Anda di halaman 1dari 49

BAB 5

PENDUDUK BUMI DAN PERKEMBANGANNYA

A. Pendahuluan
Pengkajian terhadap materi Penduduk Bumi dan Perkembangannya diawali
dengan mengkronologiskan perkembangan penduduk dunia dari waktu ke waktu.
Jawaban atas mengapa perkembangan itu terjadi dapat di identifikasi dari meteri
Penyebab dari Perkembangan Penduduk.

Variasi dari dinamika dan mobilitas penduduk dunia dalam arungan waktu
digambarkan dalam wujud peta, sehingga dalam skala dunia perkembangannya dari
waktu ke waktu menjadi mudah untuk dilihat. Selain itu, perkembangan penduduk
Indonesia juga sangat urgen untuk dijabarkan. Hal ini dapat memberikan gambaran
yang komprehensif bagaimana pembangunan kependudukan yang terjadi di Indonesia
dari waktu ke waktu.

B. Penduduk Bumi pada Masa Berpindah-pindah


Manusia sebagai penduduk yang mendiami bumi diperkirakan sudah ada sejak
satu juta tahun yang lampau, dan pada masa itu manusia masih digolongkan sebagai
manusia primitif. Kehidupan manusia pada masa itu dihadapkan dengan bumi yang
secara fisik sedang mengalami perubahan, sehingga banyak tantangan di samping
peluang-peluang yang diberikan oleh bumi pada manusia. Berbagai jenis hewan dan
tanaman ditemukan dan dimanfaatkan manusia untuk kelangsungan hidupnya.
Penembanan peralatan dan teknologi sederhana juga sudah dikembangkan dalam rana
menunjang kehidupan manusia. Pada masa itu manusia masih bersifat nomaden,
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Pada masa ini pula diyakini telah
terjadi percampuran ras dan budaya, walaupun sifatnya masih sangat terbatas.

Seiring dengan perkembangan bumi sebagai ruang huni manusia dan kemajuan
peradaban manusia sebagai penghuni bumi, perpindahan yang dilakukan semakin
jauh. Proses perpindahan (migrasi) yang dilakukan dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu yang berjalan lambat dan yang berjalan cepat. Proses migrasi yang berjalan
lambat adalah proses migrasi yang didasarkan pada proses perkembangan manusia itu
sendiri, seperti kebutuhan untuk mencari daerah yang lebih aman, subur, dan lebih
mudah memperoleh makanan untuk mempertahanan hidup seperti yang dilakukan
oleh manusia purba. Selain itu, mata pencaharian berburu dan meramu juga menjadi
salah satu faktor yang mendorong manusia selalu berpindah dari satu tempat ke
tempat lainnya dan hidup dalam kelompok-kelompok, karena mengikuti gerak
binatang buruannya.

Proses migrasi yang berlangsung cepat dan mendadak sebagaimana halnya yang
terjadi pada masyarakat modern, adalah keharusan mencari tempat tinggal baru
karena tempat yang lama telah hancur akibat bencana alam, kelaparan, perang,
penyakit menular, dan sebagainya. Pada msa itu proses migrasi yang berlangsung
cepat lebih dominan disebabkan oleh faktor iklim di bumi yang semakin menghangat,
sehingga beberapa daratan menjadi tenggelam.

(Sumber: Dicken and Pitis, 1970)

Gambar 5.1 Penyebaran Manusia Purba di Bumi

Berkenaan dengan penduduk bumi pada masa berpinda-pindah, Dicken dan Pitts
(1970) membagi perkembangan kehidupan manusia ke dalam tiga periode sebagai
berikut.

1. Periode 1.000.000 SM – 500.000 SM


Karakteristik kehidupan manusia pada periode awal kehidupannya ini dapat
dikemukakan sebagai berikut.
a. Manusia hanya baru dapat dikatakan sebagai binatang yang berbudaya.
b. Penyebaran manusia telah mulai meluas dari daerah Afrika Ekuator sampai Asia
Tenggara. Bukti-bukti dari fosil-fosil yang ditemukan menunjukkan bahwa
manusia berasal dari Afrika Timur.

c. Pada periode tersebut manusia telah menempati daerah Afrika bagian timur dan
timur laut, Asia Barat Daya, Cina dan Jawa. Tidak banyak bukti yang dapat
dipakai untuk menunjukkan bahwa manusia telah mencapai tempat lainnya.

d. Berbagai bukti menunjukkan bahawa tempat asal mula manusia berkembang


adalah dari daerah iklim tropic basah sampai ke daerah stepa padang pasir Asia
Barat Daya dan daerah iklim sedang di Cina, serta telah melintasi sekurang-
kurangnya satu jembatan darat.

2. Periode 500.000 SM – 20.000 SM


Pada periode ini karakteristik kehidupan manusia sudah mengalami kemajuan
dengan hal-hal sebagai berikut.
a. Terjadi perubahan besar dalam bermigrasi, yaitu menuju ke daerah yang lebih
jauh. Hal tersebut menyebabkan tempat tinggal manusia menjadi semakin
meluas sampai seluruh Asia bagian Tenggara dan Afrika. Migrasi manusia juga
diperkirakan sudah mencapai Australia dan Amerika Utara menjadi selat
Bering. Tetapi bukti-bukti lain juga menunjukkan bahwa migrasi ke Australia
dan Amerika terjadi sebelum periode ini.

b. Sampai kira-kira 50.000 SM, wilayah yang dijadikan ruang huni (rumah tempat
bermukim) manusia masih terbatas pada daerah lintang rendah.

c. Sebelum periode ini, yaitu pada masa interglasial diperkirakan manusia sudah
mencoba bergerak ke daerah iklim dingin di Eropa dan Asia bagian tengah,
namn gagal. Hal ini disebabkan karena pada masa interglasial iklim semestinya
memberi kemungkinana pada manusia untuk hidup di daerah iklim dingin
ternyata jauh dari perkiraan. Longsoran es yang kembali terjadi pada masa
interglasial menyebabkan manusia mengalami kesulitan untuk hidup, karena
belum mampu menyediakan pakaian, rumah tempat tinggal dan peralatan untuk
menghadapi ekstremnya iklim. Selain itu, manusia juga diperkirakan mengalami
kesulitan untuk membuat api di daerah dingin yang kondisinya basah. Keadaan
tersebut tentu sangat menyulitkan manusia untuk menghadapi dinginnya iklim
sepanjang tahun.
d. Seiring dengan mundurnya lapisan es yang kemudian hanya menutupi wilayah-
wilayah lintang tinggi, manusia pun telah mampu mengembangkan alat-alat
berburu. Dengan demikian, aktivitas berburu yang dilakukan manusia semakin
meningkat. Aktivitas berburu uang dilakukan juga menyasar pada binatang-
binatang besar yang dilakukan secara berkelompok.

3. Periode 20.000 SM – 5.000 SM


Pada periode ini karakteristik kehidupan manusia dapat dikemukakan sebagai
berikut.
a. Hilangnya lapisan es pada akhir zaman es (hanya menutupi daerah polar),
menyebabkan daerah-daerah lintang tengaah menjadi sangat menarik bagi
manusia primitif. Orang-orang primitif masuk ke daerah pedalaman Eropa yang
sekarang kita kenal dengan Prancis, Nederland, dan Jerman. Di daerah ini
aktivitas berburu yang dilakukan manusia menjadi semakin berkembang dan
menjadi lebih baik dibandingkan yang dilakukan di daerah tropis.
b. Periode ke-3 yang berlangsung sekitar 15.000 SM, kehidupan manusia
diperkirakan sudah berkelompok (Peterson, 1971). Kenyataan tersebut
menyebabkan penduduk semakin cepat bertambah yang kemudian mendorong
manusia bermigrasi sampai ke bagian utara Eropa, yaitu ke Skandinavia dan
bergerak ke daerah timur melalui Siberia menuju Asia Tengah (Dicken dan
Pitts,1970). Migrasi penduduk itulah yang kemudian menyebabkan daerah
dingin di bagian utara dan daerah kering di pedalaman Asia juga menjadi tempat
baru untuk bermukimnya manusia.
c. Pada periode ini juga menunjukkan migrasi menuju ke Amerika melalui Selat
Bering masih tetap berlanjut. Beberapa ahli bahkan berpendapat, bahwa pada
periode ini kemungkinan telah terjadi migrasi yang cukup besar yang dilakukan
manusia.
d. Memerhatikan berbagai peristiwa menunjukkan bahwa migrasi lewat darat dan
dengan perahu-perahu kecil sepanjang pantai menjadi migrasi yang utama. Pada
akhir periode ini, migrasi yang lebih disukai adalah melalui pelayaran yang
singkat denan perahu-perdahu kecil, seperti migrasi dari daratan Asia Tenggara
ke Filipina, dari Asia ke Jepang, dari Asia Kecil ke Ciprus, dan juga ke pulau-
pulau seperti Madagaskar, Sicilia, Sardinia, dan Corsika.
C. Penduduk Bumi pada Masa Migrasi Terbatas (5000 SM – 100 M)
Pada periode 5.000 SM – 100 M, dominasi yang terjadi adalah migrasi menuju ke
semua kontinen. Pada periode ini juga terjadinya migrasi melalui pelayaran samudra,
sampai pada pendudukan daerah yang letaknya jauh, seperti New Zealand, kepulauan
Pasifik Selatan, dan kepulauan Hawai. Pada 4000 SM, daerah-daerah yang telah
ditempati manusia diperkirakan sudah mengenai sistem bercocok tanam (Spiegelman,
1970).

Walaupun banyak migrasi yang terjadi pada periode ini, namun migrasi yang
dilakukan adalah migrasi dalam skala kecil. Keterbatasan metode dan teknologi di
bidang pelayaran menyebabkan migrasi tidak dapat dilakukan secara besar-besaran,
sehingga proses migrasi berjalan lambat. disamping itu, selama proses migrasi
terdapat juga beberapa suku bangsa yang punah, atau terpaksa meninggalkan tempat-
tempat yang telah didudukinya.

Pada 1000 SM – awal masehi, secara umum proses migrasi memperhatikan


tanda-tanda meningkat. Manusia yang diperkirakan telah mengenal sistem pertanian,
namun perilaku manusia pada masa ini belum benar-benar terikat dengan tempat
kediamannya, sehingga kehidupan nomaden juga masih berpindah-pindah, sehingga
tanah yang subur menjadi sasaran penduduk dan tuan-tuan tanah untuk dikuasai.

Pada masa ini, tanah yang subur dan mengandung sumber-sumber yang bernilai
bagi kehidupan manusia banyak mengundang terjadinya invasi. Romawi sebagai salah
satu kekaisaran yang besar pad amasa itu menjadi pusat-pusat kegiatan migrasi.
Orang-orang yang masuk (migran) ke Romawi dapat berasal dari berbagai daerah
yang sudah terkenal, dan beberapa di antaranya adalah migran terpaksa sebagai budak
dan tawanan perang. Sedangkan orang-orang yang meninggalkan Romawi pada masa
itu terdiri dari para tentara, pegawai administrasi yang ditempatkan ke daerah-daerah
pinggiran dalam lingkup kekuasaan Romawi, di antaranya ke Afrika, Asia, Siria, dan
Mesopotania.

