Anda di halaman 1dari 37

Indonesia Raya Incorporated Pupus Perpecahan Bangsa

Kiki Syahnakri (Beritasatu.com/Chairul Fikri)

Oleh: Asni Ovier / AO | Selasa, 17 Januari 2017 | 13:20 WIB

AddThis Sharing Buttons

Share to FacebookFacebookShare to TwitterTwitterShare to EmailEmailShare to Google+Google+

Jakarta - Pembentukan Indonesia Raya Incorporated (IRI) diyakini bisa memupus perpecahan bangsa
Indonesia. Melalui IRI, perpecahan akibat tidak meratanya kesejahteraan bisa diatasi sekaligus menjaga
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari rongrongan asing.

Hal itu dikatakan Ketua Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) Kiki Syahnakri di Jakarta, Selasa
(17/1). "Sebagai purnawirawan tentara, PPAD pasti mendukung wawasan Nusantara sebagai suatu
kesepakatan, suatu cara pandang bangsa tentang lingkungan. Bukan hanya kesatuan teritorial, tetapi
juga sosial, politik, ekonomi, dan budaya," kata Kiki.

Menurutnya, ide pembentukan IRI patut didukung dalam rangka mewujudkan keseimbangan dan
keadilan dalam ekonomi. Apalagi, ujarnya, poin utama IRI yang digagas Gerakan Ekayastra Unmada-
Semangat Satu Bangsa (dari wartawan, oleh wartawan, untuk Indonesia) itu adalah industri harus
dimiliki negara dan rakyat Indonesia, baik industri hilir dan hulu.

Caranya adalah melalui perkawinan badan usaha permerintah (negara) dan badan usaha pemerintah
daerah yang masing-masing menguasai saham mayoritas di badan usahanya.

"Dalam konteks kesatuan ekonomi harus ada kesimbangan dan keadilan antarwilayah. Pasalnya, setiap
wilayah memiliki sumber daya yang berbeda-beda. Bahkan, ada daeraah yang minim sumber daya.
Dalam konteks kesatuan ekonomi, ide pembentukan IRI sangat bagus, karena berdasarkan wawasan
Nusantara," ujar mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu.

Dia mengingatkan, ketidakmerataan kesejahteraan bisa menyebabkan disintegrasi. Daerah yang kaya
akan berkinginan untuk memisahkan diri karena ingin maju sendiri, sementara daerah yang miskin juga
ingin memisahkan diri karena merasa tidak sejahtera.
Dia mencontohkan sewaktu dirinya menjabat Pangdam IX Udayana pada 1999. Ketika itu, di Nusa
Tenggara Timur (NTT) muncul wacana membentuk negara Timor Raya bersama dengan Timor Timur.
Harapan mereka waktu itu mungkin menjadi semacam protektorat Australia.

Menurut Kiki, pertanyaan sekarang adalah langkah nyata dalam membentuk IRI. "Tidak mungkin melalui
Kepres. Harus dituangkan dalam undang-undang agar bisa mengikat daerah. Undang-undang minerba
apa mungkin? Atau, di undang-undang otonomi daerah?" kata Kiki.

Menurut dia, jaminan konstitusi dan perangkat negara untuk mengimplementasikan gagasan IRI itu
sangat diperlukan. Jika memang belum ada pengaturan di dalam sejumlah UU yang ada saat ini, dia
menyarankan segera dilakukan uji materi sejumlah UU ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Di sini, PPAD bisa
ikut," katanya.

Menurut Kiki, IRI tidak hanya perlu diwujudkan di pertambangan, tetapi juga perkebunan dan sektor-
sektor ekonomi lainnya. Selain dapat mencegah disintegrasi, pembentukan IRI diyakini dapat pula
menjaga kedaulatan Indonesia dari rongrongan negara lain.

Menurut Kiki, secara geopolitik, saat ini Indonesia mengalami ancaman serius, yakni hegemoni global.
Ancaman global, katanya, datang dari Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Kedua negara hegemonik itu
ingin menjadikan Indonesia sebagai sapi perah.

"Tetapi, mereka melakukannya dengan soft power, bukan hard power. Dulu, perang melalu
penghancuran fisik, pendudukan fisik, sekarang tidak. Sekarang perang melalui penghancuran dari
dalam, sehingga negara mengalami self destruction," tuturnya.

Dia mengingatkan, bahaya dari hegemoni AS di Indonesia secara sistematis bisa melucuti kedaulatan
bangsa. "Tiba-tiba, kita sudah tidak memiliki kedaulatan di bidang ekonomi. Tidak heran jika pada 1999-
2002 terjadi empat kali amendemen dan tidak terasa amendemen itu sudah terlalu liberalistik. Tidak
Pancasila," ujarnya.

Dijelaskan Kiki, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj sewaktu menjabat
sebagai Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) pada 2008 mengatakan, sudah ada 72 UU turunan
hasil amendemen yang pembuatannya ditongkrongi oleh konsultan asing.
Sekarang, katanya, malah sudah ada ratusan. Contohnya adalah UU Nomor 25 tahun 2007 tentang
Investasi. Di salah satu pasalnya diatur tentang hak guna usaha bahwa perusahaan asing dalam
pertambangan diberikan izin selama 95 tahun dan bisa diperpanjang di muka selama 65 tahun.

"Penjelasan diperpanjang di muka itu pada saat izin prinsip keluar sudah dengan perpanjangannya.
Setelah itu bisa diperpanjang lagi selama 35 tahun. Artinya 195 tahun. Ini seumur kerajaan Majapahit.
Pada UU migas dan minerba juga begitu, membolehkan modal asing sampai lebih 80%. Jadi, bayangkan
selama hampir 200 tahun dengan mayoritas modal mereka, kekayaan alam kita dikeruk," katanya.

Hal yang terjadi dengan Tiongkok. Menurut Kiki, di bidang ekonomi, Tiongkok sudah dikenal sebagai
predator. Apalagi, menurutnya, sudah tercatat dalam sejarah pada 1293 Tiongkok melakukan
penyerangan ke kerajaan di Nusantara, yakni Kartanegara.

"Sudah ada sejarahnya. Sekarang Tiongkok dengan jumlah penduduk lebih dari 1,3 miliar, tidak mungkin
memberikan lapangan kerja dan kesejahteraan kepada warganya, meski disebutkan mereka kaya. Jadi,
incaran pertama invesatasi Tiongkok adalah Indonesia," katanya.

Dia menambahkan, sekarang banyak proyek di sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang seluruh
komponen harus dari Tiongkok. "Pekerja juga demikian, dari level manajemen sampai pekerja kasar. Di
Indonesia, kurun waktu 2015-2016, ada 200 lebih proyek, termasuk kereta cepat dari Tiongkok.
Makanya, kita jangan terkaget-kaget kalau tiba-tiba sudah banyak karyawan asal negeri itu," katanya.

Ancaman global lain adalah Islam transnasional, seperti yang dikampanyekan Islamic State (IS).
Wujudnya, kata Kiki, adalah maraknya intoleransi yang memecah belah masyarakat Indonesia,
menipisnya nilai-nilai Pancasila, dan sangat mungkin terjadi pemberontakan bersenjata.

"Mosul dan Alepo yang dikuasai IS baru-baru ini dihajar. Albagdadi sudah mengintruksikan keluar dari
situ, berjuang di negara masing-masing. Informasi intelijen, Albagdadi sudah menunjuk Filipina Selatan
sebagai basis perjuangan baru. Filipina Selatan selangkah ke Indonesia, sudah sampai. Kalau itu terjadi,
kita bisa goncang," katanya.

Karena itu, lanjut dia, kalau Indonesia tidak dibangun untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan maka
sebentar lagi akan terjadi disintegrasi. "Kalau bangsa ini tidak bangun untuk mewujudkan cita-cita
kemeredakaan, menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, tinggal satu dua
langkah sampai kepada disintegrasi," katanya.
Oleh karena itu, Kiki berharap agar IRI segera diwujudkan. "IRI dalam rangka mewujudkan konsep
keadilan dan keadilan keseimbangan di bidang ekonomi dari seluruh wilayah, justru masuk dalam upaya
menangkal ancaman-ancaman itu," katanya.

Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada AM Putut Prabantoro menjelaskan, IRI bisa menjadi
pendekatan kemakmuran baru bagi Indonesia. Kepada Kiki, dia juga menyampaikan, pada 21 Desember
2016, Ekayastra Unmada mengadakan focus group discussion (FGD) dengan menghadirkan 14 akademisi
dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia di Solo, Jawa Tengah.

Para akademisi itu menyatakan dukungan atas pembentukan IRI. Putut juga menyampaikan, FGD
menyorot IRI akan digelar kembali di Batam selama 2 hari, yakni pada 22-23 Januari 2017. Ekayastra
Unmada juga berencana memaparkan gagasan IRI ke Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri,
Bappenas dan pemangku kepentingan lainnya dalam waktu dekat.

