Anda di halaman 1dari 7

PROSES EVOLUSI SOSIAL

Proses Microscopic dan Macroscopic dalam evolusi sosial adalah bagian dari
Proses evolusi dari suatu masyarakat dan kebudayaan yang dapat dianalisa oleh
seorang peneliti seolah-olah dari dekat secara detail (microscopic), atau dapat juga
dipandang seolah - olah dari jauh dengan hanya memperhatikan perubahan
perubahan - perubahan yang tampak besar saja (macroscopic). Proses evolusi
sosial-budaya yang dianalisa secara detail akan membuka mata peneliti untuk
berbagai macam proses perubahan yang terjadi dalam dinamika kehidupan sehari-
hari dalam tiap masyarakat di dunia. Proses-proses ini disebut dalam ilmu
antropologi proses-proses berulang, atau recurrent processes. Proses-proses
evolusi sosial budaya yang dipandang seolah-olah dari jauh hanya akan
menampakkan kepada peneliti perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam
jangka waktu yang panjang. Proses-proses ini disebut dalam ilmu antropologi,
proses-proses menentukan arah, atau directional processes. 

Contoh: Adat Minangkabau mewajibkan bahwa seorang pria harus mewariskan


harta miliknya kepada kemenakannya, yaitu anak dari saudara perempuannya.
Ada seorang A yang berpengaruh yang mengabaikan adat ini, dan mewariskan
harta miliknya kepada anaknya sendiri. Tentu para kemenakan tidak puas, dan
akan mengadukan soal itu kepada kepala adat. Mengingat pengaruh besar dari A
itu, kepala adat yang berlaku sebagai hakim akan membuat suatu keputusan
hukum adat yang membenarkan perbuatan A. Para kemenakan tetap tidak puas,
tetapi tentu tidak berani membantah, karena takut akan pengaruh A yang besar.
walaupun mereka taat kepada keputusan hakim adat, tetapi keputusan itu akan
dirasakan sebagai keputusan yang tidak adil. Peristiwa serupa apa yang tersebut di
atas tentu dapat berulang lagi, dan tiap kali ada pengaduan, kepala adat akan
memberi keputusannya menurut kebijaksanaannya, dengan mengingat situasi-
situasi yang khusus, dengan mengingat keputusan-keputusan yang lalu.

banyak peristiwa di atas akan diputuskan, misalnya sebagai berikut: seorang harus
membagi miliknya, milik pusaka dan harta yang dikembangkan dengan bantuan
kaum kerabatnya harus diwariskan kepada para kemenakan, sedang harta yang
didapat dengan usaha sendiri harus diwariskan kepada anaknya sendiri. Kalau
keputusan hukum adat terakhir ini dianggap sebagai keputusan yang memuaskan
dan tidak menimbulkan ketegangan lagi. maka keputusan itu akan menjadi suatu
adat yang baru untuk masa selanjutnya, sampai pada suatu saat di hari kemudian
terjadi penyimpangan baru, ketegangan baru, dan keputusan baru, yang akan
melahirkan adat yang baru pula. 5 Perubahan-perubahan yang kecil serupa itu
tadi, yang hanya dapat dilihat dengan peninjauan secara detail dengan "alat
mikroskop” oleh para peneliti masyarakat, tidak akan tampak kepada orang lain
yang hanya meninjau masyarakat dari luar, dari jauh, atau yang memang
membutakan diri untuk penyimpangan-penyimpangan yang kecil itu. Walaupun
demikian, dalam jangka waktu yang panjang, berpuluh-puluh perubahan kecil
dalam adat-istiadat suatu masyarakat akan mulai tampak pola dari luar sebagai
suatu perubahan yang besar. Faktor ketegangan antara adat-istiadat dari suatu
masyarakat dengan keperluan para individu di dalamnya itu menyebabkan perlu
adanya dua konsep yang harus dibedakan dengan tajam oleh para peneliti
masyarakat, terutama para ahli antropologi dan sosiologi.
Permasalahan teoritik tersebut dalam konsep kebudayaan telah diuraikan dalam
dua wujud dari tiap kebudayaan :

(i) kebudayaan sebagai suatu kompleks dari konsep norma-norma, pandang


pandangan dan sebagainya, yang abstrak,

(ii) kebudayaan sebagai suatu rangkaian dari tindakan yang konkret di mana
individu saling berhubungan dan berbuat berbagai hal dalam keadaan interaksi,
yaitu sistem sosial.

