Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebisingan

Kebisingan didefinisikan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki.


Bising menyebabkan berbagai gangguan terhadap tenaga kerja seperti
gangguan fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan
ketulian atau ada yang menggolongkan gangguannya berupa gangguan
pendengaran, misalnya gangguan terhadap pendengaran dan gangguan
pendengaran seperti komunikasi terganggu, ancaman bahaya keselamatan,
menurunnya performa kerja, kelelahan dan stres. Jenis pekerjaan yang
melibatkan paparan terhadap kebisingan antara lain pertambangan,
pembuatan terowongan, mesin berat, penggalian (pengeboman,
peledakan), mesin tekstil, dan mesin pada intistri sawit, dengan
terganggunya konsentrasi ini maka pekerjaan yang dilakukkan akan
banyak timbul kesalahan ataupun kerusakan sehingga akan menimbulkan
kerugian (sinaga dan Erliana 2020).

2.1.1 Jenis Kebisingan

Kebisingan yang beragam jenisnya dikelompokan menjadi


beberapa kriteria. Berikut ini akan dipaparkan jenis-jenis
kebisingan yang sering ditemukan dilingkungan kerja, yang
sifatnya menurut (Roestam 2004 dalam Isnaini 2021):
1. Bising yang kontiyu dengan spektrum frekuensi yang luas
Bisisng jenis ini merupakan bising yang relatif tetap dalam
batas amplitodo kurang lebih 5 dB untuk priode 0.5 detik berturut-
turut. Contoh dan jenis bising ini adalah bunyi kipas angin dan
suara kokpit pesawat hilikopter.
2. Bising yang kontiyu dengan spektrum frekuensi yang sempit
Bising ini juga relative tetap akan tetapi hanya mempunyai
frekunsi tertentu saja (pada frekunsi 500.1000, dan 4000 Hz).
Contoh bising jenis ini adalah suara gergaji sirkuler dan suara
katup gas.
3. Bising terputus-putus
Bising ini tidak terjadi terus menerus, melainkan ada priode
relative tenang. Misalnya suara lalu lintas dan kebisingan
dilapangan terbang.
4. Bising impulsif
Bising ini memiliki perubahan tekenan suara melebihi 40 dB
dalam waktu yang cepat dan biasanya mengejutkan pendengaran.
Contohnya ledakan bom.
5. Bising impulsif berulang
Bising ini sma dengan bising impulsif namun terjadi secara
berulang-ulang. Misalnya mesin tempa perusahaan atau tempaan
tiang pancang bangunan.

2.1.2 Nilai Ambang Batas

Nilai ambang batas kebisingan merupakan nilai yang mengatur


tentang tekanan rata-rata atau level kebisingan berdasarkan durasi
pajanan bising yang mewakili kondisi dimana hampir semua
pekerja terpajan bising berulang-ulang tanpa menimbulkan
gangguan pendengaran dan memahami pembicaraan normal.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
70 Tahun 2016 Tentang Standar dan Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Kerja Industri, adapun nilai ambang batas kebisingan
seperti pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Ambang Batas Kebisingan

Satuan Durasi Panjang Level Kebisingan


kebisingan Perhari
24 80
16 82
8 85
Jam 4 88
2 91
1 94
Sumber : Permenkes Nomor 70 Tahun 2016.

2.1.3 Zona Kebisingan

Dalam menentukan efek kebisingan terhadap kesehatan maka


dibedakan beberapa zona dimana kebisingan akan memberikan
efek pada kesehatan manusia sesuai dengan lokasi kebisingan
(Feidihal dalam Auliyah 2020). Adapun tingkat kebisingan Zona
dapat di lihat pada tabel 2.1.3

Tabel 2.1.3: Tingkat Kebisinga Zona

Tingkat Kebisingan

No ZONA Maksimum Maksimum


Yang di yang
Anjurkan diperbolehkan

1 Zona A 35 45

2 Zona B 45 55

3 Zona C 50 60

4 Zona D 60 70

Sumber :Permenkes Nomor 718 Tahun 1987

Keterangan:

Zona A = tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan


kesehatan dsb;

Zona B = perumahan, tempat pendidikan, rekreasi, dan sejenisnya;


Zona C = perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar, dan
sejenisnya;

Zona D = industri, pabrik, stasiun kereta api, terminal bis, dan


sejenisnya.

