Anda di halaman 1dari 502

TIM KONSULTASI SYARIAH

KEMENTERIAN AGAMA RI

Fikih Ibadah Lengkap:


Panduan Menjawab
Problematika
Umat Islam
Kekinian

DIREKTORAT URUSAN AGAMA ISLAM DAN PEMBINAAN SYARIAH


DIREKTORAT JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM
KEMENTERIAN AGAMA RI
FIKIH IBADAH LENGKAP:
PANDUAN MENJAWAB PROBLEMATIKA
UMAT ISLAM KEKINIAN

Penulis:
Tim Konsultasi Syariah Kementerian Agama RI

Editor:
Tim El-Bukhari Institute

Perancang sampul & isi:


@abeje_project

Ukuran buku : 14 x 21 cm
Jumlah halaman : xiv + 212 hlm.
ISBN : 978-623-88355-0-8

Penerbit:
DIREKTORAT URUSAN AGAMA ISLAM DAN PEMBINAAN SYARIAH
DITJEN BIMAS ISLAM
KEMENTERIAN AGAMA
Jl. MH. Thamrin, No. 6, Jakarta, Indonesia

Cetakan pertama, November 2022

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


Kata Pengantar

ALHAMDULILLAH, Puji syukur kita panjatkan kepada Allah Swt, dengan


karunia dan rahmat-Nya, buku Layanan Syariah 1 ber­judul Fikih Ibadah
Lengkap; Panduan Menjawab Problematika Umat Islam Kekinian dan
buku Layanan Syariah 2 berjudul Fikih Muamalah Kontemporer: Dari
Gaya Hidup Muslim, Toleransi Hingga Kebangsaan telah diterbitkan oleh
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik
Indonesia. Dua volume buku ini merupakan kumpulan tulisan dan
infografis yang merespons pertanyaan masyarakat muslim, baik
melalui direct message me­dia sosial, riset keyword di mesin pencari,
ataupun merespon isu keislaman yang sedang hangat dibutuhkan
jawabannya segera oleh masyarakat muslim.
Buku Layanan Syariah 1 berjudul Fikih Ibadah Lengkap; Panduan
Menjawab Problematika Umat Islam Kekinian berisikan panduan
dalam menjalankan ibadah sehari-hari umat Islam, mulai dari
thaharah (bersuci), salat, puasa, persoalan Pandemi Covid-19, zakat,
haji dan umrah. Buku ini merupakan jawaban dari kasuistik yang
menjadi problematika masyarakat muslim, di mana mereka tidak
mengetahui dan bingung atas hukum atau langkah yang sedang
mereka hadapi. Lewat buku ini, berupaya memberikan informasi

v
fikih terkait realitas keagamaan yang sering terjadi di masyarakat.
Dengan adanya buku ini diharapkan masyarakat muslim bisa
mengetahui hukum fikih aras permasalahan keagamaan tersebut.
Secara garis besar, bahasan buku ini berkutat pada 5 aspek
fikih: fikih bersuci, salat, puasa, haji dan covid, jenazah dan fikih
perempuan. Jadi materi yang dibahas merupakan konten fikih klasik
yang dielaborasikan dengan problematika kontemporer. Tentunya
ini menjadi kelebihan tersendiri, sebab fakta aktual dijawab dengan
literatur turats dan fatwa-fatwa kontemporer yang relevan. Sehingga
buku ini memiliki tipologi tersendiri, yang bisa memancarkan
karakteristiknya di hadapan buku lain.
Sementara itu, Buku Layanan Syariah 2 berjudul Fikih Muamalah
Kontemporer: Dari Gaya hidup Muslim, Toleransi Hingga Kebangsaan
membahas relasi seorang muslim dengan dirinya sendiri dan orang
lain, baik dalam konteks marital, moral, dan sosial. Adapun tema
yang dibahas dalam buku ini mengacu pada 4 aspek fikih, antara
lain; fikih nikah dan rumah tangga, muamalah dan gaya hidup,
kebangsaan dan toleransi, akikah dan kurban. 4 aspek penting dalam
kehidupan dibahas secara mendetail dan spesifik. Semoga dengan
hadirnya buku ini menjadikan kita lebih fleksibel dan berhati-hati
dalam berinteraksi dalam relasi horizontal.
Sudah jamak diketahui, bahwa teks-teks keagamaan itu terbatas,
sedang realitas dan kasuistik zaman terus menerus berubah. Sungguh
dinamika perubahan yang kian menyeruak, seyogianya segera
direspons. Maka, agaknya seorang Fakih perlu mendialektikakan
antara teks fikih dengan kasuistik yang ada. Sehingga muncullah
suatu adagium yang kini cukup familiar, yaitu:

‫تغري األحكام بتغري الزمان واملكان‬


“Hukum berubah dipengaruhi oleh perubahan zaman dan tempat”.

vi
Sehingga, seorang pembesar agama patutnya memperhatikan
pesan Imam al-Qarafi dalam kitabnya yang berjudul Anwar al-
Buruq fi Anwa’ al-Furuq, atau yang biasa dikenal dengan al-furuq.
Di mana beliau mengatakan dalam juz 1 halaman 191 sebagaimana
redaksi berikut:

ِّ ‫ت أَب ًدا ض َل ٌل ِف‬


‫الدي ِن َو َج ْه ٌل‬ ِ
َ َ ‫ود َعلَى الْ َمنـُْق َول‬ ُ ‫الُ ُم‬
ْ ‫َو‬
‫ني‬ ِ ِ َ‫السل‬ ِِ ِ ِ ِ
َ ‫ف الْ َماض‬ َّ ‫ني َو‬
َ ‫بََقاصد عُلَ َماء الْ ُم ْسلم‬
“Stagnansi dengan teks-teks (keagamaan) merupakan suatu
kesesatan dalam beragama, serta yang demikian adalah tidak
mengerti dengan spirit yang diusung oleh elite agama”.

Buku Layanan Syariah 1 dan Layanan Syariah 2 ini diharapkan


mampu menjadi salah satu rujukan dan sumber utama umat Islam
Indonesia dalam persoalan syariah yang erat kaitannya dengan
kehidupan masyarakat.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang
berkontribusi dalam penyusunan dan penerbitan buku ini. Semoga
Allah yang Maha Agung dan Maha Pengasih memberikan bim­
bingan kepada kita dan mencurahkan kurnia atas upaya kita dalam
menerbitkan buku ini.

Jakarta, 12 Rabiul Akhir 1444 H


7 November 2022 M
Direktur Urusan Agama Islam
dan Pembinaan Syariah

Dr. H. Adib, M.Ag.


NIP. 197405151998031003

vii
viii
Sambutan
Direktur Jenderal
Bimbingan
Masyarakat Islam

ALHAMDULILLAH, segala puji dan syukur kehadirat Allah Swt yang


Mahakuasa dan Maha Pengasih yang telah memberikan rahmat
dan karunia kepada kita semua sebagai hamba-Nya. Salawat serta
salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW,
beserta keluarga dan para sahabat, pengikutnya hingga hari kiamat,
semoga kita dapat berkumpul dengan mereka di surga-Nya, Amin.
Alhamdulillah, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan
Syariah Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama
Republik Indonesia Republik Indonesia telah berhasil menerbitkan
Buku Layanan Syariah I yang berjudul Fikih Ibadah Lengkap; Panduan
Menjawab Problematika Umat Islam Kekinian dan Buku Layanan
Syariah II dengan judul Fikih Muamalah Kontemporer: Dari Gaya
Hidup Muslim, Toleransi Hingga Kebangsaan..
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2016
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama, tepatnya pada
Pasal 411 Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah
mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan, standardisai, bimbingan teknis, dan evaluasi, serta
pengawasan di bidang urusan agama Islam dan pembinaan syariah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh

ix
karena itu, sejak awal Kementerian Agama telah berkomitmen untuk
mewujudkan layanan prima kepada seluruh masyarakat Indonesia
terkait kebutuhan pelayanan syariah.
Buku ini merupakan salah satu bukti nyata kehadiran Kementerian
Agama dalam menjawab problematika masyarakat Indonesia.
Persoalan-persoalan yang ada dalam buku ini bersumber dari
pertanyaan masyarakat yang masuk lewat komentar website dan
akun media sosial resmi Bimbingan Masyarakat Islam, baik itu
via Facebook @Ditjen Bimbingan Masrakat Islam RI, Twitter @
Bimasislam, Instagram @Bimasislam, ataupun komentar via Youtube
@Bimas Islam TV.
Akhirnya, kami selaku Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam menyampaikan apresiasi kepada Tim Penyusun Buku Layanan
Syariah I yang berjudul Fikih Ibadah Lengkap; Panduan Menjawab
Problematika Umat Islam Kekinian dan Buku Layanan Syariah II
berjudul Fikih Muamalah Kontemporer: Dari Gaya Hidup Muslim,
Toleransi Hingga Kebangsaan. Semoga upaya kita dalam memberikan
pelayanan terbaik kepada umat Islam menjadi catatan amal baik
di sisi Allah Swt. Amin.

Jakarta, 12 Rabiul Akhir 1444 H


7 November 2022 M
Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam

Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A


NIP. 19690105 199603 1 003

x
Daftar Isi

Kata Pengantar...................................................................... v
Sambutan Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam.................................................................. ix

FIKIH BERSUCI

Lupa Pakai Shampo Saat Mandi Wajib,


Apakah Mandi Wajib Sah?................................................ 5
Bolehkah Orang Junub Mengutip
Ayat Al-Quran untuk Berdalil?......................................... 11
Adab Tidur dalam Keadaan Junub.................................... 15
Tata Cara Mandi Wajib..................................................... 19
Hukum Mandi Wajib Menggunakan Air Hangat............... 23
Hukum Orang Junub Membaca Ayat-ayat Ruqyah,
Apakah Boleh?................................................................. 27
Buang Air Kecil atau buang angin (kentut)
Saat Mandi Wajib, Apakah Mandi Batal?.......................... 31
3 Hal yang Membatalkan Tayamum................................. 35
Penumpang Melakukan Tayamum di Pesawat,
Sahkah Hukumnya?......................................................... 39
6 Hal yang Membatalkan Wudhu..................................... 43
Sebaiknya Mengeringkan Anggota Tubuh

xi
Bekas Air Wudhu Atau Tidak?.......................................... 47
Apakah Gusi Berdarah Membatalkan Wudhu?................. 51
Memakai Skincare Setelah Berwudhu,
Apakah Wudhu Batal?...................................................... 55
Cara Menyucikan Kencing Bayi Laki-laki.......................... 59
Hukum Mengosumsi Kotoran Ikan Teri............................ 63
Hukum Bersuci Pakai Tisu................................................ 67
Hukum Darah Ikan, Apakah Suci Atau Haram?............... 71

SALAT, HAJI, DAN COVID-19

Allah Tidak Butuh Manusia, Kenapa Manusia


Disuruh Salat?.................................................................. 77
Hukum Salat Sunnah Sambil Duduk................................ 81
Saat Salat Sebaiknya Memejamkan
Mata Atau Tidak?.............................................................. 85
Hukum Mematuhi Prokes Selama Pandemi...................... 91
Ulama Anjurkan Lakukan Vaksinasi
Untuk Mengakhiri Covid-19.............................................. 97
Bolehkah Salat di Atas Kasur?.......................................... 103
Hukum Mengganti Salat Jumat dengan Zuhur
di Masa Pandemi untuk Wilayah Zona Merah................... 105
Hukum Memakai Masker Saat Salat................................. 113
Hand Sanitizer Beralkohol, Sucikah
Dipakai Salat?................................................................... 117
Hukum Memilih Salat Berjamaah di Rumah
Selama Pandemi............................................................... 121
Hukum Menjaga Jarak Saat Salat Jamaah
Semasa Pandemi.............................................................. 127
Hukum Salat Idul Adha di Rumah Selama
Pandemi Covid-19............................................................. 131

xii
Hukum Badal Haji untuk Orang yang
Sudah Meninggal.............................................................. 147
Belum Pernah Haji, Apakah Boleh
Menjadi Badal Haji?.......................................................... 151
Ini 4 Amalan yang Pahalanya Setara
Ibadah Haji dan Umrah.................................................... 155

FIKIH PUASA

Bolehkah Puasa Zulhijah Tidak Full 9 Hari?..................... 161


Bolehkah Puasa Senin dan Kamis di Bulan Zulhijah?....... 165
Keutamaan Puasa Arafah................................................. 169
Keutamaan Puasa Tarwiyah............................................. 173
Cara Niat Puasa Tarwiyah dan Arafah.............................. 177
Hukum Berpuasa 10 Hari Pertama Bulan Muharram........ 181
Alasan Mengapa 10 Muharam Disebut Asyura.................. 185
Anjuran Menyantuni dan Mengusap
Kepala Anak Yatim di Bulan Muharam............................. 189
Amalan-amalan Sunnah di Malam Nisfu Sya’ban............ 193
Cara Niat Puasa Ramadan Sebulan Penuh....................... 197
Istri Menyiapkan Buka Puasa Untuk Keluarga,
Apakah Mendapat Pahala?............................................... 201
Hukum Bermesraan dengan Istri Saat Puasa,
Batalkah Puasanya?......................................................... 205

Daftar Pustaka ...................................................................... 209

xiii
Fikih Ibadah Lengkap:
Panduan Menjawab
Problematika
Umat Islam
Kekinian

1
FIKIH
BERSUCI

2
3
4
Lupa Pakai Shampo
Saat Mandi Wajib,
Apakah Mandi Wajib Sah?

MENURUT FIKIH ISLAM, orang yang sedang junub (hadas besar),


wajib hukumnya mandi. Kewajiban mandi itu berlaku bagi laki-
laki ataupun perempuan. Tak ada perbedaan hukum. Semua wajib
mandi bagi yang terkena hadas besar.  
Ada pun penyebab wajib mandi antara lain; berhubungan intim,
mimpi basah, keluar mani, perempuan melahirkan, atau setelah usai
masa haid bagi perempuan. Pendek kata, jika belum mandi junub,
maka ibadah (seperti salat, masuk masjid, membaca Al-Qur’an)
yang dikerjakannya tidak dianggap sah.
Suruhan untuk mandi itu tercantum dalam al-Qur’an Q.S al-
Maidah/5;6, Allah menjelaskan:

‫َوإِ ْن ُكنـْتُ ْم ُجنـُبًا فَاطَّ َّهُروا‬


Jika kamu junub maka mandilah

Dan juga firman Allah dalam an-Nisa ayat 43:

‫الص ٰلوَة َواَنـْتُ ْم ُس َك ٰارى َح ّٰت‬ َّ ‫ٰٓيَيـَُّها الَّ ِذيْ َن اٰ َمنـُْوا َل تـَْقَربُوا‬
ۗ ‫تـَْعلَ ُم ْوا َما تـَُق ْولُْو َن َوَل ُجنـُبًا اَِّل َعابِ ِر ْي َسبِْي ٍل َح ّٰت تـَ ْغتَ ِسلُ ْوا‬
5
Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat
ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa
yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid
ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati
jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub) (QS. an-Nisa: 43).

Ketika mandi wajib ada dua rukun yang wajib dipenuhi orang
yang berhadas besar. Pendapat ini disampaikan oleh Syekh Nawawi al
Banteni dalam kitab Safinatun Najah.  Pertama, adalah niat. Seorang
yang ingin mandi wajib, berniat dalam hati ingin menghilangkan
hadas besar dari tubuhnya. Yang kedua adalah meratakan air ke
seluruh tubuh bagian luar (dzahirul badan), tak terkecuali rambut,
dan bulu-bulu yang ada di tubuh; yang tebal ataupun tipis.
Imam  Nawawi al Banteni dalam kitab Safinatun Najah berkata;

ِ َ‫فـروض الْغُس ِل اِثـن‬


‫ان النِّيَّةُ َوتـَْع ِمْي ُم الْبَ َد ِن ِبلْ َم ِاء‬ ْ ْ ُ ْ ُُ
Fardu atau rukunnya mandi ada dua, yakni niat dan meratakan
air ke seluruh tubuh.

Sementara itu, Syaikh Abu Bakr Syatha Ad Dimyathi dalam


I‘anatut Thalibin, menyebutkan kewajiban meratakan air ke seluruh
tubuh bagian luar ini disebabkan karena hadas mengenai seluruh
tubuh. Sehingga jika ada bagian tubuh yang tidak terkena air, maka
hadas di bagian tubuh itu tidak hilang. Argumen ini bisa ditemui
dalam kitab I’anatut Thalibin. Ia berkata sebagai berikut:

‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِِ ِ ِ ِ َِّ


َ ‫ص َّح م ْن قـَْوله‬
َ ‫ب تـَْعمْي ُمهُ ل َما‬
َ ‫َوإنَا َو َج‬
ِ ِ ِ
‫ض بـَْع َد‬ َ ‫ب َعلَى َرأْسي ثََل ًث ُثَّ أُفْي‬ ُ ‫أ ََّما أ ََن فـَيَ ْكفْي ِن أَ ْن أ‬
َّ ‫َص‬
‫جْي َع الْبَ َد ِن‬ َِ ‫ث ع َّم‬
َ َ ‫الَ َد‬
ْ ‫َن‬ َّ ‫ك َعلَى َسائِِر َج َس ِدي َوِل‬ ِ
َ ‫َذل‬

6
‫ب تـَْع ِمْي ُمهُ ِبلْغُ ْس ِل‬
َ ‫فـََو َج‬
Kewajiban meratakan air ke seluruh tubuh berdasarkan hadis
shahih, Nabi Saw bersabda: Adapun aku, cukup bagiku me­
nuangkan air sebanyak 3 kali di atas kepalaku, kemudian aku
menuangkannya setelah itu ke seluruh tubuhku. Juga karena
hadas itu mengenai seluruh tubuh secara merata sehingga wajib
diratakan dengan air melalui basuhan.

Hukum Mandi Wajib Tanpa Shampo 

Untuk itu, dari penjelasan ulama mazhab Syafi’i di atas dapat


ditarik kesimpulan bahwa rukun mandi wajib hanya niat dan me­
ratakan air ke seluruh tubuh. Mandi janabah hanya membutuhkan
niat dan air, dan tidak perlu dengan shampo atau cairan pembersih
apa pun. 
Dengan demikian, bila seorang muslim melaksanakan mandi
wajib dan tidak menggunakan shampo atau sabun mandi lain,
maka mandi wajib tetap sah. Pasalnya, tidak ditemukan kewajiban
menggunakan sampo ketika mandi janabah. 
Hal ini kembali ditegaskan Habib Syekh Hasan bin Ahmad
bin Muhammad bin Salim al- Kaff secara terperinci dalam kitab
at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah, yang menekankan
rukun mandi itu cuma ada dua hal saja. Simak penjalasan Habib
Hasan Al Kaff:

‫ أ ََّو ُل الْغُ ْس ِل ِلَ َّن‬: ‫ َوقـْتـَُها‬,ُ‫ان; االََّو ُل النِّيَّة‬ِ َ‫فـروض الْغُس ِل اثـن‬
ْ ْ ُ ْ ُُ
ِ ‫ و الث‬,‫اح ِد‬
‫َّان ; تـَْع ِمْي ُم الْبَ َد ِن‬ ِ ‫ض ِو الْو‬ ِ
َ َ ْ ُ‫الْبَ َد َن ف الْغُ ْس ِل َكالْع‬
.‫ اي ; ُك ِّل الْبَ َد ِن‬, ‫ِبلْ َم ِاء‬

7
Fardu mandi itu ada dua ; yang pertama niat. Adapun waktu niat
itu adalah pada awal mandi, karena sesungguhnya badan pada
waktu mandi seperti anggota yang satu. kedua, mengalirkan air
pada seluruh badan. 
  

8
Kewajiban meratakan air ke
seluruh tubuh berdasarkan hadis
shahih, Nabi Saw bersabda:
Adapun aku, cukup bagiku
menuangkan air sebanyak 3 kali
di atas kepalaku, kemudian aku
menuangkannya setelah itu ke
seluruh tubuhku. Juga karena
hadas itu mengenai seluruh tubuh
secara merata sehingga wajib
diratakan dengan air melalui
basuhan.

Syaikh Abu Bakr Syatha Ad Dimyathi,


I’anatut Thalibin

9
10
Bolehkah Orang Junub
Mengutip Ayat Al-Quran
untuk Berdalil?

DALAM SEBUAH KESEMPATAN, pernah ada seseorang yang bertanya


mengenai hukum mengutip ayat Al-Quran untuk berdalil bagi orang
yang junub. Pasalnya, dia pernah dalam keadaan junub ditanya
mengenai masalah hukum dan ditanya pula mengenai dalil Al-
Qurannya. Akhirnya, dia mengutip ayat Al-Quran untuk berdalil
padahal dia dalam keadaan junub. Apakah boleh bagi orang junub
mengutip ayat Al-Quran untuk berdalil?
Mengutip ayat Al-Quran bagi orang yang junub untuk dijadikan
dalil dalam sebuah masalah hukum, hukumnya adalah boleh, tidak
haram. Tidak masalah bagi orang junub atau orang yang sedang
dalam keadaan hadas besar seperti perempuan haid dan nifas
mengutip ayat Al-Quran dengan tujuan untuk berdalil.
Ini karena yang haram bagi orang yang hadas besar, seperti
orang junub, haid dan nifas, adalah membaca Al-Quran dengan
tujuan dan niat membaca Al-Quran. Namun jika diniatkan selain
membaca Al-Quran, seperti diniatkan untuk zikir, untuk doa, untuk
ruqyah, untuk berdalil dalam sebuah permasalahan hukum, maka
hukumnya boleh, tidak haram. 
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Hasyiah Al-Bujairimi
berikut:

11
‫اع ِظ ِه‬
ِ ‫آن و َغيـرها َكمو‬ ِ
َ َ َ ُْ َ ‫ث أَ ْكبـَُر أَذْ َك ُار الْ ُق ْر‬ ٌ ‫َِي ُّل لِ َم ْن بِِه َح َد‬
ِ ِ ‫وأَخبا ِرِه وأَح َك ِام ِه َل بَِقص ِد الْ ُقر‬
:‫وب‬ ُّ ‫آن َك َق ْول ِه ِعْن َد‬
ِ ‫الرُك‬
ْ ْ ْ َ َْ َ
ِ ِ
} ‫ني‬ َ ‫{سْب َحا َن ا لَّذ ي َس َّخَر لَنَا َه َذ ا َو َما ُكنَّا لَهُ ُم ْق ِرن‬ ُ
َِِّ ‫ {إِ َّن‬:‫صيب ِة‬
‫ل‬ ِ ِ ِ ِ ‫] أ‬31 :‫[الزخرف‬
َ ‫ َوعْن َد الْ ُم‬،‫ني‬ َ ‫َي ُمطيق‬ ْ
ِِ ِ ِ
ُ‫] َوَما َجَرى بِه ل َسانُه‬651 :‫َوإِ َّن إِلَْيه َراجعُو َن} [البقرة‬
‫ َوإِ ْن‬،‫ص َد الْ ُق ْرآ َن َو ْح َدهُ أ َْو َم َع ال ِّذ ْك ِر ُحِّرَم‬
َ َ‫ق‬ ‫ن‬
ْ ِ
‫إ‬َ‫ف‬ ٍ ‫بِ َل قَص‬
‫د‬ ْ
.‫أَطْلَ َق فَ َل‬
Halal bagi orang yang sedang hadas besar membaca zikir-zikir
Al-Quran dan lainnya, seperti peringatan-peringatannya, kabar-
kabarnya (kisah-kisahnya), dan hukum-hukumnya tanpa niat
membaca Al-Quran. Seperti ketika naik kendaraan membaca;
Subhānal ladzī sakhkhara lanā hādzā wa mā kunnā lahū muqrinīn,
dan ketika musibah membaca; Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn.
Dan halal membaca sesuatu yang terbiasa pada lidahnya tanpa
bermaksud membaca Al-Quran. Jika bermaksud membaca Al-
Quran, atau bermaksud membaca Al-Quran dan zikir, maka
hukumnya haram. Dan jika memutlakkan, tidak bermaksud
mem­baca keduanya, maka tidak haram.

Disebutkan dalam kitab Minah al-Jalil, bahwa di antara ayat-ayat


Al-Quran yang boleh dibaca oleh orang yang junub adalah bila
diniatkan sebagai dalil dalam sebuah hukum syariat. Ini sebagaimana
disebutkan berikut:

‫ف َولَ ْو ِبََرَك ِة‬ ٍ ‫صح‬ ِ ِ ِ


َ ْ ‫س ُم‬ ّ ‫الَنَابَةُ (الْقَراءَ َة) ب َل َم‬ ْ ‫(و) تَْنَ ُع‬
َ
ِ
ً‫الَنَابَةُ إ ْذ َل تـَُع ُّد قَراءَة‬ ِ ‫اللِّسان فـََق ْط وأ ََّما ِبلْ َق ْل‬
ْ ‫ب فَ َل تَْنـَعُ َها‬ ِ
َ َ
12
ْ ‫(إل) قَِراءَ َة ( َكآيٍَة) ِف الْيَ َس َارِة َو‬....‫ا‬
)‫الَِّف ِة (لِتـََع ُّوٍذ‬ َّ ‫َش ْر ًع‬
ِ ِ َْ‫ص والْم َع ِو َذتـ‬ ِ ِ ِ
ْ ‫(وَْن ِوه) أ‬...
‫َي‬ َ ‫ي‬ ّ ُ َ ِ ‫َكآيَة الْ ُك ْرس ِّي َو ْال ْخ َل‬
‫استِ ْدَل ٍل َعلَى ُح ْك ٍم َش ْر ِع ٍّي‬ ِ
ْ ‫التـََّع ُّوذ َكُرقـْيَا َو‬
Orang junub dicegah membaca Al-Quran meskipun tanpa me­
megang mushaf dan hanya menggerakkan lisan saja. Adapun
membaca dengan hati, maka tidak perlu dicegah karena hal itu
tidak dinilai membaca secara syariat. Kecuali (tidak perlu dicegah)
jika membaca ayat untuk perlindungan, seperti ayat Kursi, surah
Al-Ikhlas, surah Al-Falaq dan Al-Nas, dan ayat-ayat lainnya, seperti
ayat ruqyah dan untuk tujuan berdalil atas suatu hukum syar’i. 

13
14
Adab Tidur dalam
Keadaan Junub

SEORANG YANG TENGAH dalam keadaan junub di malam hari,


diperbolehkan menunda mandi janabah. Ataupun diperbolehkan
seseorang tidur, kendatipun dalam keadaan terkena hadas besar.
Penjelasan demikian bisa dijumpai dalam kitab Ibnu Rajab dalam
kitab Fathul Bari Li Ibni Rajab, Jilid I, halaman 346; 

‫ت‬ ِ ِ ِ ْ ‫النُب لَه َتْ ِخيـر غُس ِل‬ َّ ‫أ‬


ُ ْ‫الَنَابَة َما َلْ يَض ْق َعلَْيه َوق‬ ْ ُْ ُ َ ُْ ‫َن‬
 ‫الص َل ِة‬
َّ
Sungguh seorang yang tengah dalam junub diperbolehkan menun­
da mandi junubnya selama waktu salat tidak hampir baginya.

Penjelasan ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat


Imam Al-Bukhari dan Muslim, yang bersumber dari sahabat Abu
Hurairah, yang termaktub dalam kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar
As-Qalani sebagai berikut:

‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه‬


َ ‫َّب‬ َّ ‫ أ‬-ُ‫ر ِضي هللاُ َعْنه‬-
َّ ِ‫َن الن‬ ِ
َ َ ‫َع ْن أَب ُهَريـَْرَة‬
‫ت‬ ِ ِ ِ ِ ‫وسلَّم لَِقيه ِف بـع‬
ُ ‫ فَ ْانَنَ ْس‬،‫ب‬ ٌ ُ‫ َوُه َو ُجن‬،‫ض طُُرق الْ َمديـْنَة‬ َْ ُ َ َ َ َ
15
‫ت َي أ ََب‬ ِ
َ ‫ “أَيْ َن ُكْن‬:‫ال‬ َ ‫ فـََق‬،َ‫ ُثَّ َجاء‬،‫ فَا ْغتَ َس َل‬،‫ب‬َ ‫ فَ َذ َه‬،ُ‫مْنه‬
‫ك َوأ ََن َعلَى‬ ِ ‫ فَ َك ِرهت أَ ْن أ‬،‫ ُكْنت جنـبا‬:‫ال‬
َ ‫ُجال َس‬ َ ُ ْ ًُ ُ ُ َ َ‫ُهَريـَْرَة؟” ق‬
ِ‫ إِ َّن الْمسل‬،‫هللا‬
ِ ‫ “سبحا َن‬:‫ال‬
‫س‬
ُ ‫ج‬
ُ ‫ن‬
َْ‫ـ‬ ‫ي‬ ‫ل‬َ ‫م‬
َ ْ ُ َ ْ ُ َ ‫ فـََق‬،‫َغ ِْي طَ َه َارٍة‬
Dari Abu Hurairah r.a., bahwasannya Nabi saw. (suatu hari pernah)
menemuinya di salah satu jalan Madinah, sedangkan ia dalam
keadaan junub. Maka, ia pun menghindar dari Nabi saw., pergi
dan mandi besar. Kemudian ia datang lagi. Nabi saw. bertanya,
“Di manakah kamu tadi wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah
menjawab, “Saya dalam keadaan junub, saya malu duduk-dukuk
bersamamu sedangkan aku dalam keadaan tidak suci.” “Maha
Suci Allah, sungguh muslim itu tidak najis.”

Kendati diperbolehkan, seorang yang hendak tidur dalam ke­


adaan junub disunnahkan untuk berwudhu terlebih dahulu. Ini
merupakan adab tidur dalam keadaan junub. Hal ini berdasarkan
hadis Nabi yang bersumber dari Aisyah,  yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim; 

‫َن َر ُس ْو ُل اللَِّ صلَّى هللاُ علَْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا أ ََر َاد أَ ْن َيْ ُك َل أ َْو يـَنَ َام‬
َّ ‫أ‬
. َ‫وضأ‬
َّ َ‫ ت‬، ‫جنب‬ٌ ‫هو‬ َ ‫َو‬
Sesungguhnya Nabi saw. ketika hendak makan atau tidur sedang­
kan beliau dalam keadaan junub, maka beliau wudhu

Para ulama menjelaskan orang yang hendak tidur, maka di­an­


jurkan untuk berwudhu terlebih dahulu. Pun orang yang tengah
junub, ketika hendak makan dan minum terlebih dahulu melak­
sanakan wudhu terlebih dahulu. Dengan demikian,  orang yang
junub diperbolehkan mengakhirkan mandi wajib, selama tidak
ada kewajiban mendesak. 

16
Adab kedua bagi orang yang ingin tidur padahal tengah dalam
keadaan adalah membasuh kemaluannya. Penjelasan ini terda­
pat dalam sebuah hadis riwayat Aisyah, yang menjelaskan Nabi
Muhammad membasuh kemaluan sebelum tidur saat tengah junub.
Nabi bersabda;  

‫َّب – صلى هللا عليه وسلم – إِ َذا أ ََر َاد أَ ْن يـَنَ َام َوْه َو‬ ُّ ِ‫َكا َن الن‬
‫ضأَ لِلصَّالَِة‬
َّ ‫ َوتـََو‬، ُ‫ َغ َس َل فـَْر َجه‬، ‫ب‬ ٌ ُ‫ُجن‬
Nabi Muhammad SAW, jika hendak tidur, padahal dalam keadaan
junub, maka beliau mencuci kemaluannya terlebih dahulu dan
lalu berwudhu sebagaimana melaksanakan wudhu untuk salat.

Demikianlah penjelasan adab tidur dalam keadaan junub.


Semoga bermanfaat

17
18
Tata Cara
Mandi Wajib

SEORANG MUSLIM ATAU MUSLIMAH yang sedang dalam keadaan


junub (hadas besar), maka diwajibkan hukumnya untuk mandi.
Mandi itu berfungsi sebagai medium untuk menghilangkan hadas
besar yang ada dalam  tubuh. Saat selesai mandi, maka orang yang
berhadas besar itu sudah suci kembali. 
Menurut Habib Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin
Salim al- Kaff, dalam kitab at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah,
fardu atau rukun mandi wajib ada  dua perkara. Pertama niat mandi
wajib. Kedua, mengalirkan air pada seluruh badan. Simak penjelasan
Habib Hasan Al Kaff berikut;

‫ أ ََّو ُل الْغُ ْس ِل ِلَ َّن‬: ‫ َوقـْتـَُها‬,ُ‫ان; االََّو ُل النِّيَّة‬ ِ َ‫فـروض الْغُس ِل اثـن‬
ْ ْ ُ ْ ُُ
‫َّان ; تـَْع ِمْي ُم الْبَ َد ِن‬ ِ ِ
ِ ‫ و الث‬,‫ض ِو الْواحد‬ ِ
َ َ ْ ُ‫الْبَ َد َن ف الْغُ ْس ِل َكالْع‬
‫ اي ; ُك ِّل الْبَ َد ِن‬, ‫ِبلْ َم ِاء‬
Rukun mandi wajib itu ada dua hal; pertama, niat. Adapun waktu
melafadzkan niat adalah ketika melakukan basuhan pertama
pada badan. Pasalnya, dalam hal mandi wajib, semua menjadi
anggota yang satu. Rukun mandi kedua adalah mengalirkan air
ke seluruh badan. 

19
Nah untuk lebih jelas, mari kita urai tata cara mandi wajib agar
mudah dipahami. Pertama, adalah niat. Adapun niat mandi wajib itu
harus dilakukan bersamaan dengan menyiramkan air saat pertama
kali ke anggota badan. Artinya, ketika seorang yang ingin mandi
wajib menyiram badan, maka siraman badan itu harus dibarengi
dengan niat. Semua anggota badan boleh didahulukan disiram
pada saat mandi wajib. Untuk itu boleh dimulai dari bagian atas,
bawah ataupun tengah badan.
Adapun niat mandi wajib sebagai berikut;

ِ ‫نـويت اْلغُسل لِرفْ ِع اْحل َد‬


ِ ‫ فـرضا‬ ‫ث ْالَ ْك ِب ِمن اْ ِلناب ِة‬
‫هلل‬ ً َْ َ َ َ َ َ َ َ ْ ُ ْ ََ
‫تـََع َال‬
Nawaitul Ghusla Liraf’il Hadatsil Akbari  minal janabah Fardhan
Lillaahi Ta’aalaa.
Aku niat mandi besar untuk menghilangkan hadas besardari
sebab Janabah  fardhu karena Allah Swt.”

Rukun mandi  wajib yang kedua adalah mengalirkan air ke


seluruh badan  bagian luar, termasuk rambut dan bulu-bulu yang
ada di badan. Penting untuk jadi catatan, untuk bagian tubuh yang
berambut atau berbulu, maka air harus mengalir sampai ke kulit
dalam. Untuk itu, seyogianya sebelum mandi dipastikan terlebih
dahulu agar tubuh sudah tidak mengandung najis atau tubuh
terbebas dari benda yang bisa mencegah air mengalir ke kulit badan.
Itulah rukun mandi wajib yang hendaknya diperhatikan orang
yang ingin mandi junub atau mandi janabah. Bila rukun mandi ini
sudah dilaksanakan orang yang berhadas besar, maka mandinya
sudah terbilang sah. Maka ibadah seperti salat, membaca Al-Qur’an,
dan masuk masjid, boleh dilaksanakannya.
Lebih lanjut, di samping rukun mandi wajib, Habib Hasan AlKaff

20
juga menerangkan suna-sunah mandi wajib.  Sunah mandi wajib
ini untuk menyempurnakan mandi wajib seseorang. Berikut kete­
rangan sunnah mandi wajib yang termaktub dalam kitab at-Taqrir
as-Sadidah fil Masailil Mufidah.
Pertama, seorang yang hendak mandi wajib menghilangkan
kotoran yang ada di badan. Inilah kata Habib Hasan Al Kaff yang
pertama: membersihkan badan dari segala kotoran yang menempel,
misalnya air kencing, air madzi, atau benda najis lain.
Kedua, orang mandi itu seyogianya menghadap kiblat. Kemudian
setelah itu mengucapkan basmalah. Kemudian diteruskan memakai
siwak. Dilanjutkan dengan membasuh dua tangan, kemudian
berkumur-kumur dan memasukkan air ke lubang hidung sebanyak
tiga kali. 
Ketiga, dan membasuh dua kemaluannya (anus dan zakar) dan
yang ada disekitarnya. Dengan niat, untuk menghilangkan hadas.
Keempat, melaksanakan wudhu terlebih dahulu sebagaimana
wudhu untuk melaksanakan ibadah. Jika memungkinkan saat
berwudhu itu, menutup aurat terlebih dahulu. Jika tidak, tak mengapa
wudhu dalam keadaan telanjang. 
Kelima, mengalirkan air dari atas kepalanya terlebih dahulu,
kemudian melakukan basuhan dimulai dari arah kanan terlebih
dahulu, kemudian yang di belakang yang kanan. Selanjutnya, 
membasuh yang arah kiri dan yang belakangnya.  
Inilah penjelasan tentang tata cara mandi wajib dilengkapi
dengan fardu dan sunnahnya. Semoga bermanfaat.

21
22
Hukum Mandi Wajib
Menggunakan Air Hangat

SEORANG MUSLIM yang sedang dalam keadaan junub (hadas besar),


maka diwajibkan hukumnya untuk mandi. Mandi itu berguna untuk
menghilangkan hadas besar yang ada dalam  tubuhnya. Saat selesai
mandi, maka ia sudah suci kembali. Artinya sudah bisa melaksana­
kan ibadah yang membutuhkan bersuci sebelum melaksanakannya.
Menurut Habib Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim
al- Kaff, dalam kitab at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah, yang
mewajibkan mandi seseorang itu ada enam perkara. Kemudian yang
enam itu di bagi dua macam; ada yang khusus buat perempuan,
yakni; haid, melahirkan, dan nifas. Selanjutnya, yang tiga sisanya
terdapat pada laki-laki dan perempuan, yakni; melaksanakan
hubungan seksual, keluar mani, dan mandi sebab kematian. 

‫ص ِبلنِّ َس ِاء‬
ُّ َ‫ايْت‬َ ‫ َم‬: ‫ان‬ ِ ‫موِجبات الْغُس ِل ِستَّةٌ وِهي قِسم‬
َْ َ َ ْ ُ َ ُْ
‫ال‬
ُ ‫الر َج‬ ِّ ‫ َمايَ ْش َِت ُك فِْي ِه‬.ُ‫ض َوالنِّ َفاس َوالْ ِوَل َدة‬ ُ ‫الَْي‬
ْ : ٌ‫ثََلثَة‬
ُ
‫ت‬ُ ‫ن َوالْ َم ْو‬ ْ :ٌ‫َوالنِّ َساءُ ثََلثَة‬
ِِّ ‫الِ َماعُ َو ُخُرْو ُج الْ َم‬
yang mewajibkan mandi ada 6 perkara, kemudian di bagi dua
lagi. Ada yang dikhususkan untuk perempuan saja—itu ada tiga:

23
haid, nifas, dan melahirkan. Kemudian, ada yang terdapat pada
laki-laki dan perempuan—itu ada tiga juga—, yakni; jima’, keluar
mani, dan kematian.

Adapun mandi wajib yaitu dengan menggunakan air. Air adalah


salah satu alternatif dalam bersuci. Sebagaimana termaktub dalam
kitab  Nihayatuz Zain Fi Irsyadi Al-Mubtadiin, karya, Abu Abdil
Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi, halaman 28. Imam
Nawawi Banten mengatakan:

َِ ‫الْغُسل و ح ِقيـ َقتُه َشرعا سي َل ُن الْم ِاء علَى‬


‫جْي ِع الْبَ َد ِن بِنِيَّ ٍة‬ َ َ ََ ً ْ ُ ْ َ َ ُ ْ
ً‫َولَ ْو َمْن ُد ْوبَة‬
Menurut syariat mandi itu adalah mengalirkan air ke seluruh
badan dengan niat mandi, meskipun itu mandi sunat.

Kemudian muncul persoalan, tatkala air yang digunakan untuk


mandi wajib itu adalah air hangat. Air hangat yang dimaksud dalam
hal ini adalah yang dipanaskan oleh kayu api atau yang lebih modern
menggunakan  water heater. Nah bagaimana status hukum mandi
wajib menggunakan air hangat?
Ibnu Hajar al Asqallani dalam kitab Fathul Bari menjelaskan
bahwa boleh hukumnya melaksanakan mandi wajib atau mandi
janabah menggunakan air hangat. Praktik mandi wajib mengguna­
kan air hangat, menurut Ibnu Hajar pernah dilakukan sahabat Nabi
Muhammad Saw. Ibnu Hajar menjelaskan:

‫َوأ ََّما َم ْسأَلَةُ التَّطَ ُّه ِر ِبلْ َم ِاء الْ ُم َس َّخ ِن فَاتـََّف ُق ْوا َعلَى َج َوا ِزِه اَِّل‬
‫اه ٍد‬
ِ ‫ما نُِقل عن ُم‬
َ َْ َ َ
Masalah bersuci dengan air  hangat, para ulama sepakat bo­
leh kecuali riwayat yang dinukil dari Mujahid.” (Fathul Bari, 1:299)

24
Kemudian diriwayatkan dari Atha’ bahwa beliau mendengar
Ibnu Abbas r.a mengatakan:

ِ َّ ‫َل بْس أَ ْن يـ ْغتَسل ِب ْل ِمي ِم ويـتـو‬


ُ‫ضأُ مْنه‬ ََُ َ َ َ َ ُ َ َ
Boleh seseorang mandi atau berwudhu dengan air hangat.” (HR
Abdurrazzaq).

Sementara itu, Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, ensiklopedi


masalah fikih kontemporer yang diterbitkan oleh Kementerian Wakaf
dan Urusan Keislaman Kuwait menjelaskan bahwa mandi atau
berwudhu menggunakan air panas hukumnya boleh. Kebolehan
menggunakannya itu sama ada yang dipanskan menggunakan
benda suci ataupun bernajis. Berikut penjelasannya:

َّ ‫ب الْ َمالِ ِكيَّةُ َوالشَّافِعِيَّةُ إِ َل أ‬


‫الْ ُم َس َّخ َن ِبلنَّا ِر‬  َ‫َن الْ َماء‬ َ ‫ َذ َه‬ 
‫اف‬
َ ‫َض‬ َ ‫وأ‬ 
ِ ِ ِ ِ ‫الَ ي ْكره‬
َ ،ُ‫ نـَْه ٍي َعْنه‬  ‫است ْع َما لُهُ ل َع َد م ثـُبُوت‬ ْ َُ ُ
‫ال‬َ َ‫مغَلَّظٍَة َوإِ ْن ق‬  ٍ ‫ ولَو َكا َن التَّس ِخني بِنَج‬: ُ‫الشَّافِعِيَّة‬
ُ ‫اسة‬ َ َ ُ ْ َْ
ٌ‫ض ُه ْم فِ ِيه َوقـَْفة‬
ُ ‫بـَْع‬
Ulama dari kalangan mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat
bahwa menggunakan air yang dipanaskan dengan api itu boleh
dan tidak makruh, pasalnya tidak ada larangan menggunakannya,
dan berpendapat ulama dari Syafi’iyah: sekalipun air panas itu
dipanaskan menggunakan najis yang mughallazah (berat), dan
berkata sebagian ulama syafi’i ini pendapat yang kuat. 

Dengan demikian, boleh hukumnya mandi wajib menggunakan


air hangat. Pasalnya, tak ada larangan mandi menggunakan air
panas. Tak kalah penting, air hangat berbeda dengan air musyammas
(air yang dipanaskan di bawah terik sinar matahari). Untuk itu, tak
ada larangan menggunakan air hangat untuk keperluan bersuci. 

25
26
Hukum Orang Junub
Membaca Ayat-ayat
Ruqyah, Apakah Boleh?

DI ANTARA LARANGAN BAGI ORANG JUNUB adalah membaca dan


memegang Al-Quran. Para ulama menyebutkan dalam kitab-kitab
mereka bahwa haram bagi orang junub sengaja membaca ayat-ayat
Al-Quran. Namun bagaimana jika orang junub membaca ayat-ayat
Al-Quran yang diniatkan untuk ruqyah, apakah boleh?
Membaca ayat-ayat Al-Quran yang diniatkan untuk ruqyah
bagi orang yang junub hukumnya adalah boleh, tidak haram.
Tidak masalah bagi orang junub membaca ayat-ayat ruqyah, baik
diniatkan ruqyah untuk dirinya maupun orang lain. 
Hal ini karena ayat-ayat Al-Quran yang dibaca untuk ruqyah
sudah dinilai sebagai zikir, bukan sebagai Al-Quran. Sementara
membaca sebagian ayat atau surah Al-Quran yang dimaksudkan
sebagai doa atau zikir, bukan dimaksudkan membaca Al-Quran,
hukumnya adalah boleh bagi orang junub.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Hasyiah Al-Bujairimi
berikut:

‫اع ِظ ِه‬
ِ ‫آن و َغيـرها َكمو‬ ِ ٌ ‫َِي ُّل لِ َم ْن بِِه َح َد‬
َ َ َ ُْ َ ‫ث أَ ْكبـَُر أَذْ َك ُار الْ ُق ْر‬
ِ ِ ‫وأَخبا ِرِه وأَح َك ِام ِه َل بَِقص ِد الْ ُقر‬
:‫وب‬ ُّ ‫آن َك َق ْول ِه ِعْن َد‬
ِ ‫الرُك‬
ْ ْ ْ َ َْ َ
27
ِ ِ
} ‫ني‬ َ ‫{سْب َحا َن ا لَّذ ي َس َّخَر لَنَا َه َذ ا َو َما ُكنَّا لَهُ ُم ْق ِرن‬ ُ
ِ‫ {إِ َّن َِّل‬:‫صيب ِة‬ ِ ِ ِ ِ ‫] أ‬31 :‫[الزخرف‬
َ ‫ َوعْن َد الْ ُم‬،‫ني‬ َ ‫َي ُمطيق‬ ْ
ِ ِ ِ ِ
ُ‫] َوَما َجَرى بِه ل َسانُه‬651 :‫َوإِ َّن إِلَْيه َراجعُو َن} [البقرة‬
‫ َوإِ ْن‬،‫ص َد الْ ُق ْرآ َن َو ْح َدهُ أ َْو َم َع ال ِّذ ْك ِر ُحِّرَم‬ ٍ َ‫بِ َل ق‬
َ َ‫صد فَِإ ْن ق‬ ْ
.‫أَطْلَ َق فَ َل‬
Halal bagi orang yang sedang hadas besar membaca zikir-zikir
Al-Quran dan lainnya, seperti peringatan-peringatannya, kabar-
kabarnya (kisah-kisahnya), dan hukum-hukumnya tanpa niat
membaca Al-Quran. Seperti ketika naik kendaraan membaca;
Subhaanal ladzii sakhkhoro lanaa haadzaa wa maa kunna lahuu
mukriniin, dan ketika musibah membaca; Innaa lillaahi wa innaa
ilaihi rooji’uun. Dan halal membaca sesuatu yang terbiasa pada
lidahnya tanpa bermaksud membaca Al-Quran. Jika bermaksud
membaca Al-Quran, atau bermaksud membaca Al-Quran dan zikir,
maka hukumnya haram. Dan jika memutlakkan, tidak bermaksud
membaca keduanya, maka tidak haram.

Disebutkan dalam kitab Syarh Mukhtashar Al-Khalil, bahwa


di antara ayat-ayat Al-Quran yang boleh dibaca oleh orang yang
junub adalah ayat-ayat ruqyah. Ini sebagaimana disebutkan sebagai
berikut:

.‫ إَِّل َكأَيٍَة لِتـََع ُّوٍذ َوَْن ِوِه‬،‫َصغَ ِر َوالْ ِقَراءَ ِة‬ ِ


ْ ‫الَنَابَةُ َم َوان َع ْال‬
ْ ‫َوتَْنَ ُع‬
َّ ‫وُمَر ُادهُ الْيَ ِسريُ الَّ ِذي‬ :
‫الشأْ ُن أَ ْن يـُتـََع َّو َذ‬ ِ ِ َ َ‫ق‬
َ ‫ال َشار ُحهُ الد َّْرديـُْر‬
ِ ِْ ‫بِِه فـَيَ ْشمل آيَةَ الْ ُكرِس ِي و‬
)ُ‫(وَْن َوه‬ َ ‫ص َوالْ ُم َع ِّو َذتـَْي‬
َ ‫ال ْخ َل‬ َ ّ ْ َُ

28
‫َي َْن َو التـََّع ُّوِذ َك ُرقـْيَا‬
ْ‫أ‬
Orang junub dicegah melakukan hal-hal yang dilarang bagi orang
yang berhadas kecil dan membaca Al-Quran kecuali seperti ayat
untuk minta perlindungan dan lainnya. Imam Al-Dardir berkata:
Maksudnya adalah ayat-ayat pendek yang biasa digunakan untuk
minta perlindungan. Ini mencakup ayat Kursi, surah Al-Ikhlas,
surah Al-Falaq dan Al-Nas, juga lainnya seperti ayat-ayat untuk
ruqyah.  

29
30
Buang Air Kecil atau
buang angin (kentut)
Saat Mandi Wajib,
Apakah Mandi Batal?

MANDI WAJIB MERUPAKAN KEWAJIBAN MENSUCIKAN DIRI bagi


setiap muslim yang tengah dalam keadaan junub. Adapun fungsi
mandi junub itu sebagi medium untuk menghilangkan hadas besar
yang ada dalam  tubuh. Saat selesai mandi, seorang yang dalam
keadaan hadas besar, suci kembali. 
Nah dalam mandi wajib ada rukun yang harus dipenuhi agar
mandi wajib menjadi sah. Menurut Syekh Salim bin Sumair Al-
Hadrami dalam kitab Safinatun Najah  bahwa rukun mandi wajib ada
dua macam. Pertama adalah  niat dibarengi dengan awal basuhan
anggota badan. Kedua, meratakan air ke seluruh tubuh. 
Syekh Salim bin  Sumair Hadrami berkata : 

 ‫ان النِّيَّةُ َوتـَْع ِمْي ُم الْبَ َد ِن ِبلْ َم ِاء‬


ِ َ‫فـروض الْغُس ِل إِثـن‬
ْ ْ ُ ْ ُُ
Fardhu atau rukunnya mandi ada dua, yakni niat dan meratakan
air ke seluruh tubuh.

Namun layaknya mandi biasa, terkadang di tengah proses mandi


wajib, orang  yang mandi justru melakukan kentut atau buang angin
dan buang air kecil. Buang angin atau kencing di tengah mandi
wajib tak jarang menimbulkan keraguan, apakah hal itu membuat

31
mandi harus diulang kembali? Atau kentut itu bisa membatalkan
mandi wajib?
Menurut fikih, buang air kecil dan  buang angin tidak termasuk
bagian yang membatalkan mandi wajib, baik keluar di tengah mandi
wajib atau setelah melaksanakan mandi. Para ulama menyebutkan
bahwa keluar angin hanya membatalkan wudhu, pun  membuang
air kecil tak sampai berpengaruh pada keabasahan mandi wajib. 
Dengan demikian, orang yang keluar kencing di tengah mandi
tak perlu mengulangi mandi wajibnya dari awal. Pun kencing dan
kentut juga tidak membatalkan mandi wajib. Pasalnya, selama
rukun mandi wajib dipenuhi maka mandi wajib akan sah. 
Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah al Muhadzab, me­
nye­butkan bahwa kencing hanya membatalkan wudhu. Hal itu
berdasarkan dari nash Al-Qur’an, hadis, dan ijma’ ulama. 

ِْ ‫السن َِّة و‬
‫ َوأ ََّما الْبـَْو ُل‬:‫ال ْجَ ِاع‬ ِ ِ ِ َ‫ط فَبِن‬ ُ ِ‫أ ََّما الْغَائ‬
َ ُّ ‫ص الْكتَاب َو‬ ّ
‫اس َعلَى الْغَائِ ِط‬ ِ َ‫ال ْجَ ِاع َوالْ ِقي‬
ِْ ‫يض ِة و‬ ِ ِ ُّ ِ‫فَب‬
َ َ ‫السنَّة الْ ُم ْستَف‬
Adapun buang air besar menjadi pembatal wudhu berdasarkan
dalil nash dari Al-Qur’an, Hadis dan Ijma’. Adapun kencing
dinyatakan sebagai pembatal wudhu berdasarkan Hadis yang
begitu banyak, juga kata sepakat ulama serta karena diqiyaskan
dengan al-ghoith (buang air besar). 

Demikian penjelasan terkait hukum kencing dan buang angin


saat mandi wajib. Semoga bermanfaat.

32
Menurut fikih, buang air kecil
dan  buang angin tidak termasuk
bagian yang membatalkan
mandi wajib, baik keluar di
tengah mandi wajib atau setelah
melaksanakan mandi.

33
34
3 Hal yang
Membatalkan
Tayamum

SELAIN MENGETAHUI HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN WUDHU


DAN MANDI WAJIB, kita juga harus mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan tayamum, mulai dari rukun-rukunnya, syarat-syaratnya,
dan juga hal-hal yang dapat membatalkannya. Ini karena meskipun
tayamum merupakan sebuah keringanan hukum pengganti wudhu
dan mandi wajib dalam kondisi tertentu, tapi tetap saja terdapat
rukun-rukun, syarat-syarat dan hal-hal yang membatalkan yang
harus kita pahami.
Mengenai hal-hal yang membatalkan tayamum, para ulama
fikih telah menjelaskan secara detail dalam kitab-kitab mereka. Di
antaranya adalah Syaikh Ahmad bin Al-Hasan Al-Ashbihani Abu
Syuja’ dalam kitabnya Al-Taqrib. Menurut beliau, hal-hal yang
membatalkan tayamum ada tiga. 
Pertama, setiap hal-hal yang membatalkan wudhu. Hal-hal
yang membatalkan wudhu juga membatalkan tayamum, yaitu
keluarnya sesuatu dari kemaluan dan anus, hilang akal, menyentuh
kulit lawan jenis tanpa ada penghalang dan tidak ada hubungan
mahram, menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan
tanpa ada penghalang. 
Kedua, ada air atau melihat air di luar waktu salat. Tentu ini

35
berlaku bagi orang yang bertayamum karena tidak ada air. Sehingga
apabila seseorang bertayamum karena tidak ada air, kemudian dia
melihat atau menduga ada air saat sebelum salat, maka tayamumnya
otomatis batal. 
Adapun orang yang bertayamum karena sakit atau sebab lainnya,
maka tayamumnya tidak menjadi batal karena adanya air atau
melihatnya, baik di luar waktu salat atau lainnya. 
Ketiga, murtad atau keluar dari Islam. Apabila murtad, walau
hanya sebentar, maka tayamumnya batal.
Dalam kitab Al-Taqrib, Syaikh Ahmad bin Al-Hasan Al-Ashbihani
Abu Syuja’ berkata sebagai berikut;

ِ ِ
ُ ‫ َما أَبْطَ َل الْ ُو‬:َ‫َوالَّذ ْي يـُْبط ُل التـَّيَ ُّم َم ثََلثَةُ أَ ْشيَاء‬
ُ‫ض ْوءَ َوُرْؤيَة‬
‫الرَّد ِة‬
ِّ ‫الص َل ِة َو‬
َّ ‫ت‬ ِ ْ‫الْم ِاء ِف َغ ِي وق‬
َ ْ ْ َ
Sesuatu yang membatalkan tayamum ada tiga; Segala yang dapat
membatalkan wudhu, melihat air di luar waktu salat, dan murtad. 

36
setiap hal-hal yang membatalkan
wudhu. Hal-hal yang membatalkan
wudhu juga membatalkan tayamum,
yaitu keluarnya sesuatu dari
kemaluan dan anus, hilang akal,
menyentuh kulit lawan jenis tanpa
ada penghalang dan tidak ada
hubungan mahram, menyentuh
kemaluan manusia dengan telapak
tangan tanpa ada penghalang.

37
38
Penumpang Melakukan
Tayamum di Pesawat,
Sahkah Hukumnya?

SALAH SATU CARA UNTUK BERSUCI adalah dengan tayamum.


Adapun bahan yang dipakai untuk bertayamum adalah debu.  Dalam
fikih dijelaskan, tayamum diperbolehkan ketika tidak mendapati
air untuk bersuci. 
Misalnya, seorang ingin salat tetapi air tidak ada, atau dalam
keadaan kemarau, maka ia boleh tayamum. Begitu pula seorang
pasien dalam kondisi sakit—dan tidak boleh terkena air—, sebagai
keringanan hukum, ia diperbolehkan tayamum.
Kemudian ada datang persoalan, bagaimana penumpang pesa­
wat, yang ingin salat, bolehkah ia tayamum di pesawat? Atau sahkah
tayamum di pesawat?
Tidak dapat disangkal lagi, pesawat adalah alat transportasi
modern. Masyarakat yang ingin melaksanakan perjalanan jauh,
antar provinsi, bahkan lintas negara,  pesawat menjadi pilihan
utama. Efisiensi waktu merupakan faktor unggulan yang ditawarkan
pesawat terbang. 
Adapun tayamum menggunakan debu di dinding pesawat,
kursi pesawat, atau lantai pesawat hukumnya adalah sah. Hal ini
sejalan dengan pendapat Al-Alamah Abdullah Hijazi ibn Ibrahim
asy-Syarqawi dalam kitab Hasyiyah asy Sarqawi.  Ia menjelaskan

39
bahwa tayamum diperbolehkan selama ada debu yang suci, baik
debu tersebut diambil dari pakaian, lantai, kulit binatang, kendaraan
atau dinding. 
Simak penjelasan dari Imam Syarqawi berikut;

ً‫َي لَ ْو ٍن َكا َن ِخ ْل َقة‬ ِ ْ ‫َّق َعلَْي ِه‬


ِّ ‫اسُهُ ب‬ ُ ‫صد‬ ِ
َ ُ‫َوالْ ُمَر ُاد ِبلتـَُّراب َما ي‬
‫ص ٍْي أ َْو ِج َدا ٍر أ َْو ِحْنطٍَة‬ ِ ‫ب أَو ح‬ ٍ
َ ْ ‫ َكثـَْو‬,‫َي َمَ ٍّل أُخ َذ‬
ِ
ِّ ‫َوم ْن أ‬
ِ
‫أ َْو َشعِ ٍْي إِ َذا َكا َن ِف ُك ٍّل ِمنـَْها غُبَ ٌار َولَ ْو ِم ْن بَ َد ِن ُمغَلَّ ٍظ إِ َذا‬
‫ فـَيَ ْد ُخ ُل فِْي ِه الْ َم ْحُرْو ُق ِمْنهُ َولَ ْو‬,‫س الْ َمأْ ُخ ْوِذ فِْي ِه‬ُ ‫َلْ يـُْعلَ ْم تـَنَ ُّج‬
‫ص ْر َرَم ًادا‬ِ ‫أَسود ما َل ي‬
َ ْ َ ََْ
Dan adapun yang dimaksud dengan debu adalah apa yang di­
namai dengannya dalam warna apa pun yang diciptakan dan
dari tempat mana pun ia diambil, seperti pakaian, tikar, tembok,
gandum, atau dinding, atau jerawut, jika ada debu pada benda
tersebut, bahkan dari tubuh yang menebal, jika tidak diketahui
bahwa yang diambil itu najis. Maka termasuk debu juga dari
benda yang terbakar masuk ke dalamnya sekalipun hitam, asalkan
tidak menjadi abu.

Pada sisi lain, dalam ensiklopedi fikih terbitan Kementrian Wakaf


dan Urusan Agama, Kuwait yang berjudul al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyyah mengatakan bahwa boleh hukumnya tayamum
menggunakan debu yang menempel di pakaian, dinding kendaraan,
dan jerami. Debu tersebut juga dihukumi suci. Ini penjelasannya:

40
ٍ ‫اب علَى صخرٍة أَو َِمد‬ ٍ ِ
‫َّة أ َْو‬ ْ َ ْ َ َ ‫َوَيُ ْوُز أَ ْن يـَتـَيَ َّم َم م ْن غُبَا ِر تـَُر‬
‫ص ٍْي أ َْو ِج َدا ٍر أ َْو أ ََد ٍاة‬
ِ ‫ب أَو ح‬
ٍ
َ ْ ‫ثـَْو‬
Dan boleh bertayamum dengan debu tanah yang terdapat pada
batu, bantal, pakaian, keset jerami, dinding, atau peralatan.

Demikian penjelasan terkait hukum tayamum di pesawat. Semoga


bermanfaat. 

41
42
6 Hal yang
Membatalkan Wudhu

DALAM KITAB-KITAB FIKIH, selain disebutkan mengenai fardu-fardu


wudhu, juga disebutkan mengenai hal-hal yang membatalkan
wudhu. Hal-hal yang membatalkan wudhu ini dalam kitab-kitab
fikih disebut nawaqidh al-wudhu. Dalam kitab Al-Taqrib, Syekh
Ahmad bin Al-Hasan Al-Ashbihani Abu Syuja’ menyebutkan bahwa
hal-hal yang membatalkan wudhu ada enam.
Pertama, keluarnya sesuatu dari kedua jalan, yaitu bagian depan
atau kemaluan (qubul) dan bagian belakang atau anus (dubur),
baik yang keluar berupa sesuatu yang suci seperti mani, ataupun
berupa sesuatu yang najis seperti darah dan kencing.
Kedua, tidur yang pantatnya tidak menetap dan tidak rapat pada
tanah atau tempat duduk. Adapun tidur yang pantatnya menetap
dan rapat  pada tanah atau tempat duduk, seperti duduknya orang
bersila, maka tidur dalam keadaan tidak membatalkan wudhu.
Ketiga, hilang akal atau kesadaran baik karena mabuk, sakit,
pingsan, gila atau lainnya.
Keempat, bersentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang
bukan mahram tanpa penghalang dan keduanya sudah sama-sama
dewasa. Adapun jika keduanya ada hubungan mahram, maka
bersentuhan kulit di antara keduanya tidak membatalkan wudhu.

43
Begitu juga jika ada penghalang atau salah satunya masih kecil,
maka dalam keadaan demikian bersentuhan kulit tidak membatalkan
wudhu.
Kelima, menyentuh kemaluan bagian depan manusia dengan
telapak tangan. Menyentuh kemaluan bagian depan, baik kemaluan
diri sendiri atau orang lain, kemaluan anak kecil maupun dewasa,
laki-laki maupun perempuan, hidup maupun sudah mati, dengan
menggunakan telapak tangan tanpa ada penghalang, semua itu
membatalkan wudhu. 
Keenam, menyentuh lubang anus dan sekitarnya dengan telapak
tangan tanpa ada penghalang. 
Dalam kitab Al-Taqrib, Syekh Ahmad bin Al-Hasan Al-Ashbihani
Abu Syuja’ berkata sebagai berikut;

َّ ‫ض ْوءَ ِستَّةُ أَ ْشيَاءَ َما َخَر َج ِم َن‬


ِ ْ َ‫السبِيـْل‬ ِ
‫ي‬ ُ ‫ض الْ ُو‬ُ ‫َوالَّذي يـَنـُْق‬
‫َوالنـَّْوُم َعلَى َغ ِْي َهيـْئَ ِة الْ ُمتَ َم ِّك ِن َوَزَو ُال الْ َع ْق ِل بِ ُس ْك ٍر أ َْو‬
ُّ ‫َجنَبِيَّةَ ِم ْن َغ ِْي َحائِ ٍل َوَم‬
‫س‬ ْ ‫الر ُج ِل الْ َم ْرأََة ْال‬ َّ ‫س‬ ٍ
ُ ‫َمَرض َولَ ْم‬
‫الَ ِديْ ِد‬
ْ ‫س َحلَ َق ِة ُدبُِرِه َعلَى‬ ُّ ‫ف َوَم‬ ِ ِ
ِّ ‫فـَْرِج ْال َدم ِّي بِبَاط ِن الْ َك‬
Hal yang membatalkan wudhu ada enam, yaitu sesuatu yang
keluar dari kedua jalan (kemaluan atau anus), tidur dengan selain
keadaan menetapkan pantat pada tanah (atau tempat duduk),
hilang akal dengan mabuk atau sakit, menyentuhnya laki-laki
pada perempuan tanpa ada penghalang, menyentuh farji manusia
dengan telapak tangan dan menyentuh dubur (dan sekitarnya),
berdasarkan qaul jadid.

44
Tidur yang pantatnya tidak
menetap dan tidak rapat pada
tanah atau tempat duduk.
Adapun tidur yang pantatnya
menetap dan rapat  pada tanah
atau tempat duduk, seperti
duduknya orang bersila, maka
tidur dalam keadaan tidak
membatalkan wudhu.

45
46
Sebaiknya Mengeringkan
Anggota Tubuh Bekas Air
Wudhu Atau Tidak?

SETELAH KITA MELAKUKAN WUDHU, terkadang kita mengeringkan


air bekas air wudhu dari anggoat wudhu dengan menggunakan
handuk, kain dan lainnya. Namun terkadang kita juga membiarkan­
nya hingga mengering sendiri. Mengenai masalah ini, sebaiknya
kita mengeringkan bekas air wudhu atau membiarkannya hingga
mengering sendiri?
Menurut kebanyakan ulama, mengeringkan bekas air wudhu
dari anggota wudhu hukumnya adalah mubah, atau boleh. Tidak
masalah bagi kita untuk mengeringkan bekas air wudhu dengan
menggunakan handuk, kain dan benda yang sejenis. 
Terdapat banyak hadis yang dijadikan dalil kebolehan mengering­
kan air bekas wudhu dengan kain dan sejenisnya. Di antaranya
adalah hadis riwayat Imam Al-Tirmidzi dan Al-Nasai dari Sayidah
Aisyah, dia berkata:

‫ف ِبَا بـَْع َد‬ ِ ِ ِ َّ ‫الل صلَّى‬ ِ ِ ِ


ُ ‫اللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم خ ْرقَةٌ يـُنَ ّش‬ َ َّ ‫َكا َن لَر ُسول‬
ِ ‫الوض‬
‫وء‬ ُُ
Rasulullah Saw memiliki kain yang beliau gunakan untuk menge­
ringkan anggota badan setelah wudhu.

47
Di lain kesempatan, Nabi Saw pernah menyeka mukanya setelah
wudhu dengan menggunakan surban yang beliau pakai. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu Majah dari
Salman Al-Farisi, dia berkata:

َّ ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم تـََو‬ ِ َ ‫َن رس‬


َ‫ب ُجبَّة‬
َ َ‫ فـََقل‬،َ‫ضأ‬ َ َّ‫ول الل‬ ُ َ َّ ‫أ‬
ِ ِ ٍ
ُ‫ فَ َم َس َح بَا َو ْج َهه‬،‫ت َعلَْيه‬ْ َ‫صوف َكان‬ ُ
Sesungguhnya Rasulullah Saw berwudhu, kemudian membalik
jubah wol beliau dan mengusap wajahnya dengannya.

Dua hadis ini menunjukkan bahwa mengeringkan bekas air


wudhu hukumnya boleh. Ini karena Nabi Saw pernah mengeringkan
air bekas air wudhunya, baik ketika berwudhu di rumah maupun
di luar rumah. 
Hanya saja meskipun boleh, namun para ulama tetap meng­
anjurkan agar bekas air wudhu tidak dikeringkan jika tidak ada
kebutuhan. Lebih baik bekas air wudhu dibiarkan mengering sendiri,
tanpa sengaja dikeringkan dengan handuk, kain dan lainnya. Ini
karena bekas air wudhu merupakan bekas air ibadah, sehingga
membiarkan tetap menempel di anggota wudhu lebih baik daripada
menghilangkannya, baik dengan cara dikeringkan dengan handuk
dan lainnya.
Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Nawawi dalam kitab
Al-Majmu’ ala syarh al-Muhadzdzab berikut:

48
‫ت‬ ِ ِ ‫ب أَ ْن َل يـن ِّشف أَعضاءه ِمن بـلَ ِل الْو‬
ْ ‫ضوء ل َما َرَو‬ ُ ُ َ ْ ُ َ َ ْ َ َُ ُّ ‫َويُ ْستَ َح‬
‫ا‬ ‫ى‬ َّ
‫ل‬ ‫ص‬ َِّ‫ول الل‬ِ ‫ت أ َْدنـيت لِرس‬ ِ
ُ َّ‫لل‬ َ ُ َ ُ َْ ْ َ‫َمْي ُمونَةُ َرض َي اللَُّ َعنـَْها قَال‬
‫الَنَابَِة فَأَتـَيـْتُهُ ِبلْ ِمْن ِد ِيل فـََرَّدهُ َوِلَنَّهُ أَثـَُر‬
ْ ‫َعلَْي ِه َو َسلَ ْم غُ َل ِمي‬
ٍ ِ
‫َّف َج َاز‬ َ ‫عبَ َادة فَ َكا َن تـَْرُكهُ أ َْوَل فَِإ ْن تـَنَش‬
Dianjurkan untuk tidak mengelap anggota wudhu dari bekas air
wudhu. Menurut riwayat Maimunah, dia berkata; Aku mendekat­
kan air pada Rasulullah Saw saat beliau mandi dari junub, dan
aku memberikan handuk namun beliau menolaknya. Juga karena
bekas air wudhu adalah bekas ibadah, sehingga membiarkannya
lebih utama. Namun jika dikeringkan, maka hukumnya boleh.

49
50
Apakah Gusi Berdarah
Membatalkan Wudhu?

DALAM KEADAAN SEDANG MEMILIKI WUDHU, terkadang gusi kita


mengeluarkan darah. Darah yang keluar adakalanya sedikit, dan
adakalanya banyak sehingga harus berkumur dengan menggunakan
air. Apakah gusi berdarah dapat membatalkan wudhu sehingga
harus mengulang wudhu lagi?
Menurut ulama Syafiiyah, sesuatu yang keluar dari tubuh
selain dari kubul dan dubur tidak membatalkan wudhu, baik
berupa darah, ingus, nanah, dan lainnya. Selama tidak keluar
dari kubul dan dubur, maka sesuatu yang keluar dari tubuh tidak
membatalkan wudhu. 
Oleh karena itu, jika gusi kita mengeluarkan darah, atau anggota
tubuh kita yang lain, baik darah yang keluar sedikit atau banyak,
maka wudhu kita tidak batal dan kita tidak perlu mengulang wudhu
lagi. Kita cukup membersihkan darah tersebut dengan cara berkumur
dengan air, ditempel dengan kapas dan lainnya.
Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah
Al-Kuwaitiyah berikut;

51
ِ ‫ض ِه ِبُُر‬ ِ ‫وء أَو ع َدِم نـ ْق‬ ِ ‫ض الْو‬
‫وج‬ َ َ ْ ‫ض‬ ُ ُ ِ ‫ف الْ ُف َق َهاءُ ِف نـَْق‬ َ َ‫اختـَل‬
ْ
‫السبِيلَ ْي فـََقال‬ َّ ‫ات ِم ْن َسائِِر الْبَ َد ِن َغيـَْر‬ِ ‫َشي ٍء ِمن النَّجاس‬
َ َ َ ْ
‫ َوإَِّنَا يـَْلَزُم‬،‫ضوء‬ِ ِ ٍ ‫ إِنَّهُ َغيـُْر َنق‬:ُ‫الْ َمالِ ِكيَّةُ َوالشَّافِعيَّة‬
ِ ِ
ُ ‫ض ل ْل ُو‬
‫الَا ِر َجةُ ِم ْن َسائِِر‬ ِ ِ
ْ ُ‫اسة‬ َ ‫َّج‬ َ ‫تَطْ ِهريُ الْ َم ْوض ِع الَّذي أ‬
َ ‫َصابـَْتهُ الن‬
ٍ َ‫ض بِسب‬ ِ ِ ُ ‫ ويـبـَْقى الْو‬،‫الْب َد ِن‬
‫آخَر‬
َ ‫ب‬ َ َ ‫ضوءُ إالَّ إ َذا انـْتـََق‬ ُ ََ َ
Para ulama fikih berbeda pendapat terkait apakah wudhu ba­
tal atau tidak batal sebab keluar najis dari tubuh selain dari
dua jalan (kubul dan dubur) Ulama Malikiyah dan Syafiiyah
berpendapat bahwa keluar najis (termasuk darah) dari tubuh
tidak membatalkan wudhu. Yang wajib hanya menyucikan tempat
yang terkena najis yang keluar dari tubuh tersebut, sementara
wudhu tetap sah kecuali wudhu batal dengan sebab yang lain.

Dalil yang dijadikan dasar bahwa keluar darah, termasuk darah


gusi, tidak membatalkan wudhu adalah riwayat yang disebutkan
oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih Al-Bukhari berikut;

ِ ‫الِ َجا‬ ‫ل‬ ‫َه‬‫أ‬‫و‬ ‫اء‬ ‫ط‬ ‫ع‬ ‫و‬ ٍ


‫ى‬ ِ‫ال طَاوس و ُم َّم ُد بن عل‬
‫س‬َ ‫ي‬
َْ‫ل‬ ‫ز‬ ْ ُ ْ َ ٌ َ َ َ ّ َ ُ ْ َ َ ٌ ُ َ َ‫َوق‬
ِ
‫َّم‬
ُ ‫صَر ابْ ُن عُ َمَر بـَثـَْرًة فَ َخَر َج منـَْها الد‬ َ ‫ َو َع‬ ٌ‫ضوء‬ ُ ‫ِف الدَِّم ُو‬
 ‫صالَتِِه‬ َ ‫ضى ِف‬ َ ‫ َوبـََز َق ابْ ُن أَِب أ َْو َف َد ًما فَ َم‬ ْ‫ضأ‬
َّ ‫ َوَلْ يـَتـََو‬،
‫س َعلَْي ِه إِالَّ َغ ْس ُل‬ ِ ‫السن فِيمن َيت‬
َ ُ َْ ْ َ ُ َ َْ ‫ال ابْ ُن عُ َمَر َو‬
‫ي‬
َْ‫ل‬ ‫م‬‫ج‬ َ َ‫َوق‬
ِِ ‫َم‬
‫اج ِه‬ َ
Thawus, Muhammad bin Ali, Atha’ dan ulama Hijaz berkata: Tidak
wajib wudhu karena darah yang keluar. Ibnu Umar memencet
jerawatnya, lalu keluar darah, namun beliau tidak berwudhu lagi.

52
Ibnu Abi Aufa dahak dan lendirnya adalah darah, namun beliau
tetap melanjutkan salatnya. Ibnu Umar dan Al-Hasan berkata
tentang orang yang berbekam, bahwa tidak perlu berwudhu lagi,
kecuali hanya mencuci bekas bekamnya saja.

53
54
Memakai Skincare
Setelah Berwudhu,
Apakah Wudhu Batal?

KITA BIASA MENEMUI PEREMPUAN MEMAKAI SKINCARE, bedak, atau


make up setelah melakukan wudhu. Pasalnya, terdapat sebagian
perempuan yang lebih suka menggunakan skincare, bedak atau make
up setelah mengambir air wudhu. Setelah itu baru melaksanakan
salat. Sebenarnya, bagaimana status hukum memakai skincare
setelah wudhu?
Adapun status hukum memakai skincare setelah melakukan
wudhu, maka hukumnya boleh. Tidak ada persoalan bagi perempuan
memakai bedak, skincare atau make up selepas wudhu. Pasalnya
barang-barang kecantikan  tersebut tidak termasuk benda najis. Di
samping itu juga, barang tersebut tidak termasuk yang membatalkan
wudhu.
Penjelasan ini, dapat kita jumpai dalam keterangan Lembaga
Fatwa Mesir. Syekh Dr. Muhammad Abdus Sami’  dari Dar Ifta Mesir
mengatakan  memakai mak Up dan badak,  tidak membatalkan
wudhu dan tidak pula membatalkan salat sebab itu bukan najis. jika
memakai bedak dan make up setelah wudhu sebab melaksanakan
salat dalam keadaan rapi dan bersih, maka hal itu hukumnya adalah
sunnah. Pasalnya, Rasulullah menganjurkan pada umatnya, agar
melaksanakan salat dalam keadaan rapi dan  memakai wewangian.

55
Berikut kutipan teks dari Darul Ifta’ Al-Mishriyah;

‫الص َل ِة بِِه أ َْم َل؟‬ َّ ‫ض ْوِء َو‬ ٍ ‫ض ُع ِمْي َك‬


ُ ‫اج بـَْع َد الْ ُو‬ ْ ‫َه ْل َيُ ْوُز َو‬
ِ ِ ِ ِ َّ ‫الد ْكتـور ُم َّم ُد عب ِد‬
ُ‫ َل َمان َع لَنَّه‬:ً‫السمْي ِع قَائال‬ َْ َ ُ ُْ ُّ ‫اب‬ َ ‫َج‬َ ‫َوأ‬
ِ َّ ‫ بـعض‬.‫لَيس َِنسا وَل يـْن ِقض الْوضوء‬
َ َ‫السيِّ َدات يـَت‬
‫ص َّوْر َن‬ ُ َْ َ ْ ُ ُ ُ ُ َ ً َ ْ
‫ض ْوِء‬ ِ ِ ِ ِ ‫الص َلةُ ِبلْ ِم َكي‬
ُ ‫ َولَك ْن َل َمان َع م َن الْ ُو‬،‫اج‬ ْ َّ ‫أَنَّهُ َل َيُ ْوُز‬
‫س َِن ًسا َوَل‬ ‫ي‬َ‫ل‬ ‫ه‬ َّ
‫ن‬ ‫ل‬
َ ِ ‫ والْ ِم َكياج َل يـْن ِقض الْوضوء‬،‫ُثَّ التـَّزيُّ ِن‬
َ ْ ُ َ ُْ ُ ُ ُ ُ َ َ َ
َّ ‫يـُْب ِط ُل‬
‫الص َل َة‬
Apakah boleh atau tidak memakai make up setelah wudhu dan
melaksanakan salat dengan make up?

Dr. Muhammad Abdus Sami’ menjawab: Tidak masalah (memakai


make up), karena make up tidak najis dan tidak membatalkan
wudhu. Sebagian perempuan beranggapan bahwa tidak boleh
melaksanakan salat dengan memakai make up, akan tetapi hal
itu tidak masalah setelah wudhu, lalu berhias. Make up itu tidak
membatalkan wudhu dan tidak membatalkan salat.

Bahkan jika memakai bedak dan make up setelah wudhu karena


hendak melaksanakan salat dengan rapi dan bersih, maka hal itu
hukumnya adalah sunnah. Hal ini karena Rasulullah menganjurkan
kepada umatnya agar melaksanakan salat dalam keadaan rapi,
bersih, berdandan dengan memakai wewangian.

