Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH BELAJAR DAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA

TEORI – TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK SERTA APLIKASI


PEMBELAJARAN DARI PARA AHLI BEHAVIORISTIK

DOSEN PENGAMPU : FERI TIONA PASARIBU S.Pd., M.Pd

DISUSUN OLEH :

AFIFA NABILA ZAHRA (A1C222031)

GEBBY KUSUMA RAHAYU PUTRI (A1C222060)

SAHAT BENAYA (A1C222087)

NUR JANAH (A1C222097)

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Teori-teori belajar
behavioristik serta aplikasi pembelajaran dari para ahli behavioristik ” ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada Feri Tiona
Pasaribu, S.Pd., M.Pd. selaku Dosen mata kuliah Belajar dan Pembelajaran matematika di
UNJA yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Ibu serta rekan-
rekan demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Jambi, 6 September 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... iii


DAFTAR ISI ......................................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 5
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 5
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 6
2.1 Definisi Belajar Menurut Teori Behavioristik ........................................................... 6
2.2 Teori Belajar Menurut Pavlov .................................................................................... 6
2.3 Teori Belajar Menurut John B. Watson ................................................................... 11
2.4 Teori Belajar Menurut Edward Thorndike ............................................................. 13
2.5 Teori Belajar Menurut B.F. Skinner ........................................................................ 15
2.6 Teori behaviorisme ini dikritik karena:.................................................................... 22
2.7 Kelebihan dan Kekurangan Teori Behavioristik Apabila Diaplikasikan Dalam
Proses Belajar dan Pembelajaran ................................................................................... 24
BAB III PENUTUP ............................................................................................................. 26
3.1 KESIMPULAN ......................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 27
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Teori belajar Behavioristik merupakan teori yang berpandangan bahwa belajar adalah
proses perubahan tingkah laku melalui stimulus respon. Dengan kata lain,belajar merupakan
bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya yang bertujuan merubah
tingkah laku dengan cara interaksi antara stimulus dan respon.Dalam konsep belajar
behavioristik, siswa dikatakan belajar jika terjadi perubahan prilaku ke arah yang lebih baik.
Salah satu tokoh pengusung teori ini adalah Edward Thorndike yang dikenal dengan teori
Koneksionisme. Menurut Thorndike, belajar merupakan proses koneksi antara stimulus respon
yang berujung kepada perubahan tingkah laku. Hubungan stimulus respon ini menurut
Thorndike dapat diperkuat dengan adanya kesiapan dalam menerima perubahan tingkah laku
tersebut (Law of Readiness), diberikan pengulangan (Law of Exercise) dan diberikan
penghargaan (Law of Effect). Dalam pembelajaran khususnya matematika, guru memastikan
kesiapan siswa dalam belajar, agar stimulus yang diberikan dapat diterima baik oleh siswa dan
memunculkan respon yang diinginkan. Stimulus yang diberikan hendaknya sering diulang
agar hubungan stimulus respon semakin kuat salah satunya dengan memberikan latihan
ataupun penekanan konsep oleh guru. Selain itu, hubungan ini juga dapat diperkuat dengan
memberikan penghargaan kepada siswa. Sehingga menimbulkan kepuasan bagi mereka.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja teori-teori pembelajaran Behavioristik?


2. Bagaimana aplikasi pembelajaran dari para ahli Behavioristik?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengenali teori-teori pembelajaran Behavioristik.


2. Aplikasi pembelajaran dari para ahli Behavioristik.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Belajar Menurut Teori Behavioristik


Imron (1996:3-9) mengemukakan bahwa teori behavioristik belajar adalah suatu
kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Teori ini disebut juga dengan teori
conditioning, karena belajar tidaknya seseorang bergantung pada factor-faktor kondisional
yang diberikan oleh lingkungannya. Selain itu, teori behaviorisme, sebagai teori pembelajaran,
dapat ditelusuri kembali oleh Aristoteles, yang esainya “Memori” yang berfokus pada asosiasi
yang dibuat antara peristiwa seperti kilat dan Guntur. Lain filsuf yang mengikuti pemikiran
Aristoteles adalah Hobbes (1650), Hume (1740), Brown (1920), Bain (1855), dan
Ebbinghause (1885), Black (1995). Ivan Pavlor, John B. Watson, Edward Thorndike dan B.F
Skinner kemudian mengembangkan teorinya lebih terinci. Watson adalah ahli teori yang
dipercayai menciptakan istilah “behaviourisme” (Watson, John Broadus, 1913).
Menurut teori Behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat
dari adanya interaksi stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia
dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Menurut teori ini yang terpenting adalah
masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan pendidik kepada pembelajar, sedangkan
respon adalah reaksi atau tanggapan pembelajar terhadap stimulus yang diberikan
oleh pendidik tersebut. Contoh : ketika pembelajar diberi tugas pendidik, ketika tugasnya
ditambahkan maka ia akan semakin giat belajarnya. Maka penambahan tugas belajarnya itu
merupakan penguatan positif dalam belajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan ini
justru meningkatkan aktivitas belajarnya, maka penambahan tugas belajarnya tersebut
merupakan penguatan positif dalam belajar. Bila tugas-tugasnya dikurangi dan pengurangan
ini justru meningkatkan aktivitas belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan suatu
bentuk stimulus negative dalam belajar. Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus
yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan
terjadinya respon (Budiningsih : 2005: 20-21).

Tokoh-tokoh teori belajar behavioristic antara lain adalah Ivan Pavlov, John B.Watson,
B.F Skinner dan Edward Thorndike.