4. PROSES DIFUSI

Ilmu paleoantropologi telah memperkirakan bahwa makhluk manusia terjadi di


suatu daerah tertentu di muka bumi, yaitu daerah sabana tropik di Afrika Timur,
sedangkan sekarang mahluk itu menduduki hampir seluruh muka bumi ini dalam
segala macam lingkungan iklim. Hal itu hanya dapat diterangkan dengan adanya
proses pembiakan dan gerak penyebaran atau migrasi-migrasi yang disertai
dengan proses penyesuaian atau adaptasi fisik dan sosial budaya dari makhluk
manusia dalam jangka waktu beratus-ratus ribu tahun lamanya sejak zaman purba.
Ditinjau secara lebih teliti, maka kita dapat membayangkan berbagai macam
sebab dari migrasi-migrasi itu. Ada hal- hal yang menyebabkan migrasi yang
lambat dan otomatis, ada pula peristiwa-peristiwa yang menyebabkan migrasi
yang cepat dan mendadak.

Migrasi yang lambat dan otomatis adalah sejajar dengan perkembangan dari
makhluk manusia yang rupa-rupanya selalu banyak jumlahnya sejak masa
timbulnya di muka bumi hingga sekarang. Dalam proses evolusi serupa itu
makhluk manusia seolah-olah selalu memerlukan tempat-tempat yang baru di
muka bumi. Para sarjana Ilmu prehistori yang antara lain mencoba
merekonstruksikan kembali gerak migrasi kelompok- kelompok manusia di muka
bumi, telah menggambarkan pula berbagai macam peta dengan garis-garis panah
untuk menunjuk- kan arah-arah migrasi itu. Di peta pada hlm. 244 yang digambar
berdasarkan buku W. Howells, Back of History (1954 : hlm. 177, 287, 298),
tergambar garis-garis migrasi yang terpenting dari makhluk manusia. Sudah tentu
dalam kenyataan jalannya migrasi tidak boleh kita bayangkan sebagai suatu garis
lurus yang menghubungkan A, Sebagai tempat pangkal, dengan B,tempat yang
dituju. Sebagian besar dari kelompok-kelompok manusia dalam zaman purba
hidup dari berburu. Dari suku- suku bangsa di muka bumi yang sampai sekarang
masih hidup dari berburu, kita mengetahui bahwa sekelompok manusia berburu,
walaupun memang tidak mempunyai Tempat tinggal tetap, tetapi selalu bergerak
dalam batas suatu wilayah berburu yang tetap. Wilayah itu dikenal oleh warga
kelompok bersangkutan dengan teliti sekali. Pengetahuan itu, yaitu pengetahuan
tentang topografi tanah, tentang tempat-tempat yang dilalui binatang, tempat-
tempat di mana terdapat belukar dan sebagainya, sangat vital bagi sekelompok
bangsa berburu. Dengan demikian jelaslah bahwa mereka tidak gemar untuk
pindah ke wilayah berburu lain. Walaupun demikian, bila ditinjau dalam jangka
waktu panjang, suatu kelompok manusia lama" kelamaan akan pindah wilayah
juga, karena di wilayah yang lama binatang perburuan misalnya sudah mulai
berkurang, atau karena dalam wilayah yang lama jumlah manusia sudah mulai
terlampau banyak. Namun, perpindahan itu berjalan de-“ea sangat lambat, dan
biasanya tanpa disadari orang-orang yang bersangkutan itu sendiri. Suatu migrasi
Serupa 1 5 benarnya tidak harus kita gambarkan sebagai suatu garis lurus(1),
melainkan sebagai garis spiral (II). Serupa itu juga, migrasi besar dari kelompok-
kelompok manusia yang pindah dari Benua Asia ke Benua Amerika pada akhir
Zaman Glasial ke-IV, merupakan suatu migrasi yang berjalan dengan sangat
lambat, dan agaknya tanpa disadari oleh kelompok-kelompok manusia itu sendiri.
Pada daerah perbatasan gletser, atau lapisan es, di Asia Tengah,5 kolom. pok-
kelompok manusia berburu binatang es (seperti rusa es, gajah es, beruang es dan
sebagainya). Pada akhir Zaman Glasial ke-IV lapisan-lapisan es dengan lambat,
selama beribu-ribu tahun Jamanya, mulai pindah ke utara. Dengan demikian turu!
pindah pula binatang-binatang es, dan bersama mereka juga pemburu-
pemburunya, yaitu manusia. Dalam waktu yang sedemikian lambainya hingga
tidak disadari, maka seluruh kompleks es, binatang, dan manusia mencapai daerah