Pada masa 1000 tahun pertama awal masehi (Tahun 1000), migrasi besar-besaran
masih belum terjadi, tetapi migrasi berskala kecil masih tetap berlanjut. Orang-orang
Jerman masih menempati Berlin. Orang-orang Rusia menempati Novgorod dan
Rostov, belum menempati Moskwa, dan belum ada orang Hungaria yang menempati
lembah Hungaria. Orang-orang kulit putih belum bermigrasi ke dunia baru.
Fenomena mobilitas penduduk yang menarik terjadi pada 500 tahun berikutnya
(1000 – 1500). Pada masa ini terjadi invasi bangsa Mongol ke Eropa, sehingga
membuka penjajahan ke Timur Dekat. Hal tersebut merupakan tonggak pengenalan
peradaban timur oleh dunia barat. Pada masa ini juga terjadi migrasi bangsa Slavia
dari daerah asalnya di sungai Ordet dan Vistula ke daerah selatan dan timur.

D. Penduduk Bumi pada Masa Penemuan Daerah-daerah Baru


Pada pertengahan pertama abad ke-15 orang-orang Portugis melakukan
perjalanan mencari India dengan mengambil rute mengelilingi Afrika melalui Afrika
Selatan. Pada awalnya banyak kesulitan yang dijupai dengan menelan banyak kapal
dan korban jiwa. Namun, dengan kegigihan orang-orang Portugis, kemudian
ditemukannya teknik pelayaran baru (bagian tengah kapal yang dapat dibuat dari
baja), sehingga memungkinkan mereka berlayar melawan angin. Penemuan jalan laut
ke India melalu Afrika Selatan dapat dikronologiskan menjadi lima tahap sebagai
berikut.
1. Tahap Pertama (1415 – 1430)
Pelaut-pelaut Portugis dapat mencapai Tanjung Bojodor di sebelah selatan
kepulauan Canari yang sekarang dikenal dengan Rio De Oro Spanyol.

2. Tahap Kedua (1430-1460)


Kemajuan pelayaran pelaut-pelaut Portugis sudah dapat mencapai sepanjang
pantai Afrika. Para navigator menjuluki tempat tersebut sebagai pantai padang
pasir. Daerah ini digambarkan sebagai daerah tidak ada air serta tidak adanya
tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang hijau. Setelah pelayaran mereka keluar
dari pantai padang pasir, barulah terlihat adanya pohon-pohon palma di sepanjang
sungai Sinegal membawa kesimpulan bahwa mereka sudah sampai pada aliran
Sungai Nill di bagian barat.

3. Tahap Ketiga (1470 – 1475)


Pada tahap ini orang-orang Portugis sudah sampai pada tempat di lintang 20
selatan ekuator, yaitu dekat sungai Kongo.

4. Tahap Keempat (1482 – 1488)


Bartholomeus Diaz (1451 – 1500) telah mampu berlayar melampaui Tanjung
Harapan untuk suatu perjalanan singkat dan kembali lagi ke Lisabon. Di samping
itu, dalam waktu yang sama bangsa Portugis juga telah mengirim misinya ke
timur melalui jalur darat melalui Mesir dan India. Sekembalinya di Calikut, misi
ini telah mendengar informasi tentang adanya Pulau Bulan (Madagaskar) yang
kemudian diberitakan kepada raja Portugasl setelah mereka tiba di Kairo Mesir.
Misi tersebut mendorong Raja Portugal untuk melanjutkan misi pelayarannya
mengeilingi Afrika. Mereka meyakinkan raja bawa jika sekali pelaut Portugis
mencapai Pulau Cenari, maka mereka akan mampu melanjutkan perjalannya ke
timur tanpa mengalami kesulitan lebih lanjut.

5. Tahap Kelima (1497 – 1498)


Pada tahap ini rombongan pelaut yang dipimpin oleh Vasco Da Gama (1460 –
1524) dapat menyelesaikan perjalanan lautnya melalui Afrika Selatan sampai ke
India. Ekspedisinya yang dimulai dari tahun 1497 kemudian baru sampai di
Tanjung Verte pada tanggal 27 Juli 1497. Perjalanan selanjutnya yang penuh
risiko akhirnya sampai di Calikut India pada tanggal 23 Maret 1498, yaitu setelah
penantian lebih dari 80 tahun saat bangsa Portugis mencoba menemukan jalan ke
Asia. Pelayaran baru kembali ke Lisabon pada tanggal 10 Juli 1498. Ini
merupakan pelayaran besar dengan waktu sekitar 630 hari (Dicken da Pits, 1970).

Dampak besar dari kesuksesan pelayaran yang dilakukan menghasilkan


perdagangan sampai ke timur jauh. Perdangan tidak hanya dilakukan oleh bangsa
Portugis, tetapi juga diikuti oleh bangsa Belanda, Inggris, dan lainnya. Sekitar abad
ke-15 bangsa-bangsa POrtugis, Belanda, dan Inggris telah sampai di kepulauan
Indonesia (Robequain, 1954) dan membawa dampak yang luas bagi perkembangan
sejarah Bansa Indonesia selanjutnya.
Pelayaran yang bertujuan untuk menemukan jalan terpendek ke Asia telah
membawa Colombus melakukan empat kali pelayaran menyebrangi Atlantik.
Magellan juga melakukan perjalanan keliling dunia yang tujuan utamanya adalah
menemukan tempat asalnya rempah-rempah. Pengaruh dari pelayaran Magellan
tersebut berkembangnya pengetahuan geografi dan mendorong eksplorasi melalui
ekspedisi lebih jauh.
(Sumber Gambar: https://saripedia.wordpress.com/tag/totaliter,2013)

Gambar 5.2 Penemuan Jalan Laut ke India Melalui Afrika Selatan

Setelah kesuksesan Magellan, saudagar-saudagar Eropa Barat mulai merintis rute


baru yang dinilai lebih mudah untuk mencapai Asia. Rute tersebut adalah, Rute Timur
Laut (melewati Eropa Utara dan Asia Utara menuju Selat Bering) dan Rute Barat Laut
(melalui selat Davis sampai ke Amerika Utara). Rute Timur Laut ternyata mengalami
kegagalan dalam menemukan jalan melalui semenanjung Norwegia kea rah timur
menuju Asia. Namun demikian, banyak yang dapat dipelajari terutama tentang daerah
dan penduduknya, salah satunya adalah pada pelayaran Burrough tahun 1556 yang
menghasilkan deskripsi tentang bangsa Samayade yang bermukim di daerah dekat
Sungai Pechora.

Selain itu, pengembangan rute timur laut menjadi tantangan bagi bangsa Rusia.
Pada zaman modern, yaitu sejak tahun 1933 bangsa Rusia telah banyak melakukan
usaha dalam mengembangkan rute laut di bagian utara Siberia. Sekarang ini, rute dari
Laut Putih ke Sungai Ob dan Yenisey dan dari Laut Bering ke Sungai Kolima sudah
secara teratur dimanfaatkan untuk perdagangan di musim panas. Rute tersebut
semakin remain dengan adanya jalan yang menghubungkan Murnmansk ke
Vladivostok.

Rute barat laut dipelopori oleh bangsa Prancis (eksplorer pertama) dengan
dikerahkannya tiga pelayaran ke teluk St Lawrence oleh Cartier untuk mencari jalan
pintas ke daratan Cina, yaitu tahun 1535, tahun 1536, dan tahun 1541. Walaupun
gagal menemukan jalan pintas ke Asia (Cina), namun pelayaran tersebut memiliki
nilai yang sangat penting. Dengan dikenalnya dataran mendorong munculnya
pemukiman orang-orang Prancis di Canada bagian timur.

Inggris dengan pimpinan Probisher berlayar dari Thames pada tanggal 7 Juni
1576, dan ini merupakan satu perjalanan penting untuk Rute Barat Laut terkait dengan
orang-orang Eskimo. Pada saat Pobisher melewati Kepulauan Shetland, dia tidak bias
mendarat karena tertutupi es. Akhirnya Pobisher masuk ke teluk yang besar di ujung
selatan Baffinland. Di sanalah Ponisher menemukan orang-orang Eskimo.

Eksplorasi Rute Barat LAut dilanjutkan oleh John Davis dengan mengambil jalan
melalui Dartmouth pada tanggal 7 Juni 1585. Eksplorasi dilakukan pada wilayah yang
sangat luas yaitu antara Greenland dan Baffinland. Pada pelayaran yang kedua Davis
telah dapat membawa Sealskin yang nilainya melebihi biaya ekspediasinya. Kemudian
tahun 1631 dan tahun 1632 Fox dan James melanjutkan pencarian Rute Barat Laut,
namun rintangan kabut dan es menjadikan kendala untuk melakukan eksplorasi
sehingga hanya dapat dilakukan di Teluk Hudson.

Selanjutnya berbagai eksplorasi dilakukan baik di laut maupun di darat yang


dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Eksplorasi Laut
Bangsa barat juga melakukan eksplorasi di Samudra Pasifik. Sebelum bangsa
barat, orang-orang Cina sudah banak yang melakukan eksplorasi terutama pada
bagian timur pantai Asia dan bahkan telah berlayar sampai ke Laut Kuning,
namun pengeksplorasian di Pasifik belum dilakukan. Luasnya Samudra Pasifik
menjadi kendala dalam melakukan eksplorasi. Bangsa Portugis adalah bangsa
pertama yang melakukan eksplorasi di Samudra Pasifik melalui Tanjung Harapan,
sehingga dapat mencapai bagian barat daya Pasifik. Eksplorasi dilakukan sehingga
mencapai bagian utara Pasifik (Jepang). Kemudian menyusul bangsa Spanyol
yang masuk Pasifik melalui Tanjung Horn. Magellan yang melakukan perjalanan
mengelilingi dunia merupakan orang pertama yang menyebrangi Samudra Pasifik.
Dalam rangkaian pelayarannya orang-orang Spanyol mengeksplorasi pantai barat
Amerika dan Tanjung Horn sampai Alaska. Mereka juga mengeksplorasi rute
perjalanan menyebrangi Samudra Pasifik dari Filipina dan memetakan pantai
timur Filipina. Kemudian eksplorasi lebih lanjut dilakukan oleh orang-orang
Belanda terutama di daerah-daerah koloninya di samping di Australia dan New
Zealand. Prancis dan Inggris relative terlambat dating ke Pasifik, namun dalam
rangkaian perjalannya, (De Bougainvile, La Perouse, James Cook, dan lainnya)
mereka melakukan penemuan-penemuan baru dan bahan beberapa pantai sudah
dipetakan yang sebelumnya hanya dilihat saja.

