Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PADA PASIEN ULKUS DINDING

DADA DILAKUKAN TINDAKAN STSG DENGAN TINDAKAN ANESTESI UMUM


DI IBS RSUD WATES PADA TANGGAL 24 MEI 2022

Tugas ini disusun untuk memenuhi Mata Kuliah Praktik Klinik AsuhanKeperawatan
Anestesi Pre-Intra-Post

Dosen Pembimbing : Aisyah Nur Azizah, M. Tr. Kep

Disusun oleh:

Febrian Arya Shamid 1811604027


Afifah Shafa Ulya 1811604080

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
2022
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PADA PASIEN ULKUS DINDING


DADA DILAKUKAN TINDAKAN STSG DENGAN TINDAKAN ANESTESI UMUM DI
IBS RSUD WATES PADA TANGGAL 24 MEI 2022

Laporan Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah PraktikKlinik Asuhan
Keperawatan Anestesi Pre-Intra-Post

Oleh :

Febrian Arya Shamid 1811604027


Afifah Shafa Ulya 1811604080

Telah diperiksa dan disetujui tanggal:

Mengetahui,

Pembimbing Lapangan Pembimbing Akademik

( ) ( Aisyah Nur Azizah, M.Tr.Kep)


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ulkus diabetikum merupakan salah satukomplikasi yang umum bagi pasien


dengan diabetes melitus. Penyembuhan luka yang lambat dan meningkatnya
kerentanan terhadap infeksi cenderung terjadi, ganggren dapat berkembang dan
terdapat resiko tinggi perlu dilakukannya amputasi tungkai bawahhal ini di akibatkan
oleh gangguan neurologis (neuropati)dan vaskuler pada tungkai(Morison, 2012).Dalam
sebuah analisis yang dilakukan World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa
penderita diabetes melitus pada tahun 2000 berjumlah 171 juta orang dan diprediksi
akan terus meningkat hingga mencapai 366 juta pada tahun 2030. WHO menyebutkan
jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia pada tahun 2000 terdapat 8,4 juta
orang, jumlah tersebut menempati urutan ke-4 terbesar di dunia, sedangkan urutan di
atasnya adalah India (31,7 juta), Cina (20,8 juta) dan Amerika Serikat (17,7 juta).
Diperkirakan jumlah penderita diabetes melitus akan meningkat pada tahun 2030 yaitu
India (79,4 juta), Cina (42,3 juta), Amerika Serikat (30,3 juta) dan Indonesia (21,3
juta). Dari angka tersebut dapatdiprediksi jumlah pasien yang mengalami ulkus
diabetikumdengan tingkat resiko 25%mencapai 5,3 juta jiwa(Prihaningtyas, 2013).

Menurut Federasi Diabetes Internasional(FDI), diabetes merupakan penyebab


kematian urutan ketujuh di dunia dimana setiap detik 1 orang meninggal dunia
karena diabetes dan pada tahun 2011 sebesar 4,6 juta pasien diabetik meninggal
dunia. Pasien diabetes melitus dengan komplikasi ulkus diabetic kemungkinan dapat
timbul perasaan tidak adekuat dan sikap bermusuhan. Dan dapat mengalami
permasalahan-permasalahan yang bersifat fisik, psikologis, dan social yang di rasakan
sebagai kondisi yang menekan. Permasalahan yang di alami pasien ulkus diabetic juga
dapat berlanjut menjadi suatu perasaan depresi pada pasien (Watkins, 2003).Dalam
perawatan ulkus diabetikum American Diabetik Association(ADA), membuat target
yang harus di capai, yaitu meningkatkan fungsi dan kualitas hidup, mengontrol
infeksi, meningkatkan status kesehatan, mencegah amputasi, dan mengurangi
pengeluaran biaya pasien. Namun pada kenyataannya dalam 30 detik terjadi amputasi
pada ulkus diabetikum di seluruh dunia (Lestari, 2012).Diklinik perawatan ulkus dan
stoma WOCARE Clinic, perawatan ulkus kaki diabetik menghabiskan rata-rata empat
hingga lima juta rupiah dengan lama penyembuhan berkisar dua-tiga bulan (Agustin,
2010). Menurut Handayani (2010 dalam Falanga, 2005) “ulkus diabetik kalau tidak
segera mendapatkan pengobatan dan perawatan, maka akan mudah terjadi infeksi
yang segera meluas dan dalam keadaan lebih lanjut memerlukan tindakan amputasi bahkan
kematian. Amputasi dan kematian pada pasien ulkus diabetikum ini dapat disebabkan oleh
kegagalan dalam penyembuhan (delayed healing) yang berlanjut pada infeksi lokal
maupun general.

