Anda di halaman 1dari 9

AQIDAH

MUSLIM BEKERJA MEMBANGUN VIHARA

Tanya :

Apa hukumnya menjadi pekerja bangunan untuk pembangunan tempat ibadah orang kafir,
khususnya gereja dan vihara? (Wahyudi, Banjarmasin).

Jawab :

Tidak boleh seorang muslim bekerja untuk membangun tempat ibadah orang kafir,
seperti gereja atau vihara. Sebab akad ijarah (kontrak tenaga kerja) yang ada antara dirinya
dengan orang kafir itu adalah akad batil (tidak sah). Dalil-dalilnya adalah :

Pertama, firman Allah SWT :

‫ان‬
ِ ‫ع ْد َو‬ ِ ‫علَى اِإل ْث‬
ُ ‫م َوا ْل‬ َ ‫وال تَعَا َو ُنوا‬

"dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS Al-
Maidah [5] : 2)

Ayat ini telah melarang perbuatan tolong-menolong (at-ta'awun) dalam dosa (al-itsm),
yaitu maksiat (al-ma'ashiy) atau kekufuran (al-kufr) (Tafsir Al-Baghawi, 2/9). Maka akad
ijarah untuk membangun tempat ibadah orang kafir tidak dibolehkan, karena termasuk
perbuatan tolong-menolong dalam kekufuran. (Lihat Wasim Mahmud Fathullah, Al-Wajiz fi
Ahkam Ahli Adz-Dzimmah, hal. 9).

Kedua, sabda Nabi SAW :

‫م‬
ْ ‫م ْن ُه‬
ِ ‫و‬ َ ‫م‬
َ ‫ف ُه‬ َ ِ‫ه ب‬
ٍ ‫ق ْو‬ َ َ‫ن ت‬
َ َّ‫شب‬ ْ ‫م‬
َ

"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka." (HR Abu
Dawud, dishahihkan oleh Ibnu Hibban).(Imam Ash-Shan'ani, Subulus Salam, 4/175; Imam
Ibnu Taimiyah, Iqtidha` Ash-Shiratal Mustaqim, hal. 48; Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah,
Ahkam Ahli Adz-Dzimmah, 2/165).

Hadits ini telah mengharamkan muslim untuk menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil
kuffar) dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka. (Subulus Salam, 4/175).
Membangun tempat ibadah kaum kafir adalah perbuatan khas atau tradisi kaum kafir, maka
muslim diharamkan membangun tempat ibadah mereka karena perbuatan itu bagi muslim
adalah perbuatan menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar) yang diharamkan.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Ahkam Ahli Adz-Dzimmah (1/208-
209) meriwayatkan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah ta'ala-- mengenai
haramnya seorang muslim bekerja sebagai tukang bangunan untuk membangun tempat
ibadah orang Majusi. Ishaq bin Ibrahim berkata,"Aku mendengar Abu Abdillah (Imam
Ahmad bin Hanbal) ditanya seorang tukang bangunan (rajulun banna`),"Bolehkah saya
membangun Nawus (tempat ibadah Majusi) untuk orang Majusi?" Maka Abu Abdillah
menjawab :

‫ه‬
ِ ‫هُم فِ ْي‬
ْ ‫ما‬
َ ‫م عَلى‬
ْ ‫ع ْن ُه‬ ْ ‫ن لَ ُه‬
ِ ‫م َوال ُت‬ ِ ‫ال ت َْب‬
"Janganlah kamu membangun untuk mereka dan janganlah kamu menolong mereka dalam
perkara yang merupakan bagian agama mereka." (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ahkam Ahli
Adz-Dzimmah, 1/208).

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah juga meriwayatkan pendapat Imam Ahmad bin
Hanbal ketika ditanya,"Bolehkah seorang muslim menggali kubur untuk Ahludz Dzimmah
dengan mendapat bayaran?" Imam Ahmad bin Hanbal menjawab,"Tidak apa-apa." (Laa
ba`sa bihi). (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ahkam Ahli Adz-Dzimmah, 1/208).

