Dosen Pembimbing:
Dr. Eda Lolo Allo, S.Pd., M.Pd.
Oleh :
1. Hilmi Magfirah Bachtiar (210016301011)
2. Yusriana Soejana (210016301013)
Penulis
DAFTAR ISI
SAMPUL
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................1
C. Tujuan..............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
3.1 Kesimpulan...................................................................................................18
3.2 Saran.............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teori belajar merupakan landasan terjadinya suatu proses belajar yang
menuntun terbentuknya kondisi untuk belajar. Teori belajar dapat didefenisikan
sebagai integrasi prinsip-prinsip yang menuntun di dalam merancang kondisi
demi tercapainya tujuan pendidikan. Teori belajar akan memberikan kemudahan
bagi guru dalam menjalankan model-model pembelajaran yang akan
dilaksanakan. Banyak ditemukan teori belajar yang menitik beratkan pada
perubahan tingkah laku setelah proses pembelajaran.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan
yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan
pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan
kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses
untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Kita dapat
menyimpulkan bahwa pembelajaran telah terjadi ketika seorang individu
berperilaku, bereaksi, dan merespon sebagai hasil dari pengalaman dengan satu
cara berbeda dari caranya berperilaku sebelumnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud teori belajar?
2. Bagaimana konsep teori belajar konstruktivisme Jean Piaget dan Vygotsky?
3. Bagaimana penerapan teori belajar Vygotsky yakni Scaffolding dan
Pemagangan Kognisi?
4. Bagaimana konsep teori belajar Behaviorisme?
1
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan defenisi teori belajar
2. Untuk menjelaskan konsep teori belajar konstruktivisme Jean Piaget dan
Vygotsky
3. Untuk menjelaskan penerapan teori belajar Vygotsky yakni Scaffolding dan
Pemagangan Kognisi
4. Untuk menjelaskan konsep teori belajar Behaviorisme
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya. Menurut
konstruktivisme, pengetahuan memang berasal dari luar akan tetapi dikontruksi
dalam diri seseorang. Oleh sebab itu tidak bersifat statis tetapi bersifat dinamis.
Tergantung individu yang melihat dan mengkontruksikanya (Santrock, 2009).
Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda
dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang
bersifat mekanistik antara stimulus respon, konstruktivisme lebih memahami
belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan
dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalaman.
Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang
dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan
pengalaman demi pengalaman. Demikian itu menyebabkan seseorang mempunyai
pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Tujuan pembelajaran dalam pandangan konstruktivis adalah membangun
pemahaman dalam memberi makna tentang apa yang dipelajari. Belajar menurut
pandangan konstruktivis tidak ditekankan untuk memperoleh pengetahuan yang
banyak tanpa pemahaman, tetapi membantu siswa untuk membangun
konsep/prinsip dengan kemampuannya sendiri melalui proses asimilasi dan
akomodasi secara terus- menerus, sehingga konsep/prinsip tersebut terbangun
kembali dan mentransformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep/prinsip
baru.
Revolusi konstruktivisme mempunyai akar yang kuat dalam sejarah
pendidikan. Perkembangan konstruktivisme dalam belajar tidak terlepas dari
usaha keras Jean Piaget dan Vygotsky. Kedua tokoh ini menekankan bahwa
perubahan kognitif ke arah perkembangan terjadi ketika konsep-konsep yang
sebelumnya sudah ada mulai bergeser karena ada sebuah informasi baru yang
diterima melalui proses ketidakseimbangan (Baharuddin, 2008).
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya
memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif
membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat
4
memberikan kemudahan untuk proses ini dengan memberi kesempatan kepada
siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri dan mengajar
siswa menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat
memberikan siswa anak tangga yang membawa siswa ke tingkat pemahaman yang
lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang membuat tulisan dengan bahasa
dan kata-kata mereka sendiri (Santrock, 2009).
Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut, peserta didik diharuskan
mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan
untuk mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari persoalan
yang ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan
sehingga diperoleh konstruksi yang baru.