2.1.4 Alat Ukur Kebisingan

Pengukuran langsung tingkat kebisingan pada PT. Pundi


Lahan katulistiwa, menggunakan alat Digital Sound Level Meter
(SLM)WT1357 selama 10 (sepuluh) menit setiap pengukuran.
Pembacaan dilakukan setiap 5 (lima) detik, Waktu pengukuran
dilakukan dalam interval 16 jam yang disesuaikan dengan Shift
karyawan di pabrik PT. Pundi Lahan Khatulistiwa.

2.1.5 Mengukur Tingkat Kebisingan

Setiap pengukuran harus dapat mewakili selang waktu


tertentudengan menetapkan paling sedikit 4 waktu pengukuran
pada siang hari dan pada malam hari paling sedikit 3 waktu
pengukuran. Contoh sampling yang diberikan dalam KEPMEN
tersebut adalah:

- diambil pada jam 07.00 mewakili jam 06.00-09.00

- diambil pada jam 10.00 mewakili jam 09.00-14.00

- diambil pada jam 15.00 mewakili jam 14.00-17.00

- diambil pada jam 20.00 mewakili jam 17.00-22.00

- diambil pada jam 23.00 mewakili jam 22.00-24.00

- diambil pada jam 01.00 mewakili jam 24.00-03.00

- diambil pada jam 04.00 mewakili jam 03.00-06.00


Berdasarkan (Arifin Dalam Auliyah 2020) Cara pemakaian alat
Sound Level Meter pengukuran tingkat kebisingan dilakukan
menggunakan alat Sound Level Meter untuk mengukur tingkat
kebisingan, dilakukan selama 10 menit untuk setiap jamnya.
Adapun langkah-langkah pengukuran tingkat kebisingan adalah
sebagai berikut:

1. Sound Level Meter diletakkan pada lokasi yang tidak


menghalangi pendangan pengguna dan tidak ada sumber suara
asing yang akan mempengaruhi tingkat kebisingan.

2. Sound Level Meter sebaiknya dipasang pada tripod agar


posisinya stabil.

3. Pengguna Sound Level Meter sebaiknya berdiri pada jarak 0,5


m dari alat agar tidak terjadi efek pemantulan yang
mempengaruhi penerimaan bunyi.

4. Sound Level Meter ditempatkan pada ketinggian 1,2 m dari atas


permukaan tanah dan sejauh 4,0 - 15,0 m dari permukaan
dinding serta objek lain yang akan memantulkan bunyi untuk
menghindari terjadinya pantulan dari benda-benda permukaan
disekitarnya.

5. Hasil rekaman data menggunakan Sound Level Meter disimpan


dalam laptop yang terhubung dengan Sound Level Meter.

2.1.6 Perhitungan Tingkat Kebisingan

Menurut Permenaker No. per-51/MEN/1999, ACGIH dan SNI


16- 7063-2004, waktu maksimum bekerja dapat dirumuskan
sebagai berikut:

T=

L=
Keterangan:
T = Waktu (jam)
L = Pajanan kebisingan
2.2 Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah segala kegiatan untuk


menjamin dan melindungi keselamtan dan kesehatan tenaga kerja melalui
upaya pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, yarat-syarat K3
Lingkungan Kerja sebagaimana dimaksud pengendalian Faktor Fisika dan
Fator Kimia agar berada di bawah NAB, pengendalian Faktor Biologi,
Faktor Ergonomi dan Faktor Psikologi Kerja agar memenuhi standar,
penyediaan fasilitas Kebersihan dan sarana Higiene di tempat kerja yang
bersih dan sehat, dan penyediaan personil K3 yang memiliki kompetensi
dan kewenangan K3 di bidang Lingkungan Kerja.(Permenaker nomor 5
2018).
Pelaksanaan syarat-syarat K3 Lingkungan Kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 bertujuan untuk mewujudkan Lingkungan Kerja
yang aman, sehat, dan nyaman dalam rangka mencegah kecelakaan kerja
dan penyakit akibat kerja (Permenaker nomor 5 2018).