Dalam proses penyembuhan luka, delayed healingdapat terjadi bila sel inflamasidan
sel imunitas yang diperlukan pada fase inflamasi, proliferasidan maturasitidak dapat
bekerja secara optimal. Sel-sel tersebut adalah platelet (fase koagulasi), neutrofildan
monosit(fase koagulasidan inflamasi), makrofag (fase inflamasi), keratinosit, fibroblas
dan sel endotelial (fase proliferasi), serta miofibroblas(fase maturasi).Proses
penyembuhan ulkus diabetikum dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalahusia,
manajemen perawatan luka, nutrisi, merokok dan infeksi.Perawatan luka diabetik harus
memperhatikan perubahan usia penderita karena semakin tua usia seseorang akan
semakin lama proses penyembuhan luka berlangsung hal ini dipengaruhi oleh
perbedaan penggantiankolagen yang mempengaruhi penyembuhan luka(Maryunani,
2013).Menurut Handayani (2010 dalam Bryant & Nix, 2007) bahwa
“Manajemen perawatan luka adalah salah satu teknik yang harus diketahui oleh
perawat, hal ini berpengaruh terhadap proses penyembuhan karena pemilihan bahan
balutan dan penggunaan teknik pembalutan yang tidak tepat, penggunaan antibiotik
topikal dan larutan pembersih luka yang kurang tepat atau penggunaan antiseptik solution
yang semestinya tidak diperlukan dapat menghambat proses penyembuhan luka.
Teknik perawatan luka dapat berupa perawatan luka baik secara lokal maupun sistemik.
Perawatan lokal dapat berupa tindakan necrotomy, debridemendan jenis dressingluka
yang digunakan. Perawatan sistemik dapat berupa pemberian nutrisi parenteral dan
insulin subkutan”.

Status nutrisi berpengaruh terhadap proses penyembuhan karena zat makanan


yang masuk ke dalam tubuh seperti protein, vitamin B dan C, mineral, dan zinc
sangat dibutuhkan dalam proses neo-vaskularisasi, proliferasi, fibroblas,sintesakolagen
dan remodelingluka.Merokokjugaberpengaruh terhadap penyembuhan luka karena
hal ini mengurangi oksigenasi jaringan dan menimbulkan efek merugikan pada
proses penyembuhan luka(Misnadiarly, 2005).Infeksisangat berpengaruh terhadap
penyembuhan luka karena infeksi dapat memperlambat proses penyembuhan luka.
Infeksi dapat terjadi jikakadar glukosa darah dalam tubuh tinggi sehingga luka menjadi
tempat yang baik untuk pertumbuhan kuman, seperti kumanaerob Staphylococcusatau
Streptococcusserta kuman anaerobyaitu Clostridium perfringens, Clostridiumnovydan
Clostridium septikum, infeksi juga dapat terjadiselama persiapan perawatan, selama
perawatan, dan setelah perawatan lukatidak dilakukan dengan prinsip aseptik dan
antiseptik yang baik(Witanto, 2008).Penelitian terkait dengan penelitian yang akan di
lakukan penulis adalah penelitian yang di lakukan oleh Handayani (2013). Penelitian
ini di lakukan di RSUD Poso Sulawesi Tengah. Dengan subyek penelitian adalah
pasien ulkus diabetik dan jumlah sampel 30 orang. Hasil penelitian membuktikan
bahwa ada hubungan antara nutrisi, manajemen perawatan luka dan usia dengan
proses penyembuhan ulkus diabetikum (Handayani, 2013).

Dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011, diabetes melitus dengan komplikasi
ulkus diabetik berada pada urutan ke enam dari sepuluh penyakit utama pada pasien
rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan angka kematian akibat
ulkus berkisar 17-23%, angka amputasi berkisar 15-30% dan angka kematian 1 tahun
post amputasi sebesar 14,8% (Departemen Kesehatan RI, 2011) oleh karena itu penulis
tertarik untuk mengangkat kasus pasien Ny.R pada 24 Mei 2022 di IBS RSUD Wates
dengan tindakan anestesi umum

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan di atas, maka dapat
dirumuskan menerapkan Asuhan Kepenataan anestesi Pada Ny. S dengan Ulkus Dinding
Dada dengan tindakan operasi STSG dengan general anestesi

C. TUJUAN

Tujuan Umum

a. Mampu membuat dan mengaplikasikan asuhan kepenataan pada pasien Ulkus


Dinding Dada dilakukan tindakan operasi STSG dengan tindakan general anestesi.

b. Sebagai bahan untuk pembelajaran dan pemahaman bagi mahasiswa untuk lebih
memahami tentang asuhan kepenataan pada pasien Ulkus Dinding Dada dilakukan
tindakan operasi STSG dengan tindakan general anestesi.
Tujuan Khusus

a. Dapat melaksanakan pengkajian kepenataan anestesi pada pasien Ulkus Dinding


Dada dilakukan tindakan operasi STSG dengan tindakan anestesi umum

b. Dapat merumuskan diagnosa kepenataan anestesi pada pasien Ulkus Dinding


Dada dilakukan tindakan operasi STSG dengan tindakan anestesi umum

c. Dapat menyusun rencana kepenataan anestesi pada pasien Ulkus Dinding Dada
dilakukan tindakan operasi STSG dengan tindakan anestesi umum

d. Dapat melaksanakan tindakan kepenataan anestesi pada pasien Ulkus Dinding


Dada dilakukan tindakan operasi STSG dengan tindakan anestesi umum

e. Dapat mengevaluasi hasil asuhan kepenataan anestesi pada pasien Ulkus Dinding
Dada dilakukan tindakan operasi STSG dengan tindakan anestesi umum

D. METODE

Metode adalah suatu atau serangkaian cara yang digunakan untuk menyelesaikan
suatu permasalahan. Metode yang digunakan pada karya tulis ilmiah ini adalah studi kasus.
Studi kasus merupakan rancangan penelitian yang mencakup pengkajian satu unit
penelitian secara intensif misalnya satu klien, keluarga, kelompok, komunitas, atau
institusi (Nursalam, 2014)

Studi kasus ini adalah studi untuk mengeksplorasi masalah asuhan kepenataan
anestesi pada pasien ULKUS DINDING DADA dilakukan tindakan operasi STSG dengan
tindakan anestesi umum.