Jadi, menurut Imam Ahmad bin Hanbal membangun Nawus (tempat ibadah Majusi)
hukumnya tidak boleh, karena Nawus merupakan ciri khas kekafiran orang Majusi (min
khasha`ish diinihim), sama halnya dengan gereja (al-kanisah). Sementara menggali kubur
tidak mengapa, karena liang kubur tidak termasuk dalam ciri khas kekafiran mereka. (Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah, Ahkam Ahli Adz-Dzimmah, 1/209). Terlebih lagi syara' memang
mewajibkan menguburkan jenazah dalam liang kubur walaupun jenazah orang kafir.
(Nashiruddin Al-Albani, Ahkamul Jana`iz, Riyadh : Maktabah Al-Ma'arif, 1992, hal. 168).

Berdasarkan penjelasan di atas, haram hukumnya seorang muslim bekerja


membangun tempat ibadah kaum kafir, seperti vihara atau gereja. Sebab tempat ibadah
adalah ciri khas kekafiran. Berbeda halnya kalau muslim itu membangun rumah untuk kaum
kafir, hukumnya boleh. Karena rumah bukan termasuk ciri khas kekafiran. Wallahu a'lam.

Yogyakarta, 21 September 2008

Muhammad Shiddiq Al-Jawi


IMLEK ADALAH HARI RAYA AGAMA KAFIR BUKAN SEKEDAR TRADISI :
HARAM ATAS MUSLIM TURUT MERAYAKANNYA

Tanya : Ustadz, orang-orang muslim etnis Tionghoa sering saya lihat turut merayakan Imlek.
Apakah ini dibolehkan? Mereka beralasan, Imlek hanyalah tradisi, dan bukan bagian dari
ajaran agama. Benarkah?

Jawab :

Kami akan menjawab lebih dulu apakah Imlek itu sekedar tradisi ataukah termasuk
ajaran agama. Baru setelah itu akan kami jawab apa hukumnya seorang muslim turut
merayakan Imlek.

1. Imlek Bagian Ajaran Agama Khonghucu, Bukan Sekedar Tradisi Tionghoa

Memang sering kita dengar dari orang Tionghoa, termasuk tokoh-tokohnya yang
sudah masuk Islam, bahwa Imlek itu sekedar tradisi. Tidak ada hubungannya dengan agama.
Sebagai contoh, Sekretaris Umum DPP PITI (Pembina Iman Tauhid Islam), H. Budi
Setyagraha (Huan Ren Cong), baru-baru ini menyatakan bahwa Imlek adalah tradisi
menyambut tahun baru penanggalan Cina, datangnya musim semi, dan musim tanam di
daratan Cina. Imlek, kata beliau, bukan perayaan agama. (Lihat "Sekjen DPP PITI : Rayakan
Imlek Jangan Berlebihan", Kedaulatan Rakyat, Selasa, 13 Pebruari 2007, hal. 2).

Jika kita mendalami agama Khonghucu, khususnya mengenai hari-hari rayanya, akan
terbukti bahwa pernyataan tersebut tidak benar. Sebab sebenarnya Imlek adalah bagian
integral dari ajaran agama Khonghucu, bukan semata-mata tradisi.

Dalam bukunya Mengenal Hari Raya Konfusiani (Semarang : Effhar & Dahara Prize,
2003) hal. vi-vii, Hendrik Agus Winarso menyebutkan bahwa masyarakat kurang memahami
Hari Raya Konfusiani. Kata beliau mencontohkan,"Misalnya Tahun Baru Imlek dianggap
sebagai tradisi orang Tionghoa." Dengan demikian, pandangan bahwa Imlek adalah sekedar
tradisi, yang tidak ada hubungannya dengan agama, menurut penulis buku tersebut, adalah
suatu kesalahpahaman (Ibid., hal. v).

Dalam buku yang diberi kata sambutan oleh Ketua MATAKIN tahun 2000 Hs. Tjhie
Tjay Ing itu, pada hal. 58-62, Hendrik Agus Winarso telah membuktikan dengan meyakinkan
bahwa Imlek adalah bagian ajaran Khonghucu. Hendrik Agus Winarso menerangkan, Tahun
Baru Imlek atau disebut juga Sin Cia, merupakan momentum untuk memperbarui diri.
Momentum ini, kata beliau, diisyaratkan dalam salah satu kitab suci Khonghucu, yaitu Kitab
Lee Ki, bagian Gwat Ling, yang berbunyi :

"Hari permulaan tahun (Liep Chun) jadikanlah sebagai Hari Agung untuk bersembahyang
besar ke hadirat Thian, karena Maha Besar Kebajikan Thian. Dilihat tiada nampak,
didengar tiada terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia… (Tiong Yong XV : 1-5).

