaborasi dengan dokter pemberian obat anti emetik