Ads by AdAsia

You can close Ad in {5} s

Sumber: BeritaSatu.com
Isu Negara Timor Raya Kembali Mencuat

Sigiranus Marutho Bere

Kompas.com - 27/03/2012, 21:33 WIB

KEFAMENANU, KOMPAS.com - Sempat muncul di permukaan saat menjelang eksekusi mati Fabianus
Tibo, cs pada 2006 lalu, isu Negara Timor Raya mulai dibicarakan lagi dalam seminar sehari yang
diadakan oleh Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa
Tenggara Timur.

Negara Timor Raya yaitu gabungan antara Timor Barat yang meliputi Kupang, Timor Tengah Selatan,
Timor Tengah Utara dan Belu dengan Negara Timor Leste.

Seminar yang berlangsung di Hotel Livero, Selasa (27/03/2012), menghadirkan tiga orang pemateri,
Asisten I Setda TTU Yohanes Bani, Komandan Distrik Militer 1618 TTU Letkol Arm Eusebio Hornai Rebelo
dan Pater Paul Wain, dengan topik "Peningkatan Nilai-Nilai Empat Pilar Kebangsaan Untuk
Mempertahankan NKRI di Wilayah Perbatasan RI-RDTL".

Dalam diskusi dengan peserta yang berasal dari sejumlah organisasi kepemudaan itu, salah seorang
peserta yang berasal dari Himpunan Mahasiswa Belu mengatakan kalau negara Timor Raya akan muncul
kalau pemerintah pusat bersikap diskriminasi dalam hal perhatian, khususnya terhadap kaum minoritas
(agama).

Selain itu menurutnya pembangunan hanya di daerah Jawa sedangkan untuk Indonesia Timur sering
diabaikan.

Sementara itu Ketua SRMI Ciquito Lopez disela-sela seminar kepada Kompas.com mengatakan adanya
hubungan emosional yang erat antara masyarakat Timor Barat dan Timor Leste sehingga memicu
munculnya Negara Timor Raya.

Advertisment

"Secara sosiologis hubungan warga Timor Barat dan Timor Leste lebih dekat ketimbang hubungan antara
Timor Barat dan Indonesia. Kemudian apa yang menjadi dasar Timor Leste merdeka sedangkan Timor
Barat tidak?," kata Lopez.
Karena itu menurutnya langkah yang tepat yang harus dilakukan pemerintah Indonesia yaitu secepatnya
mensejahterakan masyarakatnya secara menyeluruh tak terkecuali Timor Barat. Hal yang sama juga
disampaikan oleh Pater Paul Wain yang menilai dari aspek Mayoritas yang ingin mendominasi.

"Mengapa Papua dan Maluku bergejolak?hal tersebut disebabkan terlalu dominasinya kaum
mayoritas.karena itu kita harus menghormati nilai-nilai yang sudah tertanam oleh pendiri negara kita
yaitu pancasila," kata Paul.

Perhatian pemerintah pusat dari segi anggaran sudah cukup tinggi namun implementasi di lapangan
yang kelihatannya pincang sehingga tidak sampai ke sasaran.

Terkait dengan isu Negara Timor Raya, Komandan Distrik Militer 1618 TTU Letkol Arm Eusebio Hornai
Rebelo mengatakan, hal tersebut hanya isu yang berkembang sedangkan gerakannya sampai sejauh ini
tidak ada.
Gerakan Separatis di Indonesia

IOANESGREEK14 07.08

Ilustrasi Gerakan Separatis

Kali ini saya akan sedikit berbagi mengenai gerakan separatis, khususnya yang berada di wilayah
indonesia bagian timur meliputi tiga provinsi yang syarat akan konflik yakni provinsi Maluku termasuk di
dalamnya seluruh daratannya, provinsi papua dan papua barat dan provinsi NTT.

Sebelum membaca lebih lanjut alangkah baiknya melihat postingan saya yang lalu mengenai mengapa di
indonesia timur selalu terbelakang di link ini dan tata kerama orang dari timur indonesia di link ini.

Boleh di kata perjuangan para pahlawan kita semasa penjajahan Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris dan
Jepang hanyalah untuk memerdekakan kita Indonesia agar bisa bersanding di mata dunia. Tetapi
kenyataannya sangat berbanding terbalik dengan apa yang sekarang kita sendiri saksikan di berbagai
penjuru nusantara. Dengan berbagai dinamika yang ada mereka berupaya dengan keras untuk
memerdekakan dirinya sendiri dan membangun wilayahnya dalam sebuah negara berdaulat. Sangat
disayangkan jasa para pahlawan kita yang begitu dengan patriotik memperjuangkan kemerdekaan
bahkan dengan nyawanya sendiri.

Berikut 3 gerakan separatis yang saya kutip dari berbagai artikel

1. Republik Maluku Selatan (RMS)

Republik Maluku Selatan atau RMS adalah sebuah republik di Kepulauan Maluku yang didirikan tanggal
25 April 1950. Pulau-pulau terbesarnya adalah Seram, Ambon, dan Buru. RMS di Ambon dikalahkan oleh
militer Indonesia pada November 1950, tetapi konflik di Seram masih berlanjut sampai Desember 1963.
Kekalahan di Ambon berujung pada pengungsian pemerintah RMS ke Seram, kemudian mendirikan
pemerintahan dalam pengasingan di Belanda pada tahun 1966. Ketika pemimpin pemberontak Dr. Chris
Soumokil ditangkap militer Indonesia dan dieksekusi tahun 1966, presiden dalam pengasingan dilantik di
Belanda. Pemerintahan terasing ini masih berdiri dan dipimpin oleh John Wattilete, pengacara berusia
55 tahun, yang dilantik pada April 2010.

Sekarang gerakan ini masih mencoba dan terus mencoba untuk memisahkan diri dari negara republik
indonesia. Berbagai konflik juga kerap kali terjadi di sana. Sangat memperihatinkan.
2. Organisasi Papua Merdeka (OPM)

Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM) adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1965 untuk
mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat yang saat ini di Indonesia, yang sebelumnya
dikenal sebagai Irian Jaya, dan untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan memicu untuk terjadinya kemerdekaan bagi provinsi tersebut
yang berakibat tuduhan pengkhianatan. Sejak awal OPM telah menempuh jalur dialog diplomatik,
melakukan upacara pengibaran bendera Bintang Kejora, dan dilakukan aksi militan sebagai bagian dari
konflik Papua. Pendukung secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari
kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang negara, yang telah diadopsi
pada periode 1961 sampai pemerintahan Indonesia dimulai pada Mei 1963 di bawah Perjanjian New
York.

Kalau ini sih saya tidak usah meragukan lagi kalau ini merupakan penyuplai pembunuhan orang di
indonesia khususnya di daerah besar. Miris memang melihatnya. Mungkin karena kebodohan dan
kurangnya ilmu pengetahuan sehingga membuat mereka jadi brutal seperti makluk buas.

3. Negara Timor Raya (NTR)

Melihat dari apa yang mereka perjuangkan, dapat disimpulkan bahwa NTR adalah gerakan separatisme
yang hendak memisahkan diri dari NKRI. Namun demikian, dilihat dari keseriusan gerakannya dan para
penggagasnya yang merupakan tokoh-tokoh mainstream (LSM, dosen, tokoh politik), bisa jadi NTR juga
sebatas otokritik terhadap pemerintahan.

Hal ini senada dengan pendapat yang diungkapkan pangamat politik dari Universitas Muhamadiyah
Kupang, Dr Ahmad Atang. Ahmad Atang malah mendorong terbentuknya NTT menjadi Negara Timor
Raya karena menurutnya sampai kapapun NTT secara politik nasional tidak memiliki bargaining position
yang kuat sebab keterwakilan kursi di DPR RI sangat sedikit, hal ini ditunjukan dengan jumlah pemilih
dan luas wilayah NTT, dibanding dengan Pulau Jawa dan Sumatra.

NTT harus nakal, berani melawan pemerintah pusat, sehingga pemerintah pusat bisa memperhatikan
NTT, ujar Atang. Atang mencontohkan Propinsi Aceh berani melawan pemerintah pusat sehingga
mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah pusat dengan dibentuk Aceh sebagai daerah
otonomi khusus serta aceh saat memiliki 3 partai lokal di Aceh.
Apapun, semoga saja NTR ini bukanlah gerakan separatisme yang mau mengkhianati NKRI. Bahwa
negara harus terus berjuang memeratakan pembangunan ke seluruh daerah di Indonesia adalah sebuah
kewajiban. Jangan sampai negara seolah pilih kasih dengan anak bangsa di wilayah tertentu yang pada
ujungnya ya memancing perpecahan.

Didorong oleh karena kebodohan, keterbelakangan dan kurangnya nilai-nilai dasar pancasila membuat
sekelompok orang tega menjual negaranya sendiri demi mendapatkan harta. Saya sangat prihatin
dengan ketidakmauan masyarakat di daerah tersebut untuk cinta tanah air dan bela negara. Silahkan
simak 2 link diatas untuk mempertajam postingan saya kali ini.