2.3 Lingkungan Kerja

Lingkungan Kerja adalah aspek Higiene di tempat kerja yang di


dalamnya mencakup faktor fisika, kimia, biologi, ergonomi dan psikologi
yang keberadaannya di tempat kerja dapat mempengaruhi Keselamatan
dan Kesehatan Tenaga Kerja. ( Permenaker No 5 Tahun 2018).

2.3.1 Faktor Fisik

Faktor fisika adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas


tenaga kerja yang bersifat fisika, disebabkan oleh penggunaan
mesin, peralatan, bahan dan kondisi lingkungan di sekitar tempat
kerja yang dapat menyebabkan gangguan dan penyakit akibat kerja
pada tenaga kerja, meliputi Iklim Kerja, Kebisingan, Getaran,
radiasi gelombang mikro, Radiasi Ultra Ungu, radiasi Medan
Magnet Statis, tekanan udara dan Pencahayaan.

2.3.2 Faktor Biologi

Faktor kimia adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas


tenaga kerja yang oleh penggunaan disebabkan bersifat bahan
kimiawi, kimia dan turunannya di tempat kerja yang dapat
menyebabkan penyakit pada tenaga kerja, meliputi kontaminan
kimia di udara berupa gas, uap dan partikulat.

2.3.3 Faktor Kimia

Faktor biologi adalah faktor yang dapat mempengaruhi


aktivitas tenaga kerja yang bersifat biologi, disebabkan oleh
makhluk hidup meliputi hewan, tumbuhan dan produknya serta
mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit akibat kerja.

2.3.4 Faktor Ergonomi

Faktor ergonomi adalah factor yang dapat mempengaruhi


aktivitas tenaga kerja, disebabkan oleh ketidaksesuaian antara
fasilitas kerja yang meliputi cara kerja, posisi kerja, alat kerja, dan
beban angkat terhadap tenaga kerja.

2.4 Iklim Kerja

Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban,


kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran
panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaannya meliputi
tekanan panas dan dingin (Permen No 5 Tahun 2018). Iklim kerja yg tidak
nyaman, tidak sesuai dengan syarat yg ditentukan bisa menurunkan
kapasitas kerja yg mengakibatkan menurunnya efisiensi dan produktifitas
kerja. Bekerja pada suhu panas dapat menimbulkan masalah kesehatan
baik fisik dan psikologis pekerja. Kondisi respon secara fisiologis yg
terjadi seperti pada peningkatan denyut nadi dan suhu tubuh, batas
kecepatan angin secara kasar yaitu 0,25 hingga 0,5 m/dtk dan nilai ambang
batas iklim kerja dapat di lihat pada tabel 2.4.1

Tabel 2.4.1 Nilai Ambang Batas Iklim Kerja Industri

Alokasi waktu NBA (oC ISBB)


kerja dan
Ringan Sedang Berat Sangat
istirahat
Berat

75-100% 31,0 28,0 - -

50-75% 31,0 29,0 27,5 -

25-50% 32,0 30,0 29,0 28,0

0-25% 32,5 31,0 30,0 30,0

Sumber : Permenkes Nomor 70 Tahun 2016.