2.2 Teori Belajar Menurut Pavlov


Ivan Petrovich Pavlov adalah orang Rusia. Ia menemukan Classical Conditioning di
dekade 1890-an. Namun karena pada saat itu negerinya tertutup dari dunia barat, bukunya
dalam edisi bahasa Inggris Conditioned Reflexes: An Investigation of the Physiological
Activity of the Cerebral Cortex baru bisa diterbitkan tahun 1927. Teorinya disebut klasik
karena kemudian muncul teori conditioning yang lebih baru. Ada pula yang menyebut
teorinya sebagai learned reflexes atau refleks karena latihan, untuk membedakan teorinya
dengan teori pengkondisian disadari-nya Skinner.
Percobaan Pavlov Pengkondisian Klasik atau Classical conditioning ditemukan secara
kebetulan oleh Pavlov di dekade 1890-an. Saat itu Pavlov sedang mempelajari bagaimana air
liur membantu proses pencernaan makanan. Kegiatannya antara lain memberi makan
anjing,dengan eksperimen dan mengukur volume produksi air liur anjing tersebut di waktu
makan. Setelah anjing tersebut melalui prosedur yang sama beberapa kali, ternyata mulai
mengeluarkan air liur sebelum menerima makanan. Pavlov menyimpulkan bahwa beberapa
stimulus baru seperti pakaian peneliti yang serba putih, telah diasosiasikan oleh anjing
tersebut dengan makanan sehingga menimbulkan respons keluarnya air liur. Proses
conditioning biasanya mengikuti prosedur umum yang sama. Misalkan seorang pakar
psikologi ingin mengkondisikan seekor anjing untuk mengeluarkan air liur ketika mendengar
bunyi lonceng. Sebelum conditioning, stimulus tanpa pengkondisian (makanan dalam mulut)
secara otomatis menghasilkan respons tanpa pengkondisian (mengeluarkan air liur) dari anjing
tersebut. Selama pengkondisian, peneliti membunyikan lonceng dan kemudian memberikan
makanan pada anjing tersebut. Bunyi lonceng tersebut disebut stimulus netral karena pada
awalnya tidak menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Namun, setelah peneliti
mengulang-ulang asosiasi bunyi lonceng-makanan, bunyi lonceng tanpa disertai makanan
akhirnya menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Anjing tersebut telah belajar
mengasosiasikan bunyi lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng menjadi stimulus dengan
pengkondisian, dan keluarnya air liur anjing disebut respons dengan pengkondisian.

Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan


hukum-hukum belajar, diantaranya:
🞇 Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua
macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai
reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
🞇 Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks
yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa
menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

Untuk menciptakan suatu kondisi baru atau melakukan suatu pengkondisian


dibutuhkan tiga unsur

1. Unconditioned stimulus (stimulus yang tidak dikondisikan). Stimulus ini merupakan


stimulus yang menimbulkan reaksi atau respon secara alamiah
2. Unconditioned response (respons yang tidak dikondisikan). Dimana respon ini
merupakan respon dari unconditioned stimulus
3. Conditioned stimulus (stimulus yang dikondisikan). Merupakan stimulus yang netral
dimana ketika ketiga stimulus ini digunakan maka akan menghasilkan conditioned
stimulus.

Pada saat Pavlov melakukan eksperimen ia juga menemukan konsep lain yang masih
berhubungan dengan pengkondisian

1. Kepunahan (Extinction). Kepunahan disini berlaku apabila rangsangan alami tidak


diikuti dengan rangsangan yang tidak alami atau rangsangan yang tidak dikondisikan
dimana lama kelamaan individu atau organisme tidak akan bertindak balas atau tidak
memberikan respon
2. Generalisasi (generalization). Pada bagian ini digunakan nada dengan frekuensi yang
berbeda yang diberikan kepada subjek. Pada bagian ini Pavlov menyimpulkan bahwa pada
rangsangan yang sama menimbulkan tindakan balas yang sama. Hal ini dapat disimpulkan
setelah ia melakukan eksperimen dengan anjing yaitu ia memberikan bunyi lonceng
berlainan nada akan tetapi ia mendapati respon yang sama dari anjing tersebut yaitu anjing
tersebut tetap saja mengeluarkan air liur.
3. Deskriminasi (discrimination) kondisi ini akan berlaku apabila individu dapat
membedakan antara rangsangan yang dikemukakan dan memilih untuk tidak bergerak
balas
4. Pengkondisian tingkat tinggi. Disini pada eksperimennya Pavlov ingin melatih seekor
anjing untuk mengeluarkan air liurnya ketika ia mendengar bunyi bel yang disertai dengan
makanan. Kemudian Pavlov membunyikan bel dan disertai dengan papan hitam. Setelah
beberapa kali melakukan percobaan, kemudian pada saat diberikan hanya papan hitam saja
tanpa bunyi bel anjing masih mengeluarkan air liurnya.

Singkatnya, Ivan Pavlov menyatakan bahwa teori classical inditioning merupakan semua
organisme perilaku dapat terjadi secara refleks dan di batasi oleh rangsangan yang
sederhana. Ia menyatakan bahwa (conditioning refleks) berguna untuk memberikan respon
yang sesuai harapan melalui lingkungan dengan tuntutan yang ada pada lingkungan itu
sendiri. Teori operant conditioning berhubungan langsung pada perilaku manusia yang
dapat di lihat serta di amati secara langsung melalui perbuatan yang terjadi sebelum nya.
Jika konsekuensi dari hal sebelum nya menyenangkan maka seorang anak tersebut akan
melalukan nya berulang kali. Tetapi jika kondisi nya tidak menyenangkan maka ia tidak
akan mamu mengulangi hal yang sama untuk terjadi lagi.