Saya bisa menilik dari presiden pertama negara singapura yang karena kediktaktorannya mampu
merubah negara sinagpura yang bekas koloni inggris menjadi negara yang sangat makmur dan kaya akan
sumber daya manusia. Itu kerena peran serta dari pemerintahan didukung oleh rakyatnya yang ingin
bersama seluruh rakyatnya agar negaranya dapat maju dan bersanding dengan negara-negara maju
lainnya di dunia ini.

Semoga dengan adanya niat dari masing-masing kita agar dapat merubah negara kita. Dari hal yang kecil
dari pribadi kita, keluarga, kelompok, masyarakat dan akhirnya sampai kepada negara kita tercinta.
Semoga negara kita menjadi negara yang teladan di mata dunia dan kebodohan segera dapat teratasi
dengan baik agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

Tanah Airku Indonesia, Negeri Elok Amat Ku Cinta

Tanah Tumpah Darahku yang Mulia, Yang Ku Puja Sepanjang Masa

Tanah Airku Aman dan Makmur, Pulau Kelapa nan Amat Subur

Nyiur Melambai

Referensi

[*] Dikutip dari berbagai sumber yang relevan.


Mewaspadai Gerakan Negara Timor Raya

12 Februari 2015 23:14 Diperbarui: 17 Juni 2015 11:19 495 0 1

Mewaspadai Gerakan Negara Timor Raya

1423791046102137281

[caption id="attachment_350846" align="aligncenter" width="300" caption="Gambar ini diambil dari


akun Fb Negara Timor Raya."][/caption]

Bangsa kita ini sedang hiruk pikuk oleh berbagai masalah. Akan tetapi, orang bilang namanya manusia
hidup ya mesti ada masalah. Berbagai permasalahan bangsa seyogyanya mendapat perhatian dari
seluruh elemen bangsa dalam konteks agar tidak menjadi sesuatu yang destruktif. Selain permasalahan
berbagai kebijakan Presiden Jokowi dan kisruh KPK-Polri, kita jangan lupa dengan isu lain semisal
separatisme.

Soal separatisme ini, Indonesia dihadapkan tidak hanya dengan gerakan OPM (Organisasi Papua
Merdea) atau RMS (Republik Maluku Selatan), rupanya ada gerakan senada lain yang patut diwaspadai,
yaitu Negara Timor Raya (NTR).

Sebetulnya keberadaan NTR ini tidaklah baru. Gerakan yang mempunyai keyakinan bahwa NTT adalah
bagian dari NTR yang termasuk di dalamnya Timor Leste ini diperkirakan muncul kembali ke permukaan
sejak 2002. Belakangan, keberadaan NTR mendapat perhatian dari seorang Letjen (purn.) Kiki Syahnakri,
Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat.

Kiki dalam sebuah artikel berjudul Rapuhnya Visi Pertahanan Jokowi menjadikan NTR sebagai contoh
masih sangat eksisnya gerakan separatis di negeri ini dan karenanya patut mendapat perhatian dari
pemerintah. Baca selengkapnya: http://indonesianreview.com/kiki-syahnakri/rapuhnya-visi-pertahanan-
jokowi
Siapakah NTR?

Rupanya NTR bahkan memiliki akun Facebook dengan nama yang sama
(https://www.facebook.com/pages/Negara-Timor-Raya/297445053706216). Akun Fb NTR memuat
slogan, Sebuah pulau, hanya satu negara. Uma ilha, um pas. Kira-kira maksudnya mereka ingin
menjadikan satu pulau Timor (NTT dan Timor Leste) sebagai sebuah negara tersendiri.

Dilihat dari isinya, akun Fb NTR terakhir posting pada tanggal 6 Desember 2014. Mereka memposting
sebuah artikel dari website berjudul, Can Sardinia (Or Any Place) Change Countries? Dari judulnya saja
bisa kita simpulkan bahwa akun ini memperjuangkan sebuah negara tersendiri.

Posting lainnya NTR men-share berita-berita tentang warga Kupang, NTT (Nusa Tenggara Timur) yang
menyeberang ke negara Timor Leste. Menurut mereka, orang-orang itu pindah ke Timor Leste karena
hidupnya lebih baik jika di Timor Leste.

Posting lainnya adalah berbagai pemahaman kedaerahan yang berlandaskan keyakinan agama. Secara
implisit mereka mengatakan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam bukanlah negara
untuk mereka. Mereka harus memiliki negara sendiri berdogmakan Kristen.

Separatisme atau sebuah bargaining politik?

Melihat dari apa yang mereka perjuangkan, dapat disimpulkan bahwa NTR adalah gerakan separatisme
yang hendak memisahkan diri dari NKRI. Namun demikian, dilihat dari keseriusan gerakannya dan para
penggagasnya yang merupakan tokoh-tokoh mainstream (LSM, dosen, tokoh politik), bisa jadi NTR juga
sebatas otokritik terhadap pemerintahan.
Hal ini senada dengan pendapat yang diungkapkan pangamat politik dari Universitas Muhamadiyah
Kupang, Dr Ahmad Atang. Ahmad Atang malah mendorong terbentuknya NTT menjadi Negara Timor
Rayakarena menurutnya sampai kapapun NTT secara politik nasional tidak memiliki bargaining position
yang kuat sebab keterwakilan kursi di DPR RI sangat sedikit, hal ini ditunjukan dengan jumlah pemilih
dan luas wilayah NTT, dibanding dengan Pulau Jawa dan Sumatra.

NTT harus nakal, berani melawan pemerintah pusat, sehingga pemerintah pusat bisa memperhatikan
NTT, ujar Atang. Atang mencontohkan Propinsi Aceh berani melawan pemerintah pusat sehingga
mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah pusat dengan dibentuk Aceh sebagai
daerahotonomi khusus serta aceh saat memiliki 3 partai lokal di Aceh.

Baca selengkapnya di sini: http://www.zonalinenews.com/2014/06/ahmad-atang-dorong-


pembentukan-negera-timor-raya/

Apapun, semoga saja NTR ini bukanlah gerakan separatisme yang mau mengkhianati NKRI. Bahwa
negara harus terus berjuang memeratakan pembangunan ke seluruh daerah di Indonesia adalah sebuah
kewajiban. Jangan sampai negara seolah pilih kasih dengan anak bangsa di wilayah tertentu yang pada
ujungnya ya memancing perpecahan. (*)
Ahmad Atang Dorong Pembentukan Negera Timor Raya

Rusdy MagaJun 20, 2014PoliticsComments Off on Ahmad Atang Dorong Pembentukan Negera Timor
Raya

Zonalinenews- Kupang,- Pangamat Politik dari Universitas Muhamadiyah Kupang, Dr Ahmad Atang
mendorong terbentuknya NTT menjadi Negara Timor Raya karena menurutnya sampai kapapun NTT
secara politik Nasional, tidak memiliki bergening posisi yang kuat, sebab keterwakilan kursi di DPR RI
sangat sedikit, hal ini ditunjukan dengan jumlah pemilih dan luas wilayah NTT, dibanding dengan Pulau
Jawa dan Sumatra.

Ahmad Atang

Ahmad Atang

Perolehan jumlah kursi di DPR RI sangat sedikit sehingga sampai kapanpun secara politik NTT tetap
tidak akan maju dalam pembangunan , demikian disampaikan Ahmad Atang pada diskusi persiapan
KPUD NTT dalam menghadapi Pimilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019 yang berlangsung di
Hotel Romyta Kota Kupang Pukul 10.00 . Acara ini diselenggarakan oleh Bengke Appek Kupang.

Menurutnya , secara demograsi NTT sangat tidak mengutungkan soal perolahan kursi di DPR RI
sehingga untuk itu NTT harus berani nakal untuk melawan pemerintah pusat. NTT harus nakal, berani
melawan pemerintah pusat, sehingga pemerintah pusat bisa memperhatikan NTT, tegasnya

Atang mencontohkan, Propinsi Aceh barani melawan pemerintah pusat sehingga mendapatkan
perhatian yang serius dari pemerintah Pusat dengan dibentuk Aceh sebagai daerah otonomi khusus
serta aceh saat memiliki 3 partai lokal di Aceh. Kenapa NTT kita tidak berani seperti Aceh berani
melawan sehingga diperhatikan pusat,jelasnya.

lebih lanjut dikatakan Ahmad Atang, dinamika pailpres dan Legaslistaf berbeda pada pilpres
kepentingan politik persoalan lokal yaitu ukuran emosial caleg dengan person person. Sedangkan
pilpres soal kepentingan umum dan kepetingan elit politik.
Bagi saya proses politik di 2014 pileg dan pilpres proses poltik 2014 lebih berkualitas karena dalam
rangka menghakhiri transisi demokrasi. Kita sudah mengakhiri masa transisi, produk politik menjadi
suatu produk demokrasi kedepan. Sangat disayang bila pemilu legilslatig 2014 terburuk di Indonesia,
untuk itu diharapkan pada pilpres ini harus lebih baik , kalau penyelenggara pilpres ini baik, maka
dihasilkan pemimpin yang baik.jangan kita menerapkan praktek politik panjat pinang, kalau mau lolos
harus panjat orang, untuk itu di harapkan pileg ini menjadi momentum bagi penyelanggara untuk
menunjukan kredibilatas, kalau pilpres sama nasibnya deng pileg maka kiamat sudah demokrasi di
Indonesia,ungkap Ahmad Atang .