(Lihat Hendrik Agus Winarso, Mengenal Hari Raya Konfusiani, [Semarang : Effhar &
Dahara Prize, 2003], hal. 60-61).
Penulis buku tersebut lalu menyimpulkan Imlek adalah bagian ajaran Khonghucu.
Beliau mengatakan :

"Dengan demikian, menyambut Tahun Baru bagi umat Khonghucu Indonesia mengandung
arti ketakwaan dan keimanan." (ibid.,hal. 61).

Maka tidaklah benar pendapat yang menyebutkan bahwa Imlek hanya sekedar tradisi
orang Tionghoa, atau Imlek bukan perayaan agama. Yang benar, Imlek justru adalah bagian
ajaran agama Khonghucu, bukan sekedar tradisi.

Lagi pula, harus kami tambahkan bahwa boleh tidaknya seorang muslim melakukan
sesuatu, tidaklah dilihat apakah sesuatu itu berasal dari tradisi atau ataukah dari agama.
Seakan-akan kalau berasal dari tradisi hukumnya boleh-boleh saja dilakukan, sementara
kalau dari agama lain hukumnya tidak boleh.

Standar semacam itu sungguh batil dan tidak ada dalam Islam. Karena standar yang
benar menurut Islam, adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah SWT berfirman :

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya." (QS Al-A’raaf [7] : 3)

Kalimat "maa unzila ilaykum min rabbikum" dalam ayat di atas yang berarti "apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu", artinya adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. (Tafsir Al-
Baidhawi, [Beirut : Dar Shaadir], Juz III/2).

Jadi suatu perbuatan itu boleh atau tidak boleh dilakukan, tolok ukurnya adalah Al-
Qur`an dan As-Sunnah. Apa saja yang benar menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, berarti
boleh dikerjakan. Sebaliknya apa saja yang batil menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, berarti
tidak boleh dilakukan.

Maka kalau kita hendak menilai perbuatan muslim turut merayakan Imlek menurut
Islam, tolok ukurnya harus benar. Yaitu harus kita lihat adalah apakah perbuatan itu boleh
atau tidak menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan melihat apakah Imlek itu dari tradisi
atau dari agama.

Sungguh kalau seorang muslim menggunakan tolok ukur tadi, yaitu melihat sesuatu
itu dari tradisi atau agama, ia akan tersesat. Sebab suatu tradisi tidak selalu benar, adakalanya
ia bertentangan dengan Islam dan adakalanya sesuai dengan Islam. Contoh, free sex pada
masyarakat Barat yang Kristen. Free sex jelas telah menjadi tradisi Barat, meski perbuatan
kotor itu bukan bagian agama Kristen/Katholik, karena agama ini pun mengharamkan zina.
Lalu, apakah karena free sex itu sekedar tradisi, dan bukan agama, lalu umat Islam boleh
melakukannya? Jelas tetap tidak boleh, bukan?

Walhasil, mari kita gunakan barometer yang benar untuk menilai suatu perbuatan.
Barometernya, bukan dilihat dari segi asalnya apakah suatu perbuatan itu dari tradisi atau
agama, melainkan dilihat dari segi boleh tidaknya perbuatan itu menurut Al-Qur`an dan As-
Sunnah. Inilah pandangan yang haq, tidak ada yang lain.
2. Haram Atas Muslim Turut Merayakan Imlek

Berdasarkan dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah, haram hukumnya seorang muslim


turut merayakan hari raya agama lain, termasuk Imlek, baik dengan mengikuti ritual
agamanya maupun tidak, termasuk juga memberi ucapan selamat Gong Xi Fat Chai.
Semuanya haram.

Imam Suyuthi berkata,"Juga termasuk perbuatan mungkar, yaitu turut serta merayakan hari
raya orang Yahudi, hari raya orang-orang kafir, hari raya selain orang Arab [yang tidak
Islami], ataupun hari raya orang-orang Arab yang tersesat. Orang muslim tidak boleh
melakukan perbuatan itu, sebab hal itu akan membawa mereka ke jurang kemungkaran..."
(Imam Suyuthi, Al-Amru bi Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ’An Al-Ibtida` (terj.), hal. 91).