2. Eksplorasi Darat
Eksplorasi melalui darat lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan melalui
pelayaran samudra (laut). Beberapa perjalanan darat di antaranya:
a. Di Asia, perjalanan Marco Polo merupakan perjalanan darat yang sangat
menonjol dalam mencakup daerah yang sangat luas, yaitu sampai di daratan
Cina;
b. Di Siberia, dengan adanya orang-orang yang melakukan perjalanan melalui
selat Bering pada zaman itu, dan semenjak orang-orang Eropa mengetahui
keberadaan selat antara Alaskan dan Siberia, menjadikan Selat Bering wilayah
yang menarik. Eksplorasi wilayah Bering merupakan salah satu dari sekian
banyak eksplorasi darat yang panjang yang kemudian diikuti dengan
eksplorasi laut di Samudra Pasifik. Perhatikan Gambar 5.3!
(Sumber Gambar : http://saripedia.wordpress.com/tag/totaliter,2013)
Gambar 5.3 Beberapa Daerah Vital dalam eksplorasi di Dunia Baru

c. Eksplorasi darat di daerah Afrika mengalami ketertinggalan, karena jerangnya


sungai-sungai yang dapat dilayari, dan rintangan dari gurun pasir Sahara.
Penelitian sumber air Sungai Nil, Niger, dan Zambesi sampai pada penemuan
oleh Mungo Park, Bruce, Burton, Spake, dan Linvingstone membuktikan
bahwa perjalanan melalui darat sangat sulit dilakukan, sehingga jalur dan sifat
sungai menjadi alternative untuk dipakai dan dipelajari sebagai jalan
menembus daratan Afrika. Selama eksplorasi yang dilakukan oleh
Livingstone, sudah jga diketahui secara lebih baik tentang iklim, hasil-hasil
alam, penyakit local, penduduk asli dan kaitannya dengan daerah.

d. Di Amerika Utara, perjalanan darat pertama ditujukan pada satu jalur sungai
yang melewati kontinen sebagai sarana untuk mencapai Asia. Eksplorasi yang
dilakukan oleh Champlain sampai pada penemuan dan pemetaan Great Lake.
Lebih jauh ke selatan, De soto mendarat di Florida dan berjalan kea rah barat
menyebrangi Sungai Missisipi. Di Mexico, Cortez melakukan perjalanan
sendirian sampai di Guetamala, dan menggagas serangkaian ekspedisi di barat
laut yang sampai pada eksplorasi darat California dan barat daya Amerika
Serikat. Coronado yang menjadi New Mexico pada waktu itu merupakan suatu
daerah yang sangat sluas sehinga memasuki wilayah Great Plain. Grand
Canyon dan Coorado diketemukan pada saat rombongan tersebut dalam
perjalanan kembali. Lewis dan Clark, walaupun bukan orang pertama yang
menyebrangi kontinen, eksplorasi mereka memiliki pengaruh yang menonjol
dalam sejarah berikutnya, karena publikasi tentang ekspedisinya, dan
meluasnya pemukiman kea rah barat Benua Amerika.

e. Eksplorasi darat Amerika Selatan, mulai dilakukan dengan dibangunnya kota


Panama (tahun 1519) dan kemenangan atas bangsa Inca. Pizarro
mengeksplorasi daerah Andes di bagian pusat dan hulu Amazon. Orellama
bahkan menggambarkan perjalanannya dikawasan Amazon sebagai wilayah
yang sanat mengesankan. Selanjutnya, eksplorasi kea rah selatan sampai Chile
dilakukan oleh Valdiva sampai membangun kota (tahun 1552) sesuai dengan
namanya. Di samping itu, eksplorasi juga dilakukan di beberapa wilayah
bagian timur Andes. Dengan demikian, hamper seluruh bagian Andes sudah
dapat diketahui dengan baik pada abad XVI, kecuali bagian selatannya.
Pembangunan rute dari Buenos Aires di atas Sungai Panama sampai ke
Asuncion (tahun 1537) dank e arah barat sampai pertambangan tembaga di
Potot di pegunungan Andan (Tanah Tinggi Andean) dan di utaranya sampai ke
Peru juga telah dibuka setelah mengalami beberapa kegagalan. Walaupun rute
ini dipandang tidak mudah, namun nilai yang dimiliki sangat tinggi bagi
pelabuhan di Atlantik, karena tidak melewati Tanjung Horn.
f. Dalam era penemuan daerah baru, perlu diketahui bahwa masih banyak daerah
pedalaman Amerika Selatan yang tidak diekploitasi sampai abad XIX.
Demikian juga halnya di pedalaman Australia.

Dampak dari eksplorasi yang terjadi selama abad XV sampai abad XVIII
memberikan implikasi yang positif terutama pada informasi tentang geografi yang
semakin meluas, di antaranya sebagai berikut.
1. Data dari hasil berbagai pelayaran dan eksplorasi yang telah dilakukan dikemas
secara baik untuk pembuatan peta. Teknik pembuatan peta pada abad XVII dan
XVIII mendapatkan kemajuan yang signifikan. Peta yang dibuat pertama kali
adalah berdasarkan hasil survey dengan tingkat ketelitian yang sudah tinggi. Di
samping itu juga sudah dikembangkan teknik baru dalam representasi data, dan
juga sudah dibuat proyeksi peta untuk tujuan-tujuan khusus. Untuk kepentingan
navigasi, Mercator pada tahun 1569 mempublikasikan peta hasil karyanya untuk
kepentingan khusus navigasi. Kemajuan yang begitu pesat dalam bidang
pembuatan peta memberikan pengaruh yang kuat pada geografi, baik geografi
fisik maupun manusia.
2. Banyaknya informasi yang dihasilkan dari pelayaran dan perjalanan berpengaruh
langsung dan penting terhadap organisasi dan isi pengetahuan geografi. Hasil
eksplorasi juga merupakan bagian yang penting bagi perkembangan pengetahuan
geografi, terutama Geografi Fisik. Penduduk asli diteliti secara dalam untuk
mengetahui perbedaan fisik dan kebiasaannya, dan hal tersebut memberikan
sambungan yang penting bagi tumbuh dan berkembangnya geografi manusia.
Kelompok orang Aborigin yang dijumpai di berbagai tempat di muka bumi,
kehidupannya seperti orang premitif yang hidup pada zaman neolotik, walaupun
mereka telah hidup pada zaman modern. Contoh-conth yang menonjol dari
kelompok-kelompok orang tersebut, di ataranya (1) orang asli Australia; (2)
orang-orang Tasmania; (3) orang-orang Pigmy di Semenanjung Melayu dan
hutan-hutan Congo Afrika; dan (4) kecuali bangsa Aztec, Inca dan Maya,
kebanyakan bangsa-bangsa di dunia baru (Amerika) adalah amat primitif dalam
periode discovery, seperti bangsa Yaghan di pantai selatan Cihili, bangsa Mexico,
dan bangsa Seri di Pantai Sonora dan Pulau Yiborou. Demikian juga orang-orang
Indian California dan Oregon.
E. Penduduk Bumi pada Masa Migrasi Besar-besaran
Penduduk dunia pada abad pertengahan diperkirakan sekitar 400 juta penduduk
yang tersebar, di Eropa 80 juta jiwa (20%), di Asia 240 juta jiwa (59%), di Amerika
12 juta jiwa (3%), di Afrika 70 juta jiwa (17,5%), dan di Oceania 2 juta jiwa (0,5%).
Lembah Sungai Nil, Tigris, Euprhate, Indus, dan dataran rendah Asia Tenggara
merupakan daerah dengan penduduk paling padat di dunia. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pada masa itu kehidupan manusia adalah bersifat agraris, sehingga kebutuhan
tanah adalah faktor utama yang menjadi pertimbangan manusi untuk bermukim.

Penduduk dunia pada zaman itu dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok
besar, yaitu Caucasoid, Mongoloid, dan Negroid. Caucasoid mendominasi Eropa,
Asia Barat Daya, Afrika Utara, dengan ciri-ciri kulit putih, berambut lurus atau
berombak, berdagu penuh, tinggi dan hidungnya mancung. Suku bangsa Negloid
dengan ciri-ciri kulit hitam, rambut keriting dan bibir agak tebal menempati bagian
selatan Sahara Tengah, Selatan India, dan Irian di Asia Tenggara. Suku bangsa
Mongoloid dengan ciri-ciri kulit kekuning-kuningan, mata sipit, dan rambut lurus,
pada Tahun 1500 menempati daerah yang paling luas, mencakup bagian utara dan
timur Asia, yaitu dari bagian utara dan timur garis yang membentang mulai ujung
utara pegunungan Ural sampai delta Sungai Gangga. Kelompok Mongoloid ini juga
terdapat di belahan utara dan selatan Amerika (pada periode ini orang kulit putih
belum ada di Amerika).

Migrasi besar-besaran di dunia mulai terjadi pada abad pertengahan (sekitar tahun
1500). Arah migrasi dunia pada masa itu adalah menuju ke Amerika Utara dan
Selatan. Sifat migrasi pada masa itu adalh intercontinental, internasional dan internal.
Migrasi dengan sifat-sifatnya tersebut secara bertahap terus terjadi, di antaranya yang
menonjol adalah migrasi dari daratan Eropa ke Amerika, migrasi dari daratan Eropa
ke Afrika, Australia, dan New Zealand, di samping migrasi di intern di daratan Eropa
dan di beberapa belahan dunia, serta migrasi orang-orang Yhudi ke Palestina.

F. Penduduk bumi pada abad XXI


Peradaban manusia telah berkembang sejak manusia itu ada. Revolusi di bidang
teknologi, komunikasi, dan informasi yang terjadi dalam perkembangan pedaban
manusia saat ini telah mengantarkan masyarakat dunia pada perubahan yang cepat
dalam tata hubungan antarbangsa, sehingga dapat mnembus batas-batas wilayah
nasional dan etnisitas. Tata hubungan antar bangsa itulah yang kemudian lebih
dikenal dengan sebutan globalisasi atau abad informasi yang mencirikan abad ke-21.
Pada era global di abad ke-21 ini, hampir semua negara telah memasuki proses
modernisasi dalam kehidupan masyarakatnya, terutama pada aspek-aspek sosial,
politik, dan budaya (tilaar, 1999; micklethwait dan woodrige, 2000). Kualitas
kehidupan manusia meningkat, pengendalian perteumbuhan penduduk melalui
penurunan fertifilitas dan mortalitas juga telah meluas ke seluruh dunia, sehingga
pertumbuhan penduduk dunia menjadi menurun. Namun demikian, proporsi
persebaran penduduk dunia perubahannya tidak begitu besar.
Sebagian besar penduduk dunia masih menempati daratan asia, baru kemudian disusul
oleh daratan afrika, amerika, eropa, dan australia. Dominasi penduduk dunia
bertempat tinggal di benua asia dengan konsentrasi terbesar di asia timur dan asia
selatan. Di benua afrika, relatif sedikit. Sementara di eropa konsentrasi penduduk
masih berada di eropa barat dan timur. Untuk jelasnya mengenai persebaran penduduk
dunia pada abad ke-21, perhatikan gambar 5.4!

Gambar 5. 4 persebaran penduduk dunia pada tahun 2009


Pada abad ke -21, walaupun secara absolut jumlah penduduk dunia terus
mengalami peningkat, namun secara relatif pertumbuhan penduduk telah mengalami
penurunan, yaitu dari 1,8% pertahun diakhir abad ke-20 (1960) menjadi 1,2%
pertahun di awal abad ke-21. Benua asia masih tetap menjadi wilayah paling banyak
dihuni oleh manusia, yaitu 60,4% (4.117 juta) dari penduduk dunia, kemudian disusl
oleh benua afrika (14,5% 999 juta), benua amerika (13,6% 920 juta), dan benua eropa
(10,9 % 738 juta). Sedangkan yang paling sedikit dihuni manusia adalah oceani, yaitu
0,5% (36 juta) dari penduduk dunia.
Mobilitas besar-besaran yang diperkirakan terjadi sekitar tahun 1500
menyebabkan pesatnya pertumbuhan penduduk di dunia baru (amerika dan oceani)
yang didominasi bangsa kulit kulit. Pada abad ke-21 pertumbuhan penduduk di dunia
masih menunjukkan angka positif, tetapi di benua eropa yang merupakan asal muasal
dominasi penduduk di dunia baru, pertumbuhan bangsa kulit putih jumlahnya di
daerah asalnya mengalami penurunan, tetapi di daerah tujuannya bermigrasi (dunia
baru) jumlahnya justru meningkat.
Berkenaan dengan itu, negara-negara eropa, khususnya eropa berat,
kebijaksanaan pemerintahan dalam pengendalian pertumbuhan penduduk melalui
penurunan angka mortalitas dan fertilitas dipandang sudah mengalami pergeseran,
terutama kebijaksanaan fertilitasnya tidak lagi ditunjukkan untuk menurunkan angka
fertilitas, tetapi justru memberikan insentif bagi bagi anak-anak yang dilahirkan.
Dengan demikian, kebijaksanaan beberapa negara-negara maju i eropa barat pada
abad ke-21 ini sesungguhnya adalah pro natalis, walaupun tidak dieksplisitkan secara
formal.