Dalam hubungannya dengan konstruktivisme, terdapat dua teori belajar
yang dikaji dan dikembangkan oleh Jean Piaget dan Vygotsky yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
5
Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu:
1) Kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf;
2) Pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya;
3) Interaksi sosial, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya
dengan lingkungan sosial
4) Ekullibrasi, yaitu adanya kemampuan atau sistem yang mengatur dalam diri
organisme agar dia selalu mampu mempertahankan keseimbangan dan
penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
Piaget dikenal sebagai konstruktivis pertama yang menegaskan bahwa
penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau
pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam
pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau
moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih
mutakhir dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget yang menyatakan bahwa
ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi
dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Proses mengkonstruksi sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai
berikut:
a) Skemata
Sekumpulan konsep yang digunakan ketika berinteraksi dengan lingkungan
disebut dengan skemata. Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang
kemudian dinamakan skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman.
Misalnya, anak sering bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama
berbulu putih. Dengan demikian, ia dapat menangkap perbedaan keduanya yaitu
kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman
itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki
empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin
sempurnalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan
melalui proses asimilasi dan akomodasi.
b) Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi,
6
konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan
dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah
ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan
perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi
adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan
diri dengan lingkungan baru yang menunjukkan bahwa orang itu berkembang.
c) Akomodasi
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang
telah ada. Dalam keadaan demikian, orang akan mengadakan akomodasi.
Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan
yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan
rangsangan itu.
d) Keseimbangan
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan
diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi
dan akomodasi. Ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman
luar dengan struktur dalamnya.
Piaget meyakini bahwa kecenderungan siswa berinteraksi dengan
lingkungan adalah bawaan sejak lahir. Anak memproses dan mengatur informasi
dalam benaknya dalam bentuk skema/schema. Skema adalah suatu struktur mental
atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan
berubah selama perkembangan mental anak. Skema bukanlah benda nyata yang
dapat dilihat, melainkan suatu rangkaian proses dalam sistem kesadaran orang,
maka tidak memiliki bentuk fisik dan tidak dapat dilihat. Skema tidak pernah
berhenti berubah atau menjadi lebih rinci sehingga gambaran dalam pikiran anak
menjadi semakin berkembang dan lengkap (Wadsworth dalam Haryanto, 2009).
Seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya dengan
menggunakan skema itu sehingga terbentuk skema baru melalui asimilasi dan
7
akomodasi. Skema yang terbentuk melalui asimilasi dan akomodasi tersebut
kemudian disebut dengan pengetahuan (Siswanto, 2008). Melalui adaptasi anak
memperoleh pengalaman yang baru berdasarkan pengalaman yang dimiliki
sebelumnya. Proses asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema/schemata,
melainkan memperkembangkan skema/schemata. Dalam perkembangan
intelektual seseorang diperlukan keseimbangan antara asimilasi dengan
akomodasi. Proses ini debut equilibrium, yaitu pengaturan diri secara mekanis
untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi (Haryanto, 2009).
8
development) yang didefinisikan sebagai jarak atau selisih antara tingkat
perkembnagan anak yang aktual dengan tingkat perkembangan potensial yang
lebih tinggi yang bisa dicapai si anak jika ia mendapat bimbingan atau bantuan
dari seseorang yang lebih dewasa ata lebih berkompeten.
Siswa berada dalam Zona ZPD mereka pada saat mereka terlibat tugas-tugas
yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri tetapi dapat menyelesaikannya bila
dibantu oleh teman sebaya mereka atau orang dewasa. Pada pembelajaran
kooperatif, saat ada siswa yang belum mampu memecahkan masalah dari tugas
yang diberikan, kemungkinan sekali ada tingkat prestasi atau kinerja salah seorang
anggota kelompok pada suatu tugas tertentu berada pada tingkat kognitif sedikit
lebih tinggi dari tingkat kinerja siswa itu, ini berarti tugas tersebut tepat berada di
dalam zone perkembangan terdekat siswa tersebut.
3) Pemagangan Kognitif (cognitive appreticeship)
Menurut Vygotsky, pemagangan kognitif yaitu suatu konsep yang
menekankan pada hakikat sosial dari pembelajaran dan juga ZPD. Istilah ini
mengacu kepada proses dimana seseorang yang sedang belajar berarti melakukan
tahapan-tahapan dalam memperoleh keahlian yang baru melalui interaksinya
dengan seorang pakar, dimana pakar itu bisa orang dewasa atau orang yang lebih
tua maupun kawan sebaya yang telah menguasai keahlian itu lebih dulu. Tahapan-
tahapan itu digambarkan dalam suatu perumpamaan di bidang pekerjaan tertentu.