Asia Utara, Ada pula di antaranya yang sampai di daerah yang sekarang disebut
Selat Bering, yang ketika itu belum merupakan laut, tetapi Suatu daratan, sehingga
dengan tidak sadar pula manusia telah melalui daerah itu serta menginjak bumi
dari suatu benua baru, yaitu Amerika. Dengan demikian, menurut para sarjana
ilmu prehistori, kira-kira 80.000 tahun yang lalu mahluk manusia untuk pertama
kali mulai menduduki Benua Amerika yang sebelumnya masih kosong sama
sekali. Kecuali migrasi-migrasi yang lambat dan otomatis seperti yang terurai di
atas, banyak pula migrasi manusia yang berlangsung cepat dan mendadak. Sebab
dari migrasi-migrasi semacam ini bisa bermacam-macam, misalnya bencana alam,
wabah, perubahan mata pencaharian hidup, peperangan, dan juga peristiwa-
peristiwa khusus yang semua telah tercatat dalam sejarah seperti perkembangan
pelayaran dari bangsa Cina di Asia Timur dan Asia Tenggara perkembangan
pelayaran bangsa-bangsa Arab di Asia Selatan dan Afrika Timur: migrasi dari
bangsa Arab dari Asia Barat ke Afrika Utara: perkembangan pelayaran dari
bangsa-bangsa Eropa ke Benua Afrika, Asia dan Amerika, transmigrasi dari
kurang lebih 3.000.000 orang Spanyol ke Amerika Selatan dalam abad ke-16 dan
ke-17: transmigrasi dari Kira-kira 55.000.000 orang Eropa ke Amerika Utara,
Tengah, dan Selatan, sebagai budak-budak belian dalam abad-abad ke-18 dan ke-
19: migrasi suku-suku bangsa Afrika yang berbahasa Bantu dari Afrika Barat ke
Afrika Timur dan Selatan: berbagai migrasi besar dari suku-suku bangsa peternak
di Asia Tengah yang dipimpin oleh denghis Khan: berbagai migrasi suku-suku
bangsa di Kepulauan Polinesia dan Mikronesia dari satu pulau ke pulau lain: dan
masih banyak peristiwa lain. Penyebaran Unsur-Unsur Kebudayaan. Bersamaan
dengan penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi, turut
pula tersebar unsur-unsur kebudayaan dan sejarah dari proses penyebaran unsur-
unsur kebudayaan ke seluruh penjuru dunia yang disebut proses difusi (diffusion),
yang juga merupakan salah satu objek penelitian ilmu antropologi, terutama sub-
ilmu antropologi diakronik (lihat Bab I,hlm. 16). Salah satu bentuk difusi adalah
penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain di muka
bumi, yang dibawa oleh kelompok-kelompok manusia yang bermigrasi. Terutama
dalam zaman prehistori, puluhan ribu tahun yang lalu, ketika kelompok-kelompok
manusia yang hidup dari berburu pindah dari satu tempat ke tempat-tempat yang
lain hingga jauh sekali, maka unsur-unsur kebudayaan yang mereka bawa juga
didifusikan hingga jauh sekali. Bekas-bekas difusi itu sekarang menjadi salah satu
objek penelitian ilmu prehistori. Penyebaran unsur-unsur kebudayaan dapat juga
terjadi tanpa ada perpindahan kelompok-kelompok manusia atau bangsa- bangsa
dari satu tempat ke tempat lain, tetapi oleh karena ada individu-individu tertentu
yang membawa unsur-unsur kebudayaan itu hingga jauh sekali. Mereka itu adalah
terutama pedagang dan pelaut. Pada zaman penyebaran agama-agama besar,para
pendeta agama Buddha, para pendeta agama Nasrani, dan kaum Muslimin
mendifusikan berbagai unsur dari kebudayaan- kebudayaan dari mana mereka
berasal, sampai jauh sekali. Terutama ilmu sejarahlah yang telah banyak
memperhatikan cara penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan oleh individu-
individu terurai di atas itu. Bentuk difusi yang lain lagi dan yang terutama
mendapat perhatian ilmu antropologi, adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan
yang berdasarkan pertemuan-pertemuan antara individu-individu dalam suatu
kelompok manusia dengan individu-individu kelompok-kelompok tetangga.
Pertemuan-pertemuan antara kelompok-kelompok semacam itu dapat berlang-