2.5 Pemetaan Kebisingan

Pemetaan tingkat kebisingan dilakukan dengan memilih titik penelitian


pada aplikasi Google Earth. Koordinat titik penelitian dan nilai kebisingan
yg diperoleh dibuat untuk mengetahui sebaran tingkat kebisingan di
sekitar PT. Pundi lahan katulistiwa. buat menghasilkan peta kontur
diperlukan input data dan input grid dengan memakai program surfer.
Input data ialah data yang akan di proses untuk dibuat kontur berupa
sumbu X dan sumbu Y serta sumbu Z menjadi data yang akan pada proses.
pada pembuatan kontur, diperlukan pemilihan metode grid. Sumbu X dan
sumbu Y ialah koordinat lokasi sampling sedangkan sumbu Z adalah nilai
Lsm (Margiantono, M. Dkk. 2018).
2.5.1 Peta Zonasi

Peta Zonasi menggambarkan suatu keadaan atau lokasi dari penelitian


yang akan dilakukan di PT. Pundi Lahan Khatulistiwa dapat dilihat
pada gambar 2.5.1

Gambar 2.5.1: Peta Zonasi PT. Pundi Lahan Khatulistiwa

Sumber : Data Primer dan QGis

2.5.2 Lay out Lokasi Sampling

Lay out merupakan lokasi titik sampling yang akan diukur tingkat
kebisinganya, dari sumber bising dan area kerja. Dapat dilihat pada
gambar 2.5.2

Lokasi 1 Area Boiler Lokasi 2 Area Disgester Lokasi 3 Area Kantor

Boiler Not &kernel


Lab dan
Turbin Disgester Kantor

Klarifikasi
Lokasi Titik Sampling Thresser

kantor

Boiler

Disgester

Gambar 2.5.2 : Lay out titik sampling

Sumber : olah Data primer

2.5.3 Kontur Kebisingan

Menurut (Rahmat dalam ahmad, F 2018) Peta kontur adalah


peta yang menggambarkan sebagian bentuk bentuk permukaan
bumi yang bersifat alami dengan menggunakan garis-garis kontur.
Kontur ini dapat memberikan informasi relief, baik secara relatif,
maupun secara absolute. Informasi relief secara relatif ini,
diperlihatkan dengan menggambarkan garis-garis kontur secara
rapat untuk daerah terjal, sedangkan untuk daerah yang landai
dapat di perlihatkan dengan menggambarkan garis-garis tersebut
secara renggang.

Pengukuran dengan membuat peta kontur sangat bermanfaat


dalam mengukur kebisingan, karena peta tersebut dapat
menentukan gambar tentang kondisi kebisingan dalam cakupan
area Kode pewarnaan untuk menggambarkan keadaan kebisingan,
warna hijau untuk kebisingan dengan intensitas dibawah 85 dBA
warna orange untuk tingkat kebisingan yang tinggi diatas 90 dBA,
warna kuning untuk kebisingan dengan intensitas antara 85 – 90
dBA.

2.6 Penyakit kibat Kerja

Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan


masyarakat di Indonesia belum tercatat dengan baik. Penjelasan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengamanatkan
antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja,
agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat
dan lingkungan disekitarnya. Penyakit akibat kerja disebabkan oleh dua
faktor, yaitu lingkungan kerja dan hubungan kerja. Penyakit akibat kerja
atau berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh pemajanan di
lingkungan kerja.
Menurur (Purnawan, Imanto, Dkk. 2019) Penyakit Akibat Kerja yang
ditimbulkan oleh kebisingan adalah gangguan pendengaran dan kesulitan
berkomunikasi serta penurunan konsentrasi, kebisingan (noise exposure)
merupakan salah satu suara yang dihasilkan oleh mesin atau alat pada
suatu proses produksi. Mesin atau alat tersebut menghasilkan bunyi yang
melebihi nilai ambang batas (NAB) yg telah ditetapkan oleh Permenkes
Nomor 70 Tahun 2016.
Berdasarkan (Saputra, maman. dkk 2017) Penyakit Akibat Kerja
adalah penyakit yang ditimbulkan atau didapat pada waktu melakukan
pekerjaan. Penyakit akibat kerja atau yang lebih dikenal sebagai
occupational diseases adalah penyakit yang disebabkan oleh faktor-faktor
pekerjaan atau didapat pada waktu melakukan pekerjaan. Faktor
Lingkungan kerja sangat berpengaruh dan berperan sebagai penyebab
timbulnya Penyakit Akibat Kerja.
2.7 Literatur Pendukung