Misalnya, dalam suatu bidang pekerjaan, pekerja- pekerja baru mempelajari
pekerjaan mereka melalui proses pemagangan, dimana seorang pekerja baru pada
mulanya bekerja didampingi oleh pekerja yang sudah berpengalaman yang
bertindak sebagai model. Pekerja berpengalaman memberikan umpan balik
kepada pekerja yang belum berpengalaman dan tahap demi tahap
memperkenalkan pekerja baru ke dalam norma dan perilaku profesi itu.
4) Perancahan (Scaffolding)
Menurut Vygotsky, perancahan atau scaffolding merupakan satu ide kunci
yang ditemukan dari gagagsan pembelajaran sosial Vygotsky. Perancahan berarti
pemberian sejumlah besar bantuan kepada seorang anak selama tahap-tahap awal
pemebelajaran dan kemudian secara perlahan bantuan tersebut dikurangi dengan
9
memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab
setelah ia mampu mengerjakan sendiri.
Dalam pemberian Scaffolding, guru hendaknya mengukur seberapa jauh
mereka dapat terlibat dalam memberikan bantuan sehingga dapat sesuai dengan
ZPD siswanya. Pada saat salah seorang siswa menjumpai kesulitan, guru yang
mendampingi siswa tersebut meningkatkan arahan secukupnya untuk memberikan
bantuan dan tidak memberikan bantuan yang berlebihan sehingga mengambil alih
tugas itu dan kemudian mengurangi arahan pada saat siswa itu mulai berhasil.
Scaffolding erat kaitannya dengan pemagangan kognitif, seperti yang
digambarkan di atas, seorang pekerja yang telah berpengalaman saat bekerja
dengan pemagang, biasanya melibatkan mereka dengan tugas-tugas kompleks dan
mengurangi pemberian saran dan bimbingan kepada pemagang secara bertahap.
Menurut Nur dan Wikandari (2000), secara empirik prinsip ini memiliki
sumbangan terhadap peningkatan hasil belajar siswa dan menurut Vygotsky,
keempat prinsip kunci penting pembelajaran (hakikat sosial, ZPD, pemagangan
kognitif, dan Scaffolding) akan ada jika pembelajaran dilakukan dengan
pendekatan kooperatif, berbasis proyek, dan investigasi.
Model konstruktivis sosial Vygotsky adalah seorang anak yang secara sosial
dimasukkan dalam konteks sosiohistoris. Peralihan dari Piaget ke Vygotsky
merupakan peralihan konseptual dari individual menuju kolaborasi, interaksi
sosial, dan aktivitas sosiokultural. Dalam pendekatan konstruktivis kognitif
Piaget, siswa membangun pengetahuan melalui transformasi, organisasi, serta
reorganisasi pengetahuan dan informasi sebelumnya. Sedangkan, pendekatan
konstruktivis sosial Vygotsky menekankan bahwa siswa membangun pengetahuan
melalui interaksi sosial dengan orang lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi
oleh kultur tempat dimana siswa itu tinggal, yang berhubungan dengan bahasa,
keyakinan, dan keterampilan (Santrock, 2009)
Piaget menekankan bahwa guru harus memberikan dukungan bagi siswa-
siswa untuk mengeksplorasi dan mengembangkan pemahaman. Sedangkan
Vygotsky menekankan bahwa guru harus menciptakan banyak peluang bagi
siswa-siswa untuk belajar, dengan membangun pengetahuan secara bersama-
10
sama, baik dengan guru maupun teman-teman sebaya. Dalam model Piaget dan
Vygotsky, guru lebih berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing daripada
sebagai pemimpin dan pembentuk pembelajaran anak-anak (Santrock, 2009).
11
yang juga harus ditarik tepat waktu ketika interaksi belajar sedang terjadi saat
anak-anak mengerjakan puzzle, membangun miniature bangunan, mencocokkan
gambar dan tugas-tugas pelajaran lainnya. Saat interaksi belajar berlangsung,
scaffolding kadang dibutuhkan secara bersamaan dan terintegrasi dalam aspek
fisik, intelektual, seni dan emosional.