Prinsip-prinsip Pengkondisian Klasik Pavlov


1) Fase Akuisisi
Fase akuisisi merupakan fase belajar permulaan dari respons kondisi,sebagai contoh,
anjing ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena pengkondisian suara lonceng. Beberapa
faktor dapat mempengaruhi kecepatan conditioning selama fase akuisisi. Faktor yang
paling penting adalah urutan dan waktu stimuli. Conditioning terjadi paling cepat ketika
stimulus kondisi (suara lonceng) mendahului stimulus utama (makanan) dengan selang
waktu setengah detik. Conditioning memerlukan waktu lebih lama dan respons yang
terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang lama antara pemberian stimulus
kondisi dengan stimulus utama. Jika stimulus kondisi mengikuti stimulus utama—
sebagai contoh, jika anjing menerima makanan sebelum lonceng berbunyi—
conditioning jarang terjadi.
2) Fase Eliminasi
Istilah extinction (eliminasi) digunakan untuk menjelaskan eliminasi respons kondisi
dengan mengulang-ulang stimulus kondisi tanpa stimulus utama. Jika seekor anjing
telah ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena adanya suara lonceng, peneliti dapat secara
berangsur-angsur menghilangkan stimulus utama dengan mengulang-ulang bunyi
lonceng tanpa memberikan makanan sesudahnya.
3) Generalisasi
Setelah seekor hewan telah ‘belajar’ respons kondisi dengan satu stimulus, ada
kemungkinan juga ia merespons stimuli yang sama tanpa latihan lanjutan. Jika seorang
anak digigit oleh seekor anjing hitam besar, anak tersebut bukan hanya takut kepada
anjing tersebut, namun juga takut kepada anjing yang lebih besar. Fenomena ini disebut
generalisasi. Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan generalisasi yang
kurang intens. Sebagai contoh, anak tersebut ketakutannya menjadi berkurang terhadap
anjing yang lebih kecil.
4) Diskriminasi
Kebalikan dari generalisasi adalah diskriminasi, yaitu ketika seorang individu belajar
menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus namun tidak dari stimulus yang sama
namun kondisinya berbeda. Sebagai contoh, seorang anak memperlihatkan respons takut
pada anjing galak yang bebas, namun mungkin memperlihatkan rasa tidak takut ketika
seekor anjing galak diikat atau terkurung dalam kandang.
 Kelebihan Teori Pavlov
🞇 Cocok diterapkan untuk pembelajaran yang menghendaki penguasaan ketrampilan
dengan latihan. Karena dalam teori ini menghadirkan stimulus yang dikondisikan untuk
merubah tingkah laku pembelajar.
🞇 Memudahkan pendidik dalam mengontrol pembelajaran sebab individu tidak menyadari
bahwa dia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
 Kelemahan Teori Pavlov
🞇 Teori ini menganggap bahwa belajar hanyalah terjadi secara otomatis (ketika
diberi stimulus yang sudah ditentukan pembelajar langsung memberikan respon)
keaktifan pembelajar dan kehendak pribadi tidak dihiraukan.
🞇 Teori ini juga terlalu menonjolkan peranan latihan/kebiasaan padahal individu tidak
semata-mata tergantung dari pengaruh luar yang menyebabkan individu cenderung pasif
karena akan tergantung pada stimulus yang diberikan.
🞇 Teori conditioning memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan binatang.
Dalam teori ini, proses belajar manusia dianalogikan dengan perilaku hewan sulit
diterima, mengingat perbedaan karakter fisik dan psikis yang berbeda antar keduanya.
Karena manusia memiliki kemampuan yang lebih untuk mendapatkan informasi. Oleh
karena itu, teori ini hanya dapat diterima dalam hal- hal belajar tertentu saja;
umpamanya dalam belajar yang mengenai skill (keterampilan) tertentu dan
mengenai pembiasaan pada anak-anak kecil.
 Aplikasi Teori Pavlov dalam Pembelajaran
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori belajar menurut Pavlov
adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
🞇 Mementingkan pengaruh lingkungan,
🞇 Mementingkan bagian-bagian,
🞇 Mementingkan peranan reaksi,
🞇 Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus
respon,
🞇 Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya,
🞇 Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan,
🞇 Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
2.3 Teori Belajar Menurut John B. Watson
Pada tahun 1919, pakar psikologi berkebangsaan AS, J.B. Watson dalam bukunya
Psychology from the Standpoint of a Behaviorist mengkritisi metode introspektif dalam pakar
psikologi yaitu metode yang hanya memusatkan perhatian pada perilaku yang ada atau berasal
dari nilai-nilai dalam diri pakar psikologi itu sendiri. Watson berprinsip hanya menggunakan
eksperimen sebagai metode untuk mempelajari kesadaran. Watson mempelajari penyesuaian
organisme terhadap lingkungannya, khususnya stimuli khusus yang menyebabkan organisme
tersebut memberikan respons. Kebanyakan dari karyakarya Watson adalah komparatif yaitu
membandingkan perilaku berbagai binatang. Karya-karyanya sangat dipengaruhi karya Ivan
Pavlov. Namun pendekatan Watson lebih menekankan pada peran stimuli dalam
menghasilkan respons karena pengkondisian, mengasimilasikan sebagian besar atau
seluruh fungsi dari refleks. Karena itulah, Watson dijuluki sebagai pakar psikologi S - R
(stimulus-response).
Pada dasarnya Watson melanjutkan penelitian Pavlov. Dalam percobaannya, Watson
ingin menerapkan classical conditioning pada reaksi emosional. Hal ini didasari atas
keyakinannya bahwa personalitas seseorang berkembang melalui pengkondisian berbagai
refleks. Dalam suatu percobaan yang kontroversial di tahun 1921, Watson dan asisten risetnya
Rosalie Rayner melakukan eksperimen terhadap seorang balita bernama Albert. Pada awal
eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika balita memegang tikus, Watson
mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita menjadi takut dengan suara yang tiba-
tiba dan keras sekaligus takut terhadap tikus. Akhirnya, tanpa ada suara keras sekalipun, balita
menjadi takut terhadap tikus.
Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara etika dipertanyakan, hasilnya
menunjukkan untuk pertamakalinya bahwa manusia dapat ‘belajar’ takut terhadap stimuli
yang sesungguhnya tidak menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut berasosiasi dengan
pengalaman yang tidak menyenangkan, ternyata menjadi menakutkan. Eksperimen tersebut
juga menunjukkan bahwa classical conditioning mengakibatkan beberapa kasus fobia
(rasa takut), yaitu ketakutan yang yang tidak rasional dan berlebihan terhadap objek-
objek tertentu atau situasi-situasi tertentu. Pakar psikologi sekarang dapat memahami
bahwa classical conditioning dapat menjelaskan beberapa respons emosional —seperti
kebahagiaan, kesukaan, kemarahan, dan kecemasan—yaitu karena orang tersebut mengalami
stimuli khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang memiliki pengalaman menyenangkan
dengan roller coaster kemungkinan belajar merasakan kesenangan justru karena melihat
bentuk roller coaster tersebut. Bagi seorang dewasa yang menemukan sepucuk surat dari
teman dekat di dalam kotak surat, hanya dengan melihat alamat pengirim yang tertera di
sampul surat kemungkinan menimbulkan perasaan senang dan hangatnya persahabatan. Pakar
psikologi menggunakan prosedur classical conditioning untuk merawat fobia (rasa takut) dan
perilaku yang tidak diinginkan lainnya seperti kecanduan alkohol dan psikotropika. Untuk
merawat fobia terhadap objekobjek tertentu, pakar psikologi melakukan terapi dengan
menghadirkan objek yang ditakuti oleh penderita secara berangsur-angsur dan berulang-ulang
ketika penderita dalam suasana santai. Melalui fase eliminasi (eliminasi stimulus kondisi),
penderita akan kehilangan rasa takutnya terhadap objek tersebut. Dalam memberikan
perawatan untuk pecandu alkohol, penderita meminum minuman beralkohol dan kemudian
menenggak minuman keras tersebut sehingga menyebabkan rasa sakit di lambung. Akhirnya
ia merasakan sakit lambung begitu melihat atau mencium bau alkohol dan berhenti
meminumnya. Keefektivan dari terapi seperti ini sangat bervariasi bergantung individunya dan
problematika yang dihadapinya.
Singkatnya, teori Watson menyatakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku
yang dapat diamati dan dapat diukur.
 Prinsip Teori Watson
1. Menekankan respon terkondisi sebagai elemen atau pembangun pelaku. Kondisi adalah
lingkungan external yang hadir di kehidupan. Perilaku muncul sebagai respon dari
kondisi yang mengelilingi manusia dan hewan.
2. Perilaku adalah dipelajari sebagai konsekuensi dari pengaruh lingkungan maka
sesungguhnya perilaku terbentuk karena dipelajari. Lingkungan te

