Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bronkopneumonia

2.2.1 Definisi
Bronkopneumonia adalah peradangan pada paru dimana proses
peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang
berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal.

2.2.2 Epidemiologi
Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian
dan kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus
baru praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di
masyarakat (PK) atau di dalam rumah sakit/ pusat perawatan (pneumonia
nosokomial/ PN).

Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama


dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun
yang sudah maju. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab
kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran
napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti
di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan
penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu.
Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika
dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%.
Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari
untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan
kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia
diberikan antibiotika secara empiris.
2.1.4 Etiologi

Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus


merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan.

Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung :

a. Usia
b. Status imunologis
c. Status lingkungan
d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
e. Status imunisasi
f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi). 11

Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan


pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan
strategi pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli,
pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita
pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae,
Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan
remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma
pneumoniae.

Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang


bersumber dari data di Negara maju dapat dilihat di tabel 1

Tabel 1. Etiologi Pneumonia

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang


Lahir - 20 hari Bakteri Bakteri

E.colli Bakteri anaerob

Streptococcus grup B Streptococcus grup D

Listeria monocytogenes Haemophillus influenza

Streptococcus pneumonie

Virus

CMV

HMV

3 miggu – 3 Bakteri Bakteri


bulan
Clamydia trachomatis Bordetella pertusis

Streptococcus Haemophillus influenza


pneumonia tipe B

Virus Moraxella catharalis

Adenovirus Staphylococcus aureus

Influenza Virus

Parainfluenza 1,2,3 CMV

4 bulan – 5 Bakteri Bakteri


tahun Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza
tipe B

Mycoplasma pneumonia Moraxella catharalis

Streptococcus Staphylococcus aureus


pneumonia

Virus Neisseria meningitides

Adenovirus Virus

Rinovirus Varisela Zoster

Influenza

Parainfluenza

5 tahun – Bakteri Bakteri


remaja
Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza

Mycoplasma pneumonia Legionella sp

Streptococcus Staphylococcus aureus


pneumonia

Virus

Adenovirus

Epstein-Barr

Rinovirus

Varisela zoster
Influenza

Parainfluenza

2.2.4 Klasifikasi

Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang


memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan
etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia
berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih
relevan.

a. Berdasarkan lokasi lesi di paru :


Pneumonia lobaris
Pneumonia lobularis (bronkopneumoni)
Pneumonia interstitialis

b. Berdasarkan asal infeksi :


Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired
pneumonia = CAP)
Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)

c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab :


Pneumonia bakteri
Pneumonia virus
Pneumonia mikoplasma
Pneumonia jamur

d. Berdasarkan karakteristik penyakit :


Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit
Pneumonia akut
Pneumonia persisten

Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lingkungan dan Pejamu

Tabel 2. Klasifikasi Berdasarkan Lingkungan dan Penjamu

Tipe Klinis Epidemiologi

Pneumonia Sporadis atau endemic; muda atau


Komunitas orang tua

Pneumonia Didahului perawatan di RS


Nosokomial

Pneumonia Terdapat dasar penyakt paru kronik


Rekurens

Pneumonia Alkoholik, usia tua


Aspirasi

Pneumonia pada Pada pasien transplantasi, onkologi,


gangguan imun AIDS

2.2.5 Patogenesa
Istilah pneumonia mencangkup setiap keadaan radang paru dimana
beberapa atau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis
pneumonia yang umum adalah pneumonia bakterialis yang paling sering
disebabkan oleh pneumokokus. Penyakit ini dimulai dengan infeksi dalam
alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang sehingga
cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah
masuk kedalam alveoli. Dengan demikian, alveoli yang terinfeksi secara
progresif menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh
perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus.

Gambaran Alveoli pada Pneumonia

Pada keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring


sampai parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril
oleh mekanisme pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A,
dan batuk. Mekanisme pertahanan imunologik yang membatasi invasi
mikroorganisme patogen adalah makrofag yang terdapat di alveolus dan
bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobulin lain.

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer


melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan
yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya.
Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel
PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli.
Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin
semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi
proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu.
Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami
degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut
stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena
akan tetap normal.

Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang


jalan napas atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius, menyebabkan
obstruksi jalan napas akibat bengkak, sekresi abnormal, dan debris seluler.
Diameter jalan napas yang kecil pada bayi menyebabkan bayi rentan terhadap
infeksi berat. Atelektasis, edema interstisial, dan ventilation-perfusion
mismatch menyebabkan hipoksemia yang sering disertai obstruksi jalan
napas. Infeksi viral pada traktus respiratorius juga dapat meningkatkan risiko
terhadap infeksi bakteri sekunder dengan mengganggu mekanisme pertahanan
normal pejamu, mengubah sekresi normal, dan memodifikasi flora bakterial.

Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik


bervariasi tergantung organisme yang menginvasi. M. pneumoniae menempel
pada epitel respiratorius, menghambat kerja silier, dan menyebabkan destruksi
seluler dan memicu respons inflamasi di submukosa. Ketika infeksi berlanjut,
debris seluler yang terlepas, sel-sel inflamasi, dan mukus menyebabkan
obstruksi jalan napas, dengan penyebaran infeksi terjadi di sepanjang cabang-
cabang bronkial, seperti pada pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan
edema lokal yang membantu proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya
ke bagian paru lain, biasanya menghasilkan karakteristik sebagai bercak-
bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru.5,6

Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan


infeksi yang lebih difus dengan pneumonia interstisial. Pneumonia lobar tidak
lazim. Lesi terdiri atas nekrosis mukosa trakeobronkial dengan pembentukan
ulkus yang compang-camping dan sejumlah besar eksudat, edema, dan
perdarahan terlokalisasi. Proses ini dapat meluas ke sekat interalveolar dan
melibatkan fasa limfatika. Pneumonia yang disebabkan S.aureus adalah berat
dan infeksi dengan cepat menjelek yang disertai dengan morbiditas yang lama
dan mortalitas yang tinggi, kecuali bila diobati lebih awal. Stafilokokus
menyebabkan penggabungan bronkopneumoni yang sering unilateral atau
lebih mencolok pada satu sisi ditandai adanya daerah nekrosis perdarahan
yang luas dan kaverna tidak teratur.

2.2.6 Gejala Klinis


Riwayat klasik dingin menggigil yang disertai dengan demam tinggi,
batuk dan nyeri dada. Anak sangat gelisah, dispnu, pernapasan cepat dan
dangkal disertai pernapasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan
mulut. Kadang-kadang disertai muntah dan diare. Batuk biasanya tidak
ditemukan pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk setelah beberapa
hari mula-mula kering kemudian menjadi produktif. Pada stadium permulaan
sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan fisik, tetapi dengan adanya nafas
cepat dan dangkal, pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar mulut dan
hidung baru dipikirkan kemungkinan pneumonia. Penyakit ini sering
ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan
laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang
sakit dengan lutut tertekuk dengan nyeri dada.8,10,11,15

2.2.7 Pemeriksaan Fisik


Dalam pemeriksaan fisik ditemukan hal-hal sebagai berikut :
 Suhu tubuh ≥ 38,5o C
 Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal,
suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
 Takipneu berdasarkan WHO:
Usia < 2 bulan ≥ 60 x/menit
Usia 2-12 bulan ≥ 50 x/menit
Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit
Usia 6-12 tahun ≥ 28 x/menit
 Pada palpasi ditemukan fremitus vokal menurun.
 Pada perkusi lapangan paru redup pada daerah paru yang terkena.
 Pada auskultasi dapat terdengar suara pernafasan menurun. Fine
crackles (ronki basah halus) yang khas pada anak besar bisa tidak
ditemukan pada bayi. Dan kadang terdengar juga suara bronkial.
2.2.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas


normal. Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar
antara 15.000 – 40.000/mm3 dengan predominan PMN. Kadang-kadang
terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat.
Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak
dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti.

2. C-Reactive Protein (CRP)

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk


membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan
bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP
biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis
daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi
respons terhadap terapi antibiotik.

3. Pemeriksaan Mikrobiologis

Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak


rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil
yang positif. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal
dari usap tenggorok, sekret nasofaring tidak memiliki nilai yang berarti.
Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan
pleura, atau aspirasi paru.
4. Pemeriksaan serologis

Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi


bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan
tetapi, diagnosis infeksi Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan
peningkatan titer antibodi seperti antistreptolisin O, streptozim, atau
antiDnase B. Uji serologik IgM dan IgG antara fase akut dan konvalesen
pada anak dengan infeksi pneumonia oleh Chlamydia pneumonia dan
Mycoplasma pneumonia memiliki hasil yang memuaskan tetapi tidak
bermakna pada keadaan pneumonia berat yang memerlukan penanganan
yang cepat.

5. Pemeriksaan Roentgenografi

Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar


diagnosis utama pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia
ringan, hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat dan
timbul gejala klinis berupa takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara
pernafasan. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu
berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan yang
diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah pemeriksaan
posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada
foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
penegakkan diagnosis.

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:

 Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan


bronkovaskular, peribronchial cuffing dan overaeriation. Bila
berat terjadi pachy consolidation karena atelektasis.

 Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air


bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut
dengan pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang
biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu
tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round
pneumonia

 Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada


kedua paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas
hingga daerah perifer paru disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial.

Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri,


atipik, atau virus. Tetapi gambaran foto rontgen toraks dapat
membantu mengarahkan kecenderungan etiologi. Penebalan
peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung
terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi
segmen atau lobar, bronkopneumoni dan air bronchogram sangat
mungkin disebabkan oleh bakteri.

2.2.9 Diagnosis

Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau


serologis merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri
penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorium penunjang
yang memadai. Tidak ada gejala distress pernafasan, takipneu, batuk, ronki,
dan peningkatan suara pernafasan dapat menyingkirkan dugaan pneumonia.
Terdapatnya retraksi epigastrik, interkostal, dan suprasternal merupakan
indikasi tingkat keparahan. Pada bronkopneumoni, bercak-bercak infiltrat
didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan
adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau
perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai.
Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal.
Kadar hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.
Tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita,
upaya penanggulangannya WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan
tatalaksana yang sederhana. Tujuannya ialah menyederhanakan kriteria
diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dapat dideteksi, menetapkan
klasifikasi penyakit, dan menentukan penatalaksanaan. Tanda bahaya pada
anak berusia 2 bulan-5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran
menurun, stridor, mengi, demam, atau menggigil.

Klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut :

Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun :

 Pneumonia berat
- Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan ≥ 50 x/menit,
Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit
- Adanya retraksi
- Sianosis
- Anak tidak mau minum
- Tingkat kesadaran yang menurun dan merintih (pada bayi)
- Anak harus dirawat dan di terapi dengan antibiotik
 Pneumonia
- Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan ≥ 50 x/menit,
Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit
- Adanya retraksi
- Anak perlu di rawat dan berikan terapi antibiotik

Bayi berusia di bawah 2 bulan


Pada bayi berusia dibawah 2 bulan, perjalanan penyakit lebih
bervariasi. Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai
berikut :

 Pneumonia
- Bila ada nafas cepat ≥ 60 x/menit atau sesak nafas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik
 Bukan pneumonia
- Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
- Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatik

2.2.10 Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan antibiotika

Pemberian antibiotika berdasarkan derajat penyakit :

 Pneumonia ringan
- Amoksisilin 25 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis sehari selama 3
hari. Diwilayah resistensi penisilin yang tinggi dosis dapat
dinaikan sampai 80-90 mg/kgBB.
- Kotrimoksazol (trimetoprim 4 mg/kgBB – sulfametoksazol 20
mg/kgBB) dibagi dalam 2 dosis sehari selama 5 hari
 Pneumonia berat
- Kloramfenikol 25 mg/kgBB setiap 8 jam
- Seftriakson 50 mg/kgBB i.v setiap 12 jam
- Ampisilin 50 mg/kgBB i.m sehari empat kali, dan gentamisin 7,5
mg/kgBB sehari sekali
- Benzilpenisilin 50.000 U/kgBB setiap 6 jam, dan gentamisin 7,5
mg/kgBB sehari sekali
- Pemberian antibiotik diberikan selama 10 hari pada pneumonia
tanpa komplikasi, sampai saat ini tidak ada studi kontrol mengenai
lama terapi antibiotik yang optimal.

Pemberian antibiotik berdasarkan umur :

a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :


- ampicillin + aminoglikosid
- amoksisillin-asam klavulanat
- amoksisillin + aminoglikosid
- sefalosporin generasi ke-3
b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
- beta laktam amoksisillin
- amoksisillin-amoksisillin klavulanat
- golongan sefalosporin
- kotrimoksazol
- makrolid (eritromisin)
c. Anak usia sekolah (> 5 thn)
- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

2. Penatalaksaan suportif

- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas


hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena dengan
dosis awal 0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (kg). Selanjutnya periksa
ulang analisis gas darah setiap 4-6 jam. Bila analisis gas darah
tidak bisa dilakukan maka dosis awal bikarbonat 0,5 x 2-3 mEq x
BB (kg).
- Obat penurun panas dan pereda batuk sebaiknya tidak diberikan
pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi
antibiotik awal. Obat penurun panas diberikan hanya pada
penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan
jantung.

Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang


nyata dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai
dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada
tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-
olah antibiotik tidak efektif).12

3. Penatalaksanaan bedah

Pada umumnya tidak ada tindakan bedah kecuali bila terjadi


komplikasi pneumotoraks atau pneumomediastinum.

2.2.11 Prognosis

Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat


diturunkan sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi
protein dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi.

Anda mungkin juga menyukai