Lange dalam Damayanti (2016) menyatakan bahwa ada dua langkah utama
yang terlibat dalam scaffolding pembelajaran: (1) pengembangan rencana
pembelajaran untuk membimbing peserta didik dalam memahami materi baru,
dan (2) pelaksanaan rencana, pembelajar memberikan bantuan kepada peserta
didik di setiap langkah dari proses pembelajaran. Scaffolding terdiri dari beberapa
aspek khusus yang dapat membantu peserta didik dalam internalisasi penguasaan
pengetahuan. Berikut aspek-aspek scaffolding:
12
berlangsung antara guru dan anak ketika guru menggunakan scaffolding untuk
membantu anak memahami sebuah konsep seperti “transportasi”. Mengajukan
pertanyaan- pertanyaan yang mendalam adalah sebuah cara yang sangat baik
untuk menunjang pembelajaran siswa dan membantu ereka mengembangkan
keterampilan berfikir yang lebih rumit. Seorang guru dapat mengajukan
pertanyaan kepada siswa seperti “Apakah contoh hal tersebut?” “Mengapa
kamu berpikir demikian?” dan “Bagaimana kamu menghubungakan hal-hal
itu?” Seiring waktu siswa harus mulai menginternalisasi penyelidikan
semacam ini dan lebih membantu kerja mereka sendiri (Santrok, 2009).
Menurut Ruseffendi (1992) menjelaskan implikasi teori Vygotsky dalam
pembelajaran diantaranya adalah guru bertugas menyediakan atau mengatur
lingkungan belajar siswa dan mengatur tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa,
serta memberikan dukungan dinamis, sedemikian hingga setiap siswa bisa
berkembang secara maksimal dalam zona perkembangan proksimal.
Contoh dalam pembelajaran, jika seseorang siswa membuat suatu
kesalahan dalam mengerjakan sebuah soal, sebaiknya guru tidak langsung
memberitahukan di mana letak kesalahan tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang
siswa menyatakan bahwa untuk sebarang bilangan real x dan y berlaku (x-y)2 =
x2 - y2. Guru tidak perlu langsung menyatakan bahwa itu salah. Lebih baik
guru memberi pernyataan yang sifatnya menuntun, misalnya: “apakah (3-2)2 = 32
– 22?”. Dengan menjawab pertanyaan, siswa akan bisa menemukan sendiri
letak kesalahannya yang ia buat pada pernyataan semula.
Contoh di atas kiranya jelas bahwa guru bisa membantu siswa dengan cara
memilih pendekatan pembelajaran yang sesuai, agar proses konstruksi
pengetahuan dalam pikiran siswa bisa berlangsung secara optimal.
Pertanyaan yang diajukan guru tersebut untuk menuntun siswa supaya pada
akhirnya siswa bisa menemukan sendiri letak kesalahan yang ia buat, merupakan
contoh scaffolding (tuntunan atau dukungan yang dinamis) dari guru pada siswa.
Guru kiranya bisa memanfaatkan baik teori Piaget maupun teori Vygotsky dalam
upaya untuk melakukan proses pembelajaran yang efektif. Di satu pihak, guru
perlu mengupayakan supaya siswa berusaha agar bisa mengembangkan diri
13
masing-masing secara maksimal, yaitu mengembangkan kemampuan
berpikir dan bekerja secara independen (sesuai dengan teori Piaget). Dilain
pihak, guru perlu juga mengupayakan supaya tiap-tiap siswa juga aktif
berinteraksi dengan siswa-siswa lain dan orang- orang lain di lingkungan masing-
masing (sesuai dengan teori Vygotsky). Jika kedua hal itu dilakukan,
perkembangan kognitif tiap-tiap siswa akan bisa terjadi secara optimal.
2. Pemagangan Kognitif
Sebagai salah satu teori yang termasuk ke dalam kontruktivisme, cognitive
apprenticeship (masa magang kognitif) berperan untuk memudahkan siswa dalam
melakukan pengamatan, mencoba, dan berlatih dengan keterampilan tersebut
dengan bantuan guru atau ahli. Akan tetapi, agar siswa dapat benar-benar
menguasai keterampilan yang diajarkan, mereka juga harus mempunyai perhatian,
dan memiliki motivasi belajar yang kuat. Selain itu, keterampilan harus diajarkan
secara kontekstual agar benar-benar berhasil dengan baik.