3. Terdiri dari pengalaman baik masa lalu dan yang baru saja, materi fisik dan sosial.
Lingkungan yang akan memberikan contoh dan individu akan belajar dari semua itu.
4. Memusatkan pada perilaku hewan. Manusia dan hewan sama, jadi mempelajari
perilaku hewan dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku manusia.
Kelemahan Teori Watson
1. Teori ini menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis
2. Keaktifan dan penentuan pribadi tidak diharapkan
3. Peranan latihan atau kebiasaan terlalu ditonjolkan
4. Pada manusia, teori ini hanya dapat diterima dalam hal-hal belajar kecekatan (skill)
tertentu.
 Penerapan Teori Watson
a. Konsep stimulus diterapkan pada proses pembelajaran dalam bentuk penjelasan
tentang tujuan, ruang lingkup dan relevansi pembelajaran.
b. Konsep respons diterapkan dalam bentuk jawaban siswa terhadap pertanyaan lisan,
soal-soal tes dan ujian setelah materi disampaikan.
Watson (1970), setelah mengadakan eksperimen, ia menyimpulkan bahwa
pengubahan tingkah laku pada diri seseorang dapat dilakukan melalui latihan atau
membiasakan mereaksi atas stimulus-stimulus yang dialaminya.

2.4 Teori Belajar Menurut Edward Thorndike


Edward Lee Thorndike adalah pakar psikologi yang menjadi dosen di Columbia
University AS. Dalam bukunya Animal Intelligence (1911) ia menyatakan tidak suka pada
pendapat bahwa hewan memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia justru berpendapat bahwa
hewan juga memliki kecerdasan. Beberapa eksperimennya ditujukan untuk mendukung
gagasannya tersebut, yang kemudian ternyata merupakan awal munculnya operant
conditioning (pengkondisian yang disadari). Prinsip yang dikembangkannya disebut
hukum efek karena adanya konsekuensi atau efek dari suatu perilaku. Sementara,
teorinya disebut koneksionisme untuk menunjukkan adanya koneksi (keterkaitan)
antara stimuli tertentu dan perilaku yang disadari.
Subjek riset Thorndike termasuk kucing, anjing, ikan, kera, dan anak ayam. Untuk
melihat bagaimana hewan belajar perilaku yang baru, Thorndike menggunakan ruangan kecil
yang ia sebut puzzle box (kotak teka-teki), dan jika hewan itu melakukan respons yang benar
(seperti menarik tali, mendorong tuas, atau mendaki tangga), pintu akan terbuka dan hewan
tersebut akan diberi hadiah makanan yang diletakkan tepat di luar kotak. Ketika pertama kali
hewan memasuki kotak teka-teki, memerlukan waktu lama untuk dapat memberi respons yang
dibutuhkan agar pintu terbuka. Namun demikian, pada akhirnya hewan tersebut dapat
melakukan respons yang benar dan menerima hadiahnya: lolos dan makanan. Ketika
Thorndike memasukkan hewan yang sama ke kotak teka-teki secara berulang-ulang, hewan
tersebut akan melakukan respons yang benar semakin cepat. Dalam waktu singkat, hewan-
hewan tersebut hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk lolos dan mendapatkan
hadiah.
Thorndike menggunakan 'kurva waktu belajar' tersebut untuk membuktikan bahwa
hewan tersebut bukan menggunakan nalurinya untuk dapat lolos dan mendapatkan hadiah dari
kotak, namun melalui proses trial and error (mencoba-salah-mencoba lagi sampai benar).
Thorndike menjelaskan ada perbedaan yang jelas apakah hewan dalam eksperimen tersebut
agar dapat lolos dari kotak menggunakan naluri atau tidak. Caranya yaitu dengan mencatat
waktu yang digunakan hewan untuk dapat lolos. Logikanya, jika hewan menggunakan naluri
maka ia akan dapat langsung lolos begitu saja, sehingga catatan waktunya tidak menunjukkan
perubahan dari waktu ke waktu secara gradual yang signifikan. Kenyataannya, hewan
menggunakan cara yang biasa disebut trial and error dengan bukti kurva waktu yang menurun
secara gradual. Hal ini menunjukkan hewan dapat 'belajar' secara gradual dan konsisten.
Didasarkan atas eksperimennya, Thorndike mengemukakan prinsip yang ia sebut hukum
efek. Hukum ini menyatakan bahwa perilaku yang diikuti kejadian yang
menyenangkan, lebih cenderung akan terjadi lagi di masa mendatang. Sebaliknya99996
perilaku yang diikuti kejadian yang tidak menyenangkan akan memperlemah, sehingga
cenderung tidak terjadi lagi di masa mendatang. Thorndike menginterpretasikan
temuannya sebagai keterkaiatan. Ia menjelaskan bahwa keterkaitan antara kotak dan gerakan
yang digunakan hewan percobaan untuk lolos 'diperkuat' setiap kali berhasil. Karena adanya
keterkaitan ini, banyak yang menyebut hukum efek Thorndike menjadi teori koneksionisme,
yang oleh Skinner dikembangkan lagi menjadi operant conditioning (pengkondisian yang
disadari).
Singkatnya, menurut Thorndike belajar dapat dilakukan dengan mencoba-coba (trial
and error). Mencoba-coba ini dilakukan, manakala seseorang tidak tahu bagaimana harus
memberikan respon atas sesuatu. Dalam mencoba-coba ini seseorang mungkin akan
menemukan respon yang tepat berkaitan dengan persoalan yang dihadapinya .

Prinsip belajar dari Thorndike sebagai berikut:


a. Pada saat seseorang berhadapan dengan sebuah situasi yang termasuk baru berbagai
ragam respon ia lakukan. Respon tersebut ada kalanya berbeda-beda sampai yang
bersangkutan memperoleh respon yang benar (adanya respon yang dipelajari).
Contoh: pertama kenal seseorang akan muncul berbagai respon: sombong, pendiam,
namun setelah kenal dekat akan muncul respon yang benar.
b. Apa yang ada pada diri seseorang baik itu berupa pengalaman, kepercayaan, sikap dan
hal lain yang ada pada dirinya turut menentukan tercapainya tujuan yang ingin dicapai
(adanya tujuan yang ingin dicapai). Contoh: pergi/memilih dokter bergantung pada
kepercayaan kita terhaadap dokter itu dan pengalaman orang lain yang cocok dengan
dokter tersebut.