Sebagai pembicara pada diskusi ini Ketua KPUD NTT, Jhon Depa, Pengamat Politik Dr ahmad Atang,
bengkel Appek Tres dan dihadiri GMKI Cabang Kupang, PMKRI Cabang Kupang Perwakilan Media,
kelompok Perempuan Kabupaten Kupang dan Kota Kupang (*rusdy)
25 Juni 2013

Dr. Hendrik Ataupah: Seorang Nasionalis yang Mencintai Alam dengan Sepenuh Hati (bagian 2 dari 2
tulisan)

Print Friendly Version of this pagePrint Get a PDF version of this webpagePDF

Dr. Ataupah berulang kali menyampaikan keinginannya agar kampus Undana dapat menjadi lokasi di
mana orang dapat melihat contoh berbagai jenis tumbuhahan yang tumbuh di kawasan savana (beliau
menyebut savana dengan menggunakan ejaan sabana). Karena itu, ketika Rektor Prof. Frans Umbu
Datta menunjuk saya sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Arboretum (Puslitbang
Arboretum), saya berharap menjadikan kawasan bagian depan kampus Undana senagai kawasan
pengembangan arboretum. Tetapi rupanya Rektor, dengan visi menjadikan Undana sebagai universitas
berorientasi gobal (global oriented university), berkeinginan membangun gapura global dan
memindahkan rektorat ke tepi jalan raya. Sebagai bawahan ketika itu, tentu saja saya harus
menyesuaikan dengan visi pimpinan. Namun ketika hal itu saya sampaikan kepada Dr. Ataupah, beliau
justeru menyayangkan keputusan saya. Menurut beliau, saya lebih baik mengundurkan diri saja dari
jabatan Kepala Puslitbang Arboretum karena tidak ada gunanya lagi bila tidak diajak bicara mengenai
penataan kampus. Saya tidak sepenuhnya menuruti nasihat beliau, tetapi kemudian, dengan alasan
berkonsentrasi pada studi lanjut, saya menyampaikan kepada Rektor untuk mengangkat Kepala
Puslitbang Arboretum baru.

Ketika saya menjabat Kepala Puslitbang Arboretum, beliau berulang kali menanyakan kembali status
kawasan Hutan Ikan Foti di perbatasan Kecamatan Amarasi Barat dengan Kecamatan Kupang Barat dan
Kebun Penelitian Kolhua di Desa Kolhua (sekarang kelurahan), Kota Kupang. Kawasan Hutan Ikan Foti
dahulu pernah digunakan sebagai lokasi proyek rehabilitasi hutan dengan dukungan lembaga
internasional, sebelum beliau melanjutkan studi S3. Pada pihak lain, Kebun Penelitian Kolhua diadakan
melalui proyek agroekosistem yang dilaksanakan oleh kelompok penelitian yang menamakan diri
Kelopmpok Penelitian Agro-ekosistem di bawah naungan PSL Undana, jauh sebelum saya menjabat
Kepala PPLHSA Undana. Dengan berat hati saya menyampaikan kepada beliau bahwa saya tidak bisa
berbuat banyak mengenai kedua hal itu karena status kepemilikan lahannya yang tidak tuntas diurus
ketika proyek dilaksanakan. Terakhir saya mengetahui bahwa seiring dengan terjadinya reformasi pada
1998, kawasan hutan Ikan Foti dirambah secara besar-besaran oleh masyarakat untuk dijadikan lokasi
perladangan. Ketika saya menyampaikan hal itu, beliau sangat kecewa. Tetapi pada bulan Maret 2013,
beliau datang ke rumah saya, selain bercerita mengenai kesehatan beliau, juga bercerita bahwa beliau
masih menebar benih gamal dan lamtoro di kawasan tersebut.

Sedemikian besar kecintaan beliau terhadap hutan, sampai-sampai menjelang reformasi beliau
bekerjasama dengan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI). Suatu kali, beliau mengajak saya dan
Adi Fanggidae, seorang rekan dosen Fakultas Pertanian Undana yang juga menaruh perhatian pada
permasalahan ekologi, untuk meninjau kawasan kerja PT Fendi Hutani Lestari, sebuah perusahaan HTI
milik Bob Hasan, yang oleh Prosiden Soeharto ketika itu, ditugaskan untuk membantu menghijaukan
wilayah Provinsi NTT yang oleh pemerintah dikategorikan sebagai lahan kritis. Saya sebenarnya
mengetahui bahwa masyarakat dan kalangan LSM menentang keberadaan HTI, lebih-lebih lagi
keberadaan PT Fendi Hutani Lestari. Melihat keengganan saya, beliau mengatakan sebaiknya saya
melihat sendiri dahulu keadaan sebenarnya di lapangan. Sebelumnya beliau memang sudah beberapa
kali meninjau proyek-proyek PT Gendi Hutani Lestai, bahkan sampai ke Provinsi Timor Timur, bersama
dengan Ir. Retno Nuningsih, MS, Dekan Fakultas Pertanian Undana ketika itu. Di lapangan beliau
berulang-ulang menanyakan kepada saya, apakah saya melihat tanda-tanda kehidupan, setiap kali
sampai di lokasi dengan hamparan lahan gundul dengan sungai-sungai mengering sejauh mata
memandang.

Dukungan Dr. Ataupah terhadap keberadaan HTI menyebabkan, setelah reformasi, beliau harus
berhadapan dengan kalangan LSM, khususnya LSM yang dengan kencang menyuarakan agar
pengelolaan kawasan hutan diserahkan kepada masyarakat. Kalangan LSM menganggap beliau sebagai
generasi tua yang pro status quo, sedangkan beliau berpendirian bahwa bila pengelolaan kawasan hutan
diserahkan kepada masyarakat tanpa persiapan matang maka yang terjadi bukanlah pengelolaan,
melainkan penghancuran hutan. Menurut beliau, bila hal ini terjadi maka yang diuntungkan bukan
masyarakat, melainkan pihak-pihak tertentu yang mengatasnamakan masyarakat untuk
memperjuangkan kepentingan mereka sendiri. Berulang kali beliau mengatakan bahwa di Provinsi NTT
bukan hanya masyarakat yang miskin, tetapi juga pemerintah. Menurut beliau, memang banyak pejabat
yang kaya, tetapi pemerintah sebenarnya miskin karena hanya menguasai kurang dari 10% luas wilayah,
sedangkan selebihnya dikuasai oleh penguasa-penguasa lokal dengan mengatasnamakan hak ulayat.
Menurut beliau, hak ulayat tidak selalu berarti lahan untuk rakyat, melainkan hanya mengatasnamakan
rakyat, sedangkan penguasa sesungguhnya adalah orang-orang tertentu yang tidak sepenuhnya
mengerti pengelolaan lahan yang baik.

Seorang Nasionalis Berwawasan Pengetahuan Lokal

Saya sebenarnya tetap berkeinginan untuk mengajak beliau dalam berbagai proyek penelitian, baik
penelitian yang saya ketuai maupun yang melibatkan saya sebagai anggota tim. Terakhir, pada 2007
saya melibatkan beliau dalam kegiatan penelitian penyusunan sistem informasi geografik lingkungan
hidup, yang dimulai dari wilayah kabupaten yang berada di Timor Barat. Mengingat umur beliau, saya
meminta agar beliau cukup melakukan wawancara di lokasi-lokasi tertentu. Namun beliau bersikeras
agar bisa ikut menjelajah kawasan Timor Barat bersama dengan saya, Dr. Mohammad Kasim (pakar
cendana), Made Tusan Surayasa (pakar sosial-ekonomi dan gender), dan Zigma Naraheda (perwakilan
instansi pemilik kegiatan). Beliau berulang kali menyampaikan kepada saya, ingin melihat kondisi
lingkungan Timor Barat setelah desentralisasi, apakah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Kemudian,
ketika pada 2009 saya diminta oleh Rohan Fisher, seorang mahasiswa S2 di Universitas Charles Darwin
untuk mengumpulkan data untuk tesisnya mengenai perubahan penutupan hutan, beliau kembali
meminta ikut menjelajah kawasan hutan yang tersisa di wilayah Kabupaten Kupang.

Dalam menjelajah kawasan Timor Barat pada 2007 dan 2009 tersebut, beliau bertemu dan berdiskusi
dengan orang-orang kampung yang menebang pohon tidak lagi dengan menggunakan parang dan
kapak, melainkan menggunakan gergaji mesin. Beliau bertemu dan berdiskusi dengan orang-orang
kampung yang tidak lagi berburu dengan bantuan anjing, melainkan dengan menggunakan senapan.
Beliau bertemu dan berdiskusi dengan orang-orang kampung yang atas nama reformasi dan
kemenangan advokasi rakyat memporakporandakan kawasan HTI. Beliau menyaksikan sendiri asap
pembakaran lahan mengepul di mana-mana. Setiap kali kami bermalam di kawasan hutan, beliau selalu
bertutur lirih tentang keterbatasan orang kampung dalam hal pendidikan sehingga menjadikan mereka
begitu mudah tertipu untuk menghancurkan masa depan mereka sendiri. Beliau bertutur tentang
keterbelakangan orang Meto dalam hal pendidikan sebagai akibat dari permusuhan yang panjang
dengan pemerintahan kolonial Belanda.