sung dengan berbagai cara. Cara yang pertama adalah hubungan dimana bentuk
dari kebudayaan ilu masing-masing hampir tidak berubah. Hubungan ini, yaitu
hubungan symbiotic, dapat kita lihat contohnya di daerah pedalaman negara-
negara Kongo, Togo, dan Kamerun di Afrika Tengah dan Barat. Di daerah
pedalaman negara-negara tersebut berbagai suku bangsa Afrika hidup dari
bercocok tanam di ladang. Mereka seringkali mempunyai sebagai tetangga,
kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari suku-suku bangsa Negrito yang hidup
dari berburu dan pengumpulan hasil hutan. Hasil berburu dan hasil hutan itu
dibarter dengan hasil pertanian. Hubungan semacam ini telah berlangsung sejak
lama sekali, malahan mungkin sudah sejak berabad-abad lamanya, kedua belah
pihak sudah saling butuh-membutuhkan, tetapi hubungan mereka terbatas hanya
pada barter/barang-barang itu saja, sedangkan proses pengaruh.mempengaruhi
yang lebih jauh dari itu tidak ada, Pada hubungan 3m biotic itu kebudayaan suku-
suku bangsa Afrika tidak berubah dan kebudayaan ke- kelompok-kelompok
Negrito juga tidak. Cara lain adalah bentuk hubungan yang disebabkan karena
perdagangan, tetapi dengan akibat yang lebih jauh daripada yang terjadi pada
hubungan symbiotic. Unsur-unsur kebudayaan asing dibawa oleh para pedagang
masuk ke dalam kebudayaan penerima dengan tidak sengaja dan tanpa paksaan.
Hubungan ini, dengan mengambil istilah dari ilmu sejarah, sering disebut
pEnetration pacifique, artinya "pemasukan secara damai.” Pemasukan secara
damai tentu juga ada pada bentuk hubungan yang disebabkan karena usaha dari
para penyiar agama. Bedanya dengan penetrution pocifigue oleh para pedagang

ialah bahwa pemasukan unsur-unsur asing yang dilakukan oleh para penyiar
agama itu berlangsung dengan sengaja, dan kadang- kadang dengan paksa.
Pemasukan secara tidak damai terdapat pada bentuk hubungan yang disebabkan
karena peperangan dan serangan penaklukan. Penaklukan sebenarnya hanya
merupakan titik permulaan dari proses masuknya Unsur-unsur kebudayaan asing.
Lanjutan dari penaklukan adalah penjajahan, dan pada waktu itulah proses
masuknya unsur-unsur kebudayaan asing yang sebenarnya baru mulai berjalan.
Pertemuan antara kebudayaan- kebudayaan yang disebabkan oleh penyiaran
agama seringkali juga baru mulai setelah penaklukan: baru apabila suatu daerah
sudah ditaklukkan dan dibuat aman oleh pemerintah jajahan, maka datanglah para
penyiar agama,—dan mulailah proses akulturasi (lihat hlm. 247 — 255 dibawah)
yang merupakan akibat dari aktivitas itu. Suatu difusi yang meliputi jarak yang
besar biasanya terjadi melalui suatu rangkaian pertemuan antara Suatu deret suku-
Suku bangsa. Dengan demikian suku bangsa A misalnya bertemu dengan suku
bangsa B dengan suatu cara tertentu: suku bangsa B bertemu dengan suku-bangsa
€ dengan suatu cara yang sama tetapi mungkin juga dengan cara lain: suku bangsa
€ bertemu dengan suku bangsa D- dan sebagainya. Bersama dengan rangkaian
pertemuan tadi, unsur kebudayaan dapat didifusikan dari A ke B, ke C, ke D, dan
demikian seterusnya. Proses difusi semacam ini dalam ilmu antropologi seringkali
disebut stimulus diffusion. ?