c. Pada diri seseorang sebenarnya terdapat potensi untuk mengadakan seleksi terhadap
unsur-unsur penting dari yang kurang/tidak penting hingga akhirnya dapat
menentukan respon yang tepat (seleksi respon).
d. Orang cenderung memberi respon yang sama terhadap situasi yang sama (adanya
respon yang sama).
e. Orang cenderung mengadakan assosiative shifting, ialah menghubungkan respon
yang ia kuasai dengan situasi tertentu tatkala menyadari bahwa respon yang ia kuasai
dengan situasi tersebut mempunyai hubungan (adanya hubungan respon).
f. Manakala suatu respon cocok dengan situasinya relatif lebih mudah untuk dipelajari
(adanya concept shifting).
Kelebihan Teori Thorndike
Teori Thorndike menganggap belajar adalah suatu proses mencoba-coba dimana ketika teori
ini diterapkan dalam proses belajar maka akan menghasilkan banyak pengalaman berharga
bagi seseorang.
Kekurangan Teori Thorndike
1. Terlalu menganggap manusia itu memiliki sifat otomatisme yang sama seperti hewan.
Meski dilapangan benar adanya bahwa manusia juga memiliki sifat otomatisme,
namun teori trial and error mutlak bagi manusia.
2. Teori ini dianggap terlalu mengagungkan konsep stimulus dan respon sehingga ketika
di aplikasikan kepada manusia, manusia terkesan seperti mesin dan robot.