Pada setiap kesempatan beliau bertutur tentang perjuangan para tokoh orang Meto dalam menentang
kehadiran Belanda di Timor Barat, bertutur tentang keengganan beliau untuk mendukung ide
separatisme pendirian Negara Timor Raya yang digagas oleh kalangan tertentu. Bagi beliau, keutuhan
negara dan bangsa adalah harga mati. Beilau tidak hanya bertutur soal menjaga keutuhan bangsa dari
ide separatisme, melainkan juga menggarisbawahi perlunya menjaga harga diri bangsa, dengan
mengatakan tidak kepada pihak asing yang memandang rendah kepada bangsa Indonesia. Keputusan
saya untuk mundur dari proyek pengelolaan api yang semula mencakup Flores, Sumba, dan Timor tetapi
kemudian melepaskan Timor dengan alasan keamanan sebagai akibat dari ketegangan setelah lepasnya
Timor Timur, juga diinspirasi oleh pendirian beliau bahwa kita tidak boleh didikte oleh kepentingan
asing. Beliau juga bertutur soal kegamangan beliau terhadap kemampuan pemerintahan desentralistik
dengan kewenangan otonomi yang diberikan secara penuh kepada kabupaten/kota dalam pengelolaan
lingkungan lingkungan hidup. Bagi beliau, lingkungan hidup tidak mungkin dapat dikelola secara terpadu
dalam koridor batas-batas wilayah administratif yang begitu sempit.

Ketika sampai di kawasan hutan di wilayah Kecamatan Amarasi (sebelum pemekaran) yang entah atas
prakarsa siapa dinamakan Taman Hutan Raya Prof. Ir. Herman Johannes, beliau mengatakan bahwa
perusakan terjadi sebagai wujud protes masyarakat terhadap nama yang diberikan untuk kawasan
tersebut. Menurut beliau, orang yang paling berjasa menjaga kelestarian kawasan hutan tersebut
sebenarnya adalah Raja Amarasi H.A. Koroh, sehingga seharusnya ketika dijadikan taman hutan raya,
nama raja tersebut yang diabadikan sebagai nama. Saya mengetahui sedikit mengenai peranan H.A.
Koroh dalam mengembangkan penanaman lamtoro di kawasan tersebut dari laporan-laporan penelitian
mengenai sistem Amarasi yang begitu terkenal. Kemudian saya mengetahui lebih banyak mengenai H.A.
Koroh senagai tokoh nasionalis dari disertasi Steven Farram: From 'Timor Koepang' to 'Timor NTT': a
political history of West Timor, 1901-1967. Akhirnya sayapun mengetahui lebih banyak lagi mengenai
H.A. Koroh sebagai tokoh lingkungan hidup dari Dr. Ataupah.

Terlepas dari kekurangan di sana sini, Dr. Ataupah telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk
lingkungan hidup. Di halaman rumah dinasnya di Kupang dan di halaman rumah keluarganya di Desa
Nonbes (sekarang kelurahan), Oekabiti, tumbuh berbagai jenis pohon. Meskipun demikian, beliau
menolak untuk dicalonkan memperoleh penghargaan lingkungan hidup dengan alasan beliau melakukan
itu bukan untuk memperoleh penghargaan. Beliau menolak untuk disamakan dengan banyak orang yang
mengaku sebagai aktivis lingkungan. Menurut beliau, banyak orang menjadi aktivis hanya karena
kepentingan. Beliau pernah mengatakan, ada kawannya yang begitu giat menanam pohon, padahal itu
dilakukannya sekedar untuk mengklaim lahan. Beliau selalu menyampaikan kepada saya untuk
melakukan sesuatu tanpa mengharapkan balasan. Bahkan, beliau sering pula menyampaikan, jangan
pernah menjadi pengemis di hadapan Tuhan dengan meminta bermacam-macam, melainkan
mengagungkan Tuhan dengan menjaga seluruh ciptaan-Nya, termasuk satwa dan tumbuhan, supaya
jangan sampai punah hanya karena keserakahan manusia.

Pagi hari 21 Juni 2013 saya membuka file naskah laporan untuk membuat slide presentasi seminar pukul
9.00 di Swiss-Belhotel Kristal. Saya kaget melihat disertasi beliau ada di daftar pustaka, padahal saya
mengutip dengan bantuan program aplikasi pengelolaan pustaka EndNote dan saya tidak mengutipnya.
Sepulang dari seminar saya mendapat pesan bahwa Dr. Hendrik Ataupah telah menghembuskan napas
terakhir pada pukul 19.30, saya pun merasakan kedatangan beliau ke rumah terakhir kalinya pada 8
Maret 2013 sebagai kedatangan untuk pamit. Ketika melayat hari itu juga, saya melihat sosok beliau
terbujur, bukan sebagai jenasah yang kaku direnggut kematian, melainkan tersenyum bagaikan
menyambut kehidupan baru. Saya meneteskan air mata bukan karena kehilangan seorang bapak,
teman, dan lebih-lebih seorang nasionalis yang sebegitu mencintai alam, tetapi karena saya tahu,
selama hidupnya beliau telah menaburkan begitu banyak benih kehidupan. Bukan hanya benih pohon,
melainkan benih nasionalisme dan kecintaan terhadap alam kepada murid-muridnya. Mudah-mudahan,
dari sedemikian banyak benih nasionalisme dan kecintaan terhadap alam yang beliau taburkan, satu-dua
di antaranya dapat tumbuh menjadi sosok yang dapat meneruskan cita-cita beliau. Hujan yang turun di
bulan Juni pada hari pemakaman pada 24 Juni 2013 mudah-mudahan dapat mengingatkan kita semua,
untuk menanam lebih banyak pohon agar bisa menjaga kelestarian lingkungan hidup NTT, bukan hanya
bagi diri kita saat ini, melainkan untuk generasi yang akan datang.
Articles

Indonesian West Timor: The political-economy of emerging ethno-nationalism

Rod Nixon

Pages 163-185 | Published online: 14 May 2007

Download citation http://dx.doi.org/10.1080/00472330480000031

Select Language

Translator disclaimer

References Citations Metrics Reprints & Permissions Get access

Abstract

Encouraged by the post-Soeharto atmosphere of reform and regional autonomy legislation proposed
under Habibie, the aspirations of Indonesia's regional elites have been stirred. Yet prosperity has
remained elusive for many amidst continuing economic decline and as an unreformed military continues
to threaten the business ambitions of regional elites. In West Timor, one of the poorest parts of
Indonesia, local elites have had to contend with the added burden of the fallout from the 1999 pro-
integrationist military operation in East Tindonesian military-trained tormentors, the West Timorese
have paid highly for independence in the East and sufmor. Beginning with the need to host the quarter-
million East Timorese refugees who fled West accompanied by their Ifered enduring economic malaise.
This is reflected in the devastation of tourism and foreign investment, the suspension of major aid
projects, the severing of the air-link to Northern Australia and a United Nations high-security alert in
force since 2000. This crisis in which the aspirations of regional elites have been thwarted by the neglect
and incapacity of central government and by the nature and political agenda of the Indonesian military
elites, has provoked several reactions. As some West Timorese elites have lobbied for a share of the East
Timorese petroleum revenues, the discovery of an essential Timorese-ness by others has been
manifested in the ethno-nationalist Negara Timor Raya (Nation of the Land of Timor) movement.
TEMPO, Selasa, 16 Mei 2006 | 19:16 WIB

TNI Antisipasi Berdirinya Negara Timor Raya

TEMPO Interaktif, Kupang:Wacana pembentukan Negara Timor Raya kembali bergema di wilayah
perbatasan Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Tentara Nasional Indonesia menanggapi serius
wacana tersebut dan berencana menempatkan dua kompi pasukan di bagian selatan Kabupaten Belu.

Di wilayah tersebut diduga sebagai pusat pergerakan para pejuang pembentukan negara baru.
Komandan Resor Militer 161 Wirasakti Kupang Kolonel Infanteri APJ Noch Bola yang dikonfirmasi
mengatakan, pihaknya sudah lama mendengar wacana Negara Timor Raya.

"TNI siap menindak tegas semua pihak yang diduga berada dibalik rencana pembentukan negara itu.
Kami tidak mau kompromi. Kalau ada yang coba-coba mempengaruhi warga akan kami ditumpas," tegas
Bola, Selasa.

Pelopornya diduga kuat sengaja dimainkan oleh mereka yang menentang penempatan dua kompi TNI di
bagian selatan Kabupaten Belu untuk mengamankan wilayah perbatasan.