G. Penduduk indonesia dan perkembangannya


Semua orang yang mendiami wilayah indonesia disebut penduduk indonesia.
Indonesia pada sensus penduduk 2000 terdiri dari 30 penduduk provinsi, dan
berkembang menjadi 33 provinsi pada sensus penduduk 2010. Provinsi baru yang
bertambah pada sensus penduduk 2010 adalah provinsi kepulauan riau (sumatera),
provinsi sulawesi barat (sulawesi), dan provinsi papua barat (papua). Berkembangnya
dari provinsi 30 menjadi 33 provinsi (tahun 2015 sudah menjadi 34 provinsi) dalam 2
sensus berkonsekuensi pada analisis terhadap perekmbangan penduduk provinsi
bersangkutan, karena belum dapat di bandingkan secara linier. Demikian juga halnya
bagi provinsi yang dikembangkan.
Jika provinsi papua dan provinsi papua barat digabungkan menjadi satu provinsi
(provinsi papua), pertumbuhan penduduknya dalam 10 tahun terakhir (2000-2010)
tergolong cukup tinggi, yaitu mencapai 4,81% per tahun. Demikian juga halnya
dengan provinsi riau jika provinsi kepulauan riau masih menjadi satu, pertumbuhan
penduduknya mencapai 3,76% pertahun. Memerintahkan fenomena tersebut, ada dua
kemungkinan pesatnya pertumbuhan penduduk di provinsi-provinsi yang baru
dikembangkan, yaitu meningkatnya fertilitas dan tingginya migrasi masuk. Untuk itu,
perlu ada pengkajian yang lebih mendalam berkaitan dengan data yang tersedia.
Sementara provinsi sulawesi selatan yang dikembangkan menjadi provinsi sulawesi
barat, pertumbuhan penduduknya menjadi negatif, yaitu -0,03% per tahun. Hal ini
mencarminkan pertumbuhan penduduk di provinsi sulawesi selatan relatif rendah.
Berkurangnya penduduk adalah akibat dari sebagian penduduk masuk ke provinsi
sulawesi barat.

Tabel 5.1 sebaran penduduk indonesia menurut provinsi berdasarkan sensus penduduk
2000 dan 2010
Penduduk tahun
No. Provisi 2000 2010 r*
(%)
N % N %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Aceh 3 930 905 1.90 4 494 410 1.89 1.34
2 Sumatera utara 11 649 655 5.65 12 982 204 5.46 1.08
3 Sumatera barat 4 248 931 3.06 4 846 909 204 1.32
4 Riau 4 957 627 2.40 5 538 367 2.33 1.11
5 Jambi 2 413 846 1.17 3 092 265 1.30 2.48
6 Sumatera selatan 6 899 675 3.34 7 450 394 3.14 0.77
7 Bengkulu 1 567 432 0.76 1 715 518 0.72 0.90
8 Lampung 6 741 439 3.27 7 608 405 3.20 1.21
9 Kep.Bangka belitung 900 197 0.44 1 223 296 0.51 3.07
10 Kep. Riau - 0.00 1 679 163 0.71 -
11 DKI jakarta 8 389 443 4.07 9 607 787 4.04 1.36
12 Jawa barat 35 729 537 17.31 43 053 732 18.12 1.86
13 Jawa tengah 31 228 940 15.13 32 382 657 13.63 0.36
14 DI yogyakarta 3 122 268 1.51 3 457 491 1.45 1.02
15 Jawa timur 34 783 640 16.85 37 476 757 15.77 0.75
16 Banten 8 098 780 3.92 10 632 166 4.47 2.72
17 Bali 3 151 162 1.53 3 890 757 1.64 2.11
18 Nusa tenggara barat 4 009 261 1.94 4 500 212 1.89 1.16
19 Nusa tenggara timur 3 952 279 1.92 4 683 983 1.97 1.70
20 Kalimantan barat 4 034 198 1.96 4 395 983 1.85 0.86
21 Kalimantan tengah 1 857 000 0.90 2 212 089 0.93 1.75
22 Kalimantan selatan 2 985 240 1.45 3 626 616 1.53 1.95
23 Kalimantan timur 2 455 120 1.19 3 553 143 1.50 1.95
24 Sulawesi utara 2 012 098 1.03 2 270 596 0.96 1.21
25 Sulawesi tengah 2 218 435 1.07 2 636 009 1.11 1.72
26 Sulawesi selatan 2 218 435 3.19 8 034 776 3.38 -0.03
27 Sulawesi tenggara 1 821 284 0.88 2 232 586 0.94 2.04
28 gorongtalo 835 044 0.40 1 040 164 0.44 2.20
29 Sulawesi barat - 0.00 1 158 651 0.49 -
30 Maluku 1 205 539 0.58 1 533 506 0.65 2.41
31 Maluku utara 785 059 0.38 1 038 087 0.44 2.79
32 Papua barat - 0.00 760 422 0.32 -
33 Papua 2 220 934 1.08 2 833 381 1.19 2.44
Indonesia 206 264 595 100 237 641 326 100 1.42

Tabel 5.1 memperlihatkan bahwa penduduk indonesia mash terkonsentrasi di


jawa. Dari 237,6 juta jiwa penduduk indonesia pada tahun 2010, 123,6 juta jiwa (52%)
terkonsentrasi di jawa. Terdapat 5 provinsi yang menjadi daerah konsentrasi penduduk
di indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 10 juta jiwa, yaitu jwa barat (43,1 juta
jiwa), jawa timur (37,5% juta jiwa), dan banten (10,6 juta jiwa). Sedangkan konsentrasi
penduduk kurang dari 1,5 juta jiwa juga terdapat di 5 provinsi, yaitu kepulauan bangka
belitung (1,2 juta jiwa), gorongtalo (1,0 juta jiwa), sulawesi barat (1,2 juta jiwa),
maluku utara(1,0 juta jiwa), dan papua barat (0,8 juta jiwa).

Gambar 5.5 lima provinsi di indonesia dengan konsentrasi penduduk lebih dari 10 juta jiwa
penduduk dan kurang dari 1,5 juta jiwa
Fenomena dalam gambar 5.5 menunjukkan bahwa sebaran penduduk indonesia adalah
tidak merasa. Berkenaan dengan itu, sesuai dengan prinsip dalam migrasi ‘ada gula ada
semut’ maka daerah-daerah di luar jawa penting untuk menciptakan ‘gulanya. Sumber daya
alam di luar jawa sangat berlimpah untuk di jadikan ‘gula’, sehingga didatangi ‘semut’.
Namun untuk itu, sarana dan prasarana pendukung (infrastruktur) perlu diciptakan, selain
iklim berusaha yang kondusif.
Pemerintah indonesia dalam menjadikan daerah luar jawa sebagai ‘gula’ telah
melakukan berbagai usaha melalui pembangunan yang dicanangkan. Pembangunan yang
terjadi di indonesia juga berdampak pada konsentrasi penduduk kota daerah kota
dibandingkan di desa. Pertumbuhan penduduk kota di indonesia diperkirakan dominan
disebabkan oleh migrasi desa-kota dan reklasifikasi, baik karena perluasan daerah kota
maupun berubahnya desa menjadi kota. Pembangunan yang dilakukan di indonesia telah
menyebabkan desa berubah menjadi kota, sehingga penduduknya juga menjadi penduduk
kota. Berkenaan dengan perkembangan proporsi penduduk kota dan desa di indonesia dapat
dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 proporsi penduduk antara desa dan kota dalam kurun waktu 1995-2050
Persentase (%) penduduk tahun
Daerah 1995 2000 2005 2010 2050
Desa 64 58 52 46 33
Kota 36 42 48 54 67
Total 100 100 100 100 100

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 penduduk indonesia yang tinggal di kota
sudah mencapai lebih dri 50%. PBB bahkan memprediksikan pada tahun 2050 nanti,
penduduk indonesia yang tinggal di kota mencapai 67% dari total penduduknya. Jika
perkembangan kota terus terjadi, tidak mustahil bebrapa pulau di indonesia akan menjadi
pulau kota atau ekumenopolis (bukan megapolis).
Istilah megalopolis berasal dari seorang geograf bernama gottmann untuk menyebut
gabungan raksasa sejumlah metropolis. Contohnya sebagaimana yang terdapat di amerika
serikat, eropa barat laut, dan jepang. Penggabungan itu didefinisiakn sebagai situasi
konsentrasi penduduk yang berjumlah lebih dari 25 juta jiwa yang berdesak-desakan di kota
untuk mencari kehidupan di perkotaan. Megalopolis diamerika serikat panjangnya mencapai
650km (dari winghiston ke boston), di eropa barat laut mencapai 825km (dari london ke
hamburg), dan di jepang mencapai 480 km (dari tokyo ke osaka). Di negara-negara sedang
berkembang, karena lokasi metropolisnya tersebar berjauhan, kemungkinan yang terjadi
adalah ekumenopolis. Polanya, satu metropolis dikerumuni kota-kota besar dan kecil yang
tersebar di daerah agraris. Di jawa, kota jakarta dan surabaya merupakan dua kota metropolis.
Jika kedua metropolis tersebut menyatu dengan kota-kota besar dan kecil yang
mengelilinginya, sumbu jakarta surabaya panjangnya mencapai 650 km, sehingga jawa
menjelma menjadi pulau kota (ekumenopolois).
Berkenaan dengan perkembangan penduduk indonesia, hasil sensus menunjukkan secara
relatif adanya penurunan pertumbuhan penduduk dari waktu ke waktu. Periode 1971-1980
pertumbuhan penduduk indonesia mencapai 2,31%, periode 1980-1990 menururn menjadi
1,98% dan menurun menjadi 1,49% pasa periode 1990-2000. Pada periode 200-2010
pertumbuhan penduduk indonesia relatif tetap, yaitu 1,49%. Walaupun secara relatif
pertumbuhan penduduk indonesia mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah
penduduk indonesia selalu bertambah. Perhatiakan gambar 5.6

Gambar 5.6 perkembangan penduduk indonesia dalam kurun waktu 1962-2010

Berdasarkan hasil sensus penduduk yang telah dilakukan setiap 10 tahun sekali
menunjukkan perkembangan jumlah penduduk indonesia. Tahun 1961 jumlah penduduk
indonesia masih berada di bawah seratus juta jiwa, yaitu 97,1 juta jiwa. Pada tahun 1971
meningkat menjadi 119,2 juta jiwa. Pada tahun1980 meningkat menjadi 147,5 juta jiwa dan
tahun 1990 menjadi 178,6 juta jiwa. Pada tahun 2000 penduduk indonesia adalah sudah
melampaui dua ratus juta, yaitu 2005, 1 juta jiwa dan meningkat menjadi 237,6 juta jiwa pada
tahun 2010.
Keberhasilan indonesia dalam menekan laju pertumbuhan penduduknya memang
sudah mendapat pengakuan internasional, terutama melalui penurunan fertilitas dengan
program keluarga berencana yang sekarang sudah menjadi gerakan keluarga berencana.
Banyak negara yang belajar ke indonesia untuk menurunkan fertilitas di negaranya masing-
masing. Namun demikian, dalam menekan angka mortalitas keberhasilannya belum seperti
menekan angka kelahiran. Angka kematian indonesia masih yang tertinggi di ASEAN.
Sementara untuk pemerataan sebaran penduduk dengan transmigrasinya juga belum
menunjukkan keberhasilan. Penyebaran penduduk indonesia sebagaimana yang telah
dikemukakan masih timpang, yaitu sebagian besar (52%) tersebar hanya di pulau jawa.
Tabel 5.2 Proporsi Penduduk Antar Desa dan Kota dalam Kurun Waktu 1995-2050

Persentase (%) Penduduk Kerja


Daerah
1995 2000 2005 2010 2050

Desa 64 58 52 46 33

Kota 36 42 48 54 67

Total 100 100 100 100 100

Sumber : Bank Dunia *Perkiraan PBB

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 penduduk Indonesia yang tinggal di
kota sudah mencapaai lebih dari 50%. PBB bahkan memprediksikan pada tahun 2050 nanti,
penduduk Indonesia yang tinggal di kota mencapai 67% dari total penduduknya. Jika
perkembangan kota terus terjadi, tidak mustahil beberapa pulau di Indonesia akan menjadi
pulau kota atau ekumenopolis (bukan megapolis).