Khusus mengenai memberi ucapan selamat, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah


berkata,"Adapun memberi ucapan selamat yang terkait syiar-syiar kekufuran yang menjadi
ciri khas kaum kafir, hukumnya haram menurut kesepakatan ulama, misalnya memberi
selamat atas hari raya atau puasa mereka..." (Ahkam Ahli Adz-Dzimmah, [Beirut : Darul
Kutub Al-’Ilmiyah], 1995, Juz I/162).

Dalil Al-Qur`an yang mengharamkan perbuatan muslim merayakan hari raya agama kafir di
antaranya firman Allah SWT :

"Dan (hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah) orang-orang yang tidak
menghadiri kebohongan..." (QS Al-Furqan [25] : 72).

Kalimat "laa yasyhaduuna az-zuur" dalam ayat tersebut menurut Imam Ibnu
Taimiyah maknanya yang tepat adalah tidak menghadiri kebohongan (az-zuur), bukan
memberikan kesaksian palsu. Dalam bahasa Arab, memberi kesaksian palsu diungkapkan
dengan kalimat yasyhaduuna bi az-zuur. Jadi ada tambahan huruf jar yang dibaca bi. Bukan
diungkapkan dengan kalimat yasyhaduuna az-zuur (tanpa huruf jar bi). Maka ayat di atas
yang berbunyi "laa yasyhaduuna az-zuur" artinya yang lebih tepat adalah " tidak menghadiri
kebohongan", bukannya " memberikan kesaksian palsu." (M. Bin Ali Adh-Dhabi’i,
Mukhtarat min Kitab Iqtidha` Shirathal Mustaqim Mukhalafati Ash-habil Jahim (terj.), hal.
59-60)

Sedang kata "az-zuur" (kebohongan) itu sendiri oleh sebagian tabi’in seperti Mujahid,
adh-Dhahak, Rabi’ bin Anas, dan Ikrimah artinya adalah hari-hari besar kaum musyrik atau
kaum jahiliyah sebelum Islam (Imam Suyuthi, Al-Amru bi Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ’An Al-
Ibtida` (terj.), hal. 91-95). Jadi, ayat di atas adalah dalil haramnya seorang muslim untuk
merayakan hari-hari raya agama lain, seperti hari Natal, Waisak, Paskah, Imlek, dan
sebagainya.

Imam Suyuthi berdalil dengan dua ayat lain sebagai dasar pengharaman muslim turut
merayakan hari raya agama lain (Lihat Imam Suyuthi, ibid., hal. 92). Salah satunya adalah
ayat :

"Dan sesungguhnya jika kamu [Muhammad] mengikuti keinginan mereka setelah datangnya
ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang
zalim." (QS Al-Baqarah [2] : 145).
Menurut Imam Suyuthi, larangan pada ayat di atas tidak hanya khusus kepada Nabi
SAW, tapi juga mencakup umat Islam secara umum. Larangan tersebut adalah larangan
melakukan perbuatan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh atau orang kafir
[seperti turut merayakan hari raya mereka]. Sedangkan yang mereka lakukan bukanlah
perbuatan yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya (Lihat Imam Suyuthi, ibid., hal. 92).

Adapun dalil As-Sunnah, antara lain Hadits Nabi SAW,"Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka." (HR Abu Dawud).

Dalam hadits ini Islam telah mengharamkan muslim untuk menyerupakan dirinya
dengan kaum kafir pada hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka, seperti hari-hari
raya mereka. Maka dari itu, haram hukumnya seorang muslim turut merayakan hari-hari raya
agama lain (Lihat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penjelasan Tuntas Hukum
Seputar Perayaan, [Solo : Pustaka Al-Ummat], 2006, hal. 76).

Berdasarkan dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah di atas, haram hukumnya seorang


muslim turut merayakan Imlek dalam segala bentuk dan manifestasinya. Haram bagi muslim
ikut-ikutan mengucapkan Gong Xi Fat Chai kepada orang Tionghoa, sebagaimana haram
bagi muslim menghiasi rumah atau kantornya dengan lampion khas Cina, atau hiasan naga
dan berbagai asesoris lainnya yang serba berwarna merah. Haram pula baginya mengadakan
berbagai macam pertunjukan untuk merayakan Imlek, seperti live band, karaoke mandarin,
demo masak, dan sebagainya.

