Anda di halaman 1dari 24

Tujuan Kurikulum Matematika

Seperti diketahui bahwa masyarakat menganggap bahwa matematika merupakan ilmu


yang terstruktur dan deduktif. Artinya, matematika sangat kaku akan aturan. Matematika
hanya berbicara tentang aksioma, teorema, dalil, simbol, dan rumus. Matematika
sepenuhnya merupakan aturan yang kadang sulit untuk dipahami bagi orang yang tidak ahli
dalam matematika. Beberapa tahun terakhir muncul beberapa pengertian tentang
matematika lebih “membumi”, misalnya matematika adalah cara atau alat berpikir,
matematika adalah seni, matematika adalah bahasa. Meskipun belum memberikan dampak
seperti MTV, yang sangat fenomenal mempengaruhi gaya hidup remaja di dunia, namun
setidaknya motivasi untuk mempelajari matematika semakin meningkat.
Pada inisiasi kedua ini berisi tentang tujuan pembelajaran matematika sekolah.
Pembahasan diawali dengan pengertian standar kompetensi dan pengembangan-nya. Bahan
yang digunakan didasarkan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang disusun oleh
Badan Standar Nasional Pendidikan kemudian tentang kecakapan matematika
(mathematical proficiency), yakni membahas tentang lima untaian kecakapan dalam
matematika, yakni Conceptual Understanding, Procedural fluency, Strategic Competence,
Adaptive Reasoning, dan Productive Disposition. Kelima kecakapan tersebut tentu saja
tidak saling bebas, artinya satu sama lain saling berkaitan dan mempengaruhi. Misalnya,
proses pembelajar dengan penalaran akan berdampak pada pemahaman konsep yang baik.
Prosedur sangat berguna dalam proses menyelesaikan masalah, tetapi penggunaan prosedur
haruslah dipahami dan menggunakan nalar. Selain itu, dalam implementasinya kita tidak
dapat, bahkan tidak boleh, memfokuskan pada satu atau beberapa kecakapan tersebut.
Kelimanya harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang dihasilkan dari proses belajar
matematika.
Materi ini akan mengantarkan mahasiswa pada pemahaman tentang pengembangan
standar kompetensi serta bagaimana mengimplementasikannya dalam proses pembelajaran,
khususnya dalam pembelajaran matematika. Tujuan dari pendidikan tidak hanya
meningkatkan siswa pada aspek kognitif saja, melainkan juga aspek afektif dan
psikomotornya.
Dalam matematika, kecakapan matematika (mathematical proficiency) merupakan
tujuan yang harus dicapai dalam proses belajar matematika. Terdapat 5 strand yang
membangun kecakapan matematika, kelimanya berkembang secara gradual dalam
pembelajaran matematika. Hubungan kelima strand tersebut interwoven dan
interdependent. Perlu mendapat perhatian bahwa kelima strand tersebut akan berkembang
dengan baik manakala pembelajaran matematika difokuskan pada pemecahan masalah.
Diharapkan dengan mempelajari modul ini, Anda mempunyai pemahaman tentang
standar kompetensi yang dirumuskan oleh BNSP dalam bentuk Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan, khususnya dalam matematika, yang berisi tentang standar kompetensi lulusan,
kompetensi dasar, serta pengembangan indikator-indikator yang berkaitan dengan
kompetensi dasar. Kemudian mahasiswa juga diharapkan mampu memahami tujuan
matematika sekolah, kecakapan matematika, serta bagaimana mengembangkan kecakapan
tersebut dalam proses pembelajaran matematika.

STANDAR KOMPETENSI PENDIDIKAN

A. PENTINGNYA STANDARISASI PENDIDIKAN

1
Kurikulum pendidikan Indonesia saat ini adalah kurikulum 2006 atau sering disebut
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam implementasinya setiap
satuan dalam pendidikan, dalam hal ini sekolah diharuskan menyusun dan mempunyai
dokumen KTSP. Dokumen tersebut, dokumen KTSP, di dalamnya memuat tentang
rancangan kerja sekolah, mulai dari visi, misi, tujuan pendidikan dalam jangka panjang dan
pendek, kemudian analisis potensi sekolah, analisis kebutuhan sekolah, kalender akademik
(pendidikan), serta dokumen yang terkait khusus dengan persiapan kegiatan belajar
mengajar untuk setiap mata pelajaran, yakni silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP).
Penyusunan silabus dan RPP sangat bergantung pada Standar Isi kurikulum yang telah
disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Meski demikian, menurut Tilaar
(2006) kualitas pendidikan bukan hanya ditentukan oleh faktor kurikulum (standar), tetapi
juga oleh faktor-faktor yang lain seperti penguasaan siswa terhadap isi yang telah digariskan
di dalam kurikulum serta tersedianya sumber-sumber belajar yang memadai (opportunity to
learn, OTL). Lebih lanjut, Tilaar mengatakan bahwa di dalam penelitian mengenai apakah
pendidikan di Amerika Serikat telah berhasil ditingkatkan sesudah 20 tahun pelaksanaan
pembaharuan, ternyata bahwa pada akhirnya peningkatan kualitas terpusat dan ditentukan
oleh perbaikan proses belajar dan mengajar.
Dunia pendidikan saat ini sepertinya sangat terkait dengan dunia ekonomi. Masyarakat
memandang bahwa keberhasilan dalam dunia pendidikan akan dilihat dampaknya dari sisi
ekonomi. Tidak dipungkiri bahwa bangsa dan negara yang mempunyai prioritas
pembangunan nasionalnya adalah pendidikan telah menjadi bangsa yang maju (depeloved
nation). Pandangan tersebut menurut Tilaar (2006) adalah dunia pendidikan modern
menurut epistema ekonomi diukur pada sejauh mana dunia pendidikan memberikan
sumbangan terhadap kebutuhan perkembangan ekonomi. Dengan kata lain, apakah dunia
pendidikan mempersiapkan anggota masyarakat yang mempunyai kompetensi sebagaimana
yang dituntut oleh kehidupan ekonomi. Pendidikan merupakan pemasok sumber daya
manusia yang dibutuhkan oleh dunia kerja, serta bagi perkembangan ekonomi. Idealisme
pendidikan sebagaimana dikenal di dalam kehidupan masyarakat sederhana sampai pada
masyarakat yang memegang Idealisme pendidikan telah berubah. Lembaga-lembaga
pendidikan telah beralih fungsi menjadi lembaga-lembaga pelatihan untuk memperoleh
kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kompetensi-kompetensi tersebut
adalah kompetensi-kompetensi yang dituntut oleh dunia modern yang terlepas dari
Idealisme pendidikan sebagaimana yang dikenal pada masa sebelumnya.
Standard dan kompetensi menurut Tilaar (2006) merupakan buah dari masyarakat
modern. Thomas L. Friedman dalam bukunya The World is Flat menyebutkan bahwa
penyebab lahirnya dunia modern adalah pencerahan akal, rasionalisme, empirisme, dan
eksplorasi alam. Abad pencerahan (Aufklärung), menandai munculnya pemberontakan
masyarakat terhadap dogma-dogma agama dan feodalisme pemerintah saat itu. Masyarakat
menuntut adanya kebebasan dalam mengungkapkan hasil pikiran akal manusia. Gerakan ini
menuntut adanya kehidupan yang demokratis, yang menghargai kebebasan berpikir, serta
hakikat manusia yang bebas merdeka. Gerakan pencerahan akal ini berakibat pada kekuatan
akal yang tidak terbatas, ilmu pengetahuan yang benar diperoleh melalui rasio manusia
bahkan kepercayaan dan agama manusia yang benar hanya dapat diberikan oleh rasio, aliran
ini sering disebut aliran Rasionalisme. Ungkapan yang terkenal dari aliran ini adalah aku
berpikir maka aku ada.
Salah satu ciri masyarakat modern adalah terbuka dan efisien. Hal ini sebagaimana
ditemukan Inkeles (Saud & Suherman, 2006) dari hasil penelitiannya bahwa masyarakat

2
modern tersebut mempunyai 12 ciri, yakni bersikap terbuka terhadap pengalaman baru,
selalu siap menghadapi perubahan sosial, berpandangan luas, mempunyai dorongan ingin
tahu yang kuat, lebih berorientasi pada masa sekarang dan masa yang akan datang
dibandingkan dengan masa lampau, berorientasi dan juga percaya pada perencanaan baik
jangka panjang maupun jangka pendek, lebih percaya pada hasil perhitungan dan pemikiran
manusia daripada akal atau pembawaan, menghargai keterampilan teknik, dan juga
menggunakannya sebagai dasar pemberian imbalan, wawasan pendidikan dan pekerjaan,
menyadari dan menghargai kemuliaan orang lain, serta memahami perlunya produksi.
Selain itu, masyarakat pada dunia modern makin cerdas sehingga menuntut produk-
produk serta layanan yang cepat, mudah, tepat, dan puas. Dengan demikian, standar dan
kompetensi merupakan tuntutan-tuntutan yang mutlak. Akhirnya, semua hal yang berkaitan
dengan hajat hidup selalu diukur atas dasar tersebut, all can be measured. Untuk kebutuhan
tersebut maka lahirlah kesepakatan-kesepakatan tentang standar yang ditetapkan secara
internasional, yakni International Standardization Organization (ISO). Imbasnya terhadap
pendidikan adalah munculnya standar dalam pendidikan, baik itu standar pelaksanaan,
layanan, maupun standar produk yang dihasilkan.
Tujuan pendidikan menurut Tilaar (2006) selalu bersifat sementara atau “tujuan yang
berlari”. Hal ini berarti tujuan pendidikan setiap saat bisa direvisi dan disesuaikan dengan
tuntutan perubahan. Di dalam UUD 1945 telah dirumuskan tujuan ideal (sebagaimana yang
telah dibahas pada modul 1), yakni mencerdaskan kehidupan bangsa (masyarakat). Tujuan
pendidikan nasional merupakan suatu upaya untuk mewujudkan cita-cita tersebut ialah
warga negara Indonesia yang cerdas. Dengan kata lain, pendidikan nasional semakin lama
semakin meningkat. Dengan demikian, diperlukan adanya standarisasi dalam pendidikan
nasional. Menurut Tilaar (2006) standarisasi dalam pendidikan nasional diperlukan dalam
arti seperti berikut.
1. Standarisasi pendidikan nasional merupakan suatu tuntutan politik. Sebagai negara
kesatuan republik Indonesia diperlukan yardstick untuk menilai sejauh mana warga
negara Indonesia itu mempunyai visi yang sama, pengetahuan dan keterampilan yang
dapat mengembangkan negara kesatuan tersebut.
2. Standarisasi pendidikan nasional merupakan suatu tuntutan globalisasi. Dunia dewasa
ini, telah merupakan suatu kampung global sehingga satu negara tidak dapat
bersembunyi lagi. Di dalam kehidupan global terjadi persaingan yang semakin lama
semakin meningkat dan tajam. Oleh sebab itu setiap warga negara perlu mengangkat
dirinya sendiri di dalam kehidupan yang penuh persaingan. Kehidupan yang penuh
persaingan bukan berarti kehidupan yang penuh permusuhan, tetapi terus-menerus
memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuan diri agar tidak menjadi budak dari
bangsa-bangsa lain.
3. Standarisasi pendidikan nasional merupakan tuntutan dari kemajuan (progress). Setiap
negara tidak menginginkan negaranya tertinggal dari bangsa-bangsa yang lain. Apabila
Indonesia masih tergolong negara berkembang tentunya mempunyai cita-cita untuk
meningkatkan martabatnya untuk menjadi negara maju. Untuk menjadi negara maju
tentunya diperlukan kualitas sumber daya manusia yang tinggi yang bukan hanya
menjadi konsumer dari produk-produk negara lain, tetapi juga dapat berpartisipasi di
dalam meningkatkan mutu kehidupan manusia.
Menurut Mulyasa (2002) terdapat dua jenis standar dalam pendidikan, yakni standar
akademik (Academic content standards) dan standar kompetensi (Performance standards).
Standar akademis merefleksikan pengetahuan dan keterampilan esensial setiap disiplin ilmu
yang harus dipelajari oleh seluruh peserta didik, sedangkan standar kompetensi ditunjukkan