Pada sisi lain terdapat sebuah hadis yang menyatakan jika


hendak salat seyogianya dalam keadaan indah, rapi, dan memakai
wewangian. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam
Al-Baihaqi dari Nafi’, bahwa Nabi Saw bersabda;

56
ِ ِ َ ‫إِ َذا‬
َ ‫ فَإ َّن اللََّ َعَّز َو َج َّل أ‬، ‫س ثـَْوبـَْيه‬
‫َح ُّق‬ َ ‫صلَّى أ‬
ْ َ‫َح ُد ُك ْم فـَْليـَْلب‬
ِ
َ‫ َوال‬، ‫صلَّى‬ َ ‫ فَِإ ْن َلْ يَ ُك ْن لَهُ ثـَْوَبن فـَْليَأْتَ ِزْر إِ َذا‬، ُ‫َم ْن تُِزيَّ َن لَه‬
ِ ‫ال الْيـه‬
‫ود‬ ِ ِِ ‫ي ْشتَ ِمل أَح ُد ُكم ِف‬
َُ َ ‫صالَته ا ْشت َم‬ َ ْ َ ْ َ
Jika salah satu dari kalian salat, maka pakailah dua helai baju,
karena Allah lebih berhak untuk dihiasi. Maka jika kamu tidak
memiliki dua baju, hendaklah memakai sarung ketika salat. Dan
janganlah salah satu di antara kalian berselimut di dalam salatnya
seperti berselimutnya orang Yahudi.

57
58
Cara Menyucikan
Kencing Bayi Laki-laki

NAJIS ADALAH SESUATU YANG KOTOR. Seseorang yang terkena


najis, maka ia   terhalangnya untuk  melaksanakan ibadah kepada
Allah. Misalnya, salat dan membaca Al-Qur’an, dan thawaf. Untuk
itu, bagi orang yang terkena najis maka seyogianya disucikan
terlebih dahulu.  
Adapun para pakar yurisprudensi Islam, membagi najis menjadi
tiga jenis. Setiap jenis najis memiliki tata cara tersendiri untuk
menyucikannya. Pertama, yang disebut najasah mughalladzah,
artinya najis berat. Kedua najasah mutawassithah,  yang disebut
juga najis pertengahan. Terakhir, dengan najasah mukhaffafah.
Maksudnya adalah najis ringan. 
Kemudian muncul peroalan fikih, bagaimana status hukum air
kencing bayi laki-laki? Pun bagaimana tata cara menghilangkan najis
kencing bayi laki-laki? Pasalnya, tak sedikit masyarakat Indonesia
yang memiliki bayi laki-laki. Demikian juga, banyak orang yang
senang bermain dengan anak kecil. 
Dalam fikih Islam, status kencing anak laki-laki terbagi dua
macam. Pun cara menyucikan najis disebabkan kencing anak
laki-laki terbagi dua macam. Pertama, kencing anak laki-laki yang
belum makan sesuatu selain Air Susu Ibu (ASI),maka dinamakan

59
najis ringan (Mukhaffafah). Cara menyucikan najis ringan cukup
dipercikkan air pada tempat yang terkena najis. 
Kedua, kencing anak laki-laki yang telah memakan makanan
lain, selain air susu ibunya dan usianya lewat dari dua tahun, maka
najis ini disebut dengan najis pertengahan (mutawassithah). Adapun
cara menyucikan atau menghilangkan najis pertengahan adalah
dengan membasuh tempat yang terkena najis. Batas ukurannya
adalah sampai hilang bau, warna, atau rasanya. Itulah perbedaan
kencing bayi laki-laki. 
Keterangan status hukum kencing bayi laki-laki ini sebagaimana
terdapat dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim. Nabi bersabda; 

ِ ‫ت ِ ْمص ٍن أَنـَّها أَتَت ِبب ٍن َلا‬ ِ ‫س بِْن‬ٍ ‫َع ْن أُِّم قـَْي‬


ْ‫ َل‬، ‫صغ ٍري‬ َ َ ْ ْ َ َ
، – ‫الل – صلى هللا عليه وسلم‬ َِّ ‫ول‬ِ ‫يْ ُك ِل الطَّعام إِ َل رس‬
َُ َ َ َ
، ‫الل – صلى هللا عليه وسلم – ِف ِح ْج ِرِه‬ َِّ ‫ول‬ ُ ‫َجلَ َسهُ َر ُس‬ْ ‫فَأ‬
ِ ٍ ِ
َ َ‫ فَ َد َعا ِبَاء فـَن‬، ‫ال َعلَى ثـَْوبِه‬
ُ‫ض َحهُ َوَلْ يـَ ْغس ْله‬ َ َ‫فـَب‬
Dari Ummu Qois binti Mihshon, ia datang dengan anak laki-lakinya
yang masih kecil dan anaknya tersebut belum mengonsumsi
makanan. Ia membawa anak tersebut ke hadapan Rasulullah
saw. Beliau lantas mendudukkan anak tersebut di pangkuannya.
Anak tersebut akhirnya kencing di pakaian beliau. Beliau lantas
meminta diambilkan air dan memercikkan bekas kencing tersebut
tanpa mencucinya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Keterangan lebih lanjut sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Salim


bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitab Safīnatun Najā. Ia menjelaskan
bahwa tata cara menghilangkan najis pada anak laki-laki—yang
belum sampai usia dua tahun, dan juga belum memakan makanan

60
selain air susu ibunya—, cukup dengan memercikkan air saja. Simak
penjelasan berikut: 

ُ‫ الْ ُمغَلَّظَة‬.ٌ‫ ُمغَلَّظَةٌ َو ُمََّف َفةٌ َوُمتـََو ِّسطَة‬:‫ث‬ ٌ ‫ات ثََل‬


ُ ‫اس‬ َ ‫َّج‬
َ ‫الن‬
‫ َوا لْ ُم َخ َّف َفةُ بـَْو ُل‬.‫َح ِد ِهَا‬ ِْ ‫ب و‬
َ ‫الْن ِزيْ ِر َوفـَْرِع أ‬ ِ
َ ‫اسةُ ا لْ َك ْل‬
َ َ‫َن‬
ِ ْ َ‫الَول‬ ِ ِ ِ ِ‫الص‬
.‫ي‬ ْ ْ ‫ب ا لّذ ْي َلْ يَطْ َع ْم َغيـَْر اللَّ َب َو َلْ يـَبـْلُ ْغ‬ ّ َّ
ِ ‫والْمتـو ِسطَةُ سائِر النَّجاس‬
 ‫ات‬ َ َ ُ َ ّ ََ ُ َ
Najis itu ada tiga macam: mughallazah, mukhaffafah, dan muta­
wassithah.Najis mughallazah adalah najisnya anjing dan babi
beserta peranakan salah satu dari keduanya. Najis mukhaffafah
(ringan) adalah najis air kencingnya bayi laki-laki yang belum
makan selain air susu ibu dan belum sampai usia dua tahun.
Sedangkan najis mutawassithah adalah seluruh najis-najis yang
lainnya.

Demikian penjelasan terkait tata cara menyucikan atau meng­


hilangkan najis disebabkan kencing bayi laki-laki. Bila belum genap
dua tahun dan belum memakan makanan selain ASI, maka cukup
dipercikkan. Sedangkan bayi laki-laki yang usia udah dua tahun
dan telah memakan makanan lain, maka dianggap najis pertenahan
dan cara menyucikannya adalah dibasuh dengan menggunakan
air. Semoga bermanfaat.  

61
62
Hukum Mengosumsi
Kotoran Ikan Teri

IKAN TERI MERUPAKAN MAKANAN KHAS INDONESIA. Ikan teri,


sesuai namanya, merupakan ikan yang kecil. Yang banyak dijual
di pasar, tukang sayur,dan minimarket. Ikan ini banyak digemari
masyarakat Indonesia, terutama kalangan menengah ke bawah. 
Sebab ikan ini sangat kecil, maka kotorannya susah dibersihkan.
Langsung saja di jemur, dengan kotorannya masih ada di dalam
perutnya. Masyarakat yang membelinya pun terkadang cuek untuk
membersihkan. Nah dalam Islam, bagaimana hukum mengosumsi
kotoran ikan teri? 
Sejatinya dalam hukum fikih, terkait status hukum mengonsumsi
kotoran ikan, para ulama berbeda pendapat.  Ada ulama yang
mengatakan bahwa  mengosumsi kotoran hewan baik ikan besar
ataupun kecil  tidak diperbolehkan. Sebab kotoran ikan tersebut
dianggap najis. Yang haram untuk dikonsumsi.  
Namun, pada sisi lain, Imam An-Nawawi dan Imam Ar-Rafi’i
memberikan keringanan hukum terkait bahwa mengosumsi ko­
toran ikan kecil. Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in
menegaskan bahwa Imam Nawawi dan Rafi’i menyebutkan akan
sangat susah membersihkan kotoran ikan kecil. 

63
‫ك ُملِ َح‬ ٍ َ‫اب َل َيوُز أَ ْكل َس‬
ُ ُْ
ِ ‫َصح‬
َ ْ ‫الََواه ِر َع ِن ْال‬
ِ ْ ‫ونـ َقل ِف‬
َ ََ
ِ
‫ات َوظَاه ُرهُ َل فـَْر َق‬ ِ
ِ ‫وَل يـنـزع ما ِف جوف ِه أَي ِمن الْمستـ ْق َذر‬
َ َ ْ ُ َ ْ ْ َ ْ َ ْ َْ ُ ْ َ
‫الصغِ ِْي‬ ِ ‫بـي َكبِ ِيِه وصغِ ِيِه لَ ِكن ذَ َكر الشَّيخ‬
َّ ‫ان َج َو َاز أَ ْك ِل‬ َْ َ ْ ْ َ َ ْ َ َْ
‫َم َع َما ِ ْف َج ْوفِ ِه لِعُ ْس ِر تـَْن ِقيَّ ِة َما فِْي ِه‬
Dan menukil Al-Qamuli dalam kitab Al-Jawahir pendapat dari
kalangan Syafi’i bahwa tidak diperbolehkan mengonsumsi ikan
asin yang tidak dibersihkan kotoran-kotoran yang ada dalam
perutnya. Yang tampak zhahir dari kutipan Al-Qamuli ini, ini
tidak membedakan antara ikan besar dan ikan kecil. Akan
tetapi menyebutkan  syaikhoni dalam fikih (Imam Nawawi dan
Imam Ar-Rafi’i)  terkait diperbolehkan mengonsumsi ikan kecil
beserta kotoran di dalam perutnya, sebab sulitnya membersihkan
kotoran tersebut.

Sementara itu dalam Ghoyah At-Talkhish, disebutkan bahwa


hukum memakan kotoran ikan yang besar adalah najis, sedangkan
ikan yang kecil itu dimaafkan. Pasalnya, akan susah sekali mem­
bersihkan dan mengeluarkan kotoran ikan yang kecil tersebut.
Berikut penjelasan Ibnu Ziyad;

‫ َوَيُ ْوُز أَ ْك ُل ِصغَا ِرِه قـَْب َل َش ِّق‬،‫س‬ ِ َّ ‫ث‬


ٌ َ‫الس َمك َن‬ ُ ‫ َرْو‬:ٌ‫َم ْسأَلَة‬
ِ
ُ‫ لَك ْن يُ ْكَره‬،ُ‫اجه‬ ‫ر‬ ‫خ‬
ْ ِ‫ث تـ َع َّسر تـْن ِقيـَّتُهُ وإ‬
ٍ ‫ ويـع َفى عن رو‬،‫جوفِ ِه‬
ُ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ُْ َ ْ َ
‫ َويـُْؤ َخ ُذ ِمْنهُ أَنَّهُ َل َيُ ْوُز أَ ْك ُل كِبَا ِرِه قـَْب َل‬،‫ض ِة‬ َّ ‫َك َما ِف‬
َ ‫الرْو‬
ِ ِ
‫ك‬َ ‫إِ ْخَر ِاج َرْوثِِه ل َع َدِم الْ َم َش َّق ِة ِ ْف َذل‬
Masalah; kotoran ikan adalah najis. Boleh memakan ikan-ikan
kecil, sekalipun tidak membersihkan kotorannya, dan dimaafkan

64
bagi kotoran yang sulit dibersihkan dan dikeluarkannya, akan
tetapi hukumannya makruh. Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam kitab Ar-Raudhah. Dari penjelasan itu dapat diambil
kesimpulan bahwa tidak boleh memakan ikan-ikan besar sebelum
dikeluarkan kotorannya, sebab tidak adaterdapat kesulitan untuk
membersihkan kotoran itu. 

Dari penjelasan itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa kotoran


ikan teri boleh dimakan dan dikonsumsi. Semoga bermanfaat.

65
66
Hukum Bersuci
Pakai Tisu

ISLAM ADALAH AGAMA YANG MENGHARGAI  KESUCIAN. Bahkan 


bisa dibilang kesucian merupakan  hal yang terpenting dalam
Islam. Itulah sebabnya dalam pelbagai kitab fikih, hal yang pertama
dibahas adalah thaharah (bersuci).  Nah, salah satu  bukti pentingnya
kebersihan dalam  Islam itu adalah kewajiban istinja (bersuci)
setelah buang air besar dan air kecil. 
Salat tidak sah tanpa istinja terlebih dahulu, selain wudhu
kalau dalam keadaan hadats kecil, dan mandi jika dalam kondisi
hadats besar. 
Pengertian sederhana dari istinja adalah menghilangkan najis
yang keluar dari kemaluan dan anus. Alat untuk bersuci yang biasa
digunakan masyarakat Indonesia adalah air. Ini sudah turun temurun
dipertahankan masyarakat kita, terutama yang tinggal di daerah. 
Tak bisa dipungkiri seiring berkembangnya zaman, alat untuk
istinja pun semakin beragam, tidak hanya menggunakan air atau
batu. Saat ini, di hotel, bandara, restoran mewah, dan gedung
perkantoran sudah banyak yang menggunakan tisu atau toilet paper
sebagai alat untuk beristinja.
Nah muncul persoalan, bagaimana dengan hukum istinja meng­
gunakan tisu?

67
Jika kita cermati lebih jauh, alat untuk istinja sejatinya tak hanya
sebatas air saja. Adapun kriteria media yang bisa digunakan untuk
istinja sebenarnya banyak, mulai dari batu, benda kasar, dan benda
padat. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Ghazi dalam kitab
Fathul Qarib;

‫ب ِم ْن ُخُرْو ِج الْبـَْوِل َوالْغَائِ ِط ِبلْ َم ِاء أَ ِو‬ ِ ِ ِ


ٌ ‫ َواج‬... ُ‫َو ْال ْستْن َجاء‬
‫اه ٍر قَالِ ٍع َغ ِْي ُْمتـََرٍم‬
ِ َ‫الج ِر وما ِف معناه ِمن ُك ِل ج ِام ٍد ط‬
َ ّ ْ ُ َ ْ َ ْ َ َ َ َْ
Wajib Istinja sebab keluarnya air kencing atau air besar, istinja bisa
dilakukan dengan menggunakan air atau batu dan barang-barang
yang semakna dengan batu, yaitu setiap benda padat yang suci,
bisa menghilangkan kotoran dan tidak diharamkan oleh syariat.

Hal itu dipertegas oleh Mushthafa Dib al-Bugha dalam At-Tahdzib


Fi Adillati Matn Al-Ghayah Wa At-Taqrib,  yang menjelaskan bahwa
benda yang keras dan kering seperti daun bisa dibuatkan untuk
kepentingan bersuci. 

ِ َ‫اف ط‬
‫اه ٍر َكالْ َوَرِق‬ ٍّ ‫َوُْي ِزءُ ُك ُّل َج‬
Setiap benda kering yang suci seperi lembaran daun bisa diguna­
kan istinja

Nah dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa tisu bisa


dibuatkan untuk bersuci. Pasalnya, alat untuk istinja itu tak hanya
sebatas air saja. Akan tetapi dalam sebuah hadis Nabi menjelaskan
bahwa ketika bersuci dari selain air hendaknya membuatnya tiga kali. 

68
‫ أ َْو أَ ْن نَ ْستـَْن ِج َي‬،‫ أ َْو بـَْوٍل‬،‫ان أَ ْن نَ ْستـَْقبِ َل الْ ِقبـْلَةَ لِغَائِ ٍط‬
َ ‫نـََه‬
ِ ِ ِ ِ ‫ِبلْيَ ِم‬
‫ أ َْو أَ ْن‬،‫َح َجا ٍر‬ ْ ‫ أ َْو أَ ْن نَ ْستـَْنج َي ِبَقَ َّل م ْن ثََلثَة أ‬،‫ني‬
‫نَ ْستـَْن ِج َي بَِرِجي ٍع أ َْو بِ َعظٍْم‬
Nabi saw. melarang kita untuk menghadap kibat ketika buang
air besar atau kecil, atau bersuci denga dan tangan kanan, atau
bersuci dengan kurang dari 3 batu, atau bersuci dengan kotoran
kering atau tulang. 

69
70
Hukum Darah Ikan,
Apakah Suci Atau Haram?

DI INDONESIA, ikan termasuk makanan yang banyak dikonsumsi


masyarakat sehari-hari. Dalam Islam, ikan merupakan hewan yang
suci baik ketika masih hidup maupun setelah mati. Semua bagian
tubuh ikan adalah suci dan halal dimakan. 
Namun muncul persoalan hukum, bagaimana pandangan fikih
dengan darah ikan, apakah darah ikan suci atau najis? Terkait
persoalan hukum status darah ikan, para ulama berbeda pendapat
mengenai hukumnya. Sebagian ulama mengatakan najis, sementara
sebagian yang lain mengatakan darah ikan itu suci sebagaimana
daging ikan.
Menurut Imam Malik, Imam Ahmad dan  Daud Dhaziri merupakan
ulama yang menyebutkan bahwa darah ikan adalah najis. Tak boleh
dikonsumsi masyarakat. Sedangkan ulama dari kalanganmazhab
Abu Hanifah, menyebutkan bahwa darah ikan itu suci hukumnya,
sama seperti daging tersebut. 
Pendapat serupa dikatakan oleh Imam Syairazi dalam kitab al
Muhadzab. Berikut pendapat beliau;

71
ِ ‫ َِنس َكغَ ِْيِه‬: )‫َح ُد ُهَا‬
)‫َّان‬ ِ ِ َّ ‫وِف َدِم‬
َ ‫الس َمك َو ْج َهان (أ‬
ْ ‫(والث‬َ ٌ ّ َْ
‫ك‬ِ ‫السم‬
َّ ‫ة‬
ُ ‫ت‬ ‫ـ‬ ‫ي‬ ‫م‬‫و‬ ، ‫ة‬ ِ
ِ َ‫اهر ; لَنَّه لَيس ِبَ ْكثـر ِمن الْميـت‬ ِ َ‫ ط‬:
َ َْ ََ ْ َ َ ََ َ ْ ُ ٌ
ِ َ‫ط‬
)ُ‫اهَرةٌ فَ َك َذا َد ُّمه‬
Dalam darah ikan ada dua pendapat. Pertama, najis sebagaimana
darah yang lain. Kedua, suci karena ukuran darah ikan tidak lebih
banyak (lebih sedikit) dibanding bangkainya, sementara bangkai
ikan adalah suci, maka begitu juga (suci) darahnya.

Lebih lanjut, Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah al


Muhadzab, menjelaskan pernyataan Imam Syairazi tersebut. Mes­
kipun para ulama berbeda pendapat status hukum darah ikan,
maka yang terkuat adalah darah ikan adalah haram hukumnya.
Imam Nawawi penjelasan berikut;

‫ان َونـََقلَ ُه َما‬ِ ‫ك فَم ْشهور‬ ِ َّ ‫ان ِف َد ِم‬ ِ ‫وأ ََّما ا لْوجه‬
َ ُ َ ‫الس َم‬ َْ َ َ
‫ضا ِف‬ ِ
ِ َّ ‫الر ِاد ونـ َقلَهما‬ ِ ِ ً ْ‫َصحاب أَي‬
ً ْ‫الرافع ُّي أَي‬ َ ُ َ َ ََْ ‫ضا ف َدم‬ ُ َ ْ ‫ْال‬
‫الَ ِمي ِع‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِّ‫الدَِّم الْمتَحل‬
ْ ‫َص ُّح ِف‬ َ ‫ب م ْن الْ َكبِد َوالطّ َحال َو ْال‬ َ ُ
ِ ‫النَّج‬
‫َحَ ُد َوَد ُاوُد‬
ْ ‫ك َوأ‬ٌ ِ‫ك َمال‬ ِ ‫السم‬ ِ ِ ‫ال بِنَج‬
َ َّ ‫اسة َدم‬
َ َ َ َ‫اسةُ َوم َّْن ق‬ َ َ
ِ َ‫ال أَبـو حنِيـ َفةَ ط‬
‫اهٌر‬ ْ َ ُْ َ َ‫َوق‬
“Adapun dua pendapat mengenai darah ikan sudah masyhur dan
kedua pendapat tersebut telah dinukil juga oleh ulama Syafiiyah
mengenai darah belalang. Imam Rafii juga menukil kedua pendapat
tersebut mengenai darah yang diperas dari hati dan limpa. Pendapat
yang shahih mengenai semua darah tersebut adalah najis. Sebagian
ulama yang mengatakan najis adalah Imam Malik, Imam Ahmad,
Imam Daud. Sementara Imam Abu Hanifah mengatakan suci.”

72
Dalam darah ikan ada dua
pendapat. Pertama, najis
sebagaimana darah yang lain.
Kedua, suci karena ukuran darah
ikan tidak lebih banyak (lebih
sedikit) dibanding bangkainya,
sementara bangkai ikan adalah
suci, maka begitu juga (suci)
darahnya.

Imam Syairazi, al Muhadzab

73
SALAT,
HAJI,
DAN
COVID -19

74
75
76
Allah Tidak Butuh
Manusia, Kenapa Manusia
Disuruh Salat?

PADA DASARNYA, Allah tidak membutuhkan salat dan semua ibadah


manusia. Andaikan seluruh manusia tidak beribadah kepada-Nya
dan tidak ada yang melaksanakan salat, Dia tetap Maha segala-
galanya. Keagungan-Nya tidak akan berkurang sedikitpun karena
manusia tidak beribadah kepada-Nya, pun demikian tidak akan
bertambah karena seluruh manusia beribadah dan melaksankan
salat. Lantas mengapa Allah menyuruh manusia melaksanakan
salat padahal Dia sendiri tidak butuh pada manusia?
Allah memerintahkan manusia untuk melaksanakan salat
bukan untuk kepentingan Allah, atau karena Allah butuh pada
manusia, melainkan untuk kepentingan manusia sendiri. Manusia
mem­­butuhkan salat dalam menjalani kehidupannya. Karena
dengan melaksanakan salat, manusia akan mendapatkan banyak
ke­­­untungan dan kebaikan, baik di dunia maupun akhirat. Sebalik­
nya, jika manusia meninggalkan salat, maka dia rugi di dunia
maupun di akhirat.
Berdasarkan hadis dan ayat Al-Qur’an, setidaknya terdapat lima
keuntungan yang akan diperoleh oleh manusia jika dia melaksana­
kan salat. 
Pertama, salat bisa menyelematkan seseorang kelak di hari

77
kiamat. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam
Ahmad, dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata;

‫ َوَنَا ةً يـَْو َم‬، ‫ان‬


ً ‫ َوبـُْرَه‬،‫ورا‬ ً ُ‫ت لَهُ ن‬ ْ َ‫َم ْن َحا فَ َظ َعلَيـَْها َكا ن‬
،‫ َوَل بـُْرَها ٌن‬،‫ور‬ ِ ِ ِ
ٌ ُ‫ َوَم ْن َلْ ُيَاف ْظ َعلَيـَْها َلْ يَ ُك ْن لَهُ ن‬،‫الْقيَ َامة‬
،‫ َوَه َاما َن‬،‫ َوفِْر َع ْو َن‬،‫ َوَكا َن يـَْوَم الْ ِقيَ َام ِة َم َع قَ ُارو َن‬، ٌ‫َوَل َنَاة‬
ٍ َ‫ُب ب ِن َخل‬
‫ف‬ ْ َِّ ‫َوأ‬
Barangsiapa  yang menjaga salat, maka dia akan mendapatkan
cahaya, petunjuk dan keselamatan pada hari kiamat. Sedangkan
siapa saja yang tidak menjaga salat, dia tidak akan mendapatkan
cahaya, petunjuk dan keselamatan. Dan pada hari kiamat nanti,
dia akan dikumpulkan bersama dengan Qarun, Fir’aun, Haman,
dan Ubay bin Kholaf.

Kedua, salat bisa menjadi penolong dari kesulitan, kesusahan,


dan lainnya. Karena itu, Allah menyuruh kita untuk minta pertolongan
kepada-Nya melalui perantara salat. Dalam surah Al-Baqarah ayat
45, Allah berfirman;

ِ ِ ْ ‫وة واِنـَّها لَ َكبِيـرةٌ اَِّل علَى‬


ِ َّ ‫لص ِب و‬ ِ ِ ْ‫و‬
‫ي‬
َ ْ ‫الٰشع‬ َ َْ َ َ ‫الص ٰل‬ َ ْ َّ ‫استَعيـْنـُْوا ب‬ َ
Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang
yang khusyuk.

Ketiga, salat bisa menjadi penenang bagi manusia. Ini seperti


telah dicontohkan oleh Nabi Saw, sebagaimana disebutkan dalam
hadis riwayat Imam Abu Dawud, Nabi Saw berkata;

78
‫لص َل ِة‬
َّ ‫قُ ْم َي بِ َل ُل فَأَ ِر ْحنَا ِب‬
Iqamahlah, wahai Bilal, tenangkanlah kami dengan salat.

Keempat, salat bisa menjadi penghapus dosa manusia. Ini


sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari
dari Abu Hurairah, dia berkata;

‫س َك َّف َارةٌ لِ َما بـَيـْنـَُه َما‬


ُ ‫الَ ْم‬
ْ ‫ات‬
ُ ‫الصلَ َو‬
َّ
Salat lima waktu bisa menjadi kaffarah (penghapus) dosa yang
terjadi di antara dua salat. 

Kelima, salat bisa menjadi pencegah bagi manusia untuk me­


lakukan perbuatan keji dan mungkar. Ini sebagaimana firman Allah
dalam surah Al-Ankabut ayat 45 berikut;

ِ ۗ ِ ِ
‫الص ٰلوَة‬
َّ َّ
‫ن‬ ‫ا‬ ‫ة‬ َّ ‫ٰب َواَقِِم‬
َ‫الص ٰلو‬ ِ ‫ك ِمن الْ ِكت‬
َ َ ۤ ‫اُتْ ُل َمآ اُْوح َي الَْي‬
‫تـَنـْ ٰهى َع ِن الْ َف ْح َشا ِء َوالْ ُمْن َكر‬
Bacalah Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu
(Muhammad) dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu
mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. 

79
80
Hukum Salat Sunnah
Sambil Duduk

KETIKA MELAKSANAKAN SALAT WAJIB, berdiri saat salat termasuk


rukun salat. Artinya, tidak sah salat seorang yang duduk, ketika ia
mampu berdiri. Pun tak sah, salat orang yang berbaring, ketika ia
mampu untuk berdiri tegak. 
Akan tetapi kewajiban berdiri itu hanya berlaku bagi salat wajib,
sedangkan pada saat melaksanakan salat sunah itu ada perbedaan.
Seorang yang salat sunnah rawatib atau tahiyatul masjid misalnya,
diperbolehkan salat sembari duduk, meskipun ia mampu berdiri.
Ini merupakan keringanan hukum dalam salat sunnah. 
Bolehnya salat sambil duduk, diungkapkan oleh Syaikh
Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in. Bahkan lebih dari
itu, seorang yang salat sunah juga boleh dalam keadaan berbaring.
salatnya dianggap sah meskipun tak berdiri. Simak penjelasan
dalam Fathul Mu’in berikut;

‫ضطَ ِج ًعا َم َع الْ ُق ْد َرِة‬ ِ َ‫فـيجوز لَه أَ ْن يصلِّي النـَّْفل ق‬


ْ ‫اع ًدا َوُم‬ َ َ َ ُ ُ ُ ْ ُ ََ
‫ضطَ ِج ُع الْ ُقعُ ْوَد لِ ُّلرُك ْو ِع‬ْ ‫ َويـَْلَزُم الْ ُم‬،‫َعلَى الْ ِقيَ ِام أ َْو الْ ُقعُ ْوِد‬
‫الس ُج ْوِد‬
ُّ ‫َو‬
81
salat sunnah sambil duduk dan berbaring dibolehkan walaupun
mampu berdiri dan duduk. Akan tetapi, bagi orang yang berbaring
diharuskan duduk ketika rukuk dan sujud.

Sementara itu Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni menjelaskan


para ulama membolehkan salat sambil duduk, sekalipun ia sehat.
Meski begitu, salat sambil  dalam keadaan berdiri itu lebih utama.
Terkait pahala, orang yang salat sunnah dalam keadaan duduk,
mendapatkan setengah pahala dari salat berdiri. Ibnu Qudamah
berkata;

‫ َوأَنَّهُ ِف الْ ِقيَ ِام‬،‫َل نـَْعلَ ُم ِخ َلفًا ِف َإب َح ِة التَّطَُّوِع َجالِ ًسا‬
،‫ض ُل‬ َ ْ‫أَف‬
Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang
bolehnya salat sunah sambil duduk. Hanya saja, berdiri lebih
utama. 

Pandangan serupa—boleh salat sunnah sambil duduk—, dijelas­


kan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah al Muhadzab,
bahwa ulama telah sepakat terkait kebolehan salat sunnah dalam
keadaan duduk. Sekalipun orang yang salat itu mampu berdiri. 

‫اع ًدا َم َع الْ ُق ْد َرِة َعلَى الْ ِقيَ ِام ِبِْل ْجَ ِاع‬
ِ َ‫َيوز فِعل النَّافِلَ ِة ق‬
ُْ ُُ
Menurut Ijma’ ulama, boleh hukumnya melaksanakan salat
sunnah dalam keadaan duduk, sekalipun ia mampu salat dalam
keadaan berdiri.

Dalam pelbagai hadis Rasullulah melaksanakan salat sunnah


dalam keadaan duduk. Inilah yang jadi argumen para ulama terkait
kebolehan melakukan salat sunnah sambil duduk. Hadis  tersebut
riwayat Imam Muslim yang bersumber dari Sayidah Aisyah;

82
،‫صلِّي َجالِ ًسا‬ ِ
َ ُ‫صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َكا َن ي‬
ِ َ ‫َن رس‬
َ َّ‫ول الل‬ ُ َ َّ ‫أ‬
ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ‫فـيـ ْقرأُ وهو جال‬
– ‫ني‬ َ ‫ فَِإ َذا بَق َي م ْن قَراءَته َْن ٌو م ْن ثَالَث‬،‫س‬ ٌ َ َ ُ َ َ ََ
‫ ُثَّ َس َج َد‬،‫ ُثَّ يـَْرَك ُع‬،‫ني – آيَةً قَ َام فـََقَرأ ََها َوُه َو قَائٌِم‬ ِ
َ ‫أ َْو أ َْربَع‬
Sesungguhnya Rasulullah Saw salat sambil duduk. Kemudian
beliau membaca Al-Quran sambil duduk. Ketika yang beliau baca
kira-kira tinggal tiga puluh atau empat puluh ayat, beliau berdiri.
Lalu beliau melanjutkan bacaan salat sambil berdiri. Kemudian
beliau rukuk dan sujud.

Lantas apa sebab boleh hukumnya salat dalam keadaan du­


duk saat salat sunnah? Jawabanya termaktub dalam kitab Al-
Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah.  Kitab ensiklopedi fikih terbitan
Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait menyebutkan
bahwa dibolehkanya salat  sambil duduk, sebab salat sunnah
termasuk ibadah yang senantiasa dianjurkan agar dikerjakan secara
kontinu. Untuk itu, jika diwajibkan berdiri, maka akan menyebabkan
kesusahan dan kesulitan. 
Simak penjelasan itu dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-
Kuwaitiyah berikut;

‫ع‬ َّ ‫ ِل‬،‫اع ًدا َم َع الْ ُق ْد َرِة َعلَى الْ ِقيَ ِام‬


َ ‫َن التَّطَُّو‬
ِ َ‫َيوز التَّطَُّوع ق‬
ُ ُُ
ْ ‫َخيـٌْر َدائٌِم فـَلَ ْو أَلَْزْمنَاهُ الْ ِقيَ َام يـَتـََع َّذ ُر َعلَْي ِه َإد َامةُ َه َذا‬
‫الَِْي‬
Ibadah sunnah itu boleh dilakukan sambil duduk sekalipun mampu
berdiri. Ini karena ibadah sunah itu kebaikan yang langgeng. Jika
kami wajibkan berdiri, maka ini akan membuat pelanggengan
kebaikan itu terasa sulit.

Demikian penjelasan hukum salat sunnah sambil duduk. Se­


moga bermanfaat. 

83
84
Saat Salat Sebaiknya
Memejamkan Mata
Atau Tidak?

KHUSYUK DALAM SALAT MERUPAKAN SUATU ANJURAN. Seseorang


yang mengerjakan salat, baik sunnah atau wajib itu dianjurkan
untuk khusyuk. Pasalnya, dalam kekhusyukan salat, maka kita
mendapatkan pahala dari salat yang kita laksanakan. Di samping
itu, rasa keintiman salat itu diperoleh ketika khusuk. 
Pelbagai cara dilakukan seseorang ketika salat. Ada yang melirik
tempat sujud saja. Fokus pada sajadah tempat ia sedang salat. Ada
juga dengan cara yang berbeda, misalnya dengan memejamkan
mata. Dengan begitu, ia merasa akan mampu khusyuk dan mampu
mendalami pelbagai bacaan salat.
Muncul kemudian persoalan, saat salat, sebaiknya memejamkan
mata atau tidak?

Memejamkan Mata Saat Salat

Pertama kita akan membahas masalah memejamkan mata saat


salat. Para ulama berbeda pendapat terkait masalah memejamkan
mata pada saat salat. Pertama, memejamkan mata saat salat boleh
hukumnya, tidak makruh selama aman dan tidak membahayakan.
Pendapat ini terdapat dalam Al Majmu Syarah al Muhadzab, karya
Imam Nawawi. Ia mengatakan;

85
‫الْ ُم ْختَ ُار أَنَّهُ َل يُ ْكَرهُ إِ َذا‬.. ‫الص َل ِة‬ ِ َْ‫ض الْ َعيـْنـ‬
َّ ‫ي ِ ْف‬ ِ
ُ ‫َوأ ََّما تـَ ْغمْي‬
‫ضَرًرا‬
َ ‫ف‬ َّ ‫َلْ َِي‬
Adapun memejamkan mata dalam salat, menurut pendapat yang
dipilih, hal tersebut tidak dimakruhkan selama aman dari bahaya.

Kedua hukumnya sunnah memejamkan mata saat salat, bila itu


membuat seseorang khusyuk. Nah, untuk orang yang bisa khsyuk
dengan cara memejamkan mata, maka dalam kondisi tersebut
hukumnya sunah memejamkan mata.
Pendapat ini bisa kita baca dalam Shahih Shifati salatin Nabi
Saw karya Habib Hasan bin Ali Assaqaf. Simak penjelasan beliau
berikut ini; 

ِ ٌّ ‫الص َل ِة مستح‬ ِ َْ‫ض الْ َعيـْنـ‬ ِ


‫ب‬َ ‫ب لَنَّهُ َْي َم ُع الْ َق ْل‬ َ َ ْ ُ َّ ‫ي ِ ْف‬ ُ ‫تـَ ْغمْي‬
ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ‫ويس‬
ْ ‫الُ ُش ْوِع َوالت ََّدبُّر ْف الْقَراءَة َوالتَّأ َُّم ِل ْف َم َع‬
‫ان‬ ْ ‫اع ُد َعلَى‬ َ َُ
‫الْ ُق ْرأ َِن َو ْالَذْ َكا ِر‬
Memejamkan mata dalam salat disunahkan karena hal tersebut
bisa menghimpun hati dan membantu untuk khusyuk, menghayati
bacaan Alquran, dan memikirkan kandungan makna Al-Qur’an
dan zikir.

Pada sisi lain, Syekh  Abu Bakar Syatha Ad dimyati dalam kitab
I’anatut Thalibin menambahkan keterangan terkait sunah meme­
jamkan mata. Seorang yang salat disunnahkan memejamkan mata,
kalau salat di tempat yang banyak gambar dan ukiran. Pasalnya,
kondisi ini bisa menganggu pikiran dan tidak membuat khusyuk.
Pada kitab I’anatul Thalibin,  ia menjelaskan: 

86
 ُ‫ش فِ ْكَره‬ ِِ ٍ ٍِ ِ
ُ ‫صلَّى لَائط ُمَزَّوق َوَْن ِوه مَّا يُ َش ِّو‬
َ ‫َوقَ ْد يُ َس ُّن َكأَ ْن‬
Disunahkan memejamkan mata bila salat dekat dinding yang
diukir dan seumpamanya jika hal itu bisa menganggu pikiran

Ketiga, makruh hukumnya memejamkan mata saat salat. Pen­


dapat itu sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziah dalam
kitab berjudul Zadul Ma’ad. Ibnu Qayyim beralasan memejamkan
mata saat shaat bukanlah termasuk sunah Nabi Muhammad. Ia
menegaskan sebagai berikut; 

‫ض َعيـْنـَْي ِه ِ ْف‬ ِ ِ
ُ ‫صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم تـَ ْغمْي‬
ِِ ِ
َ ‫َوَلْ يَ ُك ْن م ْن َه ْديه‬
‫الص َل ِة‬
َّ
Bukan termasuk sunah atau petunjuk Nabi Muhammad, meme­
jamkan kedua matanya ketika sedang mengerjakan salat.

Membuka Mata Pada Saat Salat

Pada sisi lain, seorang yang salat juga dianjurkan membuka


mata. Pengertian membuka mata adalah mengarahkan pandangan
mata ke tempat sujud. Tidak dengan melirik ke kiri dan ke kanan.
Membuka mata artinya fokus melihat sajadah tempat ia melaksana­
kan salat dengan tujuan utama untuk memperoleh kekhusukan salat. 
Demikian ini dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al Majmu
Syarah al Muhadzab, ia  mengatakan;

‫الص َل ِة‬
َّ ‫ض ْوِع ِ ْف‬ ْ ‫الُ ُش ْوِع َو‬
ُ ُ‫ال‬ ْ ‫اب‬ ِ ‫استِ ْحب‬
َ ْ ‫َجَ َع الْعُلَ َماءُ َعلَى‬
ْ‫أ‬
‫الص َل ِة‬ ِ ‫اللْتِ َف‬
َّ ‫ات ِ ْف‬ ِْ ‫وَكراه ِة‬  ‫غض الْبص ِر ع َّما يـ ْل ِهي‬
َ َ َ ْ ُ َ َ َ ِّ ‫َو‬
Ulama sepakat terkait anjuran khusyuk dan tenang dalam salat,

87
dan menundukkan pandangan dari segala hal yang bisa mela­
laikan, dan makruh menoleh dalam salat

Penjelasan masalah membuka mata itu itu dengan mengarahkan


pandangan mata ke tempat sujud, bertujuan untuk khusyuk dalam
salat. Pasalnya, menoleh ke kanan maupun ke kiri hukumnya
makruh dalam salat.  Kondisi itu menyebabkan seseorang tidak
khusyuk dalam salatnya.
Dari penjelasan memejamkan mata dan membuka mata dalam
salat sudah tergambar tujuannya yakni khusyuk. Yang menutup
mata ada ulama yang membolehkan dilakukan. Sedangkan yang
membuka mata dianjurkan. Tapi dengan catatan fokus melirik ke
tempat sujud. Agar salatnya khusyuk. Percuma juga membuka
mata, jika melirik ke kiri, kanan, atas, dan bawah, yang membuat
salat tidak khusyuk.
Memejamkan Mata atau Membuka Mata Lebih Utama?
Terkait mana lebih utama memejamkan mata atau memuka mata
dalam salat, Syaikh Sulaiman bin Umar atau dikenal dengan Syaikh
Jamal, mengatakan sebaiknya dalam salat kita membuka mata. 
Dalam kitab  Hasyiatul Jamal ‘ala Syarh Al-Manhaj  membuka
mata, misalnya saat rukuk ketika salat hukumnya sunnah agar mata
juga ikut rukuk. Pun,  disunnahkan untuk dibuka mata ketika sujud
agar mata juga ikut sujud.
Simak penjelasan Syaikh Al-Jamal dalam kitab Hasyiatul Jamal
‘ala Syarh Al-Manhaj sebagai berikut;

ِ ‫السجوِد لِيسج َد الْبصر قَالَه‬ ِ


‫ب‬ُ ‫صاح‬ َ ُ ُ َ َ ُ ْ َ ْ ُ ُّ ‫َويُ َس ُّن فـَْت ُح َعيـْنـَْيه ِ ْف‬
ِ ِ َّ ‫ف وأَقـَّره‬ ِ
‫اسهُ فـَْت ُح ُه َما ِ ْف‬
ُ َ‫قي‬.…ُ‫الزْرَكش ُّي َو َغيـُْره‬ ُ َ َ ‫ا لْ َع َوا ِر‬
‫صُر‬ ِ
َ َ‫الرُك ْوِع ليـَْرَك َع الْب‬
ُّ
88
Disunnahkan membuka kedua mata di dalam sujud agar pan­
dangan juga ikut sujud. Ini dikatakan oleh pengarang kitab Al-
‘Awarif, dan ditetapkan oleh Imam Al-Zarkasyi dan lainnya. Ini
disamakan dengan kesunnahan kedua mata ketika rukuk agar
pandangan juga ikut rukuk.

Demikian penjelasan hukum saat salat lebih utama memejam­


kan mata atau tidak? Semoga bermanfaat. 

89
90
Hukum Mematuhi Prokes
Selama Pandemi

SEJAK MASUK KE INDONESIA DI BULAN MARET 2020, virus Covid 19


nampaknya masih menyebar dengan penyebaran yang luar biasa.
Beberapa wilayah telah memasuki zona merah. Peningkatan jumlah
pasien Covid di Indonesia semakin banyak. Rumah sakit sampai
kewalahan dan sempat terjadi kelangkaan tabung oksigen.
Kondisi semacam ini menjadi penyebab pemerintah melakukan
langkah-langkah taktis dan terukur untuk menanggulangi krisis
kesehatan selama pandemi ini. Diantaranya ialah dengan mem­
berlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan terbaru
dengan mengeliarkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Ma­
syarakat (PPKM). Tujuan utamanya ialah untuk menghentikan
mata rantai penyebaran virus korona yang media utamanya ialah
kerumunan.
Langkah pemerintah ini disambut dengan beragam fatwa dari
organisasi-organisasi masyarakat berbasis keislaman seperti Majelis
Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan berbagai
macam organisasi lainnya yang menghimbau agar masyarakat
patuh terhadap pesan pemerintah tersebut.
Secara hukum Islam, tentunya kita harus mematuhi dan meng­
ikuti protokol kesehatan yang sudah diberlakukan. Apalagi jika

91
kita pahami bahwa sebenarnya keuntungan daripada kepatuhan
itu kembali kepada diri kita masing-masing. Hal ini sebagaimana
difirmankan oleh Allah Swt. dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 195:
۟ ۟ ِ
ۛ ‫َنف ُقوا ِف َسبِ ِيل ٱللَِّ َوَل تـُْل ُقوا ِبَيْ ِدي ُك ْم إِ َل ٱلتـَّْهلُ َك ِة‬ ‫َوأ‬
ِ‫ب ٱلْمح ِسن‬ ِ ِ ۟ ِ
 ‫ني‬
َ ْ ُ ُّ ُ ََّ‫لل‬ ‫ي‬ ‫ٱ‬ َّ
‫ن‬ ‫إ‬ ۛ ‫ا‬
‫و‬ ُٓ‫َحسنـ‬
ْ ‫َوأ‬
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik”.

Jika kita tidak mematuhi Prokes yang telah diberlakukan oleh


pemerintah kepada kita, tidak mau menggunakan masker, tidak
rajin mencuci tangan dan tetap bersikap egois menciptakan keru­
munan, maka itu sama saja artinya dengan menjerumuskan diri
kita dalam kebinasaan, yakni tertular virus korona yang bahkan
bisa menyebabkan kematian.
Beberapa dari kita yang masih muda mungkin bisa berkilah
dengan merasa bahwa daya tahan tubuhnya kuat sehingga merasa
akan baik-baik saja meskipun melanggar protokol kesehatan. Namun
harus diingat bahwa di keluarga kita juga ada yang sudah tua. Di
sekeliling kita juga ada yang mungkin daya tahan tubuhnya tidak
sekuat kita. Sikap semacam ini sesuai dengan hadis, dimana Nabi
Muhammad Saw pernah bersabda:

‫ضَرَر َوالَ ِضَر َار‬


َ َ‫ال‬
“Tidak boleh membahayakan orang lain dan tidak boleh mem­
bahayakan diri sendiri” (HR. Malik no. 1435).

92
Dalam khazanah literatur Islam, kondisi pandemi ini bisa kita
samakan dengan kondisi thaun yang pernah terjadi di zaman Nabi
dan para Sahabat. Sikap Nabi terhadap kondisi tersebut persis sama
dengan sikap yang diambil oleh pemerintah kita, yakni “Karantina
Wilayah”: Nabi bersabda:

‫الر ْج ِز ابـْتـَلَى اللَُّ َعَّز َو َج َّل بِِه َن ًسا ِم ْن ِعبَ ِاد ِه‬
ِّ ُ‫الطَّاعُو ُن آيَة‬
‫ض َوأَنـْتُ ْم ِبَا‬
ٍ ‫فَِإ َذا َِس ْعتُ ْم بِِه فَ َل تَ ْد ُخلُوا َعلَْي ِه َوإِ َذا َوقَ َع ِب َْر‬
ِ ِ
ُ‫فَ َل تَفُّروا مْنه‬
“Tha’un (penyakit menular/wabah) adalah suatu peringatan dari
Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia.
Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu
negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah
itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu
lari daripadanya” (HR. Muslim no. 2218).

Sebagian dari kita ada pula yang berargumen bahwa karantina


dengan model PSBB maupun PPKM itu merugikan secara ekonomi.
Mereka menjelaskan bahwa dengan karantina semacam ini para
pegawai tidak bisa lagi bekerja, para pedagang tidak lagi bisa
berdagang dan berbagai sektor sumber mata pencaharian menjadi
mati. Dalam hal ini berarti ada dua hal yang menjadi prioritas. Yakni
antara kesehatan atau ekonomi. Tidak karantina mungkin bisa
menyelamatkan ekonomi namun resikonya kesehatan masyarakat
menjadi terganggu. Sebaliknya mungkin bisa menyekamatkan
kesehatan namun mengganggu secara ekonomi. Dalam kajian
kaidah fikih, maka apabila terjadi kontradiksi semacam ini, kita
bisa menggunakan kaidah:

93
‫َصغَ ِر‬
‫ل‬ ْ ِ‫إِ َذا اِجتمع الضَّرر ِان أَس َق َط ْالَ ْكبـر ل‬
ْ ََ ْ ََ َ َ َ ْ
“Jika ada dua mudharat yang berkumpul, maka yang lebih besar
harus digugurkan, untuk melakukan yang lebih kecil”

Pertimbangan lainnya adalah bahwa aturan pemerintah tersebut


merupakan aturan yang mesti kita taati. Karena mengikuti pemimpin
selama tidak dalam kemaksiatan adalah merupakan sebuah ke­
wajiban. Terlebih lagi aturan tersebut adalah demi keselamatan
kita. Berbagai literatur fikih lintas madzhab, mengatakan bahwa
taat kepada pemerintah merupakan sebuah kewajiban.
Abu Bakar bin Mas’ud al Kasani yang bermadzhab Hanafi, dalam
kitab Bada’i ‘al-Sana’i’ fi Tartib al-Syara’i, menyatakan bahwa
mematuhi pemerintah hukumnya adalah wajib. Selama pemimpin
tersebut tak menyuruh melaksanakan perbuatan maksiat.

‫ف فِْي َما ُه َو‬


َ ‫ فَ َكْي‬،‫ض‬
ٍ ِ ِ ‫الم ِام فِيما لَي‬
ٌ ‫س بَْعصيَة فـَْر‬ ِ َ َ‫ط‬
َ ْ َ ْ َ ْ ُ‫اعة‬
‫اعةٌ؟‬
َ َ‫ط‬
Mematuhi pemimpin selama tidak menyuruh maksiat kepada
Allah, merupakan kewajiban. Maka bagaimana kenapa tidak Taat?

Muhammad bin Ahmad bin Ahmad yang bermadzhab Maliki


dalam kitab al Bayan wa at Tahsil wa Syarh wa Taujih wa Ta’lil li
Masaili al Mustakhrijah, menyatakan bahwa wajib bagi seorang
muslim untuk taat kepada pemimpin, sekalipun pemimpin itu yang
yang ia benci atau ia sukai. Bahkan jika ia berlaku tak adil sekalipun
selama yang ia perintahkan bukanlah kemaksiatan.

94
‫ َوإِ ْن‬،‫ب أ َْو َك ِرَه‬
َّ ‫َح‬ ِ ِ ِْ ُ‫الرج ِل طَاعة‬ ِ
َ ‫ال َمام فْي َما أ‬ َ ُ َّ ‫ب َعلَى‬ ٌ ‫َواج‬
   ‫صيَ ٍة‬
ِ ‫ ما َل يْمره ِبَع‬،‫َكا َن َغيـر ع ْد ٍل‬
ْ ُ ْ ُ َ ْ َ َ َْ
“Wajib atas seseorang taat kepada pemimpin, pada apa yang ia
sukai dan ia benci, meskipun pemimpin itu berlaku tidak adil. Tapi
dengan catatan, pemimpin itu tak menyuruh maksiat pada Allah”.

Imam Nawawi yang bermadzhab Syafi’i juga menyatakan hukum


wajib taat kepada pemimpin. Ia berkata dalam kitab Majmu Syarh
al-Muhadzab’ jilid 10, halaman 47;

ِ
ْ ‫ َما َلْ ُيَال‬،‫ال َم ِام ِ ْف أ َْم ِرِه َونـَْهيِ ِه‬
‫ف ُح ْك َم‬ ِْ ُ‫اعة‬
َ َ‫ب ط‬ ُ ‫َت‬
ِ
‫ َس َواءٌ َكا َن َع ِادًل أ َْو َجائًِرا‬،‫الش َّْرِع‬
wajib hukumnya taat pada pemimpin, pada apa yang ia perin­
tah­kan dan larang, selama itu tidak menyalahi hukum syariat.
Meskipun pemimpin itu adil atau tidak adil (baca; wajib ditaati).

Dengan demikian mematuhi pelbagai pemerintah suatu ke­


wajiban. Terlebih mematuhi pemerintah dalam melaksanakan
protokol kesehatan Covid-19. Pasalnya, peraturan tersebut pada
dasarnya bermanfaat bagi diri sendiri. Sekaligus untuk memutus
mata rantai penyebaran virus Covid-19.

95
96
Ulama Anjurkan Lakukan
Vaksinasi Untuk
Mengakhiri Covid-19

PANDEMI COVID-19 HINGGA KINI MASIH MELANDA INDONESIA.


Menurut data Gugus Tugas Covid-19, tercatat 3,18 juta jiwa yang
terjangkit positif Covid-19. Sedangkan korban meninggal akibat
Covid-19 mencapai 84.766 orang. Rumah sakit di beberapa daerah
full. Bahkan di beberapa wilayah sempat terjadi kelangkaan oksigen.
Di samping itu juga, dibeberapa wilayah; seperti Jabodetabek, Jawa
Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah masuk zona hitam dan merah.
Tak bisa dipungkiri,untuk menekan laju penularan Covid-19,
salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah vaksinasi. Para pakar
kesehatan telah menyebutkan vaksinasi Covid-19 juga  berfungsi
untuk membentuk herd immunity (kekebalan komunitas) sebagai
upaya perlindungan dari penyakit menular.  
Vaksinasi dalam tinjauan Maqashid Syariah
Menurut ajaran Islam, memelihara jiwa manusia adalah suatu
kewajiban. Demikian halnya  menjaga jiwa, merupakan titah syariat
Islam. Jiwa dalam Islam sangat berharga. Berangkat dari konsep
itu, dalam ajaran Islam pembunuhan atau menghilangkan jiwa
manusia merupakan perbuatan terlarang. 
Sementara itu, tujuan pokok dari penerapan syariat adalah
mewujudkan maslahah. Intisari  syariat adalah demi kemanusiaan.

97
Menurut Imam Al Ghazali, ada lima hal tujuan syariah. Dalam kitab
al-Mustashfa, Imam Ghazali berkata sebagai berikut:

‫ َوُه َو أَ ْن َْي َف َظ َعلَْي ِه ْم‬:ٌ‫الَْل ِق خَْ َسة‬ ْ ‫ود الش َّْرِع ِم ْن‬ ُ‫ص‬ ُ ‫َوَم ْق‬
‫ض َّم ُن‬ ِ
َ َ‫ فَ ُك ُّل َما يـَت‬،‫دينـَُه ْم َونـَْف َس ُه ْم َو َع ْقلَ ُه ْم َونَ ْسلَ ُه ْم َوَما َلُْم‬
ُ ‫ َوُك ُّل َما يـَُف ِّو‬،ٌ‫صلَ َحة‬
ِ ْ ‫ول‬ ِ ‫ِح ْف َظ ه ِذ ِه ْالُص‬
‫ت‬ ْ ‫الَ ْم َسة فـَُه َو َم‬ ُ َ
ٌ‫صلَ َحة‬ ِِ
ْ ‫ول فـَُه َو َم ْف َس َدةٌ َوَدفـْعُ َها َم‬ َ ‫ُص‬ُ ‫َهذه ْال‬
Tujuan syariat yang berlaku atas makhluk ini ada 5, yaitu menjaga
agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan hartanya. Segala
kebijakanyang berorientasi pada penjaminan terhadap kelima
dasar pokok ini disebut juga sebagai maslahah. Sebaliknya,
kebijakan yang meninggalkan kelima asas dasar ini, maka ter­
masuk mafsadah. Oleh karena itu, menolaknya, adalah tindakan
yang maslahah.

Tak bisa dipungkiri, vaksinasi sejatinya merupakan ikhtiar


pemerintah untuk mengakhiri pandemi Covid-19. Vaksin Covid-19
digalakkan untuk memutus mata rantai penularan Covid-19. Dan
juga sebagai bentuk kebijakan pemerintah agar terhindar dari risiko
terinfeksi virus corona. Pendek kata; Vaksin adalah menangkis
virus Covid-19.

Anjuran Vaksinasi Menurut


Lembaga Fatwa Internasional

Anjuran untuk melaksanakan vaksinasi datang dari lembaga


fatwa internasional. Menurut Lembaga Komisi Fatwa Al Jazair
bahwa vaksinasi Covid-19 merupakan sesuatu yang dianjurkan
syariat. Pasalnya, menurut syariat Islam berobat ketika diserang

98
penyakit suatu perintah hukum syariat.  Untuk itu, vaksinasi Covid-19
diperlukan guna melawan penyebaran virus Corona. Komisi Fatwa
Al Jazair mengeluarkan istruksi berikut;

‫اج َه ِة َه ِذ ِه‬ ِ ٌّ ‫إِ َّن التـَّْل ِقيح ِض ُّد فِيـرو ِس َكورو َن ضروِر‬
َ ‫ي ل ُم َو‬ ْ ُ َ ْ ُ ْ ْ ُْ َْ
‫ات ال ِطّبِّيَّ ِة ِ ْف‬ِ َ‫السلَط‬َّ ‫ات‬ ِ ‫ يـنـبغِي الْعمل بِتـوِجيـه‬,‫الائِح ِة‬
َْ َْ ُ َ َ ْ َْ َ َ َْ
ِ ‫ضُرْوَرَة تـَلَ َّق ِي اللِّ َق‬
‫اح‬ ِ ِ
َ ‫الْبِ َلد الَِّ ْت تـُْؤك ُد‬
Vaksinasi terhadap Covid-19 diperlukan sebagai upaya untuk
menghadapi pandemi Corona. Untuk itu, arahan dari pihak otoritas
medis berupa vaksinasi harus diikuti oleh setiap warga negara.

Selanjutnya anjuran vaksinasi datang dari Lembaga Fatwa


Uni Emirat.  Lembaga Fatwa UEA menyebutkan vaksinasi me­
rupakan tuntunan syariat. Para ulama ada yang mengatakan
berobat  hukumnya sunat. Namun, dalam keadaan Covid-19, Ketua
Lembaga Fatwa UEA, Syekh Abdallah bin Bayyah mengatakan
setiap manusia wajib hukumnya menjaga dirinya dan hidupnya
agar terhindar dari wabah.
Lebih lanjut, Dewan Fatwa Uni Emirat Arab mengatakan boleh
hukumnya menggunakan vaksin Covid-19 yang mengandung babi.
Ketua Lembaga Fatwa Syekh Abdallah bin Bayyah menyebutkan pada
saat darurat virus Corona seperti saat ini, vaksin sangat diperlukan.
Sekalipun vaksin itu mengandung babi, saat darurat hukumnya
boleh. Ketika kondisi Covid-19 ini, vaksin itu digolongkan dalam
obat, bukan sebagai makanan.
Vaksinasi merupakan ikhtiar untuk mengakhiri pandemi. Vaksin
ibarat “obat” untuk menyudahi pandemi. Obat dari penyakit yang
menyebabkan krisis ekonomi, sosial, dan politik. Akibat pandemi,
jutaan nyawa melayang, jutaan manusia kehilangan pekerjaan.

99
Nah, sejatinya vaksin Astrazenaca, Moderna, Pfizer, dan Sinovac
obat dari pandemi ini.
Menurut pandangan fikih, berobat untuk mencapai kesembuhan
dari penyakit merupakan perintah Rasulullah. Dalam kitab Zadul
Ma’ad, karya Ibn Qayyim Al-Jauziah menyebutkan bahwa berobat
adalah merupakan perintah Rasullulah. Ketika para sahabat dan
keluarga beliau terkena penyakit, Nabi menyuruh mereka untuk
segera berobat.
Ibn Qayyim Al Jauziah  dalam kitab Zadul Ma’ad , Jilid IV, halaman
9 berkata;

‫صلَّى اللَُّ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فِ ْع ُل الت ََّدا ِوي ِف‬ ِِ ِ


َ ‫فَ َكا َن م ْن َه ْديه‬
‫َص َحابِِه‬ ِ ِ ِ ‫ و ْالَمر بِِه لِمن أَصابه مر‬،‫نـ ْف ِس ِه‬
ْ ‫ض م ْن أ َْهله َوأ‬ ٌ َ َ َُ َ ْ َ ُ ْ َ َ
Maka ada pun petunjuk dari Rasululah SAW, bahwa ia berobat
ketika ia sakit, dan ia juga menyuruh orang yang sakit untuk
berobat dari kalangan sahabat dan keluarganya.

Anjuran untuk berobat datang juga dari seorang ulama besar,


Syamsuddin Muhammad bin Abul Abbas Ahmad bin Hamzah bin
Syihabuddin al Ramli al Manufi al Mishri al Anshori. Ulama besar ini
akrab dengan panggilan Imam Ramli, menyebutkan bila seseorang
tertimpa penyakit, maka ia dianjurkan syariat untuk berobat. Perintah
untuk berobat adalah sunat hukumnya.
Imam Ramli berkata dalam Nihayatul Muhtaj;

َّ ‫يث‬ ِ ‫يض (الت ََّدا ِوي) ِل ِد‬ ِ ‫(ويُ َس ُّن) لِْل َم ِر‬
ً‫ض َع َداء‬ َ َ‫"إن اللََّ َلْ ي‬ َ َ
‫الَاكِ ُم َع ْن‬ ِ
ْ ‫ َوَرَوى ابْ ُن ِحبَّا َن َو‬."‫ض َع لَهُ َد َواءً َغيـَْر ا ْلََرم‬ َ ‫َّإل َو‬
‫ َج ِهلَهُ َم ْن‬،ً‫"ما أَنـَْزَل اللَُّ َداءً َّإل َوأَنـَْزَل لَهُ َد َواء‬ ٍ ‫اب ِن مسع‬
‫ود‬
َ ُْ َ ْ
100
."ُ‫َج ِهلَهُ َو َعلِ َمهُ َم ْن َعلِ َمه‬
Sunat hukumnya orang yang sakit untuk berobat. Pendapat ini
berdasarkan hadis Nabi; ‘Sesungguhnya Allah tidak menurunkan
penyakit kecuali Allah pun telah menurunkan obat bagi penyakit
tersebut, kecuali penyakit pikun.

Sementara itu, Imam Nawawi berkata bagi orang yang tertimpa


sakit sunah hukumnya berobat. Dalam Majmu’ Syarah al Muhadzab,
Jilid V, halaman 106 termaktub;

ُّ ‫ َويُ ْستَ َح‬ ‫صِ َب‬


َ ‫ب أَ ْن يـَتَ َدا ِو‬
‫ي‬ َّ ‫ض اُ ْستُ ِح‬
ْ َ‫ب لَهُ أَ ْن ي‬ َ ‫َوَم ْن َم ِر‬
Barang siapa yang berpenyakit, sunat hukumnya ia untuk bersabar,
dan sunat pula hukumnya agar ia berobat.

Sebagai kesimpulan upaya vaksinasi adalah upaya untuk


meng­akhiri pandemi Covid-19. Para ulama internasional juga telah
menganjurkan untuk melaksanakan vaksinasi Covid-19. Dan sudah
mengeluarkan fatwa terkait halalnya vaksin Covid-19 yang tersedia
saat ini.  

101
102
Bolehkah Salat
di Atas Kasur?

KETIKA KITA MELAKSANAKAN SALAT, baik di rumah, hotel, atau


tempat lainnya, terkadang kita melaksanakan salat di atas kasur
atau ranjang, dan terkadang pula melaksanakan salat di atas lantai.
Dalam fikih, bolehkah kita salat di atas kasur? Bila bisa memilih,
sebaiknya kita salat di atas lantai atau di atas kasur?
Menurut para ulama, melaksanakan salat di atas lantai maupun
di atas kasur dan ranjang hukumnya sama-sama boleh dan sah.
Tidak masalah kita melaksanakan salat di atas kasur dan ranjang,
selama kita bisa melakukan rukun-rukun salat dengan sempurna,
meskipun kasur atau ranjang tersebut bergerak ketika kita melaku­
kan gerakan salat.
Ini sebagaiman disebutkan oleh Syekh Zainuddin Al-Malibari
dalam kitab Fathul Mu’in berikut;

)‫(علَى َغ ِْي َْم ُم ْوٍل‬ ٍ ِ َْ‫(س ُجوٌد َمَّرتـ‬ ِ


َ ،‫ي) ُك َّل َرْك َعة‬ ْ ُ :‫َو َسابعُ َها‬
ِ ِ ِ ِ َ ‫ (وإِ ْن َتَّرَك ِبرَكتِ ِه) ولَو َنو س ِري ٍر يـت‬،‫لَه‬
ُ‫حَّرُك بََرَكته لَنَّه‬
َ ََ ْ َ َ ْ ْ َ ََ َ َ ُ
‫الس ُج ْوُد َعلَْي ِه‬ ُ َ‫س ِبَ ْح ُم ْوٍل لَهُ فَ َل ي‬
ُّ ‫ضُّر‬ َ ‫لَْي‬

103
Rukun yang ketujuh adalah sujud dua kali setiap rakaat pada
benda yang tidak (tergolong) dibawa olehnya, meskipun benda
tersebut bergerak dikarenakan gerakannya. Seperti sujud di
ranjang (kasur) yang ikut bergerak seiring dengan bergeraknya
orang yang salat, sebab ranjang bukan termasuk kategori benda
yang dibawa oleh orang yang salat, maka sujud pada ranjang
tersebut tidak masalah. 

Senada dengan pendapat Syekh Zainuddin al-Malibari, Darul


Ifta’ Al-Mishriyah membuat fatwa serupa sebagaimana berikut;

‫ض أ َْو‬ َّ ‫الص َل ِة َعلَى‬


َّ ‫الد َّك ِة َو‬
ِ ‫الس ِريْ ِر ِ ْف الْ َف ْر‬ َّ ‫ ِ ْف‬: ‫الس َؤ ُال‬
ُّ
‫ َوأَيـُُّه َما‬، ‫ض‬ ِ ‫َه ْل يَ ْستـَْو ْي فِ ْعلُ َها ُهنَا َو َعلَى ْال َْر‬ : ‫النـَّْف ِل‬
‫ض ُل؟‬ َ ْ‫أَف‬
‫ك ِم َن‬ ِ ِ
َ ‫ ل َما ِ ْف َذل‬،‫ض ُل‬ ِ ‫الص َلةُ َعلَى ْال َْر‬
َ ْ‫ض أَف‬ َّ : ‫اب‬ ُ ‫الََو‬ْ
ُ ‫الُ ُش ْوِع َوالتـََّو‬
‫اض ِع‬ ْ
Pertanyaan; Salat di kursi atau ranjang saat melakukan salat
wajib atau sunnah; Apakah sama antara melakukan salat di atas
kursi dan ranjang dengan salat di atas lantai, mana di antara
keduanya yang lebih utama?

Salat di atas lantai lebih utama, karena hal itu dapat men­da­
tangkan kekhusyukan dan ketawadhuan.

104
Hukum Mengganti Salat
Jumat dengan Zuhur di
Masa Pandemi untuk
Wilayah Zona Merah

HARI JUMAT MERUPAKAN HARI YANG SANGAT ISTIMEWA bagi umat


Islam. Hal ini didukung oleh sebuah hadis sebagaimana kutipan
dari Al-Imam al-Syafi’i dan al-Imam Ahmad yang meriwayatkan
dari Sa’ad bin ‘Ubadah: 

ِ ِ ِ ْ ‫هللا يـوم‬ ِ ِ ِ
‫َّح ِر‬
َ ‫الُ ُم َعة َوُه َو أ َْعظَ ُم م ْن يـَْوم الن‬ ُ َْ ‫سيِّ ُد ْال ََّيم عْن َد‬  َ
ِ
‫آد َم َوفْي ِه أ ُْهبِ َط‬ ِ ِ ِ
ِ َْ‫ويـوم الْفطْ ِر وفي ِه خ‬ِ
َ ُ‫ص ٍال فْيه َخلَ َق هللا‬ َ ‫سخ‬ ُ َْ ُ َْ َ
ِ ِ ِ ِ
َّ ِ‫ض َوفْيه تـُُو‬ ِ
ِ ‫الَنَّة إِ َل ْال َْر‬ ْ ‫ِم َن‬
‫اعةٌ َل يَ ْسأ َُل الْ َعْب ُد‬ َ ‫ف َوفْيه َس‬
‫فِيـَْها هللاَ َشيـْئًا إَِّل أ َْعطَاهُ إِ َّيهُ َما َلْ يَ ْسأ َْل إِْثًا أ َْو قَ ِطيـَْعةَ َرِح ٍم‬
‫ض‬ ٍ ‫ب َوَل َسَ ٍاء َوَل أ َْر‬ ٍ ‫ك م ّقَّر‬ ٍ ِ
ُ َ‫اعةُ َوَما م ْن َمل‬ َ ‫الس‬َّ ‫َوفِْي ِه تـَُق ْوُم‬
ْ ‫َوَل ِريْ ٍح َوَل َجبَ ٍل َوَل َح َج ٍر إَِّل َوُه َو ُم ْش ِف ٌق ِم ْن يـَْوِم‬
‫الُ ُم َع ِة‬
Artinya: Rajanya hari di sisi Allah adalah hari Jumat. Ia lebih agung
dari pada hari raya kurban dan hari raya fitri. Di dalam Jumat
terdapat lima keutamaan. Pada hari Jumat Allah menciptakan
Nabi Adam dan mengeluarkannya dari surga ke bumi. Pada hari
Jumat pula Nabi Adam wafat. Di dalam hari Jumat terdapat waktu

105
yang tiada seorang hamba meminta sesuatu di dalamnya kecuali
Allah mengabulkan permintaannya, selama tidak meminta untuk
melakukan dosa atau memutus tali silaturahim. Hari kiamat
juga terjadi di hari Jumat. Tiada malaikat yang didekatkan di sisi
Allah, langit, bumi, angin, gunung dan batu kecuali ia khawatir
terjadinya kiamat saat hari Jumat. 

Keistimewaan tersebut ditambah pula dengan adanya sebuah


ibadah yang spesial dilakukan di hari tersebut, yakni salat Jumat.
Kewajiban tersebut ditegaskan dalam firman Allah QS. Al-Jumu’ah
ayat 9:
۟ ِ ِ ۟
‫ٱس َع ْوا‬ ‫ف‬ ِ
‫ة‬ ‫ع‬ ‫م‬
ْ َ َ ُ ُْ َْ ‫ٱل‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ـ‬‫ي‬ ‫ن‬ ِ
‫م‬ ِ
‫ة‬ ‫و‬ ِ
ٰ َ َّ َ ُ َ ُٓ‫ين ءَ َامنـ‬
‫ل‬ ‫لص‬ ‫ل‬ ‫ى‬ ‫ود‬ ‫ن‬ ‫ا‬‫ذ‬ ِ‫إ‬ ‫ا‬ ‫و‬ َ ‫َٰٓيَيـَُّها ٱلَّ ِذ‬
۟
‫إِ َ ٰل ِذ ْك ِر ٱللَِّ َو َذ ُروا ٱلْبـَْي َع ۚ َٰذلِ ُك ْم َخيـٌْر لَّ ُك ْم إِن ُكنتُ ْم تـَْعلَ ُمو َن‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah
dan tinggalkanlah jual beli. (QS. Al-Jumu’ah; 9)

Dalam kitab Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Syekh Wahbah al-


Zuhaili menjelaskan bahwasanya perintah bersegera menunjukkan
kewajiban yang mutlak. Secara fikih, kewajiban tersebut jenisnya
ialah fardlu ‘ain atau wajib bagi tiap-tiap individu, dan dibebankan
kepada seorang lelaki yang sudah baligh dan berakal sebagaimana
hadis Rasulullah SAW:

َ َ‫صلَّى اللَُّ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬


‫ال‬ َ ‫َّب‬ِّ ِ‫اب َع ْن الن‬ٍ ‫َعن طَا ِرِق بْ ِن ِشه‬
َ ْ
‫اع ٍة إَِّل أ َْربـََعةً َعْب ٌد‬ ِ ِ
َ َ‫ب َعلَى ُك ِّل ُم ْسل ٍم ِف َج‬ٌ ‫الُ ُم َعةُ َح ٌّق َواج‬ ْ
ٌ ‫ب أ َْو َم ِر‬
 ‫يض‬ ٌّ ِ‫ص‬
َ ‫وك أ َْو ْامَرأَةٌ أ َْو‬
ٌ ُ‫مَْل‬

106
Salat Jumat wajib bagi setiap muslim dalam jama’ah, kecuali
empat, (yaitu) hamba sahaya, wanita, anak-anak atau orang
sakit. (HR Abu Daud)

Di masa pandemi ini, kewajiban salat jumat yang sedianya


dilaksanakan harus secara berjamaah di tiap-tiap masjid menjadi
sebuah persoalan. Hal ini mengingat bahwa penularan virus Covid
19 bisa melalui kerumunan orang banyak.
Hingga saat ini, penularan Virus Covid masih terus terjadi dan
belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Bahkan di sejumlah
daerah yang sebelumnya masih berada dalam zona kuning, kini telah
menjadi zona merah. Jumlah orang yang terpapar virus meningkat
tajam. Angka kematian pun terus bertambah.
Pemerintah dalam hal ini telah melakukan berbagai macam
upaya penanggulangan penyebaran virus ini. Diantaranya ialah
vaksinasi masal yang terus dilakukan pada semua warga masyarakat.
Pemerintah juga memberlakukan berbagai protokol kesehatan dan
mencanangkan sebuah program “Normal Baru” di mana semua
sektor kehidupan mesti beradaptasi dengan keberadaan virus ini.
Termasuk diantaranya ialah sektor peribadatan.
Terkait pelaksanaan salat jumat di tengah suasana pandemi ini,
apalagi untuk wilayah yang sudah memasuki zona merah, pemerin­
tah bersama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah
besar ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah,
Persatuan Islam (Persis), dan lainnya sepakat menyerukan kepada
umat khususnya yang berada di zona merah untuk mengganti
pelaksanaan salat jumat dengan salat Zhuhur di kediaman (rumah)
masing-masing.
Hal ini didasarkan pada pendapat Imam Syafi’i sebagaima­
na dikutip oleh Imam Ismail ibn Yahya al-Muzanī, dalam kitab
Mukhta�ar al-Muzanī:

107
‫ ” َوَل ُجُ َعةَ َعلَى ُم َسافِ ٍر‬: ‫ َرِحَهُ هللَ تـََع َال‬، ‫ال الشَّافِعِ ُّي‬ َ َ‫ق‬
‫وها‬
َ ‫ضُر‬ ٍ ‫َوَل َعْب ٍد َوَل ْامَرأ ٍَة َوَل َم ِر‬
َ ‫یض َوَل َم ْن لَهُ عُ ْذٌر َوإِ ْن َح‬
‫َجَزأَتـْ ُه ْم‬
ْ‫أ‬
Imam Syafii berkata: ‘Tidak ada kewajiban bagi musafir, hamba
sahaya, perempuan, orang yang sakit, dan orang memiliki uzur.
Dan jika mereka menghadiri jumatan maka hal itu mencukupi
bagi mereka (sah).

Situasi pandemi dan penyebaran virus merupakan hal-hal


yang termasuk uzur dalam melaksanakan salat jumat, sehingga
pandangan fikih di atas bisa menjadi acuan umat Islam untuk
mengganti pelaksanaan salat jumat dengan salat Zhuhur di rumah
masing-masing. Hal ini semata-mata demi menghindari penyebaran
virus Covid 19, dan semata-mata yang dilarang bukanlah salat
jumatnya namun berkerumunnya.
Lebih dari itu, bahkan bagi yang berada di zona merah, terutama
bagi warga yang positif terjangkit virus, maka uzur tersebut sudah
mutlak menjadi larangan untuk tidak diwajibkannya salat jumat atau
tidak dianjurkannya salat berjamaah dalam jumlah besar, namun
malah tidak boleh melakukan kedua aktivitas tersebut.
Meskipun telah jelas mengenai hukum di atas, namun timbul
sebuah keresahan baru mengingat terdapat sebuah hadis yang berisi
ancaman ketika seseorang meninggalkan salat Jumat sebanyak 3
kali berturut-turut:

 ‫ات تـََه ُاو ًن ِبَا طَبَ َع هللاُ َعلَى قـَْلبِه‬


ٍ ‫ث مَّر‬
َ َ ‫َم ْن تـََرَك اجلُ ُم َعةَ ثََل‬
Siapa meninggalkan salat Jumat tiga kali karena meremehkan,
niscaya Allah menutup hatinya,” (HR At-Turmudzi, At-Thabarani,
Ad-Daruquthni).

108
Hadis di atas tentunya tidak berlaku bagi orang-orang yang
meninggalkan salat Jumat dikarenakan adanya uzur berupa pan­
demi virus corona. sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar
al-Haitami dalam kitab Al-Minhaj al-Qawim bahwasanya ada banyak
sekali persoalan yang bisa dijadikan sebagai uzur bagi kita untuk
meninggalkan salat berjamaah ataupun salat jumat:

‫أع َذ ُار اجلُ ُم َع ِة‬ْ "‫اعة‬ ِ


َ ‫أع َذ ا ِر اجلُ ُم َعة َواجلَ َم‬ ْ ‫"ف‬ ِ : ‫صل‬
ٌ ْ َ‫ف‬
‫ض الَّ ِذ ْي‬ ُ ‫ َوالْ َمَر‬،‫اعة املَطَُر إِ ْن بَ َّل ثَوبُه َوَل َِي ْد َكنًا‬
ِ ‫واجلم‬
َ ََ َ
ُ ‫ َوإِ ْشَر‬،ُ‫ض َمن َل ُمتـََع َّه َد لَه‬
ِ ْ‫اف الْ َق ِري‬ ِِ
‫ب‬ ُ ْ‫ َوتَِْري‬،‫يَ ُش ُّق َك َم َش َّقته‬
ِ
‫اج‬ِ ‫ف َعلى الْ ِم َنه‬ ُ ‫الَْو‬ْ ‫َع َذا ِر‬ ْ ‫َعلَى الْ َم ْوت … َوِم َن ْال‬
ُ‫ َو َغلَبَة‬،‫س َلئِ ٍق‬ ٍ ‫ َوفـَْق ُد لُْب‬،… ُ‫ ْأو َمالَه‬،ُ‫ضه‬ ِ
َ ‫ أو ع ْر‬،ُ‫نـَْف َسه‬
‫ش َوالْبـََرِد‬ ِ َ‫العط‬ ِ ُ‫ َو ِش َّدةُ اجل‬،‫يح ِبللَّ ِيل‬ ِ ‫الن‬
ِّ ُ‫َّوم َو ِش َّدة‬
َ ‫وع َو‬ ِ ‫الر‬
‫َوالْ َو َح ِل َواحلَِّر ظُ ْهًرا‬
Artinya:
Pasal tentang beberapa uzur salat jumat dan berjamaah Uzur
salat Jumat dan berjamaah adalah hujan yang (jika) membasahi
baju dan tidak menemukan penutup, sakit yang memberatkan
(parah), merawat pasien yang tidak ada perawat lainnya, me­
muliakan kerabat yang berduka,…  sebagian dari uzur salat Jumat
dan berjamaah sebagaimana dituturkan dalam kitab Minhaj
ialah khawatir atas gangguan keselamatan jiwanya, kehormatan
dirinya, atau harta bendanya, …, tidak ada pakaian yang layak,
terlalu mengantuk, terlalu dingin di malam hari, terlalu lapar,
dahaga, dingin, lembab dan panas di waktu Zhuhur, …

Sebenarnya dalam kitab tersebut masih ada lagi beberapa uzur


lainnya yang tidak perlu kami sebutkan mengingat tidak terlalu

109
berhubungan dengan substansi permasalahan yang sedang dibahas,
yakni larangan salat Jumat di masa pandemi.
Pandemi virus corona yang bisa menjadi penyebab meninggalnya
seseorang dan berlangsung secara lama dan penyebarannya begitu
masif tentu saja merupakan sebuah uzur yang bisa menyebabkan
kita boleh meninggalkan melaksanakan salat jumat meskipun itu
terjadi sebanyak 3 kali berturut-turut atau bahkan lebih.