Semua bentuk perbuatan tersebut haram dilakukan oleh muslim, karena termasuk
perbuatan merayakan hari raya agama kafir yang telah diharamkan Al-Qur`an dan As-
Sunnah.

Terakhir, kami sampaikan seruan dan himbauan kepada saudara-saudaraku muallaf


dari etnis Tionghoa, hendaklah Anda masuk ke dalam agama Islam secara keseluruhannya
(kaffah). Janganlah Anda –semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda semua—
mengikuti langkah-langkah setan, yakni masuk ke dalam agama Islam namun masih
mempertahankan sebagian ajaran lama yang dulu Anda peluk dan Anda amalkan, seperti
perayaan Imlek. Marilah kita renungkan firman Allah SWT :

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh nyata
bagimu." (QS Al-Baqarah [2] : 208)

Ya Allah, kami sudah menyampaikannya. Saksikanlah.

Yogyakarta, 15 Pebruari 2007

Muhammad Shiddiq al-Jawi


MUALLAF TURUT MERAYAKAN HARI RAYA AGAMA LAIN DI
TENGAH KELUARGANYA

Tanya :

Nama saya Meilany (25 tahun), agama saya Islam, kakak dan ayah saya Kristen,
sedangkan ibu dan adik saya Budha. Selama ini kami hidup sama seperti keluarga lainnya.
Saya menjadi muslim ketika kuliah semester satu, sebelumnya saya ikut ayah. Ayah ibu saya
memang demokratis, membebaskan anak-anaknya untuk memeluk agama yang diyakininya,
yang terpenting bagi mereka kami tidak mempermainkan agama yang kami peluk, serta
sungguh-sungguh memegang keyakinan kami masing-masing. Di keluarga kami ada tradisi
untuk merayakan hari besar setiap agama yang kami anut secara bersama-sama, walaupun
tidak pergi ke rumah ibadahnya. Biasanya kami merayakannya dengan makan bersama,
saling mengucapkan selamat, serta berdo’a bersama. Yang membuat saya bingung adalah:

1. Bolehkah apa yang dilakukan kami sekeluarga?

2. Apakah berarti kami mempunyai tuhan yang sama?

3. Halal atau haramkah makanan yang dimasak oleh ibu saya terutama ketika merayakan hari
besar (natal, paskah, tahun baru cina) ?

4. Bagaimana sikap saya ke orang tua dan saudara-saudara seharusnya?

5. Bolehkah saya mengajak mereka untuk memeluk Islam, bagaimana caranya?

Demikian pertanyaan dari saya. Besar harapan saya bapak berkenan untuk
menanggapi pertanyaan saya ini. (Meilany, Semarang).

Jawab :

1. Hukum Merayakan Hari Raya Agama Lain

Haram hukumnya seorang muslim turut merayakan hari raya agama lain, baik dengan
mengikuti ritual agamanya maupun tidak, termasuk juga memberi ucapan selamat dan berdoa
bersama.

Merayakan hari raya agama lain haram hukumnya karena perbuatan itu termasuk
menghadiri atau mempersaksikan suatu kebohongan/kebatilan. Allah SWT berfirman :
"Dan (hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah) orang-orang yang tidak
menghadiri kebohongan..." (TQS Al-Furqan [25] : 72).

Kalimat "laa yasyhaduuna az-zuur" dalam ayat itu menurut Ibnu Taimiyah maknanya yang
tepat adalah "tidak menghadiri kebohongan (az-zuur)", bukan "tidak memberikan kesaksian
palsu". Sedang kata "az-zuur" itu sendiri oleh sebagian tabi’in seperti Mujahid, adh-Dhahak,
Rabi’ bin Anas, dan Ikrimah artinya adalah hari-hari besar kaum musyrik atau kaum jahiliyah
sebelum Islam (Imam Suyuthi, Al-Amru bi Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ’An Al-Ibtida` (terj.), hal.
91-95; M. Bin Ali Adh-Dhabi’i, Mukhtarat Iqtidha` Shirathal Mustaqim (terj.), hal. 59-60).
Jadi, ayat di atas adalah dalil haramnya seorang muslim untuk merayakan hari-hari raya
agama lain, seperti hari Natal, Waisak, Paskah, Imlek, dan sebagainya.