3
dalam bentuk proses atau hasil kegiatan yang didemonstrasikan oleh peserta didik sebagai
penerapan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajarinya. Dengan demikian,
standar akademis bisa sama untuk seluruh peserta didik, tetapi standar kompetensi bisa
berbeda.
Standar yang perlu diterapkan dalam sistem pendidikan nasional adalah standar
kompetensi minimal. Batasan kompetensi ini perlu dirumuskan secara eksplisit dalam
keseluruhan sistem pendidikan nasional. Secara samar-samar, standar kompetensi untuk
setiap tujuan pokok bahasan dapat diidentifikasi dari uraian GBPP atau kisi-kisi ujian yang
dikembangkan oleh para guru.
Standar kompetensi pendidikan ini diperlukan agar tidak terjadi penyimpangan, dan
kesalahan dalam menafsirkan kurikulum dan meng-implementasikan kurikulum (Mulyasa,
2002). Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis dari standar akademis yang harus dicapai
sering kali diterapkan secara seragam bagi setiap peserta didik dengan tanpa memperhatikan
perbedaan individu, baik kemampuan, kecepatan belajar, maupun sosial dan budayanya.
Penetapan tersebut akan mengurangi penyimpangan dalam mengeliminasi salah tafsir dalam
implementasi kurikulum, misalnya standar kompetensi siswa di kota (DKI Jakarta) tentu
tidak harus sama dengan siswa di daerah dengan sarana dan prasarana pendidikan yang
masih kurang.
Secara khusus dalam matematika, standarisasi kurikulum haruslah dipahami bahwa
standar merupakan nilai yang telah dipertimbangkan secara luas, mempunyai visi yang
sejalan dengan dunia persekolahan yang diturunkan dari beberapa faktor, antara lain tujuan
sosial, tujuan siswa, penelitian pada pembelajaran dan pengajaran, serta pengalaman
profesional.
Bahasan berikutnya dalam kegiatan belajar ini dikutip secara penuh dari KTSP yang
dikembangkan oleh BSNP. Alasan pengutipan secara penuh adalah materi yang disajikan
sangat penting untuk dipahami secara aktual dan komprehensif oleh mahasiswa. Mahasiswa
akan mempunyai pemahaman bagaimana standar kompetensi lulusan dan
pengembangannya, bagaimana Kompetensi Dasar dikembangkan dan pada akhirnya
bagaimana mengembangkan indikator dari kompetensi dasar yang ada pada setiap mata
pelajaran.

B. STANDAR KOMPETENSI LULUSAN


Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) dikembangkan berdasarkan
tujuan setiap satuan pendidikan dan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut.
Acuan untuk merumuskan kompetensi lulusan dapat berupa landasan yuridis, yaitu
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan persyaratan yang ditentukan oleh
pengguna lulusan atau dunia kerja (workplace). Secara yuridis, kompetensi lulusan dapat
dijabarkan dari perumusan tujuan pendidikan yang terdapat di dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa Pendidikan
Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu,
cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Selain berdasarkan peraturan perundang-undangan, kompetensi lulusan sekolah juga
dapat dirumuskan berdasarkan persaratan yang ditentukan oleh pengguna lulusan atau dunia
kerja (workplace/ stakeholder). Usaha dimaksud dengan melalui pengintegrasian Standar
Kompetensi (SK) yang ditentukan oleh industri ke dalam kurikulum sekolah. “Dunia

4
industri menentukan standar kompetensi lulusan berupa pengetahuan dan keterampilan yang
harus dikuasai seseorang agar memiliki kompetensi untuk memasuki dunia kerja” (Adams,
1995 : 3). Secara garis besar, kompetensi dimaksud merupakan panduan antara
pengetahuan, keterampilan, dan penerapan pengetahuan dan keterampilan tersebut dalam
melaksanakan tugas di lapangan kerja. Secara rinci, kompetensi dimaksud meliputi (1)
keterampilan melaksanakan tugas pokok; (2) keterampilan mengelola; (3) keterampilan
melaksanakan pengelolaan dalam keadaan mendesak; (4) keterampilan berinteraksi dengan
lingkungan kerja dan bekerja sama dengan orang lain; serta (5) keterampilan menjaga
kesehatan dan keselamatan kerja.
Perumusan aspek kompetensi secara rinci dapat dilakukan dengan menganalisis
kompetensi. Bloom menganalisis kompetensi menjadi tiga aspek, dengan tingkatan yang
berbeda-beda setiap aspeknya, yaitu kompetensi:
1. kognitif yang mencakup pengetahuan, pemahaman, dan perhatian;
2. afektif yang mencakup nilai, sikap, minat, dan apresiasi;
3. penampilan yang menyangkut demonstrasi keterampilan fisik atau psikomotorik;
4. produk atau konsekuensi yang menyangkut keterampilan melakukan perubahan terhadap
pihak lain;
5. eksploratif atau ekspresif, menyangkut pemberian pengalaman yang mempunyai nilai
kegunaan di masa depan, sebagai hasil samping yang positif.

Sehubungan dengan kompetensi yang dijabarkan dari tujuan pendidikan nasional, ada
dua butir kompetensi yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu pertama kecakapan hidup
(life skill) dan kedua keterampilan sikap.
Kecakapan hidup (life skill) merupakan kecakapan untuk menciptakan atau menemukan
pemecahan masalah-masalah baru (inovasi) dengan menggunakan fakta, konsep, prinsip,
atau prosedur yang telah dipelajari. Penemuan pemecahan masalah baru itu dapat berupa
proses maupun produk yang bermanfaat untuk mempertahankan, meningkatkan, atau
memperbaharui hidup dan kehidupan peserta didik. Kecakapan hidup tersebut diharapkan
dapat dicapai melalui berbagai pengalaman belajar peserta didik. Dari berbagai pengalaman
mempelajari berbagai materi pembelajaran, diharapkan peserta didik memperoleh hasil
samping yang positif berupa upaya memanfaatkan pengetahuan konsep, prinsip, dan
prosedur untuk memecahkan masalah baru dalam bentuk kecakapan hidup. Di samping itu,
hendaknya kecakapan hidup tersebut diupayakan pencapaiannya dengan
mengintegrasikannya pada topik dan pengalaman belajar yang relevan dengan kehidupan
sehari-hari.
Sebagai contoh, seorang peserta didik tinggal di sebuah kampung pedalaman di tepi
sungai. Di sekolah dia telah mempelajari dinamo pembangkit tenaga listrik dan sifat-sifat
arus air yang antara lain dapat menggerakkan turbin atau baling-baling. Peserta didik
tersebut kemudian memanfaatkan air sungai untuk menggerakkan baling-baling yang
dihubungkan dengan dinamo yang digantungkan di permukaan air di tengah sungai
sehingga diperoleh aliran listrik yang dapat digunakan untuk penerangan. Contoh lain,
peserta didik yang telah mempelajari bejana berhubungan dan sifat-sifat air yang tidak
menghantarkan udara, lalu menciptakan “leher angsa” dari bahan tanah liat untuk penahan
bau dalam pembuatan WC, dapat membuat alat untuk menyiram tanaman hias yang
digantung.
Selain kecakapan yang bersifat teknis (vokasional), kecakapan hidup juga mencakup
juga kecakapan sosial (sosial skill), misalnya kecakapan mengadakan negosiasi, kecakapan
memilih dan mengambil posisi diri, kecakapan mengelola konflik, kecakapan mengadakan

5
hubungan antarpribadi, kecakapan memecahkan masalah, kecakapan mengambil keputusan
secara sistematis, kecakapan bekerja dalam sebuah tim, kecakapan berorganisasi.
Keterampilan sikap (afektif) mencakup dua hal. Pertama, sikap yang berkenan dengan
nilai, moral, tata susila, baik, buruk, demokratis, terbuka, dermawan, jujur teliti. Kedua,
sikap terhadap materi dan kegiatan pembelajaran, seperti menyukai, menyenangi,
memandang positif, menaruh minat. Mengingat sulitnya merumuskan, mengajarkan, dan
mengevaluasi aspek afektif, sering kali kompetensi afektif tersebut tidak dimasukkan dalam
program pembelajaran. Sama halnya dengan kecakapan hidup, kompetensi afektif
hendaknya diupayakan pencapaiannya melalui pengintegrasian dengan topik-topik dan
pengalaman belajar yang relevan.
Selain dengan tujuan pendidikan nasional, kompetensi yang di harapkan dimiliki oleh
lulusan atau tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Berkenaan dengan aspek afektif, peserta didik memiliki keimanan dan ketakwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai ajaran agama masing-masing tercermin dalam
perilaku sehari-hari; memiliki nilai-nilai etika dan estetika, serta mampu mengamalkan
dan mengekspresikannya dalam kehidupan sehari-hari; memiliki nilai-nilai demokrasi,
toleransi, dan humaniora, serta menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara baik dalam lingkup nasional maupun global.
2. Berkenaan dengan aspek kognitif, menguasai ilmu, teknologi, dan kemampuan
akademik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
3. Berkenaan dengan aspek psikomotorik, memiliki keterampilan berkomunikasi,
kecakapan hidup dan mampu beradaptasi dengan perkembangan lingkungan sosial ,
budaya, dan lingkungan alam baik lokal regional, maupun global; memiliki kesehatan
jasmani dan rohani yang bermanfaat untuk melaksanakan tugas/kegiatan sehari-hari.