Istilah megapolis berasal dari seorang geograf bernama Gottman untuk menyebutkan
gabungan raksasa sejumlah metropolis. Contohnya sebgaimana yang terdapat di Amerika
Serikat, Eropa Barat Laut, dan Jepang. Penggabungan itu didefinisikan sebagai situasi
konsentrasi penduduk yang berjumlah lebih dari 25 juta jiwa yang berdesak-desakan di kota
untuk mencapai kehidupan di perkotaan. Megapolis di Amerika Serikat panjangnya mencapai
650 km (dari Washington ke Boston), di Eropa Barat Laut mencapai 825 km (dari London ke
Hamburg), dan di Jepang mencapai 480 km (dari Tokyo ke Osaka). Di negara-negara sedang
berkembang, karena lokasi metropolisnya tersebar berjauhan, kemungkinan yang terjadi
adalah ekumenupolis. Polanya, satu metropolis dikerumuni kota-kota besar dan kecil yang
tersebar di daerah agraris. Di Jawa, kota Jakarta dan Surabaya merupakan dua kota
metropolis. Jika kedua metropolis tersebut menyatu dengan kota-kota besar dan kecil yang
mengelilinginya, sumbu Jakarta-Surabya panjangnya mencapai 650 km, sehingga Jawa
menjelma menjadi pulaukota (ekumenupolis).

Berkenaan dengan perkembangan penduduk Indonesia, hasil sensus menunjukkan


secara relaitgf adanya penurunan pertumbuhan penduduk dari waktu ke waktu. Periode 1971-
1980 pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 2,31%, periode 1980-1990 menurun
menjadi 1,98% dan menurun menjadi 1,49% pada periode 1990-2000. Pada periode 2000-
2010 pertumbuhan penduduk Indonesia relatif tetp, yaitu 1,49aaaaaaa5. Wlaupun secara
relatif pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah
penduduk Indonesia selalu bertambah. Perhatikan Gambar 5.6

Berdasarkan hasil sensus penduduk yang telah dilakukan setiap 10 tahun sekali
menunjukkan perkembangan jumlah penduduk Indonesia. Tahun 1961 jumlah penduduk
Indonesia masih berada di bawah seratus juta jiwa, yaitu 97,1 juta jita. Pada tahun 1971
meningkat menjadi 119,2 juta jiwa. Pada tahun 1980 meningkat menjadi 147,5 juta jiwa dan
tahun 1990 menjadi 178,6 juta jiwa. Pada tahun 2000 penduduk Indonesia sudah melampaui
dua ratus juta, yaitu 205,1 juta jiwa dan meningkat menjadi 237,6 juta jiwa pada tahun 2010.

Keberhasilan Indonesia dalam menekan laju pertumbuhan penduduknya memang


sudah mendapat pengakuan internasional, terutama melalui penurunan fertilitas dengan
Program Keluarga Berencana yang sekarang sudah menjadi Gerakan Keluarga Berencana.
Banyak negara yang belajar ke Indonesia untuk menurunkan fertilitas di negaranya masing-
masing. Namun demikian, dalam menekan angka mortalitas keberhasilannya belum seperti
menekan angka kelahiran. Angka kematian Indonesia masih yang tertinggi di ASEAN.
Sementa untuk pemerataan sebaran penduduk dengan transmigrasinya juga belum
menunjukkan keberhasilan. Penyebaran penduduk Indonesia sebagaimana yang telah
dikemukakan masih timpang, yaitu sebagian besar (52%) tersebar hanya di Pulau Jawa.

H. Rangkuman

Perkembangan penduduk dunia secara kronologis dari waktu ke waktu secara garis
besarnya dapat dikelompokkan menjadi lima (5). Pertama, Penduduk Bumi pada Masa
Berpindah-pindah diawali pada 1.000.000 SM – 500.000 SM. Penduduk pada masa ini masih
dikategorikan binatang yang berbudaya. Tempat asal mula manusia berkembang adalah dari
daerah iklim tropik basah sampai ke daerah stepa padang pasir Asia Barat Daya dan daerah
iklim sedang di China, serta telah melintasi sekurang-kurangnya satu jembatan darat. Periode
selanjutnya, 500.000 SM – 20.000 SM dengan mundurnya lapisan es dan dikembangkannya
alat-alat berburu, jangkauan migrasi yang lebih jauh, yaitu sampai ke seluruh Asia dan
Afrika, serta Australia, dan juga Amerika melalui selat Bering, namun masih terbatas pada
wilayah kintang pertengahan. Periode 20.000 SM – 5.000 SM manusia sudah hidup
berkelompok dan teknologi pelayaran dengan perahu-perahu kecil sudah berkembang. Hal
menyebabkan migrasi tidak hanya lewat darat tetapi juga lewat laut, seperti migrasi dari
daratan Asia Tenggara ke Filipina, dari Asia ke Jepang, dari Asia Kecil ke Ciprus, dan juga
ke pulau-pulau seperti Madagaskar, Sicilia, dan Corsika.

Kedua, Penduduk Bumi pada Masa Migrasi Terbatas (5000 SM – 100 SM). Pada
masa ini sistem pertanian sudah dikenal walaupun kehidupan nomaden masih mendominasi.
Migrasi sudah dilakukan menuju ke semua kontinen. Migrasi melalui pelayaran samudra juga
sudah dilakukan sampai pada penduduk daerah yang letaknya jauh, seperti New Zealand,
kepulauan Pasifik Selatan, dan Kepulauan Hawai. Namun demikian, migrasi yang dilakukan
masih dalam kelompok-kelompok kecil.

Ketiga, Penduduk Bumi pada Masa Penemuan Daerah-daerah Baru. Ciri masa ini
adalah ekspedisi yang dilakukan pelaut-pelaut berkebangsaan Eropa, yang dipelopori oleh
orang-orang Portugis untuk mencari daerah-daerah baru. Hal ini sejalan dengan
perkembangan teknologi yang sudah bisa membuat bagian tengah kapal dari baja, sehingga
dapat lebih melawan angin. Pada masa ini, mobilitas manusia yang menonjol adalah
ditemukan India, Indonesia, dan Amerika. Selain itu, pemetaan juga sudah mengalami
kemajuan, sehingga wilayah-wilayah baru yang ditemukan dapat dipetakan dengan lebih
baik.

Keempat, Penduduk Bumi pada Masa Migrasi Besar-Besaran. Penduduk dunia pada
zaman itu dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu, Caucasoid, Mongoloid,
dan Negroid. Caucasoid mendominasi Eropa, Asia Barat Daya, Afrika Utara. Negroid
menempati bagian selatan Sahara Tengah, Selatan India, dan Irian di Asia Tenggara.
Mongoloid mempati daerah yang paling luas, mencakup bagian Utara dan Timur Asia yaitu
dari bagian utara dan timur garis yang membentang mulai ujung utara pegunungan Ural
sampai delta Sungai Gangga. Kelompok Mongolid ini juga terdapat di belahan utara dan
selatan Amerika (pada periode ini orang kulit putih belum ada di Amerika). Migrasi besar-
besaran di dunia mulai terjadi pada abad pertengahan (sekitar tahun 1500). Arah migrasi
dunia pada masa itu adalah menuju ke Amerika Utara dan Selatan. Sifat migrasi pada masa
itu adalah interkontinental, internasional dan internal. Migrasi dengan sifat-sifatnya tersebut
secara bertahap terus terjadi, diantaranya yang menonjol adalah migrasi dari daratan Eropa ke
Amerika, migrasi dari daratan Eropa ke Afrika, Autralia, dan New Zealand, di samping
migrasi di inter di daratan Eropa dan di beberapa belahan dunia, serta migrasi orang-orang
Yahudi ke Palestina.

KelimaI, Penduduk Bumi pada abad XXI. Hampir semua negara telah memasuki
proses modernisasi dalam kehidupan masyarakatnya, terutama pada aspek-aspek kehidupan
ekonomi yang kemudian merambah ke aspek-aspek sosial, politik, dan budaya, sehingga
kualitas hidup pun meningkat. Namun, proporsi persebaran penduduk dunia perubahannya
tidak begitu besar. Sebagian besar penduduk dunia masih menempati daratan Asia (60,4%),
baru kemudian disusul oleh Afrika ( 14,5%), Amerika (13,6%), eropa (10,9%), dan Autralia
(0,5%).

Jumlah penduduk Indonesia dalam enam kali sensus terus mengalami peningkatan,
tetapi dengan pertumbuhan yang menurun. Tahun 1961 jumlah penduduk Indonesia masih
berada di bawah seratus juta jiwa, yaitu 07,1 juta jiwa. Pada tahun 1971 meningkat menjadi
119,2 juta jiwa. Pada tahun 1980 meningkat menjadi 147,5 juta jiwa dan tahun 1990 menjadi
178,6 juta jiwa. Pada tahun 2000 penduduk Indonesia sudah melampaui dua ratus juta, yaitu
205,1 juta jiwa dan meningkat menjadi 237,6 jiwa pada tahun 2010.
I. Soal Latihan
1. Jelaskan secara kronologis perkembangan penduduk dunia dari waktu ke waktu!
2. Identifikasi faktor penyebab dari perkembangan penduduk tersebut!
3. Jelaskan melalui peta perkembangan penduduk dunia dalam arungan waktu!
4. Buatlah analisis sederhana tentang perkembangan penduduk Indonesia berdasarkan
data sensus yang telah Saudara kumpulkan!
BAB 6
MORTALITAS DAN PEMBANGUNAN

A. Pendahuluan

Kehidupan di dunia secara pasti diawali dengan kelahiran dan pasti akan diakhiri dengan
kematian. Aspek keruangan dari mortalitas merupakan salah satu objek kajian dalm geografi
penduduk. Berkenaan dengan itu, sebelum sampai pada pengkajian aspek-aspek keruangan
dari mortalitas, pada bab ini penting terlebih dahulu untuk memberikan orientasi tentang
konsep dasar mortalitas secara demografi.

Pemahaman terhadap apa yang dimaksud dengan mortalitas melalui materi Konsep Dasar
Mortalitas merupakan langkah awal untuk dapat mengikuti pembahasan selanjutnya.
Pengukuran Mortalitas yang disertai dengan pengimplementasiannya merupakan materi yang
secara khusus memberikan kemampuan untuk dapat menghitung besaran peristiwa mati yang
terjadi disuatu wilayah, sehingga variasi dan sebaran mortalitas antar wilayah akan dapat
digambarkan dengan lebih jelas. Sementara, materi Sumber dan Kualitas Data Mortalitas
menjabarkan dari mana saja data tentang mortalitas yang dapat diperoleh dan bagimana
kualitasnya.