Dalam zaman modern sekarang ini difusi unsur-unsur kebudayaan yang timbul di
salah satu tempat di muka bumi, berlangsung dengan cepat sekali, bahkan
seringkali tanpa kontak yang nyata antara individu-individu, Ini disebabkan
karena adanya alat-alat penyiaran yang sangat efektif, seperti surat kabar, majalah,
buku, radio, film, dan televisi.Akhirnya kalau kita perhatikan suatu proses difusi
tidak hanya dari sudut bergeraknya unsur-unsur kebudayaan dari suatu tempat ke
tempat lain di muka bumi saja tetapi terutama. sebagai suatu proses dimana unsur-
unsur kebudayaan dibawa oleh individu-individu dari suatu kebudayaan, dan
harus diterima oleh individu-individu dari kebudayaan lain, maka terbukti bahwa
tidak pemah terjadi difusi dari satu unsur kebudayaan. Unsur-unsur itu selalu
berpindah-pindah sebagai suatu gabungan atau suatu kompleks yang tidak mudah
dipisahkan. Hal ini sebenarnya dapat ditahan dengan mudah, kalau kita
mengambil sebuah contoh dari zaman sekarang. Mobil adalah suatu unsur
kebudayaan yang mula.mula ditemukan di Eropa, dikembangkan di Eropa dan
Amerika, kemudian di difusikan dari kedua pusat penyebaran itu ke benua-benua
sin.Namun mobil tidak dapat diterima oleh individu-individu dari masyarakat lain
sebagai suatu alat pengangkutan yang berguna, apabila tidak ada unsur lain yang
harus melengkapi pemakaian mobil itu, yaitu unsur unsur seperti sistem jalan jalan
yang baik, sistem servis dan perbekalan yang baik, sistem persediaan suku cadang
pendidikan montir, sistem pajak mobil, sistem asuransi mobil dan sebagainya.
Serupa dengan itu, unsur-unsur kebudayaan lain biasanya menyebar dalam
kompleks-kompleks. Dalam ilmu antropologi, gabungan dari unsur-unsur
kebudayaan yang menyebar antar kebudayaan seperti itu diberi nama Kultur-
kompleks.
Note :

Yaitu kira-kira selak masa sekitar 1920. Sebelum tahun 1920, sebagian besar dari
para sarjana antropologi hanya memperhatikan adat-istiadat yang lazim berlaku
dalam suatu masyarakat yang menjadi objek penelitiannya. Bagaimana sikap,
perasaan, dan tingkahku khusus para individu dalam masyarakat tadi

yang mungkin bertentangan dengan adat-istiadat yang lazim, diabaikan saja atau
tidak mendapat perhatian yang layak. Dengan demikian kalau seorang ahli
antropologi misalnya harus menulis tentang adat-istiadat perkawinan Orang Bali,