Berdasarkan rumusan tersebut maka kompetensi dapat dikelompokkan menjadi


kompetensi yang berkenaan dengan bidang moral keagamaan, kemanusiaan (humaniora),
komunikasi, estetika, dan IPTEK.
Hal ini tercantum dalam Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar Menengah, Pasal 1:
(1) Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah digunakan
sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik.
(2) Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standar
kompetensi lulusan minimal Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Standar
Kompetensi Lulusan minimal kelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi
minimal mata pelajaran.
(3) Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada
lampiran Peraturan Menteri ini.

Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Satuan Pendidikan untuk Sekolah Menengah Atas
(SMA) sebagaimana yang tercantum dalam lampiran Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006
adalah:
1. berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianut sesuai dengan perkembangan
remaja;
2. mengembangkan diri secara optimal dengan memanfaatkan kelebihan diri serta
memperbaiki kekurangannya;
3. menunjukkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab atas perilaku, perbuatan, dan
pekerjaannya;

6
4. berpartisipasi dalam penegakan aturan-aturan sosial;
5. menghargai keberagaman agama, bangsa, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dan
lingkup global;
6. membangun dan menerapkan informasi dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan
inovatif;
7. menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam pengambilan
keputusan;
8. menunjukkan kemampuan mengembangkan budaya belajar untuk pemberdayaan diri;
9. menunjukkan sikap kompetitif dan sportif untuk mendapatkan hasil yang terbaik;
10. menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah kompleks;
11. menunjukkan kemampuan menganalisis gejala alam dan sosial;
12. memanfaatkan lingkungan secara produktif dan bertanggung jawab;
13. berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara
demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);
14. mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan budaya;
15. mengapresiasi karya seni dan budaya;
16. menghasilkan karya kreatif, baik individual maupun kelompok;
17. menjaga kesehatan dan keamanan diri, kebugaran jasmani, serta kebersihan lingkungan;
18. berkomunikasi lisan dan tulisan secara efektif dan santun;
19. memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat;
20. menghargai adanya perbedaan pendapat dan berempati terhadap orang lain;
21. menunjukkan keterampilan membaca dan menulis naskah secara sistematis dan estetis;
22. menunjukkan keterampilan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa
Indonesia dan inggris;
23. menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan tinggi.

Berdasarkan profil kompetensi lulusan tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam


sejumlah SK dan kompetensi mata pelajaran yang relevan yang diperlukan untuk mencapai
kebulatan kompetensi tersebut.

C. STANDAR KOMPETENSI MATA PELAJARAN

1. Pengertian Standar Kompetensi Mata Pelajaran


Untuk memantau perkembangan mutu pendidikan diperlukan SK. SK dapat
didefinisikan sebagai “pernyataan tentang pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus
dikuasai peserta didik serta tingkat penguasaan yang diharapkan dapat dicapai dalam
mempelajari suatu mata pelajaran”. Menurut definisi tersebut, SK mencakup dua hal, yaitu
standar isi (standards), standar penampilan (performance standards).
SK yang mencakup isi berupa pernyataan tentang pengetahuan, sikap, dan keterampilan
yang harus dikuasai peserta didik dalam mempelajari mata pelajaran tertentu, seperti
Kewarganegaraan, Matematika, Fisika. Biologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris. SK yang
menyangkut tingkat penampilan adalah pernyataan tentang kriteria untuk menentukan
tingkat penguasaan peserta didik terhadap SI.
Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa SK memiliki dua penafsiran, yaitu (a)
pernyataan tujuan yang menjelaskan apa yang harus diketahui peserta didik dan
kemampuan melakukan sesuatu dalam mempelajari suatu mata pelajaran; dan (b) spesifikasi
skor atau peringkat kinerja yang berkaitan dengan kategori pencapaian seperti lulus atau
memiliki keahlian.

7
SK merupakan kerangka yang menjelaskan dasar pengembangan program pembelajaran
terstruktur. SK juga merupakan fokus dari penilaian sehingga proses pengembangan
kurikulum adalah fokus dari penilaian meskipun kurikulum lebih banyak berisi tentang
dokumen pengetahuan keterampilan dan sikap daripada bukti-bukti untuk menunjukkan
bahwa peserta didik yang akan belajar telah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal.
Dengan demikian, SK diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam:
a. melakukan suatu tugas atau pekerjaan;
b. mengorganisasikan agar pekerjaan dapat dilaksanakan;
c. melakukan respons dan reaksi yang tepat bila ada penyimpangan dari rancangan semula;
d. melaksanakan tugas dalam situasi dan kondisi yang berbeda.

Penyusunan SK suatu jenjang atau tingkat pendidikan merupakan usaha untuk membuat
suatu sistem sekolah menjadi otonom, mandiri, dan responsif terhadap keputusan kebijakan
daerah dan nasional. Kegiatan ini diharapkan mendorong munculnya standar pada tingkat
lokal dan nasional. Penentuan standar hendaknya dilakukan dengan cermat dan hati-hati.
Sebab, apabila setiap sekolah atau setiap kelompok sekolah mengembangkan standar sendiri
tanpa memperhatikan standar nasional maka pemerintah pusat akan kehilangan sistem untuk
mengontrol mutu sekolah. Akibatnya, kualitas sekolah akan bervariasi dan tidak dapat
dibandingkan kualitas antara yang satu dengan sekolah yang lain. Lebih jauh lagi kualitas
sekolah antarwilayah yang satu dengan wilayah yang lain tidak dapat dibandingkan. Pada
gilirannya kualitas sekolah secara nasional tidak dapat dibandingkan dengan kualitas
sekolah secara tidak dapat dibandingkan dengan kualitas sekolah Negara lain.
Pengembangan SK perlu dilakukan secara terbuka, seimbang, dan melibatkan semua
kelompok yang akan dikenai standar tersebut.
Melibatkan semua kelompok sangatlah penting agar kesepakatan yang telah dicapai
dapat dilaksanakan secara bertanggung jawab oleh pihak sekolah masing-masing. Di
samping itu, kajian SK di negara-negara lain perlu juga dilakukan sebagai bahan rujukan
agar lulusan kita tidak jauh ketinggalan dengan lulusan Negara lain. SK yang telah
ditetapkan berlaku secara nasional, namun cara mencapai standar tersebut diserahkan pada
kreasi masing-masing wilayah.
2. Penentuan Standar Kompetensi Mata Pelajaran
Perlu diingat kembali bahwa kompetensi merupakan kebulatan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang dapat didemonstrasikan, ditunjukkan atau ditampilkan oleh
peserta didik sebagai hasil belajar. Sesuai dengan pengertian tersebut maka SK adalah
standar kemampuan yang harus dikuasai peserta didik untuk menunjukkan bahwa hasil
mempelajari mata pelajaran tertentu berupa penguasaan atas pengetahuan, sikap, dan
keterampilan tertentu telah dicapai.
Langkah-langkah menganalisis dan mengurutkan SK adalah:
a. menganalisis SK menjadi beberapa Kompetensi Dasar (KD);
b. mengurutkan KD sesuai dengan keterkaitan baik secara prosedur maupun hierarkis.

Terdapat dua pendekatan pokok dalam analisis dan urutan SK di samping pendekatan
yang ketiga, yakni gabungan antara kedua pendekatan pokok tersebut. Dua pendekatan
dimaksud adalah pertama pendekatan prosedural dan kedua pendekatan hierarkis
(berjenjang), sedangkan gabungan antara kedua pendekatan tersebut dinamakan pendekatan
kombinasi.

a. Pendekatan prosedural

8
Pendekatan prosedural (procedural approach) dipakai apabila SK yang harus dikuasai
berupa serangkaian langkah-langkah secara urut dalam mengerjakan tugas pembelajaran.
Diagram umum pendekatan prosedural adalah sebagai berikut.

1 2 3

Gambar 2.1.
Diagram Pendekatan Prosedural

Contoh dalam pelajaran Ilmu pengetahuan sosial Terpadu (IST) ada beberapa SK yang
diharapkan dapat dipelajari secara berurutan. Guru diharapkan dapat menyajikan mana yang
akan didahulukan. Misalnya, kompetensi (1) mengidentifikasi konsep-konsep yang
membangun IST, (2) mendeskripsikan hubungan timbal balik antara manusia dan
lingkungannya, serta (3) mendeskripsikan perubahan sosial budaya masyarakat. Dari ketiga
kompetensi tersebut maka kompetensi untuk mengidentifikasi konsep-konsep yang
membangun IST harus paling dulu dipelajari, setelah itu baru mempelajari dua kompetensi
berikutnya. Di antara dua kompetensi berikutnya maka penguasaan terhadap kompetensi
mendeskripsikan hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya lebih
didahulukan agar peserta didik dengan mudah mendeskripsikan perubahan sosial budaya
masyarakat, mengingat perubahan yang terjadi justru sebagai salah satu akibat hubungan
timbal balik antara manusia dan lingkungannya. Apabila disajikan dalam bentuk diagram
dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut.

Kompetensi 1: Kompetensi 2: Kompetensi 3:


Mendeskripsikan Mendeskripsikan
Mengidentifikasi masalah-masalah global
pergeseran nilai dan
etika dalam masyarakat gejala dan dampak yang terjadi di Indonesia
perkembangan
teknologi dalam
kehidupan manusia

Gambar 2.2.
Diagram Pendekatan Prosedural dalam IST

Dari hasil tersebut maka ada beberapa hal yang perlu dicatat, yakni:
1) peserta didik harus menguasai SK tersebut secara berurutan;
2) masing-masing SK dapat diajarkan secara terpisah (independen);
3) hasil (output) dari setiap langkah merupakan masukan (input) untuk langkah berikutnya.

b. Pendekatan hierarkis
Pendekatan hierarkis menunjukkan hubungan yang bersifat subordinat antara beberapa
SK yang ingin dicapai. Dengan demikian, ada yang mendahului dan ada yang kemudian.
SK yang mendahului merupakan prasyarat bagi SK berikutnya.
Untuk mengidentifikasi beberapa SK yang harus dipelajari lebih dulu agar peserta didik
dapat mencapai SK yang lebih tinggi dilakukan dengan jalan mengajukan pertanyaan
“apakah yang harus sudah dikuasai oleh peserta didik, agar dengan pengajaran yang
seminimal mungkin dapat diketahui SK yang diperlukan sebelum peserta didik dapat
menguasai SK berikutnya”.
Untuk memperjelas, berikut disajikan diagram analisis SK menurut pendekatan hierarkis
dalam mata pelajaran matematika.