Menurut Bola, ada pihak-pihak yang merasa terusik karena gerakan-gerakannya diawasi. "Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati. Siapa saja yang mencoba mengganggu keutuhan akan
diberantas. Orang-orang yang mewacanakan dan merencanakan pembentukan Negara Timor Raya sama
dengan menggali lubang kuburnya sendiri," kata Bola.

Wacana Negara Timor Raya mulai ramai dibicarakan sejak 2001 lalu. Beberapa aktivis sempat dimintai
keterangannya oleh aparat keamanan karena diduga berada di balik gerakan itu. TNI mengancam para
aktornya sebagai kelompok separatis.

Sebuah sumber menyebutkan, para aktivis Negara Timor Raya sebagian berasal dari Timor Leste dan
sering berkunjung ke penampungan warga eks Timor Timur di wilayah Betun, Belu Selatan. Mereka
mempengaruhi warga lokal dan warga keturunan Timor Timur untuk aktif dalam pergerakan itu. Jems de
Fortuna

copyright TEMPO 2003


Waspadai 'Virus' Papua Merdeka, Kini Mewabah ke NTT

28 Maret 2012 05:18 Diperbarui: 25 Juni 2015 07:22 1786 1 7

Waspadai 'Virus' Papua Merdeka, Kini Mewabah ke NTT

1332914519771780660

Kendati sudah banyak pelaku-pelaku makar di negeri ini harus menjalani sebagian masa hidupnya di bui,
namun hal itu sepertinya tidak membuat kelompok lainnya kapok. Lihatlah misalnya Forkorus
Yaboisembut dan empat rekannya yang baru dua pekan lalu divonis hukuman tiga tahun penjara oleh
Pengadilan Negeri Jayapura, Papua, karena mendeklarasikan negara federasi republik Papua barat.
Namun, kelompok lainnya yang juga mencita-citakan Papua menjadi negara sendiri lepas dari NKRI,
seperti Buchtar Tabuni, Mako Tabuni, dan Pdt. Socratez Sofyan Yoman masih tetap beraktivitas bebas
dengan demo-demo menuntut referendum.

Meniru Modus Papua

Model penanganan yang terkesan tidak tegas seperti inilah (yang satu dihukum, yang lainnya dibiarkan,
padahal motivasinya sama) yang kemudian memicu kelompok aktivis di Pulau Timor (Provinsi Nusa
Tenggara Timur) meniru modus aktivitas Papua merdeka.

Pada tanggal 27 Maret 2012 di Hotel Livero, Kefamenanu Kab. Timor Tengah Utara (TTU), Prov. NTT
berlansung seminar sehari dengan tema Peningkatan Nilai-Nilai Empat Pilar Kebangsaan Untuk
Mempertahankan NKRI di Wilayah Perbatasan RI-RDTL. Penyelenggara seminar itu adalah Serikat
Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Kab. TTU, menghadirkan tiga orang pemateri, yaitu Asisten I Setda TTU
Yohanes Bani, Komandan Distrik Militer 1618 TTU Letkol Arm Eusebio Hornai Rebelo dan Pater Paul
Wain. Pesertanya adalah pengurus ormas-ormas dari wilayah itu. Salah seorang peserta yang berasal
dari Himpunan Mahasiswa Belu mengatakan negara Timor Raya akan muncul kalau pemerintah pusat
bersikap diskriminasi dalam hal perhatian, khususnya terhadap kaum minoritas (agama).Selain itu
menurutnya pembangunan hanya di daerah Jawa sedangkan untuk Indonesia Timur sering diabaikan.

http://regional.kompas.com/read/2012/03/27/21334336/Isu.Negara.Timor.Raya.Kembali.Mencuat

Kilas Balik
Wacana Negara Timor Raya (NTR) memang tidak ujug-ujug muncul. Pertama kali istilah Negara Timor
Raya muncul ke permukaan sekitar tahun 2001. Ketika itu di wilayah Timor bagian Barat (dari Kab. Belu
sampai Kupang) dipenuhi puluhan ribu pengungsi dari Timor Leste sebagai dampak dari kekalahan
Indonesia dalam referendum di Timor Timur tanggal 30 Agustus 1999.

Kelompok pengungsi (tokoh warga Timor Timur) yang kecewa atas hasil referendum yang katanya
penuh dengan rekayasa pihak Australia itu, kemudian memunculkan gagasan untuk mendirikan NTR di
wilayah Timor bagian barat. Basis perjuangan mereka adalah di wilayah Betun, Kecamatan Malaka Barat
(selatan kabupaten Belu) dan di wilayah Kab. TTU. Dikhabarkan bahwa mereka berhasil mempengaruhi
tokoh-tokoh masyarakat adat (para Sonaf) di Kab. Belu dan TTU serta TTS untuk mendukung berdirinya
NTR tersebut.

Tahun 2006, isu NTR kembali muncul ke permukaan atas dasar laporan Ketua DPRD Kab. TTU kepada
DPRD NTT bahwa di wilayah TTU ada aktivitas sekelompok tokoh eks Timtim dan para Sonaf di wilayah
itu untuk membentuk NTR.

Pius Rengka (Anggota DPRD NTT saat itu) kemudian mendesak aparat keamanan dan Pemprov NTT
untuk segera menyikapi laporan tersebut. Danrem Wirasakti/Kupang Kol. Moesanip (waktu itu)
mengatakan pihaknya juga mencium fenomena itu. Jika para penggagasnya mendeklarasikan NTR maka
mereka akan berhadapan dengan TNI. Demikian sikap tegas Moesanip.

Invasi atau Makar

Istilah Timor Raya merujuk pada konsep pulau Timor yang bersatu, meliputi Timor Timur bekas jajahan
Portugis dan Timor Barat bekas jajahan Belanda. Kemudian diberi imbuhan negara untuk menunjukan
upaya (wacana) menggabungkan Timor Barat ke Timur Timur menjadi satu wadah negara merdeka. Hal
itu jelas tidak mungkin mengingat Timor Timur sudah menjadi sebuah negara (Timor Leste) yang
berdaulat dengan batas-batas yang sudah jelas dan tegas. Jika Timor Leste ingin memperluas wilayahnya
meliputi seluruh Pulau Timor, itu berarti Timor Leste melakukan invasi ke Negara Indonesia.

Sebaliknya kalau Timor bagian barat ingin menggabungkan diri ke Timor Leste, maka para penggagasnya
maupun pelaku-pelakunya akan bernasib sama dengan Forkorus Yaboisembut dkk, karena tindakan itu
jelas-jelas bertentangan dengan hukum positif Indonesia, alias MAKAR. Namun sejauh ini aparat
keamanan di NTT belum mengambil sikap terkait wacana tersebut.

Dandim 1618 TTU Letkol Arm Eusebio Hornai Rebelo mengatakan, hal tersebut hanya isu yang
berkembang sedangkan gerakannya sampai sejauh ini tidak ada. Sikap yang sama juga pernah
ditunjukkan oleh Polda NTT tahun 2002. Saat itu sebanyak 11 aktifvis LSM di Kupang sempat diinterogasi
terkait isu NTR yang dimunculkan dalam sebuah diskusi di Kota Kupang. Tetapi polisi kemudian
menyimpulkan bahwa isu yang diangkat oleh para aktivis tersebut hanya sebatas wacana dalam rangka
meminta perhatian pemerintah pusat untuk membangun NTT secara lebih serius.
JP: Officials wary of Great Timor State

Jakarta Post

February 26, 2005

Officials wary of Great Timor State

KUPANG, East Nusa Tenggara: A council commission has demanded that the government follow up on a
military report, which revealed that a group of people on the Indonesian side of Timor island was trying
to establish a Great Timor State.

Pius Rengka, the head of Commission A overseeing governance at the East Nusa Tenggara provincial
council, said that the government should investigate the group, in order to prevent it from becoming a
bigger movement.

The report was earlier given to the provincial council by a top officer in North Central Timor district
military command.

The Wirasakti Military Commander overseeing East Nusa Tenggara province, Col. Moeswarno Moesanip,
confirmed the report. He said that the group of people had campaigned along the border of Indonesia
and East Timor. They apparently intend to create a nation combining East Timor and the western half of
Timor island, which is still Indonesian territory, and call it the Great Timor State.

East Timor gained its freedom from Jakarta rule after a UN-sponsored vote in 1999. -- JP
DPRD NTT Minta Selidiki Aktivitas Negara Timor Raya

Jum'at, 25 Februari 2005 | 14:59 WIB

0 komentar

00000

TEMPO Interaktif, Kupang:Komisi A DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur meminta pemerintahan untuk
menyelidiki aktivitas gerakan sekelompok orang yang memperjuangkan Negara Timor Raya. Permintaan
penyelidikan ini disampaikan anggota Komisi A, Pius Rengka kepada Gubernur NTT Piet A. Tallo, Kepala
Polda, Brigjen. Pol. Edward Aritonang dan Komandan Korem 161 Wirasakti Kupang, Kolonel Inf.
Muswarno Moesanip di Kupang, Jumat (25/2).

