Jawab:
Saat impor opium Tiongkok mencapai 3.300 ton, dan Inggris 386 ton, sebuah pertemuan
yang dihadiri dua belas negara diselenggarakan di Shanghai, Tiongkok pada 1909.
Agendanya adalah kemungkinan penerapan kendali internasional atas perdagangan opium
dan pembentukan Komisi Opium Internasional. Produksi opium global kala itu diklaim lima
kali lebih besar dari yang dihasilkan pada 2009. Sejak saat itu, opium berada di bawah rezim
kendali internasional. Konvensi Opium Internasional juga mencakup ganja pada 1925. Pasca
Perang Dunia II, konstelasi global memungkinkan rezim ini tidak hanya mengendalikan
perdagangan, tapi juga menerapkan pelarangan dan hukum pidana internasional. Kendali
dialihkan dari Liga Bangsa-Bangsa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Konvensi
Tunggal PBB mengenai Narkotika disahkan pada 1961. Konvensi ini menargetkan
pemusnahan pemanfaatan tradisional opium 15 tahun pasca-diterapkan negara-negara
penanda tangan (anggota PBB) pada 1964, dan 25 tahun untuk pemanfaatan tradisional ganja
dan koka. Tentu saja ketentuan tersebut memberatkan negara-negara produsen tradisional
ketiga komoditas itu yang terkonsentrasi di Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Sepuluh tahun
kemudian, rezim ini memasukkan zat-zat psikoaktif lainnya ke dalam Konvensi PBB
mengenai Psikotropika 1971.
Setahun sebelum tenggat pemusnahan pemanfaatan tradisional koka dan ganja, Konvensi
PBB Melawan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 ditandatangani negara-
negara anggota. Kegagalan pencapaian di bidang pengendalian narkoba sesuai target yang
disepakati secara internasional terus berlanjut. Sesi khusus sidang umum PBB mengenai
narkoba digelar untuk pertama kali, menandai dekade pemberantasan penyalahgunaan
narkoba oleh PBB pada 1990. Sesi khusus kedua diselenggarakan pada 1998 yang
menetapkan “dunia bebas narkoba” sepuluh tahun kemudian.
5) Pasal 7, mengatur tentang perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana;
8) Pasal 10, mengatur tentang kerjasama internasional dan bantuan untuk negara transit;
9) Pasal 11, mengatur tentang penyerahan yang diawasi atau controlled delivery.
Konvensi Wina 1988 telah mengatur dan menetapkan kemungkinan bagi setiap negara
peserta untuk memperluas yurisdiksi kriminal terhadap tindak pidana narkotika
internasional.67 Negara peserta Konvensi Wina 1988 menyadari bahwa apabila penegakan
hukum terhadap lalu lintas perdagangan narkotika tidak dilaksanakan sesuai dengan prosedur
yang ditetapkan hukum internasional, dikhawatirkan akan menimbulkan konflik yurisdiksi
antar negara-negara tersebut. Dengan lahirnya Konvensi Wina 1988 yang bertujuan untuk
memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika, maka semakin berkembanglah
penegakan hukum kejahatan transnasional peredaran gelap narkotika. Jika dilihat dari segi
substansi dalam konvensi ini, telah muncul embrio dari upaya internasional yang antara lain
dapat diidentifikasikan dengan aturan-aturan yang menyangkut ekstradisi, bantuan timbal
balik, penanganan perdagangan gelap narkotika melalui laut, controlled delivery, dan
penguatan rezim anti pencucian uang (termasuk masalah penyitaan dan perampasan hasil
kejahatan tindak pidana narkotika).
Berdasarkan The Narcotics Drug And Psychotropic Substance Law For Asean (27-January-
2013), berikut merupakan beberapa hukuman dari kegiatan penjualan narkoba yang
disepakati oleh anggota ASEAN seperti berikut :
Pengaturan hukum dengan skala internasional mengenai peredaran gelap narkotika pertama
kali diatur dalam The United Nation’s Single Convention on Narcotic Drugs Tahun 1961
yang kemudian diamandemen dengan Protokol Tahun 1972 tentang Perubahan atas United
Nation’s Single Convention on Narcotic Drugs Tahun 1961. Perbedaan The United Nation’s
Single Convention on Narcotic Drugs dengan United Nations Convention against
Transnational Organized Crime (UNCTOC) adalah dimana Konvensi The United Nation’s
Single Convention on Narcotic Drugs Tunggal ini pada awalnya dibentuk dengan maksud
untuk :
Selain penjelasan diatas terdapat pula beberapa konvensi internasional lainnya yang juga
berkaitan dengan permasalahan Narkotika ini, yakni United Nation’s Convention Against
Illicit Traffic in Narcotic drugs and Psychotropic substances 1988 dan UNCTOC. Implikasi
dari pertemuan tersebut adalah penandatanganan ASEAN Declaration of Principles to
Combat the Abuse of Narcotic Drugs oleh Menteri Luar Negeri dari negara-negara anggota
ASEAN pada tahun 1976 di Manila, yang mana dalam ketentuannya secara umum
menyepakati beberapa hal, yakni :
REFERENSI
Gukguk, R. G. R., & Jaya, N. S. P. (2019). Tindak pidana narkotika sebagai transnasional
organized crime. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 1(3), 337-351.
Manusia, H. A. Perang Terhadap Narkoba Serta Penarikan Diri Dari Pengadilan Pidana
Internasional Oleh Filipina: Perspektif Hukum Internasional.