9
Kompetensi 4:
Melakukan pembagian

Kompetensi 3:
Melakukan perkalian

Kompetensi 2:
Melakukan pengurangan

Kompetensi 1:
Melakukan penjumlahan

Gambar 2.3. Diagram Pendekatan Hierarkis


Kecakapan Matematika
(Mathematical Proficiency )

Sering menjadi topik yang banyak dibicarakan tentang apa itu matematika dan apa
kegunaan dari matematika. Sayangnya menurut Ramaley (2007) hal tersebut sering terjadi
miskonsepsi. Pada tahun-tahun belakangan ini masyarakat mencoba mendefinisikan
matematika, misalnya mathematics as the study of pattern atau the language of sicence,
tetapi para matematikawan profesional menghindar untuk mendefinisikan matematika.
Definisi terbaik menurut Ramaley (2007) adalah definisi yang diungkapkan oleh Adler pada
sekitar tahun 1960-an, yakni matematika adalah apa yang para matematikawan kerjakan
(mathematics is what mathematicians do). Hal yang sama terjadi juga dalam sains, para
scientist akhirnya mendefinisikan science is what scientist do.
Definisi lain yang muncul pada beberapa tahun ke belakang dikemukakan oleh Norman
Gottlieb, dia mengatakan bahwa “Mathematics is the study of precisely defined objects”.
BSNP (2006) dalam Standar Isi kurikulum menjelaskan bahwa matematika merupakan ilmu
universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting
dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang
teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di
bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang, dan matematika diskrit. Untuk
menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang
kuat sejak dini. Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik
mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut
diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan
memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak
pasti, dan kompetitif.
Standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika dalam dokumen ini disusun
sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut di atas. Selain
itu, dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika
dalam pemecahan masalah dan mengomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan
simbol, tabel, diagram, dan media lain. Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus
dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal,
masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara
penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan
keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah,
dan menafsirkan solusinya.

10
Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan
pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan
masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep
matematika. Untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran, sekolah diharapkan
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, seperti komputer, alat peraga, atau
media lainnya.
Visi pendidikan matematika menurut NCTM (2000) harus mempunyai ambisi yang
tinggi. Keberhasilan yang diharapkan merupakan kesatuan dari kurikulum matematika
sekolah, kemampuan guru yang terintegrasi dalam pembelajaran, kebijakan dalam
pendidikan sehingga mendorong dan meningkatkan kualitas pembelajaran, kelas yang
berbasis teknologi komunikasi dan informatika.
Kebutuhan akan pemahaman dan aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari atau
dunia kerja telah menjadi sesuatu yang besar dan akan secara terus-menerus meningkat.
NCTM (2000) memberikan ilustrasi sebagai berikut.
1. Mathematics for life. Pengetahuan matematika menjadi kepuasan dan kemampuan
secara personal. Fondasi kehidupan sehari-hari akan matematika dan teknologi semakin
meningkat. Khususnya, pengambilan keputusan, pemilihan jaminan kesehatan,
pendidikan, perdagangan, politik..
2. Mathematics as part of culture heritage. Matematika merupakan suatu budaya dan
kemampuan intelektual yang terbesar dari manusia. masyarakat harus mengembangkan
apresiasi dan pemahamannya sehingga kemampuan, termasuk di dalamnya estetika dan
aspek hiburan.
3. Mathematics for the workplace. Sama halnya tahapan kebutuhan matematika dalam
menciptakan masyarakat yang cerdas, kemampuan berpikir matematika dan pemecahan
masalah juga diperlukan dalam pekerjaan, peningkatan keprofesionalan yang terbentang
dalam area kesehatan sampai dengan desain grafis.
4. Mathematics for the scientific and technical community. Meskipun semua karier
memerlukan dasar-dasar pengetahuan matematika, bahkan beberapa bidang perlu
matematika tingkat tinggi. Namun, siswa harus didorong dan diberi jalan untuk
disiapkan menjadi ahli dalam matematika, ahli statistika, ahli mesin, dan saintis.
Dari uraian di atas, pemahaman dan proses matematika apa yang signifikan mendorong
hal di atas di masa yang akan datang. Fondasi ini diperlukan bagi pengambil kebijakan yang
akan menyusun kurikulum matematika, serta guru yang merupakan ujung tombak dalam
proses pelaksanaan pembelajaran matematika sekolah. Pengembangan sebuah strategi
pembelajaran akan menjadi titik tolak dalam mencapai harapan-harapan di atas. NCTM
(2000) merekomendasikan 6 prinsip yang harus menjadi perhatian implementasi
matematika sekolah, antara lain Equity, Curriculum, Teaching, Learning, Assesment, dan
Technology.
1. Equity. Keunggulan dalam pendidikan matematika haruslah adil- pemberian harapan
yang tinggi dan dorongan yang kuat haruslah sama untuk semua siswa.
2. Curriculum. Suatu kurikulum lebih dari koleksi atau sekumpulan aktivitas; dengan
demikian haruslah koheren, difokuskan pada pentingnya matematika, dan terartikulasi
dengan baik pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
3. Teaching. Pembelajaran matematika yang efektif harus memberikan pemahaman kepada
siswa apa yang mereka ketahui dan diperlukan untuk belajar, juga dapat memberi
tantangan dan dorongan untuk belajar lebih baik.
4. Learning. Siswa harus belajar matematika dengan pemahaman, secara aktif membangun
pengetahuan barunya melalui pengalaman dan pengetahuan sebelumnya.

11
5. Assessment. Penilaian harus mendukung pentingnya pembelajaran matematika dan
melengkapi informasi yang berguna bagi guru dan siswa.
6. Technology. Teknologi merupakan salah satu kebutuhan yang esensial dalam
pembelajaran matematika yang mempunyai pengaruh dalam kemampuan berpikir dan
dorongan dalam belajar matematika.

Pentingnya pengembangan proses pembelajaran matematika sekolah akan berdampak


pada pengembangan kemampuan siswa, baik kemampuan matematika siswa maupun
kemampuan berpikir dalam pemecahan masalah. Menurut Kilpatric, dkk. (2001)
pembelajaran matematika sekolah harus mampu mengembangkan kecakapan matematika
yang terdiri dari 5 untaian yang satu sama lain menyatu menjadi simpul. Kelima kecakapan
tersebut adalah conceptual understanding, procedural fluency, strategic competence,
adaptive reasoning, dan productive disposition. Gambaran tentang kaitan antara kelima
kecakapan tersebut dapat terlihat pada Gambar 2.1.
Conceptual understanding atau pemahaman matematika berkaitan dengan kemampuan
memahami konsep, operasi, dan kaitan atau relasi dalam matematika. Procedural fluency
atau kelancaran prosedur berkaitan dengan keterampilan dalam menggunakan prosedur dan
algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan sewajarnya. Strategic competence berkaitan
dengan kemampuan untuk memformulasi, merepresentasikan, dan menyelesaikan masalah
secara matematis. Proses ini berkaitan dengan penyelesaian langkah-langkah dalam
pemecahan masalah. Adaptive reasoning berkaitan dengan kapasitas berpikir logis, mampu
memberikan penjelasan dan melakukan justifikasi. Terakhir, yakni productive disposition
berkaitan dengan kebiasaan yang cenderung memahami bahwa matematika mempunyai
kegunaan dan manfaat baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain sehingga menjadikan ia
rajin dan mandiri dalam belajar matematika.

A. PEMAHAMAN KONSEPTUAL (CONCEPTUAL UNDERSTANDING)

Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari
sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut
diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan
memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak
pasti, dan kompetitif.
Kurikulum 2006 dengan jelas menyebutkan bahwa mata pelajaran matematika bertujuan
agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam
pemecahan masalah;
2. menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam
membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika;
3. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model
matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh;
4. mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk
memperjelas keadaan atau masalah.

12
5. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa
ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan
percaya diri dalam pemecahan masalah.

Kompetensi konseptual berkaitan dengan suatu pemahaman dari ide-ide matematika


yang terintegrasi dan fungsional. Dengan pemahaman konseptual siswa jauh lebih
mengetahui fakta-fakta dan metode yang asing, yang belum pernah mereka lakukan.
Mereka memahami mengapa suatu ide matematika itu penting dan bagian-bagiannya
berguna. Mereka mampu mengorganisasikan pengetahuan secara menyeluruh, yakni
mampu memperoleh ide baru melalui pengaitan ide-idenya dengan apa yang telah mereka
punyai.
Pemahaman konseptual ini juga sangat mendukung daya ingat. Karena fakta dan metode
yang dipelajari dengan pemahaman telah dilakukan secara terkoneksi, mereka akan mudah
mengingat dan menggunakan, serta merekonstruksinya kembali di kala mereka lupa. Jika
siswa paham suatu metodenya saja maka tidak menjamin mereka dapat mengingatnya
dengan benar.
Indikator yang penting (significant) dari pemahaman konseptual adalah mampu
merepresentasikan situasi secara matematis dengan cara yang berbeda dan mengetahui
bagaimana representasi yang berbeda tersebut dapat berguna untuk maksud yang berbeda.
Memperoleh sebuah cara dalam ranah matematika akan berimplikasi mampu melihat
berbagai koneksi representasi dengan yang lainnya, mungkin kesamaannya, dan mungkin
perbedaannya. Dengan demikian, siswa yang mempunyai pemahaman konseptual akan kaya
dan luas koneksi-koneksi yang dibuatnya.
Sebagai contoh, misalkan siswa menjumlahkan dua buah bilangan pecahan, sebut .
Mereka dapat menggambar sebuah bangun datar dalam bentuk persegi atau lingkaran atau
mereka menggunakan benda konkret untuk menunjukkan penjumlahan kedua pecahan
tersebut. Mereka juga dapat menggunakan cerita realistik yang berkaitan dengan masalah
tersebut. Mereka dapat menggunakan garis bilangan, menyatakan setiap pecahan dengan
segmen dan penjumlahannya dengan cara menggabungkan segmen-segmen tersebut.
Melalui pecahan sejenis (renaming the fractions), mereka akan memperoleh pecahan
dengan penyebut (denominator) yang sama, siswa akan sampai pada pengukuran
persekutuan untuk pecahan dan kemudian dapat menjumlahkannya dan besaran jumlah
kedua pecahan tersebut akan terlihat pada garis bilangan. Variasi tersebut akan memberikan
dorongan pada siswa untuk mendiskusikan persamaan dan perbedaan dari representasi-
representasi tersebut, kelebihannya, dan bagaimana mereka harus mengoneksikan jika
mereka memperoleh hasil yang sama.
Pengoneksian lebih bermanfaat apabila hubungan pengaitan antar konsep dan metode
menggunakan cara-cara yang tepat. Pengetahuan yang telah dipelajari melalui pemahaman
menjadi dasar dalam pengembangan pengetahuan baru dan berguna sebagai penyelesaian
baru dalam menyelesaikan masalah-masalah yang tidak biasa (unfamiliar). Ketika siswa
telah memperoleh pemahaman konseptual dalam matematika, mereka akan melihat koneksi
antara konsep dan prosedur dan juga dapat memberikan argumen untuk menjelaskan
mengapa beberapa fakta atau kenyataan sebagai konsekuensi dari fakta lainnya. Mereka
lebih percaya diri sehingga dapat mengantarkan mereka untuk mempelajari konsep yang
lebih tinggi.
Pemahaman konseptual juga akan menolong siswa dalam mengkritisi kesalahan
penyelesaian soal-soal matematika, khususnya soal-soal yang berkaitan dengan perhitungan.