Langkah ini menindaklanjuti surat dari Komandan Kodim Timor Tengah Utara mengenai kelompok yang
memperjuangkan Negaar Timor Raya ini. DPRD NTT menerima surat itu beberapa waktu lalu dan telah
ditindaklanjuti dengan meminta gubernur, aparat kepolisian dan TNI untuk mengambil langkah cepat
guna menanggapi pemberitahuan Komandan Kodim Timor Tengah Utara, kata Pius Rengka.

Menurut Pius, surat Dandim Timor Tengah Utara tersebut mesti ditanggapi secara serius dan bijaksana
untuk mencari tahu latar belakang aktivitas dan tujuan mereka yang merupakan gabungan dari Timor
Leste dan Timor Barat bagian Indonesia.

Kolonel Infantri Muswarno Moesanip yang dihubungi di Kupang membenarkan adanya aktivitas dan
gerakan sekelompok warga untuk memperjuangan Negara Timor Raya. Kelompok yang berbasis di Timor
Tengah Utara, salah satu kabupaten yang berbatasan langsung dengan Timor Leste ini ramai
diperbincangkan beberapa bulan terakhir.

Negara Timor Raya sengaja dikampanyekan oleh orang-orang yang stress dan frustrasi untuk mencari
perhatian asing. Siapa saja yang mengkampanyekan isu itu akan berhadapan dengan TNI karena Negara
Kesatuan RI adalah harga mati, ujar Muswarno.

Isu Negara Timor Raya sendiri sempat menghebohkan masyarakat Nusa Tenggara Timur tahun 2002 lalu.
Saat itu sebanyak 11 aktifvis Lembaag Swadaya Masyarakat di Kupang sempat diinterogasi oleh aparat
kepolisian. Tetapi polisi kemudian menyimpulkan bahwa isu yang diangkat oleh para aktivis tersebut
hanya sebatas wacana dalam rangka meminta perhatian pemerintah pusat untuk membangun NTT
secara lebih serius. jems de fortuna
Pangdam Tuduh Makar Penggagas Negara Timor Raya

Sabtu, 12 Januari 2002 | 16:09 WIB

0 komentar

00000

TEMPO Interaktif, Denpasar:Pangdam IX Udayana Mayjen TNI Willem Theodorus da Costa menegaskan
tindakan sekelompok orang yang mendeklarasikan Dewan Rakyat Timor sebagai elemen untuk
mendirikan Negara Timor Raya merupakan tindakan makar. Timor Raya adalah gabungan Timor Leste
dan Timor Barat.

Apakah ketujuh oknum itu perlu diperiksa, diajak dialog atau seperti apa, saya belum tahu betul. Yang
jelas, gagasan itu membingungkan masyarakat. Saya yakin lama-lama hilang gaungnya dan hanya
bergulir di lingkungan tertentu, ujar Pangdam di Denpasar, Bali, Jumat (11/1), perihal kasus tujuh
deklarator Dewan Rakyat Timor yang saat ini tengah diusut oleh kepolisian Nusa Tenggara Timur (NTT).

Ia melihat gagasan Negara Timor Raya masih sebatas wacana. Pangdam pun mengancam, jika ide
mengejawantah dalam gerakan massa besar-besaran, maka aparat militer tidak akan tinggal diam.
Pangdam mengingatkan agar tidak ada elemen politik di NTT yang berusaha memancing di air keruh. Da
Costa minta meminta supaya Timor Barat dijaga agar tidak bergejolak seperti Aceh. Saya yakin, sampai
kiamat pun Timor Barat tetap di pangkuan negara kesatuan Indonesia," tegasnya.

Sebaliknya, ujar da Costa, Timor Leste tidak mungkin kembali ke Indonesia. "Timor Timur kini punya
negara. Mengapa orang Timor Barat ingin ikut campur lagi dengan merintis ide bergabung dengan
negara itu, membangun opini publik membentuk Negara Timor Raya Merdeka?" tanyanya.

Pangdam telah memerintahkan jajaran militer di Kupang untuk terus mengikuti gerakan elemen politik
yang menamakan diri Dewan Rakyat Timor. Selain itu juga menggali informasi informasi sebanyak
mungkin tentang tujuh deklarator yakni Ir Sarah Lery Mboeik (LSM PIAR, Pusat Informasi dan Advokasi
Rakyat), Drs, Servatius Rodriques (Dosen UNIKA Widya Mandira), Hans Ch Louk (Pemimpin Redaksi NTT
Express), Pius Rengka (mantan wartawan dan Pemimpin Redaksi Koran Sasando Pos), Stef Mira Menggi,
Simson Yakob dan Apolos Dewa Praingu. Mereka telah diperiksa intensif oleh Polda NTT sejak 8 Januari
lalu. (Rofiqi Hasan - Tempo News Room)
Polda NTT Periksa Penggagas Negara Timor Raya

Selasa, 08 Januari 2002 | 10:49 WIB

5 komentar

00003

TEMPO Interaktif, Kupang:Jajaran Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) mengusut isu pembentukan Negara
Timor Raya. Saat ini, Kapolda Brigjen Pol. Jacky Ully telah memerintahkan Kepala Direktorat Intelijen
Polda NTT untuk memeriksa deklarator Dewan Rakyat Timor (DRT) yang dimotori sejumlah tokoh NTT.
Kami perlu mengusut masalah itu untuk menghindari upaya pembentukan negara dalam negara, ujar
Jacky kepada wartawan di Kupang, Selasa (8/1) siang.

Isu Negara Timor Raya juga disorot tajam jajaran TNI. Pejabat militer setempat menempatkan masalah
itu sebagai prioritas. Data Tempo News Room, sejumlah nama terlibat sebagai deklarator DRT, yakni Ir
Sarah Leri Mboik (Ketua PIAR, Pusat Informasi dan Advokasi Rakyat), Pius Rangka (mantan Pemimpin
Redaksi koran Sasando Pos), Hans Ch. Louk (Pemimpin Redaksi NTT Ekspres), Sebastian Rodriques
(Dosen Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang), Jos Dasi Djawa (LSM Lap Timoris), Chris Boro Tokan
(anggota DPRD NTT).

Kami siap diklarifikasi, ujar Hans Ch.Louk. Pernyataan sama disampaikan Sarah Leri Mboik kepada
wartawan. Kapolda menyatakan isu pembentukan Negara Timor Raya merupakan masalah serius. Sedini
mungkin, aparat kepolisian akan menghentikan gerakan itu. Polisi akan membawa persoalan ini sampai
ke pengadilan. Para penggagas harus bertanggungjawab, ujar Jacky.

Dewan Rakyat Timor dideklarasikan di Hotel Kristal, Kupang, medio Agustus tahun lalu. Saat itu PIAR
menggelar seminar Celah Timor, dengan pembicara Dr. George Aditjondro. Usai seminar, mereka
mendeklarasikan DRT. Dalihnya, wadah itu untuk memperjuangkan budaya Timor yang selama ini
mereka nilai tenggelam oleh dominasi budaya Jawa yang dipaksakan ke daerah-daerah. Dari gerakan-
gerakan DRT itulah muncul gagasan Negara Timor Raya.

Pertengahan Desember lalu, Danrem 161 Wirasakti Kupang, Kolonel Inf. Muswarno Musanip,
mengingatkan para deklarator DRT untuk menghentikan kegiatan. Danrem menegaskan TNI tidak akan
tinggal diam terhadap kegiatan-kegiatan yang mengarah pembentukan negara baru. Jika ada pihak-
pihak yang ingin memisahkan dari negara kesatuan Indonesia, lalat pun akan dihadapi TNI dengan
meriam, tegas Danrem saat itu.
Ide Negara Timor Raya itu disebut-sebut melibatkan elit Timor-Timur yang tak mau kembali ke kampung
halaman. Pembentukan DRT merupakan ujicoba dari pemunculan isu tersebut. Argumen yang
mengemuka, pembentukan DRT untuk mempersatukan rakyat Timor tercerai-berai sejak jaman
penjajahan Belanda dan Portugis. Rakyat Timor sebenarnya berasal dari kerajaan Wewiku-Wehali. Timor
bagian timur dikuasai Portugis dan belahan barat dikuasai Belanda. Setelah negara Indonesia berdiri,
rakyat Timor tetap terpisah. (Jeffriantho)
JP: TNI Warns of W. Timor Rebels

The Jakarta Post December 18, 2001

Military warns of rebels in W. Timor

Yemris Fointuna, The Jakarta Post, Kupang

The military says it has found evidence that a group on the Indonesian side of Timor island is striving for
an independent state, which it wants to call Timor Raya.

Col. Moeswarno Moesanip, chief of Kupang Military District overseeing East Nusa Tenggara, said here
over the weekend that a separatist movement had been detected in East Nusa Tenggara after the local
military monitored and analyzed all factors behind the rejection by certain groups of the planned
deployment of an infantry battalion along the border between Indonesia and East Timor.

The separatist movement has a political motive in its effort to separate East Nusa Tenggara, or West
Timor, from the unitary state of Indonesia, he said.

Certain parties in North Timor Tengah regency, which borders Atambua, have rejected the government's
plan to deploy an infantry battalion to increase security along the border.