110
Imam Syafii berkata: ‘Tidak ada
kewajiban bagi musafir, hamba
sahaya, perempuan, orang yang
sakit, dan orang memiliki uzur.
Dan jika mereka menghadiri
jumatan maka hal itu mencukupi
bagi mereka (sah).

111
112
Hukum Memakai Masker
Saat Salat

SAAT INI BANYAK KITA JUMPAI SESEORANG YANG MELAKSANAKAN


SALAT DENGAN MEMAKAI MASKER, terutama ketika melaksanakan
salat berjemaah di masjid dan tempat keramaian lainnya. Tentu
ini dipicu oleh adanya virus Covid-19, yang salah satu cara untuk
mencegah penyebarannya harus menggunakan masker, termasuk
ke­tika sedang melaksanakan salat di tempat keramaian. Sebenarnya,
bagaimana hukum memakai masker ketika salat, apakah boleh?
Menurut para ulama, hukum asal memakai penutup mulut ketika
salat, seperti masker dan lainnya, adalah makruh. Tidak dianjurkan
memakai masker ketika melaksanakan salat, baik bagi laki-laki dan
perempuan. Hukum makruh ini berlaku ketika memang tidak ada
kebutuhan atau anjuran dari dokter. 
Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Abu Daud dan Ibnu Majah,
dari Abu Hurairah, dia berkata;

َّ ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْن يـُغَ ِطّ َي‬ ِ ُ ‫نـهى رس‬


ُ‫الر ُج ُل فَاه‬ َ َّ‫ول الل‬ ُ َ ََ
‫الص َل ِة‬
َّ ‫ِف‬
Rasulullah Saw melarang seseorang menutup mulutnya ketika
salat.

113
Berdasarkan hadis ini, Imam Al-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’
menegaskan kemakruhan memakai penutup mulut seperti masker
dan lainnya ketika sedang melaksanakan salat. Beliau berkata
sebagai berikut;

‫َي ُم ْغطَيًا فَاهُ بِيَ ِد ِه أ َْو‬ ِ


ْ ‫الر ُج ُل َمتـَلَثّ ًما أ‬َّ ‫صلِّ َي‬ َ ُ‫َويُ ْكَرهُ أَ ْن ي‬
َّ َ‫َغ ِْيَها… َوَه ِذ ِه َكَر َاهةُ تـَْن ِزيٍْه َل تَْنَ ُع ِص َّحة‬
‫الص َل ِة‬
Makruh seseorang melakukan salat dengan talatsum, artinya
menutupi mulutnya dengan tangannya atau yang lainnya. Mak­
ruh di sini adalah makruh tanzih (tidak haram) sehingga tidak
menghalangi keabsahan salat.

Namun demikian, kemakruhan memakai masker ini menjadi tidak


berlaku jika pemakain masker dalam salat sangat dibutuhkan, seperti
karena khawatir terkena virus tertentu, kuman dan lain­nya. Menurut
Ibnu Abdil Barr, menutup mulut dengan masker diperbolehkan jika
hal itu dilakukan karena ada kebutuhan. 
Keterangan senada juga terdapat dalam kitab Al-Mausu’ah Al-
Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

‫ف َو ْج َه َها ِف الصَّالَِة‬ ِ ِ
َ ‫َن َعلَى الْ َم ْرأَة أَ ْن تَ ْكش‬ َّ ‫َجَعُوا َعلَى أ‬ ْ‫أ‬
‫صلِّي ِب ْلَبـَْه ِة‬ َ َ‫َن َستـَْر الْ َو ْج ِه ُِيل ِبُب‬
َ ‫اشَرِة الْ ُم‬ َّ ‫ َوِل‬،‫ال ْحَرِام‬ ِْ ‫و‬
َ
‫الر ُجل‬ َّ ‫صلَّى اللَُّ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ‫َّب‬
ِ
ُّ ِ‫ َوقَ ْد نـََهى الن‬،‫َويـُغَطّي الْ َف َم‬
‫ك‬ ِ ِ‫ فَِإ ْن َكا َن ِلاج ٍة َكحضوِر أَجان‬،‫عْنه‬
َ ‫ فَالَ َكَر َاهةَ َوَك َذل‬،‫ب‬ َ َ ُ ُ ََ َُ
ِ ِِ
‫ك‬َ ‫اج إِ َل َذل‬ َ َ‫احت‬ ْ ‫الر ُج ُل تـَُزْو ُل الْ َكَر َاهةُ ِ ْف َح ّقه إِ َذا‬
َّ
Ulama sepakat bahwa wajib atas wanita membuka wajahnya di
dalam salat dan ihram (haji/umrah). Karena sungguh penutup
wajah itu menghalangi seorang yang melaksanakan salat (untuk

114
menempelkan) secara langsung dahi dan hidung serta dapat
menutupi mulut. Nabi Saw telah melarang seorang laki-laki me­
lakukan hal itu (juga). 

Jika ada kebutuhan, seperti adanya laki-laki lain (yang bukan


mahramnya bereda di dekatnya ketika salat), maka tidak makruh.
Demikian pula lelaki, hukumnya menjadi tidak makruh jika dia
butuh untuk menutupi mulutnya.
Menurut Syekh Sauqi Alam, Mufti Darul Ifta Mesir, berkata;

ِِ ِ ِ ِِ ِ
َ ‫ ْال ْست ْمَر ُار فْيه بِ َل‬:‫فَالْ ُمَر ُاد م َن النـَّْه ِي َع ِن التـَّْغطيَة‬
،‫ضُرْوَرٍة‬
‫اج ٍة ؛ يَ ْد ُخ ُل ِض ْم َن‬ ِ ٍ ‫اعةً لِ َعا ِر‬
َ َ‫ض أ َْو ل‬ َ ‫ض َها َس‬ ُ ‫أ ََّما عُُرْو‬
ْ ‫ص ِة َو‬
‫الََوا ِز‬ َ ‫الر ْخ‬ُّ
Maksud larangan dari menutup mulut ketika salat adalah ketika
munutup mulut itu dilakukan secara terus-menerus, tanpa ada
darurat. Ketika ada datang saat yang membutuhkan menutup
mulut (misalnya; mencegah persebaran virus) atau ada hajat,
maka ada keringanan hukum. Itu hukumnya menjadi boleh.

115
116
Hand Sanitizer Beralkohol,
Sucikah Dipakai Salat?

SAAT COVID-19 INI, salah satu yang dianjurkan oleh pakar kese­
hatan adalah selalu mencuci tangan  dan membersihkan tangan
menggunakan sabun dan hand sanitizer. Dalam ilmu medis,  hand
sanitizer dibuat mengandung alkohol. Pasalnya, sifat alkohol yang
menyerap ke kulit, dan efektif untuk membunuh kuman dan virus-
virus yang ada.
Untuk itu di pelbagai masjid dan musalla jamak kita temui hand
sanitizer. Biasanya diletakkan dipintu masjid. Jamaah yang ingin
masuk masjid dianjurkan untuk memakainya. Pun di perkantoran
dan gedung-gedung yang ada, senantiasa ada hand sanitizer. 
Lalu, bagaimana status hand sanitizer beralkohol itu, apakah
termasuk suci untuk bisa dipakai salat atau ibadah lainnya? 
Terlebih dahulu kita membahas hand sanitizer dalam Islam. Tadi
sudah dijelaskan di atas, hand sanitizer itu dibuat menggunakan
alkohol. Masalah utama yang kita bahas adalah status hukum
alkohol dalam Islam. Hukum asal al kohol dalam Islam itu yang
perlu dijawab dan diketengahkan lebih dahulu. 
Para ulama berbeda pendapat terkait hukum alkohol. Pakar fikih
kontemporer, Syekh Wahbah Az Zuhayli dalam kitab Al Fiqhul Islami
wa Adillatuhu , mengatakan bahwa alkohol itu suci. Termasuk dalam

117
hal ini, alkohol murni ataupun sudah ada campuran, itu termasuk
suci.  Simak penjelasan Syekh Wahbah Zuhaili berikut; 

ٍ ِ
ُ‫ بِنَاءً َعلَى َما َسبَ َق تَق ِر ُيره‬،ً‫َم َّادةُ الْ ُك ُح ْول َغريُ َنَ َسة َش ْرعا‬
ُ ‫ َس َواءٌ َكا َن الْ ُك ُح‬،ُ‫َص َل ِ ْف ْالَ ْشيَ ِاء الطَّ َه َارة‬ ِ ِ
‫ول‬ ْ ‫م ْن أ َّن ْال‬
‫اسةَ اخلَ ْم ِر‬ ِ ‫صرفاً أَم ُمََّففاً ِبلْم ِاء تـرِجيحاً لِْل َق‬
َّ ‫ول ِب‬
َ َ‫َن َن‬ ْ َْ َ ْ َْ
ِ ٍ ِ
ً‫ َل ْاعتبَا ِرَها ِر ْجسا‬،‫َو َسائِِر الْ ُم ْسكَرات َم ْعنَ ِويَّةٌ َغريُ ح ّسيَّة‬
ِ ِ ِ
ِ َ‫ِمن عم ِل الشَّيط‬
.‫ان‬ ََ ْ
Zat alkohol tidak najis menurut hukum Islam, berdasarkan kae­
dah fikih yang telah dinyatakan sebelumnya, bahwa prinsip
dasar dalam sesuatu adalah suci; baik itu alkohol itu murni atau
diencerkan atau dikurangi kadar alkoholnya  dengan campuran air,
dengan menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa najisnya
khamr dan segala zat yang bisa memabukkan, sejatinya bersifat
maknawi, bukan harfiah, dengan pertimbangan utamanya bahwa
itu adalah benda kotor sebagai perbuatan setan.

Sementara itu, penjelsan apik diterangkan oleh Imam Al-Syaukani


dalam kitab As-Sailul Jarar. Ia mengatakan bahwa alkohol itu suci.
Adapun makna rijsun pada Q.S al Maidah/5; 90 adalah haram bukan
najis. Jadi zat dari alkohol tersebut itu adalah suci. 

ُ‫ك بِِه أ ََّما ْاليَة‬ ِ ‫لَيس ِف َنَاس ِة الْمس ِك ِر َدلِيل يصلُح لِلتَّم ُّس‬
َ ُ ْ ٌَْ ُْ َ ْ َ ْ
ِ ْ ‫ين َآمنُوا إَِّنَا‬ ِ َّ
‫اب‬
ُ ‫ص‬ َ ْ‫الَ ْمُر َوالْ َمْيسُر َو ْالَن‬ َ ‫ َي أَيـَُّها الذ‬:ُ‫َوُه َو قـَْولُه‬
‫اجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تـُْفلِ ُحو َن‬ ِ ِ ‫و ْال َْزَلم ِرج‬
ْ َ‫س م ْن َع َم ِل الشَّْيطَان ف‬ ٌ ْ ُ َ
ْ ‫س بَ ِل‬
‫الََر ُام‬ ِ ِ ِِِ
ٌ ‫س الْ ُمَراد ب ّلر ْجس َن‬ َ ‫) فـَلَْي‬09(
118
Tidak ada dalil yang kuat untuk menyokong pendapat yang
menyatakan kenajisan sesuatu yang memabukkan. Adapun
pengertian ayat (Al Maidah ayat 90); “Sesungguhnya (meminum)
khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah perbuatan keji yang Termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.” Kata rijsun tersebut bukan bermakna najis
melainkan bermakna haram.

Pendapat menarik terkait status alkohol dikatakan oleh


Abdurrahman Al-Jaziri, dalam kitab Al-Fiqhu ala Madzahibil Arba‘ah,
juz I, halaman 15, bahwa alkohol secara hukum dasar adalah najis.
Akan tetapi, untuk pemakaian parfum dan obat itu diperbolehkan.
Dalam konteks ini, alkohol adalah najis yang dimaafkan. Simak
penjelasan dalam Al-Fiqhu ala Madzahibil Arba‘ah,

‫الرَوائِ ِح‬
َّ ‫اف إِ َل ْال َْد ِويَِة َو‬
ُ ‫ض‬ َ ُ‫َّج َسةُ الَِّ ْت ت‬
َ ‫ات الن‬
ِ ِ
ُ ‫َومنـَْها الْ َمائ َع‬
‫ص َل ُح‬ ْ ‫ال‬ِْ ‫ص َل ِح َها فَِإنَّهُ يـُْع َفى َع ِن الْ َق َد ِر الَّ ِذ ْي بِِه‬ ِ
ْ ‫الْ َعطَ ِريَّة ِِل‬
 ‫ب‬ِ ْ ‫لج‬ُّ ِ‫صلَ َح ِة ل‬ ِ ِ
ْ ‫اسا َعلَى ْالَنْف َحة الْ َم‬ ً َ‫قي‬
ِ
Salah satu (yang dimaafkan) adalah cairan-cairan najis yang
dicampurkan pada obat dan aroma harum parfum untuk memberi
efek maslahat padanya. Hal ini terbilang dimaaf sebatas minimal
memberi efek maslahat berdasarkan qiyas atas aroma yang
memberi efek maslahat pada keju. 

Dengan demikian, hand sanitizer itu hukumnya suci, meskipun


terbuat dari alkohol. Untuk itu, setelah berwudhu tak apa memakai
hand sanitizer. Pun boleh dibawa untuk salat dan membaca Al-
Qur’an. 

119
120
Hukum Memilih Salat
Berjamaah di Rumah
Selama Pandemi

SALAT JAMAAH ADALAH IBADAH YANG SANGAT DIANJURKAN DALAM


ISLAM. Sejarah mencatat bahwa salat ini pertama kali salat berja­maah
disyariatkan ialah pada saat Nabi hijrah ke Madinah, mengingat
pada saat di Makkah, umat Islam masih dalam kondisi tertekan oleh
kaum kafir Quraisy. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Mustafa
al-Khin dan Mustafa al-Bugha dalam Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Fiqh
al-Imam al-Syafi’i:

َ‫اعة‬َ ‫الَ َم‬ْ - ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ - ‫َّب‬


ِ
ُّ ِ‫ أَقَ َام الن‬:‫َت ِريْ ُخ إِقَ َامت َها‬
‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬َ -‫ث‬ َّ ‫بـَْع َد ا ْلِ ْجَرِة‬
َ ‫ فـَلَ َق ْد َم َك‬،‫الش ِريـَْف ِة‬
،‫اع ٍة‬ ِ ‫ م َّد َة م َق ِام ِه ِف م َّكةَ ثََلث ع ْشرَة سنةً ي‬-
َ َ‫صلّ ْي بِغَ ِْي َج‬ َ ُ ََ َ َ َ َْ َ ُ
ِِ َّ ‫ِل‬
َ ُ‫ ي‬،‫الص َحابَةَ َكانـُْوا َم ْق ُه ْوِريْ َن‬
‫ فـَلَ َّما‬،‫صلُّ ْو َن ِ ْف بـُيـُْوت ْم‬ َّ ‫َن‬
‫ إِ َل الْ َم ِديـْنَ ِة أَقَ َام‬- ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ - ‫َّب‬ ُّ ِ‫اجَر الن‬ َ ‫َه‬
.‫ب َعلَيـَْها‬ َ َ‫اعةَ َوَواظ‬َ ‫الَ َم‬ ْ
Periode pensyariatan (salat berjamaah): Nabi Saw. melaksanakan
salat berjamaah sesudah peristiwa hijrah yang mulia, selama Nabi

121
Saw. bermukim di Makkah selama 13 tahun, beliau salat tidak
berjamaah mengingat sahabat berada dalam kondisi tertekan,
akhirnya mereka salat di rumah masing-masing. Ketika Nabi
Saw. hijrah ke Madinah, beliau berjamaah dan melestarikannya.

Hukum salat berjamaah ialah fardlu kifayah. Tempat pelak­


sanaannya bisa dimana saja, namun yang paling utama ialah di
masjid karena dengan melakukan salat berjamaah di masjid, umat
Islam sekaligus melakukan syiar. 
Dalil pensyariatan salat berjamaah di Alquran diantaranya tertera
pada QS al-Nisa ayat 102:

‫ٱلصلَ ٰوَة فـَْلتـَُق ْم طَآئَِفةٌ ِّمنـْ ُهم‬ َّ ‫ت َلُُم‬ َ ‫نت فِي ِه ْم فَأَقَ ْم‬ َ ‫َوإِ َذا ُك‬
۟ ۟ ۟
‫َسلِ َحتـَُه ْم فَِإ َذ ا َس َج ُد وا فـَْليَ ُكونُوا ِمن‬ ْ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫ك َولْيَأْ ُخ ُذ ٓو‬ َ ‫َّم َع‬
۟ ُّ ۟ ُّ ِ ْ‫ورآئِ ُكم ولْتأ‬
‫ك‬ َ َ َ َ ُ َ ‫صلو‬
‫ع‬ ‫م‬ ‫ا‬‫و‬ ‫ل‬ ‫ص‬ ‫ي‬ ‫ل‬
ْ ‫ـ‬‫ف‬ ‫ا‬ َ ُ‫ُخَر ٰى َلْ ي‬ْ ‫ت طَآئَِفةٌ أ‬ َ َ ْ ََ
۟ ِ َّ‫ولْيأْخ ُذ ۟وا ِح ْذرهم وأَسلِحتـهم ۗ وَّد ٱل‬
‫ين َك َفُروا لَ ْو تـَ ْغ ُفلُو َن‬ َ ‫ذ‬ َ ْ َُ َ ْ َ ْ ُ َ ُ ََ
‫َسلِ َحتِ ُك ْم َوأ َْمتِ َعتِ ُك ْم فـَيَ ِميلُو َن َعلَْي ُكم َّميـْلَةً َٰو ِح َد ًة ۚ َوَل‬ ْ ‫َع ْن أ‬
ِ
َ ‫اح َعلَْي ُك ْم إِن َكا َن بِ ُك ْم أَ ًذى ّمن َّمطَ ٍر أ َْو ُكنتُم َّم ْر‬
‫ض ٰٓى‬ َ َ‫ُجن‬
‫ين‬ ِ
‫ر‬ ‫ف‬ِ ‫أَن تَضع ۟وا أَسلِحت ُكم ۖ وخ ُذ ۟وا ِح ْذرُكم ۗ إِ َّن ٱللَّ أَع َّد لِْل َٰك‬
َ َ َ َْ ُ َ ْ َ َ ْ ُٓ َ
 ‫َع َذ ًاب ُّم ِهينًا‬

Artinya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka


(sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-
sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri
(salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila
mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan

122
serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu
(untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan
yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah
mereka denganmu], dan hendaklah mereka bersiap siaga dan
menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah
terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu
kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan
senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena
hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu.
Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan
bagi orang-orang kafir itu”.

Ayat diatas menjelaskan tentang sistematika salat berjamaah


dalam kondisi khouf atau perang. Jika dalam kondisi perang saja
kita diperintahkan untuk berjamaah. Apalagi dalam kondisi aman.
Salat berjamaah ini pahalanya sangat besar sekali, khususnya
bila dibandingkan dengan pahala salat sendirian (munfarid). Hingga
Nabi pernah bersabda:

"ً‫ص َل َة الْ َف ِّذ بِ َسْب ٍع َو ِع ْش ِريْ َن َد َر َجة‬


َ ‫ض ُل‬
ِ ‫الم‬
ُ ‫اعة تـَْف‬
َ َ َْ ُ‫"ص َلة‬
َ
Artinya: “Salat berjamaah lebih utama dibandingkan salat sen­
dirian 27 kali lipat”. (HR. Bukhari: 547, Muslim: 650)

Meskipun memiliki hukum fardlu kifayah, namun salat berjamaah


ini bisa ditinggalkan jika memang terdapat uzur, sebagaimana
disebutkan oleh Al-Khin dan al-Bugha dalam al-Fiqh ‘ala Madzhab
al-Imam al-Syafi’i, bahwa uzur-uzur tersebut di antaranya ialah:

ْ ‫اع ِة ْال‬
‫َع َذ ُار‬ ْ ‫ص َل ِة‬
َ ‫الَ َم‬ ِ َ ‫َع َذار الْم ْقبـولَِة ِف الت‬
َ ‫َّخلُّف َع ْن‬ ْ ُْ َ ُ ْ ‫ْال‬
:ُ‫َع َذ ُار الْ َع َّامة‬
ْ ‫ أ ََّما ْال‬.ٌ‫آصة‬ ِ ‫قِسم‬
َّ ‫ أ َْع َذ ٌار َخ‬،ٌ‫ أ َْع َذ ٌار َع َّامة‬:‫ان‬ َْ
ٍ ِ
.‫ َوَو ْح ٍل َشديْد ِ ْف الطَِّريْ ِق‬،‫ف بِلَْي ٍل‬ ِ ‫ وِري ٍح ع‬،‫فَ َكمطَ ٍر‬
ٍ ‫اص‬ َ َْ َ
123
،‫ش َش ِديْ َديْ ِن‬ ٍ ‫ فَ َك َمَر‬:‫آص ِة‬
ٍ ْ‫ض َو ُج ْوٍع َو َعط‬ َّ َ‫ال‬
ْ ‫َع َذ ُار‬
ْ ‫َوأ ََّما ْال‬
‫ث ِم ْن‬ ٍ ‫ وم َدافـع ِة ح َد‬،‫س أَو م ٍال‬ ٍ ‫ف‬ ‫ـ‬‫ن‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ِ َ‫ف ِمن ظ‬
ٍ
‫ال‬ ٍ
َ ََ ُ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ ‫َوَك َخ ْو‬
‫بـَْوٍل أ َْو َغائِ ٍط‬
Artinya: “uzur-uzur yang bisa diterima sebagai alasan untuk
meninggalkan salat berjamaah. Uzur-uzur tersebut terbagi menjadi
2 kelompok, yakni uzur umum dan uzur khusus. Uzur umum di­
antaranya ialah hujan, angin dingin di malam hari, dan becek
lumpur di jalanan. adapun uzur khusus diantaranya ialah: sakit,
lapar dan dahaga yang berlebih, takut terhadap orang lalim baik
bagi diri maupun hartanya, serta sedang sakit terus menerus
buang air kecil maupun besar”.

Di masa pandemi seperti sekarang ini, dimana virus corona pe­


nyebarannya bisa terjadi dengan adanya media berupa kerumunan,
maka sebaiknya salat berjamaah tidak perlu dilakukan di masjid-
masjid, namun cukup di rumah saja dengan keluarga masing-
masing. Kondisi pandemi saat ini bukanlah kondisi yang aman untuk
berkumpul dan berkerumun. Hal ini tentu saja bisa dimasukkan
dalam kategori kondisi uzur yang bisa memperbolehkan kita untuk
tidak salat berjamaah di masjid.
Pemerintah dan ormas-ormas keislaman seperti Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Muhammadiyah, Persis dan Nahdlatul Ulama
(NU) sudah bersama-sama mengeluarkan imbauan yang berisi
larangan untuk salat berjamaah di masjid-masjid dan menggantinya
dengan salat berjamaah di rumah. Upaya semacam ini bukan ber­
arti pemerintah melarang berjamaah, tetapi semata-mata me­larang
berkerumun mengingat situasi pandemi yang belum bisa diken­
dalikan seperti sekarang ini.
Salat berjamaah di rumah sangat bisa menjadi solusi yang
sangat baik yang bisa diambil oleh umat Islam saat ini. Pahala

124
salat berjamaah masih bisa didapat, dan sedikit hikmah di tengah
pandemi ialah bahwa kegiatan ini bisa menjadi sarana mempererat
hubungan keluarga. Hal ini senada dengan kaidah fikih:

‫ب التـَّْي ِسيـُْر‬ ِ
ُ ‫املش َّقةُ َْتل‬
َ
Artinya: “Kesukaran mendatangkan kemudahan.”

Contoh penerapan kaidah tersebut bisa kita temukan dalam


persoalan orang susah berdiri boleh salat dengan duduk atau
berbaring. Musafir yang sedang dalam perjalanan boleh menjama’
dan qashar salat, dan tentunya di masa pandemi ini orang boleh
tidak salat berjamaah di masjid namun berjamaah di rumah saja.
Kaidah ini sangat selaras dengan dalil Alquran QS. Al-Baqarah
ayat 185:

 ‫يد بِ ُك ُم ٱلْعُ ْسَر‬


ُ ‫يد ٱللَُّ بِ ُك ُم ٱلْيُ ْسَر َوَل يُِر‬
ُ ‫يُِر‬
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.”

125
126
Hukum Menjaga Jarak
Saat Salat Jamaah
Semasa Pandemi

SEJAK PANDEMI COVID-19 MENIMPA SELURUH DUNIA, tatanan ke­


hidupan manusia dalam segala bidang, kesehatan, ekonomi, sosial,
termasuk peribadatan, mengalami perubahan yang signifikan. Di
an­tara permasalahan peribadatan yang berubah adalah imbauan dari
ahli kesehatan untuk menjaga jarak dalam hal apapun, termasuk saat
salat berjamaah. Sebenarnya, bagaimanakah hukum menjaga jarak
1 atau 1,5 meter saat salat berjamaah, khususnya bagi masyarakat
Muslim yang berada di wilayah zona merah?
Dalam keadaan normal atau tidak sedang terjadi pandemi
Covid-19, merapatkan shaf salat jamaah itu sunah. Hal ini se­
bagaima­na hadis riwayat sahabat Anas bin Malik yang mendengar
Rasulullah saw. bersabda, 

ِ ‫الص‬
‫الة‬ ِ ‫الص ُف‬
َّ ‫وف ِم ْن إِقَ َام ِة‬ ُّ َ‫ فَِإ َّن تَ ْس ِويَة‬،‫ص ُفوفَ ُك ْم‬
ُ ‫َس ُّووا‬
)‫(متفق عليه‬
“Rapatkanlah shaf salat kalian, karena merapatkan shaf salat
itu bagian dari kesempurnaan salat” (HR Bukhari dan Muslim).

127
Syekh al-Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma‘bud menjelaskan, Imam
Ibnu Batthal menganggap bahwa merapatkan shaf itu bagian dari
sunah, bukan suatu kewajiban. Ia beralasan bahwa merapatkan
shaf itu bentuk dari kesempurnaan salat, bukan bagian dari syarat
sah salat.
Menurut Doktor Syauqi Ibrahim Allam, salah satu ulama anggota
Lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta al-Mishriyyah), menyatakan bahwa
mayoritas ulama berpendapat bahwa merapatkan barisan saat
salat jamaah itu sunnah. Hanya sebagian ulama yang mewajibkan
merapatkan barisan saat salat, seperti Imam Ibn Hazm.
Bahkan Imam al-Syihab al-Ramli berpendapat bahwa menjaga
jarak saat salat itu tidak mengurangi kesempurnaan pahala salat
berjamaah. Hal ini sebagaimana tercantum dalam kitab Busyra
al-Karim karya Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’ali sebagai berikut: 

ِ َّ ‫اب‬
ُ‫اعة‬ ُ ‫ ُك ُّل َم ْكُرْوٍه ِم ْن َحْي‬:‫الرْمل ِّي‬
َ ‫ث اجلَ َم‬ ِ ‫الشه‬ ِ ِ
َ ّ ‫َوعْن َد‬
ِ ‫الص ُفو‬ ِ ِ ِ ِ ٌ ‫م َف ِو‬
‫ف‬ ْ ُّ َ‫ت ل َفضيـْلَت َها إَّل تَ ْس ِويَة‬ ُّ
Menurut Imam as-Syihab ar-Ramli, semua yang dimakruhkan
dari segi berjemaah bisa menghilangkan fadlilah jama’ah, kecuali
merapikan shaf

Syekh Nawawi Banten dalam kitab Nihayatuz Zain menegaskan


ketidakmakruhan menjaga jarak saat ada uzur sebagaimana berikut: 

‫ت احلَِّر‬ ِ ْ‫َخرهم عن س ِّد ال َفرج ِة لِع ْذ ٍر َكوق‬ ِ


َ ُ َ َ َ ْ َ ْ ُ ُ ُّ ‫ إ ْن َكا َن َت‬،‫نـََع ْم‬
ِ ‫ِب لـمس ِج ِد احلر ِام لَـم ي ْكره لِع َدِم التـَّْق‬
‫ص ِْي فَ َل تـَُف ْوتـُُه ُم‬ َ ْ َ ُ ْ ََ َْ
ِ ‫ال َف‬
ُ‫ضيـْلَة‬
“Betul. Jika mereka tertinggal (terpisah) dari shaf karena uzur
seperti cuaca panas di masjidil haram, maka tidak (dianggap)

128
makruh karena tidak ada kelalaian. Dan mereka tidak kehilangan
fadhilah salat jamaah.”

Dari paparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa menjaga


jarak saat salat berjamaah itu tidak membatalkan salat. Selain
itu, merenggangkan shaf salat jamaah itu tidak membuat pahala
berjamaah kita terkurangi, karena adanya uzur yang dibenarkan
oleh syariat.

129
130
Hukum Salat Idul Adha
di Rumah Selama
Pandemi Covid-19

IDUL ADHA  MERUPAKAN HARI RAYA UMAT ISLAM. Idul Adha


bia­sa­nya dirayakan setiap tanggal 10 Dzulhijah. Setiap Idul Adha
dian­jurkan bagi mereka yang mempunyai kelapangan rezeki untuk
melaksanakan kurban. Sebagai kepedulian terhadap sesama. 
Habib Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaff
dalam kitab at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah, mengatakan
bahwa melaksanakan salat Idul Adha lebih afdhal atau lebih utama
daripada salat Idul Fitri. Pasalnya, perintah salat Idul Adha ada
dalam Al-Qur’an;

ِ َ‫ف‬
َ ِّ‫ص ّل لَرب‬
‫ك َو ْانَْر‬ َ
Artinya; Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkur­
banlah. 

Ada pun ketika Idul Adha, salah satu yang dianjurkan adalah
salat Idul Adha. Terkait hukum salat Idul Adha, para ulama dari
kalangan empat Mazhab berbeda pendapat. Syekh habib Hasan Al-
Kaff menjelaskan bahwa ulama dari kalangan Syafi’i menyebutkan
hukumnya sunah muakkad— salat sunnah yang sangat dianjurkan. 
Ada juga sebagian ulama mengatakan hukum salat Idul Adha

131
adalah Fardu Kifayah— wajib, tetapi apabila memperbuatnya se­
bagian kaum muslimin, gugur kewajiban itu. Sementara Mazhab
Abu Hanifah menyebutkan hukumnya wajib. Dalam kitab at-Taqrir
as-Sadidah fil Masailil Mufidah, tertulis;

‫ إِنـََّها‬: ‫ َوقِْي َل‬,‫ض ُل النـََّوافِ ِل‬


َ ْ‫ بَ ْل َِهي ُسنَّةٌ أَف‬, ٌ‫ُح ْك ُم َها ُسنَّة‬
ٌ‫َب َحنِيـَْفةَ ; َو ِاجبَة‬ ِ ِ ِ ٍ ِ ُ ‫فـر‬
ْ ِ‫ َوعْن َد ْال َمام أ‬,‫ض ك َفايَة‬ َْ
Artinya; Hukum Salat Ied (Idul fitri dan Adha) itu adalah Sun­
nah,  bahkan dia paling utama dalam nawafil, sebagian ulama
mengatakan hukumnya fardu kifayah, sedangkan dalam mazhab
Abi Hanifah hukumnya Wajib.

Sementara itu, waktu salat Iduladha dapat dilakukan semenjak


matahari terbit. Namun, lebih utama salat ini dilakukan 16 menit
setelah matahari terbit. Jika matahari terbit pada pukul 06.00 mi­sal­
nya, maka salat Iduladha dianjurkan dilakukan pada pukul 06.16.

Salat Idul Adha di Masa Pandemi Covid-19

Kementerian Agama menerbitkan edaran tentang penerapan


protokol kesehatan dalam penyelenggaraan Salat Iduladha 1442
H/2021 M dan pelaksanaan kurban di masa pandemi Covid-19.  Hal
itu tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama, SE. 15 Tahun 2021.
Isinya surat ederan tersebut sebagai pegangan untuk memberikan
rasa aman kepada umat Islam di tengah pandemi Covid-19. Hingga kini
pagebluk belum juga teratasi, terlebih dengan munculnya varian baru,
perlu dilakukan penerapan protokol kesehatan secara ketat dalam
penyelenggaraan Salat Iduladha dan pelaksanaan kurban 1442 H. 
Pada sisi lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan Fatwa
MUI No 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaran Ibadah dalam Situasi
Terjadi Wabah Covid-19. Terlebih dalam masa PPKM Darurat, panduan

132
untuk melaksanakan ibadah Idul Adha dan takbiran sebaiknya
dilaksanakan dari rumah saja. Pasalnya, pandemi belum juga berakhir.
Sementara itu, terkait pelaksanaan salat Idul Adha di rumah,
Syekh Syauqi Ibrahim Alam, Mufti Dar Ifta Mesir mengatakan da­
lam keadaan Pandemi Covid-19— di larang berkerumun—, maka
dianjurkan salat Idul Adha di dalam rumah. Ia berkata;

‫ َك َوَب ٍء أ َْو َغ ِْيِه‬- ‫ص َل ِة الْعِْي ِد لِ َمانِ ٍع‬


َ ُ‫ت إِقَ َامة‬ َّ َ‫وَك َذا إِ َذا ت‬
ْ ‫عذ َر‬ َ
ِ
‫؛ فَِإنَّهُ يُ ْشَرع ل َم ْن َكا َن َه َذا‬-‫لص َلة‬ ِ ِ ِ ‫اع الن‬
َّ ‫َّاس ل‬ ِ ِ
َ ‫يَْنَ ُع ا ْجت َم‬
.‫ت‬ ِ ‫حالُه فِعل ص َل ِة الْعِي ِد ِف الْبـي‬
َْ ْ ْ َ ُْ ُ َ
Artinya: dan demikian apabila ada uzur melaksanakan salat Ied
(di masjid atau tanah lapang),—seperti ada wabah atau selainnya
yang melarang manusia berkumpul/berkerumun untuk salat—,
maka dalam keadaan seperti ini dianjurkan salat Ied di rumah. 

Lebih lanjut, Mufti Lembaga Fatwa Mesir ini menyebutkan bahwa


ibadah Ied yang dikerjakan di rumah saat ini (karena ada wabah),
setara dengan pahala ibadah di masjid, bahkan bisa melebihi pahala
ibadah di masjid. Terlebih dengan merebaknya wabah mematikan
yang telah merenggut nyawa ribuan orang dan telah menyebar di
puluhan negara. 

‫َج ِر الْعِبَ َاد َة‬ ِ ِ ِ


ْ ‫َوالْعبَ َادةُ ِ ْف الْبـَْيت ِ ْف َه َذا الْ َوقْت تـَُوا ِز ْي ِ ْف ْال‬
‫َجًرا َعلَى الْعِبَ َاد ْة ِ ْف الْ َم ْس ِج ِد؛‬ ِِ
ْ ‫ بَ ْل قَ ْد تَ ِزيْ ُد أ‬،‫ِ ْف الْ َم ْسجد‬
‫ت ْال َن َل ِسيَّ َما َم َع تـََف ِّشي‬ ِ ْ‫َن ه َذا هو و ِاجب الْوق‬ ِ ِ‫و َذل‬
َ ٌ َ َ ُ َ َّ ‫ك ل‬ َ َ
ُ ‫ض ِحيـَّتَهُ َآل‬
‫ َوانـْتَ َشَر ِ ْف‬،‫ف الْبَ َش ِر‬ ِ َّ ِ
َ ‫ب‬ َ ‫الْ َوَبءَ الْ َقات َل الذ ْي َذ َه‬
،)91-‫س ( َك ْوفِْيد‬ ‫و‬‫ر‬ ‫ـ‬ ‫ي‬
ُ ُْ َ ُ َ
ْ
ِ‫ وهو ف‬،‫ات الْبـ ْل َد ِان‬
ِ
ُ ‫َع ْشَر‬
133
Di samping itu juga Syekh Syauqi Ibrahim Alam mengatakan salat
Idul Adha boleh dilaksanakan secara sendirian (munfarid). Pasalnya,
melaksanakannya dalam keadaan Jamaah, bukan menjadi syarat sah
salat Idul Adha. Jamaah hukumnya sunah. Sebagaimana dikatakan
oleh Imam Nawawi dalam kitab al Majmu’ Syarah al Muhadzab;

ِ ‫يد َجاعةً وه َذ ا ُممع علَي ِه لِ ْلَح‬


ِ ‫اد‬ ِِ
‫يث‬ َ ْ َ ٌ َ ْ َ َ َ َ ‫ص َل ةُ ا لْع‬ َ ‫تُ َس ُّن‬
‫ب‬ ‫ه‬
َ ‫ذ‬
ْ ‫م‬ ‫ل‬
ْ ‫ا‬‫ف‬
َ ‫د‬
ُ ِ
‫ر‬ ‫ف‬
َْ‫ـ‬‫ن‬ ‫م‬ ‫ل‬
ْ ‫ا‬ ‫ا‬‫ه‬َ َّ
‫ل‬ ‫ص‬
َ ‫و‬َ‫ل‬َ‫ـ‬‫ف‬ ِ‫يح ِة ا لْم ْش ُهور‬
‫ة‬ َ ‫ح‬ِ ‫الص‬
َّ
ُ َ ُ ْ َ َ
‫ِص َّحتـَُها‬
Artinya:  Sunah hukumnya melaksanakan salat Ied (Adha dan Fitri)
secara berjamaah, ini pendapat mayoritas,  pasalnya terdapat
dalam hadis yang shahih. Jikalau salat Ied seseorang dalam
keadaan sendirian, maka salatnya tetap sah. 

Oleh karena itu, salat Idul Adha di rumah boleh dilakukan secara
sendirian, atau berjemaah dengan anggota keluarga yang memang
benar-benar sehat. 

Bagaimana dengan Hukum Khutbah Idul Adha?

Menimbang hukum kesunahan melaksanakan salat Idul Adha


ini, maka dalam situasi pandemi covid-19, seyogianya kita melak­
sanakan Idul Adha dari rumah saja. Dan kita menunaikannya dengan
jalan mengambil hukum-hukum pokoknya.
Bagaimana dengan hukum khutbah Idul Adha? Imam Nawawi
seorang ulama fikih  dari kalangan Mazhab Syafi’i mengatakan
bahwa hukum melaksanakan khutbah Idul Fitri atau Idul Adha itu
adalah sunah. Pun mendengarkan khutbah untuk hukumnya sunah.
Artinya,  salat Idul Fitri tetap sah, meskipun tak mengikuti khutbah
Idul Adha hingga selesai atau tanpa memakai khutbah (salat saja). 

134
Hal itu termaktub dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab.
Imam Nawawi menyebutkan hukum meninggalkan khutbah salat
Ied adalah makruh saja, tak mempengaruhi sah salat Ied. Dan tak
perlu mengulangi salatnya.

ِ ْ ‫َّاس استِماع‬ ِ ُّ ‫ويستح‬


‫الُطْبَةُ َوَل‬ ْ ‫ت‬ ْ ‫الُطْبَة َولَْي َس‬ ُ َ ْ ِ ‫ب للن‬ َ َْ ُ َ
‫ال الشَّافِعِ ُّي لَ ْو‬ ِ ِ‫ص َّح ِة ص َل ِة الْع‬
َ َ‫يد لَ ِك ْن ق‬ َ
ِ ِ‫استِماعها َشرطًا ل‬
ْ َُ َ ْ
‫وف أ َْو ِال ْستِ ْس َق ِاء أ َْو‬ ِ ‫يد أَو الْ ُكس‬
ُ ْ
ِ ِ‫تـرَك استِماع خطْب ِة الْع‬
َ ُ َ َ ْ ََ
ِ
‫ف َوتـََرَك َها َك ِرْهته َوَل‬ َ ‫صَر‬َ ْ‫الَ ِّج أ َْو تَ َكلَّ َم ف َيها أ َْو ان‬
ْ ‫ب‬ َ َ‫ُخط‬
‫إع َاد َة َعلَْي ِه‬
َ
Artinya: Hukumnya sunah mendengar khutbah bagi jamaah salat
Ied. Khutbah dan mendengarkan khutbah bukanlah menjadi
syarat untuk sah salat Ied. Namun, Imam Syafi’i pernah berkata;
jikalau meninggalkan khutbah salat Idul Fitri, salat Gerhana,
atau Salat Istisqa (minta hujan), atau Khutbah Hari Idul Adha,
atau berbicara di tengah khutbah atau berpaling dari khutbah—
salatnya tetap sah—, tetapi hukum meninggalkan khutbah adalah
makruh. Dan tak ada ada kewajiban mengulang salatnya.

Sementara itu, Abdur Rahim bin Zain Al Iraqi dalam kitab  At


Tharhu at Tasrib fi Syarhi at Taqrib, hukum mendengar khutbah
Idul Adha dan melaksanakannya adalah sunah. Pasalnya,  Khutbah
salat Ied itu berbeda dengan khutbah Jumat. Pada khutbah Jumat
mendengar dan melaksanakan khutbah Jumat itu hukumnya wajib.
Berikut pendapat Abdur Rahim bin Zain Al Iraqi dalam kitab At
Tharhu at Tasrib fi Syarhi at Taqrib;

‫الُ ُم َع ِة‬
ْ ‫ُيَْر ُج ُخطْبَةُ َغ ِْي‬ ‫الُ ُم َع ِة‬
ْ ‫يـَْوَم‬ ‫الُطْبَ ِة بِ َك ْوِنَا‬
ْ ‫تـَْقيِْي ُد‬

135
،‫ات َلَا‬ُ ‫ص‬ َ ْ‫الن‬ ِْ ‫ال ْستِس َق ِاء فَ َل َِيب‬ ِ ِ ِِ
ُ ْ ْ ‫َكالْعْيد َوالْ ُك ُس ْوف َو‬
ٌّ ‫استِ َماعُ َها ُم ْستَ َح‬ ِ
‫ب فـََق ْط‬ ْ ‫ َو‬،‫َوَل َْيُرُم الْ َك َل ُم َواِْل َم ُام فيـَْها‬
ِ ِ ِ
‫َص َحابـُنَا َو َغيـُْرُه ْم‬
ْ ‫كأ‬َ ‫صَّر َح بِ َذل‬
َ ‫لَنـََّها َغيـُْر َواجبَةٌ وقَ ْد‬
Artinya: Kaitan khutbah karena melaksanakan salat Jumat, maka
dikecualikan khutbah selain Jumat, misalnya seperti khutbha
Idul Fitri dan Adha, Khutbah Gerhana matahari, Istisqa, maka
tak wajib untuk diam pada khutbah ini. Tak haram juga untuk
bercakap-cakap pada khutbah Jumat, meskipun khatib sedang
berkhutbah. Hukum mendengarkan khutbah salat sunah (baca;
Salat Id, Istisqa, dan Gerhana) adalah sunah saja, itu tak wajib.
Keterangan ini telah menyampaikannya beberapa ulama dari
sahabat kami. Pendapat ini pun didukung oleh ulama lain.

Alhasil, karena dua khutbah Idul Adha bukan merupakan syarat


dan rukun dari salat ied, maka salat Idul Adha pada dasarnya sah
tanpa melaksanakan khutbah. Dengan demikian,  bila ada seseorang
yang melakukan salat Idul Adha di rumah sendirian, maka ia tidak
perlu berkhutbah. Pun ketika salat berjamaah, bisa tidak memakai
khutbah. Pasalnya, itu hanya sunnah, tak berpengaruh pada salat
Idul Adha itu. 

Tata Cara Salat Idul Adha

Salat Idul Adha terdiri atas dua rakat. Setiap rakaat disunahkan
mengucapkan takbir. Pada rakaat pertama 7 kali takbir. Sedangkan
pada rakaat kedua, 5 kali takbir. Selama pandemi Covid-19 dianjurkan
melaksanakan salat Idul Adha di rumah saja.  Berikut ini tata cara
salat idul adha lengkap.
Pertama, niat Salat Idul Adha bagi Imam/Makmum

136
ِ ِ )‫إِماما‬/‫ي (مأْموما‬ ِ ِِ ِ ‫أأ‬
 ‫ـال‬
َ ‫ل تـََعـ ـ‬ ً َ ً ْ ُ َ ِ َْ‫ َرْك َعتـ‬ ‫ُصلّي ُسنَّةً لعْيد اْلفطْ ِر‬
َ
Artinya: “Aku berniat salat sunnah Idul Fitri dua rakaat (makmum/
imam) karena Allah SWT”

Kedua, Takbiratul Ihram


Imam mengucapkan takbir—  Allahu akbar—,  terlebih dahulu,
kemudian disusul oleh makmum mengucapkan takbiratul ihram. 
Ketiga, membaca doa iftitah
Ada pun bacaan doa Iftitah sebagai berikut; 

ِ
ِ ‫هللا ب ْكرًة وأ‬ ِ ِِ ِ
،‫َصْي ًل‬ َ َ ُ ‫هللُ أَ ْكبـَُر َكبيـًْرا َواحلَ ْم ُد ل َكثيـًْرا َو ُسْب َحا َن‬
ً‫ض َحنِْيفا‬ ِ َّ ‫إِِن و َّجهت وج ِهي لِلَّ ِذي فَطَر‬
َ ‫الس َم َوات َو ْال َْر‬ َ ْ َ َْ ُ ْ َ ّ
‫اي‬ ِ ِ‫ص َل‬ َّ ِ‫ إ‬،‫ي‬ ِ‫ وما أ ََن ِمن الْم ْش ِرك‬،ً‫مسلِما‬
َ َ‫ت َونُ ُسك ْي َوَْمي‬ ْ َ ‫ن‬ َ ْ ُ َ ََ ْ ُ
ِ َ ِ‫ك لَه وبِ َذل‬ ِ ِ ِ ِ ََ‫وم‬
‫ َوأ ََن‬،‫ت‬ُ ‫ك أُم ْر‬ َ ُ َ ْ‫ َل َش ِري‬،‫ي‬ ِّ ‫ات َّل َر‬
َ ْ ‫ب الْ َعالَم‬ ْ َ
 ‫ي‬ ِِ ِ
َ ْ ‫م َن الْ ُم ْسلم‬
Allāhu akbar kabīrā, walhamdu lillāhi katsīrā, wa subhānallāhi
bukratan wa ashīlā, innī wajjahtu wajhiya lilladzī fatharas samāwāti
wal ardha hanīfan musliman, wa mā ana minal musyrikīn, inna
shalātī wa nusukī wa mahyāya wa mamātī lillāhi rabbil ālamīn,
lā syarīka lahū wa bi dzālika umirtu, wa ana minal muslimīn.  

Keempat, membaca takbir sebanyak 7 kali pada rakaat pertama


Setelah Imam membaca doa iftitah pada rakaat pertama, kemudian
membaca takbir sebanyak tujuh kali. Pada saat mengucapkan takbir,
sambil mengangkat kedua tangan layaknya takbiratul ihram dan
diiringi bacaan  allahu akbar setiap kali mengangkat. Setelah takbir,
baca zikir berikut ini; 

137
‫هللا واحلم ُد ِ ِ‬
‫ل َوَل إِلَهَ إَِّل هللاُ َوهللاُ أَ ْكبـَُر َوَل َح ْوَل‬ ‫ِ‬
‫ُسْب َحا َن َ َ ْ‬
‫َوَل قـَُّوَة َّإل ِبَللَِّ الْ َعلِ ِّي الْ َع ِظي ِم‪   ‬‬
‫‪Subhânallâh, walhamdulillâh, walâ ilâha illallâh, wallâhu akbar,‬‬
‫‪wa lâ haula walâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil azhîm.‬‬

‫‪Kelima, membaca Surah Al-Fatihah  ‬‬

‫ِ‬ ‫الرِحي ِم‪ِ ِ ْ  ‬‬ ‫‪ ‬بِ ْس ِم اللَِّ َّ‬


‫الر ْحَ ِن‬
‫ني‪َّ  ‬‬ ‫ب الْ َعالَم َ‬‫الَ ْم ُد َّل َر ِّ‬ ‫الر ْحَ ِن َّ‬
‫ني‪ْ  ‬اه ِد َن‬ ‫ِ‬ ‫الرِحي ِم مالِ ِ ِ ِ‬
‫ك يـَْوم ال ّدي ِن‪  ‬إِ َّي َك نـَْعبُ ُد َوإِ َّي َك نَ ْستَع ُ‬ ‫َّ َ‬
‫ت َعلَْي ِه ْم َغ ِْي‬ ‫َّ ِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ‬
‫ين أَنـَْع ْم َ‬
‫الصَرا َط ا لْ ُم ْستَق َيم صَرا َط ا لذ َ‬ ‫ّ‬
‫ِ‬ ‫ض ِ‬
‫ني‪ .‬‬‫وب َعلَْي ِه ْم َوَل الضَّالّ َ‬ ‫الْ َم ْغ ُ‬
‫‪Keenam, membaca ayat dari Al-Qur’an. Misalnya membaca‬‬
‫‪surah Al-A’la.‬‬

‫َعلَى‪  ,‬الَّ ِذي‬ ‫ك ْال ْ‬ ‫اس َم َربِّ َ‬


‫الرحْي ِم َسبِّ ِح ْ‬
‫الر ْح ِن َّ ِ‬ ‫ِ‬
‫‪  ‬بِ ْس ِم هللا َّ َ‬
‫ِ‬ ‫َّ ِ‬
‫َخَر َج الْ َم ْر َعى‪,‬‬‫َّر فـََه َدى‪َ ,‬والَّذي أ ْ‬ ‫َخلَ َق فَ َس َّوى‪َ ,‬والذي قَد َ‬
‫َِّ‬ ‫َح َوى‪َ  ,‬سنـُْق ِرئُ َ‬
‫ك فَ َل تـَْن َسى‪ ,‬إل َما َشاءَ‬ ‫فَ َج َعلَهُ غُثَاءً أ ْ‬
‫الَ ْهَر َوَما َيْ َفى‪َ ,‬ونـُيَ ِّس ُرَك لِْليُ ْسَرى‪ ,‬فَ َذ ّكِْر إِ ْن‬ ‫اللَُّ إِنَّهُ يـَْعلَ ُم ْ‬
‫ت ال ِّذ ْكَرى‪َ ,‬سيَ َّذ َّكُر َم ْن َيْ َشى‪َ ,‬ويـَتَ َجنـَّبـَُها ْالَ ْش َقى‪,‬‬ ‫نـ َفع ِ‬
‫ََ‬
‫وت فِ َيها َوَل َْي َي‪ ,‬قَ ْد‬ ‫َّار الْ ُكبـَْرى‪ُ ,‬ثَّ َل َيُ ُ‬ ‫صلَى الن َ‬ ‫الَّذي يَ ْ‬
‫ِ‬
‫صلَّى ‪ ,‬بَ ْل تـُْؤثُِرو َن ْ‬
‫الَيَا َة‬ ‫ِ‬
‫اس َم َربِّه فَ َ‬ ‫أَفـْلَ َح َم ْن تـََزَّكى‪َ ,‬وذَ َكَر ْ‬
‫‪138‬‬
ِ ‫الصح‬ ِ ِ ِ
,‫ُول‬
َ ‫ف ْال‬ ُ ُّ ‫ إ َّن َه َذا لَفي‬,‫ َو ْالخَرةُ َخيـٌْر َوأَبـَْقى‬,‫الدنـْيَا‬
ُّ
 ‫وسى‬ ِ ‫ف إِبـر‬
ِ
َ ُ َ َ َْ ‫ص ُح‬
‫م‬ ‫و‬ ‫يم‬ ‫اه‬ ُ
Ketujuh, Rukuk 

‫ب الْ َع ِظْي ِم َوِبَ ْم ِد ِه‬


َِّ‫ُسْب َحا َن َر‬
Subhana rabbiyal ‘azhimi wa bi hamdih (3x)

Kedelapan, Iktidal (bangkit dari ruku’)

َِ ‫َِسع هللا لِمن‬


‫ح َد ْه‬ َْ ُ َ
Sami‘allahu li man hamidah 

Sembilan, Bacaan Doa I’tidal


Membaca doa berikut:

‫ض َوِم ْلءُ َما‬ ِ ‫السمو‬


ِ ‫ات َوِم ْلءُ ْال َْر‬ ِ ْ ‫ك‬
َ َ َّ ُ‫الَ ْم ُد م ْلء‬ َ َ‫َربـَّنَا ل‬
‫ت ِم ْن َش ْي ٍء بـَْع ُد‬َ ‫شْئ‬
ِ
Robbana lakal hamdu mil’us samawati wa milul ardhi wa mil’u
ma syi’ta min syain ba’du

Sepuluh, melakukan Sujud Pertama


Saat sujud membaca doa berikut:

‫لى َوِبَ ْم ِد ْه‬


َ ‫َع‬ َِّ‫ُسْب َحا َن َر‬
ْ ‫ب ْال‬
Subhana rabbiyal a’la wa bi hamdih (3x)

Sebelas, Duduk di Antara Dua Sujud


Baca doa berikut:

139
‫اجبـُْرِن َو ْارفـَْع ِن َو ْارُزقِْن َو ْاه ِد ِين َو َعافِِن‬ ِ ِ‫ر‬
ْ ‫ب ا ْغف ْرِل َو ْار َحِْن َو‬
َّ
‫ف َع ِّن‬ُ ‫َو ْاع‬
Robbighfirli warhamni wajburni warfa’ni warzuqni wahdini
wa’afini wa’fu ‘anni

Dua belas, Sujud untuk Kedua


Sembari membaca:

‫َعلَى َوِبَ ْم ِد ْه‬ َِّ‫ُسْب َحا َن َر‬


ْ ‫ب ْال‬
Subhana rabbiyal a’la wa bi hamdih (3x)

Ketiga belas, takbir intiqal berdiri kembali dan membaca takbir


seperti rakaat pertama
Empat belas, melaksanakan Rakaat kedua. Ada pun pada rakaat
kedua, imam kemudian melakukan takbir lagi seperti takbir pada
rakaat pertama sebanyak 5 kali. Sedangkan makmum di belakang
imam pun mengikuti  bacaan takbir imam.  Ini bacaan takbir kedua ; 

‫ل َوَل إِلَهَ إَِّل هللاُ َوهللاُ أَ ْكبـَُر َوَل َح ْوَل‬ ِ ِ ‫هللا واحلم ُد‬ ِ
ْ َ َ ‫ُسْب َحا َن‬
‫َوَل قـَُّوَة َّإل ِبَللَِّ الْ َعلِ ِّي الْ َع ِظي ِم‬
Subhânallâh, walhamdulillâh, walâ ilâha illallâh, wallâhu akbar,
wa lâ haula walâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil azhîm.   

Setelah usai membaca takbir sebanyak 5 kali, Imam melaksana­


kan gerakan dan bacaan salat seperti pada rakaat pertama. Dan
setelah membaca Al Fatiha Imam membaca ayat dari Al-Quran. 
Nanti setelah sujud kedua dengan tata cara yang sama pada rakaat
pertama, Imam melanjutkan dengan tahiyat akhir. Berikut bacaan
Tahiyat akhir

140
‫ك‬ ِ ِ ‫الصلَوات الطَّيِب‬ ِ
َ ‫ات َّل السَّالَ ُم َعلَْي‬ ُ َّ ُ َ َّ ‫ات‬ ُ ‫ات الْ ُمبَ َارَك‬ ُ َّ‫التَّحي‬
َِّ‫أَيـُّها النَِّب ور ْحةُ اللَِّ وبـرَكاتُه السَّالَم علَيـنا وعلَى ِعب ِاد الل‬
َ َ َ َْ َ ُ ُ ََ َ َ َ َ ُّ َ
َّ ‫أَ ْش َه ُد أَ ْن الَ إِلَهَ إِالَّ اللَُّ َوأَ ْش َه ُد أ‬  ‫ني‬ ِِ َّ
ُ‫َن ُمَ َّم ًدا َعْب ُده‬ َ ‫الصال‬
‫ َك َما‬،‫آل ُمَ َّم ٍد‬ ِ ‫ و َعلَى‬،‫ورسولُه اللَّه َّم ص ِل َعلَى ُمَ َّم ٍد‬
َ ّ َ ُ ُ ُ ََ
،‫وب ِرْك َعلَى ُمَ َّم ٍد‬ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ،‫ت َعلَى إبـَْراه َيم َو َعلَى آل إبـَْراه َيم‬ َ ‫صلَّْي‬
َ
ِ
ِ ‫ و َعلَى‬،‫ َكما برْكت َعلَى إِبـراهيم‬،‫آل ُمَ َّمد‬
‫آل‬ ٍ ِ ‫و َعلَى‬
َ َ َْ َ ََ َ َ
ِ ِ ِ
 ‫ك َحي ٌد َمي ٌد‬ َ َّ‫ إِن‬،‫إِبـَْراه َيم‬
At-tahiyyātul mubārakātus shalawātut thayyibātu lillāh. As-
salāmu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullāhi wa barakātuh,
as-salāmu ‘alaynā wa ‘alā ‘ibādillahis shālihīn. Asyhadu an
lā ilāha illallāh, wa asyhadu anna Muhammadan rasūlullāh.
Allāhumma shalli ‘alā sayyidinā Muhammad wa ‘alā āli sayyidinā
Muhammad, kamā shallayta ‘alā sayyidinā Ibrāhīm wa ‘alā āli
sayyidinā Ibrāhīm; wa bārik ‘alā sayyidinā Muhammad wa ‘alā
āli sayyidinā Muhammad, kamā bārakta ‘alā sayyidinā Ibrāhīm
wa ‘alā āli sayyidinā Ibrāhīm. Fil ‘ālamīna innaka hamīdun majīd. 

Lima belas, mengucapkan salam

 ‫الس َل ُم َعلَْي ُك ْم َوَر ْحَةُ هللا‬


َّ
  As-salāmu ‘alaikum wa rahmatullāh.

Enam belas, setelah mengucapkan salam oleh Imam kemudian


dilan­jutkan dengan Khutbah Idul Adha. Bila salat sendirian tak
perlu ada khutbah. Pasalnya, hukum khutbah menurut ulama
itu sunnah. 

141
Amalan Sunnah Sebelum
Salat Idul Adha di Rumah

Di hari Idul Adha, seluruh kaum muslimin dianjurkan untuk


melaksanakan salat Idul Adha di masjid, mushalla atau lapangan
terbuka. Ini dilakukan di saat kita dalam keadaan normal. Saat
terhalang berjemaah di masjid atau lapangan terbuka, kita diper­
bolehkan melaksanakan salat di rumah. Sebelum melaksanakan
salat Idul Adha ini, terdapat beberapa amalan sunnah yang di­
anjurkan untuk dikerjakan. Berdasarkan hadis Nabi Saw, berikut
amalan-amalan sunnah sebelum melaksanakan salat Idul Adha.
Pertama, menghidupkan malam Idul Adha dengan melakukan
ibadah-ibadah sunnah. Misalnya, melaksanakan salat sunnah,
mengumandangkan takbir, membaca tasbih, zikir, istighfar dan
lainnya.
Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Ibnu Majah dari Abu
Umamah, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

‫ت‬ ِِ ِ ِ ِ
ُ ‫ت قـَْلبُهُ يـَْوَم َتُْو‬
ْ ُ‫ ُْمتَسباً ّل تعاىل َلْ َي‬،‫َم ْن قَ َام لَيـْلَ َِت الْعْيد‬
‫ب‬
ُ ‫الْ ُقلُ ْو‬
Barangsiapa yang beribadah pada Idul Fitri dan Idul Adha semata-
mata mengharap ridha Allah, maka hatinya itu tak akan mati di
mana hati-hati orang lain mati.

Kedua, mandi sebelum berangkat melaksanakan salat Idul Adha.


Ini berdasarkan riwayat yang disebutkan oleh Imam Malik dalam
kitab Al-Muwaththa’ berikut;

142
‫الل بْ َن عُ َمَر َكا َن يـَ ْغتَ ِس ُل يـَْوَم الْ ِفطْ ِر قـَْب َل أَ ْن يـَ ْغ ُد َو‬
َِّ ‫َن عب َد‬
َْ َّ ‫أ‬
َ ‫إِ َل الْ ُم‬
‫صلَّى‬
Bahwa Abdullah Ibnu Umar ibnul Khattab radhiyallahuanhu mandi
pada hari raya fithri (juga Idul Adha) sebelum melaksanakan salat.

Ketiga, memakai parfum dan wewangian sebelum melaksanakan


salat Idul Adha. Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Al-Hakim dari
Hasan Al-Shibti, dia berkata;

‫س‬ ِ ِ ِ َّ ِ ِ ‫اَمرَن رسو ُل‬


َّ َ ‫هللا‬
َ َ‫صلى هللاُ َعلَْيه َو َسل َم ف الْعْي َديْن اَ ْن نـَْلب‬ ْ ُ َ ََ
‫ض ِّح َي ِبَْثَ ِن‬ ِ ِ ِ
َ ُ‫ب ِبَ ْج َود َم َان ُد َواَ ْن ن‬
َ َّ‫اَ ْج َوَد َما َن ُد َواَ ْن نـَتَطَي‬
‫َما َِن ُد‬
Rasulullah Saw memerintahkan kepada kami agar di dua hari
raya memakai pakaian yang terbagus, memakai wangi-wangian
yang terbaik dan berkurban dengan hewan yang paling berharga.

Keempat, memakai pakaian baru atau pakaian terbaik dan


khusus untuk salat Idul Adha. Ini berdasarkan hadis riwayat Imam
Al-Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah, dari Jabir, dia berkata;

‫َّب ُجبَّة يـَْلبَ ُس َها ِيف العِْي َديْ ِن َويـَْوِم اجلُ ُم َع ِة‬
ِّ ِ‫كا َن لِلن‬
Dari Jabir radhiyallahuanhu bahwa Nabi Saw memiliki jubah yang
dikenakannya pada saat dua hari raya dan hari Jumat. 

Kelima, sebelum melaksanakan salat Idul Adha tidak dianjurkan


untuk makan, yang dianjurkan makan setelah pulang. Ini berdasar­
kan hadis riwayat Imam Ahmad dari Abdullah bin Buraidah, dari
ayahnya, dia berkata;

143
‫ الَ يـَ ْغ ُدو يـَْوَم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫الل‬ َِّ ‫ول‬ُ ‫َكا َن َر ُس‬
‫َض َحى َح َّت يـَْرِج َع‬ْ ‫الْفطْ ِر َح َّت َيْ ُك َل َوالَ َيْ ُك ُل يـَْوَم األ‬
ِ
‫ُض ِحيَّتِ ِه‬
ْ ‫فـَيَأْ ُك َل ِم ْن أ‬
Rasulullah Saw biasa berangkat salat ‘id pada hari Idul Fitri dan
beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha,
beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari salat
‘id baru beliau menyantap hasil kurbannya.

144
Barangsiapa yang beribadah pada
Idul Fitri dan Idul Adha semata-
mata mengharap ridha Allah, maka
hatinya itu tak akan mati di mana
hati-hati orang lain mati.

Nabi Muhammad SAW

145
146
Hukum Badal Haji
untuk Orang yang
Sudah Meninggal

KETIKA MUSIM HAJI, banyak hal-hal yang berkaitan dengan ibadah


haji yang ditanyakan oleh masyarakat. Di antaranya adalah mengenai
hukum badal haji untuk orang yang sudah meninggal. Bagaimana
hukum badal haji untuk orang yang sudah meninggal ini, apakah
boleh?
Menurut para ulama, badal haji untuk orang yang sudah me­
ninggal hukumnya boleh dan sah. Apalagi jika orang yang meninggal
tersebut sudah wajib berhaji ketika masih hidup namun dia tidak
sempat berhaji karena alasan tertentu, seperti karena terlalu lama
menunggu antrian berangkat sehingga meninggal duluan, dan
sebab lainnya, maka semua ulama sepakat bahwa badal haji baginya
adalah boleh dan sah.
Ada dua orang yang hajinya boleh digantikan atau dibadalin oleh
orang lain menurut kesepakatan para ulama. Pertama, orang yang
semasa hidup memiliki kewajiban untuk berhaji namun sebelum
sempat berhaji dia sudah meninggal duluan. Badal haji untuk orang
seperti ini hukumnya boleh dan sah.
Kedua, orang yang memiliki kewajiban untuk berhaji karena
mampu secara finansial namun dia secara fisik tidak mampu untuk
berangkat. Misalnya, orang yang sakit menahun yang dimungkinkan

147
tidak sembuh, orang yang sudah tua renta, dan lainnya. Menurut
para ulama, badal haji untuk orang yang seperti ini hukumnya
boleh dan sah. 
Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Nawawi dalam kitab
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab berikut;

ِ ْ ‫ض ِف َمو ِض َع‬ ِ
‫ ِ ْف‬:) ‫َح ُد ُهَا‬ َ‫ي(أ‬ ْ ْ ِ ‫َوَتُ ْوُز النّيَابَةُ ِ ْف َح ِّج الْ َف ْر‬
ِ ِ
‫ث‬ُ ْ‫ َوالدَّلْي ُل َعلَْي ِه َحدي‬، ‫ات َو َعلَْي ِه َح ٌّج‬ ِ
َ ‫َح ِّق الْ َميِّت إِ َذا َم‬
ِ ‫ف ح ِق من َل يـ ْق ِدر علَى الثـُّبـو‬:ِ ) ‫َّان‬
‫ت َعلَى‬ ُْ َ ُ َ ْ َ ّ َ ْ ْ ِ ‫بـَُريْ َدةَ ( َوالث‬
َّ ‫ َك‬، ‫احلَ ِة إَِّل ِبَ َش َّق ٍة َغ ِْي ُم ْعتَ َاد ٍة‬
‫الزِم ِن َوالشَّْي ِخ الْ َكبِ ِْي‬ ِ ‫الر‬
َّ
Boleh menggantikan (badal) haji wajib di dalam dua tempat
(orang). Pertama, orang yang sudah meninggal dan dia memiliki
kewajiban untuk berhaji. Dalil dalam masalah ini adalah hadis
yang bersumber dari Buraidah. Kedua, orang yang tidak mampu
duduk di atas kendaraan kecuali dengan upaya yang susah payah,
seperti orang yang sudah tua renta. 

Dengan demikian, badal haji bagi orang yang sudah meninggal


dan dia memiliki kewajiban untuk berhaji, hukumnya adalah boleh
dan sah. Sementara jika dia tidak memiliki kewajiban untuk berhaji,
maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan boleh
badalin haji untuknya dan sebagian lagi mengatakan tidak boleh.

148
Menurut para ulama, badal haji
untuk orang yang sudah me­
ninggal hukumnya boleh dan
sah. Apalagi jika orang yang
meninggal tersebut sudah wajib
berhaji ketika masih hidup
namun dia tidak sempat berhaji
karena alasan tertentu

149
150
Belum Pernah Haji, Apakah
Boleh Menjadi Badal Haji?

DI ANTARA PERMASALAHAN YANG SERING DIJUMPAI DI TENGAH


MASYARAKAT ketika musim haji adalah mengenai hukum menjadi
badal haji bagi orang yang belum pernah haji. Ini biasanya terjadi
ketika seseorang telah mendaftar haji namun meninggal sebelum
berangkat. Kemudian anaknya atau kerabatnya mau menjadi badal
haji padahal dia sendiri belum pernah haji. Apakah boleh menjadi
badal haji bagi orang yang belum pernah haji?
Menurut kebanyakan para ulama, di antara syarat orang yang
boleh menjadi badal haji adalah dia pernah melakukan haji untuk
dirinya sendiri. Jika dia sudah pernah berhaji untuk dirinya sendiri,
maka dia boleh menjadi badal haji. Namun jika belum pernah haji,
maka dia tidak boleh menjadi badal haji untuk orang lain, baik
untuk orangtuanya, kerabatnya dan lainnya.
Oleh karena itu, jika ada seseorang yang sudah mendaftar haji
dan meninggal sebelum berangkat haji, maka yang boleh menjadi
badal haji untuknya adalah orang yang pernah haji. Sementara
orang yang belum pernah haji, meskipun itu adalah anaknya sendiri
atau kerabatnya, maka tidak boleh menjadi badal haji untuknya.
Ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah
berikut;

151
‫َه ْل َيُ ْوُز لِْل ُم ْسلِِم أَ ْن َيُ َّج َع ْن َغ ِْيِه قـَْب َل أَ ْن َيُ َّج َع ْن‬
‫نـَْف ِس ِه ؟‬
‫ي‬ ِ
‫و‬ ‫ر‬ ‫ا‬‫م‬ ِ‫َل َيوز لِمن َل َي َّج عن نـ ْف ِس ِه أَ ْن َي َّج عن َغ ِيِه؛ ل‬
َ ُ َ ْ َْ ُ َ ْ َ ُ ْ ْ َ ُ ُْ
‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه‬ َّ ِ‫َن الن‬
َ ‫َّب‬ َّ ‫اس َر ِضي هللاُ َعنـْ ُه َما أ‬
َ
ٍ َّ‫َع ِن ابْ ِن َعب‬
‫(وَم ْن‬ َ :‫ال‬ َ َ‫ ق‬.َ‫ك َع ْن ُشبـُْرَمة‬ َ ‫ لَبـَّْي‬:‫ َِس َع َر ُجالً يـَُق ْو ُل‬:‫َو َسلَّ َم‬
‫ت َع ْن‬ َ ‫(ح َج ْج‬ َ :‫ال‬ َ ‫ فـََق‬.‫ب ِ ْل‬ ٌ ْ‫َخ ِ ْل أ َْو قَ ِري‬
ٌ ‫ أ‬:‫ال‬ َ َ‫ُشبـُْرَمةَ؟) ق‬
‫ك ُثَّ َح ِّج َع ْن‬ َ ‫(ح ِّج َع ْن نـَْف ِس‬ َ :‫ قَاَل‬.‫ َل‬:‫ال‬ َ َ‫ك؟) ق‬ َ ‫نـَْف ِس‬
ِ ‫اط الْو ِاجب‬ ِ ِِ َ‫النْسا َن مطَال‬ َّ ‫ َوِل‬..)َ‫ُشبـُْرَمة‬
‫ات َع ْن‬ َ َ ‫ب ب ْس َق‬ ٌ ُ َ ِْ ‫َن‬
.‫نـَْف ِس ِه قـَْب َل أَ ْن يُ ْس ِقطَ َها َع ْن َغ ِْيِه‬
Apakah boleh bagi seorang muslim menghajikan orang lain
padahal dia sendiri belum pernah haji?

Tidak boleh bagi orang yang belum pernah haji untuk dirinya
sendiri menghajikan orang lain. Ini sebagaimana diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw pernah mendengar seorang
laki-laki membaca talbiyah; Labbaika dari Syubrumah. Beliau pun
meresponnya dengan bertanya; Siapa Syubrumah? Laki-laki itu
menjawab: Saudara atau kerabatku. Beliau bertanya lagi; Apakah
kamu sudah haji untuk dirimu sendiri? Laki-laki itu menjawab;
Belum. Lalu beliau pun bersabda; Hajilah untuk dirimu sendiri,
kemudian baru haji untuk Syubrumah.

Alasannya adalah karena seseorang dituntut terlebih dahulu


untuk menggugurkan kewajiban dari dirinya sendiri sebelum
menggugurkan kewajiban dari orang lain.

152
Dengan demikian, pandangan ulama mengenai hukum menjadi
badal haji bagi orang yang belum pernah haji.
154
Ini 4 Amalan yang
Pahalanya Setara
Ibadah Haji dan Umrah

SUDAH MAKLUM bahwa tahun ini sebagian besar kaum muslim


tidak bisa melaksanakan ibadah haji dan umrah, termasuk kaum
muslim Indonesia. Pemerintah Arab Saudi, karena pandemi, hanya
mengizinkan kaum muslimin lokal saja yang bisa melakukan ibadah,
sementara dari luar Arab Saudi tidak diizinkan.
Meski tidak bisa melaksanakan ritual ibadah haji dan umrah,
namun kaum muslimin tidak perlu bersedih karena tidak bisa
mendapatkan pahala seperti pahala ibadah haji dan umrah.
Ini karena, berdasarkan hadis-hadis Nabi Saw, setidaknya ada
4 amalan mudah dan sederhana yang pahalanya setara ibadah
haji dan umrah.
Pertama, berbakti kepada orangtua. Berbakti kepada orangtua
bisa menyamai pahala ibadah haji dan umrah, bahkan juga berjihad
di jalan Allah. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat
Imam Al-Baihaqi dari Anas bin Malik, dia berkata;

‫ إِِّن أَ ْشتَ ِهي‬:‫هللا صلَّى هللاُ عليه وسلَّ َم فقال‬ِ ‫رسول‬


َ ‫رج ٌل‬ ُ ‫أتى‬
‫َح ٌد ؟‬ ‫أ‬ ‫ك‬ ‫ي‬ ‫د‬ ِ‫ هل ب ِقي ِمن وال‬:‫ال‬ ‫ق‬ ،‫ه‬ِ ‫الِهاد وال أَقْ ِدر علَي‬
َ َ ْ َ َْ َ َْ َ َ َ َْ ُ َ َ َْ

155
ِ ‫ فَِإ َذا فـع ْل‬،‫ فَأَب ِل اللَّ ِف بِ ِرها‬:‫ال‬ ِ َ َ‫ق‬
‫ت‬َ ْ‫ك فَأَن‬ َ ‫ت َذل‬َ ََ َ ّ َ ْ َ َ‫ ق‬،‫ أ ُّمي‬:‫ال‬
‫ا‬ ِ
‫َّق‬
‫ت‬ ‫ا‬ ‫ف‬ ‫ك‬ ‫ُم‬ ‫أ‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫ع‬ ‫ت‬ ‫ي‬ ‫ض‬ ِ ‫ وُم‬،‫ ومعت ِمر‬،‫اج‬
ِ ‫ فَِإ َذا ر‬،‫اه ٌد‬
َ َّ‫لل‬ َ َ ُّ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ٌ َ ْ ُ َ ٌّ ‫َح‬
‫َوبَِّرَها‬
Ada seseorang yang mendatangi Rasululah Saw dan berkata;
Aku ingin berjihad namun aku tidak mampu. Lalu Rasulullah
Saw bertanya; Apakah salah satu dari kedua orang tuamu masih
hidup. Dia menjawab; Ibuku. Rasulullah Saw berkata; Bertakwalah
pada Allah dengan berbuat baik pada ibumu. Jika kamu berbuat
baik padanya, maka kamu telah berhaji, umrah dan berjihad.
Jika ibumu ridha padamu, maka kamu takutlah pada Allah dan
berbuat baiklah padanya. 

Kedua, salat wajib lima waktu secara berjemaah di masjid dan


disempurnakan dengan salat sunnah. Ini sebagaimana disebutkan
dalam hadis riwayat Imam Al-Thabrani dari Abu Umamah, dia
berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

‫اع ِة فَ ِه َي َك َح َّج ٍة َو َم ْن‬ ٍ ٍ ‫من مشى إِ َل‬


َ ‫صالَة َم ْكتـُْوبَة ِف اجلَ َم‬ َ َ َ َْ
‫صالٍَة تَطَُّوٍع فَ ِه َي َكعُ ْمَرٍة َنفِلَ ٍة‬
َ ‫َم َشى إِ َل‬
Siapa yang berjalan menuju salat wajib berjamaah, maka dia
seperti berhaji. Siapa yang berjalan menuju salat sunnah, maka
dia seperti melakukan umrah yang sunnah.

Ketiga, melakukan salat shubuh berjemaah di masjid dan kemu­


dian tetap berdiam di masjid hingga dia melaksanakan salat sunnah
Dhuha. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-
Thabrani dari Abu Umamah, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabada;

‫ت فِ ِيه َح َّت‬ ٍ ‫الصب ِح ِف مس ِج ِد َج‬


ُ ُ‫اعة يـَثـْب‬
ََ َْ َ ‫صلَّى‬
ْ ُّ َ‫صالة‬ َ ‫َم ْن‬
156
‫ أ َْو ُم ْعتَ ِم ٍر َت ًّما‬،‫اج‬ ِ ‫ي‬
ٍّ ‫َج ِر َح‬
ْ ‫ َكا َن َكأ‬،‫ُّحى‬
َ ‫صلّ َي ُسْب َحةَ الض‬ َُ
ُ‫َح َّجتُهُ َوعُ ْمَرتُه‬
Barangsiapa yang mengerjakan salat Shubuh dengan berjamaah
di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan
salat sunnah Dhuha, maka dia seperti mendapat pahala orang
yang berhaji atau berumroh secara sempurna.

Dalam redaksi lain, bukan salat Dhuha, tapi salat sunah syuruq,
sebagaimana riwayat Imam al-Tirmidzi dari dari Anas bin Malik, dia
berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

‫اع ٍة ُثَّ قـََع َد يَ ْذ ُك ُر هللاَ َح َّت تَطْلُ َع‬


َ َ‫صلَّى الْغَ َدا َة ِف َج‬ َ ‫َم ْن‬
‫َج ِر َح َّج ٍة َوعُ ْمَرٍة َت َّم ٍة‬
ْ ‫ت لَهُ َكأ‬ ِ َْ‫صلَّى رْك َعتـ‬
ْ َ‫ي َكان‬ َ َ َّ‫س ُث‬ ُ ‫َّم‬ ْ ‫الش‬
‫َت َّم ٍة َت َّم ٍة‬
Siapa saja yang melaksanakan salat Subuh, kemudian duduk
berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian salat
dua rakaat, maka pahala salatnya setara dengan pahala Haji
dan Umrah yang sempurna (diulang tiga kali)

Keempat, memberikan kajian ilmu di masjid atau belajar ilmu di


masjid. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-
Thabrani dari Abu Umamah, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda; 

،ُ‫يد إِال أَ ْن يـَتـََعلَّ َم َخيـًْرا أ َْو يـَُعلِّ َمه‬ ُ ‫َم ْن َغ َدا إِ َل الْ َم ْس ِج ِد ال يُِر‬
ٍّ ‫َج ِر َح‬
ُ‫اج َت ًّما َح َّجتُه‬ ْ ‫َكا َن لَهُ َكأ‬
Barangsiapa yang berangkat ke masjid yang ia inginkan hanyalah
untuk belajar kebaikan atau mengajarkan kebaikan, maka dia
akan mendapatkan pahala haji yang sempurna hajinya.