Selain itu, seorang muslim yang turut merayakan hari raya agama lain, berarti telah
menyerupakan dirinya dengan kaum kafir. Padahal Islam telah mengharamkan muslim untuk
menyerupakan dirinya dengan kaum kafir pada hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran
mereka, seperti hari-hari raya mereka. Hadits Nabi SAW,"Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka." (HR Abu Dawud) (Lihat Syaikh bin Baz,
Penjelasan Tuntas Hukum Seputar Perayaan, hal. 76)

Mengucapkan selamat hari raya dan berdoa bersama juga haram hukumnya, karena masih
termasuk perbuatan mempersaksikan kebohongan atau menyerupakan diri dengan kaum
kafir. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata,"Adapun memberi ucapan selamat yang terkait
syiar-syiar kekufuran yang menjadi ciri khas kaum kafir, hukumnya haram menurut
kesepakatan ulama, misalnya memberi selamat atas hari raya atau puasa mereka..." (Ahkam
Ahli Adz-Dzimmah Juz I/162)

2. Mempunyai Tuhan Yang Sama?

Seorang muslim tidak sama tuhannya dengan tuhan orang kafir, walau pun mereka
melakukan do’a bersama. Dalilnya adalah firman Allah SWT :

"Katakanlah,’Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah..." (QS Al-Kaafiruun [109] :
1-3)

Maka dari itu, wajar Allah SWT menganggap doa atau ibadat orang-orang kafir
hanyalah sia-sia belaka, sesuai firman-Nya :

"Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka." (QS Ar-Ra’d [13] : 14).

3. Hukum Makanan Hari Raya

Jika makanan hari raya itu berupa sembelihan, seperti daging sapi, dan disembelih
sendiri oleh non-muslim yang berhari raya, hukumnya haram, karena termasuk sembelihan
atas nama selain Allah atau "maa uhilla li ghairillah bihi" (QS Al-Maa`idah : 3). Adapun
jika makanan itu bukan sembelihan, seperti buah-buahan, hukumnya boleh.

’Aisyah RA isteri Nabi SAW pernah ditanya seorang wanita,"Kami punya tetangga dari
kalangan non-muslim yang selalu merayakan hari raya, lalu mereka memberi hadiah
makanan kepada kami. Apakah kami boleh memakannya?" ’Aisyah menjawab,"Adapun
hewan yang disembelih untuk hari raya itu, maka janganlah kamu memakannya. Tapi
makanlah [buah] dari pohon-pohon mereka." (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ahkam Ahli Adz-
Dzimmah, Juz I/194).

4. Sikap Terhadap Keluarga

Sikap yang perlu Anda ambil adalah : (1) Istiqamah, yakni terus konsisten
mengamalkan ajaran Islam walaupun berbeda dengan tradisi anggota keluarga lainnya (QS
11:112). Jangan sampai Anda larut dan terpengaruh dengan tradisi keluarga yang
bertentangan dengan Islam, seperti merayakan Natal bersama; (2) Memberi pengertian,
yakni menjelaskan dengan baik bahwa apapun ajaran Islam yang Anda laksanakan, semuanya
adalah karena menjalankan perintah Allah semata (QS 6:162-163), bukan karena Anda
membenci keluarga. Mudah-mudahan mereka bisa memahaminya; (3) Berperilaku baik,
terutama kepada ibu bapak. Tetaplah berbakti dan taat kepada mereka, selama apa yang
mereka minta tidak melanggar ketentuan Allah SWT (QS 29:8; QS 31:15). Allah SWT
berfirman,"Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang ibu-
bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya..."
(QS Al-’Ankabuut [29] : 8)

5. Mengajak Keluarga Masuk Islam

Mengajak keluarga masuk Islam hukumnya boleh, bahkan wajib atas Anda jika Anda
mampu. Caranya adalah dengan dakwah, baik lewat perkataan maupun perbuatan. Dengan
perkataan, maksudnya Anda mengajak mereka kepada Islam dengan ucapan-ucapan Anda
(QS 16:125). Fokuskan pada masalah aqidah (keimanan), karena aqidah adalah pondasi
agama. Dengan perbuatan, maksudnya tunjukkanlah perilaku yang baik sebagai seorang
muslim (QS 41:33). Demikianlah, selamat berdakwah Saudaraku. Semoga Allah
membimbingmu selalu. Amin

Yogyakarta, 10 Pebruari 2007

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Anda mungkin juga menyukai