.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori Penyakit


1. Pengertian
Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter,
dengan tanda-tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya
gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di
dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya
disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein (Askandar, 2000). Diabetes
mellitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai oleh ketiadaan absolut insulin
atau insensitifitas sel terhadap insulin (Corwin, 2001: 543).
Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lender dan ulkus
adalah kematian jaringan yang luas dan disertai invasif kuman saprofit. Adanya
kuman saprofit tersebut menyebabkan ulkus berbau, ulkus diabetikum juga
merupakan salah satu gejala klinik dan perjalanan penyakit DM dengan neuropati
perifer, (Andyagreeni, 2010).
Ulkus Diabetik merupakan komplikasi kronik dari Diabetes Melllitus sebagai
sebab utama morbiditas, mortalitas serta kecacatan penderita Diabetes. Kadar LDL
yang tinggi memainkan peranan penting untukterjadinya Ulkus Uiabetik untuk
terjadinya Ulkus Diabetik melalui pembentukan plak atherosklerosis pada dinding
pembuluh darah, (zaidah 2005).
Klasifikasi Diabetes yang utama menurut Smeltzer dan Bare (2001), adalah
sebagai berikut :
a. Tipe 1 Diabetes Mellitus tergantung insulin (Insulin Dependent Diabetes
Mellitus)
b. Tipe II Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (Non-Insulin Dependent
Diabetes Mellitus).
c. Diabetes Mellitus yang berhubungan dengan sindrom lainnya.
d. Diabetes Mellitus Gestasional (Gestasional Diabetes Mellitus)
2. Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2001: 1224), penyebab dari diabetes mellitus adalah:
a. Diabetes Tipe I
1) Faktor genetik.
2) Faktor imunologi.
3) Faktor lingkunngan.
b. Diabetes Tipe II
1) Usia.
2) Obesitas.
3) Riwayat keluarga.
4) Kelompok genetik.
Faktor-faktor yang berpengaruh atas terjadinya ulkus diabetikum dibagi menjadi faktor
endogen dan ekstrogen.
1. Faktor endogen
a. Genetik, metabolik.
b. Angiopati diabetik.
c. Neuropati diabetik.
2. Faktor ekstrogen
a. Trauma.
b. Infeksi.
c. Obat.
Faktor utama yang berperan pada timbulnya ulkus Diabetikum adalah
angipati, neuropati dan infeksi.adanya neuropati perifer akan menyebabkan hilang
atau menurunnya sensai nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma tanpa
terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki gangguan motorik juga
akan mengakibatkan terjadinya atrofi pada otot kaki sehingga merubah titik tumpu
yang menyebabkan ulsestrasi pada kaki klien. Apabila sumbatan darah terjadi pada
pembuluh darah yang lebih besar maka penderita akan merasa sakit pada
tungkainya sesudah ia berjalan pada jarak tertentu. Adanya angiopati tersebut akan
menyebabkan terjadinya penurunan asupan nutrisi, oksigen serta antibiotika
sehingga menyebabkan terjadinya luka yang sukar sembuh (Levin, 1993) infeksi
sering merupakan komplikasi yang menyertai Ulkus Diabetikum akibat
berkurangnya aliran darah atau neuropati, sehingga faktor angipati dan infeksi
berpengaruh terhadap penyembuhan Ulkus Diabetikum.(Askandar 2001).
3. Manifestasi
Ulkus Diabetikum akibat mikriangiopatik disebut juga ulkus panas walaupun
nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh peradangan dan
biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal . Proses mikroangipati menyebabkan
sumbatan pembuluh darah, sedangkan secara akut emboli memberikan gejala klinis 5
P yaitu :
a. Pain (nyeri).
b. Paleness (kepucatan)
c. Paresthesia (kesemutan).
d. Pulselessness (denyut nadi hilang)
e. Paralysis (lumpuh).
4. Patofisiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2001: 1223), patofisiologi dari diabetes mellitus adalah
a. Diabetes tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin
karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.
Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati.
Disamping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam
hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup
tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar,
akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (Glukosuria). Ketika glukosa yang
berlebih dieksresikan dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan
dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai
akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia). Defisiensi
insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan
penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan
(polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup
kelelahan dan kelemahan.Proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut
turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak
yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk
samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu
keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis
diabetik yang diakibatkannya dapat menyebabkan tandatanda dan gejala seperti
nyeri abdominal, mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton dan bila tidak
ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian.
b. Diabetes tipe II
Pada Diabetes tipe II terdapat dua masalah yang berhubungan dengan insulin,
yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan
terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya
insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Akibat intoleransi
glukosa yang berlangsung lambat dan progresif maka awitan diabetes tipe II dapat
berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering
bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria. polidipsia,
luka yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur ( jika kadar
glukosanya sangat tinggi).
Penyakit Diabetes membuat gangguan/ komplikasi melalui kerusakan pada
pembuluh darah di seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik. Penyakit ini berjalan
kronis dan terbagi dua yaitu gangguan pada pembuluh darah besar
(makrovaskular) disebut makroangiopati, dan pada pembuluh darah halus
(mikrovaskular) disebut mikroangiopati. Ulkus Diabetikum terdiri dari kavitas
sentral biasanya lebih besar disbanding pintu masuknya, dikelilingi kalus keras
dan tebal. Awalnya proses pembentukan ulkus berhubungan dengan
hiperglikemia yang berefek terhadap saraf perifer, kolagen, keratin dan suplai
vaskuler. Dengan adanya tekanan mekanik terbentuk keratin keras pada daerah
kaki yang mengalami beban terbesar. Neuropati sensoris perifer memungkinkan
terjadinya trauma berulang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan
dibawah area kalus. Selanjutnya terbentuk kavitas yang membesar dan akhirnya
ruptur sampai permukaan kulit menimbulkan ulkus. Adanya iskemia dan
penyembuhan luka abnormal manghalangi resolusi.
Mikroorganisme yang masuk mengadakan kolonisasi didaerah ini. Drainase
yang inadekuat menimbulkan closed space infection. Akhirnya sebagai
konsekuensi sistem imun yang abnormal, bakteria sulit dibersihkan dan infeksi
menyebar ke jaringan sekitarnya, (Anonim 2009).
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Arora (2007: 15), pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu:
a. Postprandial
Dilakukan 2 jam setelah makan atau setelah minum. Angka diatas 130 mg/dl
mengindikasikan diabetes.
b. Hemoglobin glikosilat: Hb1C adalah sebuah pengukuran untuk menilai kadar
gula darah selama 140 hari terakhir. Angka Hb1C yang melebihi 6,1%
menunjukkan diabetes.
c. Tes toleransi glukosa oral.
Setelah berpuasa semalaman kemudian pasien diberi air dengan 75 gr gula, dan
akan diuji selama periode 24 jam. Angka gula darah yang normal dua jam setelah
meminum cairan tersebut harus < dari 140 mg/dl.
d. Tes glukosa darah dengan finger stick, yaitu jari ditusuk dengan sebuah jarum,
sample darah diletakkan pada sebuah strip yang dimasukkan kedalam celah pada
mesin glukometer, pemeriksaan ini digunakan hanya untuk memantau kadar
glukosa yang dapat dilakukan dirumah.
e. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan
dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna
pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ )
f. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai
dengan jenis kuman.

B. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi anestesi
Anestesi dan reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari
tatalaksana untuk mematikan rasa. Rasa nyeri, rasa tidak nyaman pasien dan rasa lain
yang tidak diharapkan. Anestesiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang
tatalaksana untuk menjaga atau mempertahankan hidup pasien selama mengalami
“kematian” akibat dari obat analgesia.
2. Jenis anestesi (General Anestesi)
General anestesi sendiri merupakan suatu tindakan meniadakan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Cara kerja anestesi umum
selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia,
juga merelaksasi seluruh otot. General anesthesia atau anestesi umum merupakan
suatu tindakan yang bertujuan menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar dan
menyebabkan amnesia yang bersifat reversible dan dapat diprediksi, anestesi umum
menyebabkanhilangnya ingatan saat dilakukan pembiusan dan operasi sehingga saat
pasien sadar pasien tidak mengingat peristiwa pembedahan yang dilakukan. Prinsip dari
general anestesi yaitu meminimalisir terjadinya potensi bahayabaik secara langsung
maupun tidak langsung dari tehnik anestesi dan agen anestesi, mempertahankan
keadaan se-fisiologis mungkin selama proses pembedahan, meningkatkan kondisi
umum setelah operasi.
3. Teknik anestesi
General anestesi menurut, dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu
a. General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi
parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
b. General Anestesi Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat
anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yangmudah menguap melalui alat
atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
c. Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat- obatan baik
obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi ataukombinasi teknik general
anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal
dan berimbang, yaitu:
1) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau
obat anestesi umum yang lain.
2) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetikopiat atau
obat general anestesi atau dengan cara analgesia regional.
3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot atau
general anestesi, atau dengan cara analgesia regional.
4. Rumatan anestesi
Rumatan anestesi dapat dikerjakan secara IV atau dengan inhalasi atau
campuran intravena inhalasi. Biasanya mengacu pada trias anestesi Rumatan IV
dengan dosis tinggi, fentanyl 10-50 mcg/kgbb dapat menyebabkan pasien tidur dengan
analgetik cukup sehingga tinggal diberikan pelumpuh otot.Untuk rumatan inhalasi
biasanya menggunakan campuran N20 dan 02 ditambah dengan isofluran atau
sevofluran tergantung apakah pasien bernapas spontan dibantu atau dikendalikan.
a. Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu;