13
Misalnya, ketika siswa menyelesaikan perkalian 9,83 dengan 7,65 dan mereka memperoleh
hasil 7519,95. Siswa akan segera memutuskan bahwa jawaban yang diperolehnya salah.
Siswa menjustifikasinya melalui perbandingan, yakni 10  8 hasilnya 80, jadi haruslah hasil
dari 9,83  7,65 kurang dari 80. Untuk siswa tingkat sekolah menengah, misalnya
dalam perhitungan teori peluang. Jika perhitungan peluang suatu kejadian kurang 0 atau
lebih dari satu maka siswa akan segera mengambil kesimpulan bahwa jawabannya salah
karena peluang suatu kejadian paling kecil 0 dan paling besar 1. Dengan kata lain,
pemahaman konseptual akan memunculkan sensitivitas pada diri siswa.
Pemahaman konseptual digunakan oleh siswa dalam menyelesaikan suatu masalah
matematika dengan sifat-sifat atau aturan-aturan yang ada sehingga masalah tersebut
menjadi lebih mudah diselesaikan. Sebagai contoh, untuk siswa tingkat sekolah dasar,
biasanya siswa lebih mudah menyelesaikan penjumlahan menempatkan bilangan terbesar
lebih dahulu, yakni 11 + 3 dibandingkan dengan 3 + 11. Manakala siswa dihadapkan pada
soal perhitungan 3 + 11, siswa yang mempunyai pemahaman konseptual akan
menggunakan sifat komutatif sehingga dia menyelesaikannya melalui penjumlahan 11 + 3.
Begitu juga untuk soal 8 + 9, siswa biasanya lebih menjumlahkan bilangan dobel (misalnya
6 + 6, 8 + 8). Siswa yang mempunyai pemahaman konseptual akan mereduksi 8 + 9
menjadi 1 lebih dari 8 + 8. Pengaitan-pengaitan tersebut memberikan kemudahan bagi
siswa untuk membangun pengetahuan yang baru dibandingkan dengan menghafal konsep
tanpa bermakna.

B. KELANCARAN PROSEDUR (PROCEDURAL FLUENCY)

Kelancaran prosedur berkaitan dengan pengetahuan prosedur atau algoritma,


pengetahuan yang berkaitan dengan kapan dan bagaimana menggunakan secara tepat, dan
keterampilan dalam keluwesannya, keakuratan, serta keefisienan. Sebagai contoh, dalam
konsep bilangan kelancaran prosedur secara khusus diperlukan untuk mendukung
pemahaman konsep nilai tempat dan bilangan rasional, serta dalam melakukan analisis
persamaan dan perbedaan antara metode-metode operasi perhitungannya, yakni melakukan
penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian sebaik yang dilakukan dengan
menggunakan kalkulator, komputer, atau alat-alat lainnya yang digunakan untuk membantu
perhitungan.
Siswa memerlukan cara yang efisien dan akurat dalam melakukan perhitungan fakta
dasar dalam bilangan cacah, misalnya 7 + 8, 17 – 9, 8  9 tanpa menggunakan alat bantu
hitung seperti tabel fakta perhitungan fakta dasar. Mereka juga perlu mengetahui cara yang
layak untuk melakukan penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian bilangan
multidigit baik secara mental maupun menggunakan pensil dan kertas.
Pengetahuan yang berkaitan dengan kelancaran prosedur adalah pengetahuan yang
berkaitan dengan cara-cara untuk mengestimasi hasil dari suatu prosedur. Hal tersebut
bukanlah sesuatu yang sangat kritis. Sebagai contoh, siswa yang mampu mengembangkan
kecepatan dan efisien dalam melakukan perhitungan yang melibatkan bilangan besar
dengan tangan, kelihatannya hanya memberi sedikit kelebihan kemampuan dalam mencapai
tujuan. Akan tetapi, banyak tugas-tugas matematika yang menyertakan masalah sehari-hari
(everyday life) mengharuskan penggunaan algoritma untuk meningkatkan perhitungan atau
mental aritmatika.

14
Dalam penggunaan alat-alat untuk perhitungan, beberapa algoritma menjadi sangat
penting sebagaimana konsep itu sendiri, dengan kata lain ada kaitan antara pemahaman
konsep dengan prosedur. Siswa perlu melihat bahwa prosedur-prosedur dapat
dikembangkan sehingga akan menyelesaikan bagian-bagian dari masalah. Dengan
mempelajari algoritma sebagai prosedur yang umum, siswa dapat mengubah wawasan ke
dalam fakta bahwa matematika terstruktur dengan baik (well structured) sehingga
pengembangan prosedur tersebut menjadi alat yang kuat dalam menyelesaikan tugas-tugas
rutinnya.
Hal tersebut penting sehingga prosedur yang dilakukan dalam perhitungan menjadi
efisien, akurat, dan hasilnya benar. Keakuratan dan keefisienan dapat ditingkatkan dengan
latihan sehingga dapat membantu siswa memberikan kelancaran. Selain itu, siswa juga
perlu luwes dalam menggunakan prosedur. Tidak semua perhitungan selalu mirip. Sebagai
contoh, dalam perkalian kadangkala anak perlu luwes dalam menggunakan prosedur atau
algoritma perkalian. Anak harus dapat menggunakan berbagai variasi strategi mental untuk
perkalian yang melibatkan bilangan 10, 20, atau 300. Contoh lainnya, dalam penjumlahan
199 dengan 67 atau menghitung hasil kali 4 dan 26 dengan menggunakan strategi mental
yang cepat dibandingkan dengan cara menghitungnya dengan menggunakan pensil dan
kertas. Dengan kata lain, keluwesan dalam menggunakan strategi akan membawa anak pada
kemampuan menaksir hasil sebuah perhitungan atau penyelesaian masalah matematika,
mampu memperkirakan apakah jawaban yang telah dibuatnya itu benar atau salah, bahkan
pada akhirnya siswa akan mampu memilih cara yang paling tepat untuk digunakan dalam
menyelesaikan suatu masalah.
Kelancaran prosedur dan pemahaman konseptual sering terlihat seperti saling bersaing
dalam matematika sekolah. Namun, hal tersebut merupakan suatu yang tidak tepat.
Sebagaimana telah dibahas bahwa keduanya merupakan jaringan yang saling melengkapi.
Pemahaman membuat keterampilan belajar menjadi lebih mudah, tidak rentan
memunculkan kesalahan, serta tidak mudah lupa. Artinya, kedua hal itu (pemahaman
konseptual dan kelancaran prosedur) apabila muncul dalam pembelajaran matematika maka
akan saling menguatkan. Sebagai contoh, seorang anak akan kesulitan dalam melakukan
perhitungan yang melibatkan bilangan multidigit apabila dia tidak mempunyai kelancaran
dalam prosedur, di lain pihak anak yang hanya mengembangkan prosedur tanpa
pemahaman, akan mengalami kesukaran memahami mengapa prosedur tersebut dapat
digunakan. Akibatnya, sering kali terjadi anak akan menggunakan prosedur tanpa
memperhatikan syarat-syarat dari prosedur tersebut. Misalnya, anak sudah mengetahui
bagaimana menggunakan aturan Pythagoras, akan tetapi jika dia tidak memahami
konsepnya maka anak tersebut akan menggunakannya pada semua segitiga (segitiga siku-
siku dan segitiga tidak siku-siku).
Jika tidak cukup dalam kelancaran prosedur, siswa akan mengalami kesulitan dalam
mendalami pemahaman ide matematika atau menyelesaikan masalah matematika. Namun,
ketika mereka berlatih prosedur matematika tanpa memahaminya maka hal tersebut akan
berbahaya. Mereka akan menggunakan prosedur yang salah. Kilpatrick, Swafford & Findell
(2001) memberi contoh hasil tes yang diberikan pada siswa kelas 2 pada topik pengurangan,
yakni 62 – 48 = ? Hasilnya hanya 38% siswa yang benar mengerjakan soal tersebut.
Banyak siswa yang mengerjakan dengan hasil 26. Jika siswa telah belajar pengurangan
dengan pemahaman maka hal tersebut tidak akan terjadi.

15
Jika siswa belajar prosedur tanpa dengan pemahaman, siswa perlu memperluas latihan
sehingga tidak lupa langkah-langkah yang harus dilakukannya. Jika mereka sudah dapat
memahaminya maka kecil kemungkinan untuk lupa pada langkah-langkah yang krusial dan
besar kemungkinan dapat merekonstruksi kembali ketika mereka bekerja. Dengan
demikian, perlu memberi penekanan untuk belajar dengan pemahaman.
Jika siswa telah dan masih menggunakan prosedur yang salah dalam jangka waktu yang
lama, kemudian memperoleh pembelajaran yang menekankan pada pemahaman maka hal
tersebut kurang efektif. Akibat yang ditimbulkannya adalah ketika siswa belajar sesuatu
yang baru, prosedur yang benar, mereka tidak akan secara otomatis dapat menghilangkan
pengetahuan yang telah ada pada dirinya. Lebih lanjut, mereka menggunakan prosedur lama
atau prosedur baru bergantung pada situasi. Hanya dengan waktu dan latihanlah mereka
akan berhenti menggunakan metode yang salah dan tidak efisien tersebut. Artinya,
mengawali pembelajaran dengan pemahaman dapat membuat pembelajaran lebih efisien.
Ketika keterampilan dipelajari tanpa pemahaman, mereka telah belajar pengetahuan
seperti kepingan yang terpotong-potong. Mempelajari topik baru harus dilakukan dengan
usaha yang keras karena pengetahuan sebelumnya tidak memberi arti atau berpengaruh
terhadap pengetahuan yang baru tersebut. Akhirnya, muncul pemikiran dalam diri siswa
bahwa setiap masalah mempunyai prosedur yang berbeda-beda. Sebagai contoh, ketika
siswa belajar tentang suatu prosedur untuk menyelesaikan masalah pengurangan tanpa
pengelompokan kembali dan menganggap berbeda ketika belajar tentang prosedur masalah
pengurangan dengan pengelompokan.