No Nama Peneliti Judul Tahun Metode Hasil penelitian

1 Husaini, Ratna 2017 Penelitian Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan
Setyaningrum, Faktor penyebab cross sectional antara usia (p=0,513), masa kerja (p=0,729), lama
Maman Saputra penyakit akibat kerja kerja (p=0,337) terhadap PAK. Namun, ada
pada pekerja las hubungan pengetahuan (p=0,046) dan penggunaan
APD (p=0,000) terhadap PAK. Secara simultan
usia, masa kerja, lama kerja, tingkat pengetahuan,
dan penggunaan APD tidak berhubungan dengan
kejadian PAK pada pekerja las. Secara parsial
tingkat pengetahuan dan penggunaan APD
hubungan parsial yang signifikan terhadap penyakit
akibat kerja pada pekerja las.

2 Noor amalia Analisi kebisingan 2017 Deskriptif Hasil penelitian kebisingan yang melebihi dan
chusna, peralatan pabrik memenuhi NAB yaitu 85 dB dengan waktu
haryono setyo terhadap daya pemajanan 8 jam menimbulkan Penurunan daya
huboyo,dan pendengaranpekerja pendengaran bagi operator PT. Pura Barutama Unit
pertiwi andarani di PT.Pura Batutama Paper Mill 5.6.9 dibuktikan dengan, pada 12 pekerja
unit PM 569 kudus yang dilakukan tes audiometri, terdapat 5 pekerja
yang menerima paparan melebihi NAB mengalami
ketulian dan 7 pekerja menerima paparan kurang
dari NAB mengalami ketulian sebanyak 5 pekerja
dan 2 pekerja bertelingan normal. Namun, faktor
kebisingan bukan satu-satunya faktor yang dapat
menyebabkan penurunan daya pendengaran.
3 Musa Wahyu Faktor Yang 2016 Penelitian Hasil penelitian yaitu(1) pengetahuan berpengaruh
Pangeran, Djoko Mempengaruhi Kuantitatif signifikan terhadap sikap, (2) pengetahuan
Kustono dan Penerapan K3 di berpengaruh signifikan terhadap penerapan K3, (3)
Tuwoso Bengkel Pemesinan fasilitas K3 berpengaruh signifikan terhadap
penerapan K3, dan (4) sikap berpengaruh signifikan
terhadap penerapan K3.

4 Heri mujayin Analisis tingkat 2012 Observasi, Hasil penelitian bahwa level kebisingan di area
kholik dan kebisinganperalatan wawancara dan kerja power plant II menunjukan perbedaan yang
Dimas adji produksi terhadap kuisioner signifikan dengan nilai ambang batas(NBA) yang
Krishna kinerja karyawan telah ditetapkan oleh pemerintah, yaitu sebesar
98,599 dBA. Sedangkan NBA yang telah ditetapkan
untuk area kerja industry adalah sebesar 85 dBA.

5 Hadi Riyanto 2010 Analitik Hasil peneliti ada pengaruh yang sangat signifikan
Pengaruh obsevasional kebisingan terhadap kelelahan pada
Kebisingan tenaga kerja penggilingan padi di kecamatan
Terhadap Kelelahan karanganyar dengan t value 0,00 dimana t ≤ 0,01,
Pada TenagaKerja dan
Penggilingan Padi Pada tempat pengukuran intensitas kebisingan
Di Kecamatan diatas NAB subjek penelitian mengalami kelelahan
Karanganyar sedang dan kelelahan berat sedangkan subjek
penelitian yang berada pada tempat dengan
intensitas kebisingan dibawah NAB mengalami
kelelahan ringan.

Anda mungkin juga menyukai