1) Stadium I

Stadium induksi atau eksitasi volunter, dimulai dari pemberian agen anestesi
sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan
frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi.
2) Stadium II
Stadium eksitasi involunter, dimulai dari hilangnya kesadaran sampaipermulaan
stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak
menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah,
midriasis, hipertensi, dan takikardia.
3) Stadium III
Pembedahan/operasi, terbagi dalam 3 bagian yaitu;

a) Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya


anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada,
bola mata bergerak-gerak, palpebra,konjuctiva dan kornea terdepresi.
b) Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro
medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut.
c) Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola matakembali ke
tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau
overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil
dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena
terhentinya sekresi lakrimal (Munaf, 2008).
b. Status Fisik Pasien Berdasarkan ASA
Pada tahun 1963 American Society of Anesthesiologists (ASA) mengadopsi
sistem klasifikasi status lima kategori fisik; sebuah kategori keenam kemudian
ditambahkan Kriteria status fisik pasien sebelum operasimenurut ASA (American
Society of Anesthesiologist). Status tersebutadalah sebagai berikut:
1). ASA I : Pasien yang normal dan sehat
2). ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan.
3). ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat.
4). ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang merupakanancaman
bagi kehidupan
5). ASA V : Pasien yang tidak dapat diharapkan untuk bertahan hiduptanpa
operasi
6). ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan dikeluarkan untuk tujuan
donor.
5. Gangguan pasca anestesi
a. Pernapasan
Penyebab yang sering dijumpai sebagai penyulit pernapasan adalah sisa
anastesi (penderita tidak sadar kembali) dan sisa pelemas otot yang belum
dimetabolisme dengan sempurna, selain itu lidah jatuhkebelakang menyebabkan
obstruksi hipofaring. Kedua hal ini menyebabkan hipoventilasi, dan dalam derajat
yang lebih berat menyebabkan apnea.
b. Sirkulasi
Penyulit yang sering di jumpai adalah hipotensi syok dan aritmia, hal ini
disebabkan oleh kekurangan cairan karena perdarahan. Sebab lain adalah sisa
anastesi yang masih dalam sirkulasi, terutama jika tahapan anastesi masih dalam
akhir pembedahan.
c. Regurgitasi dan Muntah
Regurgitasi dan muntah disebabkan oleh hipoksia selama anastesi. Pencegahan
muntah penting karena dapat menyebabkan aspirasi.
d. Hipotermi
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya hipotermi pada pasien post operasi
antara lain suhu kamar operasi yang dingin, penggunaan agen inhalasi, luas luka
operasi, dan lama operasi/anestesi.
e. Gangguan Faal Lain
Diantaranya gangguan pemulihan kesadaran yang disebabkan oleh kerja anestesi
yang memanjang karena dosis berlebih relatif karena penderita syok, hipotermi,
usia lanjut dan malnutrisi sehingga sediaananestesi lambat dikeluarkan dari dalam
darah.
6. Resiko
Komplikasi anestesi adalah penyulit yang terjadi pada periode perioperative
dapat dicetuskan oleh tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien. Penyulit dapat
ditimbulkan belakangan setelah pembedahan. Komplikasi anestesi dapat berakibat
dengan kematian atau cacat menetap jika tidak dideteksi dan ditolong segera dengan
tepat. Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi anestesi tergantung dari deteksi gejala
dini dan kecepatan dilakukan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih
buruh (Brunner & Suddarth, 2010).
Resiko pada general anestesi dengan intubasi yaitu antara lain trauma jalan
nafas, salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT sedangkan pada LMA ada
beberapa komplikasi yaitu komplikasi mekanikal, traumatik, patofisiologi,
laringospasme, sakit tenggorokan, aspirasi, lidah mati rasa atau sianosis.
C. Web of Caution (WOC)
D. Tinjauan Teori Asuhan Kepenataan Anestesi
1. Pengkajian
a. Data subjektif
Data subjektif adalah persepsi klien tentang masalah kesehatan mereka. Hanya
klien yang dapat memberikan informasi tentang frekuensi, durasi, lokasi, dan
intensitas nyerinya. Data subjektifnya biasanya mencakup perasaan ansietas,
ketidak nyamanan fisik, atau stres mental. Meskipun hanya pasien yang dapat
memberikan data subjektif yang relevan terhadap perasaan ini, perawat harus
waspada bahwa masalah ini dapat terjadi pada perubahan fisiologis, yang
teridentifikasi melalui pengumpulan data objektif.
b. Data objektif
Data objektif adalah pengamatan atau pengukuran yang dibuat oleh pengumpul
data. Pengkajian tekanan darah klien dan identifikasi ukuran ruam tubuh setempat
adalah contoh data objektif yang teramati. Pengukuran data objektif didasarkan
pada standar yang diterima,seperti ukuran fahrenheit atau celcius pada termometer
atau sentimeter pada pita pengukur. Suhu tubuh dan lingkar kepala adalah contoh
dari data objektif yang dapat diukur
.
2. Masalah kesehatan anestesi
a. Nyeri Akut berhubungan dengan penyakit
b. Resiko Aspirasi berhubungan dengan manipulasi akibat intubasi
c. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan regresi obat anestesi
d. Hipotermia berhubungan dengan termoregulasi pasca anestesi
e. Resiko jatuh berhubungan efek obat anestesi