C. KOMPETENSI STRATEGIS (STRATEGIC COMPETENCE)

Kompetensi strategis berkaitan dengan kemampuan (ability) untuk memformulasi


masalah secara matematis, merepresentasikan, dan menyelesaikannya. Untaian ini sama
dengan penyelesaian masalah dan memformulasi masalah dalam matematika dan bidang
sains, dan penyelesaian masalah matematika, khususnya studi yang lebih luas lagi.
Meskipun di sekolah, siswa sering dihadirkan dengan masalah yang jelas
penyelesaiannya, di luar sekolah mereka sering berhadapan dengan situasi yang mungkin
sulit untuk digambarkan bagaimana jalan keluar untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapinya. Kemudian siswa perlu untuk dapat memformulasi masalah tersebut sehingga
dapat menggunakan matematika untuk menyelesaikannya. Konsekuensinya, mereka
mungkin memerlukan pengalaman dan latihan memformulasi masalah sebaik
menyelesaikannya. Mereka harus mengetahui berbagai strategi penyelesaian yang mungkin
yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah yang khusus. Sebagai contoh, siswa
kelas 6 mungkin ditanya tentang permasalahan kantin sekolah. Beberapa hal yang mungkin
ingin diketahui, misalnya apakah makanan yang dijual terlalu mahal atau apakah jenis
makanan yang dijual mencukupi atau terlalu sedikit, dan pertanyaan lainnya.
Dengan formula di tangan mereka, langkah pertama yang dilakukan oleh siswa adalah
menyusun representasi secara matematika dalam berbagai bentuk, misalnya dalam bentuk
numerik, simbol, verbal, atau dalam bentuk grafik. Siswa kelas 5 sekolah dasar dapat
menyusun rute yang dapat dilaluinya dari rumah ke sekolah baik melalui gambar peta
maupun menyatakannya secara verbal. Representasi dari situasi masalah akan mampu

16
memberikan beberapa implikasi pada siswa, yakni siswa dapat membangun bayangan
mental dari komponen-komponen penting suatu masalah. Artinya, siswa akan mampu
memilih metode mana yang tepat untuk digunakan dari berbagai metode yang telah
dipahaminya. Untuk merepresentasikan suatu masalah dengan akurat, pertama kali siswa
harus paham situasinya, termasuk di dalamnya elemen-elemen kunci. Mereka kemudian
perlu mengembangkan representasi matematika dari masalah sehingga elemen kunci
matematikanya diperoleh dan menghilangkan hal-hal yang tidak relevan. Langkah ini
mungkin difasilitasi dengan cara menggambar, menuliskan persamaan, atau menemukan
beberapa representasi yang nyata. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut.

Di ARCO, bensin dijual dengan harga $1.13 per gallon.


Harga ini 5 sen lebih murah dibandingkan harga di Chevron.
Berapakah harga 5 galon bensin di Chevron?

Metode yang bisa dilakukan untuk merepresentasikan masalah ini difokuskan pada bilangan
yang ada pada masalah dan menggunakan kata kunci untuk melakukan operasi aritmatika.
Sebagai contoh, harga $1.13 dan 5 sen diikuti dengan kata kunci lebih murah, mendorong
siswa akan melakukan operasi pengurangan 5 sen dari $1.13, yakni $1.08. Kata kunci
selanjutnya, kata berapa banyak dan 5 galon yang akan mendorong mengalikan 5 dengan
$1.08 sehingga diperoleh $5.40.
Cara kontras yang menggunakan pendekatan lebih efisien adalah mengonstruksi model
masalah, yakni model mental dari gambaran situasi dalam masalah. Suatu model masalah
yang tidak dapat digambarkan secara visual lebih baik menggunakan bentuk representasi
mental yang di dalamnya memuat pengaitan yang terstruktur antara variabel-variabel dalam
masalah. Satu cara untuk memahami dua kalimat pertama adalah meminta siswa untuk
membayangkan banyaknya baris dan lokasi harga setiap galon untuk menyelesaikan
masalah tersebut.
Dalam membangun suatu model masalah, siswa perlu hati-hati terhadap besaran-besaran
yang ada pada masalah. Hal ini sangat penting sekali sehingga siswa merepresentasikan
besaran-besaran secara mental, yakni membedakan apa yang diketahui dari apa yang
ditemukan. Analisis siswa dapat membuka mata bahwa kesuksesan penyelesai masalah dari
dua langkah di atas mungkin difokuskan pada ARCO, Chevron, dan harga ini, prinsip
besaran yang diketahui dan tidak diketahui dalam soal. Kekurangsuksesan penyelesai
masalah cenderung memfokuskan pada bilangan tertentu dan kata kunci, seperti 5 sen,
$1.13, lebih murah, dan galon daripada pengaitan antara besaran-besaran tersebut.
Siswa tidak hanya mampu membangun representasi dari situasi yang tunggal, tetapi juga
perlu melihat beberapa representasi lain dalam struktur matematika. Seorang penyelesai
masalah yang baru akan menemukan kesulitan dalam melihat kesamaan ciri-ciri (hal-hal
yang istimewa) yang muncul dalam masalah, untuk yang bisa atau bahkan sudah expert
biasanya sudah mampu memfokuskan pada pengaitan-pengaitan yang ada dalam masalah,
pengaitan-pengaitan tersebut menjadi petunjuk atau jalan baginya dalam menyelesaikan
masalah. Sebagai contoh, siswa diberi soal tentang bagaimana menentukan berapa susunan
berbeda dari 5 balok yang terdiri dari balok merah dan hijau, soal lainnya misalkan
ditanyakan tentang berapa banyak cara berbeda hamburger-hamburger yang disusun dengan
atau tanpa bahan (with or without) bahan-bahan, seperti saos, bawang, acar, selada, dan
tomat. Seorang penyelesai masalah yang baru tidak akan melihat kaitan antara kedua soal
tersebut, tetapi yang sudah expert akan melihat bahwa kedua masalah di atas berkaitan,
yakni 5 pilihan antara dua hal, merah dan hijau atau tanpa atau dengan.

17
Untuk menjadi penyelesai masalah yang cakap, siswa harus belajar bagaimana
membentuk representasi mental dari masalah, mendeteksi kaitan-kaitan matematis, dan
menemukan metode penyelesaian yang baru ketika diperlukan. Karakteristik mendasar yang
diperlukan selama proses penyelesaian masalah adalah keluwesan (flexibility). Keluwesan
berkembang seiring dengan perkembangan pengetahuan yang sering muncul ketika
menyelesaikan masalah nonrutin daripada masalah rutin.
Masalah rutin adalah suatu masalah yang siswa mengetahui bagaimana
menyelesaikannya didasarkan pada pengalaman masa lalunya. Ketika siswa dihadapkan
pada masalah rutin, siswa mengetahui metode penyelesaian yang dan telah ada dalam
pikirannya. Masalah-masalah rutin berkaitan hanya bersifat mengulang kembali pikiran,
siswa hanya perlu meniru dan menggunakan prosedur penyelesaian yang telah
diketahuinya. Sebagai contoh, tentukan hasil kali 567 dan 46 adalah masalah rutin untuk
sebagian besar orang dewasa mereka mengetahui apa dan bagaimana mengerjakannya.
Contoh lainnya, untuk siswa SMP atau SMA adalah tentukan akar dari persamaan kuadrat
! Siswa hanya tinggal menggunakan metode pemfaktoran atau rumus kuadrat
yang telah diberikan oleh gurunya. Atau yang lebih ekstrem adalah ketika siswa dihadapkan
pada masalah penyelesaian soal pertidaksamaan kuadrat, misal . Biasanya, guru
memberikan prosedur dengan langkah pertama adalah mengubah pertidaksamaan kuadrat
menjadi persamaan kuadrat, yakni dan menyelesaikannya. Setelah diperoleh
akar dari persamaan tersebut, kemudian guru menuliskan garis bilangan dan melakukan
pengujian dengan mengambil sampel titik uji pada setiap interval yang telah dibagi menjadi
tiga bagian. Langkah terakhir adalah menyimpulkan himpunan penyelesaian. Jika tanda
pertidaksamaannya  maka himpunan penyelesaiannya adalah daerah/interval yang lebih
besar atau sama dengan nol, begitu juga sebaliknya.
Ketika siswa ditanya, mengapa untuk menyelesaikan pertidaksamaan kuadrat harus
diubah dahulu menjadi persamaan kuadrat. Sangat sedikit siswa yang memahaminya.
Mengapa diambil titik uji pada setiap daerah/interval? Siswa juga kadang tidak
memahaminya. Guru jarang atau bahkan tidak mengawali dengan konsep perkalian dua
bilangan, yakni menentukan berbagai kemungkinan dari nilai .
Kemudian mengajak siswa untuk menggunakan konsep tersebut mengkaji penyelesaian
pertidaksamaan kuadrat. Cara lain yang dapat digunakan untuk penyelesaian persamaan
kuadrat adalah menggunakan pendekatan grafik. Dengan pendekatan ini, siswa secara visual
akan melihat pada interval mana fungsi kuadrat bernilai sesuai dengan pertidaksamaan yang
akan diselesaikannya.
Sebaliknya, soal/masalah nonrutin adalah soal yang mana siswa/pembelajar tidak serta
merta mengetahui metode/prosedur penyelesaian yang harus digunakan. Masalah nonrutin
mengharuskan pemikiran yang produktif karena pembelajar perlu menemukan sebuah cara
untuk memahami dan menyelesaikan masalahnya. Sebagai contoh, untuk anak SMP
masalah nonrutin sering diperoleh pada majalah atau Koran sebagaimana contoh berikut.

Sebuah toko sepeda memiliki jumlah total 36 sepeda roda dua dan roda tiga.
Keseluruhan rodanya ada 80 buah.
Berapa banyak sepeda (roda dua) dan sepeda roda tiga di toko tersebut?

Sebuah pendekatan penyelesaian yang cukup beralasan adalah kesemua sepeda (36) paling
sedikit mempunyai roda dua buah, dengan demikian banyaknya roda adalah 36  2 = 72.