157
FIKIH
PUASA

158
159
160
Bolehkah Puasa Zulhijah
Tidak Full 9 Hari?

KETIKA MEMASUKI BULAN ZULHIJAH, kita sangat dianjurkan untuk


berpuasa selama 9 hari, yaitu sejak tanggal 1 hingga tanggal 9
Zulhijah. Puasa di bulan Zulhijah ini disebut dengan shiyam ayyam
al-‘usyr. Meski dianjurkan untuk berpuasa selama 9 hari, namun
terdapat di antara kita yang berpuasa tidak 9 hari, melainkan hanya
3 hari, sehari, dan lainnya. Bolehkah puasa Zulhijah tidak 9 hari ini?
Berpuasa di bulan Zulhijah tidak sampai 9 hari, melainkan
hanya 3 hari misalnya, maka hukumnya boleh dan sah. Tidak
masalah kita berpuasa di bulan Zulhijah tidak sampai 9 hari, selain
karena hukum berpuasa 9 hari di bulan Zulhijah adalah sunnah,
juga karena keabsahan satu hari puasa tidak tergantung pada hari
sebelumnya dan sesudahnya, sehingga boleh dilakukan tidak
sempurna 9 hari puasa. 
Hanya saja meskipun boleh dan sah, namun jika mampu, maka
sangat dianjurkan sekali untuk berpuasa sempurna 9 hari, sejak
tanggal 1 hingga tanggal 9 Zulhijah. Ini karena berpuasa sempurna
9 hari memiliki lebih banyak keutamaan dibanding yang berpuasa
tidak sampai 9 hari. Juga Rasulullah Saw senantiasa berpuasa selama
9 hari di bulan Zulhijah.
Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Ahmad,

161
Imam Al-Nasa-i, dan Imam Ibnu Hibban dari Sayidah Hafshah, dia
berkata;

‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِصيَ ِام‬ ِ


َ ‫أ َْربَ ٌع َلْ يَ ُك ْن يَ َدعُ ُه َّن َر ُس ْو ُل هللا‬
ِ
‫ي‬ َّ ‫اش ْوَراءَ َوالْ َع ْش ِر َوثََلثَِة أ ََّيٍم ِم ْن ُك ِّل َش ْه ٍر َو‬
ِ َْ‫الرْك َعتـ‬ ُ ‫يـَْوم َع‬
‫قـَْب َل الْغَ َد ِاة‬
Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah Saw,
yaitu berpuasa di hari Asyura (tanggal 10 Muharram), berpuasa
sepuluh hari pertama (1-9 Zulhijah), berpuasa tiga hari di setiap
bulan, dan salat dua rakaat sebelum salat Subuh.

Juga disebutkan dalam hadis riwayat Imam Ahmad dan Abu


Dawud, dari Hunaid bin Khalid, dia berkata bahwa dia pernah
mendapatkan informasi dari salah satu istri Rasulullah Saw sebagai
berikut;

‫ص ْو ُم تِ ْس َع ِذي‬ ِ ِ
ُ َ‫صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ي‬
َ ‫َكا َن َر ُس ْو ُل هللا‬
ِ َْ‫اشوراء وثََلثَةَ أ ََّيٍم ِم ْن ُك ِل َش ْه ٍر أ ََّوَل اثـْنـ‬
‫ي‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ـ‬‫ي‬‫و‬ ِ ‫الِ َّج‬
‫ة‬
ّ َ َ َْ ُ َ َ َْ ْ
َ
ِ ِ ‫ِمن الش‬
ِ ْ ‫خْيس‬
‫ي‬ َ َ ‫َّهر َو‬ ْ َ
Rasulullah Saw selalu berpuasa sembilan hari di bulan Zulhijah,
pada hari Asyura’ (tanggal 10 Muharram) dan tiga hari setiap
bulan, senin pertama di awal bulan dan dua kamis.

Dengan demikian, berpuasa tidak sampai 9 hari di bulan Zulhijah


hukumnya adalah boleh. Namun jika mampu, maka sangat dian­
jurkan sekali untuk berpuasa secara sempurna 9 hari, yaitu dari
tanggal 1 hingga tanggal 9 Zulhijah tanpa putus. 

162
Empat hal yang tidak pernah
ditinggalkan oleh Rasulullah
Saw, yaitu berpuasa di hari
Asyura (tanggal 10 Muharram),
berpuasa sepuluh hari pertama
(1-9 Zulhijah), berpuasa tiga hari
di setiap bulan, dan salat dua
rakaat sebelum salat Subuh.

163
164
Bolehkah Puasa Senin dan
Kamis di Bulan Zulhijah?

SUDAH MAKLUM BAHWA DI SEPULUH HARI PERTAMA BULAN


ZULHIJAH kita dianjurkan untuk berpuasa selama 9 hari, yaitu sejak
tanggal 1 hingga tanggal 9 Zulhijah. Jika kita berpuasa di sepuluh
hari pertama bulan Zulhijah, apakah kita boleh juga berpuasa Senin
dan Kamis di bulan Zulhijah?
Berpuasa hari Senin dan Kamis hukumnya boleh dan sah di bulan
Zulhijah. Bahkan berpuasa hari Senin dan Kamis sangat dianjurkan
meskipun di bulan Zulhijah. Ini karena anjuran berpuasa hari
Senin dan Kamis tidak dibatasi dengan bulan tertentu, melainkan
boleh berpuasa hari Senin dan Kamis di semua bulan selain bulan
Ramadan, termasuk di bulan Zulhijah.
Bahkan menurut para ulama, menggabungkan puasa Zulhijah
dan puasa Senin dan Kamis hukumnya adalah boleh. Misalnya, kita
hendak berpuasa di hari pertama bulan Zulhijah dan kebetulan
bertepatan dengan hari Senin, maka kita boleh menggabungkan
kedua puasa tersebut dengan niat melakukan puasa hari Senin
sekaligus puasa di bulan Zulhijah.
Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab I’anatut Thalibin berikut;

165
ِ ‫لصوِم سبـب‬ ِ
َ‫اش ْوَراء‬ُ ‫ان َك ُوقـُْوِع َعَرفَةَ أ َْو َع‬ ََ َ ْ َّ ‫إعلَ ْم أَنَّهُ قَ ْد يـُْو َج ُد ل‬ ْ
‫س ِف ِست َِّة َش َّو ٍال‬ ٍ ‫خْي‬ َِ ‫ي أَو‬
ْ ِ َْ‫س أ َْو ُوقـُْوِع اثـْنـ‬ٍ ‫خْي‬ َِ ‫ي أَو‬
ْ ِ َْ‫يـَْوَم اثـْنـ‬
‫ص َل‬ َ ‫اهَا َح‬ ُ ‫ي فَِإ ْن نـََو‬ َّ ‫َك ُدهُ ِر َعايَةً لُِو ُج ْوِد‬
ِ َْ‫السبـَبـ‬ ُّ ‫فـَيـَْزَد ُاد َت‬
 ٌ‫ص َدقَةٌ َو ِصلَة‬
َ ‫ب‬ ِ ْ‫الص َدقَِة َعلَى الْ َق ِري‬
َّ ‫َك‬
Ketahuilah bahwa terkadang puasa memiliki dua sebab, seperti
terjadinya hari Arafah atau hari Asyura yang bertepatan dengan
hari Senin atau kamis, atau hari Senin dan Kamis bertepatan
dengan enam hari puasa Syawal, maka sangat dianjurkan berpuasa
di hari tersebut untuk menjaga dua sebab tersebut. Jika berniat
puasa untuk keduanya, maka keduanya sama-sama diperoleh,
seperti halnya bersedekah pada kerabat dekat, yaitu bernilai
sedekah dan bernilai menyambung silaturrahim. 

Adapun contoh niat puasa hari Senin atau hari Kamis yang
sekaligus digabung dengan puasa bulan Zulhijah adalah sebagai
berikut;

‫س) َو َش ْه ِر ِذ ْي احلِ َّج ِة‬


ِ ‫الَ ِمْي‬ ِ َْ‫صوَم يـَوم اْ ِالثـْنـ‬
ْ ‫ي (يـَْوَم‬ ْ َْ ‫ت‬ ُ ْ‫نـََوي‬
ِ ً‫سنَّة‬
 ‫هللِ تـََع َال‬ ُ
Nawaitu shauma yaumil istnaini (aw yaumil khamis) wa syahri
dzilhijjah sunnatan lillaahi ta’ālā.

Saya niat puasa pada hari Senin (hari Kamis: jika kebetulan hari
Kamis) dan puasa bulan Zulhijah, sunnah karena Allah. 

Dengan demikian, boleh berpuasa hari Senin dan Kamis di


bulan Zulhijah. Bahkan boleh menggabungkan puasa hari Senin
dan Kamis dengan puasa Zulhijah, asalkan bukan di hari Idul Adha
dan hari-hari tasyrik.

166
Berpuasa hari Senin dan
Kamis hukumnya boleh dan
sah di bulan Zulhijah. Bahkan
berpuasa hari Senin dan Kamis
sangat dianjurkan meskipun di
bulan Zulhijah.

167
168
Keutamaan
Puasa Arafah

DI ANTARA PUASA DI BULAN ZULHIJAH yang sangat dianjurkan untuk


dilakukan adalah puasa Arafah. Para ulama telah sepakat bahwa
puasa Arafah hukumnya adalah sunnah. Ini sebagaimana telah
ditegaskan oleh Imam Ibnu Al-Muflih dalam kitab Al-Furu’ berikut;

ِ ‫الِ َّج ِة وآكِ ُده الت‬ ِ


‫َّاس ُع َوُه َو يـَْوُم‬ ُ َ ْ ‫ص ْوُم َع ْش ِر ذ ْي‬
َ ‫ب‬ُّ ‫َويُ ْستَ َح‬
ً َ‫َعَرفَةَ إِ ْج‬
‫اعا‬
Dianjurkan puasa sepuluh hari bulan Zulhijah, dan yang paling
dianjurkan adalah pada tanggal 9 Zulhijah, yaitu hari Arafah,
menurut kesepakatan (ijma’) ulama.

Terdapat beberapa keutamaan melakukan puasa Arafah pada


tanggal 9 Zulhijah ini. Berdasarkan hadis dan beberapa riwayat
yang disebutkan oleh para ulama, berikut ini adalah keutamaan-
keutamaan puasa Arafah.
Pertama, dosa setahun sebelum hari Arafah dan dosa setahun
berikutnya akan diampuni oleh Allah. Ini sebagaimana telah di­
sebutkan dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Qatadah, dia
berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda;

169
َِّ ‫ِصيام يـوِم عرفَةَ أَحت ِسب علَى‬
َّ ‫الل أَ ْن يُ َك ِّفَر‬
ُ‫السنَةَ الَِّت قـَبـْلَه‬ َ ُ َ ْ ََ َْ ُ َ
َِّ ‫السنةَ الَِّت بـع َده و ِصيام يـوِم عاشوراء أَحت ِسب علَى‬
‫الل‬ َ ُ َ ْ َ َ ُ َ َْ ُ َ َ ُ َْ َ َّ ‫َو‬
َّ ‫أَ ْن يُ َك ِّفَر‬
ُ‫السنَةَ الَِّت قـَبـْلَه‬
Puasa Arafah (9 Zulhijah), aku berharap kepada Allah, untuk
dapat menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan dosa setahun
berikutnya. Puasa Asyura (10 Muharram), aku berharap kepada
Allah, untuk dapat menghapuskan dosa setahun sebelumnya.

Kedua, puasa Arafah bernilai 1000 hari puasa di luar Arafah.


Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Baihaqi,
dari Sayidah Aisyah, dia berkata;

ِ ِ
َ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم يـَُق ْو ُل ِصيَ ُام يـَْوم َعَرفَة‬
َ ‫َكا َن َر ُس ْو ُل هللا‬
‫ف يـَْوٍم‬ ِ
ِ ْ‫صي ِام أَل‬
َ ‫َك‬
Rasulullah Saw pernah bersabda; (Keutamaan) puasa hari Arafah
seperti puasa 1000 hari (di luar hari Arafah).

Ketiga, mendapatkan pahala sebagaimana pahala yang di­


dapatkan oleh Nabi Isa. Ini sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah
yang disebutkan dalam kitab Nuzhah Al-Majalis wa Muntakhab
Al-Nafa-is berikut;

‫اب ِعْي َسى َعلَْي ِه‬


ِ ‫ومن صام يـوم َعرفَةَ أ َْعطَاه هللا ثـواب ِمثْل ثـو‬
ََ َ ً ََ ُ ُ َ َ َْ َ َ ْ َ َ
‫الس َل ُم‬
َّ
Barangsiapa yang berpuasa pada hari Arafah, maka Allah
akan memberikan pahala kepadanya seperti pahala Nabi Isa
alaihissalam.

170
Keempat, dibukakan 30 pintu kebaikan dan 30 keburukan ditutup
bagi orang yang berpuasa di hari Arafah. Ini sebagaimana disebutkan
dalam riwayat dari Sayidah Aisyah yang disebutkan dalam kitab
Nuzhah Al-Majalis wa Muntakhab Al-Nafa-is berikut;

‫ص ْوًرا ِم ْن‬ ِ ْ ‫ال إِ َّن ِف‬


ُ ُ‫الَنَّة ق‬ َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َ ‫َّب‬ِ
ِّ ‫َعن الن‬
‫هللا لِ َم ْن‬
ِ ‫ب وفِض ٍَّة قـ ْلت ي رسوَل‬
ُْ َ َ ُ ُ َ
ٍ ‫ه‬َ ‫ذ‬
َ ‫و‬ ٍ ‫ت وزبـرج‬ ٍ
َ َ َْ َ َ ‫ُد ّر َوَيقـُْو‬
‫د‬ ٍ
‫صائِ ًما‬ ِ ِ َ َ‫ِهي ق‬
َ ‫َصبَ َح‬ ْ ‫ص َام يـَْوَم َعَرفَةَ َي َعائ َشةُ َم ْن أ‬ َ ‫ال ل َم ْن‬ َ
ِ ِ ِ
ُ‫الَِْي َوأَ ْغلَ َق َعْنه‬ ْ ‫ي َب ًب م َن‬ َ ْ ‫يـَْوَم َعَرفَةَ فـَتَ َح هللاُ َعلَْيه ثََلث‬
‫استـَ ْغ َفَر لَهُ ُك ُّل‬
ْ َ‫ب الْ َماء‬ ِّ‫ي َب ًب ِم َن الش‬
َ ‫َّر فَِإ َذا أَفْطََر َو َش ِر‬
ِ
َ ْ ‫ثََلث‬
‫ِع ْرٍق ِف ِج ْس ِم ِه‬
Dari Nabi Saw, dia berkata; Sesungguhnya di surga ada istana
yang terbuat dari mutiara, batu permata, batu zamrud, emas dan
perak. Aku bertanya (Aisyah); Wahai Rasulullah, itu milik siapa?
Rasulullah Saw menjawab; Milik orang yang berpuasa di hari
Arafah. Wahai Aisyah, barangsiapa berpuasa di hari Arafahm
maka Allah membukakan baginya 30 pintu kebaikan dan menutup
baginya 30 pintu keburukan. Jika dia sudah berbuka dan minum
air, maka setiap keringat di badannya memintakan ampun baginya.

171
172
Keutamaan
Puasa Tarwiyah

DI ANTARA HARI-HARI YANG PALING MULIA DALAM ISLAM adalah


sepuluh hari pertama di bulan Zulhijah. Karena itu, pada sepuluh hari
pertama bulan Zulhijah seluruh kaum muslimin sangat dianjurkan
untuk memperbanyak melakukan amal ibadah kepada Allah, mulai
dari berpuasa, berdoa, membaca takbir, tahmid, tahlil dan lainnya.
Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Ahmad
berikut;

‫ب إِلَْي ِه الْ َع َم ُل فِي ِه َّن‬ُّ ‫َح‬ ِ ِ ٍ ِ


َ ‫َما م ْن أ ََّيم أ َْعظَ ُم عْن َد اللَّ َوَل أ‬
‫ِم ْن َه ِذ ِه ْال ََّيِم الْ َع ْش ِر فَأَ ْكثُِروا فِي ِه َّن ِم ْن التـَّْهلِ ِيل َوالتَّ ْكبِ ِري‬
ِ ‫والتَّح ِم‬
‫يد‬ ْ َ
Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan amal saleh
di dalamnya lebih dicintai oleh-Nya daripada hari yang sepuluh
(sepuluh hari pertama bulan Zulhijah), karenanya perbanyaklah
tahlil, takbir, dan tahmid di dalamnya.

Di sepuluh hari pertama Zulhijah, selain puasa Arafah, seluruh


kaum muslimin juga sangat dianjurkan untuk puasa di hari Tarwiyah,
yaitu tanggal 8 bulan Zulhijah. Ini karena berpuasa di hari Tarwiyah

173
memiliki beberapa keutamaan, sebagaimana disebutkan dalam
kitab-kitab para ulama.
Pertama, puasa hari Tarwiyah dapat menghapus dosa setahun
sebelumnya. Ini ditegaskan oleh ulama Malikiyah, sebagaimana
disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah
berikut;

ِ َّ ‫ب ِف ِصي ِام يـوِم التـَّرِوي ِة أ‬ ِ


ُ‫َن صيَ َامه‬ َ ْ َْ َ ْ ِ ‫ي ِ ْف التـَّْرغْي‬ َ ‫َوقَ ْد ُرِو‬
‫ص ْوَم‬ َّ ‫ ِب‬:ُ‫صَّر َح الْ َمالِ ِكيَّة‬
َ ‫َن‬
ٍ ِ ٍ ِ ِ ‫يـع ِاد ُل أ‬
َ ‫ َو‬،‫َجَر صيَام ُسنَّة َكاملَة‬ ْ َُ
ِ ‫يـوِم التـَّرِوي ِة ي َك ِّفر سنَةً م‬
ً‫اضيَة‬ َ َ ُ ُ َ ْ َْ
Untuk mendorong puasa di hari Tarwiyah, telah diriwayatkan
bahwa pahala puasa di hari Tarwiyah dapat menyamai pahala
puasa setahun penuh. Ulama Malikiyah menegaskan bahwa
puasa di hari Arafah dapat menghapus dosa setahun sebelumnya.

Kedua, mendapatkan pahala sebagaimana pahala yang dida­


patkan oleh Nabi Ayyub. Ini sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah
yang disebutkan dalam kitab Nuzhah Al-Majalis wa Muntakhab
Al-Nafa-is berikut;

‫ب َعلَْي ِه‬ ِ ِ
َ ‫ص ِْب أَيـُّْو‬
َ ‫ص َام يـَْوَم التـَّْرِويَة أ َْعطَاهُ ﷲ مثْ َل ثـََواب‬ َ ‫َم ْن‬
‫ص َام يـَْوَم َعَرفَةَ أ َْعطَاهُ هللاُ ثـََو ًاب ِمثْ َل‬ ‫ن‬ ‫م‬‫و‬ ِ ‫الس َلم علَی ب َل ِء‬
‫ه‬
َ ْ َ َ َ َ ُ َّ
َّ ‫اب ِعْي َسى َعلَْي ِه‬
‫الس َل ُم‬ ِ ‫ثـو‬
ََ
Barangsiapa yang berpuasa pada hari Tarwiyah, maka Allah
akan memberikan pahala seperti pahala kesabaran Nabi Ayyub
alaihissalam atas musibahnya. Barangsiapa yang berpuasa pada
hari Arafah, maka Allah akan memberikan pahala kepadanya
seperti pahala Nabi Isa alaihissalam.

174
Tidak ada hari-hari yang lebih
agung di sisi Allah dan amal
saleh di dalamnya lebih dicintai
oleh-Nya daripada hari yang
sepuluh (sepuluh hari pertama
bulan Zulhijah), karenanya
perbanyaklah tahlil, takbir, dan
tahmid di dalamnya.

H.R. Imam Ahmad

175
176
Cara Niat Puasa
Tarwiyah dan Arafah

KETIKA KITA HENDAK MELAKUKAN PUASA TARWIYAH DAN PUASA


ARAFAH, maka salah satu syarat sah yang harus kita lakukan adalah
berniat. Ini karena semua bentuk ibadah, termasuk ibadah puasa
Tarwiyah dan Arafah, dinilai tidak sah tanpa didahului dengan niat.
Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-
Bukhari dan Imam Muslim berikut;

‫ فَ َم ْن‬،‫ َوإَِّنَا لِ ُك ِّل ْام ِر ٍئ َما نـََوى‬،‫ات‬ ِ َّ‫ال ِبلنِّي‬


ْ ‫إَِّنَا األ‬
ُ ‫َع َم‬
‫ َوَم ْن‬،‫هللا َوَر ُس ْولِِه‬
ِ ‫هللا ورسولِِه فَ ِهجرتُه إِ َل‬
ُ َْ
ِ ِِ ِ َ‫َكان‬
ْ ُ َ َ ‫ت ه ْجَرتُهُ إ َل‬ ْ
ِ ٍ ِ ِ ِ َ‫َكان‬
ُ‫ فَ ِه ْجَرتُه‬،‫ أ َْو ْامَرأَة يـَْنك ُح َها‬،‫ت ه ْجَرتُهُ ل ُدنـْيَا يُصيـْبـَُها‬ ْ
‫اجَر إِلَْي ِه‬
َ ‫إ َل َما َه‬
ِ
Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya.
Seseorang akan mendapatkan apa yang ia niati. Barangsiapa
melakukan hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
untuk Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa melakukan hijrah karena
harta yang dicari, atau karena perempuan yang dinikahi, maka
hijrahnya sesuai dengan yang dituju.

177
Karena puasa Tarwiyah dan Arafah termasuk puasa sunnah,
maka niatnya tidak harus dilakukan di waktu malam sejak Maghrib
hingga terbit fajar, melainkan boleh dilakukan pada siang hari
hingga waktu Zuhur tiba asalkan belum melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa, seperti makan, minum dan lainnya.
Selain itu, sebagimana niat dalam ibadah-ibadah yang lain,
niat puasa Tarwiyah dan Arafah harus dilakukan di dalam hati
dan dianjurkan untuk diucapkan di lisan. Jika hanya diucapkan
di lisan saja sementara dalam hati tidak berniat, maka puasanya
dinilai tidak sah. Ini karena menurut para ulama, tempat niat adalah
hati, bukan lisan.
Adapun niat puasa Tarwiyah adalah sebagai berikut;

‫ص ْوَم تـَْرِويَةَ ُسنَّةً ِِّل تـََع َال‬


َ ‫ت‬
ُ ْ‫نـََوي‬
Nawaitu shauma tarwiyata sunnatan lillāhi Ta‘āla.

Saya berniat melakukan puasa sunnah Tarwiyah karena Allah


Ta’ala.

Sementara untuk niat puasa Arafah adalah sebagai berikut;

‫ص ْوَم َعَرفَةَ ُسنَّةً ِِّل تـََع َال‬


َ ‫ت‬
ُ ْ‫نـََوي‬
Nawaitu shauma ‘Arafata sunnatan lillāhi Ta‘āla.

Saya berniat melakukan puasa sunnah Arafah karena Allah


Ta’ala.

Demikian tata cara melakukan niat puasa Tarwiyah dan puasa


Arafah secara ringkas. Jika kita hendak berpuasa di hari Tarwiyah
dan Arafah, maka kita harus memperhatikan tata cara niatnya. Ini
karena keabsahan dan kesempurnaan sebuah ibadah tergantung

178
pada niat. Tak terkecuali dalam melakukan puasa Tarwiyah dan
Arafah, kita harus melakukan niat dengan benar agar puasa kita
dinilai sah dan mendapatkan pahala dengan sempurna.

179
180
Hukum Berpuasa 10 Hari
Pertama Bulan Muharram

DI BULAN MUHARRAM, terdapat dua hari yang sangat dianjurkan


untuk berpuasa, yaitu hari Tasu’a atau tanggal 9 Muharram dan
hari Asyura atau tanggal 10 Muharram. Namun terdapat sebagian
orang yang tidak hanya merutinkan puasa di hari Tasu’a dan hari
Asyura saja, melainkan dia juga berpuasa sejak tanggal 1 hingga 10
Muharram. Sebenarnya, bagaimana hukum berpuasa sejak tanggal
1 hingga 10 Muharram?
Berpuasa sejak tanggal 1 hingga 10 Muharram atau berpuasa 10
hari pertama Muharram hukumnya adalah boleh. Tidak masalah
seseorang berpuasa sejak awal bulan Muharram hingga tanggal
10. Bahkan hal itu termasuk perbuatan mustahab atau dianjurkan.
Hal ini karena bulan Muharram adalah bulan terbaik untuk
berpuasa setelah bulan Ramadan. Sehingga seseorang boleh ber­
puasa di bulan Muharram sesuai kemampuannya, baik hanya
berpuasa di hari Asyura dan Tasu’a, berpuasa 10 hari pertama,
bahkan boleh berpuasa selama sebulan penuh di bulan Muharram.
Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah,
dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

181
َِّ ‫الصي ِام بـع َد رمضا َن شهر‬ ِ
َ ْ‫الل ا لْ ُم َحَّرُم َوأَف‬
‫ض ُل‬ ُ ْ َ َ َ َ َْ َّ ‫ض ُل‬ َ ْ‫أَف‬
‫صالَةُ اللَّْي ِل‬ ِ ‫الصالَِة بـع َد الْ َف ِر‬
َ ‫يضة‬
َ َْ َّ
Puasa yang paling utama setelah Ramadan ialah puasa di bulan
Allah, Muharam, dan salat yang paling utama setelah salat fardhu
ialah salat malam.

Juga hadis riwayat Imam Ibnu Majah dari Abu Hurairah, dia
berkisah; 

ّ ‫َي‬ َ ‫اللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فـََق‬


ِ ُّ ‫ال أ‬
‫الصيَ ِام‬ َّ ‫صلَّى‬ ِّ ِ‫َجاءَ َر ُج ٌل إِ َل الن‬
َ ‫َّب‬
ِ َِّ ‫ال شهر‬
ُ‫الل الَّذي تَ ْدعُونَه‬ ُ ْ َ َ َ‫ضا َن ق‬ َ ‫ض ُل بـَْع َد َش ْه ِر َرَم‬ َ ْ‫أَف‬
‫الْ ُم َحَّرَم‬
Seseorang datang menemui Nabi Saw, lalu dia bertanya; Puasa
apa yang paling utama setelah puasa Ramadan? Nabi Saw
men­­­jawab; Puasa di bulan Allah, yaitu bulan yang kalian sebut
dengan Muharam. 

Selain itu, disebutkan bahwa ada tiga jenis 10 hari yang diagung­
kan oleh para ulama, yaitu 10 hari terakhir bulan Ramadan, 10 hari
pertama bulan Zulhijah, dan 10 hari pertama bulan Muharram. Mere­
ka mengagungkan tiga jenis 10 hari tersebut dengan memperbanyak
berbagai ibadah, seperti puasa, zikir, doa dan lainnya. 
Dalam kitab Kanzun Najah Was Surur, Syaikh Abdul Hamid
menyebutkan sebagai berikut;

182
ٍ ‫ث ع َشر‬ ِ
‫ الْ َع ْشَر‬:‫ات‬ َ َ َ ‫ َكانُوا يـَُعظّ ُم ْو َن ثََل‬:‫ال أَبُو عُثْ َما َن‬ َ َ‫َوق‬
ْ ‫ َوالْ َع ْشَر ْال ََّوَل ِم ْن ِذي‬،‫ضا َن‬
‫ َوالْ َع ْشَر‬،‫الِ َّج ِة‬ ِ ِ
َ ‫األَخيـَْر م ْن َرَم‬
‫ْال ََّوَل ِم ْن ُمََّرٍم‬
Abu Utsman berkata; Mereka (para ulama) mengagungkan tiga
jenis 10 hari, yaitu 10 hari terakhir bulan Ramadan, 10 hari pertama
bulan Zulhijah, dan 10 pertama bulan Muharram.

Dengan demikian, berpuasa di 10 hari pertama bulan Muharram


hukumnya boleh. Bahkan hal itu dianjurkan karena termasuk
perbuatan mengagungkan 10 hari pertama bulan Muharram. 

183
184
Alasan Mengapa
10 Muharam
Disebut Asyura

PADA BULAN MUHARAM, terdapat satu hari yang disebut dengan


hari Asyura. Ia jatuh pada tanggal 10 Muharam. Para ulama berbeda
pendapat mengenai alasan mengapa 10 Muharam ini disebut dengan
hari Asyura. Dalam kitab Al-Ghunyah, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
menyebutkan tiga pendapat ulama dalam masalan ini.
Pertama, 10 Muharam disebut hari Asyura karena ia hari kese­
puluh dari bulan Muharam. Asyura sendiri artinya sepuluh.
Kedua, 10 Muharam disebut Asyura karena terdapat sepuluh
keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada umat Nabi
Muhammad Saw. Yaitu, bulan Rajab, bulan Sya’ban, bulan
Ramadan, malam Lailatul Qadar, hari Idul Fitri, sepuluh hari
pertama bulan Zulhijah, hari Arafah, hari Nahr atau Idul Adha,
hari Jumat, dan hari Asyura.
Ketiga, 10 Muharam disebut hari Asyura karena pada hari itu Allah
memberikan 10 keistimewaan pada 10 para nabi. 10 keistimewaan
untuk 10 para nabi dimaksud adalah sebagai berikut;
1. Allah menerima taubat Nabi Adam pada 10 Muharam.
2. Allah mengangkat Nabi Idris ke tempat yang tinggi pada
10 Muharam.
3. Naik dan sejajarnya perahu Nabi Nuh dengan bukit Al-Judi

185
setelah banjir besar, serta turunnya ke muka bumi setelah
banjir bandang. Itu terjadi pada 10 Muharam.
4. Nabi Ibrahim dilahirkan pada 10 Muharam. Juga Allah men­
jadikan Nabi Ibrahim sebagai kekasih serta ia diselamatkan
dari api Namrud pada 10 Muharam.
5. Allah menerima taubat Nabi Daud pada 10 Muharam, dan
menyerahkan tahta kerajaan pada Nabi Sulaiman juga di
10 Muharam.
6. Allah menghilangkan penyakit Nabi Ayyub pada 10 Muharam.
7. Allah menyelamatkan Nabi Musa dan menenggelamkan
fir’aun pada 10 Muharam.
8. Allah menyelamatkan Nabi Yunus dari perut ikan pada 10
Muharam. 
9. Allah mengangkat Nabi Isa ke langit pada 10 Muharam.
10. Nabi Muhammad Saw dilahirkan pada 10 Muharam.
Berdasarkan keterangan di atas, maka tidak ada kata sepakat di
antara para ulama mengenai alasan penamaan 10 Muharam dengan
hari Asyura. Di antara tiga alasan di atas, yang banyak diikuti para
ulama adalah alasan pertama, yaitu 10 Muharam disebut hari Asyura
karena ia merupakan hari kesepuluh bulan Muharam. 

186
10 Muharam disebut Asyura
karena terdapat sepuluh
keistimewaan yang diberikan
oleh Allah kepada umat Nabi
Muhammad Saw. Yaitu, bulan
Rajab, bulan Sya’ban, bulan
Ramadan, malam Lailatul Qadar,
hari Idul Fitri, sepuluh hari
pertama bulan Zulhijah, hari
Arafah, hari Nahr atau Idul Adha,
hari Jumat, dan hari Asyura.

187
188
Anjuran Menyantuni dan
Mengusap Kepala Anak
Yatim di Bulan Muharam

DALAM ISLAM, YANG DISEBUT DENGAN HARI ASYURA adalah


tanggal 10 Muharram. Terdapat beberapa amalan yang dianjur­kan
untuk dikerjakan di hari Asyura, di antaranya adalah menyantuni
anak yatim. Pada hari itu, seluruh kaum muslimin dianjurkan
untuk membahagiakan anak yatim dengan cara menyantuni­­­
nya, mengusap kepalanya dan tentunya dengan bersedekah
kepada­nya.
Karena itu, hari Asyura dikenal di kalangan masyarakat muslim
dengan sebutan ‘Idul Yatama atau lebaran anak yatim. Ini tidak lain
karena hari itu merupakan momen kebahagiaan bagi anak-anak
yatim. Mereka mendapatkan perhatian, santunan, dan sentuhan
kasih sayang dari orang-orang sekitar sehingga seakan-akan
mereka sedang berada di momen lebaran.
Tradisi melakukan santunan pada anak yatim di hari Asyura tidak
hanya dilakukan oleh masyarakat umum saja, namun juga dilakukan
oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang. Berdasarkan tradisi
tersebut, akhirnya muncul istilah ‘Idul Yatama atau lebaran anak-
anak yatim untuk hari Asyura.
Di antara faidah menyantuni dan mengusap kepala anak yatim,
terutama di hari-hari istimewa seperti hari Asyura, adalah hal itu

189
dapat menyebabkan hati lembut. Ini berdasarkan hadis riwayat
Imam Ahmad, dari Abu Hurairah, dia berkisah;

ِ ‫ول‬ِ ‫َن رجالً َش َكا إِ َل رس‬


َ‫ قَ ْس َوة‬-‫هللا –صلى هللا عليه وسلم‬ َُ ُ َ َّ ‫أ‬
ِ ِ ِ َ ‫ال لَه إِ ْن أَرْدت أَ ْن يلِني قـ ْلب‬ ِ
،‫ني‬َ ‫ك فَأَطْع ِم الْم ْسك‬ُ َ َ َ َ َ ُ َ ‫ فـََق‬،‫قـَْلبِه‬
‫س الْيَتِي ِم‬
َ ْ‫َو ْام َس ْح َرأ‬
Ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah Saw mengenai
keadaan hatinya yang keras. Maka Rasulullah Saw berkata
padanya; Jika kamu ingin hatimu lembut, maka berilah makan
orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.

Imam al-Munawi dalam Faidh al-Qadir, mengajarkan tata cara


mengusap kepala anak yatim. Caranya adalah meletakkan telapak
tangan di bagian atas kepala anak yatim kemudian ditarik ke arah
bagian depan kepalanya atau sampai dahinya.
Adapun selain anak yatim, jika kita hendaknya mengusapnya,
caranya adalah meletakkan telapak tangan di bagian depan kepa­
lanya kemudian ditarik sampai bagian atas atau bagian belakang
kepalanya.
Dalam kitab Faidhul Qadir, Imam Al-Munawi berkata sebagai
berikut;

‫َّم ِه َو َغيـُْرهُ بِ َع ْك ِس ِه‬


ِ ‫َن الْيتِيم يُْسح رأْسه ِمن أ َْع َله إِ َل م َقد‬
ُ ُ ْ ُ ُ َ ُ َ َ ْ َ َّ ‫أ‬
ِ ِ ِ ِ ِ ْ ‫ال زين‬
ُ‫ َوَوَرَد ِف َحديْث ابْ ِن أَِب أ َْو َف أَنَّه‬:‫الَافظ الْعَراقي‬ َْ َ َ‫ق‬
‫ك َخلَ ًفا ِم ْن‬ َ َ‫ك َو َج َعل‬َ ‫ال ِعْن َد َم ْس ِح َرأْ ِس ِه َجبـََّر هللاُ يـُْت َم‬
ُ ‫يـَُق‬
َ ‫أَبِْي‬
‫ك‬

190
Anak yatim itu diusap dari bagian atas kepalanya hingga bagian
depannya. Selain anak yatim kebalikannya. Zainul Hafidz Al-Iraqi
berkata; Terdapat dalam hadis Ibnu Abi Awfa bahwa ketika
mengusap kepala anak yatim dianjurkan membaca; Jabarollaahu
yutmaka wa ja’alaka khalfan min abiika (Semoga Allah menutup
keyatimanmu dan menjadikanmu pengganti yang baik dari ayah­
mu).

Tata cara mengusap kepala anak yatim di atas dianjurkan


untuk dilakukan hingga sampai tiga kali. Ini berdasarkan hadis
riwayat Imam Ahmad bahwa Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib
ketika masih kecil dan ayahnya, Ja’far, mati syahid dalam perang,
dia diusap kepalanya oleh Nabi Saw sebanyak tiga kali. Abdullah
bin Ja’far berkisah sebagai berikut;

‫ﻒ‬
ْ ُ‫ﺍﺧﻠ‬ ِ ‫ُﺛَّ ﻣﺴﺢ ﻋﻠَﻰ ﺭﺃ‬
ْ َّ‫ﺍﻟﻠَّﻬﻢ‬
ُ َ‫ﻠَّﻤﺎ َﻣ َﺴ َﺢ‬
َ ‫ﻛ‬
ُ ‫ﺎﻝ‬َ‫ﻗ‬‫ﻭ‬َ ‫ﺛ‬
ً ‫ﻠ‬
ََْ‫ﺛ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﺳ‬ َ َ َََ
‫َﺟ ْﻌ َﻔًﺮﺍ ِﻓ َﻭﻟَ ِﺪ ِﻩ‬
Kemudian Nabi Saw mengusap kepalaku sebanyak tiga kali. Setiap
kali mengusap, beliau berdoa; Ya Allah, jadikanlah pengganti
Ja’far pada anaknya. 

191
192
Amalan-amalan Sunnah
di Malam Nisfu Sya’ban

DI ANTARA MALAM MULIA yang dianjurkan untuk memperbanyak


ibadah kepada Allah adalah malam Nisfu Sya’ban atau malam
pertengahan bulan Sya’ban. Pada malam itu, banyak keberkahan,
keutamaan, dan ampunan yang diturunkan oleh Allah. Karena itu,
dianjurkan kepada seluruh kaum muslim untuk memperbanyak
amalan-amalan sunnah pada malam tersebut. Setidaknya, terdapat
enam amalan sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan di malam
Nisfu Sya’ban.
Pertama, memperbanyak berdoa kepada Allah sejak terbenam
matahari di malam Nisfu Sya’ban. Ini karena malam Nisfu Sya’ban
merupakan malam mulia yang semua doa diijabah oleh Allah.
Kedua, memperbanyak membaca istighfar seraya minta ampunan
kepada Allah. Ini berdasarkan hadis riwayat Imam Al-Baihaqi dari
Usman bin Abi Al-‘Ash, bahwa Nabi Saw bersabda;

‫ َه ْل ِم ْن‬:‫اد‬ ٍ ‫ف ِمن شعبا َن َندى من‬ ِ


َُ َ َ ْ َ ْ ِ ‫ص‬ ْ ّ‫إَذا َكا َن لَيـْلَةُ الن‬
ِِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ُم ْستـَ ْغف ٍر فَأَ ْغفُر لَهُ؟ َه ْل م ْن َسائ ٍل فَأ ُْعطْيه؟ فَالَ يَ ْسأ َُل أ‬
‫َح ٌد‬
‫َشيـْئًا إَِّل أ ُْع ِط ْي إَِّل َزانِيَةً بَِف ْرِج َها أ َْو ُم ْش ِرًكا‬

193
Apabila datang malam Nisfu Sya’ban, ada pemanggil (Allah)
berseru; Apakah ada orang yang memohon ampun dan Aku
akan mengampuninya? Apakah ada yang meminta dan Aku akan
memberinya? Tidak ada seseorang pun yang meminta sesuatu
kecuali Aku akan memberinya, kecuali wanita pezina atau orang
musyrik.

Ketiga, memperbanyak membaca kalimat syahadat, yaitu ka­­


li­mat ‘Laa ilaaha illallaahu muhammadur rosuulullaah’, baik sen­
dirian maupun berjemaah. Ini sebagaimana dikatakan oleh Sayid
Muhammad bin Alawi dalam kitab Madza fi Sya’ban berikut;

ِ ‫ويـنـبغِي لِْلمسلِِم أَ ْن يـ ْغتَنِم ْالَوقَات الْمبارَكةَ و ْال َْزِمنَةَ ال َف‬


َ‫اضلَة‬ َ َ َُ َ ْ َ َ ْ ُ َْ َ َ
ِ
‫ف ِمْنهُ ِبِْل ْستِ ْكثَا ِر فيـَْها‬ ِ‫ص‬ ِ
ْ ّ‫صا َش ْهَر َش ْعبَا َن َولَيـْلَةَ الن‬
ً ‫ص ْو‬
ُ ‫َو ُخ‬
‫ َل إِلهَ إَِّل هللاُ ُمَ َّم ٌد َر ُس ْو ُل‬:‫َّه َاد ِة‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫م َن ْال ْشتغَال بِ َكل َمة الش‬
‫هللا‬
Seyogyanya seorang muslim mengisi waktu yang penuh berkah
dan keutamaan, utamanya di bulan Sya’ban dan malam Nisfu
Sya’ban, dengan memperbanyak membaca syahadat ‘Lā ilāha
illallāhu muhammadur rasūlullāh.’

Keempat, setelah salat Maghrib dianjurkan membaca surah


Yasin sebanyak tiga kali dengan niat mencari keberkahan umur,
keberkahan harta, keberkahan kesehatan, dan ketetapan iman.
Kelima, melakukan salat sunnah malam, baik dengan salat
sunnah tahajjud, salat sunnah hajat, dan witir.
Keenam, berpuasa di hari Nisfu Sya’ban. Ini berdasarkan hadis
riwayat Ibnu Majah dari Sayyidina Ali, dari Nabi Saw, beliau ber­
sabda;

194
‫وموا‬ ِ ِ ِّ‫إِ َذا َكانَت لَيـلَةُ الن‬
ُ‫ص‬ ُ ‫وموا لَيـْلَ َها َو‬
ُ ‫صف م ْن َش ْعبَا َن فـَُق‬ ْ ْ ْ
‫س‬ِ ‫َّم‬ ‫الش‬ ‫وب‬ِ ‫ فَِإ َّن هللا تـبارَك وتـع َال يـْن ِزُل فِيها لِغُر‬،‫يـومها‬
ْ ُ َ َ ََ َ َ ََ َ َ َ َْ
ِ ِ ِ
‫ أََل‬،ُ‫ أََل م ْن ُم ْستـَ ْغف ٍر فَأَ ْغفَر لَه‬:‫ول‬ ُّ ‫الس َماء‬
ُ ‫ فـَيـَُق‬،‫الدنـْيَا‬ َّ ‫إِ َل‬
‫ أََل َك َذا أََل‬،ُ‫ُعافِيَه‬ ِ ٍ
َ ‫ أََل م ْن ُمبـْتـَلَى فَأ‬،ُ‫م ْن ُم ْستـَْرِزق فَأ َْرُزقَه‬
ِ
‫َك َذا َح َّت يَطَّلِ َع الْ َف ْجَر‬
Ketika malam Nisfu Sya’ban tiba, maka beribadahlah di malam
harinya dan puasalah di siang harinya. Sebab, sungguh (rahmat)
Allah turun ke langit dunia saat tenggelamnya matahari. Kemudian
Ia berfirman; adakah orang yang memohon ampunan kepada-Ku,
maka Aku ampuni, adakah orang yang meminta rezeki kepada-
Ku, maka Aku beri rezeki, adakah orang yang meminta kesehatan
kepada-Ku, maka Aku beri kesehatan, adakah begini, ingatlah
begini, sehingga fajar tiba. 

195
196
Cara Niat Puasa Ramadan
Sebulan Penuh

PARA ULAMA TELAH SEPAKAT BAHWA PUASA RAMADAN dinilai


tidak sah tanpa diawali dengan niat. Ini karena menurut ulama
Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, niat termasuk syarat sah
puasa. Sementara menurut ulama Syafiiyah, niat termasuk rukun
puasa Ramadan. Karena itu, puasa Ramadan yang tidak diawali
dengan niat, maka puasanya dinilai tidak sah.
Hanya saja, para ulama berbeda mengenai teknis pelaksa­naan
niat puasa Ramadan. Menurut ulama Hanafiyah, Syafiiyah, dan
Hanabilah, niat puasa Ramadan wajib dilakukan setiap malam
selama bulan puasa Ramadan. Hal ini karena setiap satu hari di
bulan Ramadan merupakan ibadah mustaqillah (independen),
tidak dapat dikaitkan dengan hari sebelumnya atau setelahnya.
Sementara menurut Imam Malik dan ulama Malikiyah, niat
puasa Ramadan tidak wajib dilakukan setiap malam selama bulan
Ramadan, melainkan boleh dilakukan hanya di malam pertama saja
untuk puasa selama satu bulan penuh. Tidak perlu memperbarui
niat setiap malam karena semua hari di bulan Ramadan seperti
halnya satu hari, sebagaimana tidak perlu juga memperbarui niat
dalam setiap rakaat salat.

197
Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Muqaddimat Al-
Mumhidat berikut:

‫ص ُّح‬ ِ ‫اح ٍد إِ ْذ َل يـتَخلَّلُه وقْت فِطْ ٍر ي‬ ِ ‫ورمضا ُن ُكلُّه َكيـوٍم و‬


َ ُ َُ ََ َ َْ ُ َ ََ َ
‫ َويَ ُك ْو ُن ُح ْك ُم النِّيَّ ِة‬،‫اح َدةٌ ِف أ ََّولِِه‬ ِ ‫ئ فِي ِه نِيَّةٌ و‬
َ ْ ُ ‫ فـَتُ ْج ِز‬،ُ‫ص ْوُمه‬ َ
ٍ
،‫اج إِ َل َْت ِديْ ِد النِّيَّ ِة ِعْن َد ُك ِّل يـَْوم‬ ِ
ُ َ‫ص َحبًا َل َْيت‬ ْ َ‫َبقيًا ُم ْست‬
ِ ِ ِِ ِ َّ ‫َك‬
ُ‫ َوَل يـَْلَزُمه‬،‫ض ُار النّيَّة َلَا عْن َد أ ََّولَا‬ َ ‫الص َلة الَِّت يـَْلَزُمهُ إِ ْح‬
.‫َْت ِديْ ُد َها ِعْن َد ُك ِّل ُرْك ٍن ِم ْن أ َْرَك ِانَا‬
Sebulan penuh Ramadan seperti halnya satu hari karena tidak
diselingi waktu lain yang sah berpuasa selain puasa Ramadan.
Karena itu, cukup berniat di malam pertama saja dan hukum niat
tersebut tetap berlaku untuk malam-malam berikutnya sehingga
tidak butuh memperbarui niat setiap hari. Sebagaimana salat
yang hanya wajib berniat di awal salat saja, dan tidak wajib
memperbaruinya di setiap rukun-rukun salat. 

Karena itu, jika kita hendak melakukan niat puasa Ramadan


sebulan penuh untuk berjaga-jaga agar puasa tetap sah ketika
kita lupa niat, maka pada malam pertama puasa Ramadan kita
mengucapkan niat sebagai berikut;

‫السنَ ِة تـَْقلِْي ًدا لِ ِْل َم ِام‬


َّ ‫ان َه ِذ ِه‬
ِ‫ض‬ َِ ‫نـويت صوم‬
َ ‫جْي ِع َش ْه ِر َرَم‬ َ ْ َ ُ ْ ََ
ِ ِ ‫ك فـرضا‬ ِ
 ‫ل تـََع َال‬ ً َْ ٍ ‫َمال‬
Aku niat berpuasa di sepanjang bulan Ramadan tahun ini dengan
mengikuti Imam Malik, wajib karena Allah.

198
Atau bisa juga mengucapkan niat sebagai berikut;

ِ ‫السنةَ فـرضا‬ ِ ِ ِِ
 ‫هلل تـََع َال‬ َ ‫ص ْوَم َش ْه ِر َرَم‬
َْ َ َّ ‫ضا َن ُكلّه َهذه‬ َ ‫ت‬
ُ ْ‫نـََوي‬
Aku niat berpuasa selama sebulan penuh Ramadan di tahun ini,
wajib karena Allah. 

199
200
Istri Menyiapkan Buka
Puasa Untuk Keluarga,
Apakah Mendapat Pahala?

KETIKA PUASA RAMADAN TIBA, tentu yang paling sibuk menyiapkan


buka puasa adalah seorang istri atau ibu rumah tangga. Ketika
seorang istri atau ibu rumah tangga menyiapkan buka puasa untuk
keluarganya, suami dan anak-anaknya, apakah dia mendapatkan
pahala memberikan buka puasa pada orang yang berpuasa?
Di antara amalan sunnah yang dianjurkan ketika puasa Ramadan
adalah memberikan hidangan buka puasa kepada orang yang
berpuasa, baik berupa minuman atau makanan. Berdasarkan hadis
Nabi Saw, memberikan buka puasa pada orang yang berpuasa
pahalanya sama dengan pahala orang yang berpuasa itu sendiri.
Hadis dimaksud diriwayatkan oleh Imam Al-Tirmidzi dari Zaid
bin Khalid Al-Juhani, dia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda;

ِ ِ ‫من فَطَّر صائِما َكا َن لَه ِمثْل أ‬


َ ‫ م ْن َغ ِْي أَ ْن يـَنـُْق‬،‫َج ِره ْم‬
‫ص‬ ْ ُ ُ ً َ َ َْ
 ‫ُجوِرِه ْم َشيـْئًا‬ ِ
ُ ‫م ْن أ‬
Siapa yang memberi makan berbuka kepada orang yang sedang
berpuasa, maka dia akan mendapatkan pahala orang tersebut
tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sedikitpun
juga.

201
Menurut sebagian ulama, cakupan hadis ini tidak hanya terbatas
pada memberikan buka puasa pada orang lain yang berpuasa,
melainkan juga mencakup pada suami yang memberikan nafkah
buka puasa pada istri dan anak-anaknya, dan mencakup pula pada
istri yang menyiapkan buka puasa untuk keluarganya.
Karena itu, jika seorang suami memberikan nafkah kepada
istri untuk dibelanjakan menu buka puasa, dan istri memasak
dan menyiapkan makanan buka puasa untuk keluarganya, maka
keduanya sama-sama mendapatkan pahala orang yang berpuasa.
Ini sebagaimana telah dikatakan oleh Syaikh Shaleh Al-Munajjid
berikut;

‫الصائِِم ِعْن َد‬ َّ ‫َج ِر تـَْف ِط ِْي‬ ْ ‫ص ُل الْ َم ْرأَةُ َعلَى أ‬ ُ ‫ َه ْل َْت‬:‫ُس َؤ ٌال‬
ِ َِ ‫ أ َْم‬، ‫إِ ْع َد ِاد َها الطَّعام‬
‫ت‬ ْ ‫ضَر‬ َ ‫َح‬ ْ ‫ب أَ ْن تَ ُك ْو َن ه َي َم ْن أ‬ ُ ‫ي‬ ََ
‫ت؟‬ ِ ‫الْم َك ِو َن‬
ّ ُ
‫صُر‬ ِ ‫ َل يـْنح‬:‫الصائِِم‬
ََ َّ ‫اب تـَْف ِط ِْي‬ َ ‫َن ثـََو‬َّ ‫ الَّ ِذي يَظْ َهُر أ‬:‫اب‬
ُ ‫اجلََو‬
‫ي ِم ْن َمالِِه؛ بَ ْل إِ َذا أَنـَْف َق‬ ِ ِ َّ ‫ وفَطَّر‬،‫فِيمن أَطْعم الطَّعام‬
َ ْ ‫الصائم‬ َ َ َ َ ََ ْ َْ
ِ ِ ِ ِ ِ‫الرجل علَى َذل‬
‫ت‬ ْ ‫ت الْ َم ْرأَةُ ه َي َم ْن طَبَ َخ‬ ْ َ‫ َوَكان‬،‫ك م ْن َماله‬ َ َ ُ ُ َّ
‫َجَر َما أَنـَْف َق ِم ْن‬ ِ ِ ِ َّ ِ‫ وأَع َّدتْه ل‬،‫الطَّعام‬
ْ ‫ فَِإ َّن ل َّلر ُج ِل أ‬:‫ي‬َ ْ ‫لصائم‬ ُ ََ ََ
ِِ ِ ِ َّ ‫ وسعى علَى تـ ْف ِط ِي‬، ‫مالِِه‬
ْ ‫ َويـُْر َجى ل ْل َم ْرأَة م ْن أ‬، ‫الصائ ِم‬
‫َج ِر‬ ْ َ َ َْ َ َ
‫صْن ِع‬ ِ ‫ وأَطْعم‬،‫ وتَعِبت‬،‫ ِبَا ع ِملَت‬: ‫ أَيضا‬،‫ك‬ ِ
ُ ‫ت م ْن‬ ْ ََ َ ْ َ َ ْ َ ً ْ َ ‫َذل‬
.‫يَ ِد َها‬

202
Pertanyaan; Apakah seorang istri akan mendapatkan pahala
memberikan buka puasa kepada orang berpuasa saat ia menyiap­
kan hidangan buka puasa atau dia lah yang wajib menyediakan
komposisi makanan tersebut?

Nampaknya pahala memberikan hidangan buka puasa tidak


terbatas kepada orang yang memberikan makanan dan mem­
berikan buka puasa kepada orang-orang yang berpuasa dengan
hartanya. Bahkan jika seorang suami membelanjakan hal itu
dengan hartanya dan seorang istri yang memasak makanannya
dan menyiapkannya bagi orang-orang yang berpuasa, maka suami
tadi akan mendapatkan pahala membelanjakan hartanya dan
berusaha untuk memberikan buka puasa kepada mereka yang
sedang berpuasa dan bagi si istri juga diharapkan juga akan
mendapatkan pahala tersebut karena tenaga dan keletihannya
dan memberikan makanan dengan hasil karya tangannya.

203
204
Hukum Bermesraan
dengan Istri Saat Puasa,
Batalkah Puasanya?

DI ANTARA YANG SERING DITANYAKAN oleh sebagian masyarakat


adalah mengenai hukum bercumbu atau bermesraan dengan istri
ketika sedang berpuasa. Pasalnya tak jarang pasangan suami
istri tetap bermesraan meskipun dalam kondisi sedang berpuasa.
Sebenarnya, apakah bermesraan dengan istri itu saat puasa dapat
membatalkan puasanya?
Bermesraan dengan istri saat berpuasa, baik dengan berciuman,
mandi bersama, dan lainnya, hukumnya adalah makruh. Karena
itu, jika suami berpuasa, maka dianjurkan untuk tidak bermesraan
dengan istrinya terlebih dulu. Begitu juga dengan istri, dia dianjurkan
untuk tidak bermesraan dulu dengan suaminya jika dirinya sedang
berpuasa.
Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Wahbah Al-Zuhaili
dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu berikut;

‫الص ْوَم ِم َن‬


َّ ‫اح ِة الَِّت َلتـُْب ِط ُل‬ ِ ‫ويس ُّن لَه تـرُك الش‬
َ َ‫َّه َوات الْ ُمب‬
َ َْ ُ َ ُ َ
ٍ ‫التـَّلَ ُّذ ِذ ِبَسمو ٍع ومبص ٍر وم ْلمو ٍس وم ْشموٍم َك َش ِم رْي‬
‫ان‬ ََ ّ ْ ُ َ َ ْ ُ َ َ َ ُْ َ ْ ُ ْ
‫ب‬ ِ
ِ َ‫ك ِمن التـَّرفُِّه الَّذى َل يـن‬
‫اس‬ ِ‫ولَم ِس ِه والنَّظَ ِر اِلَي ِه لِما ِف َذل‬
ُ ُ َ َ َ َ ْ َ َْ
205
ْ ‫ك ُكلُّهُ َك ُد ُخ ْوِل‬
‫الَ َم ِام‬ ِ ِ َّ ‫ِح ْكمة‬
َ ‫الص ْوم َويُ ْكَرهُ لَهُ َذل‬ ََ
Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk meninggalkan hal-
hal yang berkaitan dengan syahwat yang dibolehkan dan tidak
membatalkan puasa, mulai dari kenikmatan yang berhubungan
dengan pendengaran, penglihatan, persentuhan, dan penciuman,
seperti menciun bunga, menyentuhnya dan memandanginya.
Karena hal itu termasuk kesenangan yang tidak sesuai dengan
hikmah puasa. Semua itu hukumnya makruh, sebagaimana makruh
memasuki pemandian.

Namun demikian, jika suami berpuasa dan kemudian bermesraan


dengan istrinya, selama hal itu tidak mengeluarkan mani, maka
puasanya tetap sah, tidak batal. Namun jika hal itu menyebabkan
keluar mani, maka puasanya menjadi batal. Bermesraan dengan
ciuman, saling pegang dan lainnya, tidak membatalkan puasa selama
belum keluar mani. Jika mani keluar, maka puasanya menjadi batal.
Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Hasan Hitou dalam
kitab Fiqhush Shiyam berikut; 

ِ ‫ولَو قبَّل رجل امرأَتَه وهو‬


ْ‫ إَِّل أَنَّهُ َل‬،‫ فـَتـَلَ َّذ َذ َوأ َْم َذى‬،‫صائ ٌم‬
َ َُ َ ُ َْ ٌ ُ َ َ ْ َ
ْ ‫ب إِلَْي ِه‬
‫ َوُه َو قـَْو ُل‬،‫الُ ْم ُه ْوُر أَنَّهُ َليـُْف ِطُر‬ ِ َّ
َ ‫ فالذي َذ َه‬،‫يـَْن ِزْل‬
‫ َو َح َكاهُ ابْ ُن الْ ُمْن ِذ ِر َع ِن‬،‫ف ِعْن َد ُه ْم‬ ٍ ‫ بِ َل ِخ َل‬،‫الشَّافِعِي ِة‬
َ
‫ َوأَِب‬،َ‫ َوأَِب َحنِيـَْفة‬،‫اعي‬ ِ ‫ و ْالَوز‬،‫ والشَّعِب‬،‫الس ِن الْبص ِر ِي‬
َ ْ َ ْ َ ّ ْ َ َ َْ
‫ َوبِِه أقـُْو ُل‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ثور‬
Jika seorang suami mencium istrinya dan dia sedang berpuasa,
kemudian merasa nikmat dan terdapat madzi, namun tidak menge­
luarkan mani, maka jumhur berpendapat puasanya tidak batal,
dan itu adalah pendapat ulama Syafiiyyah tanpa ada perbedaan

206
di antara mereka. Ibnu al-Mundzir menceritakan pendapat tadi
(orang yang keluar madzi tidak batal puasanya), dari Hasan
Al-Bashri, Al-Sya’bi, Al-Awza’i, Abu Hanifah, Abu Tsaur, beliau
(Ibnu Al-Mundzir) berkata: Aku berpendapat demikian.

207
Daftar Pustaka

• ‘Abd al-Rạhmān, Bughyah al-Mustarsyidīn, (Beirut: Dār


al-Fikr, t.th)
• Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud, (Beirut: Dār al-Risālah al-
‘Ālamiyyah, 2009)
• Abu Syujā‘, Ahmad, Matn al-Gāyah wa al-Taqrīb, (Yaman:
Dār al-‘Ilm wa al-Da‘wah, 2003)
• Ạhmad, Musnad Ạhmad, (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2001)
• ̣ ajar, Faṭh al-Bārī, (Beirut: Dār al-Ma‘rifah,
Al-Asqalānī, Ibn H
1960)
• Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubrā, (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2003)
• Al-Bughā, Mụsthafā Dīb, al-Tadzhīb fī Adillah Matna al-
Ghāyah wa al-Taqrīb (Damaskus: Dār Ibn Katsīr, 1989)
• Al-Buhūtī, Kasāyf al-Qanā‘, (Beirut: ‘Ālam al-Kutub, 1983)
• Al-Bujairimī, Sulaimān, H
̣ āsyiyah al-Bujairimī a’lā al-Khatīb,
(Mesir: Dār al-Fikr, 1995)
• Al-Bukhārī, Mụhammad ibn Ismā‘īl, Ṣ ạhị̄h al-Bukhārī (Beirut:
Dār al-Thaq al-Najāh, 2001)
• Al-Dimyathi, Abu Bakar Syatha, I‘ānah al-Thālibīn, (Mesir:
Dār al-Fikr, 1997)

209
• Al-Ghazālī, al-Mustạsfā, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1993)
• --------------, Ịhyā’ ‘Ulūm al-Dīn, (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, t.th)
• Al-Ghazī, Abū al-Qāsim Mụhammad, Faṭh al-Qarīb al-Mujīb,
(Beirut: Dār al-Minhāj, 2019)
• Al-Haitami, Ibn ̣Hajar, al-Fatāwā al-Kubrā al-Fiqhiyyah,
(Beirut: al-Maktabah al-Islāmiyyah, t.th)
• Al-Hanbali, Ibn Rajab, Faṭh al-Bārī, (Madinah: Maktabaha
al-Ghurabā’ al-Atsariyyah, 1996)
• Al-̣Hịsnī, Taqī al-Dīn, Kifāyah al-Akhyār, (Damaskus: Dār
al-Khair, 1994)
• Al-Jazīrī, al-Fiqh ‘alā Madzāhib al-Arba‘ah, (Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003)
• Al-Jamal, Sulaimān, H
̣ āsyiyah al-Jamal, (Beirut: Dār al-Fikr,
t.th)
• Al-Kaff, Hasan, Taqrīr al-Sadīdah fī al-Masā’il al-Mufīdah,
(Yaman: Dār al-Mīrāts al-Nabawī, 2003)
• Al-Kāsānī, Abu Bakar, Badāi‘ al-̣Sanāi‘ fī Tartīb al-Syarāi‘,
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003)
• Al-Kabīr, Mụhammad al-Amīr, al-Iklīl Syaṛh Mukhtashar
al-Khalīl, (Mesir: Maktabah al-Qāhirah, t.th)
• Al-Muzannī, Mukhtạsar al-Muzannī, (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1998)
• Al-Malibārī, Zain al-Dīn Ạhmad, Faṭh al-Mu‘īn, (Beirut: Dār
Ibn ̣Hazm)
• Al-Nawawi, Abū Zakariyā Yạhyā, al-Majmū‘ Syaṛ̣h al-
Muhadzdzab, (Beirut: Dār al-Fikr, t.th)
• --------------, Syaṛh ̣Sạhị̄h Muslim, (Beirut: Dār Ịhyā al-Turāts
al-‘Arabī, 1972)
• --------------, Raụdah al-Thālibīn, (Beirut: al-Maktab al-Islāmī,
1991)

210
• Al-Sa‘dī, ‘Abd al-Rạhmān, Taisīr al-Karīm al-Rạhmān fī
Tafsīr Kalām al-Mannān, (Riyạ̄d: Maktabah Dār al-Salām,
2002)
• Al-Sumair, Sālim, Safīnah al-Najāh, (Arab Saudi: Dār al-
Minhāj, t.th)
• Al-Syarqāwī, ̣Hāsyiyah al-Syarqāwī, (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1997)
• Al-Syaukani, al-Sail al-Jarār al-Mutadaffiq ‘alā ̣Hadā’iq al-
Azhār, (Beirut: Dār Ibn ̣Hazm, 2004)
• Al-Zụ h ailī, Wahbah, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh,
(Damaskus: Dār al-Fikr, 1985)
• Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, (Beirut: Dār al-Risālah al-
‘Ālamiyyah, 2009)
• Ibn Qayyim, Zād al-Ma‘ād fī Hady Khair al-‘Ibād, (Beirut:
Mu’assasah al-Risālah, 1998)
• Ibn Qudāmah, al-Mughnī, (Arab Saudi: Dār ‘Ālam al-Kutub,
1997)
• Ibn Rusyd, Mụhammad, al-Bayān wa al-Tạḥsīl wa Syaṛh
wa Ta‘līl li Masā’il al-Mustakhrijah, (Beirut: Dār al-Gharb
al-Islāmī, 1988)
• --------------, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtạsid,
(Cairo: Dār al-̣Hadīts, 2004)
• Kementerian Wakaf Kuwait, al-Mausū‘ah al-Fiqhiyyah al-
Kuwaitiyyah, (Kuwait: Kementerian Wakaf, 1983)
• Muslim, ̣Sạhị̄h Muslim, (Beirut: Dār Ịhyā al-Turāts, t.th)
• Nawawi, Abū ‘Abd al-Mu‘thī, Nihāyah al-Zain fī Irsyād al-
Mubtadi’īn, (Beirut: Dār al-Fikr, t.th)
• Zakariyā, Faṭh al-Wahhāb, (Beirut: Dār al-Fikr, 1994)
• -------, Asnā al-Mathālib fī Syaṛh Raụd al-Thālib, (Mesir: al-
Mathba‘ah al-Maymaniyyah, 1895)

211
Referensi Daring

• Lembaga Fatwa Al-Jazair: https://www.marw.dz/%D8%A7


%D9%84%D9%81%D8%AA%D9%88%D9%89-%D8%A7%
D9%84%D8%A5%D9%84%D9%83%D8%AA%D8%B1%D
9%88%D9%86%D9%8A%D8%A9
• Lembaga Fatwa Mesir: https://www.dar-alifta.org/
• Majlis Ulama Indonesia: https://mui.or.id/
• Al-Qur’an Digital Kementerian Agama: https://quran.
kemenag.go.id/

212
TIM KONSULTASI SYARIAH
KEMENTERIAN AGAMA RI

Fikih
Muamalah
Kontemporer
Dari Gaya Hidup Muslim,
Toleransi Hingga Kebangsaan

DIREKTORAT URUSAN AGAMA ISLAM DAN PEMBINAAN SYARIAH


DIREKTORAT JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM
KEMENTERIAN AGAMA RI
FIKIH MUAMALAH KONTEMPORER:
DARI GAYA HIDUP MUSLIM, TOLERANSI HINGGA KEBANGSAAN

Penulis:
Tim Konsultasi Syariah Kementerian Agama RI

Editor:
Tim El-Bukhari Institute

Prancang sampul & isi:


@abeje_project

Ukuran buku : 14 x 21 cm
Jumlah halaman : xiv + 260 hlm.
ISBN : 978-623-88355-1-5

Penerbit:
DIREKTORAT URUSAN AGAMA ISLAM DAN PEMBINAAN SYARIAH
DITJEN BIMAS ISLAM
KEMENTERIAN AGAMA
Jl. MH. Thamrin, No. 6, Jakarta, Indonesia

Cetakan pertama, Novemver 2022

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


Kata Pengantar

ALHAMDULILLAH, Puji syukur kita panjatkan kepada Allah Swt,


dengan karunia dan rahmat-Nya, buku Layanan Syariah 1 ber­judul Fikih
Ibadah Lengkap; Panduan Menjawab Problematika Umat Islam Kekinian
dan buku Layanan Syariah 2 berjudul Fikih Muamalah Kontemporer:
Dari Gaya Hidup Muslim, Toleransi Hingga Kebangsaan telah diterbitkan
oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik
Indonesia. Dua volume buku ini merupakan kumpulan tulisan dan
infografis yang merespons pertanyaan masyarakat muslim, baik
melalui direct message me­dia sosial, riset keyword di mesin pencari,
ataupun merespon isu keislaman yang sedang hangat dibutuhkan
jawabannya segera oleh masyarakat muslim.
Buku Layanan Syariah 1 berjudul Fikih Ibadah Lengkap; Panduan
Menjawab Problematika Umat Islam Kekinian berisikan panduan
dalam menjalankan ibadah sehari-hari umat Islam, mulai dari
thaharah (bersuci), salat, puasa, persoalan Pandemi Covid-19, zakat,
haji dan umrah. Buku ini merupakan jawaban dari kasuistik yang
menjadi problematika masyarakat muslim, di mana mereka tidak
mengetahui dan bingung atas hukum atau langkah yang sedang
mereka hadapi. Lewat buku ini, berupaya memberikan informasi

v
fikih terkait realitas keagamaan yang sering terjadi di masyarakat.
Dengan adanya buku ini diharapkan masyarakat muslim bisa
mengetahui hukum fikih aras permasalahan keagamaan tersebut.
Secara garis besar, bahasan buku ini berkutat pada 5 aspek
fikih: fikih bersuci, salat, puasa, haji dan covid, jenazah dan fikih
perempuan. Jadi materi yang dibahas merupakan konten fikih klasik
yang dielaborasikan dengan problematika kontemporer. Tentunya
ini menjadi kelebihan tersendiri, sebab fakta aktual dijawab dengan
literatur turats dan fatwa-fatwa kontemporer yang relevan. Sehingga
buku ini memiliki tipologi tersendiri, yang bisa memancarkan
karakteristiknya di hadapan buku lain.
Sementara itu, Buku Layanan Syariah 2 berjudul Fikih Muamalah
Kontemporer: Dari Gaya hidup Muslim, Toleransi Hingga Kebangsaan
membahas relasi seorang muslim dengan dirinya sendiri dan orang
lain, baik dalam konteks marital, moral, dan sosial. Adapun tema
yang dibahas dalam buku ini mengacu pada 4 aspek fikih, antara
lain; fikih nikah dan rumah tangga, muamalah dan gaya hidup,
kebangsaan dan toleransi, akikah dan kurban. 4 aspek penting dalam
kehidupan dibahas secara mendetail dan spesifik. Semoga dengan
hadirnya buku ini menjadikan kita lebih fleksibel dan berhati-hati
dalam berinteraksi dalam relasi horizontal.
Sudah jamak diketahui, bahwa teks-teks keagamaan itu terbatas,
sedang realitas dan kasuistik zaman terus menerus berubah. Sungguh
dinamika perubahan yang kian menyeruak, seyogianya segera
direspons. Maka, agaknya seorang Fakih perlu mendialektikakan
antara teks fikih dengan kasuistik yang ada. Sehingga muncullah
suatu adagium yang kini cukup familiar, yaitu:

‫تغري األحكام بتغري الزمان واملكان‬


“Hukum berubah dipengaruhi oleh perubahan zaman dan tempat”.

vi
Sehingga, seorang pembesar agama patutnya memperhatikan
pesan Imam al-Qarafi dalam kitabnya yang berjudul Anwar al-
Buruq fi Anwa’ al-Furuq, atau yang biasa dikenal dengan al-furuq.
Di mana beliau mengatakan dalam juz 1 halaman 191 sebagaimana
redaksi berikut:

ِّ ‫ت أَب ًدا ض َل ٌل ِف‬


‫الدي ِن َو َج ْه ٌل‬ ِ
َ َ ‫ود َعلَى الْ َمنـُْق َول‬ ُ ‫الُ ُم‬
ْ ‫َو‬
‫ني‬ ِ ِ َ‫السل‬ ِِ ِ ِ ِ
َ ‫ف الْ َماض‬ َّ ‫ني َو‬
َ ‫بََقاصد عُلَ َماء الْ ُم ْسلم‬
“Stagnansi dengan teks-teks (keagamaan) merupakan suatu
kesesatan dalam beragama, serta yang demikian adalah tidak
mengerti dengan spirit yang diusung oleh elite agama”.

Buku Layanan Syariah 1 dan Layanan Syariah 2 ini diharapkan


mampu menjadi salah satu rujukan dan sumber utama umat Islam
Indonesia dalam persoalan syariah yang erat kaitannya dengan
kehidupan masyarakat.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang
berkontribusi dalam penyusunan dan penerbitan buku ini. Semoga
Allah yang Maha Agung dan Maha Pengasih memberikan bim­
bingan kepada kita dan mencurahkan kurnia atas upaya kita dalam
menerbitkan buku ini.

Jakarta, 12 Rabiul Akhir 1444 H


7 November 2022 M
Direktur Urusan Agama Islam
dan Pembinaan Syariah

Dr. H. Adib, M.Ag.


NIP. 197405151998031003

vii
viii
Sambutan
Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam

ALHAMDULILLAH, segala puji dan syukur kehadirat Allah Swt yang


Mahakuasa dan Maha Pengasih yang telah memberikan rahmat
dan karunia kepada kita semua sebagai hamba-Nya. Salawat serta
salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW,
beserta keluarga dan para sahabat, pengikutnya hingga hari kiamat,
semoga kita dapat berkumpul dengan mereka di surga-Nya, Amin.
Alhamdulillah, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan
Syariah Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama
Republik Indonesia Republik Indonesia telah berhasil menerbitkan
Buku Layanan Syariah I yang berjudul Fikih Ibadah Lengkap; Panduan
Menjawab Problematika Umat Islam Kekinian dan Buku Layanan
Syariah II dengan judul Fikih Muamalah Kontemporer: Dari Gaya
Hidup Muslim, Toleransi Hingga Kebangsaan..
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2016
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama, tepatnya pada
Pasal 411 Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah
mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan, standardisai, bimbingan teknis, dan evaluasi, serta
pengawasan di bidang urusan agama Islam dan pembinaan syariah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh

ix
karena itu, sejak awal Kementerian Agama telah berkomitmen untuk
mewujudkan layanan prima kepada seluruh masyarakat Indonesia
terkait kebutuhan pelayanan syariah.
Buku ini merupakan salah satu bukti nyata kehadiran Kementerian
Agama dalam menjawab problematika masyarakat Indonesia.
Persoalan-persoalan yang ada dalam buku ini bersumber dari
pertanyaan masyarakat yang masuk lewat komentar website dan
akun media sosial resmi Bimbingan Masyarakat Islam, baik itu
via Facebook @Ditjen Bimbingan Masrakat Islam RI, Twitter @
Bimasislam, Instagram @Bimasislam, ataupun komentar via Youtube
@Bimas Islam TV.
Akhirnya, kami selaku Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam menyampaikan apresiasi kepada Tim Penyusun Buku Layanan
Syariah I yang berjudul Fikih Ibadah Lengkap; Panduan Menjawab
Problematika Umat Islam Kekinian dan Buku Layanan Syariah II
berjudul Fikih Muamalah Kontemporer: Dari Gaya Hidup Muslim,
Toleransi Hingga Kebangsaan. Semoga upaya kita dalam memberikan
pelayanan terbaik kepada umat Islam menjadi catatan amal baik
di sisi Allah Swt. Amin.

Jakarta, Rabiul Akhir 1444 H


November 2022 M
Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam

Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A


NIP. 19690105 199603 1 003

x
Daftar isi

Kata Pengantar.................................................................. v
Sambutan Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam............................................ ix

FIKIH NIKAH DAN RUMAH TANGGA

Hukum Puasa Mutih Pengantin


Sebelum Pernikahan, Bolehkah?.................................. 5
Pulang Tanpa Kabar Untuk Ngasih Kejutan Pada Istri,
Apakah Berpahala?...................................................... 9
Hukum Istri Mengambil Uang Suami yang Pelit........... 13
Setelah Akad Suami Meninggalkan Istri,
Bagaimana Hukumnya?............................................... 17
Hukum Menyerahkan Mahar Sebelum
Akad Nikah Dilangsungkan.......................................... 21
Apakah Boleh Menjadikah Haji atau
Umrah Sebagai Mahar?................................................ 25
Bolehkah Mahar Nikah Dijadikan Pajangan
dan Hiasan Semata?..................................................... 29

xi
Hukum Mahar Berupa Saham...................................... 33
Hukum Menikah dengan Sepupu................................. 37
Saat Dapat Undangan Resepsi Pernikahan Teman,
Apakah Kita Wajib Datang?.......................................... 41
Apakah Mahar Seperangkat Alat Salat itu Wajib?........ 47
Apakah Istri Boleh Menolak Satu Rumah
dengan Mertua?............................................................ 53
Ayah Berhalangan Hadir Menjadi Wali Nikah
karena Pandemi, Bolehkah Diganti Kakak?.................. 59
Hukum Menjual Mahar Nikah....................................... 65
Hukum Memakan Hidangan Walimah.......................... 69
Hal yang Mewajibkan Mandi
bagi Lelaki dan Perempuan.......................................... 73
Bolehkah Anak Laki-Laki Menolak
Dijodohkan Orangtua?................................................. 77
Hukum Menghadiri Acara Pernikahan
Tanpa Diundang........................................................... 81

MUAMALAH DAN GAYA HIDUP MUSLIM

Cara Beriman Kepada Rasul Allah................................ 87


Hukum Melihat Lawan Jenis di Media Sosial,
Berdosakah?................................................................. 91
Adab Memuliakan Tamu.............................................. 95
Flexing Menurut Islam.................................................. 99
Orangtua Menyuruh Maksiat,
Apakah Kita Harus Tetap Patuh Padanya?................... 103
Hukum Mengoleksi Spirit Doll atau Boneka Arwah...... 107
Kirim Al-Fatihah Lewat Stiker,
Apakah Dapat Pahala?................................................. 111
Hukum Melakukan Body Shaming dalam Islam........... 115

xii
Larangan Merundung (Nyinyir) Orang Lain.................. 119
Larangan Pungutan Liar dalam Islam.......................... 123
Hukum Menggunakan Pakaian dari Kulit Hewan......... 127
Hukum Memakai Parfum dalam Islam......................... 131
Hukum Menagih Utang di Depan Umum...................... 135
Adab Menagih Utang dalam Islam............................... 139
Adab Terhadap Hewan dalam Islam............................ 143
Sepatu dari Kulit Ular, Bolehkah?................................ 149
Hukum Mencabut Uban................................................ 153
Hukum Bermain Game dalam Islam?........................... 157
Hukum Melanggar Sumpah Demi Allah,
Apakah Berdosa?.......................................................... 161
Hukum Memakan Kepiting Menurut
Imam Empat Mazhab.................................................... 165
Hukum Menghadiri Undangan Acara Ulang Tahun..... 171
Hukum Mengucapkan Barakallahu fi Umrik Saat
Ulang Tahun, Apakah Boleh?....................................... 175
Hidup Minimalis di Era Modern.................................... 179
Bulu Kucing yang Rontok, Apakah Najis?.................... 183
Hukum Fotografi dalam Islam...................................... 187
Hukum Mewarnai Rambut............................................ 191
Sayuran  Dipupuk Pakai Kotoran Hewan,
Haramkah Memakannya?............................................. 197
Hukum Memajang Kaligrafi Nama Nabi Muhammad
di dalam Rumah........................................................... 201
Anak Khatam Iqra,....................................................... 205
Apakah Orangtua Dianjurkan
Mengadakan Tasyakuran?............................................ 205
Meski Dilarang, Ada 6 Alasan
Boleh Membuka Aib Orang Lain................................... 209

xiii
FIKIH KEBANGSAAN DAN TOLERANSI

Mengamalkan Ungkapan Hubbul Wathan


Minal Iman .................................................................. 215
Hukum Mengucapkan Salam Kepada Muslim
yang Jarang Salat......................................................... 219
Pengaturan Suara Speaker Demi Kenyamanan Ibadah
itu Sesuai Syariah......................................................... 223
Anjuran Mencintai Tanah Air....................................... 229
Hukum Hormat Bendera............................................... 233
Hukum Bekerja di Perusahaan Non Muslim................. 237
Hukum Memberikan Harta Hibah Pada Non Muslim,
Bolehkah?.................................................................... 241
Hukum Menerima Makanan dari Non Muslim.............. 245
Hukum Menyantuni Anak Yatim Non Muslim.............. 249
Bolehkah Mempersilakan
Masuk Tamu Beda Agama?.......................................... 253

Daftar Pustaka .................................................................. 257

xiv
Fikih
Muamalah
Kontemporer
Dari Gaya Hidup Muslim,
Toleransi Hingga Kebangsaan

1
FIKIH NIKAH
DAN RUMAH
TANGGA
01
3
Hukum Puasa Mutih Pengantin
Sebelum Pernikahan, Bolehkah?

DI TENGAH MASYARAKAT INDONESIA terdapat tradisi puasa


mutih selama 7 hari sebelum perinakahan. Adapun tujuannya agar
pengantin tampil beda, dan lebih siap dalam pernikahan.  Yang
dimaksud puasa mutih adalah berpuasa dengan hanya makan
sekepal nasi putih dan satu gelas air putih di waktu berbuka. 
Sejatinya, bagaimana hukum puasa mutih dalam Islam? Apakah
puasa tersebut diperbolehkan? 
Adapun puasa yang dengan hanya berbuka sekepal nasi putih
dan minum segelas air putih hukumnya diperbolehkan. Pasalnya,
Islam tak mewajibkan makanan dan minuman tertentu saat berbuka
puasa. Selama puasa tersebut dilaksanakan dengan niat baik dan
tidak mengandung hal-hal yang dilarang dalam Islam.
Puasa jenis puasa mutih ini masuk ke dalam puasa sunah mutlak.
Jenis puasa mutlak ini pernah dipraktikkan Nabi Muhammad.
Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitab Asnal mathalib menjelaskan
suatu pagi Nabi pernah bertanya pada Aisyah terkait sarapan pagi.
Lantas Aisyah menjawab, bahwa saat itu tidak ada sarapan pagi.
Lalu Nabi memutuskan untuk berpuasa. Simak penjelasan Syekh
Zakaria al-Anshari;

5
‫( َوتَ ْك ِفي نِيَّةٌ ُمطْلَ َقةٌ ِف النـَّْف ِل الْ ُمطْلَ ِق ) َك َما ِف نَ ِظ ِريِه ِم ْن‬
‫اللُ َعلَْي ِه‬
َّ ‫صلَّى‬ ‫ه‬ َّ
‫ن‬ ‫ل‬ ِ { ) ‫الزو ِال َل بـع َده‬ ِ َّ
َ ُ َ ُ َْ َ َّ ‫الص َلة ( َولَ ْو قـَْب َل‬
‫ال‬َ َ‫ت َل ق‬ ٍ ِ ِ ِ ِ َ َ‫وسلَّم ق‬
ْ َ‫ال ل َعائ َشةَ يـَْوًما َه ْل عْن َد ُك ْم م ْن َغ َداء قَال‬ َ ََ
ِ
ٌ‫آخَر أَعْن َد ُك ْم َش ْيء‬ َ ‫ال ِل يـَْوًما‬ َ َ‫ت َوق‬ ْ َ‫وم قَال‬ ُ ‫فَِإِّن إ ًذا أ‬
ُ ‫َص‬
ُ‫الص ْوَم } َرَواه‬ َّ ‫ضت‬ ْ ‫ال إ ًذا أُفْ ِطُر َوإِ ْن ُكْنت فـََر‬ َ َ‫قـُْلت نـََع ْم ق‬
ُ‫إسنَ َاده‬
ْ ‫ص َّح َح‬ َ ‫ن َو‬ ُّ ِْ‫َّارقُط‬
َ ‫الد‬
Dalam puasa sunah mutlak (yang tidak terkait dengan puasa
wajib dan sunah), cara niatnya cukup dengan niat yang mutlak
atau umumsaja, sebagaimana niat pada salat sunah mutlak.
 