Menurut para ahli konstruktivis, dalam masa magang kognitif (cognitive
apprenticeship), ada 3 tahap yang harus tersedia bagi siswa selama mereka
mempelajari sebuah keterampilan, yaitu:
1) Tahap kognitif (pada tahap ini siswa mengembangkan pemahaman tentang
pengetahun/keterampilan deklaratif)
2) Tahap asosiatif (pada tahap ini kesalahan-kesalahan dan kekeliruan pada tahap
kognitif kemudian disadari oleh siswa, dan mulai dikurangi sementara hal-hal
yang bersifat penting bagi keterampilan tersebut akan mengalami penguatan-
penguatan)
3) Tahap otonom (pada tahap ini keterampilan yang dipelajari semakin diasah dan
dipertajam sehingga bersifat otonomous)
Melalui pemagangan, siswa seringkali mempelajari tidak hanya cara
melakukan suatu tugas, melainkan juga cara memikirkan tugas tersebut dan
merupakan suatu situasi yang dikenal sebagai pemagangan kognitif (cognitive
apprentice- ship). Sebagai contoh, seorang siswa dan seorang guru dapat bekerja
sama untuk menyelesaikan suatu tugas yang menantang atau memecahkan suatu
14
soal yang sulit, mungkin berupa pengumpulan sampel data dalam ranah kerja
biologi, menyelesaikan soal matematika yang memeras otak, atau mener-
jemahkan suatu alinea yang sulit dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris. Dalam
proses memperbincangkan beragam aspek tugas atau masalah, guru dan siswa
bersama-sama menganalisis situasi tersebut dan mengembangkan pendekatan
terbaik yang dapat diambil. Sementara itu, guru juga memberikan contoh cara-
cara memikirkan tugas tersebut secara efektif dan memprosesnya secara mental.
Dalam pengajaran keterampilan dengan masa magang kognitif (cognitive
apprenticeship), seorang siswa dapat mengamati ahli yang sedang melakukan
suatu keterampilan yang akan dipelajari, sambil mendengarkan penjelasan-
penjelasan yang dilakukan oleh ahli (guru) tersebut. Kemudian, siswa mencoba
melakukan seperti apa yang dilakukan oleh guru di bawah pengawasan guru
sambil diberikan koreksi-koreksi jika melakukan kekeliruan dan penjelasan
tambahan yang diperlukan.
Allan M. Collins dan John Seely Brown telah mengembangkan 6 macam
metode mengajar yang didasarkan pada teori masa magang kognitif (Cognitive
Apprenticeship) milik Albert Bandura, yaitu:
Modelling (Pemodelan)
Modeling adalah metode mengajar suatu keterampilan yang dilakukan oleh
guru dengan cara menunjukkan keterampilan itu secara eksplisit sehingga siswa
mendapat pengalaman dan membangun model konseptual dari tugas yang
diberikan kepada mereka.
Coaching (Pembinaan)
Pembinaan atau coaching adalah metode mengajar keterampilan di mana siswa
melakukan tugas-tugas yang diberikan oleh guru tentang suatu keterampilan,
kemudian guru memberikan umpan balik sehingga keterampilan siswa semakin
terbentuk. Guru dapat mengembangkan struktur tugas tertentu sehingga siswa
lebih cepat berkembang keterampilannya.
Scaffolding (Perancahan)
15
Pengajaran dengan perancahan adalah suatu tindakan mengajar yang dilakukan
guru dengan menempatkan pengajaran keterampilan sedemikian rupa sehingga
lebih mudah dipelajari oleh siswa. Untuk ini guru dapat memberikan bantuan
dalam bentuk manipulatif, kegiatan belajar, ataupun kerja kelompok. Melalui
perancahan, guru membantu siswa mengerjakan bagian-bagian yang belum
mampu mereka kerjakan terkait keterampilan yang akan dipelajari. Penting bagi
guru untuk mengetahui bagian-bagian keterampilan mana yang belum mampu
dilakukan oleh siswa atau yang terlalu sulit untuk mereka lakukan.
Articulation (Artikulasi)
Metode mengajar keterampilan melalui artikulasi melibatkan 3 macam artikulasi,
yaitu inkuiri, thinking outloud (menyuarakan proses-proses yang berlangsung
dalam pemikiran ke dalam kata-kata sebagai penjelasan saat memodelkan suatu
keterampilan), dan siswa berpikir kritis.