18
Karena di sana ada 80 roda maka 8 roda sisanya (80 – 72) untuk sepeda dengan tiga roda.
Dengan demikian banyaknya sepeda yang mempunyai dua roda adalah 36 – 8 = 28 buah.
Pendekatan yang cukup canggih mungkin menggunakan metode “guess dan check”: jika
misalkan terdapat 20 sepeda (roda dua) dan 16 roda tiga, maka akan diperoleh (20  2) +
(16  3) = 88 roda sepeda, hal ini terlalu banyak. Dengan mereduksi banyaknya sepeda roda
tiga, misalkan 24 sepeda roda dua dan 12 sepeda roda tiga, diperoleh banyaknya roda (24 
2) + (12  3) = 84 buah. Kemudian sepeda roda tiga direduksi lagi 4 buah sehingga
diperoleh 28 sepeda roda dua dan 8 sepeda roda tiga dan hasil pemeriksaan menunjukkan
bahwa banyaknya roda (28  2) + (8  3) = 80 buah roda.
Cara yang lebih canggih adalah menggunakan aljabar, yakni sistem persamaan linear.
Misalkan sepeda rida dua b dan sepeda roda tiga t maka diperoleh persamaan dan
. Dengan menggunakan eliminasi atau substitusi diperoleh nilai b = 28 dan t = 8.
Seorang siswa yang mempunyai kompetensi strategis tidak hanya ahli dalam beberapa
pendekatan masalah nonrutin, tetapi juga mampu luwes dalam penalaran, guess and check,
aljabar, dan metode lainnya yang tepat sesuai dengan tuntutan permasalahan. Keluwesan
pendekatan merupakan syarat kognitif utama untuk menyelesaikan masalah nonrutin. Hal
tersebut dapat dilihat ketika suatu metode ditemukan atau dianggap cocok memenuhi situasi
yang baru, hal tersebut dapat digunakan sebagai prinsip umum untuk memilih cara yang
terbaik. Sebagai contoh, ketika diminta memilih antara 4 ons kacang yang harganya 45 sen
dan 10 ons kacang yang harganya 90 sen, banyak orang yang menggunakan strategi
perbandingan atau rasio, yakni kacang yang beratnya lebih besar harganya 2 kali lipat dari
harga yang kecil, tetapi isinya lebih dari dua kali lipatnya maka itulah yang lebih baik
dibeli. Ketika kita memilih antara 14 ons jeli dengan harga 79 sen dan 18 ons jeli yang
harganya 81 sen banyak orang akan menggunakan strategi berbeda. Jeli yang lebih berat
harganya hanya 2 sen lebih mahal, tetapi kita mendapatkan 4 ons lebih banyak maka yang
besarlah yang lebih baik dibeli. Namun, dalam kasus memilih antara kantong yang berisi 3
ons biji bunga matahari seharga 30 sen dan 4 ons seharga 40 sen maka strategi yang bisa
digunakan adalah menghitung harga satuan, yakni untuk kantong kecil adalah 10 sen per
ons dan untuk kantong yang besar 11 sen per ons sehingga bunga matahari dalam kantong
kecillah yang lebih baik dibeli.
Terdapat kaitan yang saling mendukung antara kompetensi strategis dan kedua keahlian
lainnya, pemahaman konseptual dan kelancaran prosedur, seperti beberapa pendekatan
penyelesaian pada masalah di toko sepeda di atas. Pengembangan strategi untuk masalah
nonrutin bergantung pada pemahaman banyaknya pengaitan yang ada dalam masalah dan
pengaitan-pengaitan tersebut akan memberi dampak ketika menyelesaikan soal rutin. Sama
saja, pengembangan kompetensi dalam menyelesaikan soal nonrutin merupakan sarana dan
motivasi untuk pembelajaran penyelesaian masalah rutin dan untuk memahami konsep-
konsep matematika.
Siswa yang kelancaran prosedurnya telah berkembang maka mereka akan menggunakan
kompetensi strategis dalam memilih prosedur yang efektif. Mereka juga telah belajar bahwa
memunculkan penyelesaian suatu masalah matematika bergantung pada kemampuan untuk
menggunakan prosedur yang siap dan sebaliknya, pengalaman dalam menyelesaikan
masalah membantu mereka memperoleh konsep dan keterampilan baru. Terpenting, anak-
anak menggunakan berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah dan cenderung memilih
strategi-strategi yang tepat dalam menyelesaikan masalah tersebut. Mereka dengan
demikian telah menunjukkan dasar-dasar dari adaptive reasoning yang merupakan cabang
atau helaian dari keahlian matematika lainnya.

19
D. PENALARAN ADAPTIF (ADAPTIVE REASONING)

Penalaran adaptif terkait dengan kapasitas berpikir logis tentang kaitan antara konsep
dan situasi. Penalaran yang benar dan valid (sahih), datang dari pertimbangan yang hati-hati
dari berbagai kemungkinan, termasuk di dalamnya pengetahuan bagaimana menjustifikasi
sebuah kesimpulan. Dalam matematika, penalaran adaptif merupakan perekat sehingga
berlaku untuk semua dan menjadi pedoman dalam pembelajaran. Penalaran adaptif ini
untuk menavigasi berbagai fakta, prosedur, konsep dan metode penyelesaian, serta melihat
bahwa semua cocok satu sama lain. Dalam matematika, penalaran deduktif digunakan
untuk menjawab perdebatan dan ketidaksetujuan. Jawaban yang benar disebabkan mereka
mengikuti langkah-langkah secara logis yang dimulai dari asumsi-asumsi. Siswa yang tidak
setuju tentang jawaban matematikanya perlu untuk melakukan pemeriksaan bersama
gurunya, mengumpulkan pendapat dari temannya, atau mungkin juga mengambil data dari
luar kelas. Prinsipnya, mereka perlu memeriksa bahwa penalaran yang digunakannya sahih.
Beberapa konsepsi penalaran matematika dibatasi untuk bukti formal atau penalaran
deduktif. Ide dari penalaran adaptif ini lebih luas, termasuk di dalamnya tidak hanya
penjelasan informal dan justifikasi, tetapi juga intuisi dan penalaran deduktif yang
didasarkan pada pola analogi, dan metafora. Kemampuan seseorang dalam menemukan
korespondensi secara analogi merupakan kekuatan dalam mekanisme penalaran. Penalaran
analogi, metafora, dan representasi mental dan fisik merupakan alat berpikir yang sering
menjembatani penyusunan hipotesis, sumber operasi dan teknik penyelesaian masalah, serta
membantu dalam pembelajaran.
Perwujudan dari penalaran adaptif adalah kemampuan memberi alasan (justify) dalam
pekerjaannya. Di sini digunakan kata justify yang berkaitan dengan kecukupan bernalar.
Bukti (proof) merupakan perwujudan dari pemberian alasan (justification), tetapi tidak
semua pemberian alasan merupakan pembuktian. Pembuktian (formal dan nonformal) harus
lengkap secara logis, tetapi justifikasi mungkin hanyalah anggapan dari penalaran.
Justifikasi dan penalaran merupakan pertanda dari matematika formal, sering terlihat
sebagai bidang kajian dari siswa di kelas yang tinggi. Siswa perlu menjustifikasi dan
menjelaskan ide-ide matematikanya secara terurut untuk membuat penalarannya jelas,
mengasah keterampilan bernalarnya, dan mengembangkan pemahaman konseptualnya.
Pengembangan dari keahlian ini memerlukan waktu yang cukup panjang. Siswa perlu
menggunakan konsep dan prosedur baru dalam beberapa kali untuk menjelaskan dan
menjustifikasi melalui pengaitan konsep dan prosedur sehingga mereka memahaminya.
Sebagai contoh, siswa tidak cukup hanya dengan latihan soal penjumlahan pecahan setelah
prosedurnya dikembangkan. Jika siswa telah memahami algoritma, mereka juga
memerlukan pengalaman dalam menjelaskan dan menjustifikasinya dengan beberapa
masalah yang berbeda.
Penalaran adaptif berinteraksi dengan untaian keahlian yang telah dibahas sebelumnya,
secara khusus hal tersebut terjadi ketika menyelesaikan masalah nonrutin. Siswa
menggambarkan kompetensi strategisnya untuk memformulasi dan merepresentasikan suatu
masalah, penggunaan pendekatan yang heuristic akan menyediakan strategi penyelesaian,
tetapi penalaran adaptif terjadi ketika mereka sedang menentukan keabsahan strategi yang
akan digunakan. Pemamahan konseptual menyediakan metafora dan representasi yang
sehingga dapat menjadi sumber penalaran adaptif sehingga siswa akan menentukan apakah
penyelesaiannya dapat dibenarkan dan kemudian menjustifikasinya. Sering kali suatu
strategi membantu kelancaran dalam melakukan perhitungan, pengukuran atau lainnya,

20
tetapi penalaran adaptif harus digunakan untuk menentukan apakah prosedur itu tepat
menggunakannya.

E. WATAK PRODUKTIF (PRODUCTIVE DISPOSITION)

Productive disposition terkait dengan kecenderungan untuk melihat sense dalam


matematika, untuk melihat kegunaan dan manfaat, untuk percaya bahwa usaha yang terus-
menerus dalam belajar matematika bermanfaat, dan untuk mengecek diri sendiri sebagai
seorang pembelajar efektif. Jika siswa mengembangkan kemampuan pemahaman
konseptual, kelancaran prosedur, kompetensi strategis, dan penalaran adaptif, mereka harus
memandang bahwa matematika itu understandable, not arbitrary; sehingga berusaha
dengan tekun, hal itu dapat dipelajari dan digunakan; sehingga mereka menjadi cakap.
Pengembangan productive disposition menyediakan banyaknya kesempatan untuk membuat
rasa dari matematika, mengatur manfaat ketekunan, dan memperoleh hadiah dari
munculnya rasa dalam matematika (dalam bentuk kepuasan).
Productive disposition berkembang ketika untaian yang lain bekerja dan membantu
masing-masing untaian tersebut berkembang. Sebagai contoh, siswa yang membangun
kompetensi strategis melalui pemecahan masalah nonrutin, sikap dan kepercayaannya
tentang dirinya sebagai pembelajar matematika menjadi lebih positif. Lebih banyak konsep-
konsep matematika yang dipahaminya, lebih sensitif dalam matematika. Sebaliknya, ketika
siswa jarang menyelesaikan masalah-masalah matematika, mereka beranggapan bahwa
mengingat lebih baik daripada membentuk rasa dalam matematika, akhirnya mereka akan
kehilangan kepercayaan dirinya sebagai seorang pembelajar. Sama juga, ketika siswa
melihat dirinya sebagai seorang yang mampu dalam pembelajaran matematika dan
menggunakannya dalam penyelesaian masalah, mereka dapat mengembangkan kemampuan
kelancaran prosedural atau kemampuan penalaran adaptifnya. Disposisi siswa terhadap
matematika merupakan faktor utama dalam menentukan keberhasilan pendidikannya. Siswa
yang berpandangan bahwa kemampuan matematikanya kurang sehingga dalam proses
belajar matematika sering menghindari mengerjakan soal matematika maka mereka akan
mudah gagal. Sebaliknya, siswa yang berpandangan bahwa kemampuannya akan lebih luas
dengan merespons masalah atau soal-soal yang diberikan maka mereka akan memanfaatkan
kesempatan-kesempatan untuk mencoba soal-soal yang diberikan.
Siswa yang rasa matematikanya telah berkembang akan percaya diri terhadap
kemampuan yang dimilikinya. Mereka melihat bahwa matematika adalah rasional, dapat
dimengerti dan terpercaya. Dengan usaha dan pengalaman yang tepat, mereka dapat belajar.
Hal tersebut berbeda dengan siswa yang mempunyai pandangan bahwa dalam matematika
ada hal-hal yang misterius, sukar, dan sebagainya. Dengan demikian, seorang guru harus
mampu membangkitkan siswanya untuk mau bekerja keras, berpandangan positif terhadap
matematika sehingga akan memunculkan rasa matematika dan akhirnya akan berhasil dalam
belajar matematika.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan pun telah menetapkan bahwa productive
disposition ini sebagai tujuan dalam pembelajaran matematika, tertuang dalam butir kelima
sebagaimana yang telah dituliskan pada awal kegiatan ini, yakin memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan
minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah.