ia hanya akan mengumpulkan keterangan tentang apa yang lazim dilakukan dalam
perkawinan-perkawinan orang Bali itu. Upacara, aktivitas dan tindakan yang
menyimpang dari adat Bali yang umum, yang terjadi karena berbagai situasi atau
keadaan yang khusus, biasanya diabaikan atau kurang diperhatikan. Tindakan
individu warga masyarakat yang menyimpang dari adat-istiadat umum seperti
terurai di atas itu, pada suatu ketika dapat banyak terjadi dan dapat sering berulang
(recurrent) dalam kehidupan sehari-hari di setiap Imasya- akat di seluruh dunia.
Memang, sikap individu yang hidup dalam banyak masyarakat itu terutama adalah
mengingat keperluan diri sendiri: dengan demikian ia sedapat mungkin akan
mencoba menghindari adat atau menghindari aturan apabila adat istiadat itu tidak
cocok dengan keperluan pribadinya. Ini terpaksa kita akui, dan dapat kita lihat
juga tiap sekitar diri kita sendiri, dalam kehidupan masyarakat kita sendiri.
Diseluruh dunia tidak ada suatu masyarakat yang semua warga- nya seratus persen
taat kepada adat untuk selamanya. Kita mengerti bahwa justru keadaan-keadaan
yang menyimpang dari adat ini sangat penting artinya, karena penyimpangan
demikian merupakan pangkal dari proses-proses perubahan kebudayaan
masyarakat pada umumnya. Sudah tentu masyarakat pada umumnya tidak
membiarkan saja penyimpangan-penyimpangan dari para warganya itu, dan itulah
sebabnya dalam tiap masyarakat ada alat-alat pengendalian masyarakat yang
bertugas untuk mengurangi penyimpangan tadi. Masalah ketegangan antara
keperluan individu dan masyarakat selalu akan ada dalam tiap masyarakat, dan
walaupun ada kemungkinan bahwa ada suatu masyarakat itu tenang untuk suatu
jangka waktu tertentu, tetapi pada suatu saat tentu ada juga berbagai individu yang
membangkang, dan ketegangan-ketegangan masyarakat akan menjadi recurrent
lagi. Akhirnya kalau penyimpangan-penyimpangan tadi pada suatu ketika menjadi
demikian recurrent sehingga masyarakat tidak dapat mempertahankan adatnya
lagi, maka masyarakat terpaksa memberi konsesinya, dan adat serta aturan diubah
sesuai dengan desakan keperluan-keperluan baru dari individu- individu dalam
masyarakat. 
Agar menjadi terang apa yang dimaksudkan dengan directional processes dalam
evolusi kebudayaan, telah dimuat pada halaman ini suatu bagan tentang tingkat-
tingkat perkembangan yang menurut para sarjana ilmu prehistori telah dialami
oleh penduduk Indonesia dalam zaman purbakala, berpuluh-puluh ribu tahun yang
lalu. Bagan itu dikonstruksikan oleh mereka dengan menganalisa sisa-sisa benda-
benda hasil kebudayaan orang zaman dahulu yang antara lain digali oleh mereka
dari dalam lapisan-lapisan bumi di berbagai tempat penggalian di Indonesia.

(ii) kebudayaan sebagai suatu rangkaian dari tindakan yang konkret di mana
individu saling berhubungan dan berbuat berbagai hal dalam keadaan interaksi,
yaitu sistem sosial. Kedua sistem tersebut sering ada dalam keadaan konflik satu
dengan lain, dan suatu pengertian mengenai konflik antara kedua sistem yang ada
dalam tiap masyarakat itu menjadi pangkal untuk mencapai pengertian mengenai
dinamika masyarakat pada umumnya. ..— Proses Mengarah Dalam Evolusi
Kebudayaan. Kalau evolusi masyarakat dan kebudayaan kita pandang seolah-olah
dari jauh, dengan mengambil interval waktu yang panjang, misalnya beberapa ribu
tahun, maka akan tampak perubahan-perubahan besar yang seolah-olah bersifat
menentukan arah (directional) dari sejarah perkembangan masyarakat dan
kebudayaan yang” bersangkutan. Perubahan-perubahan besar ini dalam abad ke-
19 yang lalu telah menjadi perhatian utama para sarjana ilmu antropologi-budaya
dalam arti umum. Pada masa sekarang, gejala ini menjadi perhatian khusus dari
suatu sub-ilmu dalam antropologi, yaitu ilmu prehistori? yang memang bertugas
mempelajari sejarah perkembangan kebudayaan manusia dalam jangka- jangka
waktu yang panjang, dan juga oleh para sarjana ilmu sejarah yang mencoba
merekonstruksi kembali sejarah perkembangan seluruh umat manusia dan yang
karena itu harus juga bekerja dengan jangka-jangka waktu yang panjang. Para
sarjana ilmu sejarah seperti ini adalah misalnya E. Spengler, Ad. Tovnbee. G.
Childe dan lain lain.

Anda mungkin juga menyukai