Letak niat puasa mutlak itu sebelum dzuhur, dan tidak boleh
setelah dzuhur. Pasalnya, Rasulullah suatu hari bertanya pada
Aisyah: “Apakah ada tersedia sarapan pagi?” Aisyah menjawab:
“Tidak ada.”  Nabi berkata: “Kalau begitu saya puasa.” Kemudian
Aisyah menceritakan pada hari yang lain, Nabi mengajukan
pertanyaan serupa pada saya: “Apa ada sarapan pagi?  Saya
menjawab:“Ada.”  Nabi berkata:“Kalau begitu saya tidak puasa,
meski saya perkirakan berpuasa”.

Adapun puasa yang dilarang dilakukan dalam Islam  adalah puasa


wishal. Puasa jenis ini memiliki pengertian puasa yang tidak makan
dan tidak minum sama sekali selama dua hari dua malam, bahkan
bisa lebih. Jenis puasa ini terus-terusan berpuasa, tidak berbuka
puasa. Puasa wishal ini pernah dilakukan sahabat, ketika Nabi
mengetahui jenis puasa ini, maka Rasul pun melarang praktiknya. 
Penjelasan  terkait pelarangan puasa wishal, dapat ditemui dalam
kitab al-Majmu’ Syarah al Muhadzab karya dari  Imam Nawawi. Ia
berkata; 

6
ِ ‫ال أَصحابـنَا وح ِقي َقةُ الْ ِو‬
‫ي‬ِ ْ ‫وم يـَوَم‬
ْ ُ‫ص‬ ُ َ‫صال الْ َمْن ِه ِّي َعْنهُ أن ي‬ َ َ َ ُ َ ْ َ َ‫ق‬
ِ ‫فَص‬
‫اع ًدا َوَل يـَتـَنَ َاو ُل ِف اللَّْي ِل َشيـْئًا َل َماءً َوَل َمأْ ُك ًول فَِإ ْن‬ َ
ِ
‫َخَر‬
َّ ‫ص ًال َوَك َذا إ ْن أ‬ َ ‫س ِو‬ َ ‫أَ َك َل َشيـْئًا يَس ًريا أ َْو َش ِر‬
َ ‫ب فـَلَْي‬
‫يح أ َْو َغ ِْيِه‬
ٍ ‫ص ِح‬ ٍ ‫السح ِر لِم ْق‬
َ ‫صود‬ ُ َ َ َّ ‫ْالَ ْك َل َإل‬
Berkata Ulama Syafiiyah; Hakikat puasa wishal yang dilarang
adalah seseorang berpuasa selama dua hari atau lebih dan di
waktu malam tidak makan sama sekali, baik air maupun makanan.
Jika makan sesuatu atau minum meskipun sedikit, maka tidak
disebut wishal. Begitu juga tidak disebut wishal (boleh) jika
seseorang mengakhirkan makan hingga waktu sahur karena
tujuan yang benar dan lainnya.

Demikian penjelasan puasa mutih yang dilakukan oleh pengantin


sebelum pernikahan. Selama berbuka dan tidak menyambung terus
tanpa berbuka di waktu Mahgrib, maka puasa tersebut diperboleh­
kan. Dengan catatan tambahan, puasa tersebut diniatkan untuk
ibadah pada Allah. Semoga bermanfaat.

7
Pulang Tanpa Kabar Untuk
Ngasih Kejutan Pada Istri,
Apakah Berpahala?

BANYAK CARA YANG DILAKUKAN oleh para suami untuk mem­


berikan kejutan atau suprise pada istrinya. Di antaranya adalah
membelikan berlian untuk istrinya, ngasih kado, termasuk pulang
ke rumah setelah bepergian tanpa memberikan kabar terlebih
dahulu. Untuk tujuan ngasih kejutan kepada istri, apakah boleh
suami pulang ke rumahnya tanpa memberikan kabar terlebih
dahulu?
Menurut para ulama, jika suami bepergian jauh sehingga lama
tidak berjumpa dengan istrinya, maka dia dilarang untuk pulang ke
rumahnya, terutama di waktu malam, tanpa memberi kabar terlebih
dahulu kepada istrinya. Larangan ini sifatnya makruh. 
Alasan suami dilarang pulang tiba-tiba, meskipun untuk tujuan
suprise, adalah karena dikhawatirkan istri tidak siap menyambut
suaminya. Misalnya, istri dalam keadaan berantakan, tidak rapi,
tidak mandi, dan lain sebagainya. Sehingga dikhawatirkan keadaan
itu membuat kerenggangan hubungan di antara keduanya.
Namun jika suami bepergian sebentar, misalnya hanya pergi
kerja ke kantor, maka tidak masalah suami pulang ke rumah tanpa
memberi kabar kepada istrinya terlebih dahulu. Ini karena istri

9
sudah bisa memperkirakan waktu kedatangan suaminya sehingga
bisa mempersiapkan diri untuk menyambutnya. 
Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Muslim
dari Jabir, dia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda;

‫ي أ َْهلَهُ طُُروقًا َح َّت تَ ْستَ ِح َّد‬


َّ َِ‫َح ُد ُك ْم لَْي ًل فَ َل َيْت‬ ِ ِ
َ ‫إ َذا قَد َم أ‬
ُ‫الْ ُمغِيبَةُ َوتَْتَ ِش َط الشَّعِثَة‬
Jika salah seorang dari kalian tiba (dari perjalanan), janganlah
kalian pulang ke rumah keluargamu tengah malam, supaya ke­
luarga yang ditinggalkan dapat bersiap-siap dan menyisir rambut
(menyambut kedatanganmu). 

Dalam Syarh Shahih Muslim, Imam Al-Nawawi mengomentari


hadis ini dan hadis lain yang semakna dengan berkata;

‫ أَ ْن‬، ُ‫ال َس َفُره‬ َ َ‫ت ُكلِّ َها أَنَّهُ يُ ْكَرهُ لِ َم ْن ط‬ ِ ‫الرواي‬ ِِ


َ َِّ ‫َم ْع َن َهذه‬
‫يـَْق َد َم َعلَى ْامَرأَتِِه لَْي ًل بـَ ْغتَةً فَأ ََّما َم ْن َكا َن َس َفُرهُ قَ ِريـْبًا تـَتـََوقَّ ُع‬
‫س‬ ْ
‫ب‬ ‫ل‬ َ َ‫ف‬ ‫ل‬ ً ‫ي‬
َْ‫ل‬ ‫ه‬
ُ ‫ن‬
َ ‫ا‬ ‫ي‬ْ‫ـ‬ ‫ت‬ِ‫اِ ْمرأَتُهُ إ‬
َ َ َ َ
Makna riwayat-riwayat ini, seluruhnya menunjukkan makruhnya
seorang yang lama tak berjumpa istri karena safar, untuk datang
atau pulang secara tiba-tiba. Adapun yang safarnya tidak lama,
yang istri bisa mengira-ngira kedatangan suami meski di malam
hari, maka tidak mengapa.

Dengan demikian, jika suami pulang dari bepergian jauh, maka


dia dianjurkan untuk memberi kabar terlebih dahulu pada istrinya.
Jika tidak memberi kabar, maka hukumnya makruh meskipun
untuk tujuan suprise. Namun jika bepergian sebentar, maka tidak
masalah bagi suami pulang ke rumah meskipun tanpa memberi
kabar terlebih dahulu.

10
Menurut para ulama, jika suami bepergian jauh
sehingga lama tidak berjumpa dengan istrinya,
maka dia dilarang untuk pulang ke rumahnya,
terutama di waktu malam, tanpa memberi kabar
terlebih dahulu kepada istrinya. Larangan ini
sifatnya makruh. 
Hukum Istri Mengambil
Uang Suami yang Pelit

DI ANTARA SEBAGIAN PROBLEM RUMAH TANGGA yang sering


ditanyakan oleh sebagian istri adalah mengenai hukum istri meng­
ambil uang suami tanpa izin darinya. Ini biasanya terjadi karena
suami pelit sehingga dia kurang memberikan uang nafkah yang
cukup untuk istri dan anak-anaknya. Dalam keadaan demikian,
bagaimana hukum istri mengamil uang suaminya yang pelit demi
untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan anak-anaknya?
Menurut para ulama, jika suami pelit sehingga dia kurang
mem­berikan nafkah yang cukup untuk kebutuhan istri dan anak-
anaknya, maka istri boleh mengambil uang suaminya meski tanpa
izin darinya. Hal ini karena dalam Islam, suami wajib memberikan
nafkah kepada istrinya. Sehingga jika suami tidak memenuhi
nafkah istrinya karena pelit, maka boleh bagi istrinya untuk
mengambil uang suaminya sesuai dengan hak nafkah dirinya
dan anak-anaknya.
Kebolehan mengambil uang suami yang pelit ini berdasarkan
hadis riwayat Imam Al-Bukhari, dari Sayidah Aisyah, dia berkisah;

13
:‫ت‬ ِ
ْ َ‫ فـََقا ل‬، ‫صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬َ ‫َّب‬ِ َ ِ‫ت ِهْن ٌد إ‬
ِّ ‫ىل الن‬ ْ َ‫َجاء‬
ِ ‫يرسو َل‬
‫ َليـُْع ِطْي ِن َما‬،‫هللا إِ َّن أ ََب ُس ْفيَان َر ُج ٌل َش ِحْي ٌح‬ ُْ َ َ
ِ ِ ِ ِ ِ
،‫ َو ُه َو الَيـَْعلَ ُم‬،‫ت م ْن َماله‬ َ ‫ إِالَّ َما أ‬،‫يَ ْكفْي ِن َوَولَدي‬
ُ ‫َخ ْذ‬
.‫ف‬ ِ ‫ك وولَ ِد ِك ِبلْمعرو‬ِ ِ ِ َ ‫فـ َق‬
ُْْ َ َ َ ‫ ُخذي َمايَ ْكفْي‬:‫ال‬ َ
Suatu ketika Hindun pernah datang menemui Nabi Saw, dan
kemudian dia berkata; Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu
Sufyan suami yang pelit. Nafkah yang diberikannya kepadaku
dan anakku tidak cukup sehingga aku terpaksa mengambil uang
tanpa sepengetahuannya. Kemudian Rasulullah berkata; Ambillah
harta secukupnya dengan baik untuk memenuhi kebutuhan dirimu
dan anaknya. 

Berdasarkan hadis ini, maka para ulama membolehkan istri


untuk mengambil uang suaminya yang pelit, namun dengan cara
yang makruf dan sekedar untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan
anak-anaknya, tidak boleh lebih dan melampaui batas.
Begitu juga istri boleh mengambil uang suami jika suami tidak
memberikan nafkah karena lupa, sedang bepergian dan lainnya.
Namun ukuran uang diambil harus sesuai ukuran nafkah yang
umum, tidak boleh lebih dan melampaui batas. Ini sebagaimana
disebutkan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin berikut;

‫ب ِم ْن تَ ْسلِْي ِم الْ ُم َؤ ِن الْ َو ِاجبَ ِة‬ ‫ي‬ِ


‫ر‬ ‫ق‬ ‫ل‬
ْ ‫ا‬ ِ
‫و‬ َ
‫أ‬ ‫ج‬ ‫و‬ ‫الز‬
َّ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ـ‬ ‫ت‬ ‫م‬ ِ‫ ا‬:ٌ‫مسئـلَة‬
ُ ْ َ ُ ْ َ ََ ْ َْ َ
ِ ِِ ِ ْ ‫َعلَْي ِه أ َْو َسافـََر َوَلْ ُي‬
‫َخ ُذ َها‬ْ ‫ َج َاز لَزْو َجته َوقَ ِريْبِه أ‬، ‫لف ُمْنفقا‬
‫الَاكِ ِم‬ْ ‫ِم ْن َمالِِه َولَ ْو بِغَ ِْي إِ ْذ ِن‬
Masalah: Jika suami atau kerabat enggan menyerahkan nafkah
yang wajib baginya, atau dia bepergian dan tidak meninggalkan

14
uang nafkah, maka boleh bagi istri dan kerabatnya mengambil
hartanya meskipun tanpa seizin hakim. 

15
Setelah Akad Suami Meninggalkan
Istri, Bagaimana Hukumnya?

DI ANTARA PERKARA yang ditanyakan oleh sebagian masyarakat


adalah mengenai hukum suami meninggalkan istrinya setelah
melangsungkan akad nikah. Di masyarakat banyak ditemukan
kasus seperti ini. Ada suami yang meninggalkan istrinya setelah
akad karena hendak mencari nafkah, dan ada pula meninggalkan
istrinya tanpa alasan dan kabar yang jelas. Sebenarnya, bagaimana
hukum suami meninggalkan setelah akad?
Meninggalkan istri setelah akad, jika hal itu dilakukan dengan
tujuan yang benar dan untuk kepentingan tertentu, seperti untuk
mencari nafkah, tuntutan pekerjaan, dan lainnya, maka hukumnya
boleh. Tidak masalah bagi suami meninggalkan istrinya setelah
akad jika ada kepentingan mendesak dan bukan untuk tujuan
menyulitkan istrinya.
Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Buhuthi dalam kitab
Kasyaf Al-Qana’ berikut;

‫اج ٍة َس َق َط َح ُّق َها ِم ْن‬ ِ


َ ‫(عنـَْها لعُ ْذ ٍر َو َح‬ َ ‫الزْوج‬ َّ )‫(ولَ ْو َسافـََر‬ َ
ِ ِ
َ َ‫الْ َق ْس ِم َوالْ َو ْطء َوإِ ْن ط‬
‫ال َس َف ُرهُ) ل ْلعُ ْذ ِر‬
17
Ketika suami melakukan safar atau perjalanan meninggalkan
istrinya karena uzur atau ada hajat, maka hak gilir dan hubungan
untuk istri menjadi gugur. Meskipun safarnya lama, karena uzur.

Namun jika meninggalkan istrinya tanpa tujuan dan alasan


yang benar dan jelas, maka hukumnya adalah haram. Ini karena
meninggalkan istri, apalagi setelah akad dan berstatus sebagai
pengantin baru, akan membuat istrinya terluka dan menderita.
Dalam Al-Quran, Allah menyuruh para suami untuk senantiasa
membersamai istrinya dimana pun suami tinggal dan melarang para
suami mempersulit istrinya dengan cara meninggalkan begitu saja
tanpa ada tujuan dan alasan yang jelas dan benar.
Dalam surah Al-Talaq ayat 6, Allah berfirman sebagai berikut;

ِ ِ
‫وه َّن‬
ُ ‫ض ُّار‬ ُ ‫وه َّن ِم ْن َحْي‬
َ ُ‫ث َس َكنـْتُ ْم م ْن ُو ْجد ُك ْم َوَل ت‬ ُ ُ‫َسكن‬
ِ ‫أ‬
ْ
 َّ‫ضيِّ ُقوا َعلَْي ِهن‬ ِ
َ ُ‫لت‬
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.

Di dalam ayat yang lain, Allah juga melarang suami menganiaya


istrinya dengan cara tidak ditalak namun ditinggalkan begitu saja.
Berbuat zalim pada istri termasuk perkara yang di dalam Islam dan
hukumnya adalah haram. Ini sebagaimana firman Allah dalam
surah Al-Baqarah ayat 231 berikut;

‫وه َّن ِضَراراً لِتـَْعتَ ُدوا‬ ِ


ُ ‫َوال تُْس ُك‬
Janganlah kamu pertahankan mereka (para istri) untuk memberi
kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya
mereka.

18
Dengan demikian, meninggalkan istri setelah akad, jika dilakukan
dengan tujuan dan alasan yang benar, maka hukumnya boleh.
Sebaliknya, jika tidak ada tujuan dan alasan yang benar, maka
hukumnya haram. 

19
Hukum Menyerahkan Mahar
Sebelum Akad Nikah Dilangsungkan

DI KALANGAN MAYORITAS MASYARAKAT INDONESIA, umum­


nya mahar nikah diserahkan oleh pengantin laki-laki kepada
pengantin perempuan sesaat atau setelah akad dilangsungkan.
Namun demikian, di sebagian daerah dijumpai sebuah kebiasaan di
mana calon pengantin laki-laki menyerahkan mahar nikah sebulan
atau seminggu sebelum akad nikah dilangsungkan. Sebenarnya,
bagaimana hukum menyerahkan mahar nikah sebelum akad nikah
dilangsungkan, apakah boleh?
Menyerahkan mahar nikah sebelum akad nikah dilangsungkan
hukumnya boleh dan sah. Tidak masalah mahar nikah diserahkan
sebelum akad nikah dilangsungkan, baik dengan jarak waktu
satu minggu, setengah bulan, sebulan dan seterusnya. Menurut
kebanyakan para ulama, mahar nikah tidak harus diserahkan
setelah akad nikah dilangsungkan, melainkan juga boleh diserahkan
sebelum akad nikah dilangsungkan.
Jika calon pengantin laki-laki menyerahkan mahar nikahnya
pada calon pengantin perempuan sebelum akad dilangsungkan, dan
kemudian keduanya benar-benar melangsungkan akad nikah, maka
pengantin perempuan tersebut berhak memilikinya sebagai mahar

21
atau maskawin. Namun jika keduanya gagal melangsungkan akad
nikah, maka pihak calon pengantin laki-laki boleh meminta kembali
mahar nikah yang diserahkan sebelum akad dilangsungkan tersebut. 
Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab
Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyah berikut;

‫اه ْم َشيـْئًا ِم ْن الْ َم ِال‬ ُ َ‫َجابُوهُ فَأ َْعط‬ َ ‫ب ْامَرأًَة َوأ‬


ِ
َ َ‫(و ُسئ َل) َع َّم ْن َخط‬
َ
ِ ِ ِ
‫ك؟‬َ ‫ال َه َاز َه ْل تَْل ُكهُ الْ َم ْخطُوبَةُ أ َْو َل بـَيِّنُوا لَنَا َذل‬ْ ‫يُ َس َّمى‬
‫ب الدَّافِ ِع فَِإ ْن َدفَ َع بِنِيَّ ِة‬ ِ ‫اط‬ِ ‫ال‬ ِ ِ ِ َّ ‫(فَأَجاب) ِب‬
َْ ‫َن الْعبـَْرةَ بِنيَّة‬ َ َ
‫ب‬ ِ ِ ِِ ِ ِِ ِِ
َ ‫ا ْلَديَّة َملَ َكْتهُ الْ َم ْخطُوبَةُ أ َْو بنيَّة ُح ْسبَانه م ْن الْ َم ْهر ُحس‬
‫وع بِِه َعلَيـَْها إ َذا‬ ِ ‫الر ُج‬ ُّ ‫ِمْنهُ َوإِ ْن َكا َن ِم ْن َغ ِْي ِجْن ِس ِه أ َْو بِنِيَّ ِة‬
 .‫اج أ َْو َلْ يَ ُك ْن لَهُ نِيَّةٌ َلْ تَْلِكهُ َويـُْر َج ُع بِِه َعلَيـَْها‬
ٌ ‫ص ْل َزَو‬ُ ‫َلْ َْي‬
Imam Ibnu Hajar ditanya; Ada seorang laki-laki melamar seorang
perempuan, lalu laki-laki tersebut memberikan sejumlah harta
benda kepada mereka yang disebutkan sebagai persiapan (jihaz)
nikah, apakah perempuan yang dilamar itu berhak memilikinya?
Mohon jelaskan kepada kami mengenai masalah tersebut.

Imam Ibnu Hajar menjawab; Sesungguhnya yang diterima adalah


niat pelamar yang memberinya. Jika dia memberinya dengan
niat sebagai hadiah, maka perempuan yang dilamar berhak
memilikinya, atau jika laki-laki itu beniat sebagai maskawin,
maka dianggap sebagai maskawin. Jika laki-laki itu berniat bukan
sebagai maskawin atau dia berniat untuk menarik kembali jika
perkawinan gagal atau dia tidak berniat apapun, maka perempuan
itu tidak berhak memilikinya dan pemberian itu kembali kepada
pihak laki-laki tersebut. 

22
Tidak masalah mahar nikah diserahkan
sebelum akad nikah dilangsungkan, baik
dengan jarak waktu satu minggu, setengah
bulan, sebulan dan seterusnya.
Apakah Boleh Menjadikah Haji
atau Umrah Sebagai Mahar?

DI KALANGAN MASYARAKAT INDONESIA, biasanya yang dijadikan


mahar pernikahan adalah seperangkat alat salat dan perhiasan
berupa emas. Namun saat ini banyak dijumpai pasangan pengantin
laki-laki dan perempuan yang memilih haji atau umrah sebagai
maskawin pernikahannya. Sebenarnya, bolehkah menjadikan haji
atau umrah sebagai mahar nikah?
Terdapat perbedaan di kalangan para ulama mengenai kebolehan
haji atau umrah dijadikan mahar nikah. Setidaknya, ada dua pen­
dapat ulama dalam masalah ini.
Pertama, menurut ulama Hanabilah, haji atau umrah tidak
bisa dijadikan sebagai mahar nikah. Menurut mereka, haji atau
umrah tidak bisa dijadikan mahar nikah karena biaya haji dan
umrah, mulai dari biaya perjalanan dan lainnya tidak diketahui
dengan pasti nominalnya. Karena itu, jika seseorang terlanjur
menjadikan haji atau umrah sebagai mahar nikahnya, maka
hal itu dinilai tidak sah dan dia wajib memberikan mahar mitsil
kepada istrinya.
Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah
Al-Kuwaitiyah berikut;

25
‫اح ا لْ َم ْرأ َِة َعلَى‬ِ ‫الَنَا بِلَةُ بِ َع َد ِم ِص َّح ِة تَ ْس ِميَ ِة نِ َك‬
ْ ‫صَّر َح‬
َ
ٍ‫ول الَ يوقَف لَه علَى ح ّد‬ ِ
ْ ‫إِ ْح َجاج َها َم ْهًرا ِأل َّن‬
َ َ ُ ُ ُ ٌ ‫الُ ْمالَ َن َْم ُه‬
‫َص َدقـََها َشيـْئًا؛ فـََعلَى َه َذا َلَا َم ْهُر الْ ِمثْل‬ ِ
ْ ‫فـَلَ ْم يَص َّح؛ َك َما لَ ْو أ‬
Ulama Hanabilah menegaskan bahwa tidak sah menikahi perem­
puan dengan mahar nikah memberangkatkan haji perempuan
tersebut. Ini karena biayanya tidak diketahui dengan pasti sehingga
tidak sah, sebagaimana jika dia memberikan mahar nikah dalam
bentuk barang. Karena itu, mahar nikah perempuan tersebut
diganti mahar mitsil. 

Kedua, menurut sebagian ulama Malikiyah, boleh haji atau


umrah dijadikan mahar nikah. Sementara menurut sebagian ulama
Malikiyah yang lain, tidak boleh menjadikan haji atau umrah sebagai
mahar nikah kecuali disertai mahar lain selain haji atau umrah.
Jika tidak disertai mahar lain, maka mahar nikah berupa haji atau
umrah tersebut diganti dengan mahar mitsil.
Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah
Al-Kuwaitiyah berikut;

ِ ‫احها علَى إِحج‬ ِ ِ ِ


‫اج َها‬ َ ْ َ َ ‫فـََق ْد َرَوى َْي َي َع ِن ابْ ِن الْ َقاس ِم ِف ن َك‬
َّ‫اق الْ ِمثْل إِال‬ ِ ِ
ُ ‫ص َد‬
َ ‫ب‬ ُ ُ‫أَنَّهُ يـُْف َس ُخ قـَْبل الْبِنَاء َويـَثـْب‬
ُ ‫ت بـَْع َدهُ َوَي‬
‫وز‬ ِ ْ ‫أَ ْن ي ُكو َن مع‬
ُ ‫الَ َّجة َغيـُْرَها فـَيَ ُج‬ ََ َ
Imam Yahya menceritakan dari Imam Ibnu Al-Qasim mengenai
hukum menikah perempuan dengan mahar nikah menghajikan
perempuan tersebut. (Beliau berkata) bahwa nikahnya dibatalkan
sebelum terjadi senggama. Namun jika sudah terjadi senggama,
maka nikahnya tetap sah namun suami wajib memberikan mahar
mitsil kecuali selain haji ada mahar lain, maka hukumnya boleh.

26
Menurut sebagian ulama Malikiyah, boleh haji
atau umrah dijadikan mahar nikah. Sementara
menurut sebagian ulama Malikiyah yang lain,
tidak boleh menjadikan haji atau umrah sebagai
mahar nikah kecuali disertai mahar lain selain
haji atau umrah. Jika tidak disertai mahar lain,
maka mahar nikah berupa haji atau umrah
tersebut diganti dengan mahar mitsil.
Bolehkah Mahar Nikah Dijadikan
Pajangan dan Hiasan Semata?

DI ANTARA SEBAGIAN PERKARA yang ditanyakan oleh sebagian


masyarakat adalah mengenai hukum menjadikan mahar sebagai
pajangan dan hiasan semata. Pasalnya, saat ini banyak dijumpai
pasangan suami istri yang menjadikan mahar pernikahannya sebagai
pajangan dan hiasan semata tanpa digunakan dan dimanfaatkan
sebagaimana mestinya. Sebenarnya, bagaimana hukum menjadikan
mahar nikah sebagai pajangan dan hiasan semata, apakah boleh?
Menjadikan mahar pernikahan sebagai pajangan dan hiasan
hukumnya boleh asalkan dilakukan oleh istri dengan senang hati.
Selama istri rela dan ridha menjadikan mahar pernikahannya sebagai
pajangan dan hiasan semata, maka hal itu boleh. 
Ini karena mahar pernikahan sudah milik penuh seorang istri.
Karena itu, seorang istri berhak menggunakan dalam bentuk apapun
terhadap mahar yang diterima dari suaminya, baik digadaikan,
dijual, disimpan, atau diberikan kepada orang lain.
Dalil yang dijadikan dasar kebolehan seorang istri menggunakan
mahar pernikahannya adalam bentuk apapun, termasuk dijadikan
pajangan dan hiasan, adalah firman Allah dalam surah Al-Nisa’
ayat 4 berikut;

29
ٍِ ِ ِ ِِ ِ
َ ْ ‫ص ُدقَات َّن ْنلَةً فَِإ ْن ط‬
ُ‫ب لَ ُك ْم َع ْن َش ْيء مْنه‬ َ َ‫َوآتُوا النّ َساء‬
‫نـَْف ًسا فَ ُكلُوهُ َهنِيئًا َم ِريئًا‬
Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang penuh dengan kerelaan. Namun jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan
kerelaan, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Menurut Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Sa’di dalam kitab


Taisir Al-Karim Al-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, kalimat
‘fakuluuhu hanii-an marii-aa’ menjadi dalil kebolehan seorang istri
menggunakan mahar nikahnya dalam bentuk apapun, memberikan
pada suaminya, disimpan, dijadikan pajangan dan hiasan, dan
lainnya. Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Sa’di berkata sebagai
berikut;

‫ف ِف َم ِالَا َولَ ْو ِبلتـَّبـَُّرِع اِ َذا‬ َ ‫َّصُّر‬ ِ ِ َّ ‫فِي ِه دلِيل علَى أ‬


َ ‫َن ل ْل َم ْرأَة الت‬ َ ٌَْ ْ
ِ ِ ِ ‫ك فـلَي‬ ِ‫َكانَت رِشي َدةً فَِا ْن َل تَ ُكن َك َذل‬
ُ‫س ل َعطيَّت َها ُح ْك ٌم َوأَنَّه‬ َ ْ َ َ ْ ْ ْ َ ْ
‫ت بِِه‬ ِ َّ ‫لَيس لِولِيِها ِمن‬
ْ َ‫الص َداق َشْي ٌئ َغيـُْر َما طَاب‬ َ َّ َ َ ْ
Di dalam ayat tersebut terdapat sebuah dalil bahwa perempuan
boleh menggunakan hartanya (maharnya) meskipun dengan
berderma, jika dia sudah pintar. Jika tidak pintar, maka pem­
beriannya tidak memilik efek hukum dan walinya tidak berhak
mengambil maharnya kecuali mendapat ridha dari perempuan
tersebut.

Dengan demikian, boleh menjadikan mahar pernikahan sebagai


pajangan dan hiasan asalkan dilakukan oleh istri dengan suka rela.
Ini karena mahar nikah dari suaminya adalah milik penuh dirinya

30
sehingga dia bebas menggunakan dalam bentuk apapun, termasuk
disimpan, dijadikan pajangan dan hiasan, dan lainnya. 

31
Hukum Mahar Berupa Saham

DI KALANGAN MASYARAKAT INDONESIA, biasanya yang dijadikan


mahar pernikahan adalah berupa seperangkat alat salat dan logam
mulia berupa emas. Namun saat ini banyak dijumpai di kalangan
anak muda Indonesia yang memberikan mahar pernikahan pada
istrinya bukan lagi alat seperangkat alat salat dan emas, melainkan
berupa saham. Sebenarnya, bagaimana hukum menjadikan saham
sebagai mahar pernikahan, apakah sah?
Menjadikan saham sebagai mahar pernikahan hukumnya adalah
boleh dan sah. Tidak masalah bagi seorang laki-laki memberikan
mahar pernikahan pada istrinya berupa saham. Ini karena saham
termasuk kekayaan yang bernilai dan bisa dimanfaatkan oleh sang
istri. Menurut para ulama, semua hal yang bernilai dan bermanfaat,
termasuk saham, maka hukumnya boleh dijadikan sebagai mahar
pernikahan. 
Ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid berikut; 

33
ِ ‫وأ ََّما قَ ْدره فَِإنـَّهم اتـََّف ُقوا علَى أَنَّه لَي‬
ْ ‫س لَ ْكثَ ِرِه َح ٌّد َو‬
‫اختـَلَ ُفوا‬ َ ْ ُ َ ْ ُ ُُ َ
ٍ ُ ‫َحَ ُد َوإِ ْس َح‬ ِ
ْ ‫ال الشَّافعِ ُّي َوأ‬ ِ
َ ‫ِف أَقـَلّ ِه فـََق‬
ُ‫اق َوأَبُو ثـَْور َوفـَُق َهاء‬
‫س ِلَقـَلِّ ِه َح ٌّد َوُك ُّل َما َج َاز أَ ْن يَ ُكو َن‬ َ ‫ي‬
ْ ‫ل‬
َ ‫ني‬
َ
ِ‫الْم ِدينَ ِة ِمن التَّابِع‬
َ َ
ٍ ‫ال ابْن وْه‬ ِ ٍ ِ ِ‫َثَنا وق‬
‫ب‬ َ ُ َ َ‫ص َداقًا َوبِه ق‬ َ ‫يمةً ل َش ْيء َج َاز أَ ْن يَ ُكو َن‬ َ َ ً
 ‫ك‬ ٍ ِ‫اب مال‬ ِ ْ ‫ِمن أ‬
َ ‫َص َح‬ ْ
Adapun mengenai besaran mahar, maka para ulama telah
sepakat bahwa tidak ada batasan berapa jumlah maksimal
mahar. Namun mereka berbeda pendapat mengenai batas
minimalnya. Imam Syafii, Abu Tsaur, dan para ulama fikih
Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa tidak batasan
minimal mahar, dan setiap sesuatu yang bisa diperjualbelikan
atau bernilai, maka boleh dijadikan sebagai mahar. Pandangan
ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahb, salah seorang ulama dari
kalangan ulama Malikiyah. 

Dalam kitab Raudhatut Thalibin, Imam Nawawi juga mengata­


kan bahwa setiap hal yang bisa digunakan untuk membeli, atau
dijual, atau bisa dijadikan upah, maka boleh dijadikan mahar.
Tentunya saham memenuhi unsur ini karena saham sangat
ber­­nilai dan bisa diambil manfaatnya oleh istri. Beliau berkata
sebagai berikut;

ِ َّ ِ‫لَيس ل‬
ٌ‫لص َداق َح ٌّد ُم َقد‬
‫ بَ ْل ُك ُّل َما َج َاز أَ ْن يَ ُكو َن َثَنًا أ َْو‬،‫َّر‬ َ ْ
‫ص َداقًا فَِإ ِن انـْتـََهى ِف الْ ِقلَّ ِة إِ َل‬َ ُ‫ َج َاز َج ْعلُه‬،‫ُجَرًة‬
ْ ‫ُمثَ َّمنًا أ َْو أ‬
.ُ‫َّس ِميَة‬ ِ ٍ
ْ ‫ فَ َس َدت الت‬،‫َح ّد َل يـَتَ َم َّو ُل‬

34
Tidak ada ukuran untuk mahar, namun semua yang bisa digunakan
untuk membeli atau layak dibeli, atau bisa digunakan untuk upah,
semuanya boleh dijadikan mahar. Jika nilainya sangat sedikit,
sampai pada batas tidak lagi disebut harta oleh masyarkat, maka
tidak bisa disebut mahar. 

35
Hukum Menikah dengan Sepupu

DI TENGAH MASYARAKAT ATAU DAERAH, seringkali kita menemui


tradisi menikah dengan keluarga dekat, seperti sepupu. Misal, ayah
A dan ayah B merupakan saudara kandung. Si A mempunya anak
lelaki, dan si B mempunyai anak perempuan. Kemudian anak si A
dan si B ini menikah. Bagaimana hukumnya dalam Islam? 
Dalam Islam, menikah dengan sepupu boleh dan halal karena
sepupu bukan bagian dari orang yang haram dinikahi. Dalam Al-
Qur’an surah Al-Ahzab ayat 50; Allah berfirman;

‫ُج َورُه َّن‬


ُ‫تأ‬ َ ‫اللِت آتـَْي‬
َّ ‫ك‬ َ ‫اج‬
َ ‫ك أ َْزَو‬ ْ ‫َّب إِ َّن أ‬
َ َ‫َحلَْلنَا ل‬ ُّ ِ‫َي أَيـَُّها الن‬
‫ات‬ِ َ‫ك وبـن‬ ِ ‫ات ع‬
‫م‬ ِ َ‫ك وبـن‬ ‫ي‬ ‫ل‬
َ ‫ع‬ ‫الل‬
َّ ‫اء‬َ‫ف‬َ‫أ‬ ‫َّا‬
‫م‬ ِ ‫وما ملَ َكت يِينك‬
ََ َّ َ َ
ََ ْ ُ َ َ َ ُ َ ْ َ ََ
ِ َ‫ك وبـن‬ ِ ِ
‫ك‬َ ِ‫ات َخاالت‬ َ َ َ ‫ك َوبـَنَات َخال‬ َ ِ‫َع َّمات‬
“Wahai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu
isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba
sahaya yang kamu miliki dari apa yang kamu peroleh dalam
peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian
pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu,
anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-

37
anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak
perempuan dari saudara perempuan ibumu.”

Ulama fikih membagi tiga jenis hukum nikah bila kita kaitkan
dengan siapa calon mempelai akan menikah. Pertama, hukum
haram. Ini terjadi apabila kita menikahi seorang mahram, seperti
ibu, adik kandung, anak perempuan, dan sebagainya. Kedua, hukum
makruh. Ini terjadi bila kita menikah dengan famili yang sangat
dekat seperti sepupu. Ketiga, hukum mubah. Ini terjadi bila kita
menikah dengan famili jauh atau orang lain yang tidak memiliki
hubungan keluarga dengan kita. 
Meskipun boleh dan halal menikah dengan sepupu, namun
ulama Syafiiyah menyarankan agar menghindari menikah dengan
sepupu. Karena itu mereka menghukuminya makruh. Dalam ki­
tab Alwasith dan Ihya’ Ulumiddin, Imam al-Ghazali mencantumkan
perkataan Sayidina Umar;

ِ ِ
َ ‫َل تـَْنك ُح ْوا اْل َقَرابَةَ اْل َق ِريـْبَةَ فَأ َن اْ َلولَد ُيْلَ ُق‬
‫ضا ِوًي‬
“Jangan kalian menikahi famili dekat karena akan menyebabkan
lahir anak yang lemah.”

Sejalan dengan pendapat ulama fikih, situs Alodokter, (https://


www.alodokter.com/risiko-kesehatan-menikah-dengan-sepupu-
yang-perlu-dipertimbangkan), sebagaimana telah dibenarkan oleh
dokter Allert Benedicto Ieuan Noya, memberi tahu risiko menikah
dengan kerabat atau keluarga dekat, seperti cacat lahir, gangguan
sistem kekebalan tubuh, lahir mati atau stillbirth, dan gangguan
mental. Wallahu a‘lam

38
Ulama fikih membagi tiga jenis hukum nikah
bila kita kaitkan dengan siapa calon mempelai
akan menikah. Pertama, hukum haram. Ini
terjadi apabila kita menikahi seorang mahram,
seperti ibu, adik kandung, anak perempuan, dan
sebagainya. Kedua, hukum makruh. Ini terjadi
bila kita menikah dengan famili yang sangat
dekat seperti sepupu. Ketiga, hukum mubah.
Ini terjadi bila kita menikah dengan famili jauh
atau orang lain yang tidak memiliki hubungan
keluarga dengan kita
Saat Dapat Undangan Resepsi
Pernikahan Teman, 
Apakah Kita Wajib Datang?

SETIAP PASANGAN YANG INGIN MENIKAH biasanya mengadakan


jamuan pesta pernikahan. Resepsi pernikahan itu dalam kajian
fikih disebut dengan istilah walimatul ‘urs. Pengertiannya adalah
hidangan atau santapan yang disediakan pada pernikahan. 
Resepsi pernikahan biasanya mengundang kolega, teman,
patner, tetangga, dan handai tolan. Lantas muncul pertanyaan,
se­­­seorang saat dapat undangan resepsi pernikahan teman, apakah
wajib datang? 
Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hishni al-Husaini,
atau akrab dengan nama Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni, dalam
kitab Kifayatul Akhyar mengatakan bahwa menghadiri resepsi
pernikahan itu merupakan sesuatu yang wajib hukumnya. Dengan
demikian, seorang yang mendapatkan undangan pernikahan maka
ia wajib datang bila tidak ada halangan. Berikut penjelsan dalam
Kifayatul Akhyar;

‫إَِّل‬ ِْ ‫ و‬،ٌ‫والْولِْيمةُ َعلَى الْ َعر ِس ُمستَ َحبَّة‬


ٌ‫ال َجابَةُ إِلَيـَْها َو ِاجبَة‬ َ ْ ُ َ ََ
‫ِم ْن عُ ْذ ٍر‬
41
Mengadakan acara resepsi pernikahan hukumnya sunah, se­
dangkan memenuhi undangan resepsi tersebut adalah wajib
hukumnya kecuali jika ada uzur atau halangan. 

Sementara itu Syekh Zakaria Al Anshari dalam kitab Fath al-


Wahhab mengatakan menghadiri resepsi pernikahan hukumnya
fardhu ain. Sedangkan menghadiri pesta yang lain, misalnya khitanan
dan buka bersama hukumnya sunah. Berikut tercantum dalam
kitab Fath al-Wahhab:

  ٌ‫ي َولِغَ ِْيِه ُسنَّة‬


ٍ ْ ‫ض َع‬ ِ ِْ ‫و‬
ُ ‫ال َجابَةُ ل َعُر ٍس فـَْر‬ َ
Menghadiri resepsi pernikahan adalah fardu ‘ain, sedangkan
menghadiri undangan pesta yang lain adalah sunnah. 

Pendapat serupa juga dikatakan oleh Syekh Ibnu Qosim Al Ghazi


dalam kitab Fathul Qarib. Ia menjelaskan bahwa bagi para undangan,
hukum mendatangi resepsi pernikahan ini adalah fardhu ain. Bila
tak ada uzur, ia wajib mendatanginya, sekalipun di undangan nanti
tidak ikut menikmati hidangan makanan yang tersaji. Syek Ibnu
Qosim Al Ghazi berkata; 

ٍ ْ ‫ض َع‬
‫ي‬ ِ ‫الجابةُ إِلَيـها] أَي ولِيم ِة الْعر ِس‬ ِ
ُ ‫َي فـَْر‬
ْ ‫[واجبَةٌ] أ‬
َ ُ َ َ ْ َ ْ َْ َ َ ْ ‫[و‬ َ
ِ ِ
َ ‫ب ْالَ ْك ُل منـَْها ِ ْف ْال‬
 ‫َص ِّح‬ َ ‫ِ ْف ْال‬
ُ ‫ َوَل َي‬.‫َص ِّح‬
Menghadiri resepsi undangan  pernikahan hukumnya adalah wajib
artinya fardhu ain, menurut pendapat yang lebih sahih. Sedangkan
ikut menikmati hidangan makanan tidak wajib memakannya,
menurut pendapat yang lebih sahih.

Adapun dalil kewajiban mendatangi walimatul ‘urs atau resepsi


pernikahan adalah hadis Nabi Muhammad. Dalam hadis Shahih yang
diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah menganjurkan

42
dengan tegas bahwa siapa saja yang mendapatkan undangan
pernikahan, hendaknya ia menghadiri acara tersebut. Rasullah
bersabda;

  ‫َح ُد ُك ْم إِ َل الْ َولِْي َم ِة فـَْليَأْ ِتَا‬ ِ ِ


َ ‫إ َذا ُدع َى أ‬
Jika kalian diundang dalam acara walimah, maka datanglah! (HR.
Bukhari dan Muslim) 

 Akan tetapi Ibnu Qosim Al Ghazi memberikan catatan penting,


yakni  kewajiban mendatangi resepsi pernikahan itu bisa gugur
hukumnya apabila pihak pengundang  (empunya hajat) melakukan
melakukan diskriminasi sosial. Misalnya hanya mengundang
orang kaya saja. Atau khusus pejabat, sementara rakyat biasa
tidak. Atau dalam walimah urus itu ada kemungkaran. Simak
penjelasan berikut;

‫َّع َوةُ لَِولِْي َم ِة الْ َع ُر ِس أ َْو تُ َس ُّن لِغَ ِْيَها بِ َش ْر ِط أَ ْن‬


ْ ‫ب الد‬ ِ َِّ
ُ ‫َوإنَا َت‬
 َ‫ بَ ْل يَ ْدعُ ْوُه ْم َوالْ ُف َقَراء‬،‫َّع َوِة‬
ْ ‫َّاع ُي ْالَ ْغنِيَاءَ ِبلد‬ ِ ‫ص الد‬
َّ ُ‫َل َي‬
Sesungguhnya kewajiban menghadiri undangan walimah nikah,
atau kesunnahan mendatangi jamuan makan lainnya, ialah
dengan syarat orang yang mengundang (empunya hajat) tidak
menspesialkan orang kaya dalam undangan, tetapi ia juga meng­
undang orang-orang fakir.

Penjelasan lebih spesifik terkait alasan-alasan yang menggugur­


kan kewajiban mendatangi resepsi pernikahan atauwalimah ‘urus
dijelaskan Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Ia men­
jelaskan;

43
‫َّع َوِة أ َْو نَ ْد ِبَا‬
ْ ‫ب إِ َجابَِة الد‬
ِ ُ ‫أ ََّما ْالَع َذار الَّيت يس ُق‬
َ ‫ط بَا ُو ُج ْو‬ َْ ْ ُ ْ
،َ‫ص ِبَا ْالَ ْغنِيَاء‬ َّ ُ‫ أ َْو َي‬،ٌ‫فَ ِمنـَْها أَ ْن يَ ُك ْو َن ِ ْف الطَّ َع ِام ُشبـَْهة‬
‫ أ َْو َل تَلِْي ُق بِِه‬،ُ‫ض ْوِرِه َم َعه‬ ِ
ُ ُ‫اك َم ْن يـَتَأَذَّى ب‬ َ َ‫أ َْو يَ ُك ْو َن ْهن‬
ِ ‫ أَو لِطَم ٍع ِف ج‬،‫ف ش ِرِه‬
‫ أ َْو‬،‫اه ِه‬ ِ ِ
َ ْ ْ ْ ّ َ ‫ أ َْو يَ ْدعُ ْوهُ لَْو‬،ُ‫ُمُالَ َستُه‬
‫لِيـَُعا ِونَهُ َعلَى َب ِط ٍل‬
Hal-hal yang menggugurkan kewajiban atau kesunahan menghadiri
undangan adalah, pada makanannya ada syubhat (tidak jelas
apakah haram atau tidak); hanya khusus bagi orang-orang kaya,
ada yang menyakiti jika ia hadiri, atau tidak pantas ia berada di
majlis walimah tersebut, khawatir akan keburukan pada walimah
tersebut, atau nanti menjadi mengharap-harap pujian, atau malah
menjadi ajang membantu kebatilan. 

44
Menghadiri resepsi pernikahan
adalah fardu ‘ain, sedangkan
menghadiri undangan pesta yang
lain adalah sunnah. 
Apakah Mahar Seperangkat
Alat Salat itu Wajib?

PEMBERIAN MAHAR dari pihak mempelai laki-laki pada mempelai


perempuan merupakan suatu kewajiban dalam pernikahan. 
Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam kitab Fiqh al
Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i menjelaskan bahwa mahar
adalah harta yang wajib diserahkan oleh suami pada istri, dengan
sebab adanya akad nikah. 

‫الزْو ِج َدفـْعُهُ لَِزْو َجتِ ِه‬


َّ ‫ب َعلَى‬
َ ‫ج‬
َ ‫و‬
َ ‫ي‬
ْ
ِ َّ‫ال ال‬
‫ذ‬ ُ ‫اق ُه َو الْ َم‬ ُ ‫الص َد‬
َّ
ِ ‫ب َع ْق ِد النِّ َك‬
‫اح‬ ِ َ‫بِسب‬
َ
Maskawin ialah harta yang wajib diserahkan oleh suami pada
istri dengan sebab adanya akad nikah.

Dalam Al-Qur’an pada Q.S An Nisa/5;4, Allah mewajibkan para


laki-laki untuk memberikan mahar pada wanita. Allah Swt. berfir­­­
man:

ِ
ً‫ص ُدقَاتِِ َّن ْنلَة‬
َ ‫َّساء‬
َ ‫وآتُواْ الن‬ َ

47
Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan 

Pada kesempatan lain, Allah berfirman dalam surah yang sama


ayat ke 24;

ِِ
َ ‫ُج َورُه َّن فَ ِر‬
ً‫يضة‬ ُ ُ‫استَ ْمتـَْعتُ ْم بِه منـْ ُه َّن فَآَت‬
ُ ‫وه َّن أ‬ ْ ‫فَ َما‬
Istri-istri yang telah kamu campuri di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban…” (QS. an-Nisa: 24)

Di Indonesia, jamak ditemui ketika melangsungkan pernikahan,


laki-laki selalu memberikan mahar seperangkat alat salat. Hampir
semua daerah membuat semacam tradisi, ketika ada akad nikah,
seperangkat alat salat tak boleh dilupakan. 
Seperangkat alat salat ini seperti hal yang wajib. Meskipun suami
sudah menyiapkan emas, rumah, mahar umrah, tetapi seperangkat
alat salat tak boleh hilang. Sehingga muncul pertanyaan, apakah
mahar seperangkat alat salat sesuatu mahar yang wajib ketika
melangsungkan akad nikah menurut fikih?
Menurut mazhab Syafi’i tidak ada ketentuan terkait bentuk
mahar. Hal ini mengandung pengertian mahar bisa diberikan pada
pengantin perempuan dalam bentuk apapun,  tetapi yang penting
memiliki nilai komersil. Imam Syafi’i memberikan syarat mahar itu
harus dianggap barang yang memiliki nilai dan harga.   
Hal ini tentu memberikan indikasi semua barang yang memiliki
harga menurut masyarakat bisa dijadikan mahar. Baik itu emas,
perak, rumah, berlian, cincin, dan perungu. Lebih lanjut simak
penjelasan Imam As-Syafii dalam kitab al Umm berikut; 

48
ِ ِ
ُ‫استـَْهلَ َكه‬ ُ ‫أَقَ ُّل َما َيُ ْوُز ْف الْ َم ْهر أَقَ ُّل َما يـُتَ َم َّو ُل الن‬
ْ ‫َّاس َوَما لَ ْو‬
‫َّاس بـَيـْنـَُه ْم‬
‫ن‬ ‫ال‬ ‫ه‬ ‫ع‬ ‫ـ‬ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫ب‬ ‫ـ‬ ‫ت‬ ‫ـ‬ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫م‬‫و‬ ‫ة‬
ٌ ‫م‬ ‫ي‬ ِ‫رجل لِرج ٍل َكانَت لَه ق‬
ُ ُ َُ ََ َ َ َ َ ُ ْ ْ َُ ٌ َُ
Minimal barang yang boleh dijadikan mahar adalah harta dengan
ukuran minimal masih dihargai atau memiliki nilai di masyarakat.
Nah, andaikan harta ini diserahkan seseorang kepada orang
lain, maka harta itu masih dianggap bernilai, dan masih layak
diperdagangkan. 

Sementara itu, Imam Nawawi dalam kitab Raudhah al-Thalibin


menjelaskan benda yang akan dijadikan mahar itu harus memiliki
nilai. Seandainya suami memberikan suatu benda sebagai mahar
pada istri, tetapi oleh masyarakat sekitar  “benda” tersebut tidak
dianggap sebagai harta dan tidak punya nilai jual,  maka itu tidak
bisa disebut sebagai mahar. 
Imam Nawawi berkata; 

ِ َّ ِ‫لَيس ل‬
ٌ‫لص َداق َح ٌّد ُم َقد‬
‫ بَ ْل ُك ُّل َما َج َاز أَ ْن يَ ُكو َن َثَنًا أ َْو‬،‫َّر‬ َ ْ
‫ فَِإ ِن انـْتـََهى ِف الْ ِقلَّ ِة إِ َل‬.‫ص َداقًا‬
َ ُ‫ َج َاز َج ْعلُه‬،ً‫ُجَرة‬
ْ ‫ُمثَ َّمنًا أ َْو أ‬
.ُ‫َّس ِميَة‬ ِ ٍ
ْ ‫ فَ َس َدت الت‬،‫َح ّد َل يـَتَ َم َّو ُل‬
Tidak ada ukuran untuk mahar, namun semua yang bisa digunakan
untuk membeli atau layak dibeli, atau bisa digunakan untuk upah,
semuanya boleh dijadikan mahar. Jika nilainya sangat sedikit,
sampai pada batas tidak lagi disebut harta oleh masyarakat,
maka tidak bisa disebut mahar. 

Pendapat serupa juga bisa kita temukan dalam dalam kitab Al-
Fiqh ‘ala Madzahib Al-Arba’ah karya Syekh Abdurrahman Al Jaziri.
Beliau menjelaskan mahar itu harus punya harga dan nilai jual.
Simak penjelasan berikut;

49
ُ‫ أَ ْن يَ ُك ْو َن َماالً ُمتـََق َّوماً لَه‬:‫َح ُد َها‬ َ ‫َو ُش ِر َط ِ ْف الْ َم ْه ِر أ ُُم ْوٌر أ‬
،‫ َك َحبَّ ٍة ِم ْن بـٍُّر‬،ُ‫ص ُّح ِبلْيَ ِس ِْي الَّ ِذ ْي َل قِْي َمةَ لَه‬ ِ ‫ فَ َل ي‬،ٌ‫قِيمة‬
َ َْ
‫ص َد ٍاق‬ ِ ِ‫ فـلَو تـزَّوجها ب‬ ‫ َكما َل ح َّد ِلَقـلِّ ِه‬،‫وَل ح َّد ِلَ ْكثَ ِرِه‬
َ َ ََ ْ َ َ َ َ َ َ
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ
ُ‫ فَِإنَّه‬،‫يَس ٍْي َولَ ْو م ْلءَ َك ّفه طَ َعاماً م ْن قَ ْم ٍح أ َْو م ْن َدقْي ٍق‬
‫ص الْ َم ْه ُر َع ْن َع ْشَرَة َد َر ِاه َم‬ ِ
َ ‫ َولَك ْن يُ َس ُّن أَ ْن َل يـَنـُْق‬،‫يَص ُّح‬
ِ
Terdapat beberapa syarat dalam mahar. Pertama, mahar harus
berupa harta yang memiliki harga dan nilai. Karena itu, mahar
tidak sah dengan barang yang sedikit yang tidak memiliki nilai
dan harga, seperti sebiji gandum. 

Paling banyaknya mahar itu tidak ada batasannya, sebagaimana


paling sedikitnya mahar juga tidak ada batasannya. Andaikan
seseorang menikahi seorang perempuan dengan mahar yang sedikit,
meskipun hanya dengan segenggam gandum atau tepung, maka
itu sah. Akan tetapi dianjurkan mahar nikah tidak kurang dari
sepuluh dirham
Dengan demikian, keterangan di atas menjelaskan bahwa mahar
seperangkat alat salat itu tidak harus, dan nikah tetap sah sekalipun
tanpa mahar seperangkat alat salat.

50
Tidak ada ukuran untuk mahar, namun
semua yang bisa digunakan untuk
membeli atau layak dibeli, atau bisa
digunakan untuk upah, semuanya boleh
dijadikan mahar. Jika nilainya sangat
sedikit, sampai pada batas tidak lagi
disebut harta oleh masyarakat, maka
tidak bisa disebut mahar. 
Apakah Istri Boleh Menolak
Satu Rumah dengan Mertua?

MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974 tentang Perkawinan Pasal 78


Kompilasi Hukum Islam, Pasal 32 disebutkan bahwa suami istri
diharuskan untuk mempunyai tempat kediaman yang tetap yang
ditentukan oleh suami istri bersama. Selanjutnya disebutkan juga
sesuai dengan penghasilannya, suami wajib menanggung nafkah,
pakaian, dan tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga,
biaya pendidikan bagi anak. 
Adapun hak tempat tempat tinggal, seyogianya kediaman yang
layak untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan
pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram. Pada sisi
lain, suami juga seyogianya menyediakan pelbagai alat kebutuhan
rumah tangga. Inilah sekilas tugas suami dalam perkawinan.
Untuk itu, para ulama sepakat, suami berkewajiban memberikan
nafkah pada istri. Nafkah tersebut harus diberikan pada istrinya. Pun
istri berhak menagih nafkah tersebut dari suami. Hal ini berdasarkan
firman Allah dalam Q.S At-Thalaq/; 7)

53
‫ِرْزقُهُ فـَْليـُْن ِف ْق ِمَّا‬ ‫لِيـُْن ِف ْق ذُو َس َع ٍة ِم ْن َس َعتِ ِه َوَم ْن قُ ِد َر َعلَْي ِه‬
‫آت َها‬َ ‫اللُ نـَْف ًسا إَِّل َما‬ َّ ‫ف‬ ِ
ُ ّ‫اللُ َل يُ َكل‬
َّ ُ‫آته‬ َ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemam­
puannya. Orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa
yang Allah berikan kepadanya,” 

Selanjutnya, dalam surah yang sama, Al-Qur’an juga menegaskan


bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah berupa tempat
tinggal pada istri. Pasalnya, tempat tinggal termasuk dalam hak yang
harus diberikan suami. Simak penjalasan Q.S at Thalaq/:6 berikut; 

‫وه َّن‬ ‫ر‬ ‫ا‬


ٓ ‫ض‬‫ت‬ ‫ل‬َ‫و‬ ‫م‬ ۡ ‫أ َۡس ِكنوهن ِم ۡن ح ۡيث س َكنتم ِمن و ۡج ِدك‬
ُّ
ُ َُ َ ُ ُ ّ ُ َ ُ َ َّ ُ ُ
ِ ‫ت َ ۡح ٍل فَأ‬
‫َنف ُقواْ َعلَ ۡي ِه َّن َح َّ ٰت‬ ِ َ‫ضيِ ُقواْ علَ ۡي ِه َّن ۚ وإِن ُك َّن أُوٰل‬ ‫لِت‬
ۡ ْ َ َ ّ َ ُ
ِ
‫ُج َورُه َّن ۖ َوأَتُروْا‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫وه‬ ‫ت‬ ‫ا‬‫ـ‬ ‫ف‬ ۡ ‫يض ۡعن ۡحلَهن ۚ فِإ ۡن أ َۡرض ۡعن لَ ُك‬
‫م‬
ُ َّ ُ ُ ََٔ َ َ َ َّ ُ َ َ َ َ
ٓ ۡ ۡ
‫اس ۡرُت فَ َستـ ُۡر ِض ُع لَهُۥ أُخَر ٰى‬ ‫ع‬ ‫ـ‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ٍ ‫بـيۡـنَ ُكم ِبَ ۡعر‬
ِ‫وف ۖ وإ‬
َ ََ َ ُ َ
“Tempatkanlah mereka (para istri yang dicerai) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika
mereka (para istri yang dicerai) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan.”

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka


beri­kanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah
di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu sama-
sama menemui kesulitan (dalam hal penyusuan), maka perempuan
lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

54
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar mengatakan pangkal ayat ini
menjelaskan kewajiban bagi seorang suami menyediakan tempat
tinggal bagi istrinya di mana suami bertempat, menurut ukuran
hidup suami sendiri. Meskipun istri anak orang kaya raya, sedang
suami tidak sekaya mertua atau istrinya, dia pun hanya berkewajiban
menyediakan menurut ukuran hidupnya juga.
Tak bisa ditampik, setelah menikah memang idealnya suami
dan istri membangun rumah tangganya sendiri. Pasalnya, dengan
begitu maka akan tercipta kemandirian dalam membangun rumah
tangga. Dan bila terdapat persoalan dalam rumah tangga, keduanya
lebih dewasa dalam bertindak
Ada saja istri yang menolak satu rumah dengan mertuanya. Tentu
dengan pelbagai alasan. Selain alasan mandiri dalam berumah
tangga, ada juga yang tak begitu cocok serumah dengan keluarga
suaminya, terlebih bila mertua masih memiliki adik dan keluarga
yang tingga di rumah suami. 
Nah dalam kasus istri menolak satu rumah dengan mertua,
apakah itu dibolehkan? Apabila seorang suami mengikuti kehendak
istrinya, tergolong anak durhakakah? 
Menurut Imam Nawawi dalam kitab Fatawal Imamin Nawawi
, seorang suami boleh hukumnya mengutamakan istri daripada
ibunya. Pun suami tersebut tidak berdosa dan tidak dianggap
durhaka dengan mengutamakan istri. Tetapi dengan catatan, ia
tidak melupakan kedua orang tuanya. Di samping itu juga sejauh ia
memenuhi kewajiban nafkah ibunya yang masih menjadi tanggung
jawabnya. 
Simak penjelasan Imam Nawawi berikut; 

55
ِ ‫َل يْ َث بِ َذلِك إِ َذا قَام بِ ِكفاي ِة ْالُِم إِ ْن َكان‬
ُ‫ت م َّْن يـَْلَزُمه‬ َْ ّ ََ َ َ َُ
‫ب ْالُِّم‬ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫ب قـَْل‬ َ ْ‫ لَك ِن ْالَف‬،‫ك َفايـَتـَُها ِبلْ َم ْعُرْوف‬
َ ‫ض ُل أَ ْن يَ ْستَطْي‬
َّ ‫ َوإِ ْن َكا َن َل بُ َّد ِم ْن تـَْرِجْي ِح‬،‫ضلَ َها‬
‫الزْو َج ِة فـَيـَنـْبَغِ ْي‬ ِّ ‫َوأَ ْن يـَُف‬
‫أَ ْن ُيَِّفيَهُ َع ِن ْالُِّم‬
 
Seseorang tidak berdosa dengan tindakan itu ketika ia mencukupi
(nafkah) ibunya jika ibunya adalah salah seorang yang wajib
dinafkahi dengan baik. Tetapi yang utama adalah membahagiakan
(menjaga perasaan) dan mengutamakan ibunya. Jika memang
harus mengutamakan nafkah istri daripada ibu, maka seseorang
suami harus menyembunyikan tindakan tersebut dari ibunya

Dengan demikian seorang istri yang menolak satu rumah


dengan mertua dengan ingin hidup mandiri dan takut terjadi
konflik diperbolehkan dalam Islam. Pasalnya itu demi kebaikan
rumah tangga keduanya. 

56
“Hendaklah orang yang mampu memberi
nafkah menurut kemam­puannya. Orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekadar apa yang
Allah berikan kepadanya,” 
Ayah Berhalangan Hadir Menjadi
Wali Nikah karena Pandemi,
Bolehkah Diganti Kakak?

KEBERADAAN WALI DALAM SEBUAH AKAD NIKAH merupakan


sesuatu yang sangat mutlak. Kehadirannya menjadi rukun yang
wajib untuk dipenuhi. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah Swt. dalam
Alquran QS. Al-Baqarah ayat 232:

ِ ‫وإِ َذا طَلَّ ْقتُم ٱلنِّسآء فـبـلَ ْغن أَجلَه َّن فَ َل تـعضلُوه َّن أَن ي‬
‫نك ْح َن‬َ ُ ُ َْ ُ َ َ ََ ۟ َ َ ُ َ
ِ
 ۗ ‫ض ْوا بـَيـْنـَُهم بِٱلْ َم ْع ُروف‬
َ ‫أ َْزَٰو َج ُه َّن إِ َذا تـََٰر‬
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka
kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan
di antara mereka dengan cara yang ma’ruf”.

Namun, dalam masa pandemi ini, akad nikah menjadi sesuatu


yang cukup sulit untuk diadakan karena secara otomatis pelaksa­
naan akad nikah akan menimbulkan kerumunan yang membuat
penyebaran virus corona menjadi semakin menghebat. Dikutip dari
laman resmi Kemenag, banyak sekali kejadian di mana majelis akad
nikah dan resepsinya menjadi klaster penyebaran virus corona.

59
Bahkan ada beberapa petugas KUA serta para hadirin yang terjangkit
virus Covid 19 hingga menyebabkan kematian tidak lama setelah
menghadiri majelis akad nikah.
Menghadapi masalah gawat ini, Kementrian Agama telah
mengeluarkan Instruksi Menteri Agama (IMA) Nomor 1 tanggal 1
Februari 2021 tentang 5M  sebagai alat pertahanan diri; (mengguna­
kan masker, mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan,
menjaga jarak, menghindari kerumunan, membatasi mobilitas
dan interaksi). Instruksi Menteri Agama ini beserta sejumlah Surat
Edaran (SE) Dirjen Bimas Islam tentang Pelayanan Nikah selama
Pandemi Covid 19, menjadi perangkat pertahanan diri yang wajib
dilaksanakan khususnya dalam pelayanan akad nikah para warga.
SE Dirjen Bimas Islam P-002 tanggal 19 Maret 2020 tentang
pelaksanaan protokol penanganan covid 19 pada area publik di
lingkungan Dirjen Bimas Islam juga memberikan aturan yang jelas.
Diantaranya, mengatur  jumlah orang yang menghadiri prosesi akad
nikah maksimal 10 dan  semuanya terlebih dahulu mencuci tangan
atau menggunakan hand sanitizer dan memakai masker. Mempelai
pria, wali nikah dan penghulu wajib memakai sarung tangan. Ijab
qabul tidak harus berjabatan dan acaranya dikemas sederhana dan
sesingkat mungkin.
Dirjen Bimas Islam  kembali menerbitkan SE/P-003, 02 Maret 2020
yang merivisi sebagian dari isi SE/P-002. Diantaranya, mengimbau
masyarakat agar memanfaatkan teknologi informasi untuk men­
dapatkan pelayanan tanpa harus datang ke KUA. Penyebaran
Covid 19 yang sangat cepat, kemudian membuat Dirjen Bimas Islam
menerbitkan lagi SE/P-004 tanggal 23 April 2020 yang lebih dikenal
dengan SE lock down  pernikahan. Dimana,  rencana pernikahan
yang terdaftar sejak 23 April 2020, baru dapat dilaksanakan se­
telah  29 Mei 2020 dan pendaftaran nikah hanya bisa dilakukan
secara online.

60
Pada zona hijau di mana akad nikah masih memungkinkan
untuk dilaksanakan dengan mematuhi berbagai macam protokol
kesehatan sering terjadi kasus di mana pihak keluarga merasa bahwa
anggota keluarga yang sudah berumur tidak usah hadir di majelis
akad nikah, cukup yang muda-muda saja. Hal ini menjadi pilihan
sebagai antisipasi karena catatan medis menyatakan bahwa virus
corona ini akan menjadi persoalan yang serius bagi orang-orang
yang sudah berumur, memiliki daya tahan tubuh yang rendah serta
memiliki riwayat penyakit bawaan.
Pertimbangan ini kemudian menghasilkan kebijakan dari
banyak para keluarga agar yang menjadi wali adalah kakak atau
saudara lelaki dari mempelai perempuan saja meskipun ayah
masih ada.
Syekh Abu Bakar al-Hishni dalam kitab Kifayatul Akhyar men­
jelaskan urutan siapa saja yang berhak menjadi seorang wali:

ِ ‫َخ لِ ْل‬
ُ ‫َب ُثَّ ْال‬ ِ ‫ال ُّد أَبـو ْال‬ ِ
َّ‫َب َو ْال ُُّم ُث‬ ُْ َْ َّ‫َب ُث‬ ُ ‫َوأ َْوَل الْ ُوَلة ْال‬
َّ‫َب ُث‬ ِ ‫َخ لِ ْل‬ ِ ‫َخ لِ ْل‬
ِ ‫َب َو ْالُِّم ُثَّ ابْ ُن ْال‬ ِ ‫َب ُثَّ اِبْ ُن ْال‬
ِ ‫َخ لِ ْل‬
ُ ‫ْال‬
 ‫ب‬ِ ‫الْ َع ُّم ُثَّ ابـْنُهُ َعلَى َه َذا التـَّرتِْي‬
ْ
Artinya: “Wali yang utama adalah ayah, kemudian kakek dari
ayah, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak
laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu, anak laki-lakinya
saudara laki-laki seayah, paman, dan anak laki-lakinya paman,
berdasarkan tertib urutan ini.” (Abu Bakar Al-Hishni, Kifâyatul
Akhyâr, Bandung: Al-Ma’arif, tt., Juz II, h. 51) 

Mengacu pada ketentuan ini, maka apabila masih terdapat ayah,


kakek tidak bisa menjadi wali. Jika masih terdapat ayah atau kakek
maka saudara lelaki tidak boleh menjadi wali dan seterusnya. Hal
ini mengingat bahwa ketentuan diatas menggunakan sistem hi­rarki. 

61
Lain halnya apabila seorang ayah berada pada tempat yang
jauh dari majelis akad nikah, maka ia bisa mewakilkannya kepada
hirarki berikutnya atau kepada wali hakim (petugas KUA). Ini
sebagaimana dituturkan oleh Imam As-Syairazi di dalam kitab
Al-Muhadzdzab:

َّ ‫ص ُر فِيـَْها‬
‫الص َلةُ َزَّو َج َها‬ ٍ
َ ‫ل إِ َل َم َسافَة تـُْق‬ ُّ ِ‫اب الْ َو‬َ ‫َوإِ ْن َغ‬
َّ ‫الس ْلطَا ُن َوَلْ يَ ُك ْن لِ َم ْن بـَْع َدهُ ِم َن ْال َْولِيَ ِاء أَ ْن يـَُزِّو َج ِل‬
‫َن‬ ُّ
ِِ ِ ِ ِ ِ‫ِوَليةَ الْغائ‬
َ ‫ب َبقيَةٌ َولََذا لَ ْو َزَّو َج َها ِ ْف َم َكانه‬
‫ص َّح الْ َع ْق ُد‬ َ َ
‫ضَر‬ َ ‫الس ْلطَا ُن َم َق َامهُ َك َما لَ ْو َح‬ ُّ ‫َوإَِّنَا تـُْع َذ ُر ِم ْن ِج َّهتِهَ فـََق َام‬
‫َو ْامتـَنَ َع ِم ْن تـَْزِوِْي َها‬
Artinya: “Bila wali pergi dalam jarak yang memperboleh­­kan
mengqashar salat maka penguasa mengawinkan (menjadi
wali hakim, pen.) mempelai perempuan. Para wali yang berada
pada urutan setelah wali tersebut tidak berhak mengawinkan,
dikarenakan masih tetapnya hak perwalian wali yang pergi itu.
Karenanya bila si wali mengawinkan mempelai perempuan di
tempatnya maka sah akadnya. Namun ia berhalangan, maka
penguasa menempati posisinya sebagaimana bila ia hadir namun
tercegah untuk mengawinkan.” (As-Syairazi, Al-Muhadzdzab,
Beirut: Darul Fikr, 2005, Juz. II, h. 52).

Secara hukum Islam, hal tersebut boleh saja dilakukan seba­


gaimana telah dijelaskan di atas bahwa hirarki perwalian disitu
menyebutkan pula bahwa saudara lelaki bisa menjadi wali. Meskipun
ayah masih ada namun karena ia berada pada posisi yang darurat
di saat pandemi ini, maka tidaklah menjadi masalah sebagaimana
boleh saja seorang ayah mewakilkan perwalian saat dirinya berada
jauh dari majelis akad nikah.

62
“Apabila kamu mentalak isteri-
isterimu, lalu habis masa iddahnya,
maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya, apabila telah
terdapat kerelaan di antara mereka
dengan cara yang ma’ruf ”.
Hukum Menjual
Mahar Nikah

DI ANTARA PERKARA YANG DITANYAKAN oleh sebagian orang


adalah hukum mengenai menjual mahar nikah. Ini karena di sebagian
masyarakat terdapat sebuah anggapan bahwa mahar nikah tidak
boleh dijual, melainkan wajib disimpan. Sebenarnya, bagaimana
hukum menjual mahar nikah ini?
Menurut para ulama, mahar yang diberikan oleh suami kepada
istrinya merupakan milik penuh seorang istri. Karena itu, seorang
istri berhak menggunakan dalam bentuk apapun terhadap mahar
yang diterima dari suaminya, baik dijual, disimpan, atau diberikan
kepada orang lain. 
Dalil yang dijadikan dasar kebolehan seorang istri menggunakan
mahar dari suamianya dalam bentuk apapun, termasuk menjualnya,
adalah firman Allah dalam surah Al-Nisa’ ayat 4 berikut;

ٍِ ِ ِ ِِ ِ
َ ْ ‫ص ُدقَات َّن ْنلَةً فَِإ ْن ط‬
ُ‫ب لَ ُك ْم َع ْن َش ْيء مْنه‬ َ َ‫َوآتُوا النّ َساء‬
‫نـَْف ًسا فَ ُكلُوهُ َهنِيئًا َم ِريئًا‬
Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang penuh dengan kerelaan. Namun jika mereka

65
menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan
kerelaan, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Menurut Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Sa’di dalam kitab


Taisir Al-Karim Al-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, kalimat
‘fakuluuhu hanii-an marii-aa’ menjadi dalil kebolehan seorang istri
menggunakan mahar nikahnya dalam bentuk apapun, termasuk
menjualnya. Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Sa’di berkata
sebagai berikut;

‫ف ِ ْف َم ِالَا َولَ ْو ِبلتـَّبـَُّرِع إِ َذا‬


ُ ‫َّصُّر‬ ِ ِ َّ ‫فِي ِه دلِيل علَى أ‬
َ ‫َن ل ْل َم ْرأَة الت‬ َ ٌَْ ْ
‫ت َرِشْي َد ًة‬
ْ َ‫َكان‬
Di dalam ayat tersebut terdapat sebuah dalil bahwa perempuan
boleh menggunakan hartanya (maharnya) meskipun dengan
berderma, jika dia sudah pintar.

Bahkan menurut Fakhruddin Al-Razi dalam kitab Mafatih Al-


Ghaib, kalimat ‘fakuluuhu hanii-an marii-aa’ maksudnya bukan
hanya kebolehan makan bagi suami terhadap mahar istrinya,
me­lainkan semua bentuk penggunaan, termasuk menjual mahar,
hukumnya adalah boleh. Selama istri ridha, maka suami boleh
menggunakan mahar istrinya dalam bentuk apapun, termasuk
menjualnya.
Dalam kitab Mafatih Al-Ghaib, beliau berkata sebagai berikut; 

‫ بَ ِل‬،‫س ْالَ ْك ِل‬ ‫ف‬َْ‫ـ‬ ‫ن‬ ‫س‬ ‫ي‬


َْ‫ل‬ ‫ا‬
ً ‫يئ‬
‫ر‬ِ ‫ فَ ُكلُوهُ َهنِيئاً َم‬:‫ الْ ُمر ُاد بَِق ْولِِه‬:‫قـُْلنَا‬
َ َ َ
َّ ‫ص ْالَ ْك َل ِبل ِّذ ْك ِر ِل‬
‫َن‬ َّ ‫ َوإَِّنَا َخ‬،‫ات‬ ِ َ‫الْمراد ِمْنه ِح ُّل التَّصُّرف‬
َ ُ ُ َُ
‫ود ِم َن الْ َم ِال إَِّنَا ُه َو ْالَ ْك ُل‬ِ ‫معظَم الْم ْقص‬
ُ َ َ ُْ
66
Maksud firman Allah ‘fakuluuhu hanii-an marii-aa’ bukan ke­
bolehan makan saja, melainkan maksudnya adalah kehalalan
semua bentuk tasharruf atau penggunaan. Makan disebutkan
secara khusus karena biasanya tujuan utama dari harta adalah
makan.

Dengan demikian, berdasarkan keterangan di atas, maka boleh


bagi seorang istri menjual mahar dari suaminya. Bahkan seorang
istri tidak hanya boleh menjual mahar dari suaminya, namun juga
boleh memberikan kembali mahar tersebut kepada suaminya. 

67
Hukum Memakan
Hidangan Walimah

KETIKA KITA MENGHADIRI SUATU WALIMAH, baik itu walimah


nikahan, walimah kandungan, dan lainnya, kita pasti disuguhi
hidangan makanan oleh tuan rumah. Biasanya kita memakan
hidangan yang disediakan, namun adakalanya terkadang kita
tidak memakannya karena sebab tertentu. Dalam Islam, bagaimana
hukum memakan hidangan walimah ini?
Menurut para ulama, memakan hidangan walimah, baik itu
walimah nikahan dan lainnya, hukumnya adalah sunnah. Kita
sangat dianjurkan untuk memakan hidangan yang disediakan oleh
tuan rumah ketika menghadiri undangan walimah. 
Oleh karena itu, jika kita menghadiri undangan walimah dan
kebetulan kita sedang melakukan puasa sunnah, maka kita di­
an­jurkan untuk membatalkannya. Kita lebih dianjurkan untuk
memakan hidangan walimah dengan tujuan menyenangkan hati
tuan rumah dibanding meneruskan puasa sunnah kita.
Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah
li Al-Durar Al-Saniyah berikut;

69
ُ‫ص ْوُمه‬ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ َوَم ْن‬،‫ب‬ ُ ‫ب ْالَ ْك ُل م ْن طَ َعام الْ َولْي َمة َوَل َي‬ ُّ ‫يُ ْستَ َح‬
ِ
‫الصيَ ِام إِ َذا‬ ِ ِ‫و‬
ّ ‫ َوالـْ ُمتـَنـَّف ُل ِ ْف‬،‫ف‬ َ ‫صَر‬ ْ‫ن‬ ‫ا‬
‫و‬ ‫ا‬ ‫ع‬
َ
َ َ َ َ َ ٌ َ‫د‬
َ ‫و‬ ‫ر‬ ‫ض‬َ ‫ح‬ ‫ب‬ ‫اج‬
ِ ِ ِ
‫ب أَخْيه ال ُـم ْسل ِم َوإِ ْد َخ ِال‬ ِ ‫ب أَ ْن يـُْف ِطر لَِْب قـَْل‬
ِ ُّ ‫ح‬ ‫ت‬ ‫س‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ِ‫د‬
‫ع‬
َ َ َ ْ ُ َ ُ
.‫السُرْوِر َعلَْي ِه‬
ُّ
Disunnahkan memakan hidangan walimah namun tidak sampai
menjadi wajib. Tamu yang dalam keadaan berpuasa wajib, hen­
daknya ia hadir, mendoakan tuan rumah, kemudian bergegas
pulang. Sedangkan bagi tamu yang berpuasa sunnah, dianjurkan
baginya untuk membatalkan puasanya demi membuat nyaman
hati tuan rumah, serta membuatnya senang.

Dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji juga disebutkan sebagai berikut;

‫ َوَل‬،ُ‫َّع َوِة أَ ْن َيْ ُك َل ِمَّا قُ ِّد َم لَه‬


ْ ‫ب الد‬ ِ ‫ب لـِمـُ ِجْي‬ ُّ ‫َويُ ْستَ َح‬
.‫ف فِْي ِه إَِّل ِبْلَ ْك ِل‬ ُ ‫صَّر‬
َ َ‫يـَت‬
Disunnahkan bagi orang yang memenuhi undangan untuk mema­
kan hidangan yang disediakan untuknya. Dan ia tidak melakukan
hal apapun kecuali makan.

Adapun dalil yang dijadikan dasar kesunnahan makan hidangan


walimah ini adalah hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah,
dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

‫ َوإِ ْن‬،‫ص ِّل‬ ِ ‫ فَِإ ْن َكا َن‬،‫ فـ ْلي ِجب‬،‫إِ َذا د ِعي أَح ُد ُكم‬
َ ُ‫ فـَْلي‬،‫صائ ًما‬
َ ْ َُ ْ َ َ ُ
‫ فـَْليَطْ َع ْم‬،‫َكا َن ُم ْف ِطًرا‬
Jika salah satu dari kalian diundang, maka hendaknya ia me­
menuhinya. Jika ia berpuasa, maka hendaknya ia berdoa (untuk

70
tuan rumah). Jika ia sedang tidak berpuasa, maka hendaknya
dia makan.

Juga hadis riwayat Imam Muslim dari Jabir, dia berkata bahwa
Rasulullah Saw bersabda;

‫ َوإِ ْن‬،‫ فَِإ ْن َشاءَ طَعِ َم‬،‫ب‬ ِ ٍ ِ ِ ِ


ْ ‫ فـَْليُج‬،‫َح ُد ُك ْم إ َل طَ َعام‬
َ ‫إ َذا ُدع َي أ‬
‫َشاءَ تـََرَك‬
Apabila salah seorang dari kalian diundang makan, hendaknya
dia memenuhinya. Apabila ia menghendaki, maka ia memakannya
atau tidak memakannya.

71
Hal yang Mewajibkan Mandi
bagi Lelaki dan Perempuan

SEORANG MUSLIM YANG SEDANG DALAM KEADAAN JUNUB


(hadas besar), maka diwajibkan hukumnya untuk mandi. Mandi itu
ber­­­fungsi sebagi medium untuk menghilangkan hadas besar yang ada
dalam  tubuhnya. Saat selesai mandi, maka ia sudah suci kembali. 
Menurut Habib Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim
al- Kaff dalam kitab at-Taqrir as-Sadidah fil Masailil Mufidah, yang
mewajibkan mandi seseorang itu ada enam perkara. Lantas yang
enam itu di bagi dua macam; tiga macam khusus buat perempuan,
yakni; haid, melahirkan, dan nifas. Sedangkan, yang tiga macam
sisanya terdapat pada laki-laki dan perempuan, yakni; melaksanakan
hubungan seksual (jimak), keluar mani, dan mandi bagi mayat. 

‫ص ِبلنِّ َس ِاء‬ ُّ َ‫ايْت‬


َ ‫ان ; َم‬ ِ ‫موِجبات الْغُسل ِستَّةَ و ِهي قِسم‬
َْ َ َ َ ْ ُ َ ُْ
‫ال‬
ُ ‫الر َج‬ ِّ ‫ َما يَ ْش َِت ُك فِْي ِه‬.ُ‫ض َوالنِّ َفاس َوالْ ِوَل َداة‬ُ ‫الَْي‬
ْ ; ٌ‫ثََلثَة‬
ُ
ِ ‫الِماع وخروج الْم ِِن والْمو‬ ِ
‫ت‬ ْ َ َ ّ َ ُ ْ ُ ُ َ ُ َ ْ :ٌ‫َوالنّ َساءُ ثََلثَة‬
Yang mewajibkan mandi ada 6 perkara, kemudian di bagi dua
lagi. Ada yang dikhususkan untuk perempuan saja—itu ada tiga ;

73
haid, nifas, dan melahirkan. Kemudian, ada yang terdapat pada
laki-laki dan perempuan—itu ada tiga juga—, yakni; jima’, keluar
mani, dan kematian.

Adapun yang mewajibkan mandi bagi laki-laki dan perempuan


ada tiga perkara—sedangkan yang mewajibkan mandi khusus untuk
perempuan ada tiga macam. Nah ini dia  poin-poin yang mewajibkan
mandi bagi laki-laki dan perempuan;
Pertama adalah melakukan hubungan seksual. Suami istri
yang melakukan hubungan seksual (jimak) maka hukumnya wajib
mandi. Adapun pengertian melaksanakan hubungan seksual adalah
masuknya kepala penis laki-laki ke dalam lubang kemaluan istri,
meskipun tidak sampai keluar sperma.
Kewajiban mandi sebab melakukan hubungan seksual sesuai
dengan sabda Rasulullah SAW; 

ِْ ‫الِتَا ُن‬
ْ ‫س‬َّ ‫ي ُش َعبِ َها ْال َْربَ ِع َوَم‬
َ ‫التَا َن فـََق ْد َو َج‬
‫ب‬ َ َْ‫س بـ‬َ َ‫إ َذا َجل‬
 ‫الْغُ ْس ُل َوإِ ْن َلْ يـُْن ِزل‬
Bila seorang lelaki duduk diantara empat potongan tubuh wanita
(dua tangan dan dua kaki) dan tempat khitan (laki-laki) bertemu
tempat khitan (wanita) maka sungguh wajib mandi meskipun ia
tidak mengeluarkan mani,” (HR Muslim).

Kedua adalah keluar sperma. Hal ini berlaku bagi laki-laki


dan perempuan. Dasar hukumnya jelas berumber dari hadis Nabi
Muhamad: 

ٍ ِ‫عن أَِب سع‬


‫ال‬ َ َ‫ي رضي هللا تعاىل عنه ق‬
َ َ‫ ق‬: ‫ال‬ ِّ ‫الُ ْد ِر‬
ْ ‫يد‬ َ َْ
‫ الْ َماءُ ِم ْن الْ َم ِاء‬ ‫الل صلى هللا عليه وسلم‬ َِّ ‫ول‬
ُ ‫َر ُس‬

74
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata, bahwa Rasulullah bersabda;
Air itu karena air (Read; wajibnya mandi karena keluarnya air
mani)

Ketiga, yang mewajibkan mandi selanjutnya adalah meninggal.


Seorang muslim dan muslimah yang wafat, maka wajib hukumnya
untuk dimandikan. Memandikan mayat itu termasuk kewajiban
bagi manusia yang masih hidup. 
Adapun argumen dasar kewajiban memandikan jenazah ini
adalah hadis yang berdasarkan riwayat Imam Bukhari dan Muslim;

‫ إ ْذ‬، َ‫َّيب صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم بِ َعَرفَة‬ ِّ ‫اقف َم َع الن‬ ٌ ‫رجل و‬ ٌ ‫بـَيـْنَا‬
ِِ ِ
‫النيب‬
ُّ ‫فقال‬ َ ، ُ‫صْته‬ َ ‫ال فأَقـَْع‬ َ َ‫ أ َْو ق‬، ُ‫صْته‬ َ َ‫َوقَ َع َع ْن َراحلَته فـََوق‬
‫ وَك ِّفنُوهُ يف‬، ‫ ا ْغ ِسلُ ْوهُ ِبَ ٍاء َو ِس ْد ٍر‬: ‫عليه وسلَّ َم‬ ِ ‫صلَّى هللا‬
ُ
ِ ِ ِ
، ُ‫ وال ُتَ ّم ُرْوا َرأْ َسه‬، ُ‫ وال ُتَنّطُوه‬، ‫ ثـَْوبـَْيه‬: ‫ال‬ َ َ‫ أ َْوَ ق‬، ‫ي‬ ِ َْ‫ثـَوبـ‬
ْ
‫فَِإ َّن هللاَ يـَبـَْعثُهُ يـَْوَم الْ ِقيَ َام ِة يـُلَِّب‬
Ada seorang lelaki yang sedang wukuf di Arafah bersama Nabi Saw.
Tiba-tiba ia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu meninggal.
Maka Nabi Saw bersabda: Mandikanlah ia dengan air dan daun
bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain, jangan beri
minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan
membangkitkannya di hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah.

75
Bolehkah Anak Laki-Laki
Menolak Dijodohkan Orangtua?

MASIH ADA SEBAGIAN MASYARAKAT INDONESIA yang meme­


gang tradisi bahwa anak laki-laki itu harus menikah sesuai perintah
orangtua. Namun, meski sudah dijodohkan orangtuanya masih ada
sebagian anak yang menolak menikah dengan pilihan orangtuanya.
Ia menolak calon istri yang disodorkan  oleh orangtuanya. 
Nah, dalam fikih Islam bagaimana hukumnya seorang anak
menolak menikah dengan pilihan orangtuanya? Apakah anak
memiliki hak untuk menolak jodoh dari orangtuanya? Jika menolak
dijodohkan apakah anak tersebut jadi durhaka?
Menurut Ibnu Taymiyah dalam Kitab al Fatāwā al Kubrā, seorang
laki-laki yang dipaksa menikah orangtuanya itu berhak menolak.
Adapun penolakan menikah ataupun dijodohkan dengan pilihan
orangtua tersebut, maka itu bukan perbuatan durhaka. 
Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah mengatakan orangtua tidak memiliki
kewajiban menikahkan anak dengan orang yang tak disukainya.
Simak penjelasan Ibnu Taymiyah berikut;

77
ِ
‫ك َو َج َع ْلنَا َلُْم‬َ ‫ َولََق ْد أ َْر َس ْلنَا ُر ُسال ِم ْن قـَْبل‬:‫اللُ تـََع َال‬َّ ‫ال‬ َ َ‫ق‬ 
‫ت َح ِقي َقةٌ ِف‬ ِ ‫ ( والنِّ َكاح ِف ْالي‬83 :‫أ َْزواجا وذُ ِريَّةً )الرعد‬
َ ُ َ َّ ًَ
ِ‫الْع ْق ِد والْو ْط ِء والنـَّهي لِ ُك ٍل ِمنـهما ولَيس لِ ْلَبـوي ِن إلْزام الْولَد‬
َ ُ َ ْ ََ َ ْ َ َ ُ ْ ّ ُ ْ َ َ َ َ
ُ ‫يد فَ َل يَ ُكو ُن َعاقًّا َكأَ ْك ِل َما َل يُِر‬
‫يد َوَْيُرُم‬ ُ ‫اح َم ْن َل يُِر‬ ِ ‫بِنِ َك‬
‫النَّظَُر بِ َش ْه َوٍة َإل النِّ َس ِاء‬
Allah berfirman; Dan sesungguhnya Kami telah mengutus bebera­
pa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka
isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang
Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan
izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu). (Ar
Ra’d/18:38). Dan Nikah dalam ayat ini pada hakikatnya pada
akad,  waţi (setubuh), dan larang  bagi tiap tiap satu dari kedua­­nya.

Seorang anak berhak menolak dijodohkan atau dipaksa menikah


dengan wanita pilihan orangtuanya itu didukung juga oleh Ibnu
Muflih dalam kitab al-Ādabu asy Syari’yah wal Manju Mari’yah.  Ia
mengatakan bahwa seorang anak memiliki hak untuk menentukan
calon pendamping hidupnya, tanpa ada paksaan sama sekali. Ia
berkata;

‫ال‬َ َ‫ق‬  ,‫يد‬ ُ ‫اح َم ْن الَ يُِر‬ ِ ‫س لِْل َوالِ َديْ ِن إِلَْز ُام الْ َولَ ِد بِنِ َك‬ َ ‫ص ٌل لَْي‬ ْ َ‫ف‬
‫َح ِد اْألَبـََويْ ِن أَ ِْن يـُْل ِزَم‬ َّ ِ‫الشَّْي ُخ تَِق ُّي ال ِّديْ ِن رِحَهُ هللا إ‬
َ ‫س أل‬ َ ‫ي‬
َْ‫ل‬ ‫ه‬
ُ ‫ن‬ ُ َ
‫اح َم ْن الَ يُِريْ ُد َوإِنَّهُ إِ َذا ْامتـَنَ َع الَ يَ ُك ْو ُن َعاقًّا َوإِ َذا‬ ِ ‫الْ َولَ َد بِنِ َك‬
‫َح ٍد أَ ْن يـُْل ِزَمهُ ِبَ ْك ِل َما يـَْن ِفُر ِمْنهُ َم َع قُ ْد َرتِِه َعلَى‬ َِ ‫َلْ يَ ُك ْن أل‬
ِ ِ ِِ
‫ك‬ ُ ‫أَ ْك ِل َما تَ ْشتَهْيه نـَْف ُسهُ َكا َن النّ َك‬
َ ‫اح َك َذل‬
78
 Fasal,  tidak ada kewajiban bagi anak untuk menikahi perempuan
yang tidak ia inginkan. Berkata  Syekh Taqiyuddin  Semoga Allah
merahamtinya, sesunggunya tidak  ada kewajiban bagi orangtua
untu menikahkan anaknya dengan orangyang tidak ia kehendaki.
Dan sesungguhnyajika aia menolak , maka itu bukan perbuatan
durhaka, dan apabila tidak ingin seseorang bahwa menolak
memakan ia yang tidak ingin ia inginkan dan kehendaki  atas
memakan yang tidak iginkan dirinya, maka nikah pun seperti itu.

Dengan demikian, seorang anak memiliki hak menolak di­jo­


dohkan. Pun seorang anak memiliki hak untuk menolak menikah
dengan wanita yang tidak ia inginkan. Tetapi penting jadi catatan,
jangan sampai persoalan ini membuat hubungan anak dan orangtua
jadi berantakan. Seyogianya disampaikan dengan elegan dan penuh
adab. Wallahu a’lam

79
Hukum Menghadiri Acara
Pernikahan Tanpa Diundang

MENGHADIRI ACARA PERNIKAHAN tanpa diundang termasuk


perkara yang sering kita jumpai di tengah masyarakat, atau bahkan
dilakukan oleh kita sendiri. Biasanya menghadiri acara pernikahan
tanpa diundang ini kita lakukan karena kita memiliki kedekatan
kekerabatan atau pertemanan dengan tuan rumah sehingga kita
merasa tidak enak jika tidak hadir padahal sebelumnya kita tidak
diundang. Sebenarnya, bagaimana hukum menghadiri acara per­
nikahan tanpa diundangan ini?
Di dalam kitab-kitab fikih disebutkan bahwa menghadiri acara
pernikahan atau acara lainnya tanpa diundang disebut dengan
tathafful, yaitu bersikap seperti anak-anak. Menurut para ulama, pada
dasarnya hukum tathafful atau menghadiri acara pernikahan tanpa
diundang adalah haram. Ini disebabkan karena dapat memberatkan
dan menyakiti tuan rumah.
Namun jika diyakini tidak memberatkan tuan rumah, baik karena
ada kedekatan kekerabatan, pertemanan atau lainnya, maka hukum
meng­hadiri acara pernikahan tanpa diundang atau tathafful ini menjadi
boleh. Tidak masalah menghadiri acara pernikahan tanpa diundang
jika tuan rumah diyakini ikhlas menerima dan tidak memberatkannya.

81
Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Zakariya Al-Anshari
dalam kitab Asna al-mathalib fi syarh raudh al-thalib berikut;

‫يم ِة ِم ْن َغ ِْي َد ْع َوٍة َّإل إ َذا َعلِ َم‬ِ ‫وَيرم التَّطَُّفل وهو حض‬
َ ‫ور الْ َول‬
ُ ُ ُ ََُ ُ ُ ُْ َ
ِ ‫س و ِالنْبِس‬ ِ ِ ِِ ِ ِ
.‫اط‬ َ َ ِ ْ‫ضا الْ َمالك به ل َما بـَيـْنـَُه َما م ْن ْالُن‬َ ‫ِر‬
Haram hukumnya menerombol (menghadiri undangan tanpa
izin) kecuali bila diketahui kerelaan dari pemilik jamuan karena
di antara keduanya terjadi rasa saling suka dan gembira.

Juga disebutkan oleh Imam Al-Nawawi dalam kitab Raudhatut


Thalibin berikut;

‫ إِ َذا َكا َن ِف‬:‫استـَثـَْن الْ ُمتـََوِّل َو َغيـُْرهُ فـََقالُوا‬ ْ ‫ َو‬،‫َْيُرُم التَّطَُّف ُل‬
‫ب الطَّ َع ِام انْبِ َسا ٌط‬ ِ ‫اح‬ ِ ‫ جاز لِمن بـيـنُه وبـي ص‬،ٌ‫الدَّا ِر ِضيافَة‬
َ َ َْ َ ُ ْ َ ْ َ َ َ َ
‫أَ ْن يَ ْد ُخ َل َو َيْ ُك َل إِ َذا َعلِ َم أَنَّهُ َل يَ ُش ُّق َعلَْي ِه‬
Haram hukumnya menerombol (menghadiri pesta tanpa diundang).
Imam Al-Mutawalli dan lainnya memberikan pengecualian bila terjadi
pada tempat jamuan yang antara dia dan pemiliknya diketa­hui
tidak menyakiti dan sukarela saat ia masuk dan turut serta makan.

Dengan demikian, pada dasarnya menghadiri acara pernikahan


dan acara lainnya tanpa diundang adalah haram. Dalam Islam tidak
boleh menghadiri acara pernikahan tanpa diundang. Namun jika
diyakini tuan rumah ikhlas menerima dan diyakini tidak memberat­
kan dan membuatnya repot, maka tidak masalah menghadiri acara
pernikahan meskipun tanpa diundang. 

82
Haram hukumnya menerombol (menghadiri
undangan tanpa izin) kecuali bila diketahui
kerelaan dari pemilik jamuan karena di antara
keduanya terjadi rasa saling suka dan gembira.
MUAMALAH
DAN GAYA
HIDUP MUSLIM
02
Cara Beriman
Kepada Rasul Allah

BERIMAN KEPADA PARA UTUSAN ALLAH termasuk bagian dari


dasar-dasar keimanan. Keimanan kita kepada Allah dinilai tidak
sah dan batal tanpa disertai beriman kepada para utusan-Nya.
Jumlah utusan Allah sangat banyak. Sebagian dari mereka ada
yang disebutkan dalam kitab suci Al-Qur’an, dan sebagian lagi
tidak disebutkan. Lantas bagaimana cara kita beriman kepada
utusan Allah ini?
Menurut para ulama, ada lima tingkatan cara kita beriman kepada
para utusan Allah. Keempat tingkatan ini, semuanya berdasarkah
firman Allah dalam Al-Qur’an.
Pertama, kita harus meyakini bahwa dalam setiap bangsa dan
umat, Allah mengutus seseorang sebagai utusan atau rasul. Tugas
utamanya adalah mengajak kaumnya untuk menyembah hanya
kepada Allah, dan mencegah kaumnya untuk menyembah kepada
selain Allah. 
Ini sebagaimana difirmankan Allah dalam surah Al-Nahl ayat
36 berikut;

87
‫اجتَنِبُوا‬
ْ ‫اللَ َو‬
َّ ‫اعبُ ُد وا‬ ِ ‫ولََق ْد بـعثـنَا ِف ُك ِل أ َُّم ٍة رس ًول أ‬
ْ ‫َن‬ َُ ّ ْ ََ َ
َ ُ‫الطَّاغ‬
‫وت‬
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan); Menyembahlah kalian hanya kepada Allah
dan jauhilah thaghut. 

Kedua, membenarkan kerasulan para utusan Allah, dan mem­


benarkan ajaran yang mereka bawa. Semua yang disampaikan
oleh para utusan Allah adalah benar, dan mereka tidak mungkin
berbohong. Ini sebagaimana difirmankan Allah dalam surah Al-
Hadid ayat 19 berikut;

‫ُّه َد ُاء‬ ِ ِ ‫لل ورسلِ ِه أُوٰلَئِك هم‬ ِ ِ ِ َّ‫وال‬


َ ‫الص ّدي ُقو َن َوالش‬
ّ ُُ َ ُ ُ َ َّ ‫ين َآمنُوا ب‬ َ َ‫ذ‬
ِ
‫ين َك َف ُروا َوَك َّذبُوا ِب َيتنَا‬ ِ َّ ِِ ِ
َ ‫ورُه ْم َوالذ‬
ُ ُ‫َجُرُه ْم َون‬
ْ ‫عْن َد َرّب ْم َلُْم أ‬
‫الَ ِحي ِم‬
ْ ‫اب‬ُ ‫َص َح‬ ْ ‫كأ‬ َ ِ‫أُوٰلَئ‬
Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
mereka itu orang-orang yang sangat jujur dan orang-orang yang
menjadi saksi di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan
cahaya mereka. Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan
ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka.

Ketiga, kita harus meyakini bahwa para utusan Allah adalah


benar, jujur, amanah, dan menyampaikan semua syariat dari Allah.
Tidak ada satu huruf pun dari ajaran Allah yang disembunyikan oleh
mereka. Karena itu, kita wajib mengikuti semua yang disampaikan
oleh mereka.
Ini sebagaimana firman oleh Allah dalam surah Al-Taghabun
ayat 12 berikut;

88
‫ول فَِإن تـََولَّيـْتُ ْم فَِإَّنَا َعلَى َر ُسولِنَا‬
َ ‫الر ُس‬ ِ ‫الل وأ‬
َّ ‫َطيعُوا‬ ِ
َ ََّ ‫َوأَطيعُوا‬
ُ ِ‫الْبَالغُ الْ ُمب‬
‫ني‬
Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, jika
kamu berpaling sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.

Keempat, kita harus meyakini bahwa setiap para rasul memiliki


mukjizat yang diberikan oleh Allah. Mukjizat ini bertujuan untuk
membuktikan kebenaran mereka sebagai utusan Allah. Ini seba­
gaimana firman Allah dalam surah Al-Hadid ayat 25 berikut;

‫اب َوالْ ِم َيزا َن‬ ِ ِ


َ َ‫لََق ْد أ َْر َس ْلنَا ُر ُسلَنَا ِبلْبـَيِّنَات َوأَنـَْزلْنَا َم َع ُه ُم الْكت‬
‫َّاس ِبلْ ِق ْس ِط‬
ُ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫وم‬
َ ‫ق‬َُ‫ـ‬ ‫ي‬ِ‫ل‬
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan ber­
sama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan.

Kelima, kita harus meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah


nabi dan utusan terakhir. Tidak ada nabi dan utusan lain setelah
Nabi Muhammad Saw. Ini sebagaimana firman Allah dalam surah
Al-Ahzab ayat 40 berikut;

َ‫الل َو َخ َات‬ َ ‫َح ٍد ِم ْن ِر َجالِ ُك ْم َوٰلَ ِك ْن َر ُس‬


َِّ ‫ول‬
َ ‫َما َكا َن ُمَ َّم ٌد أ ََب أ‬
‫اللُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِ ًيما‬
َّ ‫ني ۗ َوَكا َن‬ َ ِّ‫النَّبِي‬
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup
nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

89
Hukum Melihat Lawan Jenis
di Media Sosial, Berdosakah?

ERA MEDIA SOSIAL SEKARANG, gampang sekali melihat foto


lawan jenis di akun media sosialnya. Terlebih pelbagai fitur media
sosial yang  sengaja didesain untuk menampilkan foto terbaik
penggunannya. Aplikasi media sosial seperti Instagram dan Facebook
misalnya, salah satu menu utamanya adalah menampilkan foto
terbaik pemiliknya. 
Namun, banyak sekali paham yang berkeliaran di tengah ma­syara­
kat Indonesia paham yang menyebutkan bahwa melihat foto lawan
jenis di media sosial hukumnya haram dan berdosa. Dalam pengertian
ini, laki-laki yang melihat foto perempuan hukumnya berdosa. Pun
sebaliknya, perempuan melihat foto laki-laki juga terlarang. Hukum
ini berlaku selama yang dilihatnya bukan mah­ramnya. 
Nah dalam hukum fikih Islam, bagaimana hukum melihat foto
lawan jenis di media sosial? Apakah melihat foto lawan jenis di
media sosial berdosa?
Adapun para ulama menjelaskan bahwa melihat foto lawan
jenis—laki-laki melihat perempuan, dan demikian sebaliknya—, di
media sosial disamakan dengan melihat gambar perempuan  atau
laki-laki pada cermin. Baik foto lawan jenis yang ada di media sosial

91
maupun yang ada di cermin sama-sama bukan wujud asli orang
tersebut, melainkan hanya sebatas bayangannya semata.
Dengan demikian, para ulama menyebutkan bahwa boleh bagi
laki-laki melihat bayangan perempuan yang ada di cermin atau di
permukaan air. Begitu juga sebaliknya, berlaku bagi perempuan. 
Oleh karena itu boleh melihat foto perempuan di media sosial atau
lainnya. 
Hal itu disebabkan foto maupun gambar di cermin atau di per­
mukaan air sama-sama bayangan, bukan wujud asli. Sementara
larangan melihat lawan jenis hanya berlaku jika melihat wujud
aslinya secara langsung. Toh, jika hanya melihat bayangannya saja,
maka hal itu tidak masalah dan bukan perbuatan yang terlarang.
Pendapat ini dijelaskan secara panjang lebar oleh Syekh  Abu
Bakar Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin. Simak penjelasan
be­ri­kut;

ِ ٍ ٍ ٍ ِ
‫ك‬ َ ‫َي َل َْيُرُم نَظُْرهُ َلَا ِ ْف َْن ِو ِم ْرآة َك َماء َو َذل‬
ْ ‫َل ِ ْف َْن ِو م ْرآة أ‬
‫والْ ِم ْرأَةُ ِمثـْلُهُ فَ َل َْيُرُم‬.. .‫ا‬ ‫ل‬
َ ‫ا‬َ‫ث‬ ِ ‫ِلَنَّه َل يـرها فِيـها وإَِّنَا رأَى‬
‫م‬
َ َ َ َ َْ َ ََ ْ ُ
ِ
‫ك‬َ ‫نَظُْرَها لَهُ ِ ْف َذل‬
Bukan melihat gambar pada semacam cermin. Artinya, tidak
haram bagi seorang laki-laki melihat perempuan pada semisal
cermin, seperti dalam permukaan air. Hal ini karena ia tidak
melihat wujud perempuan secara langsung, melainkan hanya
melihat bayangannya saja. Sebaliknya bagi perempuan, ia tidak
haram melihat laki-laki pada semisal cermin.

Pendapat serupa juga termaktub dalam kitab al-Mausu’ah al-


Fiqhiyah al-Quwaitiyah, sebuah kitab ensiklopedi kitab fikih terbitan
Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Pemerintah Kuwait. Simak
penjelasan berikut; 

92
‫ ِف الْ َم ِاء‬- ‫ َولَ ْو بِ َش ْه َوٍة‬- ‫ الَ َْيُرُم النَّظَُر‬: ‫َو ِعْن َد الشَّافِعِيَّ ِة‬
‫س ْامَرأًَة‬ ‫ي‬َ‫ل‬‫و‬ ٍ ‫َن ه َذا ُمَّرد خيال امرأ‬
‫َة‬ َّ ‫ل‬ِ : ‫ قَالُوا‬. ‫أَ ِو الْ ِمر ِآة‬
ْ
َ َ َ َ ْ َ ُ َ َ ْ
“Menurut mazhab Syafi’i, tidak haram melihat  dari pantulan
cahaya yang berada di dalam air atau cermin, sekalipun dengan
syahwat. Para ulama Syafi’iyah beralasan, karena objek yang
dilihat bukanlah tubuh dari seorang perempuan itu, melainkan
hanyalah bayangan atau gambar dari sosok yang berada di balik
cermin itu

Demikian hukum melihat lawan jenis di media sosial. Semoga


bermanfaat. 

93
Adab Memuliakan Tamu

KETIKA KITA BERTAMU KEPADA SESEORANG, maka kita harus


memperhatikan adab-adab bertamu yang telah diajarakan dalam
Islam dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Begitu juga ketika kita
kedatangan tamu, baik sendirian maupun rombongan, maka kita
juga harus memperhatikan adab-adab memuliakan dan menghorma­
ti tamu. Berdasarkan beberapa riwayat, setidaknya ada lima adab
memuliakan dan menghormati tamu dalam Islam.
Pertama, ketika tamu baru datang ke rumah kita, maka kita
dianjurkan untuk menyambutnya dengan iringan doa dan ucapan
berikut;

‫ين َجاءُوا َغيـَْر َخَز َاي َوالَ نَ َد َامى‬ ِ َّ‫مرحبا ِبلْوفْ ِد ال‬
‫ذ‬
َ َ ًَ َْ
Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa
terhina dan menyesal.

Kedua, menyambut dan menerima tamu dengan bahagia dan


memperlihatkan kesenangan di hadapan tamu. Ini telah dicontohkan
Rasulullah Saw, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat
Imam Muslim berikut;

95
‫اللُ َعلَْي ِه‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ َِّ ‫ال ج ِرير بن عب ِد‬
ُ ‫الل َما َح َجبَِن َر ُس‬
َ ‫الل‬ َْ ُ ْ ُ َ َ َ‫ق‬
َ ‫ض ِح‬
‫ك‬ َ ‫ت َوَل َر ِآن إَِّل‬ ْ ‫َو َسلَّ َم ُمْن ُذ أ‬
ُ ‫َسلَ ْم‬
Jarir bin Abdullah berkata; Sejak aku masuk Islam, Rasulullah tidak
pernah menolakku untuk bertamu dan berkunjung ke rumah beliau,
dan setiap kali beliau melihatku, beliau senantiasa tersenyum.

Ketiga, menjamu tamu dengan diberikan hidangan, minuman


dan makanan semampunya. Ini berdasarkan hadis riwayat Imam
Muslim, bahwa Nabi Saw bersabda;

‫ص َدقَةٌ َعلَْي ِه‬ ِ


ِّ
َ ‫الضيَافَةُ ثََلثَةُ أ ََّيٍم فَ َما َكا َن َوَراءَ َذل‬
َ ‫ك فـَُه َو‬
Keharusan menjamu tamu adalah tiga hari, dan selebihnya
adalah sedekah.

Keempat, mengutamakan tamu dibanding diri sendiri dan ke­


luarganya. Ini sebagaimana telah dilakukan oleh sahabat Anshar
ketika dia menjamu seseorang di rumahnya. Dikisahkan dalam
hadis riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim sebagai berikut; 

،‫صا ِر‬ ِ ِ ِ
َ ْ‫ف ه َذا اللَّيـْلَةَ َرحَهُ هللاُ؟ فـََق َام َر ُج ٌل م َن اْألَن‬ ُ ‫َم ْن يُضْي‬
:‫ال ِال ْمَرأَتِِه‬ َ ‫ فـََق‬،‫ فَانْطَلَ َق بِِه إِ َل َر ْحلِ ِه‬،‫هللا‬
ِ ‫ أ ََن ي رسوَل‬:‫ال‬
ْ ُ َ َ َ ‫فـََق‬
َ َ‫ ق‬.‫ت ِصبـْيَ ِان‬ ِ ِ
:‫ال‬ َ ‫ إِالَّ قـُْو‬،َ‫ ال‬:‫ت‬ ْ َ‫َه ْل عْن َدك َش ْيءٌ؟ قَال‬
‫ َوأَ ِريِْه‬،‫اج‬ ‫ر‬ ِ ‫ فَأَطْ ِفئِي‬،‫ فَِإ َذا دخل ضيـ ُفنَا‬،‫فـعلِّلِي ِهم بِ َشي ٍء‬
‫الس‬
َ َّ َْ َ َ َ ْ ْ ْ ََ
ِ ِ ِ ِ ِ
‫السَر ِاج َح َّت‬ ّ ‫ فـَُق ْومي إ َل‬،‫ فَإ َذا أ َْه َوى ليَأْ ُك َل‬،‫أ ََّن َنْ ُك ُل‬
ِ ِِ
‫ َغ َدا َعلَى‬،‫َصبَ َح‬ ْ ‫ فـَلَ َّما أ‬.‫ف‬ ُ ‫ َوأَ َك َل الضَّْي‬،‫ فـََق َع ُد ْوا‬.‫تُطْفئْيه‬

96
ِ ِ ‫رسوِل‬
ُ‫ب هللا‬
َ ‫ قَ ْد َعج‬:‫ال‬
َ ‫ فـََق‬، ‫هللا صلى هللا عليه و سلم‬ ُْ َ
ِ ِ ِ ‫ِمن‬
َ ِ‫صنْيع ُك َما ب‬
َ‫ضْيف ُك َما اللَّيـْلَة‬ َ ْ
Nabi berkata; Siapakah yang akan menjamu orang ini pada
malam ini, yang semoga Allah merahmatinya? Maka seseorang
dari Anshar berdiri seraya mengatakan; Aku, wahai Rasulullah. Ia
pun pergi membawanya ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia
bertanya kepada istrinya; Apakah kamu memiliki suatu makanan?
Ia menjawab; Tidak, kecuali makanan untuk anak-anakku. Ia
mengatakan; Buatlah mereka beralih fokus dengan sesuatu. Jika
tamu kita masuk, maka padamkanlah lampu, dan perlihatkan
kepadanya bahwa kita sedang makan. Jika ia hendak makan,
beranjaklah menuju lampu untuk mematikannya. Mereka pun
duduk, dan tamu tersebut makan. Pada pagi harinya, ia pergi
kepada Rasulullah Saw, maka beliau mengatakan; Sesungguhnya
Allah kagum dengan apa yang kalian lakukan terhadap tamu
kalian tadi malam.

Kelima, ketika pamit pulang, maka dianjurkan untuk mengiringi


dan mengantarkan tamu hingga pagar rumah. Ini sebagaimana
disebutkan dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, bahwa Imam Al-Sya’bi berkata;

ِ ‫الزائِِر أَ ْن تَْ ِشي معهُ إِ َل ب‬


‫ب الدَّا ِر َو َتْ ُخ ُذ‬ َّ ‫ِم ْن َتَ ِام ِزَي َرِة‬
َ ََ ْ
‫بُِرَّكابِِه‬
Di antara kesempurnaan sambutan orang yang dikunjungi adalah
kamu berjalan bersamanya hingga ke pintu rumah dan meng­
ambilkan kendaraannya. 

97
Flexing Menurut Islam

FENOMENA FLEXING tengah ramai diperbincangkan media sosial.


Pasalnya, sedang tren sekian banyak orang memamerkan har­
tanya. Pelakunya mengaku sebagai crazy rich baru. Yang dengan
gembor mempertontonkan hartanya; baik berupa uang, mobil
mewah, rumah mewah, dan saldo ATM. Lantas, bagaimana feno­
mena flexing menurut Islam?
Definisi flexing, merujuk pada pendapat Profesor Renald Kasali,
adalah bentuk pencapaian diri seseorang dalam bentuk materi
berlimpah, namun dipamerkan lewat sosial media Instagram, Twitter,
Tik-tok, dan Youtube, serta pemberitaan media massa.
Inti dari aksi flexing untuk mendapatkan pengakuan dan opini
publik, bahwa yang bersangkutan merupakan orang yang kaya.
Imbas dari flexing ini, muncullah fenomena crazy rich atau sultan.
Yang merujuk pada orang yang suka memakai barang branded,
kendaraan mewah, uang yang bergelimpangan, dan pakaian mewah.
Flexing adalah tindakan memamerkan harta. Pamer adalah
bagian dari kesombongan, berbangga diri serta sikap riya ingin dipuji
oleh manusia lain. Dalam Islam perilaku flexing amat terlarang,
sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam surat Luqman/31;18;

99
ۗ
ّٰ ‫ض َمَر ًحا اِ َّن‬
‫اللَ َل‬ ِ ‫ش ِف ْالَْر‬ ِ ‫َّك لِلن‬
ِ َْ‫َّاس َوَل ت‬ َ ‫ص ّعِْر َخد‬ َ ُ‫َل ت‬
- ‫ب ُك َّل مُْتَ ٍال فَ ُخ ْوٍۚر‬ُّ ‫ُِي‬
Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena
sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh.
Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membanggakan diri.
Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah, jilid X halaman
111, ayat ini merupakan nasihat Luqman berkaitan dengan akhlak
dan sopan santun berinteraksi dengan sesama manusia. Luqman
menasehati anaknya—ataupun siapa saja di muka bumi—, jangan
melakukan penghinaan dan kesombongan. Akan tetapi tampakkan­
lah wajah berseri dan penuh rendah hati.
Lebih lanjut, ayat di atas kata Quraish Shihab menegaskan
bahwa Allah tidak akan melimpahkan kasih sayang pada orang yang
sombong dan membanggakan diri. Pasalnya, bumi ini diciptakan
Allah untuk manusia. Dengan mengutip Ibnu Asyur, bumi ini tempat
seluruh manusia, baik yang kuat, lemah, pejabat, dan rakyat jelata.
Untuk itu, tidak wajar jika ada yang menyombongkan diri dan
merasa melebihi orang lain.
Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar, sikap menyombongkan diri,
dikaji dari segi iman, pelakunya termasuk orang yang imanya masih
cacat. Pasalnya, congkak, sombong, takabur, membanggakan diri,
semuanya itu menurut penyelidikan ilmu jiwa, terbitnya dari jiwa
yang ingin meminta perhatian orang lain. Ada rasa dalam jiwanya,
bahwa sebelum dipuji orang , dirinya merasa rendah. Untuk itu, ia
membutuhkan pujian dan diangkat. Sikap ini lahir dari hati yang
bermasalah.
Sementara itu, dalam sebuah hadis qudsi Rasulullah Saw.
ber­­sabda, bahwa Allah Swt mengancam akan menghinakan dan
meng­hilangkan pahala bagi para pelaku flexing;

100
ٍ ‫إِ َذ ا َكا َن يـوم ا لْ ِقيام ِة َن د ى من‬
‫اد أَيْ َن ا لْ ُمَر ُاؤْو َن َوأَيْ َن‬ َُ َ َ َ ُ َْ
‫ُج ْوَرُك ْم ِم ْن‬ ‫أ‬ ‫ا‬‫و‬ ‫ذ‬
ُ ‫خ‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫ك‬
ُ ‫ل‬
َ ‫ا‬‫م‬ ‫َع‬‫أ‬ ‫ا‬‫و‬‫ـ‬‫ت‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫و‬ ‫ا‬‫و‬ ‫م‬‫و‬ ‫ـ‬‫ق‬ ‫ن‬
َ ‫و‬ ‫ص‬ ِ‫الْمخل‬
ُ ْ َ ْ َ ُْ َ ْ ُ ُْ ْ ُ ْ ُ
ُ ْ َ
‫َسيِّ ِد ُك ْم‬
Ketika hari kiamat telah tiba, maka akan ada suara memanggil:
“Di manakah orang yang suka pamer? Di manakah orang yang
ikhlas? Berdirilah kalian semua! Tunjukkan amal perbuatan kalian,
dan ambilah pahala-pahala kalian dari Tuhan kalian semua.
Dari penjelasan di atas maka diambil kesimpulan bahwa perilaku
flaxing atau pamer harta adalah merupakan kesombongan. Sombong
adalah perbuatan yang amat terlarang dalam Islam dan pelakunya
mendapat ancaman berupa keterhinaan dalam kehidupan akhirat
berupa hilangnya semua pahala amalannya

101
Orangtua Menyuruh Maksiat,
Apakah Kita Harus Tetap
Patuh Padanya?

DALAM ISLAM, kita sebagai anak diwajibkan untuk berbakti kepada


kedua orangtua, baik ketika mereka masih hidup maupun ketika
mereka sudah meninggal. Salah satu bentuk berbakti kepada kedua
orangtua ketika masih hidup adalah dengan mematuhinya selama
tidak bertentangan dengan syariat. Sementara ketika mereka sudah
meninggal adalah dengan mendoakan kebaikan untuk mereka.
Namun bagaimana jika keadaan orangtua kita jahat, apakah kita
tetap harus patuh padanya?
Menurut para ulama, mematuhi orangtua hukumnya adalah
wajib selama orangtua kita menyuruh hal-hal yang baik dan
tidak bertentangan dengan syariat. Sebaliknya, jika orangtua kita
menyuruh kemaksiatan dan hal-hal yang bertentangan dengan
syariat, maka kita tidak perlu mematuhinya. Ini karena siapapun
yang menyuruh kemaksiatan, termasuk orangtua kita, maka kita
wajib untuk tidak mematuhinya.
Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-
Bukhari, bahwa Nabi Saw bersabda;

ِ ‫صي ٍة إَِّنَا الطَّاعةُ ِف الْمعر‬


ِ
‫وف‬ُْ َ َ َ ‫اعةَ ِف َم ْع‬
َ َ‫َل ط‬
103
Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam
perkara yang baik.

Oleh karena itu, jika orangtua kita jahat dan menyuruh kita pada
keja­hatan, maka kita tidak harus mematuhinya. Bahkan dalam keadaan
demikian, kita seharusnya menasihati kedua orangtua kita dengan
baik agar mereka tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh syariat.
Meskipun keadaan orangtua kita jahat, zalim, atau bahkan kafir,
kita tetap diwajibkan untuk berbakti dan berbuat baik padanya. Salah
satu bentuk berbuat baik kepada orangtua adalah mengingatkan
mereka dengan cara yang baik apabila mereka melakukan hal-hal
yang tidak dibenarkan secara syariat.
Ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah
berikut;

‫ب َعلَى ُك ِّل َح ٍال َح َّت َولَ ْو َكا َن الْ َوالِ ُد‬ ِ ِ ِ


ٌ ‫بُّر الْ َوال َديْ ِن َواج‬
ِ ِ َ َ‫ ق‬،ً‫َكافِرا‬
ُ‫النْ َسا َن بَِوال َديْه َحَلَْتهُ أ ُُّمه‬ ِْ ‫صيـْنَا‬ َّ ‫(وَو‬
َ :‫ال هللاُ تعاىل‬
ِِ ِ
‫ك‬ َ ْ‫ي أ َِن ا ْش ُك ْر ِل َول َوال َدي‬ ِ ْ ‫صالُهُ ِف َع َام‬ َ ‫َوْهنًا َعلَى َوْه ٍن َوف‬
‫ك بِِه‬ َ َ‫س ل‬ ِ ِ
َ ‫اه َد َاك َعلَى أَ ْن تُ ْشرَك ب َما لَْي‬
ِ ََّ ِ‫إ‬
َ ‫ل الْ َمصريُ َوإِ ْن َج‬
‫يل‬ ِ‫الدنـْيَا َم ْعروفًا واتَّبِ ْع َسب‬
ُّ ‫ف‬ ِ ‫ِع ْلم فَ َل تُ ِطعهما وص‬
ِ ‫احبـْ ُهما‬
َ َ ُ َ َ َ َُْ ٌ
)‫ل َم ْرِجعُ ُك ْم فَأُنـَبِّئُ ُك ْم ِبَا ُكنـْتُ ْم تـَْع َملُو َن‬
ََّ ِ‫ل ُثَّ إ‬ََّ ِ‫ب إ‬َ ‫َم ْن أ ََن‬
‫هللا تعاىل َوالْ َع َم ِل‬ ِ ‫وِمن بِ ِر الْوالِ َدي ِن أَ ْن ي َذ ّكِره ولَ ُده بِتـ ْقوى‬
َ َ ُ َ َُ ُ ْ َ ّ ْ َ
ِ ِ ِ ِ ٍ ‫ُسلُو‬ ِ ‫الصالِ ِح‬
‫ي َعلَى‬ َ ْ ‫ َوم َن الْ ُمفْيد أَ ْن يَ ْستَع‬،‫ب َغ ِْي َجارٍِح‬ ْ ْ ‫ب‬ َّ
.‫ي‬ ِِ َّ ‫ك ِبَص ِدقَ ِاء والِ ِد ِه‬ ِ
َ ْ ‫الصال‬ َ ْ َ ‫َذل‬

104
Berbuat baik kepada kedua orangtua adalah wajib dalam kon­disi
apapun, meskipun dalam keadaan orangtua kafir. Ini berda­
sarkan firman Allah; Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah,
dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan


Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka
janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya
di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS
Luqman (31); 14-15) 

Di antara berbuat baik kepada kedua orangtua adalah meng­


ingatkan mereka agar bertakwa kepada Allah dan berbuat amal
shaleh dengan cara yang tidak menyakiti. Hal itu bisa dilakukan
dengan cara meminta bantuan teman-teman orangtuanya yang
shaleh (untuk mengingatkan kedua orangtuanya). 

105
Hukum Mengoleksi Spirit Doll
atau Boneka Arwah

SAAT INI TENGAH RAMAI DIPERBINGCANGKAN mengenai Spirit


Doll atau Boneka Arwah. Pasalnya, banyak di kalangan selebritis
Indonesia yang mengoleksi dan membeli Spirit Doll dengan harga
yang lumayan mahal. Terdapat beberapa alasan dan tujuan orang
mengoleksi Spirit Doll ini, di antaranya untuk hiburan, sekedar
untuk koleksi, dan ada lagi untuk tujuan mistis seperti mempercayai
Spirit Doll itu sebagai tempat berinkarnasi orang-orang yang sudah
meninggal. Sebenarnya, bagaimana mengoleksi Spirit Doll atau
Boneka Arwah ini?
Para ulama telah memerinci mengenai hukum mengoleksi
boneka. Secara umum, ada dua pendapat ulama mengenai hukum
mengoleksi boneka.
Pertama, hukumnya haram jika tujuan mengoleksi boneka
melang­gar aturan syariat. Misalnya, mengoleksi boneka untuk tujuan
disembah, atau dijadikan sarana untuk membangkitkan syahwat
seperti boneka seks. Tentu termasuk bagian dari hukum ini adalah
jika mengoleksi boneka untuk tujuan dijadikan persemayaman
arwah atau makhluk halus.
Kedua, boleh jika mengoleksi boneka untuk tujuan yang baik,

107
seperti untuk hiburan, sekedar untuk koleksi, untuk mainan anak-
anak, dan lainnya. 
Dengan demikian, hukum mengoleksi Spirit Doll atau Boneka
Arwah tergantung tujuan dan perlakuan orang yang mengoleksinya.
Jika tujuannya adalah untuk hiburan, untuk mainan atau untuk
sekedar koleksi, maka hukumnya adalah mubah atau boleh,
tidak dosa. Namun jika tujuannya adalah untuk disembah, untuk
membangkitkan syahwat atau dijadikan sebagai tempat persema­
yaman arwah atau makhluk halus, maka hukumnya adalah haram.
Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqh Ala Madzahib
Al-Arba’ah berikut;

َّ ‫ب َعلَى أ‬
‫َن‬ ِ ‫صْيل امل َذ ِاه‬ ِ ‫َّان فَِإ َّن فِي ِه تـ ْف‬
ْ ِ ‫ث‬ ‫ال‬ ‫م‬ ‫س‬ ِ ْ‫وأ ََّما ا ل‬
‫ق‬
ٍ‫اسد‬ ِ َ‫ض ف‬ ِ َ َِ َ ِ ِ ِ َِّ ُ ْ ِ َ
ٍ ‫الْ ُم َحَّرَم مْنهُ إنَا ُحّرَم ف نَظَر الْش َّْرِع إ َذا َكا َن لغََر‬
ِ ِ ِ
‫ك إِ َذ ا‬ َ ‫صنَ ُع لتـُْعبَ َد ِم ْن ُد ْو ِن هللا َوَك َذ ل‬ ِ
ْ ُ‫َكالت ََّماثْي ِل ا ل َِّت ت‬
‫اس َد ٍة فَِإنـََّها ِف‬ ِ َ‫ات ف‬ ٍ ‫تـرتَّب علَيـها تَ َشبُّه أَو تَ َذ ُّكر لِ َشهو‬
ََ ٌ ْ ٌ َْ َ َ ََ
‫الَالَِة تَ ُك ْو ُن َكبِيـَْرًة ِم َن الْ َكبَائِِر فَ َل َِي ُّل َع َملُ َها َوَل‬ ْ ‫َه ِذ ِه‬
‫ص ِحْي ٍح‬ َ ‫ض‬ ٍ ‫ت لِغََر‬ ْ َ‫ أ ََّما إِ َذا َكان‬.‫بـََق ُاؤَها َوَل التـََّفُّر ُج َعلَيـَْها‬
‫احةً َل إِ ْثَ فِيـَْها َوِلََذ ا‬ ِ ِ
َ َ‫َكتـََعلٍُّم َوتـَْعلْي ٍم فَإ نـََّها تَ ُك ْو ُن ُمب‬
‫الصغِيـَْرِة‬ ِ ِ‫ات الْ َعَرائ‬ِ َ‫ب لَعِب الْبـن‬ ِ
َّ ‫س‬ َ َ ِ ‫ض الْ َم َذاه‬ ُ ‫استـَثـَْن بـَْع‬ ْ
ِ
َّ ‫ك بـَيـْعُ َها َو ِشَر ُاؤ َها ل‬ ِ
‫َن‬ َ ‫ُّمى فَِإ َّن ِصبـْغَ َها َجائٌِز َوَك َذ ل‬ َ ‫الد‬
‫الصغَا ِر َعلَى‬ ِ ِ ِ ‫ك أ ََّنَا ُهو تَ ْد‬ ِ‫الْغرض ِمن َذل‬
ّ ‫ب الْبـَنَات‬ ُ ْ‫ي‬
‫ر‬ َ َ ْ َ ََ
‫اف ِف إِ َب َحتِ َها‬ ٍ ‫تـربِي ِة ْالَوَل ِد وه َذا الْغَرض َك‬
ُ َ َ َ ْ َ َْ
108
Adapun bagian kedua, maka terdapat perincian hukum di kalangan
ulama madzhab. Bahwa yang haram mengoleksi boneka dalam
pandangan syariat adalah jika untuk tujuan jelek, seperti patung
yang dibuat untuk disembah. Begitu juga haram jika boneka itu
ada keserupaan atau untuk membangkitkan syahwat yang jelek.
Dalam keadaan ini, maka mengoleksi boneka itu termasuk dosa
besar, tidak membuat, mengoleksi dan melihatnya.

Adapun jika untuk tujuan yang baik, seperti untuk dijadikan sarana
belajar dan pengajaran, maka hukumnya boleh, tidak dosa. Karena
itu sebagian ulama madzhab mengecualikan boneka mainan anak-
anak perempuan. Mewarnai boneka itu hukumnya boleh. Begitu
juga menjual dan membelinya. Karena tujuan boneka itu adalah
untuk mendidik anak perempuan dalam merawat anak-anak.
Tujuan ini adalah cukup sebagai alasan kebolehan boneka itu. 

109
Kirim Al-Fatihah Lewat Stiker,
Apakah Dapat Pahala?

SAAT INI KETIKA ADA KABAR teman atau keluarganya me­


ninggal di grup WA, maka dalam hitungan detik setelah kabar
duka muncul, langsung disambut dengan balasan doa dan Al-
Fatihah dalam bentuk stiker dan sejenisnya. Tentu tujuannya
adalah untuk mendoakan orang yang meninggal tersebut dan
mengirimi yang bersangkutan dengan pahala surah Al-Fatihah.
Namun apakah mengirimi Al-Fatihah dalam bentuk stiker bisa
mendapatkan pahala dan pahalanya sampai pada orang yang
meninggal tersebut?
Ketika kita mendengar kabar duka orang meninggal di grup
WA dan media lainnya lalu kemudian kita mengirim surah Al-
Fatihah dan kalimat doa lainnya dalam bentuk stiker, jika kita hanya
mengirim saja stiker tersebut tanpa membacanya, maka kita tidak
mendapatkan pahala.
Namun jika selain mengirim surah Al-Fatihah dan doa dalam
bentuk stiker kita juga membacanya, maka kita mendapatkan
pahala dan pahala tersebut juga akan sampai pada orang yang
meninggal jika kita meniatkan dan menghadiahkan pahala dari
surah Al-Fatihah dan doa tersebut.

111
Hal ini karena bacaan zikir dan doa, termasuk surah Al-Fatihah,
bisa mendapatkan pahala dan pahalanya sampai pada orang yang
meninggal dengan syarat harus dibaca. Karena itu, jika kita hanya
mengirim stiker surah Al-Fatihah dan doa saja, tanpa kita membaca
surah Al-Fatihah dan doa itu, maka kita tidak akan mendapatkan
pahala dan orang yang meninggal juga tidak mendapatkan manfaat
apa-apa dari stiker yang kita kirim tersebut.
Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Nawawi dalam kitab
Al-Adzkar berikut;

‫ت‬ ِ
ْ َ‫الص َلة َو َغ ِْيَها َواجبَةً َكان‬
ِ َّ ‫َن ْالَذْ َكار الْم ْشروع ِة ِف‬
ْ َ ُْ َ َ َّ ‫اِ ْعلَ ْم أ‬
َ ‫ب َش ْيءٌ ِمنـَْها َوَل يـُْعتَ ُّد بِِه َح َّت يـَتـَلَ َّف‬
‫ظ‬ ُ ‫أ َْو ُم ْستَ َحبَّةً َل ُْي َس‬
َ ‫الس ْم ِع َل َعا ِر‬
ُ‫ض لَه‬ َّ ‫ص ِحْي َح‬ ِ ُ ‫بِِه ِبي‬
َ ‫ث يُ ْسم َع نـَْف َسهُ إِ َذا َكا َن‬ َْ
Ketahuilah bahwa zikir yang disyariatkan dalam salat dan
selainnya, baik yang wajib maupun yang sunnah, tidak dihitung dan
tidak dianggap kecuali diucapkan, sekiranya ia dapat mendengar
yang diucapkannya sendiri apabila pendengarannya sehat dan
dalam keadaan normal (tidak sedang bising dan sebagainya).

Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah juga dise­


butkan sebagai berikut;

‫ان بِِه‬ِ ‫التـي‬ ِ ‫الَ يـعت ُّد بِشي ٍء‬


َْ ِْ ‫َجَر َعلَى‬ ْ ‫َّب الشَّارِعُ ْال‬ َ َ ‫ت‬
‫ر‬ ‫َّا‬
‫م‬ ْ َ َ ُْ
‫ِم َن ْالَذْ َكا ِر الْ َو ِاجبَ ِة أَ ِو الْ ُم ْستَ َحبَّ ِة ِف الصَّالَِة َو َغ ِْيَها َح َّت‬
ِ ‫الذاكِر ويس ِمع نـ ْفسه إِ َذا َكا َن‬ ِ َ ‫يـتـلَ َّف‬
‫الس ْم ِع‬
َّ ‫يح‬ َ ‫صح‬ َ ُ َ َ َ ْ ُ َ ُ َّ ‫ظ بِه‬ ََ
Zikir yang wajib atau sunnah, di dalam salat atau bukan, tidak
bisa memdapatkan pahala kecuali dilafalkan oleh orang yang

112
berzikir tersebut dan (suaranya) terdengar oleh dirinya jika me­
mang pendengarannya normal. 

Dengan demikian, jika kita mengirim stiker surah Al-Fatihah


dan doa lainnya di grup WA atau media lainnya, hendaknya kita
usahakan untuk membacanya agar kita mendapatkan pahala dan
orang yang meninggal mendapatkan manfaat dari bacaan surah
Al-Fatihah dan doa yang telah kita baca tersebut. 

113
Hukum Melakukan
Body Shaming dalam Islam

BELAKANGAN MARAK TERJADI di media sosial body shaming.


Hal ini biasanya dilakukan oleh nitizen terhadap fisik seseorang.
Pengertian body shaming adalah perilaku menjelek-jelekkan dan
mengomentari penampilan fisik orang lain. Perilaku body shaming
tak sama saja dengan tindakan bullying.
Tak hanya di media sosial, di kehidupan nyata pun seseorang
kerap kali mengalami body shaming. Misalnya, Anda pendek sekali.
Tubuh mu gemuk.  Kamu hitam sekali. Pipi Anda bulet atau cubby.
Ungkapan ini ghalib diungkap oleh teman, rekan kerja, kawan
nongkrong, atau keluarga terdekat. 
Dalam Islam, mengomentari fisik orang lain dengan tujuan
merendahkan dan mengolok-olok merupakan tindakan terlarang. 
Nash Al-Qur’an pada Q.S al Hujarat/49;11, Allah dengan tegas
melarang manusia untuk mengolok-olok orang lain. Pasalnya,
perbuatan tersebut merupakan tindakan yang buruk. Allah berfir­
man;

115
‫ٰٓيَيـَُّها الَّ ِذيْ َن اٰ َمنـُْوا َل يَ ْس َخ ْر قـَْوٌم ِّم ْن قـَْوٍم َع ٰٓسى اَ ْن يَّ ُك ْونـُْوا‬
ۚ ۤ ۤ
‫َخيـًْرا ِّمنـْ ُه ْم َوَل نِ َساءٌ ِّم ْن نِّ َسا ٍء َع ٰٓسى اَ ْن يَّ ُك َّن َخيـًْرا ِّمنـْ ُه َّن‬
‫س ِال ْس ُم‬ ‫ئ‬
ِْ‫اب ب‬ ِۗ ‫وَل تـ ْل ِمزٓوا اَنـُْفس ُكم وَل تـنَا بـزوا ِب ْلَلْ َق‬
َ ۤ ْ َُ َ َ ْ ۚ َ ُْ َ َ
‫ك ُه ُم ال ٰظّلِ ُم ْو َن‬َ ‫ب فَاُوٰل ِٕى‬ ِ ِ
ْ ُ‫الْ ُف ُس ْو ُق بـَْع َد ْالْيَان َوَم ْن َّلْ يـَت‬
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-
olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-
olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan
pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain
(karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih
baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu
saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa
tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. 

Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar,  menjelaskan bahwa ayat ini


dengan tegas melarang perbuatan mengolok-olok, mengejek, dan
menghina orang lain.  Pun tindakan itu tidaklah layak dilakukan
oleh seorang muslim yang merasa dirinya orang yang beriman.
Sebab orang yang beriman akan selalu menilik kekurangan yang
ada pada dirinya. Maka dia akan tahu kekurangan yang ada pada
dirinya itu. 
Dengan demikian tindakan body shaming tidak sepantasnya
dilakukan orang berimana. Orang yang tidak beriman jualah yang
lebih banyak melihat kekurangan orang lain dan tidak ingat akan
kekurangan yang ada pada dirinya sendiri. Yang menarik dalam ayat
ini adalah pelaku body shaming oleh Al-Qur’an tidak dibedakan,
bisa saja laki-laki dan perempuan. Kedua insan Tuhan ini berpotensi
melakukan tindakan biadab tersebut. 

116
Pada sisi lain, Nabi Muhammad selalu membela orang yang di­
lecehkan karena bentuk fisiknya. Nabi akan selalu membela mereka
korban. kendatipun pelakunya adalah orang terdekat dan yang
beliau cintai. Dalam sebuah riwayat diceritakan, Nabi menunjukkan
ketidakasukaannya terhadap istri beliau, Aisyah sebab mengomen­tari
fisik Shofiyah yang pendek. Simak hadis riwayat Abu Daud berikut; 

: ‫اللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬


َّ ‫صلَّى‬َ ‫َّب‬ ِّ ِ‫ت لِلن‬ ُ ‫ قـُْل‬: ‫ت‬
ِ
ْ َ‫ قَال‬، َ‫َع ْن َعائ َشة‬
‫َّد تـَْع ِن‬ٍ ‫ َغيـر مسد‬: ‫ال‬ َ ‫ق‬
َ ، ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ‫ك‬
َ‫و‬ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ‫ك‬َ ‫ة‬
َ ‫ي‬
َّ ِ ‫حسبك ِمن ص‬
‫ف‬
َ ُُ ْ َ َ ْ َ ُْ َ
‫ت ِبَ ِاء ا لْبَ ْح ِر‬ ِ ِ
ْ ‫ال لََق ْد قـُْلت َكل َمةً لَ ْو ُم ِز َج‬ َ ‫ فـََق‬، ‫ص َريًة‬ ِ َ‫ق‬
‫ب‬ُّ ‫ َما أ ُِح‬: ‫ال‬ ً ‫ت لَهُ إِنْ َس‬
َ ‫ فـََق‬، ‫ان‬ ُ ‫ َو َح َكْي‬: ‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬, ُ‫لَ َمَز َجْته‬
‫َن ِل َك َذا َوَك َذا‬ ً ‫ت إِنْ َس‬
َّ ‫ان َوأ‬ ُ ‫َن َح َكْي‬ ِّ‫أ‬
“Saya pernah berkata kepada Nabi Saw, ‘Shofiyah itu begini
dan begitu.’ Rawi selain Musaddad berkata, ‘Aisyah bermaksud
mengatakan bahwa Shofiyah pendek.’ Maka Nabi Saw kemudian
berkata, ‘Sungguh kamu telah mengucapkan suatu kalimat, yang
seandainya kalimat tersebut dicampur dengan air laut niscaya ia
akan mengubah rasanya.’ Saya juga pernah menirukan seseorang.
Lalu beliau berkata, ‘Saya tidak suka mengejek seseorang, se­kalipun
saya akan memperoleh keuntungan ini dan itu.’” (HR. Abu Daud)

Melalui hadis di atas, Nabi menunjukkan bahwa memberikan


komentar buruk terhadap bentuk fisik orang lain termasuk perbuatan
sangat tercela dan buruk. Nabi juga tidak menyukai mengejek
kekurangan fisik orang lain, lantas membandingkan dengan kele­
bihan dimiliki. Setiap orang tak berhak diolok dan dikomentari
kekurangan fisiknya. Pun nitizen tak berhak melakukan body
shaming pada orang lain di media sosial. 

117
Larangan Merundung
(Nyinyir) Orang Lain

ISLAM MERUPAKAN AGAMA yang menjunjung tinggi fitrah


manusia. Islam juga menempatkan manusia pada level paling
tinggi. Penghormatan pada manusia mutlak dalam Islam. Pasalnya,
manusia adalah makhluk yang mulia. Untuk itu, segala hal yang
merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan itu harus dihindari. 
Termasuk dalam hal ini merundung dan menghina orang lain
dengan panggilan yang ia tak sukai. Dalam artian, bila sebuah julukan
atau sebutan menyakiti atau merugikan orang lain, maka oleh agama
hal itu dilarang. Pun tak boleh mengucapkan kata-kata rasis yang
menyinggung dan merontokkan fitrah dan martabat  kemanusiaan. 
Dalam Al-Qur’an Q. S. Al-Hujurat/49:11, Allah melarang memang­gil
orang lain dengan gelar buruk. Teguran ini dimaksudkan agar manusia
tidak saling mengejek satu dengan yang lain. Allah ber­firman:

ْ‫ين ءَ َامنُواْ َل يَ ۡس َخ ۡر قـَ ۡوٌم ِّمن قـَ ۡوٍم َع َس ٰٓى أَن يَ ُكونُوا‬ ِ َّ
َ ‫َٰٓيَيـَُّها ٱلذ‬
ۖ ‫َخيۡـًرا ِّمنۡـ ُه ۡم َوَل نِ َسآءٌ ِّمن نِّ َسآٍء َع َس ٰٓى أَن يَ ُك َّن َخيۡـًرا ِّمنۡـ ُه َّن‬
ۡ ۡ ۡ
ِ‫وَل تـَل ِمُزٓواْ أَن ُفس ُك ۡم وَل تـَنَابـَُزواْ بِٱلَل َٰق ۖب‬
َ َ َ
119
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum
mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang
diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-
olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok)
perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-
olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok).
Dan janganlah kalian saling memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan.”

Kata at-Tanaabuz, bentuk asal dari kata laa tanaabazuu, dije­


laskan oleh Ibn ‘Asyur dalam karya tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir
berkonotasi negatif, bukan sekadar panggilan biasa. Justru at-
Tanaabuz merupakan panggilan dengan nama yang membuat orang
lain merasa risih dan tersakiti. Misalnya, beliau mencontohkan tradisi
arab ada julukan alfu an-naaqoh yang bermakna “hidung unta” yang
dianggap sebagai sebuah ejekan.
Pada sisi lain, Jalaluddin Mahalli dan Suyuthi dalam kitab Tafsir
Jalalain, menjelaskan ayat ini diturunkan berkenaan dengan delegasi
dari Bani Tamim yang mengejek orang-orang muslim yang miskin,
seperti Ammar bin Yasir, Salim Maula Abi Huzaifah dan Shuhaib
Ar-Rumi. As-Sukhriyah artinya merendahkan dan menghina (suatu
kaum) yakni sebagian di antara kalian.   Islam melarang memanggil
dengan nama julukan yang tidak disukainya, antara lain seperti,
hai orang fasik, atau hai orang kafir. 
Penjelasan lain terkait haramnya memanggil rang lain dengan
nama yang ia benci, tercantum dalam kitab Al-Adzkar, karya
Mahyuddin Abi Zakaria Yahya bin Syaraf An Nawawi. Imam Nawawi
menjelaskan haram hukumnya seseorang dipanggil dengan seruan
yang tak disukainya. Lebih lanjut,  Imam Nawawi mengatakan
Islam melarang keras memberikan panggilan atau julukan pada
seseorang dengan nama yang ia benci. Simak penjelasan Imam
Nawawi berikut:

120
ِ ِ ِ ‫واتـََّفق الْعلَماء علَى َْت ِرِْي تَ ِلقي‬
ً‫ َس َواء‬،ُ‫ب ْالنْ َسان بَا يَ ْكَره‬ ُْ َ َُُ َ َ
‫َعَرِج‬
ْ ‫ َو ْال‬،‫َع َمى‬ ْ ‫ َو ْال‬،‫َجلَ ِح‬
ْ ‫ َو ْال‬،‫ش‬ ِ ‫َع َم‬ ْ ‫ َك ْال‬،ٌ‫َكا َن لَهُ ِص َفة‬
ِ ِ‫ أَو َكا َن ِصفةٌ ِلَبِي ِه أَو ِل ُِم ِه أَو َغ ِي َذل‬....
ُ‫ك مَّا يَ ْكَره‬
َ ْ ْ ّ ْ ْ َ ْ
Para ulama sepakat atas haram hukumnya memanggil seseorang
dengan panggilan yang ia benci. Meskipun panggilan tersebut
memang  disifati oleh orang yang dipanggil tersebut. Seperti
panggilan “Si buta, Si Botak, Si Pincang”. Atau panggilan tersebut
merupakan sifat yang menempel pada orang tua atau panggilan
lain yang dibenci oleh orang yang dipanggil dengan nama tersebut.

121
Larangan Pungutan Liar
dalam Islam

PERMASALAHAN TENTANG PUNGUTAN LIAR (PUNGLI), ter­


golong penyakit akut di Indonesia. Pelbagai Operasi tangkap
tangan terkait pungli sudah marak terjadi di Indonesia. Adapun
pengertian ringkas Pungli dapat diartikan sebagai pungutan yang
dilakukan oleh seseorang secara tidak sah atau pungutan yang
melanggar aturan. Pasalnya, perbuatan itu untuk kepentingan
pribadi oknum petugas tersebut. Pungli juga termasuk dalam
penyalahgunaan wewenang (abuse of power). 
Nah bagaimana hukum pungli dalam Islam? Dalam Al-Qur’an
Q.S al- Baqarah; ayat 188, Allah berfirman melarang manusia
untuk memakan harta orang lain dengan jalan haram. Allah
berfir­man;
۟ ِ ‫وَل َتْ ُكلُو۟ا أَم ٰولَ ُكم بـيـنَ ُكم بِٱلْب‬
ْ ‫ٰط ِل َوتُ ْدلُوا ِبَآ إِ َل‬
‫ٱلُ َّك ِام‬ َ َْ َ ْ ٓ ۟ َ
ِ ‫لِتَأْ ُكلُوا فَ ِري ًقا ِّم ْن أ َْم َٰوِل ٱلن‬
ِْ ِ‫َّاس ب‬
 ‫ٱل ِْث َوأَنتُ ْم تـَْعلَ ُمو َن‬
Janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu

123
dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain
itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

Menurut Syed Hussain Alatas dalam buku Corruption its Nature,


Causes and Functions, mengatakan bahwa sejak awal pungutan liar
sudah jamak terjadi di pelbagai pasar jahiliyah. Istilah ini jamak
disebut dengan al maksu. Pada awal Islam, para pedagang di pasar
diperas oleh pelbagai kelompok, bahkan tidak jarang perbuatan
pungli tersebut mengatasnamakan pejabat setempat. Itu lakukan
agar pedagang di pasar aman dari gangguan. Padahal perbuatan
tersebut merupakan perbuatan zalim terhadap para pedagang.
Adapun Imam an-Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim
menjelaskan terkait al maksu. Ia mengatakan bahwa al-maksu
(pungutan liar) tergolong pada perbuatan haram. Pada sisi lain,
Pungli juga tergolong dalam perbuatan dosa besar. Imam Nawawi
berkata; 

ِ ُّ ‫اصي َو‬ ِ ‫َن الْم ْكس ِمن أَقـبح الْمع‬


َ ‫ َو َذل‬،‫الذنُوب الْ ُموبَِقات‬
‫ك‬ َ َ َْ ْ َ َّ ‫أ‬
ِ ِ ‫لِ َكثـرِة مطَالَبات النَّاس لَه و‬
َ ‫ َوتَ َكُّرر َذل‬،‫اهتم ِعْنده‬
‫ك‬ ْ ‫م‬
َ ‫ل‬
َ ‫ظ‬ َُ َ ُ َْ
‫فها ِف‬ َ ‫اهلم بِغَ ِْي َح ّق َها َو‬
َ ‫ص ْر‬ ْ ‫َخذ أ َْم َو‬ ِ ‫ِمْنهُ َوانْتِ َهاكه لِلن‬
ْ ‫َّاس َوأ‬
‫هها‬
َ ‫َغ ْي َو ْج‬
Sesungguhnya maks termasuk pada perbuatan maksiat yang
paling buruk dan tergolong dosa besar. Pasalnya, al maksu itu
banyak menuntut manusia (orang-orang) untuk membayarnya dan
memperbuat kezhaliman terhadap mereka. Itu dilakukan secara
berulang-ulang dan memaksakannya kepada orang-orang.  Al
maksu juga termasuk mengambil harta orang-orang dengan tidak
benar (haq) dan menyalurkannya  dengan tidak tepat sasaran. 

124
Nabi  Muhammad dalam sebuah hadits  mengancam orang yang
melakukan Pungli tak akan masuk dalam surga. Ia akan berada
dalam siksaan api neraka kelak. Pasalnya itu perbuatan dzalim
dan dosa besar. Nabi bersabda;

ٍ ‫ب َم ْك‬
‫س‬ ِ َ‫النَّة‬
ُ ‫صاح‬
َ َْ ‫الَ يَ ْد ُخ ُل‬ 
Tidak akan masuk surga pemungut yang melakukan pungutan
yang tidak dibenarkan, dengan jalan memaksa. 

Menurut Ahmad Wardi Muslich dalam buku Hukum Pidana


Islam, Pungli termasuk dalam jarimah takzir. Perbuatan ini biasanya
erat kaitannya dengan kemaslahatan umum. Untuk itu, sebagai
sanksi—pelaku Pungli yang dilakukan oleh pihak pegawai, aparat
negara, dan preman—, menurut hukum Islam dikenakan hukum
al-‘azl (pemecatan). 
Lebih lanjut, selain mendapatkan hukuman (takzir) berupa
pemecatan, pelaku Pungli juga dikenakan hukuman lain di akhirat
kelak. Tersangka pelaku Pungli, akhirat nanti ia akan memikul dan
mempertanggungjawabkan segala perbuatan haram yang ia pungut
di dunia ini. Hal itu sebagaimana dalam Q.S al-Imran ayat 161; 

ۚ ‫ت ِبَا َغ َّل يـَْوَم ٱلْ ِقيَ َٰم ِة‬ِ ْ‫وما َكا َن لِنَِ ٍب أَن يـغُ َّل ۚ ومن يـ ْغلُل ي‬
َ ْ َ ََ َ ّ ََ
 ‫ت َوُه ْم َل يُظْلَ ُمو َن‬ ٍ ‫ُثَّ تـَُو َّٰف ُك ُّل نـَْف‬
ْ َ‫س َّما َك َسب‬
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta
rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan
rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri
akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan
(pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.

125
Hukum Menggunakan Pakaian
dari Kulit Hewan

PAKAIAN YANG DIPRODUKSI DI INDONESIA banyak sekali yang


berasal dari kulit hewan.  Pakaian tersebut bukan hanya berasal dari
kulit hewan yang dagingnya halal dimakan, seperti sapi, kambing,
dan domba. Tetapi juga ada pakaian yang berasal dari kulit binatang
buas seperti kulit ular, buaya, dan macan. 
Nah dalam Islam bagaimana hukum memakai pakaian yang
berasal dari kulit bangkai hewan. Misalnya memakai jaket dari kulit
buaya, baju dari kulit harimau, atau ikat pinggang dari kulit ular. 
Apakah pakaian dari kulit binatang boleh digunakan? 
Terkait persoalan pakaian dari kulit binatang, terlebih dahulu
penting kita memahami bahwa ada tiga persoalan terkait status
hukum kulit binatang. Pertama, kulit binatang yang berasal dari
hewan yang diperbolehkan dimakan.seperti domba dan sapi yang
disembelih, maka status hukumnya suci. 
Dalam persoalan ini tak ada persoalan hukum menggunakan
pakaian dari kulit hewan yang halal untuk dimakan, dan mati
dengan disembelih. Sebab ia adalah binatang yang halal. 
Kedua, kulit binatang yang tak bisa menjadi suci— baik itu setelah
disamak atau pun tidak disamak—, pasalnya binatang tersebut

127
sudah dihukumi najis sejak masih hidup. Masuk dalam kategori
ini adalah hewan seperti babi dan anjing.
 Imam Abu Ishaq Al-Syairozi dalam kitab Muhadzab menjelaskan
bahwa kulit yang berasal dari anjing dan babi tak bisa disucikan,
sekalipun disamak. Hukum kulit keduanya adalah najis. Imam
Syairozi berkata;

‫َح ِد ِهَا فَال‬ ِ ِ ِْ ‫وأ ََّما الْ َك ْلب و‬


َ ‫الْن ِز ُير َوَما تـََولَّ َد منـْ ُه َما أ َْو م ْن أ‬ َ ُ َ
‫الَيَاةُ ال‬ ِ
ْ َّ‫الَيَاة ُث‬ ْ ‫غ َك‬ ِ
َ ‫َن ال ّد َب‬ ِ ِ
َّ ‫يَطْ ُهُر ج ْل ُد ُهَا ِبل ّد َب ِغ أل‬
ُ‫ك ال ِّد َبغ‬ ِ
َ ‫الِْن ِزي ِر فَ َك َذل‬
ْ ‫ب َو‬ ِ ‫اسةَ َع ْن الْ َك ْل‬
َ ‫َّج‬
َ ‫تَ ْدفَ ُع الن‬
Anjing dan babi dan yang lahir dari keduanya, kulitnya juga itu
tidak bisa suci dengan disamak. Pasalnya, hukum samak bagi
keduanya itu seperti kehidupan (hayah)—ada pun anjing dan
babi itu hidupnya saja sudah najis—, dengan demikian hidupnya
anjing dan babi saja tidak bisa mengangkat kenajisannya, dan
begitu pula dengan disamak, itu tak bisa menjadi suci.

Ketiga, kulit binatang yang bisa berubah hukumnya menjadi


suci setelah dilakukan penyamakan. Misalnya kambing atau
sapi, yang mati tanpa disembelih, maka statusnya bangkai. Kulit
bangkai itu bisa suci dengan disamak menggunakan air yang
bercampur tanah. 
Adapun kulit binatang buas juga sama, bisa menjadi suci dengan
cara disamak. Menurut Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al Fiqhul
Islami wa Adillatuh, bahwa kalangan ulama dari mazhab Hanafi
dan Syafii, mengatakan kulit bangkai hewan yang tidak halal
dimakan dagingnya (misalnya hewan buas) itu status hukumnya
bisa berubah jadi suci dengan cara disamak. Hal ini sesuai dengan
sabda baginda Nabi;

128
)‫(رَواهُ ُم ْسلِ ٌم‬
َ ‫اب فـََق ْد طَ ُهَر‬
ِْ ‫إِ َذا ُدبِ َغ‬
ُ ‫ال َه‬
Kulit apapun yang disamak itu bisa menjadi suci.

Nah terkait kulit bangkai  Imam Nawawi berkata dalam al Majmu’


Syarah al Muhadzab, bahwa bangkai bisa menjadi suci dengan
disamak. Asalkan kulit bangkai itu bukan anjing dan babi. Imam
Nawawi berkata;

‫ب‬ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ْ ‫ُك ُّل‬


َ ‫الُلُود النَّج َسة بـَْع َد الْ َم ْوت تَطْ ُه ُر بل ّد َب ِغ إل الْ َك ْل‬
‫َح ِد ِهَا َوَه َذا ُمتـََّف ٌق َعلَْي ِه ِعْن َد َن‬ ِ ِْ ‫و‬
َ ‫الْن ِز َير َوالْ ُمتـََولَّ َد م ْن أ‬ َ
Semua kulit bangkai  itu najis setelah kematiannya, maka ia jadi
suci  dengan disamak, kecuali anjing, babi, dan keturunan dari
salah satunya. Ini pendapat yang kuat di sisi kami.

Sebagai kesimpulan, pakaian yang berasal dari kulit binatang


boleh hukumnya dipakai dan tergolong suci asalkan terlebih dahulu
disamak. Namun dikecualikan kulit anjing dan babi, tak bisa suci
meskipun sudah disamak. 