2.5 Teori Belajar Menurut B.F. Skinner


Burrhus Frederic "B. F." Skinner adalah pakar psikologi yang lahir di pedesaan.
Bercita-cita menjadi seorang penulis fiksi, ia pernah secara intensif berlatih menulis. Namun
pada akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki bakat tersebut. Pada suatu saat
secara kebetulan ia membaca buku yang mengulas tentang behaviorismenya Watson.
Ketertarikannya terhadap Psikologi pun berlanjut, sehingga ia memutuskan untuk belajar
Psikologi di Harvard University (AS) dan memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 1931. Setelah
dua kali pindah mengajar di dua universitas, Ia kembali mengajar di almamaternya hingga
menjadi profesor di tahun 1948. Skinner menjadi terkenal karena kepeloporannya melakukan
riset terhadap belajar dan perilaku.
Selama 60 tahun karirnya, Skinner menemukan berbagai prinsip penting dari operant
conditioning, suatu tipe belajar yang melibatkan penguatan dan hukuman. Sebagai seorang
behavioris sejati, Skinner yakin bahwa operant conditioning dapat menjelaskan bahkan
perilaku manusia yang paling kompleks sekalipun. Pada kenyataannya, Skinner lah memang
yang pertama kali memberi istilah operant conditioning. Terkenalnya Skinner bukan hanya
risetnya dengan binatang, tetapi juga pengakuan kontroversialnya bahwa prinsip-prinsip
belajar yang ia temukan dengan menggunakan kotaknya juga dapat diterapkan untuk perilaku
manusia dalam kehidupannya sehari-hari.
Percobaan Skinner Diawali di tahun 1930-an, Skinner menghabiskan waktu beberapa
dasa warsa mempelajari perilaku—kebanyakan tikus atau merpati—di dalam ruangan kecil
yang kemudian disebut kotak Skinner. Seperti kotak tekateki Thorndike, kotak Skinner berupa
ruangan kosong tempat hewan dapat memperoleh makanan dengan melakukan respons
sederhana, seperti menekan atau memutar tuas. Sebuah alat yang diletakkan di dalam kotak
merekam semua yang dilakukan hewan tersebut. Kotak Skinner berbeda dengan kotak teka-
teki Thorndike dalam tiga hal:
(1) dalam mengerjakan respons yang diinginkan, hewan tersebut menerima makanan namun
tidak keluar dari kotak;
(2) persediaan makanan di dalam kotak hanya cukup untuk setiap respons, sehingga penguat
hanya diberikan untuk satu sesi tes; dan
(3) operant response (respons yang disadari) membutuhkan upaya yang ringan, sehingga
seekor hewan dapat melakukan respons ratusan bahkan ribuan kali per jamnya.
Karena tiga perbedaan ini, Skinner dapat mengumpulkan lebih banyak data, dan ia
dapat mengamati bagaimana perubahan pola pemberian makanan mempengaruhi kecepatan
dan pola perilaku hewan.
Selama lebih 60 tahun dari karirnya, Skinner mengidentifikasi sejumlah prinsip
mendasar dari operant conditioning yang menjelaskan bagaimana seseorang belajar perilaku
baru atau mengubah perilaku yang telah ada. Prinsip-prinsip utamanya adalah
reinforcement (penguatan kembali), punishment (hukuman), shaping (pembentukan),
extinction (penghapusan), discrimination (pembedaan), dan generalization (generalisasi)
1. Penguatan Reinforcement (penguatan) berarti proses yang memperkuat perilaku—
yaitu, memperbesar kesempatan supaya perilaku tersebut terjadi lagi. Ada dua kategori
umum reinforcement, yaitu positif dan negatif. Eksperimen Thorndike dan Skinner
menggambarkan reinforcement positif, suatu metode memperkuat perilaku dengan
menyertaikan stimulus yang menyenangkan. Reinforcement positif merupakan metode
yang efektif dalam mengendalikan perilaku baik hewan maupun manusia. Untuk
manusia, penguat positif meliputi item-item mendasar seperti makanan, minuman,
seks, dan kenyamanan yang bersifat fisikal. Penguat positif lain meliputi kepemilikan
materi, uang, persahabatan, cinta, pujian, penghargaan, perhatian, dan sukses karir
seseorang. Bergantung pada situasi dan kondisi, penguatan positif dapat memperkuat
perilaku baik yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Anak-anak
kemungkinan mau bekerja keras di rumah maupun di sekolah karena penghargaan
yang mereka terima dari orang tua maupun gurunya karena unjuk kerjanya yang bagus.
Namun demikian, mereka mungkin juga mengganggu kelas, mencoba melakukan hal-
hal yang berbahaya, atau mulai merokok karena perilaku-perilaku tersebut
mengarahkan perhatian dan penerimaan dari kelompok sebayanya. Salah satu penguat
yang paling umum untuk perilaku manusia adalah uang. Banyak orang dewasa
menghabiskan waktunya selama berjam-jam untuk pekerjaan mereka karena imbalan
upah. Untuk individu tertentu, uang dapat juga menjadi penguat untuk perilaku yang
tidak diinginkan, seperti perampokan, penjualan obat bius, dan penggelapan pajak.
Reinforcement negatif merupakan suatu cara untuk memperkuat suatu perilaku melalui
cara menyertainya dengan menghilangkan atau meniadakan stimulus yang tidak
menyenangkan. Ada dua tipe reinforcement negatif: mengatasi dan menghindari. Di
dalam tipe pertama (mengatasi), seseorang melakukan perilaku khusus mengarah pada
menghilangkan stimulus yang tidak mengenakkan. Sebagai contoh, jika seseorang
dengan sakit kepala mencoba obat jenis baru pengurang rasa sakit dan sakit kepalanya
dengan cepat hilang, orang ini kemungkinan akan menggunakan obat itu lagi ketika
terjadi lagi sakit kepala. Dalam tipe kedua (menghindari), seseorang melakukan suatu
perilaku menghindari akibat yang tidak menyenangkan. Sebagai contoh, pengemudi
kemungkinan mengambil jalur tepi jalan raya untuk menghindari tabrakan beruntun,
pengusaha membayar pajak untuk menghindari denda dan hukuman, dan siswa
mengerjakan pekerjaan rumahnya untuk menghindari nilai buruk
2. Hukuman
Apabila reinforcement memperkuat perilaku, hukuman memperlemah, mengurangi
peluangnya terjadi lagi di masa depan. Sama halnya dengan reinforcement, ada dua
macam hukuman, positif dan negatif. Hukuman yang positif meliputi mengurangi
perilaku dengan memberikan stimulus yang tidak menyenangkan jika perilaku itu
terjadi. Orang tua menggunakan hukuman positif ketika mereka memukul, memarahi,
atau meneriaki anak karena perilaku yang buruk. Masyarakat menggunakan hukuman
positif ketika mereka menahan atau memenjarakan seseorang yang melanggar hukum.
Hukuman negatif atau disebut juga peniadaan, meliputi mengurangi perilaku dengan
menghilangkan stimulus yang menyenangkan jika perilaku terjadi. Taktik orang tua
yang membatasi gerakan anaknya atau mencabut beberapa hak istimewanya karena
perbuatan anaknya yang buruk merupakan contoh hukuman negatif. Kontroversi yang
besar terjadi manakala membicarakan apakah hukuman merupakan cara yang efektif
dalam mengurangi atau meniadakan perilaku yang tidak diinginkan. Eksperimen
dalam laboratorium yang sangat hati-hati membuktikan bahwa, ketika hukuman
digunakan dengan bijaksana, ternyata menjadi metode yang efektif dalam mengurangi
perilaku yang tidak diinginkan. Namun demikian, hukuman memiliki beberapa
kelemahan. Ketika seseorang dihukum sehingga sangat menderita, ia menjadi marah,
agresif, atau reaksi emosional negatif lainnya. Mereka mungkin menyembunyikan
bukti-bukti perilaku salah mereka atau melarikan diri dari situasi buruknya, seperti
halnya ketika seorang anak lari dari rumahnya. Lagi pula, hukuman mungkin
mengeliminasi perilaku yang dikehendaki bersamaan dengan hilangnya perilaku yang
tidak dikehendaki. Sebagai contoh, seorang anak yang dipukul karena membuat
kesalahan di depan kelas kemungkinan tidak berani lagi tunjuk jari. Karena alasan ini
dan beberapa alasan lainnya, banyak pakar psikologi yang merekomendasikan bahwa
hukuman hanya boleh dilakukan untuk mengontrol perilaku ketika tidak ada alternatif
lain yang lebih realistis.
3. Pembentukan Pembentukan merupakan teknik penguatan yang digunakan untuk
mengajar perilaku hewan atau manusia yang belum pernah mereka lakukan
sebelumnya. Dalam cara ini, guru memulainya dengan penguatan kembali suatu
respons yang dapat dilakukan oleh pembelajar dengan mudah, dan secara berangsur-
angsur ditambah tingkat kesulitan respons yang dibutuhkan. Sebagai contoh, mengajar
seekor tikus menekan tuas yang terletak di atas kepalanya, pelatihnya dapat pertama-
tama memberikan hadiah pada gerakan kepala apapun ke arah atas, kemudian gerakan
ke arah atas 2,5 cm, dan seterusnya, sampai gerakan tersebut mampu menekan tuas.
Pakar psikologi telah menggunakan shaping (pembentukan) ini untuk mengajarkan
kemampuan berbicara pada anak-anak dengan keterbelakangan mental yang parah
dengan pertama-tama memberikan hadiah pada suara apa pun yang mereka keluarkan,
dan kemudian secara berangsur menuntut suara yang semakin menyerupai katakata
dari gurunya. Pelatih binatang di dalam sirkus dan kebun binatang menggunakan
shaping ini untuk mengajar gajah berdiri dengan hanya bertumpu pada kaki
belakangnya saja, harimau berjalan di atas bola, anjing berjalan di dalam roda yang
berputar ke arah belakang, dan paus pembunuh dan lumba-lumba melompat melalui
lingkaran.
4. Eliminasi Penguatan Sebagaimana dalam classical conditioning, respons yang
dipelajari di dalam operant conditioning tidak selalu permanen. Di dalam operant
conditioning, extinction (eliminasi kondisi) merupakan eliminasi dari perilaku yang
dipelajari dengan menghentikan penguat dari perilaku tersebut. Jika seekor tikus telah
belajar menekan tuas karena dengan melakukan ini hewan tersebut menerima
makanan, tingkat penekanannya pada tuas akan berkurang dan pada akhirnya berhenti
sama sekali jika makanan tidak lagi diberikan. Pada manusia, menarik kembali
penguat akan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, orang
tua seringkali memberikan reinforcement negatif sifat marah anak-anak muda dengan
memberinya perhatian. Jika orang tua mengabaikan saja kemarahan anak-anak dengan
lebih memberikannya hadiah berupa perhatian tersebut, frekuensi kemarahan dari
anak- anak tersebut seharusnya secara berangsurangsur akan berkurang.
5. Generalisasi dan Diskriminasi Generalisasi dan diskriminasi yang terjadi di dalam
operant conditioning nyaris sama dengan yang terjadi di dalam classical conditioning.
Dalam generalisasi, seseorang suatu perilaku yang telah dipelajari dalam suatu situasi
dilakukan dalam kesempatan lain namun situasinya sama. Sebagai misal, seseorang
yang diberi hadiah dengan tertawa atas ceritanya yang lucu di suatu bar akan
mengulang cerita yang sama di retoran, pesta, atau resepsi pernikahan. Diskriminasi
merupakan proses belajar bahwa suatu perilaku akan diperkuat dalam suatu situasi
namun tidak dalam situasi lain. Seseorang akan belajar bahwa menceritakan
leluconnya di dalam gereja atau dalam situasi bisnis yang memerlukan keseriusan
tidak akan membuat orang tertawa. Stimuli diskriminatif memberikan peringatan
bahwa suatu perilaku sepertinya diperkuat negatif. Orang tersebut akan belajar
menceritakan leluconnya hanya ketika ia berada pada situasi yang riuh dan banyak
orang (stimulus diskriminatif). Belajar ketika perilaku akan dan tidak akan diperkuat
merupakan bagian penting dari operant conditioning.
Operant conditioning memiliki manfaat praktis di dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua
dapat memperkuat perilaku anak-anaknya yang sesuai dan memberikan hukuman pada
perilaku yang tidak sesuai, dan mereka dapat menggunakan teknik generalisasi dan
diskriminasi untuk membelajarkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan situasi-situasi
tertentu. Di dalam kelas, guru memperkuat kemampuan akademik yang bagus dengan sedikit
hadiah atau hak-hak tertentu. Perusahaan menggunakan hadiah untuk memperbaiki kehadiran,
produktivitas, dan keselamatan kerja bagi para pekerjanya. Pakar psikologi yang disebut
terapis perilaku menggunakan prinsip-prinsip belajar operant conditioning untuk merawat
anak-anak atau orang dewasa yang memiliki kelainan pakar psikologiis ataupun masalah
perilaku. Terapis perilaku ini menggunakan teknik shaping untuk mengajar keterampilan
bekerja pada orang-orang dewasa yang mengalami keterbelakangan mental. Mereka
menggunakan teknik reinforcement untuk mengajar keterampilan merawat diri sendiri pada
orang-orang yang menderita sakit mental yang parah, dan menggunakan hukuman dan
ekstingsi (eliminasi kondisi) untuk mengurangi perilaku agresif dan antisosial dari orang-
orang tersebut. Pakar psikologi juga menggunakan teknik operant conditioning untuk merawat
kecenderungan bunuh diri, kelainan seksual, permasalahan perkawinan, kecanduan obat
terlarang, perilaku nkonsumtif, kelainan perilaku dalam makan, dan masalah lainnya.
Di samping itu dari eksperimen yang dilakukan Skinner terhadap tikus dan
selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar,
diantaranya :
 Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.

 Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat
melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

Singkatnya, teori Skinner menganggap bahwa belajar adalah hubungan antara


stimulus dengan respon yang ditunjukkan individu atau subyek terjadi melalui
interaksi dengan lingkungan.
Prinsip belajar yang dikembangkan Skinner antara lain:
 Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika
benar diberi penguat.
 Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
 Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
 Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
 Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Namun ini lingkungan
perlu diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
 Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebagainya. Hadiah
diberikan dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforce.
 Dalam pembelajaran, digunakan shaping.
 Kelebihan dan Kekurangan Teori Skinner
a. Kelebihan
Pada teori ini, pendidik diarahkan untuk menghargai setiap anak didiknya. hal
ini ditunjukkan dengan dihilangkannya sistem hukuman. Hal itu didukung dengan
adanya pembentukan lingkungan yang baik sehingga dimungkinkan akan
meminimalkan terjadinya kesalahan.
b. Kekurangan
Beberapa kelemahan dari teori ini berdasarkan analisa teknologi (Gedler, 1994)
adalah bahwa:
1) teknologi untuk situasi yang kompleks tidak bisa lengkap; analisa yang berhasil
bergantung pada keterampilan teknologis,
2) keseringan respon sukar diterapkan pada tingkah laku kompleks sebagai ukuran
peluang kejadian. Disamping itu pula, tanpa adanya sistem hukuman akan
dimungkinkan akan dapat membuat anak didik menjadi kurang mengerti tentang
sebuah kedisiplinan. hal tersebut akan menyulitkan lancarnya kegiatan belajar-
mengajar.

Aplikasi Teori Skinner dalam pembelajaran.


Beberapa aplikasi teori belajar Skinner dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :
 Bahan yang dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit secara organis.
 Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan dan
jika benar diperkuat.
 Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran
digunakan sistem modul.
 Tes lebih ditekankan untuk kepentingan diagnostik.
 Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
 Dalam proses pembelajaran tidak dikenakan hukuman.
 Dalam pendidikan mengutamakan mengubah lingkungan untuk mengindari
pelanggaran agar tidak menghukum.
 Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah.
 Hadiah diberikan kadang-kadang (jika perlu).
 Tingkah laku yang diinginkan, dianalisis kecil-kecil, semakin meningkat
mencapai tujuan.
 Dalam pembelajaran sebaiknya digunakan pembentukan (shaping).
 Mementingkan kebutuhan yang akan menimbulkan tingkah laku operan.
 Dalam belajar mengajar menggunakan teaching machine.
 Melaksanakan mastery learning yaitu mempelajari bahan secara tuntas menurut
waktunya masing-masing karena tiap anak berbeda-beda iramanya. Sehingga naik
atau tamat sekolah dalam waktu yang berbeda-beda. Tugas guru berat,
administrasi kompleks.

2.6 Teori behaviorisme ini dikritik karena:


1. Tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak hal di
dunia pendidikan yang tidak dapat dirubah menjadi sekedar hubungan
stimulus dan respon. Contoh: Suatu saat, seorang siswa mau belajar giat
setelah diberi stimulus tertentu, tetapi karena satu dan lain hal siswa ini tiba-
tiba tidak mau belajar lagi, padahal sudah diberikan stimulus yang sama atau
yang lebih baik dari itu.
2. Tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara
stimulus dan respon tersebut.
3. Dianggap cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir linier, konvergen dan
tidak kreatif. Contoh: dengan proses shapping, siswa digiring untuk sampai
ke suatu target tertentu, padahal banyak hal dalam hidup ini yang tidak
sesederhana itu.
4. Hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar dari teori ini,
tetapi pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat
sementara, dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi
bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama, hukuman
mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia
terbebas dari hukuman itu.
5. Lebih baik memberikan penguat negatif daripada memberikan hukuman,
contoh seorang siswa perlu dihukum untuk suatu kesalahan yang dibuatnya,
jika siswa masih bandel, maka hukuman harus ditambah, tetapi jika sesuatu
yang tidak mengenakkan siswa itu dikurangi (bukan malah ditambah), dengan
pengurangan ini mendorong siswa itu untuk memperbaiki kesalahannya, maka
inilah yang disebut penguat negatif. Penguat negatif cenderung membatasi
keleluasaan siswa untuk berimajinasi dan berpikir.
6. Kebalikan dari penguat negatif adalah penguat positif. Keduanya bertujuan
memperkuat respon. Namun bila penguat positif harus ditambahkan, penguat
negatif harus dikurangkan untuk memperkuat respon tersebut.

Penerapan teori belajar perilaku atau behaviorisme dalam pendidikan/pembelajaran


tergantung dari sifat materi pelajaran, karakteristik pembelajar, media belajar dan fasilitas
belajar yang tersedia. Namun secara umum, aplikasi teori behaviorisme tersebut menurut
Irawan (2001:25) meliputi beberapa langkah berikut ini yaitu :
1. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
2. Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi
“entry behavior” siswa (kemampuan/pengetahuan awal siswa/mahasiswa).