Bab ini jua dilengkapi dengan pembahasan tentang Hubungan Moortalitas dengan
Pembangunan. Pembahasan ini dimaksudkan untuk memberikan landasan untuk menganalisis
mortalitas dalam kaitanyya dengan pembangunan suatu wilayah, terutama dalam
meningkatkan kualitas kehidupan penduduknya.

B. Konsep Dasar Mortalitas


1. Pengertian Mortalitas

Konsep mati sangat penting dipahami untuk mendapatkan data kematian yang benar.
Walaupun ilmu kedokteran telah maju pesat, kadang kala sulit membedakan keadaan mati
dan keadaan hidup secara klinis. Berkenaan dengan itu, pengertian menjadi penting untuk
dikonsepkan, sehingga tidak terjadi perbedaan penafsiran tentang kapan seorang dikatakan
mati.

Utomo (1983) mengemukakan bahwa terdapat tiga keadaan vital yang masing-masing
saling bersifat mutually exclusive, artinya keadaan yang satu tidak mungkin terjadi bersamaan
dengan slah satu kejadian lainnya. Tiga keadaan vital tersebut adalah lahir hidup (live birth),
mati (death), dan lahir mati (still birth), United Nation, dan World Health Organization
mendefinisikan mati adalah keadaan menghilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara
permanen yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Definisi tersebut menunjukkan
bahwa keadaan “mati” hanya bisa terjadi jika sudah pernah lahir hidup (live birth). Jadi,
keadaan mati selalu didahului dengan keadaan hidup, sehingga keadaan mati tidak mungkin
ada kalau tidak pernah hidup.

United Nation dan World Health Organization mendefinisikan lahir hidup adalah
peristiwa keluarnya hasil kensepsi dari rahim seorang ibu secara lengkap tanpa memandang
lamanya kehamilan setelah keluar dari rahim ibunya. Hasil konsepsi menunjukkan tanda-
tanda kehidupan, seperti berapas, dennyut jantung, denyut tali pusat, atau gerakan-gerakan
otot, tanpa memandang apakah tali pusat sudah dipotong atau belum. Sedangkan lahir mati
adalah peristiwa menghilangnya tanda-tanda kehidupan dari hasil konsepsi sebelum hasilnya
dikeluarkan dari rahim ibunya, termasuk di dalamnya still birth dan abortus.

Mengacu pada konsep mati dan lahir hidup maka secara demografi lahir mati tidak
dimasukkan dalam mati maupun hidup. Lahir mati tidak dihitung sebagai peristiwa mati
dalam deografi.

2. Pengukuran Mortalitas

Pelayanan kesehatan dan dan fasilitas-fasilitas di bidang kesehatan di suatu negara


atau masyarakat, baik secara kuantitas maupun kualitas sangat memegang peranan penting
ddalam memengaruhi jumlah kematian penduduk. Berdasarkan jumlah penduduk yang mati
(kematian) dalam suatu wilayah akan dapat dilihat efektivitasnya suatu program kesehatan
yang diimplementasikan kepada penduduk.

Mortalitas menyebabkan penduduk suatu daerah menjadi berkurang dan umumnya dikaitkan
dengan tingkat kesejahteraan penduduk suatu wilayah. Gambaran angka-angka kematian
menjadi bahan yang sangat penting untuk mempelajari masalah-masalah kependudukan
dalam suatu wilayah, seperti keadaan social ekonomi penduduk, sebab-sebab kematian,
hubungannya dengan peristiwa-peristiwa kependudukan (kelahiran,pertumbuhan penduduk),
dan sebagainya. Informasi tentang kematian akan sangat dibutuhkan bagi suatu negara
khususnya untuk melahirkan kebijaksanaan-kebijaksanaan, terutama dalam pelayanan
kesehatan masyarakat.
Jadi, pengukuran tentang mortalitas menjadi hal yang sangat penting untuk diketahui. Berikut
ini dipaparkan tentang beberapa metode pengukuran angka kematian penduduk.

a. Angka Kematian dan Rasio Khusus menurut Sebab Kematian


Cause Specific Death Ratio (CSDR) atau Rasio Kematian Khusus menurut Sebab
Kematian adalah proporsi jumlah seluruh kematian yang disebabkan oleh sebab
khusus. Rasio ini dihitung dari jumlah seluruh kematian yang terjadi dalam suatu
periode tertentu yang diklasifikasikan menurut sebab kematian (Pollard, 1989).
Misalnya, pada tahun 1998 di Bhutan terjadi 2.759.371 peristiwa kematian, 292.557
di antaranya terklarifikasi disebabkan oleh penyakit “Kanker”. Berdasarkan data
tersebut maka Rasio Kematian Khusus Menurut sebab kematian “Kanker” di Bhutan
adalah 292.557/2.759.371 = 0,106. Berikut ini diberikan Rasio Kematian Khusus
menurut Sebab Kematian di sejumlah negera.
Penyebab Kematian
Negara Kecelakaan Penyakit Neo Pneumonia Tubercolosis
Jantung Plasma
(1) (2) (3) (4) (5) (7)
Australia (1964 0,059 0,372 0.153 0,037 0,004
Amerika 0,058 0,389 0,164 0,032 0,005
Serikat(1964)
Inggris dan Wales 0,035 0,325 0,199 0,055 0,004
(1964)
Singapura (1963) 0,042 0,097 0,133 0,073 0,065
India (1961) 0,049 0,066 0,039 0,210 0,071
Meksiko(1963) 0,042 0,037 0,073 0,131 0,023
Tabel 6.1 menunjukkan variasi penyebab kematian di berbagai Negara

Tabel 6.1 menunjukkan variasi penyebab kematian di berbagai negara. Penyakit jantung lebih
diderita oleh penduduk di Australia, Amerika Serikat, Inggris dan Wales. Sedangkan
penyebab di negara India dan Meksiko lebih banyak karena penyakit pneumonia. Namun,
hasil yang diperoleh dari ‘rasio’ dipandang belum cukup, karena selama ini sudah menjadi
kebiasaan untuk menghitung suatu peristiwa demografi dengan menggunakan “Angka” atau
‘Rate”. Berkenaan dengan itu, CSDR didefinisikan sebagai jumlah kematian yang
diakibatkan oleh sebab tertentu selama setahun dibagi dengan jumlah penduduk penduduk
pertengahan tahun yang dinyatakan 1.000 penduduk, atau dengan formula sebagai berikut.

⅀𝑑 𝑚
AKKm = xk
𝑃

Keterangan

AKKm = Angka Kematian Khusus Menurut sebab Kematian

∑ dm = Jumlah Kematian yang diakibatkan oleh sebab tertentu selama setahun

P = Jumlah penduduk pertengahan tahun

k = Konstante (biasanya digunakan nilai 1000)

Contoh Penerapan

Di Indonesia pada tahun 2013 terdapat 2.650.340 kematian yang diakibatkan oleh penyakit
jantung koroner dan perkiraan penduduk (pertengahan tahun ) pada waktu itu 249.900.000
jiwa. Berarti CSDR penyakit jantung koroner di Indonesia selama tahun 2013 adalah
(2.650.340/249.900.000) x 1000 = 10,61 kematian/1000 penduduk. Perhitungan tersebut
menunjukkan bahwa pada tahun 2013, setiap 1.000 penduduk terdapat sekitar 10-11 kematian
yang disebabkan oleh penyakit jantung koroner.

Penyebut yang digunakan bukan penduduk penderita penyakit jantung koroner, melainkan
seluruh penduduk. Hal tersebut dilakukan mengingat data tentang penderita penyakit tertentu
sulit diperoleh atau datanya tidak tersedia. Dengan demikian, hasil perhitungan yang
diperoleh bukan besaran kematian dari penduduk yang mengidap penyakit jantung koroner,
melainkan besaran kematian penduduk pengidap penyakit jantung koroner dari keseluruhan
jumlah penduduk daerah bersangkutan. Berikut ini adalah CSDR di beberapa negara.

Tabel 6.2 Angka Kematian Khusus Menurut Sebab Kematian di Beberapa Negara

Negara Penyebab Kematian


Kecela- Penyakit Neo Pneu Tuberc Semua
kaan Jantung Palsma monia olosis Sebab
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Australia (1964) 53,6 336,3 137,9 33,4 3,7 903,4
Amerika Serikat (1964) 54,2 365,5 153,9 30,2 4,3 939,6
Inggris dan Wales (1964) 39,4 367,0 224,1 62,3 5,3 1.128,1
Singapura (1963) 24,1 55,9 76,6 42,2 37,6 575,4
India (1961) 57,6 76,9 45,0 245,5 82,7 1.166,3
Meksiko (1963) 45,4 40,2 39,5 140,3 25,1 1.047,6
Sumber: United Nation’s Demographic Year Book, 1995 dalam Polard, dkk 1989

Berdasarkan Tabel 6.2 terlihat bahwa semakin jelasnya jumlah kematian per 1.000 penduduk
yang disebabkan oleh sebab tertentu. Dari setiap 1.000 penduduk di Australia, Amerika
Serikat, serta Inggris dan Wales, lebih dari 1/3 kematiannya disebabkan oleh penyakit
jantung. Di India dominan penyebab penduduk meninggal adalah karena pneumonia. Berbeda
dengan di Singapura kematian penduduknya tidak terkonsentrasi pada satu penyebab.

Studi kematian sebelum dikenal konsep angka atau rate, CDR maupun Angka Kematian
Khusus (Specific Death Rates) kematian diukur dengan membandingkan jumlah penduduk
dan jumlah kematian. Umpama di suatu wilayah yang berpenduduk 3 juta jiwa mempunyai
jumlah kematian sebanyak 100.000 orang maka angka yang diberikan adalah
3.000.000/100.000 = 30 atau 1 kematian tiap 30 penduduk. Cara pengukuran seperti itu
kemudian berkembang dengan cepat menjadi konsep Angka Kematian Kasar atau Crude
Death Rates (CDR) yang memiliki kegunaan praktis yang lebih luas. Angka Kematian Kasar
dihitung menggunakan formula berikut (Rusli : 1985).

⅀D
CDR = xk
P

Keterangan :

CDR = Crude Death Rates (Angka Kematian Kasar)

∑ D = Jumlah kematian

P = Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun

K = Konstante biasanya digunakan nilai 1.000)

Mengacu pada rumus tersebut akan diperoleh angka kematian yang masih bersifat kasar.
Dikatakan demikian karena yang menanggung risiko untuk mengalami peristiwa kematian
adalah seluruh penduduk. Sementara diketahui bahwa risiko setiap penduduk untuk
mengalami peristiwa kematian adalah berbeda-beda, dilihat dari umur, jenis kelamin, status
sosial ekonomi, dan sebagainya. Umur bayi dan tua rentan terhadap kematian, wanita
memiliki rata-rata angka harapan hidup lebih panjang dibandingkan laki-laki. Penduduk
dengan keadaan sosial ekonomi yang tinggi lebih mudah memeroleh akses kesehetan
dibandingkan dengan yang miskin. Berikut ini disajikan data mengnai angka kematian kasar
di beberapa negara.