F. SIFAT-SIFAT KECAKAPAN MATEMATIK

21
Sebagaimana yang telah dibahas pada kegiatan belajar sebelumnya bahwa kelima strand
kecakapan matematika (mathematical proficiency) satu sama lain saling berkaitan. Artinya,
kelimanya harus berkembang secara sinkron, guru tidak boleh menekankan pada satu atau
beberapa kecakapan tersebut. Selain itu, perkembangan kecakapan tersebut memerlukan
waktu. Tugas matematika menjadi suatu hal yang sangat penting dalam mengembangkan
kelima kecakapan matematika tersebut.

1. The Strands of Proficiency are Interwoven


Pasti Anda pernah membuat tali yang dibuat atau dianyam dari beberapa tali lainnya,
atau lihatlah sumbu kompor minyak tanah. Kelima kecakapan matematika yang telah
dibahas pada kegiatan sebelumnya laksana sumbu kompor yang terjalin dari untaian tali-tali
lainnya. Sumbu kompor sebagai kecakapan matematika, dan tali-tali yang dianyamnya
merupakan conceptual understanding, procedural fluency, strategic competence, adaptive
reasoning, dan productive disposition.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana untaian-untaian tersebut terjalin sehingga
membentuk kecakapan matematika? Penelitian baru-baru ini (Kilpatrick, dkk.: 2001)
mengindikasikan bahwa dua strand dari kecakapan berinteraksi secara kontinu. Seperti
seorang anak yang memperoleh pemahaman konseptual, prosedur perhitungannya telah
mengingatnya dengan baik dan telah banyak menggunakan prosedur secara luwes akan
menggunakannya untuk menyelesaikan permasalahan yang baru. Pada gilirannya, prosedur
tersebut menjadi sesuatu yang otomatis, anak akan memungkinkan berpikir tentang aspek-
aspek lain dari masalah dan mengerjakan hal-hal yang baru dari masalah, hal tersebut akan
mengantarkan pada pemahaman baru. Ketika prosedur digunakan, anak dapat
merefleksikannya melalui mengapa prosedur tersebut dapat bekerja atau dapat digunakan,
dan hal tersebut akan memberi penguatan pada pemahaman konseptual. Tentu saja hal
tersebut tidak selalu penting, berguna atau mungkin terjadi dalam membedakan konsep dari
prosedur karena pemahaman dan pekerjaan saling terkoneksi dengan cara-cara yang
kompleks.
Untuk lebih jelasnya, pandanglah sebuah contoh perkalian multidigit dari bilangan
Cacah, misalkan 47  268. Beberapa algoritma dapat digunakan untuk menghitungnya,
salah satunya menguraikan 47 menjadi 40 + 7, kemudian menghitung 40  268 dan 7  268.
Hasilnya kemudian dijumlahkan. Atau dengan menggunakan cara perkalian ke bawah.

Kebiasaan dengan algoritma tersebut bagi siswa yang lebih tinggi mendorong untuk
melihat berapa banyak pengetahuan yang diperlukan untuk itu. Hal tersebut memberikan
pengetahuan bahwa 40  268 adalah 4  10  268, kemudian dari 7  268 diperoleh
kombinasi dari perkalian dasar 7  8, 7  60, 7  200, serta 4  8, 4  60, dan 4  200.
Sambil siswa belajar menghitung prosedur perkalian multidigit, mereka juga harus
mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang perkalian dan sifat-sifatnya. Di lain
pihak sambil mereka mempelajari lebih dalam tentang pemahaman konsep, mereka harus
menjadi lebih lancar dalam melakukan perhitungan. Seorang pemula yang lupa akan

22
algoritma perkalian tetapi memahami sifat distributif dapat merekonstruksi perkalian
multidigit tersebut menjadi 268  47 = 268  (40 + 7) = (268  40) + (268  7) dan
kemudian mengerjakannya. Seorang pemula yang hanya menghafal algoritma tanpa
pemahaman dan lupa ketika harus melakukan perhitungan maka dia akan mengalami
kegagalan.
2. Proficiency are Not All or Nothing
Kecakapan matematika tidak dapat ditandai kehadiran dan tidaknya secara sederhana.
Setiap ide matematika dapat dipahami pada setiap tingkatan melalui berbagai cara. Sebagai
contoh, konsep yang nampak simpel seperti bilangan ganjil dan genap memerlukan
penggabungan beberapa cara berpikir: pemilihan titik-titik pada garis bilangan,
pengelompokan item-item dengan dua-dua, pengelompokan barang ke dalam dua
kelompok, dan melihat bilangan hanya pada digit terakhir. Ketika anak pertama kali belajar
tentang bilangan ganjil dan genap, mereka dapat mengetahui satu atau dua interpretasi
tersebut. Akan tetapi, untuk usia yang lebih tinggi, pemahaman mendalam dari bilangan
ganjil dan genap semua interpretasi tersebut saling berkaitan dan dapat dijustifikasi antara
satu dengan yang lainnya.

3. Proficiency Depelovs Over Time


Kecakapan dalam matematika diperoleh dari waktu ke waktu. Setiap tahun di sekolah,
siswa akan memperoleh peningkatan kecakapannya. Sebagai contoh, di kelas tiga sekolah
dasar mereka harus lebih cakap dalam penjumlahan bilangan cacah dibandingkan dengan
kelas satu.
Perolehan kecakapan memerlukan waktu. Siswa perlu sedikit waktu diikutsertakan
dalam aktivitas-aktivitas topik matematika tertentu sehingga kecakapan mereka menjadi
berkembang. Ketika mereka diberi satu atau dua contoh untuk mengilustrasikan mengapa
sebuah prosedur bekerja atau apakah maksud suatu konsep dan kemudian bergerak untuk
melakukan latihan prosedur atau mengidentifikasi konsep, mereka akan mudah gagal dalam
belajar. Untuk menjadi ahli, mereka perlu secara kontinu mengerjakan matematika (doing
mathematics) dalam hal ini melalui problem solving, penalaran, pengembangan
pemahaman, latihan keterampilan dan membangun pengaitan antara pengetahuan
sebelumnya dengan pengetahuan baru.

G. PENGEMBANGAN PROFICIENCY DALAM PEMBELAJARAN


MATEMATIKA

Kecakapan dalam pembelajaran matematika berkaitan dengan keefektifan, yakni


konsistensi dalam membantu siswa belajar memanfaatkan konsep atau isi matematika. Ini
memerlukan kepandaian dalam banyak hal, yaitu dapat bekerja secara efektif dengan
memperluas keragaman lingkungan yang berbeda dan mengaitkan berbagai konsep
matematika.
Walaupun mitos umum menyatakan bahwa pembelajaran hanya memberikan kontribusi
lebih kecil daripada bakat, namun praktiknya pembelajaran yang efektif dapat dipelajari.
Oleh karena Kecakapan matematika terjalin dari lima untaian maka pembelajarannya harus
mampu memunculkan kelima untaian tersebut: pemahaman konseptual berkaitan dengan
pengetahuan inti matematika, siswa, dan bahan-bahan yang diperlukan dalam pembelajaran;
kelancaran prosedur dalam melaksanakan langkah-langkah dasar yang bisa dilakukan
(rutin); kompetensi strategis dalam perencanaan pembelajaran dan pemecahan masalah
secara efektif yang muncul dalam pembelajaran; penggunaan nalar dalam menjustifikasi

23
dan menjelaskan suatu kegiatan yang terlihat dalam proses kegiatan matematika; dan
productive disposition terhadap matematika, pembelajaran, pengajaran, dan lingkungan
pembelajaran.
Program-program efektif persiapan dan pengembangan profesional guru dapat
membantu pemahaman guru terhadap matematika dan dalam mengajarnya, bagaimana
siswanya belajar matematika, dan bagaimana memfasilitasi pembelajarannya. Dalam
program ini, guru tidak hanya diberi resep untuk pembelajaran yang siap pakai dan
merupakan solusi yang jitu dalam mengantisipasi masalah pembelajaran matematika, tetapi
mereka membiasakan mengajar dengan mengacu pada masalah-masalah yang muncul
dalam proses pembelajaran sebelumnya. Kilpatriptric & Swafford (2006) memberi
rekomendasi:

The integrated and balanced development of all five strands of mathematical proficiency
should guide the teaching and learning school mathematics. Instruction should not be
based on extreme position that student learn, on one hand, solely by internalizing what a
teacher or book says or, on the other hand, solely by interventing mathematics on their
own.

Proses pengembangan kecakapan matematika melalui 5 untaian tersebut akan


memberikan kebermaknaan bagi siswa. Keseluruhan proses matematika yang dilakukan
oleh siswa dapat dirasionalisasi sesuai dengan perkembangan kognitifnya. Siswa
menggunakan prosedur matematika dengan paham, artinya mengerti mengapa hal tersebut
digunakan. Jika terdapat hasil penyelesaian yang salah atau ada perhitungan yang tidak
tepat maka dia menyadarinya bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi. Hal yang demikian
dalam matematika disebut metakognisi. Situasi berpikir siswa dalam belajar matematika
dapat digambarkan pada gambar berikut.

Gambar 2.5.
Situasi Belajar Bermakna

24

Anda mungkin juga menyukai