3. Menentukan materi pembelajaran (pokok bahasan, sub pokok bahasan, topic, sub
topic dan sebagainya).
4. Menyajikan materi pelajaran.
5. Memberikan stimulus berupa pertanyaan (lisan atau tulisan), tes, latihan, dan
tugas-tugas.
6. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan.
7. Memberikan penguatan/reinforcement positif dan negative.
8. Memberikan stimulus baru.
9. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan (mengevaluasi hasil belajar).
10. Memberikan penguatan.

2.7 Kelebihan dan Kekurangan Teori Behavioristik Apabila Diaplikasikan Dalam Proses
Belajar dan Pembelajaran
1. Kelebihan Teori Behavioristik
a. Membisakan guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan kondisi belajar.
b. Guru tidak membiasakan memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar
mandiri. Jika murid menemukan kesulitan baru ditanyakan pada guru yang
bersangkutan.
c. Mampu membentuk suatu prilaku yang diinginkan mendapatkan pengakuan positif
dan prilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative yang didasari pada
prilaku yang tampak.
d. Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan, dapat
mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya. Jika
anak sudha mahir dalam satu bidang tertentu, akan lebih dapat dikuatkan lagi dengan
pembiasaan dan pengulangan yang berkesinambungan tersebut dan lebih optimal.
e. Bahan pelajaran yang telah disusun hierarkis dari yang sederhana sampai pada yang
kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian‐bagian kecil yang ditandai
dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu mampu menghasilakan suatu prilaku
yang konsisten terhadap bidang tertentu.
f. Dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimuls yang lainnya dan seterusnya
sampai respons yang diinginkan muncul.
g. Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan
pembiasaan yang mengandung unsur‐unsur kecepatan, spontanitas, dan daya tahan.
h. Teori behavioristik juga cocok diterapakan untuk anak yang masih membutuhkan
dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru,
dan suka dengan bentuk‐bentuk penghargaan langsung.

2. Kekurangan Teori Behavioristik


a. Sebuah konsekwensi untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yangsudah
siap.
b. Tidak setiap pelajaran dapat menggunakan metose ini.
c. Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan
apa di dengar dan di pandang sebagai cara belajar yang efektif.
d. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru
dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
e. Murid dipandang pasif, perlu motifasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan oleh guru.
f. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelsan dari guru dan mendengarkan
apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif sehingga inisiatf
siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa
diselesaikan oleh siswa.
g. Cenderung mengarahakan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, tidak
produktif, dan menundukkan siswa sebagai individu yang pasif.
h. Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru(teacher cenceredlearning) bersifat
mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur.
i. Penerapan metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses
pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai center, otoriter,
komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih, dan menentukan apa yang harus
dipelajari murid.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Teori Behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya
interaksi stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat
menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan
atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Stimulus
adalah apa saja yang diberikan pendidik kepada pembelajar, sedangkan respon adalah reaksi
atau tanggapan pembelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh pendidik tersebut.
Tokoh-tokoh teori belajar behavioristic antara lain adalah Pavlov, Gutrie, Watson,
Skinner dan Thorndike.

Menurut Ivan Pavlov menyatakan bahwa teori classical inditioning merupakan semua
organisme perilaku dapat terjadi secara refleks dan di batasi oleh rangsangan yang sederhana.
Ia menyatakan bahwa (conditioning refleks) berguna untuk memberikan respon yang sesuai
harapan melalui lingkungan dengan tuntutan yang ada pada lingkungan itu sendiri.

Menurut Watson, ia menyatakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus
dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang
dapat diamati dan dapat diukur.
Menurut Thorndike belajar dapat dilakukan dengan mencoba-coba (trial and error).
Mencoba-coba ini dilakukan, manakala seseorang tidak tahu bagaimana harus memberikan
respon atas sesuatu. Dalam mencoba-coba ini seseorang mungkin akan menemukan respon
yang tepat berkaitan dengan persoalan yang dihadapinya.

Menurut Skinner belajar adalah hubungan antara stimulus dengan respon yang
ditunjukkan individu atau subyek terjadi melalui interaksi dengan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

Akhiruddin, Sujarwo, Haryanto, Dr. Nurhikmah.2019. Belajar dan Pembelajaran :


Sulawesi Selatan

Hayati, Sri. 2017. Belajar dan Pembelajaran berbasis Cooperative Learning :


Magelang

Setiawan, M. Andi (2017). Belajar dan Pembelajaran. Uwais Inspirasi Indonesia

Nahar, Novi Irwan. "Penerapan teori belajar behavioristik dalam proses


pembelajaran." NUSANTARA: jurnal ilmu pengetahuan sosial 1.1 (2016).
Amsari, Dina. "Implikasi teori belajar E. Thorndike (Behavioristik) dalam pembelajaran
matematika." Jurnal Basicedu 2.2 (2018): 52-60.
Asfar, A. M. I. T., A. M. I. A. Asfar, and Mercy F. Halamury. "Teori Behaviorisme." Makasar:
Program Doktoral Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Makassar (2019).
Cahyadi, Ani. "Teori Belajar." (1991).
Nurhidayati, Titin. "Implementasi teori belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning)
dalam Pendidikan." Jurnal Falasifa 3.1 (2012): 23-43.
Pratiwi, Intan. Teori Behaviorisme Ivan Petrovich Pavlov Dan Implikasinya Dalam
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Diss. IAIN Ponorogo, 2021.
Rusli, Radif Khotamir, and M. A. Kholik. "Teori belajar dalam psikologi pendidikan." Jurnal
Sosial Humaniora 4.2 (2013).
Rohman, N. (2021). Analisis Teori Behaviorisme (Thorndike) Pada Pelajaran Matematika Dan
Bahasa Indonesia Sdn Upt Xvii Mukti Jaya Aceh Singkil. Abdau: Jurnal Pendidikan Madrasah
Ibtidaiyah, 4(2), 223-236.
Amsari, Dina. "Implikasi teori belajar E. Thorndike (Behavioristik) dalam pembelajaran
matematika." Jurnal Basicedu 2.2 (2018): 52-60.
Wahab, Gusnarib. "Teori-teori belajar dan pembelajaran." (2011).
Wahab, G. (2011). Teori-teori belajar dan pembelajaran.
WAHAB, Gusnarib. Teori-teori belajar dan pembelajaran. 2011.
Umar, Umar. "Analisis Konstruktif Teori Belajar Behaviorisme dalam Proses Pembelajaran di
Sekolah." EL-Muhbib: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Pendidikan Dasar 2.1 (2018): 41-52.

Anda mungkin juga menyukai