Reflection (Refleksi)
Metode mengajar dengan refleksi memungkinkan siswa untuk membandingkan
proses pemecahan masalah atau proses belajar mereka akan suatu keterampilan
dengan para ahli (dapat guru atau teman yang lebih mahir). Dapat juga refleksi
dilakukan untuk membandingkan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan
yang telah mereka lakukan pada proses belajar suatu keterampilan sebelumnya
dengan latihan yang baru saja mereka lakukan. Melalui metode mengajar reflektif
ini siswa dapat melihat kembali apa yang telah dapat dan belum dapat mereka
lakukan sehingga mereka memperoleh umpan balik untuk melakukan perbaikan-
perbaikan penguasaan keterapilan.
Exploration (Eksplorasi)
Strategi mengajar dengan eksplorasi memungkinkan siswa untuk memiliki
kesempatan memecahkan masalah mereka sendiri. Sebagai tambahan agar
pengajaran keterampilan melalui masa magang kognitif (cognitive apprenticeship)
dapat berhasil dengan baik, maka tugas-tugas yang diberikan dalam mengajarkan
suatu keterampilan kepada siswa oleh guru haruslah tetap berada pada zona
perkembangan proksimal (zone of proximal development) mereka.
16
D. Konsep Teori Belajar Behaviorisme
Teori belajar behaviorisme menekankan adanya hubungan antara stimulus
dengan respons. Secara umum, dapat dikatakan memiliki arti yang penting bagi
siswa untuk meraih keberhasilan belajar. Caranya, guru banyak memberikan
stimulus dalam proses pembelajaran, dan dengan cara ini siswa akan merespons
secara positif apa lagi jika diikuti dengan adanya reward yang berfungsi sebagai
reinforcement (penguatan terhadap respons yang telah ditunjukkan). Oleh karena
teori ini berawal dari adanya percobaan sang tokoh behavioristik terhadap
binatang, maka dalam konteks pembelajaran ada beberapa prinsip umum yang
harus diperhatikan. Beberapa prinsip tersebut adalah:
1) Belajar adalah perubahan tingkah laku.
Menurut teori behavioristik, perubahan tingkah laku adalah akibat dari
adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar
merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya
untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi stimulus dan
respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan
perubahan tingkah laku. Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau
input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon.
Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah
berusaha giat, dan gurunya sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika
anak tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum
dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukan perubahan perilaku sebagai
hasil belajar.
2) Belajar adalah adanya stimulus dan respons
Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi diantara stimulus dan respon
dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa
saja yang diberikan guru (stimulus) dan apa yang dihasilkan siswa (respon),
semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran,
sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi
tidaknya perubahan tingkah laku.
17
3) Penguatan (Reinforcement)
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor
penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat
timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka
respon akan semakin kuat, begitu juga bila penguatan dikurangi (negative
reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori belajar merupakan cara yang dilakukan peserta didik dan guru dalam
memperoleh maupun menyampaikan ilmu pengetahuan melalui proses belajar
atau mengajar. Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang
bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
Dalam pendekatan konstruktivis kognitif Piaget, siswa membangun pengetahuan
melalui transformasi, organisasi, serta reorganisasi pengetahuan dan informasi
sebelumnya. Sedangkan, pendekatan konstruktivis sosial Vygotsky menekankan
bahwa siswa membangun pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain.
Teori belajar behaviorisme menekankan adanya hubungan antara stimulus
dengan respons. Secara umum, dapat dikatakan memiliki arti yang penting bagi
siswa untuk meraih keberhasilan belajar. Caranya, guru banyak memberikan
stimulus dalam proses pembelajaran, dan dengan cara ini siswa akan merespons
secara positif apa lagi jika diikuti dengan adanya reward yang berfungsi sebagai
reinforcement
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
dan dosen pembimbing demi perbaikan makalah ini.
19
DAFTAR PUSTAKA
Jarmita, Nida dan Hazami. 2013. Ketuntasan Hasil Belajar Siswa Malalui
Pendekatan Reaslitic Mathematics Education (RME) Pada Materi Perkalian.
Jurnal Ilmiah. Volume 13, Nomor 2.
Maulana Arafat Lubis dan Nashran Azizan. 2019. Pembelajaran Tematik SD/MI:
Implementasi Kurikulum 2013 Berbasis HOTS. Jogjakarta: Samudra Biru.
20
Slavin, Robert E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Pearson
Education: New Jersey.
21
22