According to Moesanip, the separatist movement would find it difficulty to operate if security along the
border was stepped up.

He said that because of the detected separatist movement, the Udayana Military Command overseeing
Bali, West and East Nusa Tenggara considered it urgent to station an elite force along the border
between East Timor and East Nusa Tenggara.

"It's not a problem if the Timor Raya state is merely an idea, but if it is declared, the rebels will be
digging their own graves because they will come face to face with the military," he said.
Udayana Military Commander Maj. Gen. Willem T. da Costa recently called for the immediate
deployment of elite soldiers along the border to prevent East Timor's communist ideology from
infiltrating West Timor.

Moesanip said the plan to station an infantry battalion in North Timor Tengah regency had gained
support from local people and the Atambua Catholic diocese.

"It's not the residents of North Timor Tengah regency but those in Atambua who know the real situation
along the border. So those who do not live in Atambua should not comment on whether an infantry
battalion is really needed along the border," he said.

He said the infantry battalion would be made up of servicemen mostly from West Timor because they
understood the social problems and traditional customs in the province.

East Nusa Tenggara Governor Piet A. Tallo dismissed the separatist movement, saying it was an idea
aired by minority groups in the province.

"The issue of a Timor Raya state was raised by East Timorese informal leaders taking refuge in North
Timor Tengah at a recent meeting with local people, but the local people will not be easily influenced by
such a weak issue," he told The Jakarta Post here on Monday.
Military warns of rebels in West Timor

Jakarta Post - December 18, 2001

Yemris Fointuna, Kupang -- The military says it has found evidence that a group on the Indonesian side
of Timor island is striving for an independent state, which it wants to call Timor Raya. Col. Moeswarno
Moesanip, chief of Kupang Military District overseeing East Nusa Tenggara, said here over the weekend
that a separatist movement had been detected in East Nusa Tenggara after the local military monitored
and analyzed all factors behind the rejection by certain groups of the planned deployment of an infantry
battalion along the border between Indonesia and East Timor.

The separatist movement has a political motive in its effort to separate East Nusa Tenggara, or West
Timor, from the unitary state of Indonesia, he said. Certain parties in North Timor Tengah regency,
which borders Atambua, have rejected the government's plan to deploy an infantry battalion to increase
security along the border.

According to Moesanip, the separatist movement would find it difficulty to operate if security along the
border was stepped up. He said that because of the detected separatist movement, the Udayana
Military Command overseeing Bali, West and East Nusa Tenggara considered it urgent to station an elite
force along the border between East Timor and East Nusa Tenggara.

"It's not a problem if the Timor Raya state is merely an idea, but if it is declared, the rebels will be
digging their own graves because they will come face to face with the military," he said.

Udayana Military Commander Maj. Gen. Willem T. da Costa recently called for the immediate
deployment of elite soldiers along the border to prevent East Timor's communist ideology from
infiltrating West Timor.

Moesanip said the plan to station an infantry battalion in North Timor Tengah regency had gained
support from local people and the Atambua Catholic diocese. "It's not the residents of North Timor
Tengah regency but those in Atambua who know the real situation along the border. So those who do
not live in Atambua should not comment on whether an infantry battalion is really needed along the
border," he said.
He said the infantry battalion would be made up of servicemen mostly from West Timor because they
understood the social problems and traditional customs in the province. East Nusa Tenggara Governor
Piet A. Tallo dismissed the separatist movement, saying it was an idea aired by minority groups in the
province.

"The issue of a Timor Raya state was raised by East Timorese informal leaders taking refuge in North
Timor Tengah at a recent meeting with local people, but the local people will not be easily influenced by
such a weak issue," he told The Jakarta Post here on Monday.
Media Indonesia, 16/12/2001 19:41 WIB

Ada Gerakan Separatis Ingin Bentuk Negara Timor Raya

KUPANG (Media): Danrem 161/Wirasakti Kolonel (Inf) Moeswarno Moesanip

mengungkapkan, pihaknya telah mencium adanya gerakan separatis di wilayah

Timor

bagian barat Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk memisahkan diri dari NKRI

dengan

membentuk Negara Timor Raya.

Kelompok separatis ini terindikasi jelas dengan pernyataan mereka yang

selalu

menolak kehadiran Yonif 744/Satya Yudha Bhakti (SYB) di wilayah perbatasan

Nusa

Tenggara Timur (NTT) dengan calon negara baru Timor Leste (Timles), kata

Danrem

Moesanip kepada wartawan, di Kupang, Sabtu.

Usai memimpin upacara peringatan HUT ke-56 Infanteri di Makorem

161/Wirasakti,

Danrem Moesanip mengatakan, setelah pihaknya mengkaji dan menganalisa lebih

dalam terhadap kelompok masyarakat yang menolak kehadiran Yonif 744/SYB itu,

ternyata punya tujuan politis tertentu.

Tujuan politis itu antara lain menyangkut ide separatis Negara Timor Raya,

karena dengan adanya Yonif 744/SYB di perbatasan, ruang gerak perjuangan

mereka

menjadi tidak leluasa dan terhalang oleh pasukan TNI di tapal batas.
Danrem menegaskan, setelah pihaknya mencium adanya gelagat tersebut, Kodam

IX/Udayana memandang penting untuk menempatkan pasukan elitnya dari Yonif

744/SYB di perbatasan NTT-Timles.

Dalam waktu dekat, tambah Moesanip, markas Yonif 744 di Kabupaten Timor

Tengah

Utara (TTU) dan kompleks kompi 744 di Kabupaten Belu akan segera di tempati.

Kehadiran Yonif 744/SYB di perbatasan NTT-Timles itu akan permanen sepanjang

masa guna 'mengubur' ide separatis Negara Timor Raya yang tengah digulirkan

oleh kelompok masyarakat tertentu di Timor bagian barat NTT saat ini,

katanya.

"Jika ide Negara Timor Raya itu masih sebatas wacana, ya...oke-oke saja.

Tetapi

sampai mendeklarasikan..itu sama halnya dengan menggali kubur sendiri.

Mereka

akan berhadapan dengan TNI," tegas Danrem Moesanip.

Beberapa waktu lalu, Panglima Kodam IX/Udayana Mayjen TNI William T da Costa

menjelaskan tentang pentingnya penempatan pasukan TNI, khususnya dari Yonif

744/SYB di perbatasan untuk menangkal masuknya faham idiologi komunis dari

Timles.

Pernyataan Pangdam da Costa itu berkaitan dengan kemenangan yang diraih

Partai

Fretilin (Frente Revolucionario de Timor Leste Independente), pimpinan Lu

Olo
dalam pemilu pertama di Timor Leste, setelah bekas provinsi ke-27 Indonesia

itu

lepas dari NKRI melalui referendum 30 Agustus 1999.

Biasa dalam demokrasi

Setelah Pangdam Udayana menggulirkan isu ideologi untuk mempertahankan

eksistensi Yonif 744/SYB--pasukan elit milik Kodam Udayana di Timtim

dulu--di

perbatasan, kini Danrem 161/Wirasakti, Moesanip menghembuskan isu baru

tentang

adanya separatis.

Ia mengatakan perbedaan pendapat tentang perlu tidaknya Yonif 744/SYB di

perbatasan NTT-Timles hal yang wajar dan biasa dalam berdemokrasi.

Namun, tegas Danrem Moesanip, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam

lingkaran NKRI, harus ada kesamaan visi dan persepsi dari semua komponen

masyarkat agar tidak memperumitkan suatu persoalan, tetapi bagaimana

menyederhanakan masalah yang rumit itu.

Oleh karena itu, masalah yang berkembang di daerah (soal Yonif 744 di

perbatasan NTT-Timles) hendaknya orang yang berasal dari luar daerah (TTU

dan

Belu) tidak perlu mencampuri atau mengomentari, bahkan bertindak seperti

yang

lebih memahami permasalahan yang sedang terjadi.

Pembangunan markas Yonif 744/SYB di Kabupaten TTU, kata Danrem Moesanip,


didukung sepenuhnya oleh mayoritas masyarakat TTU dan pihak Gereja Katolik

setempat, sehingga pihak luar yang kurang mengetahui duduk persoalannya,

sebaiknya tidak usah berkomentar.

"Persoalan pembangunan Yonif 744/SBY di TTU menjadi polemik, karena

permainan

orang luar daerah (TTU). Kelompok-kelompok inilah yang tengah memainkan ide

separatis tentang pembentukan Negara Timor Raya itu," katanya.

Ia menegaskan, jika sampai ada kelompok yang mendeklarasikan ide tentang

pembentukan Negara Timor Raya atau mengingkari NKRI, maka hal itu sama

halnya

dengan "menggali lubang kubur sendiri".

Personil Batalyon Infanteri 744, tambahnya, 85 persen akan diisi oleh putra

daerah NTT, dengan pertimbangan mereka yang lebih paham soal hubungan sosial

budaya serta adat istiadat antara masyarakat Timor Timur dan Timor bagian

barat

NTT sebagai sesama orang Timor. (Ant/OL-01)

Anda mungkin juga menyukai