Negara Crude Death Rate


(1) (2)
Zambia ( Africa) 10,4
Pakistan (Asia) 7,0
Germany (Europe) 10,9
Bahamas(Latin America and The Caribbean) 6,1
United States of America (Nothern America) 8,3
Fiji (Oceania) 6,8
World 8,1

Berdasarkan Tabel 6.3 diketahui bahwa pada tahun 2013 terdapat variasi Angka Kematian
Kasar pada setiap Negara. Negara-negara tersebut mewakili kawasan masing-masing yang
memiliki CDR yang relative sama antara Negara bersangkutan dengan kawasan yang
diwakilinya. Terlihat Negara maju, sedangkan Negara yang memiliki angka kematian kasar
terendah adalah Bahamas yang mewakili kawasan Amerika Latin dan Caribbean. Masing-
masing terdapat tiga Negara/kawasan yang memiliki CDR di bawah dan di atas angka
kematian kasar dunia. Secara keseluruhan, CDR di dunia pada tahun 2013 adalah 8,1 per
1.000 penduduk. Jumlah seluruh penduduk termasuk struktur umur yang dimiliki Negara
bersangkutan diduga member pengaruh terhadap tinggi rendahnya CDR yang dimiliki.

Seandainya jumlah kematian yang terjadi pada daerah-daerah di Indonesia dapat diketahui
100% melalui system pencacatan (registrasi penduduk) maka dengan CDR, keadaan daerah-
daerah bersangkutan dapat dibandingkan. Misalnya untuk tahun 2010 jumlah kematian di
daerah A adalah 81.000 jiwa, dan di daerah B adalah 24.000 jiwa. Memerhatikan bilangan
mutlaknya, kematian di daerah A lebih banyak dibandingkan dengan di daerah B.
Pertanyaannya, apakah berarti angka kematian di daerah A lebih tinggi dari di daerah B?
Jawabannya belum tentu, jumlah penduduk daerah yang bersangkutan perlu juga
dibandingkan. Jumlah penduduk daerah A adalah 4.500.000 jiwa dan daerah B adalah
1.200.000 jiwa.

Berdasarkan data jumlah kematian dan jumlah penduduk di masing-masing daerah (A dan
B), perbandingkan kematian antara daerah A dan B dapat dilakukan dengan menghitung
CDR-nya masing-masing sebagai berikut.

Untuk daerah A Untuk daerah B


81.000 24.000
CDR = 4.500.000 x 1.000 = 18.00 CDR = 2.100.000 x 1.000 = 20.00

Perhitungan tersebut menunjukkan bahwa per 1.000 orang penduduk pada tahun yang
bersangkutan kematian di daerah A lebih kecil dibandingkan dengan daerah B, walaupun
secara absolute jumlah kematian di daerah A lebih besar dari daerah B. Hal tersebut
menunjukkan bahwa jumlah penduduk suatu wilayah sebagai pembagi (population at risk)
sangat menentukan besaran CDR yang dihitung.

Berbagai ‘keunggulan’ yang dapat diberikan dari CDR, di antaranya : (1) mendeskripsikan
angka kematian keseluruhan penduduk suatu wilayah atau Negara; (2) mudah dapat
dimengerti oleh masyarakat umum; (3) proses perhitungannya mudah dan cepat, serta data
yang dibutuhkan minimal/ bisa didapat dengan mudah; dan (4) memberikan gambaran
pendahuluan yang berguna untuk mengenai tingkat maupun kecenderungan-kecenderungan
kematian.

Selain sisi keunggulan yang dimiliki, CDR juga memiliki ‘kekurangan’ di antaranya (1)
Angka Kematian Kasar merupakan angka campuran yang komponen-komponennya adalah
kelompok-kelompok penduduk yang memiliki risiko kematian secara spesifik aadalah
berbeda; dan (2) Angka Kematian Kasar dipengaruhi oleh distribusi penduduk menurut
kelompok, seperti umur dan jenis kelamin (Rusli, 1985).

b. Angka Kematian Menurut Umur dan Jenis Kelamin


Sebab khusus kematian tidak berpengaruh sama dilihat dari jenis kelamin maupun
umur. Sebagai contoh, cacat bawaan umurnya sangat mempengaruhi angka kematian
(mortalitas) pada kelompok umur muda, sedangkan penyakit jantung kurang
berpengaruh pada kematian pada usia muda, melainkan merupakan sebab kematian
yang cukup banyak di usia yang lebih tua. Komplikasi kehamilan dan kelahiran hanya
akan berpengaruh pada wanita saja.
Berkenaan dengan itu, angka kematian lebih baik jika dihitung secara terpisah
menurut umur dan jenis kelamin (Ager-sex Specific Death Rates) yang kemudian
lebih dikenal dengan ASDR untuk perempuan ASDR dan ASDR- untuk laki-laki.
Namun demikian, secara umum pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam
menghitung Angka Kematian Khusus jarang dilakukan.Hal tersebut menyebabkan
hanya indicator umur yang digunakan, sehingga disebut dengan Age Specific Death
Rates (ASDR) atau Angka Kematian Menurut Umur. Cara untuk menghitung ASDR
dapat dinyatakan dengan menggunakan rumus berikut (Rusli, 1985)
⅀ Dx
ASDRx = xk
Px

Keterangan :
ASDRx = Angka Kematian Khusus menurut umur x
⅀Dx = Jumlah kematian penduduk kelompok umur x tahun tertentu
Px = Jumlah penduduk kelompok umur x pada tengah tahun yang bersangkutan
K = konstante yang biasanya menggunakan angka 1.000
Tabel 6.4 berikut ini memperlihatkan contoh untuk menghitung ASDRx di suatu
wilayah pada tahun tertentu.

Tabel 6.4 Angka kematian khusus menurut umur (ASDR) Penduduk Negara A untuk kedua
jenis kelamin Tahun 2010.

Kelompok Umar Jumlah Penduduk Jumlah Kematian ASDR


Pertengahan Tahun (∑D)
(Px)
(1) (2) (3) (4)
0 2,3:0 130 56,4
1-4 156.954 7.094 45,7
5-14 289.314 1.360 4,7
15-24 222.720 3.207 14,4
25-44 327.752 6.555 20,0
45-64 251.646 33.066 131,4
65+ 95.357 78.459 822,8
Tabel 6.4 memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan angka kematian pada masing-
masing kelompok umur. Secara umum dapat dikemukakan bahwa pada umur-umur awal
kehidupan penduduk, angka kematian adalah lebih tinggi dibandingkan dengan pada umur
umur menginjak dewasa dan kembali meningkat pada umur-umur tua. Jika dilukiskan dalam
bentuk grafik akan menyerupai huruf “U”

Dengan cara yang parallel, untuk berbagai karakteristik yang lain (selain umur) juga
dapat dihitung angka kematian khusus. Berkenaan dengan itu, pertama-tama yang akan
dihadapi untuk menghitung Angka kematian khusus adalah menentukan population atrisk,
yaitu penduduk yang mempunyai resiko kematian bagi karakteristik tertentu sebagai
penyebur, disamping memperoleh data jumlah kematian bagi kelompok-kelompok dengan
karakteristik yang bersangkutan untuk tahun-tahun tertentu sebagai pembilang.

c. Mortalitas Bayi

Bayi (Infant) adalah penduduk yang berumur 0 (nol) tahun, atau penduduk yang
masih belum mencapai ulang tahunnya yang pertama (satu tahun). Secara umum angka
kematian bayi merupakan indicator yang menunjukkan keadaan social, ekonomi dan
demografi penduduk suatu wilayah. Hal tersebut disebebkan data kematian bayi dapat
menunjukkan banyaknya atau berapa fasilitas-fasilitas medis dan bagamana taraf kehidupan
penduduk. Sebagai variable demografi, tingginya angka kematian bayi memberikan petunjuk
akan adanya potensi yang besar dalam pertumbuhan penduduk dimasa yang akan datang.
Berkenaan dengan itu maka diantara Angka kematian khusus,Angka kematian bayi atau
Infant mortality rates (IMR) merupakan ukuran mortalitas yang umumnya dijadikan indicator
untuk terlihat tingkat kesehatan dan kesejahteraan penduduk suatu daerah (pollard,1989).

Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa angka kematian bayi (IMR) merupakan
jumlah kematian penduduk umur dibawah satu tahun per 1.000 (jika konstante yang
digunakan 1.000) kelahiran hidup dalam tahun tertentu pada suatu wilayah. Jika
menggunakan rumus dapat diformulasikan sebagai berikut (Rusli, 1985).

∑ 𝐷𝑜
IMR = ∑𝐵
×𝑘

Keterangan:

IMR = Angka kematian bayi.


∑ Do = Jumlah kematian penduduk umur dibawah satu tahun dalam tahun tertentu.

∑ B∑ B = Jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama.

K = Konstante (biasanya digunakan nilai 1.000)

Berikut disertakan contoh untuk menghitung angka kematian bayi (IMR) digunakan
menggunakan data jumlah bayi yang kahir hidup dan jumlah bayi yang mati. Perhatikan
table. 6.5!

Tabel 6.5 Angka kematian bayi di Indonesia tahun 2010

Tahun Jumlah bayi yang lahir Jumlah bayi yang IMR


hidu mati
(1) (2) (3) (4)
2000 3.568.740 167.731 47
2010 4.253.040 110.579 26
Sumber: Diolah dari data BPS Hasil sensus Penduduk 2010

Tabel 6.5 menunjukkan bahwa pada tahun 2000 di Indonesia setiap 1.000 kelahiran
bayi (lahir hidup) akan terjadi 47 kematian bayi, dan pada tahun 2010 mengalami penurunan
menjadi 26 kematian bayi setiap 1000 kelahiran hidup. Melalui perhitungan-perhitungan
seperti itu, kajian terhadap variasi mortalitas antar wilayah menjadi lebih mudah.

Berdasarkan survey Demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2012. IMR


indonwsia mencapai 34 per 1.000 kelahiran hidup. Jika dilihat antar provinsi masih terlihat
variasi yang cukup tinggi. IMR terendah berada di provinsi Kalimantan Timur (21 per 1.000
kelahiran hidup) dan tertinggi berada di provinsi papua barat (74 per 1.000 kelahiaran hidup).
Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan di Indonesia masih belum merata. Hampir 50
persen provinsi di Indonesia memiliki IMR di atas rata-rata nasional.perhatikan gambar 6.11
Gambar 6.1 Infant Mortality Rates (IMR) Indonesia tahun 2012 berdasarkan provinsi

Bagaimana variasi kematian bayi di Indonesia dalam tiga dasawarsa sebelum sensus
penduduk tahun 2010 dilaksanakan. Hal ini penting untuk dilihat, terutama dalam kaitannya
dengan tingkat kesejahteraan penduduk provinsi-provinsi di Indonesia tahun 1980, 1990 dan
2000 perhatikan table 6.6

IMR Pertumbuhan/tahun (%)


