Anda di halaman 1dari 2

Artidjo Alkostar:

Kisah Teladan yang Tak Ada Duanya

Dr Artidjo Alkostar SH LLM lahir di Situbondo, 22 Mei 1948, dari orang tua yang berasal
dari  Sumenep, Madura. Ia menamatkan pendidikan SMA di Asem Bagus, Situbondo.
Kemudian, masuk Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Tamat kuliah ia menjadi staf pengajar di almamaternya dan aktif sebagai pengacara di
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) cabang Jogja.
Selama periode 1983-1989 ia terpilih sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jogja.
Artidjo pernah mengikuti pendidikan hukum khusus HAM di Columbia University. Ia juga
pernah menjadi pengacara bagi Human Rights Watch Divisi Asia di New York selama dua
tahun. Sepulang dari Amerika Serikat ia mendirikan kantor pengacara Artidjo Alkostar and
Associates di Jogja. Kantor pengacara ini ia tutup ketika diangkat sebagai hakim agung di
tahun 2000

Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Dr. Artidjo Alkostar, SH., LLM., memasuki masa
pensiun pada 22 Mei 2018 lalu tepat pada usia 70 tahun. Menjadi hakim agung sejak
tahun 2000, Artidjo telah memutus 19.708 berkas perkara. Dalam banyak perkara yang
telah diputusnya itu, terdapat banyak kasus korupsi yang mengundang perhatian nasional
di mana ia menjatuhkan hukuman maksimal tanpa keraguan. Ia pun menyandang predikat
“malaikat maut”. Benteng kuat keadilan di Indonesia ini sudah pensiun. Sampai sekarang
belum terlihat ada lagi “hakim gila” seperti Artidjo yang bisa menjadi tumpuan harapan
bangsa bagi tegaknya hukum secara tegas.

Kasus besar yang pernah ia bela adalah Kasus Pembantaian di Santa Cruz, Dili, Timor Leste,
1992. Dikisahkan ia hampir kehilangan nyawa selama berada di Dili, dari mulai ke mana-
mana diikuti oleh intel sampai diancam oleh supir taksi. Satu malam di hotel di Dili,
seorang berpakaian ninja berniat menyatroni kamar hotelnya. Namun, ia keliru ke kamar
sebelahnya yang digunakan oleh salah seorang staf Artidjo. Meski begitu, Artidjo bertahan
sampai enam bulan di Dili untuk membela.

Kejujuran dan ketulusannya bekerja mendorong sejumlah tokoh hukum mengusulkannya


menjadi hakim agung. Pertama menjadi hakim agung, Artidjo sempat terkaget-kaget.
Penyebab pertama adalah perubahan gaya hidup dari seseorang yang biasa bebas menjadi
pejabat negara yang terikat formalitas. Sampai pada sekitar bulan kedua setelah menjadi
hakim agung, Artidjo pernah menempel tulisan di pintu ruang kerjanya. Tulisan itu
berbunyi, “Tidak menerima tamu yang ingin membicarakan perkara”. Artidjo terpaksa
memasang tulisan itu karena banyak tamu yang datang menawarkan uang dan tawaran-
tawaran menggoda lainnya.

Salah satu peristiwa yang membuatnya kaget adalah ketika seorang pengusaha dari
Surabaya datang menemuinya di ruang kerjanya dan menyatakan, “Pak Artidjo, ini uang,
yang lain sudah”. Saya terkejut betul, kok vulgar betul. Karena terkejut, spontan Artidjo
menjawab, ” Saya merasa sangat terhina dengan ucapan Anda. Itu ucapan yang tidak layak
Anda ucapkan. Tolong saudara keluar saja sebelum saya marah. Anda orang Jawa Timur,
saya juga orang Jawa Timur”. Merasa kaget,  pengusaha itu segera meninggalkan ruangan.
Motivasinya, bukan karena ia sok suci, tetapi justru karena ia merasa lemah. Godaan
seperti itu, jika dituruti akan menjadi kebiasaan dan memperburuk tingkah laku sebagai
hakim.

Artidjo pernah memutus perkara korupsi yayasan dengan terdakwa mantan presiden
Soeharto bersama almarhum Syafiuddin. Waktu itu, Syafiuddin dan Sunu Wahadi
menginginkan agar perkara itu dihentikan. Namun, Artidjo berbeda pendapat. Ia
menginginkan agar perkara dilanjutkan. Karena tidak dicapai kesepakatan, akhirnya
sebagai komprominya, disebutkan dalam putusan bahwa Soeharto dalam status tahanan
dirawat dengan biaya negara sampai sembuh dan ketika sembuh harus dihadapkan ke
pengadilan.

Ada dua hal yang mencuatkan nama Artidjo. Yang pertama adalah ketegasannya dalam
menjatuhkan hukuman maksimal dalam kasus-kasus korupsi. Kedua adalah
kesederhanaan dan kejujurannya dalam menjalani jabatan sebagai hakim agung.

"Saya bekerja itu ikhlas. Jadi kalau ikhlas akan menjadi nutrisi kesehatan. Tapi kalau
bekerja tidak ikhlas akan menjadi ria. Racun dalam tubuh kita. Jadi semua tergantung
kepada niatnya," kata Artidjo dalam buku 'Alkostar,

"Kejujuran tidak bisa diajarkan, tapi bisa dihidupkan, karena itu sudah diinstall oleh
Allah SWT, hati yang bersih. Bagaimana cara menghidupkannya? Bergaullah kamu
dengan orang bijak sehingga kejujuran akan tumbuh," ucap Artidjo di gedung Pusat
Edukasi Antikorupsi (ACLC), Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (25/2/2020).

"Artidjo Alkostar adalah hakim agung yang dijuluki algojo oleh para koruptor," "Dia tak
ragu menjatuhkan hukuman berat kepada para koruptor tanpa peduli pada peta kekuatan
dan back up politik,"kenang Menko Polhukam Mahfud Md lewat cuitan di Twitter,
Minggu (28/2/2021)

Anda mungkin juga menyukai