129
Hukum Memakai Parfum
dalam Islam

MEMAKAI PARFUM merupakan kebiasaan yang lumrah bagi


lelaki maupun perempuan. Memakai parfum atau wewangian itu
dilakukan biasanya saat hendak keluar rumah seperti mau pergi
ke acara resepsi pernikahan, berangkat ke kantor, atau aktivitas
lainnya. Dalam Islam, sebenarnya bagaimana hukum memakai
parfum, baik bagi lelaki maupun perempuan?
Memakai parfum atau wewangian termasuk perkara yang di­
anjurkan dalam Islam, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Tidak
ada bedanya antara laki-laki dan perempuan mengenai anjuran
memakai parfum ini, semuanya sama-sama dianjurkan.
Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah
Al-Kuwaitiyah berikut;

َّ ‫وب َر ِض َي‬ ِ ُّ‫يس ُّن التَّطَي‬


‫وعا أ َْربَ ٌع‬
ً ُ‫اللُ َعْنهُ َم ْرف‬ َ ُّ‫ لََِب أَِب أَي‬،‫ب‬
ُ َُ
ِ ِ ُّ ِْ :‫ِمن سنَ ِن الْمرسلِني‬
ُ ‫ َوالنّ َك‬،‫الس َو ُاك‬
 ‫اح‬ ّ ‫ َو‬،‫ َوالتـََّعط ُر‬،ُ‫النَّاء‬ َ َ ُْ ُ ْ
:‫ل ِم ْن ُدنـْيَا ُك ُم‬ ِ َّ ‫الرسول صلَّى‬ ِ
ََّ ِ‫ب إ‬ ِ
َ ّ‫اللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ُحب‬ َ ُ َّ ‫َول َق ْول‬

131
 ‫ت قـَُّرةُ َعْي ِن ِف الصَّالَِة‬ ِ ِ ِ
ُ ّ‫النّ َساءُ َوالط‬
ْ َ‫ َو ُجعل‬،‫يب‬
Dianjurkan memakai parfum, berdasarkan hadis yang bersumber
dari Abu Ayyub, dengan status hadis marfu’; Empat hal termasuk
kebiasaan para rasul, yaitu memakai hinna, memakai parfum,
bersiwak dan menikah. Juga karena ada sabda Rasulullah Saw;
Dijadikan cinta pada diriku di antara dunia kalian, yaitu pe­
rempuan, dan wewangian, dan dijadikan penyejuk mataku di
dalam salat.

Meski laki-laki dan perempuan sama-sama dianjurkan memakai


parfum, namun bagi laki-laki dianjurkan memakai jenis parfum yang
hanya memiliki wewangian saja, dan tidak tampak warnanya. Ini
berlaku ketika saat berada di dalam rumah maupun ketika hendak
keluar rumah.
Sementara bagi perempuan, ketika hendak keluar rumah
di­anjurkan memakai parfum yang hanya memiliki warna yang
tampak saja, dan bau wanginya samar atau tidak mencolok.
Adapun jika di dalam rumah, maka dia bebas menggunakan jenis
parfum apa saja.

ِ ِ ِ ِ
ُ‫َويُ َس ُّن ل ْل َم ْرأَة ِف َغ ِْي بـَْيت َها بَا يَظْ َه ُر لَ ْونُهُ َوَيْ َفى ِرحيُه‬
‫ لِ َع َدِم‬،‫ ِمَّا َيْ َفى أ َْو يَظْ َهُر‬،‫ت‬ْ َ‫ب ِبَا َشاء‬
ِ ِ
ُ َّ‫وف بـَْيت َها تـَتَطَي‬..َ
‫الْ َمانِ ِع‬
Disunnahkan bagi perempuan, ketika di luar rumahnya, untuk
memakai parfum yang warnanya tampak dan baunya samar
atau tidak mencolok. Sementara jika di dalam rumahnya, maka
dia bebas memakai jenis parfum apa saja, baik baunya tidak
mencolok atau mencolok, karena tidak adanya halangan. 

132
Dianjurkan memakai parfum, berdasarkan
hadis yang bersumber dari Abu Ayyub, dengan
status hadis marfu’; Empat hal termasuk
kebiasaan para rasul, yaitu memakai hinna,
memakai parfum, bersiwak dan menikah. Juga
karena ada sabda Rasulullah Saw; Dijadikan
cinta pada diriku di antara dunia kalian, yaitu
pe­rempuan, dan wewangian, dan dijadikan
penyejuk mataku di dalam salat.
Hukum Menagih Utang
di Depan Umum

ISLAM MEMBOLEHKAN UTANG-PIUTANG antara satu orang


dengan lainnya. Bahkan kita sangat dianjurkan untuk memberikan
pinjaman kepada saudara atau teman kita yang sangat membutuhk­
an. Allah akan memberikan pahala kepada orang yang memberikan
pinjaman kepada saudaranya atau temannya yang membutuhkan. 
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah, Nabi Saw.
bersabda;

‫ص َدقَتِ َها‬ ِ ِ ِ
َ ‫ي إِالَّ َكا َن َك‬
ِ َْ‫ضا َمَّرتـ‬ ُ ‫َما م ْن ُم ْسل ٍم يـُْق ِر‬
ً ‫ض ُم ْسل ًما قـَْر‬
‫َمَّرة‬
Setiap Muslim yang memberikan pinjaman kepada Muslim lainnya
sebanyak dua kali, maka pahalanya seperti orang yang bersedekah
satu kali.

Selain itu, jika sudah mampu, orang yang berutang secepatnya


melunasi utangnya dengan cara yang baik. Dalam hadis riwayat
Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Nabi Saw bersbda;

135
ِ
ً‫ضاء‬ ْ ‫إِ َّن خيَ َارُك ْم أ‬
َ َ‫َح َسنُ ُك ْم ق‬
Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengem­
balian utang.

Namun jika orang yang berutang tidak mampu dan telat bayar
utang, maka orang yang memberi utang dianjurkan untuk ber­­­
sabar sambil mendoakan agar orang yang berutang segera mampu
membayar utang. Ia tidak perlu menagih dengan cara mem­per­
malukan orang yang berutang, seperti menagih di depan umum,
menagih dengan cara mengumpat, dan lain sebagainya. 
Menagih utang di depan umum dan di hadapan banyak orang
termasuk perbuatan yang tidak terpuji. Perbuatan menagih utang
di depan umum ini bisa mempermalukan dan menyakiti orang
yang ditagih. Sementara Islam menganjurkan agar menagih utang
kepada orang lain dengan cara yang baik, tanpa perlu menyakiti
orang yang ditagih apalagi sampai mempermalukannya.
Karena itu, jika kita melihat orang lain menagih utang di depan
umum, apalagi disertai dengan kata-kata kasar, maka kita harus
menegur dan mengingatkannya untuk menagih utang dengan
baik. Ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Saw ketika beliau
ditagih oleh seorang Yahudi di depan umum dengan kasar. Melihat
kejadian itu, Sayidina Umar tidak terima dan hendak memukuli
orang Yahudi tersebut, namun dengan cepat Nabi Saw melarangnya
sambil berkata;

ِ
‫ َي عُ َمَر‬،‫ك‬ َ ‫اج ِة إِ َل َغ ِْي َذل‬
َ ‫ت أ ََن َوُه َو ِ ْف َح‬
ُ ‫ لََق ْد ُكْن‬،‫ايَ عُ َمَر‬
‫ َوأَ ْن‬،‫ن ِبُ ْس ِن ْال ََد ِاء‬ ِ
ْ ‫ك أَ ْن َتْ ُمَر‬
ِ ‫لََق ْد َكا َن ِمن الْو ِاج‬
َ ‫ب َعلَْي‬ َ َ
‫ب‬ِ َ‫َتْ ُمرهُ ِبُس ِن الطَّل‬
ْ َ
136
Wahai Umar, aku dan dia butuh pada selain itu (pembelaan
Sayidina Umar). Wahai Umar, yang wajib bagimu adalah me­
nyuruhku untuk melunasi utang dengan baik dan menyuruh dia
untuk menagih utang dengan baik.

137
Adab Menagih Utang
dalam Islam

JIKA ADA ORANG LAIN mempunyai utang kepada kita, maka kita
boleh menagihnya hingga dia melunasi utangnya, terutama apabila
pe­lunasan utang tersebut sudah jatuh tempo sesuai dengan perjan­
jian yang sudah ditetapkan. Dalam menagih utang kepada orang
lain, terdapat beberapa adab dalam Islam yang perlu diperhatikan
oleh orang yang memberikan utang saat menagih utangnya.
Pertama, menagih utang apabila waktunya sudah jatuh tempo
sesuai yang disepakati bersama. Meski orang yang memberi utang boleh
menagih utangnya kapan saja, namun dia dianjurkan untuk menagih
sesuai tenggat waktu yang telah disepakati. Ini sebagaimana dise­
butukan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

‫ْجال ِف‬ ِ
َ ‫ض أَ ْن يَ ْس َِتَّدهُ قـَْبل ُحلُول األْ َجل؛ أل َّن اآل‬ ِ ‫َولِْل ُم ْق ِر‬
‫ لَ ِك ْن يـَنـْبَغِي‬:‫َحَ ُد بْ ُن َحنـْبَ ٍل‬
ْ ‫وض َب ِطلَةٌ قَال اإلْ َم ُام أ‬ ِ ‫الْ ُقُر‬
‫ض أَ ْن يَِف َي بَِو ْع ِد ِه‬
ِ ‫لِْل ُم ْق ِر‬
Boleh bagi pemberi utang untuk menagih pinjamannya sebelum
waktunya tiba. Ini karena penentuan waktu dalam akad pinjaman

139
adalah tidak sah. Imam Ahmad bin Hanbal berkata; Hanya saja
selayaknya bagi pemberi pinjaman untuk menepati janjinya. 

Kedua, menagih utang dengan cara yang baik. Ini sebagaimana


disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar dan
Aisyah,  Nabi Saw bersabda;

ٍ ‫اف و‬
ٍ ‫ أَو َغ ِي و‬،‫اف‬
‫اف‬ ٍ ‫من طَلَب ح ًّقا فـ ْليطْلُبه ِف ع َف‬
َ ْ ْ َ َ ُْ ََ َ َ ْ َ
Barangsiapa menuntut haknya, maka hendaknya dia menuntutnya
dengan baik, baik pada orang yang ingin menunaikannya atau
pada orang yang tidak ingin menunaikannya.

Ketiga, jika orang yang berutang tidak mampu membayar, maka


orang yang memberi utang dianjurkan untuk menunggu hingga dia
mampu membayar atau membebaskan utangnya. 
Disebutkan dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Qatadah,
dia berkata bahwa dia pernah mendengar Nabi Saw bersabda;

‫س َع ْن‬ ‫ف‬
ّ ِ ‫ب يـوِم‬
ِ ‫ فـ ْليـنـ‬،‫القيام ِة‬ ِ ‫من سَّره أ ْن يـنَ ِجيهُ هللا ِمن ُكر‬
ْ َُ َ َ َ َْ َ ْ ُ َ ّ ُ ُ َ ْ َ
ِ
َ َ‫ُم ْعس ٍر أ َْو ي‬
ُ‫ض ْع َعْنه‬
Barangsiapa yang senang diselamatkan oleh Allah dari kesusahan
hari kiamat, maka hendaknya dia menghilangkan kesusahan
orang yang kesusahan (membayar utang) atau membebaskannya.

Keempat, tidak boleh mengambil keuntungan dari utang, seperti


mengambil bunga dan lainnya. Mengambil keuntungan dari utang
disebut dengan riba, dan riba hukumnya adalah haram. Dalam
surah Al-Baqarah ayat 278, Allah berfirman;

140
‫اللَ َو َذ ُروا َما بَِق َي ِم َن الِّرَب إِ ْن ُكنـْتُ ْم‬ ِ َّ
َ ‫َي أَيـَُّها الذ‬
َّ ‫ين َآمنُوا اتـَُّقوا‬
‫ني‬ِِ
َ ‫ُم ْؤمن‬
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba, jika kalian orang beriman.

141
Adab Terhadap Hewan
dalam Islam

DALAM ISLAM, kita diperintah oleh Allah dan Nabi Saw untuk
berbuat baik kepada semua makhluk ciptaan Allah, termasuk kepada
hewan. Meski kita sebagai manusia lebih mulia dibanding jenis
hewan, namun kita dilarang sewenang-wenang memperlakukan
hewan, seperti menyakiti dan lainnya. Karena itu, agar kita tidak
sewenang-wenang memperlakukan hewan, maka Islam menetapkan
atauran dan adab-adab tertentu yang harus kita perhatikan berkaitan
dengan perlakuan kita terhadap hewan.
Pertama, bersyukur kepada Allah karena kita telah diciptakan
lebih mulia dibanding hewan. Bahkan Dia telah membuat sebagian
hewan tunduk kepada kita agar bisa memenuhi kebutuhan-ke­
butuhan kita, seperti kambing, sapi, kerbau, kuda dan lainnya.
Kedua, memberi makan dan minum pada hewan, atau meng­
obatinya ketika sakit. Memberi makan dan minum atau mengobatinya
bernilai sedekah dan mendapatkan pahala dari Allah.
Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Muslim,
bahwa Nabi Saw pernah bersabda;

143
‫ فـَيَأْ ُك ُل ِمْنهُ طَيـٌْر‬،‫ أ َْو يـَْزَرعُ َزْر ًعا‬،‫س َغ ْر ًسا‬ ِ ٍِ ِ
ُ ‫َما م ْن ُم ْسلم يـَ ْغر‬
ِ ِ
َ ‫ إَِّل َكا َن لَهُ بِه‬،ٌ‫أ َْو إِنْ َسا ٌن أ َْو َب َيمة‬
ٌ‫ص َدقَة‬
Tidaklah seorang muslim menanam pohon atau tumbuhan, lalu
dimakan burung, manusia, atau hewan melainkan menjadi sedekah
baginya.

Juga disebutkan hadis riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim


dari Abu Hurairah, dia berkisah bahwa pernah ada sahabat yang
bertanya kepada Rasulullah Saw;

ِ ِِ َِّ ‫ول‬
‫ ِف‬ ‫ال‬ ْ ‫الل َوإِ َّن لَنَا ِف َهذه الْبـََهائ ِم أل‬
َ ‫َجًرا فـََق‬ َ ‫قَالُوا َي َر ُس‬
ٍ ٍ
ْ ‫ُك ِّل َكبِد َرطْبَة أ‬
 ‫َجٌر‬
Para sahabat bertanya;Ya Rasulullah, apakah kita bisa meraih
pahala dari binatang? Beliau menjawab; Setiap memberi minum
pada hewan akan mendapatkan ganjaran.

Ketiga, dilarang menyiksa dan menyakiti hewan. Disebutkan


dalam sebuah hadis bahwa ada seorang wanita yang masuk neraka
akibat mengikat kucing dan membiarkan kucing tersebut kelaparan.
Hadis dimaksud diriwayatkan dari Imam Al-Bukhari dan Imam
Muslim, bahwa Nabi Saw bersabda;

‫ َوَلْ تَ َد ْع َها‬،‫ فـَلَ ْم تُطْعِ ْم َها‬،‫َّار ِف ِهَّرٍة َربَطَتـَْها‬


‫ن‬
َ َ ‫ال‬ ‫ة‬
ٌَ‫أ‬
‫ر‬ ‫ام‬
ْ
ِ َ‫دخل‬
‫ت‬ ََ
‫ض‬ ِ ‫َتْ ُكل ِم ْن َخ َش‬
ِ ‫اش األ َْر‬
ُ
Ada seorang wanita yang masuk neraka karena seekor kucing
yang diikatnya; ia tidak memberinya makan dan tidak melepasnya
sehingga kucing itu memakan serangga bumi.

144
Keempat, memperlakukan hewan dengan baik, diberi tempat
yang layak, makan yang layak, dan diberi istirahat yang cukup. Ini
sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Abu Dawud,
bahwa Nabi Saw bersabda;

‫وها‬ ِ ‫الل ِف ه ِذ ِه الْبـهائِِم الْمعجم ِة فَارَكبوها‬


َ ُ‫صالَةً َوُكل‬
َ َ ُ ْ َ َ ْ ُ ََ َ ََّ ‫اتـَُّقوا‬
ِ‫ص‬
ً‫الَة‬ َ
Bertakwalah kepada Allah terhadap binatang yang tidak bisa
bicara ini, tunggangilah dengan cara yang baik dan berilah makan
dengan cara yang baik.

Kelima, ketika hewan hendak disembelih, maka harus disembelih


dengan cara baik.  Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat
Imam Al-Thabrani, bahwa Nabi Saw bersabda;

‫ص ُف ْوٍر َرِحَهُ هللاُ يـَْوَم الْ ِقيَ َام ِة‬ ِ


ْ ُ‫َم ْن َرح َم َو لَ ْو َذبِْي َحةَ ع‬
Barangsiapa yang bersikap sayang meskipun dalam menyembelih
burung kecil, maka Allah akan merahmatinya pada hari kiamat.

Keenam, jika kita hendak membunuh hewan tertentu, meskipun


itu adalah hewan yang dianjurkan untuk dibunuh, maka kita tidak
boleh memubunuhnya dengan cara dibakar menggunakan api dan
tidak boleh melampaui batas dengan memburu dan membunuh
hewan yang tidak menganggu kita secara langsung. 
Dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan bahwa Nabi
Saw pernah berkisah;

‫ فَأ ََمَر ِبَ َها ِزِه‬،ٌ‫ فـَلَ َد َغْتهُ نَْلَة‬،‫ت َش َجَرٍة‬ ِ ِ َِ‫نـزَل ن‬
َ ‫ب م َن األَنْبِيَاء َْت‬ ٌّ ََ
ِ ِ ِ ‫فَأُخر‬
َُّ ‫ فَأ َْو َحى‬،‫ُح ِر َق ِبلنَّا ِر‬
‫الل‬ ْ ‫ ُثَّ أ ََمَر بِبـَْيت َها فَأ‬،‫ِج م ْن َْتت َها‬
َ ْ
145
ِ ‫ فـه َّل نَْلَةً و‬:‫إِلَي ِه‬
‫اح َد ًة‬ َ ََ ْ
Ada seorang nabi yang singgah di bawah pohon, lalu ia digigit
semut, kemudian ia memerintahan agar barang-barangnya di­
angkut dan dikeluarkan, kemudian ia perintahkan rumah semut
itu dibakar dengan api, maka Allah mewahyukan kepadanya;
Mengapa tidak kamu hukum satu semut saja?

146
Ada seorang wanita yang masuk neraka
karena seekor kucing yang diikatnya; ia tidak
memberinya makan dan tidak melepasnya
sehingga kucing itu memakan serangga bumi.
Sepatu dari Kulit Ular,
Bolehkah?

INDUSTRI SEPATU KULIT DI INDONESIA CUKUP BESAR. Minat


konsumen terhadap sepatu yang berasal dari kulit terus naik setiap
tahun. Tak pelak lagi, sepatu merupakan produk fesyen dengan
jumlah permintaan cukup tinggi di dalam negeri. Pelbagai daerah
pun berlomba-lomba untuk menjadi suplayer sepatu kulit. Sepatu
kulit  yang trend banyak yang berasal dari kulit ular. 
Nah dalam Islam bagaimana hukum sepatu yang berasal dari
sepatu kulit ular?
Adapun memakai sepatu dari kulit ular itu diperbolehkan dengan
catatan, kulit ular tersebut harus disamak terlebih dahulu.  Hal
ini sebagaimana dikatakan oleh Al- Imam Taqiyuddin Abu Bakar
Al-Husaini dalam kitab Kifayatul Akhyar bahwa kulit bangkai bisa
menjadi suci dengan disamak menggunakan air yang bercampur
dengan tanah. Ketiksa sudah disamak, maka bagian luar dan dalam
kulit bangkai itu menjadi suci. 
Simak penjelasan dalam kitab Kifayatul Akhyar berikut ini; 

149
‫اه ُرهُ قَطْ ًعا َوَك َذ ا َب ِطنُهُ َعلَى‬ ِ َ‫الِْل ُد طَهر ظ‬ ْ ‫ُثَّ إِ َذ ا ُد بِ َغ‬
َُ
ِ ِ ‫ال ِدي ِد فـيصلَّي علَي ِه وفِي‬ ِ
َ َ ْ ُ َ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َ َ َُ ْ َْ ‫الْ َم ْش ُه ْور‬
‫اء‬ ‫ي‬ ‫ش‬
ْ ‫ال‬
َ ْ ‫ف‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ع‬
ْ ‫ـ‬ ‫ت‬ ‫س‬‫ي‬‫و‬ ، ‫ه‬
‫ َوَه ْل َيُ ْوُز‬،‫الرطَبَ ِة َوَيُ ْوُز بـَيـْعُهُ ُوِهبـَّتُهُ َوالْ َو ِصيَّةُ بِِه‬
َّ ‫الْيَابِ َس ِة َو‬
‫ي‬ُّ ‫الََو َاز َوَر َّج َح النـََّوِو‬ْ ‫الرافِعِ ُّي‬
َّ ‫أَ ْكلُهُ ِم ْن َمأْ ُك ْوِل اللَّ ْح ِم؟ َر َّج َح‬
َ‫َّح ِرْي‬
ْ ‫الت‬
“Kemudian jika kulit bangkai sudah disamak, maka bagian luar­
nya pasti suci. Begitu juga dengan bagian dalamnya. Karena itu,
boleh salat di atasnya dan di dalamnya. Dan boleh digunakan
untuk sesuatu yang kering dan basah. Dan boleh menjualnya,
menghibahkan dan mewasiatkan. Apakah boleh memakannya
dari hewan yang halal dagingnya? Imam Rafi’i mengunggulkan
boleh, sementara Imam Nawawi mengunggulkan haram.”

Pendapat serupa juga dikatakan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili


dalam al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, bahwa mazhab Hanafi dan
Syafii menerangkan bahwa kulit bangkai dari hewan yang tidak boleh
dimakan dagingnya itu bisa menjadi suci dengan cara dibersihkan
atau disamak. 
Pendapat ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad yang diri­
wayatkan oleh Imam Muslim. Nabi bersabda;

)‫(رَواهُ ُم ْسلِ ٌم‬


َ ‫اب فـََق ْد طَ ُهَر‬
ِْ ‫إِ َذا ُدبِ َغ‬
ُ ‫ال َه‬
Kulit apapun yang disamak itu bisa menjadi suci.

 ‫َو َسلَّ َم‬ ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه‬-


َ ‫الر ُس ْو ُل‬
َّ ‫أ ََمَر‬:" ‫ت‬ ِ
ْ َ‫َع ْن َعائ َشةَ قَال‬
ِ ِ ِ ِ
ْ َ‫أَ ْن يـَنـْتَف َع بُلُ ْود الْ َميـْتَة إِ َذا ُدبِغ‬-
".‫ت‬
150
Dari Aisyah ra, rasulullah saw memerintahkan untuk  mengambil 
manfaat  terhadap  kulit  bangkai  apabila  telah disamak.

Dengan demikian boleh menggunakan atau memakai sepatu yang


berasal dari kulit ular, tetapi kulit ular itu harus  sudah disamak
terlebih dahulu. Jika sudah disamak, maka kulit bangkai itu sudah
menjadi suci. Semoga bermanfaat. 

151
Hukum Mencabut Uban

UBAN MERUPAKAN FENOMENA ALAMIAH yang bisa menghing­­gapi


siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Disebutkan bahwa
bagi laki-laki dimakruhkan mencabut ubannya, baik uban rambut
kepalanya maupun rambut jenggotnya. 
Kemakruhan mencabut uban dalam Islam berlaku umum, baik
bagi laki-laki dan perempuan. Artinya, bukan hanya laki-laki yang
dimakruhkan mencabut uban, namun perempuan juga dimakruhkan
mencabut ubannya.
Hal ini karena keistimewaan uban dalam Islam tidak dikaitkan
dengan jenis kelamin, melainkan dikaitkan dengan keimanan dan
keislaman. Selama seseorang beriman kepada Allah, dan beragama
Islam, maka dia dimakruhkan mencabut ubannya, baik laki-laki
maupun perempuan. 
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa keistimewaan uban bagi
orang muslim, baik laki-laki maupun perempuan, adalah kelak
di hari kiamat akan menjadi cahaya. Ini sebagaimana disebutkan
dalam hadis riwayat Ibnu Hibban dari Abu Hurairah, dia berkata
bahwa Nabi Saw bersabda;

153
ِ ِ ِ
َ ‫ب فَِإنَّهُ نـٌْوٌر يـَْوَم الْقيَ َامة َوَم ْن َش‬
‫اب َشيـْبَةً ِ ْف‬ َ ‫َل تـَْنت ُفوا الشَّْي‬
ِ ِ َّ ‫ِالس َلِم ُكتِب لَه ِبا حسنَة وح‬
ُ‫ط َعْنهُ بَا َخطيـْئَة َورفع لَه‬ َُ َ َ َ ُ َ ْ
‫ِبَا َد َر َجة‬
Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari
kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam walaupun
sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan,
dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya
akan ditinggikan satu derajat.

Juga berdasarkan hadis riwayat Imam Abu Dawud dan Imam


Al-Nasa-i dari dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya,
dia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda;

ِْ ‫َل تـَْنتِ ُفوا الشَّْيب َما ِم ْن ُمسلٍِم يَ ِشيب َشيـْبَةً ِف‬


‫ال ْس َلِم إَِّل‬ ُ ْ َ
‫ت لَهُ نُ ًورا يـَْوَم الْ ِقيَ َام ِة‬
ْ َ‫َكان‬
Janganlah mencabut uban. Tidaklah seorang muslim yang beruban
dalam Islam walaupun sehelai, melainkan uban tersebut akan
menjadi cahaya baginya pada hari kiamat nanti.

Berdasarkan dua hadis ini, kebanyakan para ulama mengatakan


bahwa mencabut uban adalah makruh. Bahkan menurut Imam Al-
Nawawi, andaikan mencabut uban diharamkan berdasarkan larangan
yang jelas dalam hadis di atas, maka hal itu tidak berlebihan. Dalam
kitab Al-Majmu’, Imam Al-Nawawi berkata sebagai berikut;

ِ ‫الص ِح‬
‫ َوَل فـَْر َق‬.‫يح َلْ يـَبـْعُ ْد‬ َّ ‫يل َْيُرُم لِلنـَّْه ِي‬
ِ ‫الص ِر‬
َّ ‫يح‬ ِ
َ ‫َولَ ْو ق‬
َّ ‫ي نـَْت ِف ِه ِم َن الْلِ ْحيَ ِة َو‬
‫الرأْ ِس‬ َ َْ‫بـ‬
154
Seandainya dikatakan haram mencabut uban karena adanya
larangan yang jelas, maka itu tidak berlebihan. Dan tidak ada
perbedaan hukum kemakruhanya antara mencabut uban jenggot
dan kepala. 

155
Hukum Bermain Game
dalam Islam?

GAME MERUPAKAN PERMAINAN yang memiliki daya tarik besar.


Game  mampu menyedot antusias lintas kalangan; anak kecil,
anak muda, pun orang tua. Ada orang yang bermain game sebagai
hiburan semata. Pun ada juga yang bermain game untuk meraup
keungtungan, misalnya dijadikan konten. Pun ada juga yang bermain
game sampai ke kancah internasional.
Bermain game ada yang offline, pun ada juga yang online—
menggunakan medium internet. Ada juga dimainkan secara langsung
dengan teman atau orang lain. Sebenarnya, bagaimana hukum
bermain game dalam Islam?
Adapun hukum asal permainan dalam Islam hukumnya adalah
mubah atau boleh. Selama tidak ada dalil yang melarangnya. Pun jika
didalamnya tidak ada unsur yang diharamkan dalam syariat, seperti
ada unsur perjudian, maka permainan itu hukumnya diperbolehkan.
Hal ini sesuai dengan kaedah fikihiyah;

‫َص ُل ِف ْالَ ْشيَ ِاء اْ ِإل َب َحةُ إَِّل َما َد َّل الدَّلِْي ُل َعلَي َْت ِرْيِِه‬
ْ ‫ْال‬
Hukum asal segala sesuatu adalah mubah atau boleh sampai
ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

157
Menurut Syekh Wahbah Zuhaili dalam Fatawa al-Mu’asharah,
selama permainan itu tidak membuat anak lalai atau siapapun lalai
dalam melakukan tugasnya, maka main game tersebut diperboleh­
kan. Namun jika game itu membuat ia lalai, maka hukumnya haram.
Simak penjelasan dalam Fatawa al-Mu’ashoroh:

‫الص َل ِة‬
َّ  ‫ض ِة‬ َ َ‫الس ْهُر َعلَى الْ َك ْمبـَيُوتـَْر إِ َل ت‬
َ ْ‫ضيُّ ِع فَ ِري‬ َّ ‫َوإِ ْن أ ََّدى‬
ِ
‫َب‬ِّ ‫ك أَيـَُّها ْال‬ َ ‫الس ْه ُر َحَر ًاما َو َعلَْي‬ َّ ‫ص َار‬ َ ‫الصْب ِح َو َغ ِْيه‬ ُّ ‫َك‬
‫اظ ِح َفاظًا َعلَى ِص َّحتِ ِه‬ ِ ‫السْتي َق‬ ِ ِ َ ِ‫ت ابْن‬ ِ ْ‫تـْن ِظيم وق‬
ْ ْ ‫ك ِف النـَّْوم َو‬ َ ُْ َ
‫الََرِام فـَُه َو َحَر ٌام َح َّت الْ َم َل ِه ْي‬ ْ ‫َوِج ْس ِم ِه فَ ُك ُّل َما أ ََّدى إِ َل‬
‫اح ِة الْ َم ْكُرْوَه ِة‬
َ َ‫الْ ُمب‬
“Bila begadang di depan komputer sampai menyebabkan ter­beng­
kalainya salat fardlu seperti shubuh dan lainya, maka diharamkan.
Dan wajib bagi seorang ayah mengatur waktu anak­nya dalam
tidur dan bangun guna menjaga kesehatanya. Setiap sesuatu
yang mendatangkan keharaman adalah larangan, hingga alat
permainan yang hukum asalnya mubah maupun makruh.”

Sementara Syekh Imam Zakaria Al Anshori dalam kitab Hasyiatul


Jamal ‘ala Al-Minhaj mengatakan bahwa permainan atau game
yang mengasah dan meningkatkan kemampuan pikiran pemainya,
maka hukumnya adalah boleh, tidak haram. Untuk itu, game yang
memancing daya kognitif dan kerja sama tim, diperbolehkan untuk
dimainkan. 
Imam Zakariya Al Anshori berikata;

َّ ‫ث يُ ْكَرهُ إِ ْن َخالَ َع ِن الْ َم ِال ِب‬


‫َن‬ ِّ ‫َوفَ َارق النـَّْرُد‬
ُ ‫الشطَْرنْ َج َحْي‬

158
‫ص ِحْي ُح‬ ِ ِ ِ َّ ‫الِساب الدَّقِيق والْ ِف ْكر‬
ْ َ‫الصحْي ُح فَفْيه ت‬ ُ َ ُ ْ ُ َ ْ ُ‫ُم ْعتَ َم َده‬
ِ ‫الزر والت‬ ِ ِ ِ
‫ي‬ ْ َ ُ َْْ ‫الْف ْك ِر َونـَْوعٌ م َن التَّ ْدبِِْي َوُم ْعتَ َم ُد النـَّْرد‬
ُ ْ ‫َّخم‬
‫الرافِعِ ُّي َما‬
َّ ‫ال‬ َ َ‫ ق‬.‫الَ ْم ِق‬ ْ ‫اه ِة َو‬ َّ ‫الْ ُم َؤِّدى إِ َل َغايٍَة ِم َن‬
َ ‫الس َف‬
ُ َ‫اس بِِ َما َما ِ ْف َم ْعن‬
‫اهَا ِم ْن أَنـَْو ِاع اللَّ ْه ِو َوُك ِّل َما‬ ِ
ُ ‫َحاصلُهُ َويـَُق‬
‫السْي َج ِة َوِه َي ُح َفٌر أ َْو‬ ِ ‫الِساب َكالْ ِمنـ َقلَ ِة و‬ ْ ‫و‬ ‫ر‬ ‫ك‬
ْ ِ ْ‫اِعتم َد ال‬
‫ف‬
ّ َ ْ َ َ َ َ َ َْ
ِ ‫الصى ِب ْلِس‬ ِ
‫اب الَ َْيُرُم إِ َل أَ ْن‬ َ َ َْ ‫ُخطُْو ٌط يـُنـَْق ُل منـَْها َوإِلَيـَْها‬
.‫ي َْيُرُم‬ ِ ‫ال وُك ُّل ما معتَم ُده الت‬
ُ ْ ‫َّخم‬
ْ ُ َ ْ ُ َ َ َ َ‫ق‬
Perbedaan dadu dan catur, yang mana catur dihukumi makruh
bila memang tidak menggunakan uang, adalah bahwa permainan
catur berdasarkan perhitungan yang cermat dan olah pikir yang
benar. Dalam permainan catur terdapat unsur penggunaan pikiran
dan pengaturan strategi yang benar, sedangkan permainan
dadu berdasarkan spekulasi yang menyebabkan kebodohan dan
kedunguan yang maksimal.

Imam Rafi’i berkata; Hukum dadu dan catur tersebut bisa di­
analogikan pada semua bentuk permainan. Segala permainan
yang berdasarkan hitung-hitungan dan pikiran seperti alminqolat
dan assijah (jenis permainan di Arab), yakni permainan dengan
membentuk garis dan lobang-lobang untuk mengisi bebatuan
yang di lakukan dengan perhitungan tersendiri, hukumnya tidak
haram. Sedangkan semua jenis permainan yang berdasarkan
spekulasi, hukumnya haram.

Dengan demikian, main game pada dasarnya dalam Islam diper­


bolehkan, selama tidak membuat kelalaian dan kemudaratan. Jika
sampai membuat lalai dari salat, sekolah, bekerja, maka itu haram.
Semoga bermanfaat.  

159
Hukum Melanggar Sumpah
Demi Allah, Apakah Berdosa?

DALAM ISLAM, kita dibolehkan untuk bersumpah demi Allah untuk


menghilangkan keraguan, membatalkan perkara batil, menegakkan
argumentasi, menekankan berita, dan mengikrarkan hukum, atau
untuk nazar. Jika kita bersumpah demi Allah untuk menghilangkan
keraguan dan seterusnya selain nazar, maka kita wajib jujur dalam
sumpah kita. Jika kita berbohong dalam sumpah kita, atau bersum­
pah palsu, maka kita telah melakukan dosa besar.
Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari
dari Abdullah bin Umar, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

ِ ‫وق ا لْ َوالِ َد يْ ِن َوقـَْتل النـَّْف‬


‫س‬ َِّ ‫اك ِب‬
ُ ‫لل َوعُ ُق‬ ِْ : ‫ا لْ َكبَائِر‬
ُ ‫ال ْشَر‬ ُ
ُ
 ‫وس‬ ِ
ُ ‫ني الْغَ ُم‬
ُ ‫َوالْيَم‬
Dosa-dosa besar ialah menyekutukan Allah, mendurhakai kedua
orang tua, membunuh jiwa dan sumpah palsu.
Juga dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin
Umar, dia berkisah;

161
‫ول‬
َ ‫ال َي َر ُس‬ َ ‫اللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فـََق‬
َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َّب‬ ِ ِ ٌّ ِ‫َجاءَ أ َْعَر‬
ِّ ‫اب إ َل الن‬
‫وق‬
ُ ‫ال ُثَّ عُ ُق‬
َ َ‫ال ُثَّ َما َذا ق‬ َ َ‫لل ق‬ َِّ ‫ال ْشر ُاك ِب‬ ِْ ‫ال‬ َ ‫ق‬
َ ‫ر‬ِ‫الل ما الْ َكبائ‬ َِّ
َ ُ َ َ
‫ني‬ ِ ِ ِ ِ‫الْوال‬
ُ ‫ت َوَما الْيَم‬ُ ‫وس قـُْل‬ ُ ‫م‬
ُ َ‫غ‬ ‫ل‬
ْ ‫ا‬ ‫ني‬
ُ ‫م‬ ‫ي‬
َْ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ال‬
َ ‫ق‬
َ ‫ا‬‫ذ‬َ ‫ا‬ ‫م‬
َ ‫ث‬
َُّ ‫ال‬
َ ‫ق‬
َ ‫ن‬ ‫ي‬
ْ ‫د‬
َ َ
ِ ِ ِ ٍ ِ ِ
َ ‫ال الَّذي يـَْقتَط ُع َم‬
ٌ ‫ال ْام ِرئ ُم ْسل ٍم ُه َو ف َيها َكاذ‬
‫ب‬ َ َ‫وس ق‬ُ ‫الْغَ ُم‬
Ada seorang a’rabi datang menemui Nabi Saw lalu berkata;
Wahai Rasulullah, apakah dosa-dosa besar itu? Beliau menjawab;
Menyekutukan Allah. Dia bertanya lagi; Kemudian apa? Beliau
menjawab; Kemudian durhaka kepada dua orang tua. Dia ber­
tanya lagi; Kemudian apa? Beliau menjawab; Sumpah palsu.
Dia bertanya; Apa sumpah palsu itu? Beliau menjawab; Sumpah
dusta yang menjadikan dia mengambil harta seorang muslim. 

Adapun jika kita bersumpah demi Allah untuk nazar, maka kita
wajib menepatinya. Jika kita melanggarnya, maka kita berdosa dan
dinilai telah melakukan sumpah palsu. Bahkan jika kita melanggar
sumpah demi Allah dalam nazar, maka kita wajib menebusnya
dengan salah satu pilihan berikut; Memberikan makan sepuluh
orang miskin atau memberikan pakaian pada mereka, memerdeka­
kan budak, atau berpuasa selama tiga hari. 
Ini sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 89
berikut;

ِ ‫الل ِبللَّ ْغ ِو ِف أ َْيَانِ ُكم وٰلَ ِكن يـؤ‬


‫اخ ُذ ُك ْم ِبَا‬ ِ
َُ ْ َ ْ َُّ ‫َل يـَُؤاخ ُذ ُك ُم‬
‫ني ِم ْن أ َْو َس ِط‬ ِ
َ ‫َع َّق ْد ُتُ ْال َْيَا َن فَ َك َّف َارتُهُ إِطْ َع ُام َع َشَرِة َم َساك‬
‫َما تُطْعِ ُمو َن أ َْهلِي ُك ْم أ َْو كِ ْس َوتـُُه ْم أ َْو َْت ِر ُير َرقـَبَ ٍة فَ َم ْن َلْ َِي ْد‬
ِ ِ
‫اح َفظُوا‬ْ ‫ك َك َّف َارةُ أَْيَان ُك ْم إِ َذا َحلَ ْفتُ ْم ۚ َو‬ َ ‫صيَ ُام ثََلثَِة أ ََّيٍم ۚ َٰذل‬ِ َ‫ف‬

162
‫آيتِِه لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكُرو َن‬ ِ
َ ‫اللُ لَ ُك ْم‬
َّ ‫ي‬ َ ‫أ َْيَانَ ُك ْم ۚ َك َٰذل‬
َُِّ‫ك يـُب‬
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu
yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka
tebusan (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka
atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup
melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga
hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila
kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya
agar kamu bersyukur (kepada-Nya).

163
Hukum Memakan Kepiting
Menurut Imam Empat Mazhab

KEPITING TERMASUK JENIS MAKANAN yang digemari oleh ma­


syarakat Indonesia. Kuliner yang menyajikan kepiting banyak yang
diperjualbelikan, terutama di daerah wisata. Bisa dibilang, makanan
yang menu utama kepiting banyak digemari wisatawan, domestik
ataupun mancanegara. 
Nah dalam fikih Islam, bagaimana hukum memakan kepiting?
Para ulama fikih, terutama ulama dari empat mazhab, berbeda
pendapat mengenai hukum memakan kepiting. Ada ulama yang
membolehkan dan menghukumi halal makan kepiting. Namun
juga ada sebaliknya—yang menyebutkan kepiting makanan yang
haram. Berikut penjelasannya; 
Pertama, ulama yang menganggap makan kepiting halal. Pen­
dapat ini datang dari ulama  mazhab Maliki dan mazhab Hanbali,
yang menjelaskan bahwa kepiting halal dikonsumsi.  Dalam kitab
Al-Mughni, Ibnu Qudamah memberikan penjelasan terkait halalnya
kepiting sebagai berikut:

‫اب الْبَ ْح ِر َل َِي ُّل بِغَ ِْي ذَ َك ٍاة‬ ِ


ِّ ‫ش ِف الْبـَِّر م ْن َد َو‬
ِ
ُ ‫ ُك ُّل َما يَعْي‬ 

165
‫ب الْ َم ِاء إَِّل َما َل َد َم فِْي ِه‬ ُّ ‫َكطَِْي الْ َم ِاء َو‬
ِ ‫السلَ ْح َف ِاة وَك ْل‬
َ
 ‫اح بِغَ ِْي ذَ َك ٍاة‬ ِ ِ َّ ‫َك‬
ُ َ‫السَرطَان فَإنَّهُ يـُب‬
Setiap apa yang (dapat) hidup di daratan berupa binatang melata
laut itu tidak halal, tanpa disembelih (terlebih dahulu), seperti burung
laut, penyu, dan anjing laut. Kecuali binatang yang tidak memiliki
darah, seperti kepiting, maka boleh dimakan tanpa disembelih. 

Seorang ulama bermazhab Maliki bernama Ibnu Abdil Bar dalam


al-Kafi menyebutkan: 

‫َن َمالِكاً يَ ْكَرهُ ِخْن ِزيـَْر الْ َم ِاء‬


َّ ‫صْي ُد البَ ْح ِر ُكلُّهُ َح َل ٌل إَِّل أ‬ َ ‫َو‬
ِ َ‫السرط‬
‫ان‬ ََّ ‫س ِبَ ْك ِل‬ ْ
‫ب‬ ‫ل‬ َ‫و‬ ‫ه‬ ‫د‬
َ ‫ن‬
ْ ِ ‫ك َك ْلب الْم ِاء‬
‫ع‬ َ
ِ‫ِل ِْس ِه وَك َذل‬
َ َ َ ُ َ ُ َ
ِ
 ‫الض ْف َد ِع‬ ِ
ّ ‫السلَ ْح َفاة َو‬ُّ ‫َو‬
Dan binatang buruan laut semuanya halal, hanya saja imam
Malik memakruhkan babi laut karena namanya, begitu pula
anjing laut, menurutnya. Dan tidak haram memakan kepiting,
penyu, dan katak. 

Pendapat serupa dikatakan oleh Ibnu Muflih al Hanbali dalam


kitab al-Mubdi’ fi Syarh al-Muqni’ bahwa kepiting merupakan hewan
yang halal untuk dikonsumsi. Alasanya kebolehan memakan kepiting
adalah sebab darahnya tidak mengalir. Ibnu Muflih berkata:

ِ ِ َّ ‫ ِف‬- ‫َح َد‬


ُ‫ أَنَّه‬: ‫السَرطَان َو َسائ ِر الْبَ ْح ِر ْي‬ َ ْ ‫َي َع ْن أ‬
ْ ‫و َعْنهُ – أ‬ َ
 ‫السَرطَا َن َل َد َم فِْي ِه‬
َّ ‫َن‬َّ ‫َِي ُّل بِ َل ذَ َك ٍاة؛ ِل‬
Dan dari imam Ahmad tentang hukum kepiting dan berbagai
binatang laut: Ia halal sekalipun tidak disembelih, sebab kepiting
tidak memiliki darah (mengalir). 

166
Sementara menurut dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-
Kuwaitiyah dijelaskan bahwa ulama dari kalangan mazhab Hanbali
menyatakan kepiting hewan yang halal dimakan, tetapi dengan
syarat; kepiting itu harus disembelih dahulu. Tata cara menyembelih
kepiting adalah dengan melukai bagian tubuhnya hingga ia mati.
Si­mak penjelasan dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

ِ ‫ب ا لْم‬
‫اء‬ ِ ‫ َك َك ْل‬، ‫ان ا لْبـَرَمائِ ِي‬
ِ ‫اليـو‬ ِ ِ ْ ‫و َذ َهب‬
َ ّ ْ ََ َْ ‫الَنَا بلَةُ ف‬ َ َ
ِ ِ ِ ِ
:‫ َوقَ ْد قَالُوا‬..‫السَرطَان إِ َل أَنَّهُ إَِّنَا َيل ِبلتَّ ْذكيَة‬ ِ
َّ ‫السلَ ْح َفاة َو‬
ُّ ‫َو‬
‫ ِبَ ْن يـُْع َقَر ِف‬،ُ‫ان أَ ْن يـُْف َعل بِِه َما ُيِيتُه‬ِ َ‫السرط‬ ِ ِ ِ
َ َّ ‫إ َّن َكْيفيَّةَ ذَ َكاة‬
‫َي َم ْو ِض ٍع َكا َن ِم ْن بَ َدنِِه‬
ِّ ‫أ‬
Ulama Hanabilah berpendapat mengenai hukum hewan barma-i,
seperti anjing laut, kura-kura, dan kepiting, bahwa hukumnya
halal dengan syarat disembelih. Mereka mengatakan bahwa cara
menyembelih kepiting adalah mematikannnya dengan melukai
salah satu bagian tubuhnya.

Adapun ulama yang mengharamkan mengosumsi kepiting adalah


mazhab Syafi’i dan Hanafi. Menurut ulama Syafiiyah, alasan utama
haramnya memakan kepiting, sebab hewan itu termasuk jenis al-
hayawan al barmai  (ampibi) atau hewan yang bisa dalam dua alam;
hidup di darat dan laut, seperti halnya buaya, katak dan kura-kura.
Ini alasan keharamannya. Simak penjelasan Imam Nawawi berikut; 

ِ ‫ي ِمن َه َذا الضَّر‬ ٍِ


‫ب‬ ْ ْ ِ ْ ‫الََرَم‬ ُ ‫َو َع َّد الشَّْي ُخ أَبُو َحامد َوإِ َم‬
ْ ‫ام‬
‫الص ِحْي ِح‬
َّ ‫ب‬ َ
ِ ‫ و ُها ُمَّرم‬،‫السرطَا َن‬
ِ ‫ان َعلَى الْم ْذ َه‬ ََ ََ َ َّ ‫ع َو‬ ِّ
َ ‫الض ْف َد‬
ْ ‫ َوبِِه قَطَ َع‬،‫ص‬
 ‫الُ ْم ُه ْوُر‬ ِ ‫ص ْو‬
ُ ‫الْ َمْن‬
167
Syekh Abu Hamid dan Imam al-Haramain memasukkan katak
dan kepiting ke dalam jenis  binatang yang dapat hidup di dua
tempat. Dua binatang tersebut diharamkan menurut pendapat
yang shahih dan tercatat dalam mazhab. Dan menghukumi haram
ini, mayoritas ulama mazhab memutuskan.

Lebih jelas simak penjelasan Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-


Kuwaitiyah berikut;

‫الَيـََوا ُن ا لْبـَْرَمائِ ُّي أَ ِي ا لَّ ِذ ي يُْ ِك ُن‬ ْ ‫َوَْيُرُم ِعْن َد الشَّافِعِيَّ ِة‬
‫َعْي ُشهُ َدائِ ًما ِف ُك ٍّل ِم َن الْبـَِّر َوالْبَ ْح ِر إِ َذا َلْ يَ ُك ْن لَهُ نَ ِظريٌ ِف‬
،‫الَيَّ ِة‬
ْ ‫ َو‬،‫ان‬ ِ َ‫السرط‬
َ َّ ‫ َو‬،‫لض ْف َد ِع‬ ُّ ‫ َوقَ ْد َمثـَّلُوا لَهُ ِب‬.‫ول‬ ٌ ‫الْبـَِّر َمأْ ُك‬
‫ َوَْت ِرميُ َه َذا النـَّْو ِع‬.‫السلَ ْح َف ِاة‬ ُّ ‫ َو‬،‫اح‬ ِ ‫ َوالتِّ ْم َس‬ ،‫اس‬ ِ َ‫َّسن‬
ْ ‫َوالن‬
 ‫ض ِة‬ َّ  ‫ي ِف‬
َ ‫الرْو‬ ُّ ‫الرافِعِ ُّي َوالنـََّوِو‬
َّ ‫الْبـَْرَمائِ ِّي ُه َو َما َجَرى َعلَْي ِه‬
‫الرْملِ ُّي‬
َّ ُ‫َصلُ َها َو ْاعتَ َم َده‬
ْ ‫َوأ‬
Haram menurut ulama Syafiiyah hewan barma-i, yaitu hewan
yang bisa hidup lama di darat dan laut jika tidak ada hewan yang
sama dan dapat dimakan di darat. Ulama Syafiiyah mencontohkan
hewan barma-i ini dengan katak, kepiting, ular, nasnas, buaya,
kura-kura. Keharaman hewan barma-i ini adalah sebagaimana
dikatakan oleh Imam Al-Rafii, Imam Al-Nawai dalam kitab Al-
Raudah dan kitab asal Al-Raudhah, dan dipegang oleh Imam
Al-Ramli. 

Sedangkan mazhab Hanafi mengharamkan kepiting, karena


mazhab ini berpendapat bahwa binatang yang ada di laut yang
halal untuk dikonsumsi itu hanya ikan saja. Adapun binatang selain
ikan, maka hukumnya haram, sekalipun hewan itu hidup di laut. 
Hal ini dapat dirujuk pada pendaat Imam Ibnu Abidin Raddul

168
Muhtar Alad Durril Mukhtar, yang jelas mengungkapkan hal tersebut.
Berikut penjelasan Mazhab Hanafi; 

‫ث‬ٌ ‫ان الْ َم ِاء َو ِخْن ِزيْ ِرِه َخبِْي‬


ِ ‫ك ِمن َْن ِو إِنْس‬
َ ْ
ِ ‫السم‬
َ َّ ُ‫َوَما َع َدا أَنـَْواع‬
ِ ِ ِ
ُ‫(ه َو الطَّ ُه ْوُر َم ُاؤه‬ ُ ‫ث‬ ُ ْ‫ َو َحدي‬.‫َّح ِرِْي‬
ْ ‫ت الت‬ َ ‫فـَبَق َي َداخ ًل َْت‬
‫ك‬ َّ ُ‫الِ ُّل َميـْتـَتُهُ) الْ ُمَر ُاد ِمْنه‬
ُ ‫الس َم‬ ْ ‫َو‬
Dan selain berbagai macam ikan, seperti manusia laut (putri
duyung) dan hewan babi laut, adalah tergolong hewan yang
men­jijikkan dan dimasukkan pada kategori haram. Adapun hadits
Nabi yang berbunyi; (Laut itu suci airnya dan halal bangkainya),
maksudnya dari hadis ini adalah ikan.

Demikian perbedaan pendapat ulama empat mazhab terkait


hukum memakan dan mengosumsi kepiting. Semoga bermanfaat. 

169
Hukum Menghadiri Undangan
Acara Ulang Tahun

KETIKA ADA KELUARGA, teman dan tetangga yang mengadakan


acara ulang tahun, terkadang kita diundang untuk hadir merayakan
ulang tahunnya. Bagaimana hukumnya jika kita menghadiri un­
dangan acara ulang tahun, apakah boleh?
Menghadiri undangan acara ulang tahun, dan acara-acara
lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, adalah
boleh. Kita tidak dilarang untuk menghadiri acara ulang tahun
kerabat, teman dan lainnya. Menurut ulama Hanabilah, menghadiri
undangan acara apapun, baik acara yang memiliki nama tertentu
seperti acara ulang tahun, atau tidak memiliki nama tertentu,
hukumnya adalah boleh.
Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah
Al-Kuwaitiyah berikut;

‫ات الْ ُم َس َّم ِاة َو َغ ِْي‬ِ ‫جي ِع الدَّعو‬


ََ
َِ ‫ األْصل ِف‬:ُ‫النَابِلَة‬
ْ َْ ‫َوقَال‬
‫صل ِف األْ ْشيَ ِاء‬ ِ
ْ ْ‫ أل َّن األ‬،ٌ‫احة‬
ِ ِ
ْ ‫ أ‬،ٌ‫الْ ُم َس َّماة أَنـََّها َجائَزة‬
َ َ‫َي ُمب‬
‫يمةُ الْعُْر ِس‬ ِ‫ ول‬:‫اإلْبحةُ ويستـثـن ِمن َذلِك ثَالَثَةُ أَنـو ٍاع وِهي‬
َ َ َ َ َْ َ ْ َْ َ ْ ُ َ َ َ
171
،ٌ‫ َوا لْ َع ِقي َقةُ فَِإ نـََّها ُسنَّة‬،ٌ‫اجبَة‬
ِ ‫ وقِيل و‬،ٌ‫فَِإ نـَّها سنَّةٌ م َؤَّك َد ة‬
َ َ ُ ُ َ
‫ت‬ ِ
ِ ‫والْمأْ َت فَِإنَّه م ْكروه وهو اجتِماع النِّساء ِف الْمو‬
َْ َ ُ َ ْ ََُ ٌ ُ َ ُ ُ َ َ
Hukum asal menghadiri undangan acara apapun, baik acara yang
memiliki nama atau tidak, hukumnya adalah boleh. Ini karena
hukum asal segala sesuatu adalah boleh dilakukan. Hanya
saja terdapat tiga acara yang dikecualikan dari hukum asal
tersebut. (Pertama), Walimatul urs, hukumnya adalah sunnah
muakkadah, dan sebagian ulama mengatakan wajib. (Kedua),
akikah, hukumnya adalah sunnah. (Ketiga), ma’tam, hukumnya
adalah makruh. Ma’tam ialah berkumpulnya perempuan saat
ada kematian seseorang.

Selain itu, tujuan kita menghadiri undangan acara ulang tahun


adalah untuk memberikan kebahagiaan dan mendoakan panjang
umur kepada kerabat, teman yang sedang merayakan ulang tahun.
Dalam Islam, mendoakan orang lain agar diberikan panjang umur,
terutama ketika di momen spesial seperti ulang tahun, hukumnya
adalah boleh. Kebolehan ini sebagaimana telah dicontohkan oleh
Nabi Saw ketika beliau mendoakan panjang umur kepada Anas
bin Malik.
Dalam sebuah hadis yang disebutkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah
dari Anas bin Malik, dia berkisah;

، ‫اللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ ِ ‫ت ِب أ ُِمي إِ َل رس‬


َ ‫الل‬ َُ ّ ْ َ‫َذ َهب‬
‫ال اللَّ ُه َّم‬
َ َ‫ ق‬، ُ‫اللَ لَه‬َّ ُ‫ك ْادع‬ ِ َِّ ‫ول‬
َ ‫ ُخ َويْد ُم‬، ‫الل‬ َ ‫ َي َر ُس‬: ‫ت‬ ْ َ‫فـََقال‬
ِ ِ ِ
ُ‫ َوا ْغف ْر َذنـْبَه‬، ُ‫ َوأَط ْل عُ ْمَره‬، ُ‫ َوَولَ َده‬، ُ‫أَ ْكث ْر َمالَه‬
Ibuku pIergi bersamaku menuju Rasulullah saw. Kemudian ibuku
berkata kepada Rasulullah saw, ‘Wahai Rasulullah, pelayan

172
kecilmu, doakanlah kepada Allah untuknya. Kemudian Rasulullah
saw berdoa; ‘Ya Allah, perbanyaklah harta dan anak Anas bin
Malik, dan panjangkan umurnya serta ampuni dosanya.

Hadis ini dijadikan dalil oleh para ulama mengenai kebolehan


mendoakan orang lain agar diberi panjang umur. Bahkan melalui
hadis ini, Ibnu Hajar Al-Haitami menegaskan mengenai kebolehan
berdoa agar diberi panjang umur, baik untuk diri sendiri maupun
untuk orang lain. Beliau berkata dalam kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyah
Al-Kubra sebagai berikut;

‫اللُ َعلَْي ِه‬ ِ ِ


َ - ‫ُّعاءُ بِطُول الْعُ ُم ِر َك َما َد َعا بِه‬
َّ ‫صلَّى‬ َ ‫وز الد‬
ُ ُ‫َي‬
‫س‬ٍ َ‫ ِلَن‬- ‫َو َسلَّ َم‬
Boleh berdoa agar diberi panjang umur, sebagaimana Nabi Saw
berdoa untuk Anas bin Malik.

173
Hukum Mengucapkan
Barakallahu fi Umrik Saat
Ulang Tahun, Apakah Boleh?

KETIKA ADA TEMAN KITA yang sedang berulang tahun atau


mengadakan acara ulang tahun, kita sering mengucapkan selamat
ulang tahun padanya. Bahkan terkadang hal ini kita sertai dengan
ucapan ‘Barakallahu fi umrik’, atau semoga Allah memberkahi
usiamu. Bagaimaimana hukum mengucapkan barakallahu fi umrik
saat ulang tahun, apakah boleh?
Mengucapkan ‘Barakallahu fi umrik’ dan ucapan selamat lainnya
kepada orang yang sedang berulang atau mengadakan acara ulang
tahun hukumnya adalah boleh. Tidak masalah kita mendoakan
keberkahan umur pada orang lain, apalagi di momen spesial seperti
saat dia bertambah umur atau berulang tahun.
Hal ini karena dalam banyak kesempatan, Nabi Saw sering
mendoakan para sahabatnya dengan keberkahan, terutama ketika
para sahabatnya sedang berada dalam momen kebahagiaan. Mi­
salnya, ketika ada di antara para sahabatnya yang sedang menikah,
beliau mengucapkan doa keberkahan kepadanya.
Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Ahmad,
dari Abu Hurairah, dia berkata;

175
‫ان إِ َذا تـََزَّو َج‬
ً ‫َّب صلى هللا عليه وسلم َكا َن إِ َذا َرفَّأَ إِنْ َس‬ َّ ‫أ‬
َّ ِ‫َن اَلن‬
‫ك َو َجَ َع بـَيـْنَ ُك َما ِف َخ ْي‬ َ ‫ك َوَب َرَك َعلَْي‬
َ َ‫ال َب َرَك اَ َّللُ ل‬َ َ‫ق‬
Sesungguhnya Nabi Saw bila mendoakan seseorang yang nikah,
beliau bersabda; Semoga Allah memberkahimu dan menetapkan
berkah atasmu, serta mengumpulkan engkau berdua dalam ke­
baikan.

Selain itu, Nabi Saw juga pernah mendoakan panjang umur dan
keberkahan untuk Anas bin Malik. Ini sebagaimana disebutkan
dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari, bahwa Anas bin Malik
berkata;

،‫ك‬ ِ َّ َّ َ ‫للنيب‬ ٍ
َ ‫س َخاد ُم‬ ٌ َ‫ أن‬:‫صلى هللاُ عليه وسل َم‬ ِّ ‫ت أ ُُّم ُسلَْيم‬ ْ َ‫قال‬
ِ ِ
ْ ‫وب ِرْك له فيما‬
ُ‫أعطَيـْتَه‬ َ ُ‫ اللَّ ُه َّم أ ْكث ْر َمالَه‬:‫قال‬
َ ُ‫وولَ َده‬ َ
Ummu Sulaim pernah berkata kepada Nabi Saw; Anas ini adalah
pelayanmu. Lalu Nabi Saw berkata;  Ya Allah, perbanyaklah harta
dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan
padanya.

Dua hadis di atas menunjukkan bahwa mendokan keberkahan


umur, keberkahan rezeki, panjang umur, dan doa kebaikan lainnya
kepada orang lain hukumnya boleh, terutama ketika dia berada
dalam momen kebahagiaan, seperti saat dia berulang tahun dan
momen-momen spesial lainnya.

176
Mengucapkan ‘Barakallahu fi umrik’ dan
ucapan selamat lainnya kepada orang yang
sedang berulang atau mengadakan acara ulang
tahun hukumnya adalah boleh. Tidak masalah
kita mendoakan keberkahan umur pada orang
lain, apalagi di momen spesial seperti saat dia
bertambah umur atau berulang tahun.
Hidup Minimalis
di Era Modern

DI NEGERI INI, setiap hari kita disuguhkan dengan kabar tentang


keserakahan. Keserakahan seolah bagian ritus tak terelakkan di
era modern. Pun saban hari kita bersua dengan orang yang meng­
ekploitasi sumber daya alam rakyat kecil. Lintasan detik, kita bersua,
orang kecil menangis akibat ditipu manusia tak bertanggungjawab.
Lantas kita bertanya, apa penyebab persoalan ini? Tak bisa
dipungkiri, manusia dihinggapi hawa nafsu. Keinginan yang
selalu menggebu-gebu, ingin memiliki segalanya; harta, tahta, dan
jabatan. Bila nafsu ini tak terkontrol, maka manusia akan senantiasa
terjerumus dalam keserakahan apik. 
Muncul persoalan, apakah Islam melarang seseorang  menjadi
kaya? Apakah Islam melarang mencari harta duniawi? Tidak. Al-
Qur’an dengan jelas mengatakan duniawi dan akhirat harus seimbang.
Islam tak ingin manusia memfokuskan diri pada duniawi, lantas
melupakan akhirat. Begitu pun sebaliknya, sibuk urusan akhirat,
sehingga lupa bahwa ia masih di dunia. Islam ingin kehidupan
manusia seimbang. Al-Qur’an Q.S al Qishas / ;77, Allah berfirman;

179
‫ك ِم َن‬ ِ َ‫الل الدَّار ْال ِخرَة ۖ وَل تـْنس ن‬ ِ
َ َ‫صيب‬ َ َ َ َ َ َُّ ‫آت َك‬ َ ‫يما‬
َ ‫َوابـْتَ ِغ ف‬
َ ‫اللُ إِلَْي‬
‫ك ۖ َوَل تـَْب ِغ الْ َف َس َاد ِف‬ ِ ‫الدنـيا ۖ وأ‬
َّ ‫َح َس َن‬ ْ َ َْ ُّ
ْ ‫َحس ْن َك َما أ‬
ۖ‫ض‬ ِ ‫ْال َْر‬
Carilah apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu (berupa
kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi.

Ayat ini secara tegas menyuruh manusia agar seimbang antara


urusan dunia dan akhirat. Tak timpang sebelah. Bila berat pada
urusan dunia, maka akan terlupakan kehidupan akhirat. Dan jika
urusan dunia telah menguasai kehidupan seorang manusia, maka
yang akan muncul adalah sikap biadab, serakah, dan tamak.

Hidup Minimalis Implementasi Tentang Zuhud 

Nah, salah satu usaha agar manusia tak tenggelam dalam lubang
serakah dan tamak adalah menjalani kehidupan dengan zuhud.
Sikap zuhud bukan berarti tak ingin dunia. Zuhud bukan berarti
hidup miskin dan fakir. Konsep zuhud jauh dari gambaran tersebut.
Zuhud menempati maqam tertinggi. Tak sembarang orang bisa
menggapainya. Ibarat kelas, zuhud berada dalam level atas. Untuk
menggapai taraf zuhud butuh usaha yang besar. Dan juga mem­
butuhkan sarana yang efektif.
Sejatinya, zuhud tempatnya di hati. Ia erat kaitannya dengan
hati yang luhur. Makna ringkas zuhud adalah kosongnya hati
dari selain Allah. Syekh Abdul Qadir al Jailani dalam kitab Fath al
Rabbani menuliskan terkait zuhud; “Keluarkanlah dunia dalam hati

180
mu. Lantas letakkan dunia itu di tangan mu. Bila, taruh dunia itu
disaku mu. Bila sudah engkau lakukan, niscaya dunia itu takkan
membahayakan mu,”.
Di era modern ini, konsep zuhud, bisa diterjemahkan dengan
hidup minimalis. Konsep ini adalah hidup sederhana. Tak mabuk
oleh pelbagai harta dunia. Tidak serakah. Tidak boros.  Hidup
minimalis, hidup yang tidak dikontrol oleh hawa nafsu.
Lebih lanjut, pola hidup minimalis bisa diimplementasikan di era
modern ini dengan membeli barang yang betul-betul dibutuhkan.
Bukan barang yang ia ingin. Pasalnya, bila membeli atau belanja
barang yang kita inginkan, akan membawa kemudharatan. Hal itu
membuat barang yang tak terpakai.
Islam telah lama mengajarkan tentang konsep sederhana. Dalam
Al-qur’an tertera jelas Allah melarang manusia berlebihan. Allah
melarang mengkomsumsi makanan, barang, minuman secara ber­
lebihan. Pasalnya, sikap berlebihan—mubazzir—, adalah saudara
setan.
Lebih dari ini semua, sikap minimalis, sederhana, dan zuhud
ini mampu menghindarkan manusia dari sikap tamak dan serakah.
Bukankan sikap tamak dan serakah itu bersumber dari anggota
tubuh yang berada sejengkal dari pusat; yakni perut. Pendek kata;
zuhud adalah pengahalang manusia terjebak dalam kehancuran
dan kebinasaan yang disebabkan perut.

181
Bulu Kucing yang Rontok,
Apakah Najis?

KUCING MERUPAKAN hewan yang banyak dipelihara masyarakat


Indonesia. Kucing merupakan hewan suci, baik kucing liar maupun
kucing rumahan. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.
“Kucing itu bukan hewan najis, karena ia seringkali berkeliling
di rumah kalian (HR Tirmidzi).
Imam al-Shan’ani berpendapat dalam kitab Subul al-Salam,
hadis ini mengindikasikan bahwa Allah menjadikan kucing
sebagai hewan yang suka membantu karena keseringan in­
teraksinya dengan manusia sebagai pemeliharanya. Selain itu,
hadis ini juga merupakan dispensasi dari Allah yang menjadikan
kucing sebagai hewan yang tidak najis. Bekas jilatan kucing
pun dianggap suci.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Imam Ibnu Qudamah meng­
anggap bulu kucing yang rontok sebagai bulu yang suci. Ia berkata
dalam kitab al-Mughni sebagai berikut: 

‫ُك ُّل َحيـََو ٍان ُح ْك ُم ِج ْل ِد ِه َو َش ْع ِرِه َو َعَرقِ ِه َوَد ْمعِ ِه َولُ َعابِِه ُح ْك ُم‬
‫اس ِة‬
َ ‫َّج‬َ ‫ُس ْؤِرِه ِف الطَّ َه َارِة َوالن‬
183
Hukum setiap kulit, rambut, keringat, air mata, dan ludah hewan
itu tergantung dari kesucian atau najis jilatan hewan tersebut.

Karena jilatan kucing termasuk yang suci, bulu kucing yang


rontok pun dianggap suci menurut pendapat ini. 
Terkait status hukum bulu hewan yang tak halal dimakan da­
gingnya, termasuk bulu kucing yang rontok, ulama fikih berbeda
pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa bulu hewan yang
tak halal dimakan dagingnya, seperti kucing, itu dihukumi suci. Hal
ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah.
Selain itu, Syekh al-Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma‘bud men­
jelaskan bahwa kucing liar maupun kucing rumahan itu haram
dikonsumsi. Pasalnya, kucing  merupakan hewan yang meiliki taring.
Dalam fikih, binatang bertaring dan menggunakan taring tersebut
untuk memangsa, maka dasarnya haram dikonsumsi.
Penjelasan terkait haramnya mengkomsumsi kucing juga di­
katakan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-
Muhadzab. Imam Nawawi menambahkan kucing juga terkadang
hewan yang memakan bangkai, layaknya binatang buas lain. simak
penjelasan berikut ini;

‫اللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬


َّ ‫صلَّى‬ ِ ِ ‫وَل َِي ُّل‬
َ ‫َّب‬ َ ‫السنـُّْوُر ل َما ُرِو‬
َّ ‫ي أ‬
َّ ِ‫َن الن‬ ّ َ
ِ ‫اد ِبلن‬ ِ َ َ‫ق‬
‫ف فـَُه َو‬ َ ‫الَْي‬ ْ ‫َّاب َو َيْ ُك ُل‬ ُ َ‫صط‬ ْ َ‫ال (ا ْلَّرةُ َسبُ ٌع) َوِلَنَّهُ ي‬
‫َس ِد‬
َ ‫َك ْال‬
Kucing itu tidak halal, karena terdapat sabda Nabi yang menya­
takan bahwa kucing itu termasuk hewan memangsa. Kucing
memangsa dengan taring dan terkadang memakan bangkai
sebagaimana singa.

184
Hukum setiap kulit, rambut, keringat, air mata,
dan ludah hewan itu tergantung dari kesucian
atau najis jilatan hewan tersebut.
Hukum Fotografi dalam Islam

TAK PELAK LAGI, saat ini berfoto menggunakan kamera, terutama


dari kamera Handphone android diperbuat hampir semua orang.
Bisa dibilang, berfoto di zaman ini menjadi gaya hidup (lifestyle)
manusia sehari-hari. Nah, dalam Islam, apakah fotografi atau berfoto
diperbolehkan ulama fikih?
Menurut Syekh Wahbah Al-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa
Adillatuhu,  berfoto atau fotografi  hukumnya boleh. Gambar yang
dihasilkan melalui kamera gawai hukumnya boleh, tidak dilarang
dalam Islam. Adapun alasan kebolehan fotografi itu sebab berbeda
dengan yang dikatakan dalam sabda Nabi. 
Pasalnya, fotografi itu tidak menciptakan obyek baru yang
menyerupai penciptaan Allah. Toh, pada hakikatnya, fotografi
atau berfoto menggunakan kamera hanya merekam peristiwa yang
sudah ada. Ibarat gambar dari cermin. Atau ibarat manusia yang
berkaya di depan cermin.
Simak penjelasan dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu
berikut;

187
‫ َوَل َمانِ َع ِم ْن‬،‫َّم ِسي أ َْو اخلَيَ ِال فـََه َذا َجائٌِز‬ ْ ‫َّص ِويـُْر الش‬
ْ ‫أ ََّما الت‬
‫ب ِف إِ َب َح ِة‬ ‫ب‬‫الس‬
َّ ‫و‬ ،‫ا‬ ‫ه‬ ِ
‫ي‬ ‫غ‬
َ ‫و‬ ‫ل‬ِ‫الَيالِيَّ ِة ِف املنَا ِز‬
ْ ِ
‫ر‬ ‫و‬ ‫الص‬
ُّ ‫ق‬ ِ ‫ي‬ ِ‫تـعل‬
َُ َ َ ْ َ َ َ َ ْ َْ
‫ص ِويْراً لُغَةً َوَل‬ ْ َ‫ص ِويـَْرَها َل يُ َس َّمى ت‬ َّ ‫ أ‬:‫الَيَالِيَّ ِة‬
ْ َ‫َن ت‬ ْ ‫الص َوِر‬
ُّ
،‫َّص ِويْ ِر ِف َع ْه ِد النـُّبـَُّوِة‬ ِ
ْ ‫َّم م ْن بـَيَان َم ْع َن الت‬
ِ ‫ لِما تـ َقد‬،‫َشرعا‬
َ َ َ ًْ
‫ ِمثْ ُل‬،‫الص ْوَرِة‬ ُّ ‫َّص ِويـَْر يـَُع ُّد َحْبساً لِل ِظّ ِّل أ َْو‬ ْ ‫َن َه َذا الت‬ َّ ‫َوِل‬
‫الص ْوَرِة ِف الْ َم ِاء‬
ُّ ‫الص ْوَرِة ِف الْ ِم ْر ِآة َو‬
ُّ
Adapun hukum gambar dari hasil kamera atau lukisan itu boleh,
dan tidak ada larangan untuk menggantungkan gambar animasi
di rumah dan lainnya. Sebab kebolehan gambar kamera adalah
karena proses menggambarnya tidak disebut menggambar secara
bahasa maupun syari.at, sebagaimana penjelasan mengenai
menggambar di zaman kenabian. Juga karena gambar dari kamera
hanya merekam bayangan atau gambar, sebagaimana gambar
dalam cermin dan dalam air.

Demikian penjelasan hukum fotografi atau bergambar dalam


Islam. Hal itu diperbolehkan, sama ada menggunakan kamera gawai
atau kamera canon atau apapun yang bisa dipergunakan untuk
memotret. Fotografi seyogianya berbeda jauh dengan sabda Nabi
terkait larangan membuat makhluk ciptaan lain. semoga bermanfaat.

188
Pasalnya, fotografi itu tidak menciptakan
obyek baru yang menyerupai penciptaan Allah.
Toh, pada hakikatnya, fotografi atau berfoto
menggunakan kamera hanya merekam peristiwa
yang sudah ada. Ibarat gambar dari cermin. Atau
ibarat manusia yang berkaya di depan cermin.
Hukum Mewarnai Rambut

SAAT INI BANYAK SEKALI SALON yang menawarkan mewarnai.


Warna rambut yang ditawarkan bermacam-macam, mulai dari hitam,
putih, merah, kuning, hingga merah. Semua warna tersedia, tinggal
pelanggan yang mau mesan warna yang diinginkan. 
Nah dalam Islam bagaimana hukum mewarnai rambut? Para
ulama membolehkan mewarnai rambut dengan warna merah dan
kuning. Kesunahan mewarnai rambut tersebut sesuai dengan sebuah
hadis yang terdapat dalam  Sunan Abu Daud  nomor 4211; 

‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬َ ‫َّب‬ ِ


ِّ ‫ َمَّر َعلَى الن‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫اس‬ ٍ َّ‫َع ِن ابْ ِن َعب‬
:‫ال‬ َ َ‫َح َس َن َه َذا" ق‬ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫"م‬ : ‫ال‬
َ ‫ق‬
َ ‫ـ‬ ‫ف‬ ، ِ ‫رجل قَ ْد خضَّب ِب ْلِن‬
‫َّاء‬
ْ َ َ َ َ ٌ َُ
‫َح َس ُن‬ ِ ‫فَمَّر آخر قَ ْد خضَّب ِب ْلِن‬
َ ‫ فـََق‬،‫َّاء َوالْ َكتَِم‬
ْ ‫"ه َذا أ‬ َ :‫ال‬ َ َ َُ َ
:‫ال‬ ُّ ‫َّب ِب‬
َ ‫ فـََق‬،‫لص ْفَرِة‬ َ ‫آخُر قَ ْد َخض‬ َ ‫ فَ َمَّر‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،"‫ِم ْن َه َذا‬
"‫َح َس ُن ِم ْن َه َذا ُكلِّ ِه‬
ْ ‫"ه َذا أ‬
َ
Dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Seorang yang menyemir rambutnya

191
dengan hinna melewati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
maka beliau berkata, ‘Bagus sekali orang itu.’  Kemudian lewat
lagi seseorang di depan beliau seorang yang menyemir rambutnya
dengan hinna dan katm, maka beliau berkata, ‘Bagus sekali orang
itu.’ Kemudian lewat lagi seseorang yang menyemir rambutnya
keemasan, maka beliau berkata, “yang ini lebih baik dari yang
lainnya”

Sedangkan mewarnai rambut dengan warna hitam itu terdapat


perbedaan pendapat. Ada ulama yang mengharamkan, ada pula
yang menghukumi makruh tanzih, bahkan ada yang mengatakan
haram mewarnai dengan warna hitam. 
Adapun ulama yang mengharamkan mewarnai rambut dengan
warna hitam adalah Syaikh Dr. Mushtofa al Khin dan Syaikh Dr.
Musthofa Bugho dalam al-Fiqh al-Manhaji ‘ala al-Mazhab al-Syafi’i.
Dalil dilarangnya menyemir rambut dengan warna hitam adalah
hadis riwayat Imam Muslim, yang berasal dari Jabir bin Abdillah,
beliau berkata,

ِ ِ ِ
،‫اضا‬ ْ ِ‫أَتَى ب‬
ً َ‫ َوَرأْ ُسهُ َولْيـَتُهُ َكالثـَّغَ َامة بـَي‬،‫َب قُ َحافَةَ يـَْوَم الْ َفْت ِح‬
‫ َغِّيُْوا َه َذا بِ َش ْي ٍء‬:‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ
َ ‫ال َر ُس ْو ُل هللا‬ َ ‫فـََق‬
َّ ‫اجتَنِبـُْوا‬
‫الس َو َاد‬ ْ ‫َو‬
“Abu Quhafah, ayah Abu Bakar, tiba bersama (orang-orang) di
Hari Kemenangan (yaum al-Fath, masuknya kembali umat Islam
ke kota Mekkah). Rambut dan jenggotnya layaknya tanaman al-
tsaghaamah (jenis rumput berdaun putih) yang berwarna putih.
Lalu Rasulullah Saw. bersabda: “Ubahlah dengan warna lain
tapi jauhi warna hitam!” 

Sementara itu Imam An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh


al-Muhadzdzab,  menjelaskan secara panjang lebar terkait hukum

192
mewarnai rambut dengan warna hitam. Imam Nawawi mengatakan
setidaknya ada tiga hukum yang muncul terkait masalah ini; makruh,
makruh tanzih, dan haram (yang kuat adalah haram hukumnya).
Imam Nawawi berkata;

َّ‫ ُث‬،‫لس َو ِاد‬ َّ ‫الرأْ ِس أَ ِو اللِّ ْحيَ ِة ِب‬


َّ ‫اب‬ ِ ‫ض‬ ِ
َ ‫َواتـََّف ُق ْوا َعلَى َذِّم خ‬
ِ ‫ي ِف ((التـَّه‬ ِ
))‫ب‬ ُ ْ ‫ي‬
ْ ‫ذ‬ ْ ُّ ‫ َوالبـَغَ ِو‬،))ُ‫ال ِ ْف ((اإل ْحيَاء‬ ُّ ِ‫ال الغََز‬ َ َ‫ق‬
‫اه ُر ِعبَ َاراتِِ ْم‬ ِ َ‫ وظ‬.‫ هو م ْكروه‬:‫اب‬
َ ُ َ ٌ ْ َ ُ ِ ‫َصح‬
َ ْ ‫أل‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ِ ‫وآخرو َن‬
‫م‬
َ َُْ َ
‫ َوِم َّْن‬.‫اب أَنَّهُ َحَر ٌام‬ َّ ‫الص ِحْي ُح بَل‬
ُ ‫الص َو‬ َّ ‫ َو‬،‫أَنَّهُ َكَر َاهةُ تـَْن ِزيٍْه‬
‫الص َل ِة‬
َّ ‫ب‬ ِ ‫احب ((احلا ِوي )) ِف ب‬
َ ْ ْ َ ُ ‫ص‬
ِ : ‫صَّرخ بِتَح ِرْيِِه‬
َ ْ َ َ
ِ ‫ال ِف‬ ِ ِ ِ َ َ‫ ق‬،‫ِبلنَّجاس ِة‬
‫آخ ِر‬ ْ َ َ‫ َوق‬،‫ إَّل أَ ْن يَ ُك ْو َن ِف اجل َهاد‬:‫ال‬ َ َ
‫َّاس‬ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ب‬ ‫س‬ِ ‫ت‬
َ ‫ح‬ ‫ـم‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ع‬ ‫ن‬
َ ‫ي‬
َْ :)) ‫ة‬
ُ ‫ي‬ِ
َّ ‫ان‬َ‫ط‬ ‫ل‬
ْ ‫الس‬
ُّ ‫ام‬‫ك‬َ ‫َح‬ ‫أل‬ ‫((ا‬ : ِِ‫كِتَاب‬
‫ه‬
َ ُ ْ ُ ُ ُ ْ
ِ ‫لسو ِاد َّإل الـمج‬
.‫اه َد‬ ِ ِ ِ َ ‫ِمن ِخ‬
َُ َ َّ ‫ضاب الشَّْيب ب‬ ْ
“Ulama sepakat atas tercelanya menyemir rambut atau jeng­
got dengan warna hitam. Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’
Ulumiddin, Imam Abu Muhammad al-Baghawi dalam kitab
at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’, serta ulama bermazhab
asy-Syafi’i yang lain berpendapat menyemir dengan warna hitam
hukumnya makruh. Secara eksplisit pendapat mereka mengarah
pada makruh tanzih (perbuatan terlarang tanpa dosa namun
menyalahi adab). Pendapat yang shahih bahkan pendapat yang
benar ialah hukum haram bagi menyemir dengan warna hitam.