3. Rencana intervensi
a. Masalah kesehatan anestesi 1 (Nyeri Akut berhubungan dengan penyakit)
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan masalah dapat
teratasi.
2) Kriteria hasil
a) TTV pasien dalam keadaan normal
b) Pasien tampak lebih rileks
c) Nyeri berkurang menjadi 2
3) Rencana Tindakan
a) Kaji tinggkat nyeri pasien menggunakan pengkajian nyeri PQRST
b) Ajarkan terapi relaksasi napas dalam untuk mengurangi rasa nyeri
pasien
c) Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan obat analgesi

b. Masalah kesehatan anestesi 2 (Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan


regresi obat anestesi)
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan masalah dapat
teratasi.
2) Kriteria hasil
a) Suara nafas vesikuler
b) TTV dalam batas normal
c) SpO2 >98%

3) Rencana Tindakan
a) Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan bernapas
b) Pantau suara napas tambahan seperti ngorok atau mengi
c) Pantau saturasi oksigen pada pasien
d) Posisikan pasien semifowler
e) Berikan terapi oksigen jika diperlukan
c. Masalah kesehatan anestesi 3 (Hipotermia berhubungan dengan termoregulasi
pasca anestesi)
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan masalah dapat
teratasi.
2) Kriteria hasil
a) Pasien terlihat tenang
b) Tidak terlihat tanda shivering pada pasien
3) Rencana Tindakan
a) Kaji TTV pasien
b) Berikan selimut penghangat
c) Kolaborasi pemberian obat petidine untuk mengatasi shivering
d. Masalah kesehatan anestesi 4 (Resiko Aspirasi berhubungan dengan manipulasi
akibat intubasi)
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan masalah dapat
teratasi.
2) Kriteria hasil
a) Pasien terhindar dari resiko aspirasi
b) TTV pasien dalam batas normal
3) Rencana Tindakan
a) Monitoring TTV pasien
b) Pasang selang NGT
c) Minimalkan manipulasi dalam mulut saat intubasi
d) Kolaborasi dengan dokter pemberian obat anti emetik

e. Masalah kesehatan anestesi 5 (Resiko jatuh berhubungan efek obat anestesi)


1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan masalah dapat
teratasi.
2) Kriteria hasil
Pasien tidak terjatuh
3) Rencana Tindakan
a) Kaji keamanan lingkungan fisik pada pasien
b) Berikan tanda fall risk pada bed atau gelang pasien
c) Pasang pengaman pada pasien
4. Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan
dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi
tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan. Pada pasien dapat dinilai hasil
pelaksanaannya perawatan dengan melihat catatan perkembangan, hasil pemeriksaan
pasien, melihat langsung keadaan dan keluhan pasien, yang timbul sebagai masalah
berat. Evaluasi harus berdasarkan pada tujuan yang ingin dicapai.
Evaluasi dapat dilihat 4 kemungkinan yang menentukan tindakan-tindakan
perawatan selanjutnya antara lain :
1) Apakah pelayanan keperawatan sudah tercapai atau belum
2) Apakah masalah yang ada telah terpecahkan/teratasi atau belum
3) Apakah masalah sebagian terpecahkan/tidak dapat dipecahkan
4) Apakah tindakan dilanjutkan atau perlu pengkajian ulang.

Anda mungkin juga menyukai