Yang secara gamblang menyatakan haram adalah pengarang


kitab al-Hawi al-Kabir (Imam Abu al-Hasan al-Mawardi) dalam
bab ‘Salat dengan Membawa Najis’. Ia berkata: ‘boleh menye­
mir dengan warna hitam bila dalam keadaan jihad’. Ia juga

193
berpendapat dalam akhir kitabnya, al-Ahkam as-Sultaniyah:
‘Aparat seharusnya melarang orang-orang menyemir uban dengan
warna hitam kecuali yang sedang berjihad’

Meski begitu, ada juga ulama yang mebolehkan mewarnai rambut


dengan warna hitam. Ulama tersebut adalah Ibnu Qayyim Al Jauzi
dalam Zad al Ma’ad. Tetapi dengan catatan, penyemiran rambut
menggunakan warna hitam tidak dibarengi dengan tujuan menipu
atau mengelabuhi orang lain. Ibnu Qayyim berkata; 

ِ
‫ص َّح َع ِن احلَ َس ِن‬َ ‫اعا فـََق ْد‬ َ َ‫فَأ ََّما إِ َذا َلْ يـَت‬
ً ‫ض َّم ْن تَ ْدلْي ًسا َوَل َخ َد‬
‫لس َو ِاد‬ ِ ‫ان َيْضب‬
َّ ‫ان ِب‬ ِ ِ ‫واحلس‬
َ َ ‫ي َرض َي هللاُ َعنـْ ُه َما أَنـَُّه َما َك‬ َْ ُ َ
“Jika menyemir dengan warna hitam tidak ada unsur menipu dan
mengelabuhi, maka sungguh ada riwayat shahih tentang al-Hasan
ra. dan al-Husein ra. bahwa mereka mewarnai rambut mereka
dengan warna hitam.”

194
“Jika menyemir dengan warna hitam tidak ada
unsur menipu dan mengelabuhi, maka sungguh
ada riwayat shahih tentang al-Hasan ra. dan
al-Husein ra. bahwa mereka mewarnai rambut
mereka dengan warna hitam.”
Sayuran  Dipupuk Pakai Kotoran
Hewan, Haramkah Memakannya?

PUPUK ORGANIK merupakan jenis  pupuk yang biasa dipakai


oleh petani Indonesia. Pasalnya, pupuk kosmos membuat tanaman
menjadi subur. Biasanya pupuk organik berasal dari kotoran hewan
ternak seperti ayam, sapi, kambing,kerbau dan kuda. Nah, dalam
Islam bagaimana hukum makan sayuran yang dipupuk mengguna­
kan kotoran hewan aatu najis?
Adapun Imam Nawawi dalam kitab al Majmu’ Syarah al Muhadzab,
mengatakan boleh hukumnya memakan sayur-sayuran atau buah-
buahan yang dipupuk dengan kotoran hewan atu najis. Lebih lanjut,
buah-buahannya pun dianggap suci. Pun sayurannya dianggap
suci, dan juga halal untuk dikonsumsi. 
Simak penjelasan Imam Nawawi berikut;

ِ ‫ال الْم‬ ِ ‫ض ِب َّلزب ِل الن‬


‫ب‬ ِ ‫ف ِف ب‬
َ ُ ّ‫صن‬ َ ُ َ َ‫س ق‬ ِ ‫َّج‬ ْ ِ ‫يد ْال َْر‬ ُ ‫وز تَ ْس ِم‬ ُ ُ‫َي‬
‫ال َإم ُام‬َ َ‫وز َم َع الْ َكَر َاه ِة ق‬
ُ ُ‫َص َحابِنَا َي‬
ِ
ْ ‫وز بـَيـْعُهُ َو َغيـُْرهُ م ْن أ‬
ُ ُ‫َما َي‬
ِ َ‫الصي َدَلِِن ما يـ ْقت‬ ِ ِ ِ ْ ‫الَرَم‬
‫ضي‬ َ َ ّ ْ َّ ‫َح ٌد َوِف َك َلم‬ َ ‫ي َوَلْ يَْنَ ْع مْنهُ أ‬ َْ

197
‫اب الْ َقطْ ُع ِبَ َوا ِزِه َم َع الْ َكَر َاه ِة‬ َّ ‫ِخ َلفًا فِ ِيه َو‬
ُ ‫الص َو‬
Artinya; Boleh hukumnya memberi pupuk pada tanah dengan
pupuk/kotoran yang najis. Demikian disebutkan oleh penulis
kitab (Imam Syairazi) ketika menyebut dalam bab terkait  barang/
perkara yang boleh diperjualbelikan. Pada sisi lain, sebagian
ulama kami (Ulama Syafi’i) ada yang mengatakan boleh— memberi
pupuk yang berasal dari najis—, tetapi dihukumi makruh. Imam
Haramain pun tak melarang pupuk dari najis.  

Meski demikian, ada juga ulama yang lain yang menyelisihi


pendapat ini. Namun pendapat yang melarang itu tidaklah tepat,
yang benar adalah boleh pemanfaatan pupuk yang najis namun
disertai makruh.
Pendapat serupa juga dikatakan oleh Syekh Sulaiman bin Umar
bin Muhammad Al-Bujairimi dalam kitab Hasyiyah Al-Bujairimi. Ia
mengatakan bahwa kehalalan memakan buah-buahan atau sayuran
yang dipupuk menggunakan kotoran hewan sebab yang dimakan
bukan materi dari kotoran tersebut, melainkan benda yang sudah
dalam wujud lain. Simak penjelsan Syekh Sulaiman bin Umar bin
Muhammad Al-Bujairimi berikut;

‫س َولَ ْو ِم ْن‬ ِ ِْ ‫ض ِب ِلزب ِل ودبغ‬ ُ ‫َوَِي ُّل تَ ْس ِم‬


َ ‫ال ْلد ِبلن‬
ِ ‫َّج‬ ُ ْ َ َ ّْ ِ ‫يد ْال َْر‬
‫ُمغَلَّ ٍظ َم َع الْ َكَر َاه ِة فِي ِه َما‬
Boleh hukumnya merabuk tanah dengan kotoran binatang dan
menyamak kulit dengan najis meskipun dengan najis mughalladzah
(anjing dan babi) disertai makruh pada keduanya.

Demikian penjelasan terkait kebolehan memakan sayuran yang


dipupuk dengan pupuk organik atau kotoran hewan. Semoga ber­
manfaat. 

198
Boleh hukumnya memberi pupuk pada tanah
dengan pupuk/kotoran yang najis. Demikian
disebutkan oleh penulis kitab (Imam Syairazi)
ketika menyebut dalam bab terkait  barang/
perkara yang boleh diperjualbelikan. Pada sisi
lain, sebagian ulama kami (Ulama Syafi’i) ada
yang mengatakan boleh— memberi pupuk yang
berasal dari najis—, tetapi dihukumi makruh.
Imam Haramain pun tak melarang pupuk dari
najis.
Hukum Memajang Kaligrafi Nama
Nabi Muhammad di dalam Rumah

MEMAJANG KALIGRAFI NAMA NABI MUHAMMAD SAW di dalam


rumah merupakan salah satu kebiasaan yang dilakukan oleh
kalangan masyarakat Indonesia. Biasanya kaligrafi nama Nabi
Muhammad Saw ini disandingkan dengan kaligrafi lafadz Allah.
Bagaimana hukum memajang kaligrafi nama Nabi Muhammad Saw
di dalam rumah ini, apakah boleh?
Memajang kaligrafi nama Nabi Muhammad Saw di dalam rumah,
baik disandingkan dengan kaligrafi lafadz Allah maupun tidak,
hukumnya adalah boleh. Tidak masalah kita memajang kaligrafi
nama Nabi Muhammad Saw di dalam rumah maupun di tempat
lainnya, seperti di dalam mobil, kantor dan lainnya.
Memajang kaligrafi nama Nabi Muhammad Saw di dalam rumah
maupun tempat lainnya termasuk bagian dari bertabarruk atau
mengambil berkah dengan nama beliau. Menurut para ulama,
mengambil berkah dengan nama Nabi Muhammad Saw, baik dalam
bentuk kaligrafi atau dijadikan nama seseorang, hukumnya adalah
boleh, bahkan bisa mendatangkan kebaikan bagi penghuni rumah
tersebut atau penyandang nama tersebut.

201
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah
berikut;

،‫صلَى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِّ ِ‫َسَ ِاء الن‬


َ ‫َّب‬ ْ ‫ص ِد التـَّبـَُّرِك ِب‬ ِ ِ
ْ َ‫َوَل َمان َع م ْن ق‬
‫ت فِْي ِه اِ ْس ُم‬ ٍ ‫ ما ِمن أَه ِل بـي‬:‫ال ا ِإلمام مالِك رِحه هللا‬
َْ ْ ْ َ ُ ُ َ َ َ ُ َ َ َ‫فـََق ْد ق‬
‫ُمَ َّم ٍد إَِّل ُرِزقُوا ِرْز َق َخ ٍْي‬
Tidak ada larangan bertabarruk atau mengambil berkah dengan
nama-nama Nabi Saw. Al-Imam Malik-semoga Allah merah­
matinya-telah berkata; Tidak ada satupun dari penghuni rumah
yang di dalamnya ada nama Muhammad kecuali mereka diberi
rizeki dengan rizeki kebaikan.

Juga disebutkan dalam kitab Mughnil Muhtaj, bahwa Imam


Malik pernah berkata;

ِ ٍ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫َس ْعت أ َْه َل الْ َمدينَة يـَُقولُو َن َما م ْن أ َْه ِل بـَْيت في ِه ْم‬
‫اس ُم‬
‫ُمَ َّم ٍد َّإل ُرِزقُوا ِرْز َق َخ ٍْي‬
Aku mendengar penduduk madinah mengatakan bahwa jika
dalam satu rumah ada orang yang bernama Muhammad, maka
mereka semua akan diberi rizki yang baik.

Dalam kitab Al-Manar Al-Munif, Ibnu Al-Qayyim menyebutkan


riwayat sebagai berikut;

ِ
ُ‫َم ْن َولَ َد لَهُ َم ْولُْوٌد فَ َس َّماهُ ُمَ َّم ًدا تـَبـَُّرًكا بِه َكا َن ُه َو َوَم ْولُْوُده‬
‫الَن َِّة‬
ْ ‫ِ ْف‬
Barangsiapa yang mempunyai anak kemudian diberi nama
‘Muhammad’ dalam rangka mencari keberkahan, maka dia dan
anaknya akan berada di surga.

202
Dengan demikian, memajang kaligrafi nama Nabi Muhammad
Saw dengan niat bertabarruk atau mengambil berkah dengan nama
beliau, baik di dalam rumah maupun di tempat lainnya, hukumnya
boleh, bahkan hal itu bisa mendatangkan kebaikan pada penghuni
rumah atau tempat yang dipajangi kaligrafi nama Nabi Muhammad
Saw tersebut. 

203
Anak Khatam Iqra,
Apakah Orangtua Dianjurkan
Mengadakan Tasyakuran?

DI SEBAGIAN DAERAH DI INDONESIA, banyak dijumpai acara


tasyakuran atau selametan yang dilakukan oleh orangtua karena
anak­nya telah mengkhatamkan Iqra. Selain sebagai bentuk
ungkapan rasa syukur, tasyakuran ini biasanya dimaksudkan
untuk memotivasi anak agar terus belajar mengaji Al-Qur’an
ke level yang lebih tinggi. Sebenarnya, apakah dianjurkan ba­
gi orangtua untuk mengadakan tasyakuran jika anak sudah
khatam Iqra?
Menurut para ulama, jika anak sudah dinilai sempurna mem­­
pelajari Al-Qur’an, meskipun hanya setengahnya, atau seperem­
patnya, atau bahkan sudah mengkhatamkan satu juz Al-Qur’an,
maka dianjurkan bagi orangtuanya untuk mengadakan tasyakuran
sebagai bentuk rasa syukur, dan juga untuk memotivasi anaknya
agar terus mempelajari Al-Qur’an.
Karena itu, mengadakan tasyakuran bagi orangtua setelah
anaknya mengkhatamkan Iqra dengan tujuan bersyukur kepada
Allah dan menunjukkan kebahagiaan termasuk perkara yang diper­
bolehkan, bahkan dianjurkan. Kita diperbolehkan mengundang
para tetangga untuk berdoa dan makan bersama dalam rangka

205
mensyukuri nikmat Allah yang telah memberikan pertolongan
kepada anak kita untuk mengkhatamkan Iqra. 
Mengadakan tasyakuran setelah anak mengkhatamkan Iqra, Al-
Qur’an, atau mengkhatamkan satu juz Al-Qur’an, disebut dengan
walimatul hidzaqah. Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab
Fashshul Khawatim Fima Qila fil Wala-im berikut;

‫ام ِعْن َد‬ ِْ ‫ وِهي‬،‫الَ ِاء الْم ْهملَ ِة‬


ُ ‫الطْ َع‬ ْ ِ
‫ر‬ ‫س‬ ‫ك‬
َ ِ‫الِ َذاقَِة ب‬
ْ ‫ة‬
ُ ‫م‬ ‫ي‬
ْ
ِ‫ول‬
َ َ َ ُ ْ َ َ
ِ
ُّ ‫ َوَك َذا إِ َذا َختَ َم الث ُُّم َن أَ ِو‬،‫َخْت ِم الْ ُق ْرآن‬
‫ف‬
َ ‫ص‬ ْ ّ‫الربُ َع أَ ِو الن‬
Walimatul hidzaqah, dengan kasrahnya huruf ha’, adalah makanan
yang dihidangkan setelah mengkhatamkan Al-Qur’an. Begitu
juga ketika mengkhatamkan seperdelapan, seperempat, atau
setengah Al-Qur’an. 

Dengan demikian, mengadakan tasyakuran karena anak telah


mengkhatamkan Iqra termasuk perkara yang dianjurkan, dan tidak
harus menunggu anak sampai mengkhatamkan Al-Qur’an dulu.
Dalil yang dijadikan dasar oleh para ulama dalam masalah ini
adalah perbuatan Sayidina Umar bin Al-Khaththab. Ketika beliau
selesai mempelajari surah Al-Baqarah selama 12 tahun, maka beliau
menyembelih seekor unta sebagai bentuk kebahagiaan dan rasa
syukur kepada Allah. 
Dalam kitab Syu’abul Iman, Imam al-Baihaqi meriwayatkan
sebagai berikut;

َ‫اب َر ِض َي هللاُ َعْنهُ الْبـََقَرةَ ِف اثـْنـََ ْت َع ْشَرة‬ِ َّ‫الَط‬ْ ‫تـََعلَّ َم عُ َمُر بْ ُن‬
‫ فـَلَ َّما َختَ َم َها َنََر َجُز ًورا‬،ً‫َسنَة‬
Sayidina Umar mempelajari surah Al-Baqarah selama 12 tahun.
Setelah mengkhatamkannya, beliau menyembelih seekor unta.

206
Menurut para ulama, jika anak sudah dinilai
sempurna mem­­pelajari Al-Qur’an, meskipun
hanya setengahnya, atau seperem­patnya, atau
bahkan sudah mengkhatamkan satu juz Al-
Qur’an, maka dianjurkan bagi orangtuanya
untuk mengadakan tasyakuran sebagai bentuk
rasa syukur, dan juga untuk memotivasi anaknya
agar terus mempelajari Al-Qur’an.
Meski Dilarang, Ada 6 Alasan
Boleh Membuka Aib Orang Lain

MEMBICARAKAN AIB ORANG LAIN tentunya dilarang dalam


norma dan agama. Dalam Islam, membicarakan keburukan muslim
lain diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri. Banyak
dampak negatif yang muncul dari membeberkan aib orang lain. Selain
berisiko menyakiti hati, mengumbar aib dapat memicu per­pe­­cahan.
Namun nyatanya ada kondisi dimana aib boleh diungkapkan.
Hal ini ber­da­sarkan pada pemaparan dari Imam al-Nawawi (w.
676 H) dalam kar­yanya al-Adzkar li al-Nawawi. Selain ulama yang
memegang mazhab Syafi’i ini, masih ada pula yang membenarkan
seseorang membuka aib orang lain. 
Salah satu tokoh yang membenarkan adalah Imam al-Ghazali
(w.505 H) karyanya Ihya’ Ulum al-Din. Di dalam sana, terdapat
pembahasan ter­kait mengupas keburukan yang yang dimiliki orang
lain. Di sisi lain, bebe­ra­pa ulama lain juga menyatakan hal yang
serupa. Landasan dari para ulama tersebut adalah sabda Nabi Saw
yang diriwayat Imam Bukhari.
Suatu ketika seorang laki-laki meminta izin kepada Nabi Saw.
Setelah itu Rasulullah Saw mengatakan, “berilah dia izin, seburuk-
buruk orang adalah orang dari suku ‘Asyirah.” Laki-laki yang tercan­

209
tun di dalam hadis ini merupakan Uyainah bin Hishn al-Fazari. Sosok
Uyainah dikenal sebagai orang yang pandir namun dipatuhi. Alasan
ini yang membuat Imam al-Bukhari membolehkan membicarakan
aib orang yang suka berbuat onar (ahl al-fasad).
Berdasarkan kitab al-Adzkar, berikut enam kondisi di mana
memperbolehkan membicarakan aib orang lain:
1. Adanya Kezaliman. Mereka yang mendapatkan perlakuan
tidak adil serta kerap mendapatkan perlakukan zalim, di­
per­boleh­kan untuk melaporkan pada pihak yang punya
wewenang. Sebalik­nya aparat yang memiliki wewenang
punya kuasa untuk membe­rikan sanksi sesuai kezaliman
yang telah diperbuat pelaku.
2. Meminta Bantuan untuk Mengubah Kemungkaran. Meng­ung­
kap­­kan aib orang lain dengan tujuan dapat mengubahnya ke
arah jalan yang baik. Misal, adanya pelaporan lokalisasi di
sua­­­tu daerah pada pihak berwajib. Pelaporan ini bertujuan
untuk meng­hentikan prostitusi sekaligus menyelamatkan
generasi. 
3. Meminta Fatwa (istifa’). Saat seseorang meminta fatwa kepada
mufti bahwa kakak atau ayahnya telah melakukan ini dan itu
atau ketika istrinya telah melakukan ini itu. Tujuannya agar
mufti mengerti duduk perkaranya dan memberikan fatwanya
dengan tepat sesuai pertanyaan orang yang meminta fatwa.
Namun terkait alasan ini, Imam Nawawi menyarankan untuk
di­sa­mar­kan identitas bagi mereka yang terkait. Adapun landasan
dari bo­leh menyebutkan aib ketika meminta fatwa adalah hadis
Hindun yang menyebut suaminya sebagai orang yang pelit, dalam
riwayat ‘Aisyah.

ِ ‫ول‬
‫هللا صلى هللا عليه وسلم إِ َّن أ ََب‬ ِ ‫ت ِهْن ٌد أ ُُّم معا ِويةَ لِرس‬
ْ َ‫قَال‬
ُ َ َ َُ

210
‫آخ َذ ِم ْن َمالِِه ِسًّرا‬
ُ ‫اح أَ ْن‬
ٌ َ‫يح فـََه ْل َعلَ َّي ُجن‬
ِ
ٌ ‫ُس ْفيَا َن َر ُج ٌل َشح‬
.‫وف‬ِ ‫يك ِبلْمعر‬ ِ ‫وك ما ي ْك ِف‬ ِ ُ‫ت وبـن‬ِ ْ‫ال خ ِذي أَن‬
ُْ َ َ َ ََ ُ َ َ‫ق‬
Pernah suatu ketika Hindun Umm Mu’awiyyah mengadu kepada
Rasulullah Saw bahwa suaminya, yang bernaman Abu Sufyan
adalah orang yang sangat kikir, maka apakah ia boleh mengambil
harta suaminya secara sembunyi-sembunyi. Rasulullah Saw pun
menjawab, “Silahkan ambil untukmu dan anak-anakmu secu­
kupnya dengan cara yang baik!”

Sebagai Bentuk Peringatan. Membuka aib orang lain dengan


tujuan memperingatkan umat Islam tentang suatu keburukan
atau ketika menasehati mereka. Seperti halnya dalam periwayatan
sebuah hadis, seorang perawi yang memiliki  kecacatan.  Bahkan
hal ini harus disampaikan kecacatannya. Bukan untuk menjatuhkan
keadaan perawi namun demi menjaga kualitas hadis. Sekaligus
tetap menjaga agama Islam dari pemalsuan.
Sampaikan Aib Orang yang Deklarasikan Perbuatan Fasik.
Ketika ada seseorang yang terang-terangan melakukan perbuatan
fasik atau bid’ah, hukumnya wajib untuk disampaikan. Misalnya
mengumumkan diri telah menzalimi seseorang atau mengonsumsi
alkohol. Menurut imam Nawawi, haram hukumnya jika membicara­
kan orang tersebut tidak semestinya. 
Identifikasi (al-ta’rif). Dalam beberapa kasus, orang yang memiliki
nama lain untuk mengidentifikasi dirinya seperti al-A’raj (orang
pincang), al-A’masy (orang yang rabun), atau al-Ashamm (orang
yang tuli) dan lain sebagainya. Hukum menyebut mereka dengan
sebutan semacam itu di­per­bolehkan. Asalkan diniatkan sebagai
bentuk identifikasi bukan yang lain.
Inilah enam landasan dimana seseorang diperkenankan untuk
menyebut aib orang lain. Tentunya dengan motif yang kuat.

211
FIKIH
KEBANGSAAN
DAN
TOLERANSI
03
Mengamalkan Ungkapan
Hubbul Wathan Minal Iman 

MENURUT PARA ULAMA, ungkapan hubbul wathan minal iman,


yang berarti mencintai tanah air bagian dari keimanan, bukanlah
sebuah hadis. Dalam kitab Al-Asrar Al-Marfu’ah disebutkan bahwa
ungkapan ini adalah ungkapan ulama salaf untuk menunjukkan
kecintaan mereka pada tanah air. Sebagian ulama berkata bahwa
ungkapan ini berasal dari Nabi Isa.
Meski ungkapan ini bukanlah sebuah hadis, namun mengamal­­
kan ungkapan ini tidak dilarang. Justru memang ungkapan ini
sengaja dihadirkan oleh para ulama untuk diamalkan sebagai
bentuk usaha menumbuhkan rasa cinta dan menjaga tanah air.
Terdapat beberapa dalil yang menjadi dasar mengenai keabsahan
mengamalkan ungkapan ini. Di antaranya, sebagaimana disebutkan
oleh Imam Al-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam Al-Nubala, bahwa di
antara yang sangat dicintai oleh Nabi Saw adalah tanah air beliau,
yaitu Mekkah dan Madinah. 
Imam Al-Dzahabi berkata sebagai berikut;

ُّ ‫ َوُِي‬،‫ُس َامة‬
‫ب‬ ُّ ‫ َوُِي‬،‫ب أ ََب َها‬
َ‫ب أ‬ ُّ ‫ َوُِي‬،‫ب َعائِ َشة‬
ُّ ‫َوَكا َن ُِي‬

215
ُّ ‫ َوُِي‬،‫ُح َد‬
‫ب‬ ُّ ‫ َوُِي‬،‫الع َس َل‬
ُ ‫ب َجبَل أ‬ َ ‫ب احلَْل َواءَ َو‬ُّ ‫ َوُِي‬،‫ِسْبطَْيه‬
 ‫ص َار‬َ ْ‫ب ْالَن‬ ُّ ‫َوطَنَه َوُُِي‬
Nabi Saw mencintai Aisyah, mencintai bapaknya, mencintai
Usamah dan kedua cucunya, beliau juga mencintai manis-manisan,
madu, mencintai gunung Uhud, mencintai tanah airnya dan
mencintai sahabat Anshor. 

Karena itu, mencintai tanah air ini merupakan sunnah Nabi


Saw. Beliau telah mencontohkan sendiri mengenai hubbul wathan
ini. Sebab itu, para ulama berpendapat bahwa hubbul wathan
termasuk bagian dari syariat Islam, sehingga tidak heran jika mereka
mencetuskan ungkapan ‘Hubbul wathan minal iman’ ini.
Dalam kitab Shahih Al-Bukhari, Imam Bukhari menyebutkan
sebuah hadis yang dijadikan dalil oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
mengenai disyariatkannya hubbul wathan. Hadis dimaksud ber­
sumber dari Anas bin Malik, dia berkata;

،‫ َكا َن إِ َذا قَ ِد َم ِم ْن َس َف ٍر‬،‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ َّ ِ‫َن الن‬


َ ‫َّب‬ َّ ‫أ‬ 
‫احلَتَهُ َوإِ ْن َكا َن َعلَى‬ ِ ‫ أَوضع ر‬،‫ات امل ِدينَ ِة‬ ِ ‫فـنَظَر إِ َل ج ُدر‬
َ ََ ْ َ ِ َ ُِ َ َ
‫َدابٍَّة َحَّرَك َها م ْن ُحبّ َها‬
Sesungguhnya Nabi Saw jika datang dari bepergian lalu beliau
melihat tembok-tembok kota Madinah, beliau mempercepat laju
ontanya dan ketika mengenderai tunggangan beliau menggerak-
gerakkan tunggangannya karena kecintaannya pada Madinah.

Hadis ini dijadikan dasar oleh oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
mengenai kewajiban dan disyaritkannya mencintai tanah air. Beliau
berkata dalam kitab Fathul Bari berikut; 

216
ِ ‫ض ِل الْم ِدينَ ِة وعلَى م ْشر‬
‫وعيَّة‬ ِ ِ ِ ْ ‫وِف‬
ُ َ ََ َ ْ َ‫الَديث د َللَةٌ َعلَى ف‬ َ
‫الوطَ ِن َواْحلِن َِّة إِلَْي ِه‬
َ ‫ب‬
ِ
ّ ‫ُح‬
Di dalam hadis ada petunjuk keutamaan Madinah dan disya­
riatkannya mencintai tanah air dan selalu merindukannya. 

Dengan demikian, mengamalkan ungkapan hubbul wathan minal


iman, terutama di momen Agustusan, hukumnya diperbolehkan.
Ungkapan ini dicetuskan oleh para ulama sebagai bentuk pengamalan
dari sunnah Nabi Saw, dan keharusan mencintai tanah air yang
memang disyariatkan dalam Islam. 

217
Hukum Mengucapkan Salam
Kepada Muslim yang Jarang Salat

DI ANTARA PERKARA YANG DITANYAKAN oleh sebagian orang


adalah mengenai hukum mengucapkan salam pada teman atau
orang yang jarang melaksanakan salat. Apakah mengucapkan salam
kepada seseorang yang jarang melaksanakan salat tetap dianjurkan,
sebagaimana mengucapkan salam pada orang yang taat?
Mengucapkan salam pada seorang muslim, baik dia taat atau
tidak, rajin melaksanakan salat lima waktu atau tidak, hukumnya
adalah sunnah. Selama seseorang berstatus sebagai muslim, mes­
kipun dia tidak taat karena sering meninggalkan salat atau sering
melakukan maksiat yang dilarang dalam agama, maka kita tetap
dianjurkan untuk mengucapkan salam padanya. 
Bahkan kita tetap dianjurkan untuk mengucapkan salam ter­
lebih dahulu padanya. Mengucapkan salam terlebih dahulu, baik
kepada orang muslim yang taat atau tidak, rajin melaksanakan
salat atau tidak, merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan
dalam Islam.
Dalam banyak hadis-hadis Nabi Saw, anjuran mengucapkan
salam ini hanya dikaitkan dengan status seseorang sebagai muslim,
tanpa syarat harus taat atau lainnya. Ini menunjukkan bahwa

219
mengucapkan salam pada seorang muslim, meskipun dia jarang
salat, hukumnya tetap dianjurkan.
Hadis-hadis dimaksud adalah hadis yang disebutkan oleh Imam
Al-Suyuthi dalam kitab Lubab Al-Hadis, bahwa Nabi Saw bersabda; 

‫لس َلِم‬
َّ ‫هللا تـََع َال َم ْن بَ َدأ ِب‬ ِ ِ
ِ ‫ان أَقـربـهما إِ َل‬ ِ
َ ُُ َْ ‫إ َذا الْتـََقى الْ ُم ْسل َم‬
Jika dua orang muslim bertemu, maka yang paling dekat kepada
Allah adalah orang yang memulai salam.

Dalam hadis riwayat Imam Abu Daud, dari Al-Bara’ bin ‘Azib,
Rasulullah Saw bersabda;

‫اللَ َعَّز َو َج َّل‬


َّ ‫ح َد ا‬ ِ ‫إِ َذ ا ا لْتـ َقى ا لْمسلِم‬
َِ ‫ان فـتَصا فَحا و‬
َ َ َ َ َُْ َ
ِ
‫استـَ ْغ َفَراهُ غُفَر َلَُما‬
ْ ‫َو‬
Jika dua orang muslim bertemu, lalu mereka bersalaman, memuji
Allah azza wa jalla, dan meminta ampunan kepada Allah, maka
diampuni untuk mereka berdua.

Juga hadis riwayat Imam Al-Bazzar dan Imam Al-Baihaqi dari


Abdullah bin Mas’ud, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

،ُ‫ض فَأَفْ ُش ْوه‬ ِ ‫ض َعهُ هللاُ ِف ْال َْر‬ ِ ِ ْ ‫الس َلم ِمن‬
َ ‫أسَاء هللا تـََع َال َو‬ ْ ُ َّ
‫الر ُج َل الْ ُم ْسلِ َم إِ َذا َمَّر بَِق ْوٍم فَ َسلَّ َم َعلَْي ِه ْم فـََرُّد ْوا َعلَْي ِه َكا َن‬
َّ ‫فَِإ َّن‬
‫ فَِإ ْن َلْ يـَُرُّد ْوا‬،‫الس َلم‬ َّ ‫ض ُل َد َر َج ٍة بِتَ ْذكِ ِْيِه َّإي ُهم‬ ْ َ‫لَهُ َعلَْي ِه ْم ف‬
ِ ِ
‫ب‬ ُ َ‫َعلَْيه َرَّد َم ْن ُه َو َخيـٌْر منـْ ُه ْم َوأَطْي‬
Salam itu termasuk salah satu dari nama-nama Allah yang Allah
letakkan di bumi, maka sebarkanlah salam. Sungguh seorang laki-

220
laki muslim jika melewati suatu kaum lalu ia mengucapkan salam
kepada mereka, kemudian mereka menjawab salamnya, maka
baginya atas mereka keutamaan derajat sebab mengingatkannya
kepada mereka dengan salam. Jika mereka tidak menjawab
salamnya, maka orang yang lebih baik dari pada mereka dan
lebih bagus telah menjawab salamnya.

221
Pengaturan Suara Speaker
Demi Kenyamanan Ibadah
itu Sesuai Syariah

MENTERI AGAMA mengeluarkan Surat Edaran Menteri Agama No.


SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di
Masjid dan Musala. Dalam surat edaran tersebut dikatakan bahwa
penggunaan pengeras suara di masjid dan musala merupakan
kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di
tengah masyarakat. Di sisi yang lain secara bersamaan, masyarakat
Indonesia itu beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang dan
lainnya. Pedoman yang dikeluarkan Menteri Agama merupakan
upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial. 
Bila merujuk teks-teks keislaman, segala bentuk ibadah atau
syiar Islam yang dapat mengganggu dan tidak tepat waktu itu
dilarang dalam Islam. Misalnya, di tengah malam masjid atau musala
menyalakan pengeras suara luar. Padahal malam hari merupakan
waktu orang beristirahat. Di samping itu, bisa jadi terdapat tetangga
kita yang sedang sakit, mempunyai anak kecil, atau terdapat tetangga
yang sudah tua renta. 
Rasulullah saw. pernah menegur para sahabat yang meninggikan
suara bacaan Al-Qur’an di masjid saat sedang salat malam. Hal ini
sebagaimana riwayat sahabat Abu Said al-Khudri berikut ini: 

223
‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِف ا لْ َم ْس ِج ِد‬ ِ ِ
َ ‫ف َر ُس ْو ُل هللا‬ َ ‫ا ْعتَ َك‬
‫ أَال إِ َّن‬:‫ال‬ ِ ‫فَس ِمعهم ُي ِهرو َن ِبلْ ِقراء ِة فَ َك َشف‬
َ َ‫الستـَْر َوق‬
ّ َ ََ ُْ ْ ْ ُ َ َ
‫ َوالَ يـَْرفَ ْع‬،ً‫ض ُك ْم بـَْعضا‬ ِ ٍ َ‫ُكلَّ ُك ْم ُمن‬
ُ ‫اج َربَّهُ فَالَ يـُْؤذ يَ َّن بـَْع‬
.‫ال ِف الصَّالَِة‬ َ َ‫ أ َْو ق‬،‫ض ِيف الْ ِقَراءَ ِة‬ٍ ‫ض ُك ْم َعلى بـَْع‬
َ ُ ‫بـَْع‬
Rasulullah saw. sedang beriktikaf di dalam masjid dan mendengar
para sahabat sedang membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang
kencang. Rasulullah pun membuka tirai sambil mengingatkan
mereka, “Ingatlah, kalian itu sedang bermunajat dengan Tuhan.
Oleh karena itu, kalian jangan menggangu satu sama lain. Sesama
kalian jangan saling mengencangkan bacaan Al-Qur’an atau ketika
sedang salat (HR Abu Daud, Malik, dan Ahmad). 

Imam al-Azhim Abadi dalam kitab ‘Aunul Ma’bud mengutip


pendapat Imam al-Nawawi bahwa membaca Al-Qur’an dengan
suara keras saat salat malam memang diperbolehkan selagi tidak
menggangu orang lain.

ِ ‫الصو‬ ِ ِ ِ ِ ْ ‫ي وِف‬
‫ت‬ ْ َّ ‫الَديث فـََوائ ُد منـَْها َج َو ُاز َرفْ ِع‬ َ ُّ ‫ال النـََّوِو‬
َ َ‫ق‬
‫ِبلْ ِقَراءَ ِة ِف اللَّْي ِل َوِف الْ َم ْس ِج ِد َوَل َكَر َاهةَ فِ ِيه إِ َذا َلْ يـُْؤِذ‬
ِ ِ ‫ال ْعج‬ ِ ِ ‫أَحدا وَل تـعَّر‬
‫ك‬َ ‫اب َوَْن ِو َذل‬ َ ِْ ‫ض ل ِّلرَيء َو‬ َ ََ َ ً َ
Imam al-Nawawi berpendapat, hadis ini terdapat beberapa poin.
Di antaranya boleh mengeraskan bacaan Al-Qur’an di malam hari
juga di dalam masjid. Tidak makruh (tahrim) melakukan hal itu
selagi tidak menyakiti orang lain, tidak riya, dan ujub.

Terkait ketidakbolehan menggangu orang lain, sahabat Abdullah


bin ‘Amr bin al-Ash pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

224
‫اَلْ ُم ْسلِ ُم َم ْن َسلِ َم الْ ُم ْسلِ ُم ْو َن ِم ْن لِ َسانِِه َويَ ِد ِه‬
Muslim itu ia yang lisan dan tangannya membuat orang lain
terlindungi. (HR Bukhari dan Muslim) 

Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu‘ al-Fatawa juga berpendapat


bahwa mengeraskan bacaan Al-Qur’an yang dapat menggangu
jamaah salat lain itu tidak diperbolehkan. Hal ini sebagaimana
penjelasan berikut: 

ِ ‫اءة ِبيث يـؤِذي َغيـره َكالْم‬


ِ ِ ٍ ‫لَيس ِل‬
‫ي‬
َ ْ ّ‫صل‬
َ ُ ُ َْ ُْ ُ َْ ‫َحد أَ ْن ُْي ِهَر ِبلْقَر‬
َ َ ْ
Seseorang itu tidak boleh mengeraskan bacaan Al-Qur’an sekira­
nya akan mengganggu jamaah salat yang lain.

Selain itu, ketidakbolehan mengeraskan bacaan Al-Qur’an yang


mengganggu orang lain itu berlaku saat sedang salat atau mem­
bacanya di luar salat. Misalnya, tadarusan Al-Qur’an pada bulan
Ramadan yang dilakukan hingga dini hari dengan menggunakan
pengeras suara luar. 

‫ َوالنـَّْه ُي‬،‫لى الصَّالَِة‬ ‫ع‬ ِ ‫القـب‬


‫ال‬ ِْ ‫ك يـُْؤِذي ويَْنَ ُع ِمن‬ ِ‫فَِإ َّن َذل‬
َ َ َْ َ َ َ
.‫اخ َل الصَّالَِة َو َخا ِر َج َها‬
ِ ‫يـتـنَاو ُل من هو د‬
َ َ ُ ْ َ َ ََ
Hal demikian itu (saling mengeraskan bacaan Al-Qur’an) dapat
mengganggu dan menghambat konsentrasi salat. Larangan ini
berlaku bagi orang yang sedang salat ataupun di luar salat.

Dari beberapa dalil yang disampaikan di atas, kesimpulan yang


didapat adalah segala hal yang dapat menggangu kenyamanan
orang lain itu tidak dibenarkan dalam agama. Syiar Islam perlu
dilakukan oleh umat Muslim. Akan tetapi, kita sebagai muslim pun
tidak boleh abai terhadap kenyamanan orang-orang sekitar kita.

225
Oleh karena itu, pedoman dan pembatasan penggunaan pengeras
suara demi menjaga kenyamanan bersama merupakan hal yang
maslahat dan dibenarkan agama.  

226
Seseorang itu tidak boleh mengeraskan
bacaan Al-Qur’an sekira­nya akan
mengganggu jamaah salat yang lain.
Anjuran Mencintai Tanah Air

MENCINTAI TANAH AIR di kalangan kaum muslim dikenal dengan


istilah hubbul wathan. Mencintai tanah air, yaitu tanah tempat
sekolompok orang dilahirkan, dibesarkan, mencari nafkah, tempat
tinggal diri mereka dan keturunan mereka, merupakan kewajiban
dalam Islam. Bahkan menurut sebagian ulama, mencintai tanah
air termasuk bagian dari keimanan, sehingga muncul ungkapan
hubbul wathan minal iman. 
Terdapat beberapa dalil yang dijadikan dasar oleh para ulama
mengenai kewajiban mencintai tanah air ini. Di antaranya adalah
kecintaan Nabi Saw kepada tanah kelahirannya, Mekkah. Beliau
dengan tegas mengatakan bahwa Mekkah merupakan tempat yang
beliau cintai. 
Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Ibnu
Hibban, dari Abdullah bin Abbas, dia berkata;

‫ك ِم ْن بـَْل َد ٍة‬ ِ ‫ ما أَطْيـب‬:‫هللا صلَّى هللا َعلَي ِه وسلَّم‬ ِ ‫ول‬ ُ ‫قَ َال َر ُس‬
ََ َ َ َ َ ْ ُ َ
‫ت َغيـَْرِك‬ ِ ِ ِ ِ َّ‫وأَحب‬
ََّ ِ‫ك إ‬
ُ ‫َخَر ُج ِون مْنك َما َس َكْن‬
ْ ‫ َولَ ْوَل أ ََّن قـَْومي أ‬،‫ل‬ ََ

229
Rasulullah Saw bersabda; Alangkah baiknya kamu sebagai se­
buah negeri, dan kamu merupakan negeri yang paling aku cintai.
Seandainya kaumku tidak mengusirku dari dirimu, niscaya aku
tidak tinggal di negeri selainmu.

Selain itu, Nabi Saw juga sangat mencintai Madinah, sebagian


tanah tempat beliau tinggal, hidup, mencari nafkah, dan membangun
keluarga. Karena kecintaan beliau pada Madinah, digambarkan
bahwa ketika pulang dari perjalanan, beliau mempercepat ken­
daraannya agar bisa segera sampai ke Madinah. 
Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari
dari Anas bin Malik, dia berkata;

،‫ َكا َن إِ َذا قَ ِد َم ِم ْن َس َف ٍر‬،‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ َّ ِ‫َن الن‬


َ ‫َّب‬ َّ ‫أ‬ 
‫احلَتَهُ َوإِ ْن َكا َن َعلَى‬ ِ ‫ أَوضع ر‬،‫ات امل ِدينَ ِة‬ ِ ‫فـنَظَر إِ َل ج ُدر‬
َ ََ ْ َ ِ َ ُِ َ َ
‫َدابٍَّة َحَّرَك َها م ْن ُحبّ َها‬
Sesungguhnya Nabi Saw jika datang dari bepergian lalu beliau
melihat tembok-tembok kota Madinah, beliau mempercepat laju
ontanya dan ketika mengenderai tunggangan beliau menggerak-
gerakkan tunggangannya karena kecintaannya pada Madinah.

Dua hadis ini dan hadis-hadis serupa, dijadikan dasar oleh para
ulama mengenai anjuran, kewajiban, dan disyaritkannya mencintai
tanah air. Ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani
dalam kitab Fathul Bari berikut;

ِ ‫ض ِل الْم ِدينَ ِة وعلَى م ْشر‬


‫وعيَّة‬ ِ ِ ِ ْ ‫وِف‬
ُ َ ََ َ ْ َ‫الَديث د َللَةٌ َعلَى ف‬ َ
‫حب الوطن واحلنني إِلَْي ِه‬
Di dalam hadis ada petunjuk keutamaan Madinah dan disya­
riatkannya mencintai tanah air dan selalu merindukannya. 

230
Dalam kitab Siyar A’lam Al-Nubala, Imam Al-Dzahabi menyebut­
kan bahwa di antara hal yang paling dicintai oleh Nabi Saw adalah
mencintai tanah air. Beliau berkata sebagai berikut; 

‫حيب‬
ُّ ‫ َو‬،‫ُس َامة‬
َ ‫حيب أ‬
ُّ ‫ َو‬،‫َابها‬ ُّ ‫ َو‬،‫ب َعائِ َشة‬
َ ‫حيب أ‬ ُّ ‫َوَكا َن ِحي‬
‫حيب‬
ُّ ‫ َو‬،‫ُحد‬ ِ
ُ ‫حيب َجبَل أ‬
ّ ‫ َو‬،‫الع َسل‬
َ ‫حيب احلَْل َواء َو‬
ّ ‫ َو‬،‫سْبطَْيه‬
 ‫َوطَنه وحيب األنصار‬
Nabi Saw mencintai Aisyah, mencintai bapaknya, mencintai
Usamah dan kedua cucunya, beliau juga mencintai manis-manisan,
madu, mencintai gunung Uhud, mencintai tanah airnya dan
mencintai sahabat Anshor. 

231
Hukum Hormat Bendera

DI ANTARA PERKARA yang ditanyakan oleh sebagian orang


adalah mengenai hukum hormat pada bendera. Bendera yang
dimaksud, dalam konteks negara Indonesia, adalah bendera Merah
Putih. Pertanyaan ini muncul sebagian karena ada oknum ustadz
tertentu yang mengharamkan hormat pada bendera. Bahkan di
sekolah tertentu, ada oknum guru yang melarang para siswanya
untuk hormat pada bendera. Dalam Islam, sebenarnya bagaimana
hukum hormat pada bendera ini?
Hormat pada bendera Merah Putih, dan simbol kenegaraan
lainnya, hukumnya boleh dalam Islam. Tidak masalah kita hormat
pada bendera Merah Putih dengan tegak berdiri, mengangkat tangan,
dan lainnya. Ini karena tujuan utama hormat pada bendera adalah
untuk mengungkapkan rasa cinta pada tanah air, bukan untuk
menyembah seperti halnya menyembah pada Tuhan.  
Sementara dalam Islam, mencintai tanah air adalah wajib dan
disyariatkan. Karena itu, hormat pada bendera sebagai wasilah
untuk mengungkapkan kecintaan pada tanah air, juga disyariatkan.
Menurut sebagian ulama, jika hormat bendera bisa menyebabkan
persatuan dan kerukunan, dan sebaliknya tidak hormat bendera

233
bisa menimbulkan permusuhan dan pertentangan, maka hormat
bendera hukumnya adalah wajib menurut syariat Islam.
Ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah
berikut;

‫لس َلِم الْ َوطَِن؛‬ َّ ِ‫ف ل‬ ِ ‫َل مانِع َشرعا ِمن َِتيَّ ِة الْعِْل ِم والْوقـو‬
ُْ ُ َ ْ ًْ َ َ
ِ
‫ بَ ْل‬،ُ‫ب لَرْم ِز الْ َوطَ ِن َو َع َل َمتُهُ َو ِش َع ُاره‬ ِ ْ ‫فَ ِك َل ُهَا تـَْعبِيـْر َع ِن‬
ّ ُ‫ال‬ ٌ
ِ ِ
‫ك َد ًّال َعلَى‬ َ ‫َّاس َوتـََع َارفـُْوا َعلَى َك ْون َذل‬ ُ ‫اض َع الن‬ َ ‫إِنَّهُ لَ َّما تـََو‬
ِ ِ ِْ ‫احِت ِام الْوطَ ِن وتـعبِيـرا ع ِن‬
‫ك‬ َ ‫النْتِ َماء َوَو ِسيـْلَةً ِِلظْ َها ِر َذل‬ َ ًْ َْ َ َ َ ْ
َّ ‫ َوأ‬،‫ُّوِل‬ ِ ِ َّ ‫ِف‬
‫َن تَرَكهُ يَ ْشعُُر‬ َ ‫ي الد‬َ َْ‫الشأْن الْ َوطَِن َوالْ َع َلقَات بـ‬
‫َّحنَ ِاء‬
ْ ‫ص ِام َوالش‬ َ
ِ‫ال‬
ْ ‫ل‬ َ ِ
‫إ‬ ‫ي‬ ِ ‫ ويـ ْف‬،‫الحِت ِام‬
‫ض‬ َُ َ ْ
ِْ ‫ِبِْلستِهانَِة أَو قِلَّ ِة‬
ْ َْ
‫ف‬ ِ ِ‫ي أَبـنَ ِاء الْوطَ ِن أَ ِو الْمواق‬ ِ ِ ِ ُ ‫ف َوالتـَّر‬ ِ َّ ‫و َش ِّق‬
ََ َ ْ َ َْ‫اشق بلتـَُّهم بـ‬ َ ّ ‫الص‬ َ
ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ
‫ فَِإنَّهُ يـَتـََعيَّ ُ حيـْنَئذ ْاللْتَزام‬،‫ض َّادة ِف الْ َع َلقَات الد َّْوليَّة‬ ِ
َ ‫الْ ُم‬
‫صيـُْر َو ِاجبًا َمطْلُ ْوًب َش ْر ًعا‬ِ ‫بِِه وي‬
ََ
Tidak ada larangan dalam syariat Islam untuk hormat pada
bendera dan berdiri menyanyikan lagu kebangsaan. Keduanya
sebagai bentuk mengungkapkan kecintaan pada tanah air atau
negara dan simbolnya. Bahkan karena hal itu sudah disepakati
di antara masyarakat sebagai tanda penghormatan pada negara,
tanda nasionalisme, dan perekat kebangsaan, dan sebaliknya
tidak hormat menunjukkan penghinaan dan sedikit penghormatan,
hingga menyebabkan perselisihan, perpecahan di antara anak
bangsa, maka dalam keadaan demikian hormat pada bendera
dan berdiri menyanyikan lagu kebangsaan menjadi wajib secara
syariat Islam.

234
Hormat pada bendera Merah Putih, dan
simbol kenegaraan lainnya, hukumnya boleh
dalam Islam. Tidak masalah kita hormat
pada bendera Merah Putih dengan tegak
berdiri, mengangkat tangan, dan lainnya. Ini
karena tujuan utama hormat pada bendera
adalah untuk mengungkapkan rasa cinta
pada tanah air, bukan untuk menyembah
seperti halnya menyembah pada Tuhan.
Hukum Bekerja di
Perusahaan Non Muslim

SAAT INI BANYAK DIJUMPAI masyarakat Indonesia yang bekerja


di perusahaan yang pemiliknya non muslim. Terlebih di kota-kota
besar, banyak sekali perusahaan pemilik saham terbanyaknya
seorang non muslim. Terkadang ada masyarakat yang ragu dan
memutuskan berhenti bekerja ketika mengetahui bosnya seorang
non muslim.
Nah dalam fikih Islam, bagaimana hukum bekerja pada atasan
non muslim? Apakah itu perbuatan diperbolehkan? Pasalnya,
banyak masyarakat yang ragu. Pun tak sedikit yang memutuskan
resign, sebab perusahaan tersebut dipimpin seorang non muslim.
Atau disebabkan pemilik saham terbanyak non muslim.   
Adapun hukum bekerja di perusahaan yang pemilik sahamnya
non muslim, maka hukumnya diperbolehkan bagi muslim dan
muslimah. Kendatipun bosnya seorang non muslim, bekerja di
perusahaan tersebut tak ada larangan. Pasalnya,  ada ada larangan
yang tidak diperkenankan seorang muslim atau muslimah untuk
bekerja pada non muslim. 
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab
Raudhatut Thalibin. Ia menjelaskan bahwa bekerja pada non-muslim

237
dinilai sah dan diperbolehkan. Lebih lanjut, uang yang dihasilkan,
gaji atau upah dari pekerjaan tersebut dihukumi halal. Simak
penjelasan Imam Nawawi berikut;

‫ َك َديْ ٍن‬،‫وز أَ ْن يَ ْستَأْ ِجَر الْ َكافُِر ُم ْسلِ ًما َعلَى َع َم ٍل ِف ال ِّذ َّم ِة‬ُ ُ‫َي‬
ِِ ِ ِِ ِ
‫ ُحًّرا َكا َن‬،‫َص ِّح‬ َ ‫وز أَ ْن يَ ْستَأْجَرهُ بِ َعْينه َعلَى ْال‬ُ ُ‫ َوَي‬.‫ِف ذ َّمته‬
.‫أ َْو َعْب ًدا‬
Diperbolehkan bagi non muslim menyewa orang muslim untuk
mengerjakan sesuatu yang masih ada dalam tanggungan (masih
akan dikerjakan kemudian) sebagaimana orang muslim boleh
membeli sesuatu dari orang non muslim dengan bayaran yang
masih ada dalam tanggungan (hutang), dan diperbolehkan bagi
orang muslim menyewakan dirinya (tubuh/tenaganya) kepada
non-muslim menurut pendapat yang paling shahih, baik ia merdeka
atau hamba sahaya.

Sementara itu terdapat sebuah riwayat yang mengungkapkan


bahwa sahabat Nabi, sekaligus menantunya, Ali bin Abi Thalib
bekerja pada seorang non muslim. Ali bekerja di kebun seorang
Yahudi. Ketika telah gajian, upah dari  hasil pekerjaannya tersebut
dibawakan pada Rasulullah, Nabi pun memakan hasil jerih payah
Ali tersebut. Simak hadis Nabi berikut;

-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫الل‬ َِّ ‫ال أَصاب نَِب‬ ٍ َّ‫َع ِن ابْ ِن َعب‬
َّ َ َ َ َ‫اس ق‬
‫يب فِ ِيه‬ ِ
ُ ‫س َع َمالً يُص‬ ُ
ِ َ‫ك علِيًّا فَخرج يـ ْلت‬
‫م‬ َ َ َ َ َ َ
ِ‫خصاصةٌ فـبـلَغ َذل‬
َ ََ َ َ َ
‫ فَأَتَى‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫الل‬ َِّ ‫ول‬ َ ‫َشيـْئًا لِيُقيت بِِه َر ُس‬
ِ ِ ِ ً َ‫بست‬
‫استـََقى لَهُ َسبـَْعةَ َع َشَر َدلْ ًوا ُك ُّل‬ ْ َ‫ان لَر ُج ٍل م َن الْيـَُهود ف‬ ُْ
238
ِ ِ ُّ ‫ود‬ ِ ‫دلْ ٍو بِتمرٍة فَخيـَّره الْيـه‬
َ‫ى م ْن تَِْره َسْب َع َع َشَرَة َع ْج َوًة فَ َجاء‬ َُ ُ َ َ َ ْ َ َ
.-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫الل‬ َِّ ‫ِبا إِ َل نَِ ِب‬
ّ َ
Dari Ibnu Abbas, suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengalami kelaparan. Berita mengenai hal ini sampai ke telinga
Ali. Ali pun lantas mencari pekerjaan sehingga bisa mendapatkan
upah yang bisa dipergunakan untuk menolong Rasulullah. 

Ali mendatangi kebun milik seorang Yahudi. Orang Yahudi pemilik


kebun itu meminta Ali untuk menimbakan air untuknya sebanyak
17 ember, setiap ember upahnya adalah satu butir kurma. Orang
Yahudi tersebut meminta Ali untuk memilih 17 butir kurma Ajwah.
Kurma-kurma tersebut Ali bawakan untuk Nabi. (HR. Ibnu Majah).

Dengan demikian, boleh hukumnya bekerja dengan non muslim.


Pun bekerja di perusahaan yang pemilik sahamnya non muslim.
Tak ada masalah. Hasil dari pekerjaan tersebut pun halal untuk
dimakan dan diberikan nafkah buat keluarga. Semoga bermanfaat. 

239
Hukum Memberikan Harta Hibah
Pada Non Muslim, Bolehkah?

HIBAH MERUPAKAN PEMBERIAN yang dilakukan oleh seseorang


kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelak­
sanaan pembagiannya dilakukan pada waktu penghibah masih
hidup juga. Hibah itu berbeda dengan waris. Hibah itu pemberian
hadiah pada seseorang yang masih hidup, pun si pemberi masih
hidup juga—keduanya masih hidup. 
Nah dalam hukum Islam, bolehkah memberikan hibah pada
non muslim? Apakah kita mendapatkan pahala jika memberikan
hibah pada non muslim?
Imam Syafi’i dalam kitab al Umm membagi sedekah dua jenis.
Pertama yang disebut sebagai  sedekah wajib. Masuk dalam sedekah
wajib adalah harta zakat. Kedua, sedekah sunnah. Masuk dalam
kategori sedekah sunnah ini adalah hadiah, hibah, dan sedekah.
Adapun memberikan hibah pada non muslim, menurut Imam Syafi’i,
itu diperbolehkan. Namun memberikan zakat pada non muslim itu
yang dilarang. 

241
‫َّق َعلَى الْ ُم ْش ِر ِك ِم ْن‬ ِِ
َ ‫صد‬ َ َ‫س أَ ْن يـُت‬َ ْ‫ َوَل َب‬: ‫ال الشَّافع ُّي‬ َ َ‫ق‬
‫الص َدقَِة‬
َّ ‫يض ِة ِم ْن‬ ِ َ‫النَّافِل‬
َ ‫س لَهُ ِف الْ َف ِر‬
َ َ ‫ي‬
َْ‫ل‬‫و‬ ‫ة‬
Berkata Imam Syafi’i; Dan tidak apa-apa memberikan sedekah
sunnah pada non muslim, akan tetapi sedekah wajib (zakat) tidak
diperbolehkan diberikan pada non muslim. 

Pendapat serupa juga dikatakan oleh Syaikh Ali Al-Saghdi—


seorang ulama dari mazhab Hanafiyah—lewat kitab Al-Nutaf fi
Al-Fatawa, ia menuturkan bahwa menghibahkan harta benda pada
non-muslim hukumnya boleh. Hibah itu boleh disalurkan pada
orang Yahudi, Nasharani, dan Majusi. 

‫صَرانِيًّا اَْو‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ْ َ‫َواََّما هبَةُ الْ ُم ْسل ِم ل ْل َكاف ِر فَ َجائَزةٌ يـَُهود ًّي َكا َن اَْو ن‬
‫ال ْس َلِم‬ِْ ‫وسيًّا اَو مستَأْمنًا ِف دا ِر‬ ِ ‫َم‬
َ َ ُْ ْ ُ
Adapun hibah orang muslim kepada orang non-muslim itu boleh,
baik orang non-muslim tersebut adalah orang Yahudi, Nasrani,
Majusi, atau non-muslim yang mencari suaka dan keamanan di
negara Islam.

Demikian penjelasan terkait kebolehan memberikan harta hibah


bagi non muslim. Tidak ada larangan yang mencegah berbuat
kebajikan pada non muslim. Semoga bermanfaat.

242
Adapun hibah orang muslim kepada orang
non-muslim itu boleh, baik orang non-muslim
tersebut adalah orang Yahudi, Nasrani,
Majusi, atau non-muslim yang mencari suaka
dan keamanan di negara Islam.
Hukum Menerima Makanan
dari Non Muslim

TERDAPAT SEBAGIAN DI ANTARA KITA yang memiliki kerabat,


teman dan rekan dari kalangan non muslim. Pada momen tertentu,
terkadang kita mendapat hadiah makanan dari non muslim tersebut.
Jika kita mendapatkan hadiah makanan dari non muslim, bagaimana
hukum kita menerima makanan tersebut, apakah boleh?
Menerima makanan dari non muslim, baik berupa makanan
yang sudah dimasak atau lainnya, hukumnya adalah boleh. Juga
boleh dan halal kita mengonsumsi makanan yang kita terima dari
non muslim selama makanan tersebut bukan makanan haram
atau najis. Karena itu, jika ada non muslim memberikan makanan
kepada kita, baik berupa nasi, mie instan, atau ikan, maka boleh
kita menerima dan mengonsumsinya.
Dalil yang bisa dijadikan dasar mengenai masalah ini adalah
hadis riwayat Imam Ahmad dari Anas bin Malik, dia berkisah;

‫َو َسلَّ َم إِ َل ُخْب ِز‬ ‫اللُ َعلَْي ِه‬


َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ ِ ‫َن يـه‬
َ ‫الل‬ َ ‫ود ًّي َد َعا َر ُس‬ َُ َّ ‫أ‬
ٍ ِ ٍ ِ ِ
َ ‫َشع ٍري َوإ َهالَة َسن َخة فَأ‬
ُ‫َجابَه‬

245
Sesungguhnya ada seorang mengundang Nabi Saw untuk bersan­tap
roti gandum dengan acar hangat, dan Nabi  Saw pun memenuhi
undangan tersebut.

Dalam hadis ini disebutkan bahwa Nabi Saw menerima un­


dangan makan-makan dari seorang Yahudi. Ini menunjukkan
bahwa menerima undangan dari non muslim dan mengonsumsi
makanannya, adalah boleh dan halal.
Bahkan menerima hadiah makanan atau lainnya pada saat hari
raya non muslim juga dibolehkan. Disebutkan dalam beberapa
riwayat bahwa sahabat Nabi Saw menerima hadiah perayaan agama
lain. Di antaranya adalah Sayidina Ali, sebagaimana disebutkan
dalam kitab Iqtidha-us Shirathil Mustaqim berikut;

‫َّمنَا َع ْن َعلِ ٍي‬ ِِ ِ ِِِ


ْ ‫ فـََق ْد قَد‬،‫َوأ ََّما قـَبـُْو ُل ا ْلَديَّة منـْ ُه ْم يـَْوَم عْيده ْم‬
‫ أَنَّهُ أُِتَ ِبَ ِديَِّة النِّيـُْرْوِز فـََقبِلَ َها‬-ُ‫ر ِض َي هللاُ َعْنه‬-
َ
Adapun menerima hadiah dari non muslim pada hari raya mereka,
maka kami telah sebutkan dari Sayidina Ali bahwa dia diberi
hadiah Norouz (perayaan tahun baru tradisional tahun baru di
Persia) dan beliau menerimanya.

Melalui riwayat ini dan riwayat lainnya Ibnu Taimiyah menegas­


kan bahwa menerima hadiah dari non-muslim diperbolehkan, baik
berupa makanan atau lainnya, baik pada hari raya mereka atau
selainnya. Beliau berkata sebagai berikut;

‫فـََه َذا ُكلُّهُ يَ ُد ُّل َعلَى أَنَّهُ َل َتْثِيـَْر لِْلعِْي ِد ِ ْف الْ َمْن ِع ِم ْن قـَبـُْوِل‬
‫س ِ ْف‬ ‫ي‬َ‫ل‬ ‫ه‬ َّ
‫ن‬ ‫ل‬
َ ِ ‫ بل ح ْكمها ِف الْعِي ِد و َغ ِيِه سواء؛‬،‫ه ِديَّتِ ِهم‬
َ ْ ُ ٌ ََ ْ َ ْ ْ َُ ُ ْ َ ْ َ
.‫ك إِ َعانَةً َلُْم َعلَى َش َعائِِر ُك ْف ِرِه ْم‬ ِ
َ ‫َذل‬

246
Maka ini semuanya menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh
karena hari raya terhadap larangan menerima hadiah dari non
muslim. Bahkan hukum menerima hadiah di hari raya atau lainya
sama saja. Hal tersebut karena di dalamnya tidak ada unsur
membantu mereka atas syiar kekufurannya.  

247
Hukum Menyantuni
Anak Yatim Non Muslim

ANAK YATIM memiliki tempat istimewa dalam agama Islam. Seorang


muslim dilarang keras melakukan perbuatan zalim pada anak
yatim. Pun, anak yatim harus diperlakukan dengan baik. Seorang
muslim yang memiliki harta berlebih sejatinya diperintahkan untuk
memberikan santunan pada anak yatim. Pun, seyogianya seorang
muslim menjadi orang tua asuh anak yatim tersebut.  
Lantas bagaimana jika anak tersebut ternyata seorang non-
Muslim, apakah tetap dianjurkan untuk menyantuninya? Pun
bagaimana status hukum menyantuni anak yatim yang notabenenya
non-Muslim?
Imam Nawawi dalam kitab Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab
mengatakan boleh hukumnya menyantuni anak yatim non-Muslim.
Orang yang memberikan santunan tersebut mendapatkan pahala.
Islam tidak melarang berbuat kebajikan pada anak-anak yatim
non-Muslim. Simak penjelasan Imam Nawawi berikut; 

‫الَِْي َوأ َْه َل‬ ُّ ‫ص َدقَتِ ِه‬


ْ ‫الصلَ َحاءَ َوأ َْه َل‬ َ ِ‫ص ب‬َّ ُ‫ب أَ ْن َي‬ُّ ‫يُ ْستَ َح‬
‫اس ٍق أ َْو َعلَى َكافِ ٍر‬
ِ َ‫َّق علَى ف‬
َ َ ‫صد‬
ِ ‫ال‬
َ َ‫اجات فـَلَ ْو ت‬
ِ
َ َْ ‫الْ ُمُروءَات َو‬
249
‫َجٌر ِف‬ ِِ ِ ٍِ‫صَر‬ ِ ِ
ْ ‫انّ أ َْو َمُوس ٍّي َج َاز َوَكا َن فيه أ‬ ٍّ ‫م ْن يـَُهود‬
ْ َ‫ي أ َْو ن‬
ِ
‫ب‬ُّ ِ‫الَْر‬
ْ ‫ك‬ َ ‫الُ ْملَ ِة قال صاحب البيان قال الصمريى َوَك َذل‬ ْ
‫(ويُطْعِ ُمو َن الطَّ َع َام َعلَى ُحبِّ ِه‬ َِّ ‫ودلِيل الْمسأَلَِة قـو ُل‬
َ ‫الل تـََع َال‬ َْ ْ َ ُ َ َ
ِ ‫َن ْال‬
ٌّ ِ‫َس َري َح ْر‬
‫ب‬ َّ ‫وم أ‬ ِ ِ ِ ِ
ٌ ُ‫م ْسكينًا َويَت ًيما َوأَس ًريا) َوَم ْعل‬
“Disunahkan untuk memberikan sedekah kepada orang-orang
saleh, orang baik, orang yang menjaga kehormatan dan orang
yang membutuhkan. Namun, apabila bersedekah kepada orang
fasik atau non Muslim dari kalangan Yahudi, Nasrani ataupun
Majusi, maka hukumnya boleh dan secara keseluruhan mendapat
pahala. Pengarang kitab Albayan berkata, ‘Asshaimiri berkata,
‘Begitu juga non-Muslim yang memusuhi kaum Muslim (boleh
diberi sedekah).’ 

Dalil dalam masalah ini adalah firman Allah, Q.S al Insan/76;8


“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada
orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.’ Dan sudah
diketahui bersama bahwa orang yang ditawan adalah non-Muslim
yang memusuhi kaum Muslim.’”

Adapun dalil boleh menyantuni anak yatim adalah firman Allah


dalam Q.S al Insan/76;8, Allah berfirman sebagai berikut;

‫َويُطْعِ ُمو َن الطَّ َع َام َعلَ ٰى ُحبِّ ِه ِم ْس ِكينًا َويَتِ ًيما َوأ َِس ًريا‬
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada
orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.”

Dalam kitab al Umm, Imam Syafi’i menjelaskan boleh hukumnya


bersedekah pada non muslim. Namun, tidak diperbolehkan mem­
be­rikan harta zakat pada non muslim. Pasalnya, zakat hanya
diperuntukkan bagi kalangan kaum muslimin saja. Berbeda halnya,

250
sedekah sunnah semacam menyantuni anak yatim atau memberikan
makanan pada non muslim, itu tindakan yang diperbolehkan. Imam
Syafi’i berkata;

‫َّق َعلَى الْ ُم ْش ِر ِك ِم ْن‬ ِِ


َ ‫صد‬ َ َ‫س أَ ْن يـُت‬َ ْ‫ َوَل َب‬: ‫ال الشَّافع ُّي‬ َ َ‫ق‬
‫الص َدقَِة‬
َّ ‫يض ِة ِم ْن‬ ِِ
َ ‫س لَهُ ِف الْ َف ِر‬
َ ‫النَّافلَة َولَْي‬
Berkata Imam Syafi’i; Dan tidak apa-apa memberikan sedekah
sunnah pada non muslim, akan tetapi sedekah wajib (zakat) tidak
diperbolehkan diberikan pada non muslim. 

Demikian hukum memberikan santunan pada non muslim.


Hakikatnya Islam tidak melarang menyantuni anak yatim yang
non muslim. Bahkan, Islam memberikan limpahan pahala bagi
yang rela membagi hartanya bagi anak yatim. Semoga bermanfaat. 

251
Bolehkah Mempersilakan
Masuk Tamu Beda Agama?

DI ANTARA AJARAN ISLAM yang telah dicontohkan oleh Rasulullah


Saw adalah menerima dan menghormati tamu. Karena itu, ketika
ada tamu yang hendak bertamu kepada kita, maka kita harus mem­
persilakannya masuk dan kita harus menghormatinya dengan baik,
meskipun tamu tersebut berbeda keyakinan dan agama dengan kita.
Di antara hadis yang sudah populer mengenai keharusan meng­
hormati tamu  adalah hadis riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam
Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

ِ ِ ِ ِ ِ
،‫ت‬ ْ ‫ص ُم‬ْ َ‫َم ْن َكا َن يـُْؤم ُن ِبهلل َوالْيـَْوم اآلخ ِر فـَْليـَُق ْل َخ ْياً أ ًْو لي‬
ِ ‫هلل واْليـوِم‬
‫ َوَم ْن َكا َن‬،ُ‫اآلخ ِر فـَْليُ ْك ِرْم َج َاره‬ ِ ِ ِ
َْ َ ‫َوَم ْن َكا َن يـُْؤم ُن ب‬
ِ ِ ِ ِ
ُ‫ضيـَْفه‬ َ ‫يـُْؤم ُن ِبهلل َوالْيـَْوم اآلخ ِر فـَْليُ ْك ِرْم‬
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah
dia berkata baik atau diam. siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, hendaklah dia menghormati tetangganya. Dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
hendaklah dia memuliakan tamunya.

253
Hadis ini dan hadis-hadis lain yang berisi kandungan menghor­
mati dijadikan oleh para ulama mengenai keharusan menghormati
tamu, meskipun berbeda agama. Ini karena anjuran menghormati
tamu dalam hadis ini bersifat umum, baik tamu tersebut berstatus
sebagai muslim maupun non-muslim.
Bahkan berdasarkan hadis di atas, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
menegaskan kewajiban menyambut dan menghormati tamu, baik
tamu tersebut berstatus sebagai muslim maupun non-muslim. Ini
sebagaimana dikatakan oleh beliau dalam kitab Ahkam Ahli Al-
Dzimmah berikut;

ْ ‫ني َوالْ ُك َّفا ِر لِعُ ُم ِوم‬


،‫الََِب‬ ِِ ِ ِ ِّ ‫ب‬
َ ‫الضيَافَةُ َعلَى الْ ُم ْسل ِم ل ْل ُم ْسلم‬
ِ
ُ ‫َوَت‬
ِ ْ ‫ص َعلَْي ِه أ‬
‫اف‬
َ ‫َض‬ َ ‫ إِ ْن أ‬:‫َحَ ُد ِف ِرَوايَة َحنـْبَ ٍل َوقَ ْد َسأ ََل‬ َّ َ‫َوقَ ْد ن‬
َِّ ‫ول‬
‫الل‬ ُ ‫ قَ َال َر ُس‬:‫ضي ُفهُ؟ فـََق َال‬ ِ ‫ضيـ ًفا ِمن أَه ِل الْ ُك ْف ِر ي‬
ُ ْ ْ ْ َ ‫الر ُج ُل‬ َّ
ِ ِ ِ َّ ‫صلَّى‬
‫ب َعلَى‬ ٌ ‫ « «لَيـْلَةُ الضَّْيف َح ٌّق َواج‬:‫اللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬ َ
ِ َ‫ضاف‬ ِ َّ ‫ُك ِّل ُم ْسلٍِم» « فَ َد َّل َعلَى أ‬
،‫ان‬ َ ُ‫َن الْ ُم ْسل َم َوالْ ُم ْش ِرَك ي‬
.‫ص َدقَِة التَّطَُّوِع َعلَى الْ ُم ْسلِِم َوالْ َكافِ ِر‬
َ ‫اها َم ْع َن‬ ِّ ‫َو‬
َ َ‫الضيَافَةُ َم ْعن‬
Wajib menjamu tamu bagi seorang muslim terhadap tamu dari
kalangan kaum muslimin dan non-muslim berdasarkan keumuman
hadis. Imam Ahmad telah menegaskan hal itu. Dalam sebuah
Hanbal, dia telah bertanya; Jika ada seorang kedatangan tamu
dari kalangan non-muslim, apakah dia harus menjamunya? Dia
menjawab; Rasulullah Saw bersabda; malam jamuan (menjamu)
adalah wajib bagi setiap muslim. Ini menunjukkan bahwa seorang
muslim dan orang musyrik yang bertamu, maka keduanya harus
dijamu. Menjamu artinya memberikan hidangan kepada tamu
muslim dan non muslim.

254
Dengan demikian, berdasarkan keterangan di atas dapat diketahui
bahwa mempersilakan tamu yang berbeda agama, menghormati
dan menjamunya, merupakan ajaran Islam. Kita dianjurkan untuk
menghormati tamu kita, baik tamu tersebut berstatus sebagai muslim
maupun non-muslim. 

255
Daftar Pustaka

• ‘Abd al-Rạhmān, Bughyah al-Mustarsyidīn, (Beirut: Dār


al-Fikr, t.th)
• Abū Dāwud, Sunan Abī Dāwud, (Beirut: Dār al-Risālah al-
‘Ālamiyyah, 2009)
• Abu Syujā‘, Ahmad, Matn al-Gāyah wa al-Taqrīb, (Yaman:
Dār al-‘Ilm wa al-Da‘wah, 2003)
• Ạhmad, Musnad Ạhmad, (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 2001)
• ̣ ajar, Faṭh al-Bārī, (Beirut: Dār al-Ma‘rifah,
Al-Asqalānī, Ibn H
1960)
• Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubrā, (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2003)
• Al-Bughā, Mụsthafā Dīb, al-Tadzhīb fī Adillah Matna al-
Ghāyah wa al-Taqrīb (Damaskus: Dār Ibn Katsīr, 1989)
• Al-Buhūtī, Kasāyf al-Qanā‘, (Beirut: ‘Ālam al-Kutub, 1983)
• Al-Bujairimī, Sulaimān, H
̣ āsyiyah al-Bujairimī a’lā al-Khatīb,
(Mesir: Dār al-Fikr, 1995)
• Al-Bukhārī, Mụhammad ibn Ismā‘īl, Ṣ ạhị̄h al-Bukhārī (Beirut:
Dār al-Thaq al-Najāh, 2001)
• Al-Dimyathi, Abu Bakar Syatha, I‘ānah al-Thālibīn, (Mesir:
Dār al-Fikr, 1997)

257
• Al-Ghazālī, al-Mustạsfā, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1993)
• --------------, Ịhyā’ ‘Ulūm al-Dīn, (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, t.th)
• Al-Ghazī, Abū al-Qāsim Mụhammad, Faṭh al-Qarīb al-Mujīb,
(Beirut: Dār al-Minhāj, 2019)
• Al-Haitami, Ibn ̣Hajar, al-Fatāwā al-Kubrā al-Fiqhiyyah,
(Beirut: al-Maktabah al-Islāmiyyah, t.th)
• Al-Hanbali, Ibn Rajab, Faṭh al-Bārī, (Madinah: Maktabaha
al-Ghurabā’ al-Atsariyyah, 1996)
• Al-̣Hịsnī, Taqī al-Dīn, Kifāyah al-Akhyār, (Damaskus: Dār
al-Khair, 1994)
• Al-Jazīrī, al-Fiqh ‘alā Madzāhib al-Arba‘ah, (Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003)
• Al-Jamal, Sulaimān, H
̣ āsyiyah al-Jamal, (Beirut: Dār al-Fikr,
t.th)
• Al-Kaff, Hasan, Taqrīr al-Sadīdah fī al-Masā’il al-Mufīdah,
(Yaman: Dār al-Mīrāts al-Nabawī, 2003)
• Al-Kāsānī, Abu Bakar, Badāi‘ al-̣Sanāi‘ fī Tartīb al-Syarāi‘,
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003)
• Al-Kabīr, Mụhammad al-Amīr, al-Iklīl Syaṛh Mukhtashar
al-Khalīl, (Mesir: Maktabah al-Qāhirah, t.th)
• Al-Muzannī, Mukhtạsar al-Muzannī, (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1998)
• Al-Malibārī, Zain al-Dīn Ạhmad, Faṭh al-Mu‘īn, (Beirut: Dār
Ibn ̣Hazm)
• Al-Nawawi, Abū Zakariyā Yạhyā, al-Majmū‘ Syaṛ̣h al-
Muhadzdzab, (Beirut: Dār al-Fikr, t.th)
• --------------, Syaṛh ̣Sạhị̄h Muslim, (Beirut: Dār Ịhyā al-Turāts
al-‘Arabī, 1972)
• --------------, Raụdah al-Thālibīn, (Beirut: al-Maktab al-Islāmī,
1991)

258
• Al-Sa‘dī, ‘Abd al-Rạhmān, Taisīr al-Karīm al-Rạhmān fī
Tafsīr Kalām al-Mannān, (Riyạ̄d: Maktabah Dār al-Salām,
2002)
• Al-Sumair, Sālim, Safīnah al-Najāh, (Arab Saudi: Dār al-
Minhāj, t.th)
• Al-Syarqāwī, ̣Hāsyiyah al-Syarqāwī, (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1997)
• Al-Syaukani, al-Sail al-Jarār al-Mutadaffiq ‘alā ̣Hadā’iq al-
Azhār, (Beirut: Dār Ibn ̣Hazm, 2004)
• Al-Zụ h ailī, Wahbah, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh,
(Damaskus: Dār al-Fikr, 1985)
• Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, (Beirut: Dār al-Risālah al-
‘Ālamiyyah, 2009)
• Ibn Qayyim, Zād al-Ma‘ād fī Hady Khair al-‘Ibād, (Beirut:
Mu’assasah al-Risālah, 1998)
• Ibn Qudāmah, al-Mughnī, (Arab Saudi: Dār ‘Ālam al-Kutub,
1997)
• Ibn Rusyd, Mụhammad, al-Bayān wa al-Tạḥsīl wa Syaṛh
wa Ta‘līl li Masā’il al-Mustakhrijah, (Beirut: Dār al-Gharb
al-Islāmī, 1988)
• --------------, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtạsid,
(Cairo: Dār al-̣Hadīts, 2004)
• Kementerian Wakaf Kuwait, al-Mausū‘ah al-Fiqhiyyah al-
Kuwaitiyyah, (Kuwait: Kementerian Wakaf, 1983)
• Muslim, ̣Sạhị̄h Muslim, (Beirut: Dār Ịhyā al-Turāts, t.th)
• Nawawi, Abū ‘Abd al-Mu‘thī, Nihāyah al-Zain fī Irsyād al-
Mubtadi’īn, (Beirut: Dār al-Fikr, t.th)
• Zakariyā, Faṭh al-Wahhāb, (Beirut: Dār al-Fikr, 1994)
• -------, Asnā al-Mathālib fī Syaṛh Raụd al-Thālib, (Mesir: al-
Mathba‘ah al-Maymaniyyah, 1895)

259
Referensi Daring

• Lembaga Fatwa Al-Jazair: https://www.marw.dz/%D8%A7


%D9%84%D9%81%D8%AA%D9%88%D9%89-%D8%A7%
D9%84%D8%A5%D9%84%D9%83%D8%AA%D8%B1%D
9%88%D9%86%D9%8A%D8%A9
• Lembaga Fatwa Mesir: https://www.dar-alifta.org/
• Majlis Ulama Indonesia: https://mui.or.id/
• Al-Qur’an Digital Kementerian Agama: https://quran.
kemenag.go.id/

260

Anda mungkin juga menyukai