Daerah Tingkat
1980 1990 2000 1980-1990 1990-2000
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Daerah Istimewa
93 58 40 4.72 3.72
Aceh
Sumatra Utara 89 61 44 3.78 3.27
Sumatra Barat 121 74 53 4.92 3.34
Riau 110 65 48 5.26 3.03
Jambi 171 74 53 4.92 2.34
Sumatra Selatan 102 71 53 3.62 2.92
Bengkulu 99 69 53 3.62 2.64
Lampung 99 69 48 0 2.63
Kep. Bangka
-25 0 27 0 0
Belitung
Kep. Riau 0 0 35 7.18 0
DKI Jakarta 82 40 25 3.98 4.7
Jawa Barat 134 90 37 4.21 8.89
Jawa Tengah 99 65 44 3.89 3.9
DI. Yogyakarta 62 42 25 4.16 5.19
Jawa Timur 97 64 48 0 2.88
Banten 0 0 66 5.9 0
Bali 92 51 36 2.65 3.48
Nusa Tenggara Barat 189 145 89 5.08 4.88
Nusa Tenggara
128 77 57 3.85 3.01
Timur
Kalimantan Barat 119 81 37 5.45 7.84
Kalimantan Tengah 100 58 48 3.01 1.89
Kalimantan Selatan 123 91 70 5.45 2.62
Kalimantan Timur 100 58 40 3.89 3.72
Sulawesi Utara 93 63 28 8.11
Sulawesi Tengah 130 92 66 -3.46 -3.32
Sulawesi Selatan 111 70 57 -4.61 -2.05
Sulawesi Tenggara 116 77 53 -4.10 -3.74
Sulawesi Barat - - 51 - -
Maluku 123 76 61 -4.81 -2.20
Maluku utara - - 75 - -
Papua 105 80 57 -2.72 -3.39
Papua barat - - 74 - -
Indonesia 107 71 34 -4.10 -7.36
Sumber: Kolom 2 s/d 4 dalam RPS, SP 1980,2000, Penurunan dihitung secara ekponensial

Berdasarkan Tabel 6.6 dapat dilihat variasi kematian bayi di Indonesia berdasarkan
hasil sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 1980. 1990 dan 2000 serta perkembangan
angka kematian bayi di masing-masing provinsi di Indonesia. Jawa Barat, Sulawesi Utara,
dan Klimantan Barat adalah 3 Provinsi di Indonesia yang penurunan IMR-nya lebih tinggi
dari rata-rata nasional. Hal tersebut menunjukkan keberhasilan usaha pemerintah provinsi
bersangkutan dan meningkatkan kualitas hidup penduduknya. Dengan memerhatikan variasi,
dan perkembangan angka kematian bayi tersebut secara tidak langsung juga akan dapat
dijadikan indicator untuk melihat tingkat kesehatan dan kesejahteraan penduduk di masing-
masing provinsi di Indonesia selama tiga dasawarsa terakhir sebelum Sensus penduduk 2010
dilaksanakan.

Umumnya data tentang jumlah kematian bayi diperoleh dari hasil pencatatan system
registrasi kejadian-kejadian vital atau system registrasi penduduk. Oleh karena itu, ketelitian
dan kelengkapan angka-angka yang diperoleh sangat tergantung pada berfungsi tidaknya
system tersebut. Mungkin saja terjadi bayi yang baru lahir hidup, tetapi karena segera mati
tidak teregistrasi, para ahli medis pun tidak mudah menentukan untuk memisahkan abourts,
lahir mati dan lahir hidup. Registrasi kematian bayi sangat sulit diperoleh terutama di Negara-
negara atau daerah dengan mortalitas bayi yang tinggi. Seringkali kematian bayi yang
diregistrasi untuk tahun tertentu merupakan kematian dari bayi-bayi yang lahir dua tahun
berturut-turut atau dua kohot tahun kelahiran (two annual cohorts of birth).

D. Angka Kematian Ibu

Angka kematian ibu (Maternal Mortality Rates = MMR) menunjukkan jumlah ibu
yang meninggal dalam proses melahirkan selama satu tahun terhadap jumlah ibu seluruhnya.
Dalam hal ini yan diperhitungkan dalam jumlah ibu meninggal adalah selama dalam
kehamilan dan atau dalam proses melahirkan. Ibu hamil yang meninggal karena kecelakaan,
bunuh diri, atau hal-hal lain yang tidak ada hubungannya denga kehamilan dan proses
melahirkan tidak dimasukkan dalam perhitungan ini. Oleh sebeb itu, ukuran ini dinyatakan
per 100.000 ibu dan bukan per 1.000 ibu, karena jumlah kasus dalam setahun relative kecil.

𝑀𝑀𝐷𝑀𝑀𝐷
MMR = 𝑥𝑘
𝑀𝑀

Keterangan:

MMR = Angka Kematian Ibu.

MMD = Jumlah ibu yang meninggal dalam proses kehamilan atau melahirkan.

M = Jumlah ibu seluruhnya.

K = Konstante (biasanya digunakan nilai 100,000)

Kematian maternal terkategori peristiwa yang jarang terjadi (Rate Evant), sehingga
dinyatakan per 100.000 ibu. Namun demikian, MMR banayak digunakann sebagai indicator
keberhasilan pngelolaan upaya peningkatan kesehatan. Khususnya kesehatan ibu dan dalam
menuju kepada keluarga sehat sejahtera. Penurunan angka kematian ibu juga termasuk dalam
sala-satu target yang ingin dicapai oleh Negara-negara di dunia. Berikut disajikan Angka
kematian ibu pada masing-masing kawasan di dunia. Berikut disajikan Angka kematian ibu
pada masing-masingkawasan dunia pada tahun 2010 (Gambar 6.2).
Gambar 6.2 MMR masing-masing kawasan di dunia Tahun 2010

Menurut WHO, risiko kematian ibu selama hidupnya karena kehamilan atau
persalinan adalah 1 per 14 sampai 1 per 50 untuk Negara sedang berkembang dan 1 per 4.000
sampai 1 pe 10.000 di Negara maju. Perbedaan angka kematian Maternal antara Negara maju
dan Negara sedang berkembang merupakan disparitas antarnegara. Coba perhatikan Gambar
6.2, Angka kematian Maternal dikawasan Eropa hanya berkisar 15 per 100.000 kelahiran
hidup, sedangkan dikawasan Afrika adalah 460 per p 100.000 kelahiran hidup (live
Birth/LB).

Hasil estimasi MMR Indonesia berdasarkan data Sensus Penduduk 2000 sekitar 331
per 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 20005 mengalami penurunan menjadi 307 per
100.000 kelahiran hidup pda 2010 sudah mencapai 220 per 100.000 kelahiran hidup. Pada
akhir pembangunan millennium ke III, Indonesia menargetkan MMR hanya tinggal sekitar
102 per 100.000 kelahiran hidup, yang beraryi mendekati kondisi di Benua Australia tahun
2013.

1. Standardisasi Mortalitas
Standardisasi mortalitas dilakukan jika ingin membandungkan tingkat kematian
antara dua penduduk yang berbeda struktur atau distribusi umurnya. Selain menurut struktur
umur, angka kematian juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik lainnya, diantaranya sebagai
berikut.
1) Komposisi penduduk menurut daerah urban-rural. Pada umumnya kematian di daerah
rural lebih tinhhi dibandingkan dengan di daerah urban karena perbedaan status kesehatan
2) Komposisi pekrjaan. Pada umumnya orang yang bekerja di pertambangan memilik
resiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan orang yang bekerja dikantor.
3) Komposisi pendapatan. Pada umumnya orang kaya bias memeroleh perawatan
kesehatan ang lebih baik
4) Sex atau jenis kelamin. Pada umumnya laki-laki memiliki risiko kematian yang lebih
tinggi dibandingkan dengan wanita.
5) Status kawin. Pada umumnya pada orang dewasa, mereka yang kawin risiko
kematiannnya lebih rendah dibandingkan dengan yang bujangan, janda, duda, atau
cerai.

Dalam demografi, yang menjadi tujuan dalah mengukur mortalitas bukan mengukur
variable yang lain, seperti komposisi umur, komposisi jenis kelamin, komposisi pendapatan,
dan sebagainya.berkenaan dengan itu, pengaruh dari variable tersebut harus ditiadakan. Cara
yang dilakukan oleh para ahli demografi pada umumnua adalah dengan mengontrol variable
tersebut menggunkan teknik yang dikenal dengan standardisasi. Dalam demografi dikenal
ada dua model standardisasi, yaitu Standardisai Langsung dan Standardisassi tidak langsung
(Rsuli,1985; Pollard,1989)

1. Standardisasi Langsung

Standarisasi langsung dapat dilakukan jika tersedia Angka Kematian Khusus


Menurut Umur (ASDR), Prosedurnya adalah dengan mencari suatu penduduk standar
dengan struktur umur tertentu yang kemudian digunakan untuk memeroleh Angka
Kematian Standar dari penduduk-penduduk yang dibandingkan. Tabel berikut
mengilustrasikan cara tersebut.
Tabel 6.7 Standardisasi Langsung Angka kematian di Daerah A dan B menurut
Golongan Umur

Umur Penduduk A Penduduk B Penduduk Standar


10. Jumlah ASDRx Jumlah ASDRx Jumlah ASDRx
Penduuk Kema- Pendu- Kema- Pendu- Kema-
tian duk tian duk tian
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
0-14 1.000 5 5.0 700 2 2.9 1.500 7.5 4.4
15-29 4.000 16 4.0 850 2 3.1 1.000 4.0 3.1
30-44 4.000 24 6.0 2.000 10 5.0 1.000 6.0 5.0
45-59 2.000 20 10.0 4.000 38 9.5 900 9.0 8.6
65-74 1.000 40 40.0 4.000 70 17.5 600 24.0 42.0
75+ 280 30 165.6 1.000 105 105.0 500 83.3 52.5
Total 2.280 135 12.350 227 5.500 133.8 115.6
CDR 11. 18.4
CDR 24.3 21.0

Keterangan:

Kolom (9)= Kolom (8) x Kolom (4) merupakan taksiran kematian standar untuk
penduduk A.

Kolom (10) = Kolom (8) x Kolom (7) merupakan taksiran kematian Standar untuk
penduduk B.

CDR = Angka Kematian Standar yang diperoleh dengan formula.

CDRs =∑kematian Standar X 1.000


∑Kematian Standar

Tabel 6.7 memperlihatakan, sebelum dilakukan standardisasi sepertinya angka


kematian di daerah A lebih rendah dibandingkan dengan di daerah B. Hasil Standardisasi
memperlihatkan bahwa angka kematian di daerah A ternyata sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan di daerah B. Berarti jika komposisi umur penduduk sama maka
kecenderungannya adalah angka kematian di daerah A akan lebih tinggi dibandingkan
dengan di daerah B.

Pemilihan penduduk standard dapat dilakukan dengan bebas. Namun sebaiknya


dipilih penduduk yang karakteristiknya tidak terlalu berbeda dari penduduk yang akan
dibandingkan. Jika ingin membandingkan tingkat kematian antar penduduk dua provinsi
di Indonesia, sebaiknya menggunakan penduduk salah satu provinsi yang struktur umum
penduduknya kira-kira berada diantara dua provinsi yang akan dibandingkan tersebut
atau dengan kata lain struktur penduduknya mendekati struktur penduduk dua provinsi
yang akan dibandingkan. Jika kesulitan, sebaiknya menggunakan struktur penduduk
Indonesia secara keseluruhan sebagai penduduk standar.

1. Standardisasi Tidak Langsung

Apabila angka kematian Khusus Menurut Umur (ASDR) tidak tersedia, tetapi
data penduduk menurut umur dan jumlah kematian hasil registrasi dapat diperoleh,
sebaiknya menggunakan standardisasi tidak langsung.
Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada table 6.8 berikut ini

Tabel 6.8 Standardisasi Tidak Langsung Angka kematian di Daerah A dan B Menurut
Golongan Umur
Umur ASDRx Penduduk A Penduduk B
Standar Penduduk Jumlah Penduduk Jumlah
Kematian Kematian
Standar Standar
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
0-14 4.5 1.000 4.5 700 3.2
15-29 3.2 4.000 12.8 650 2.1
30-44 5.5 4.000 22.0 2.000 11.0
45-59 9.6 2.000 19.2 4.000 38.4
60-74 30.0 1.000 30.0 4.000 120.0
75+ 143.0 180 25.7 1.000 143.0
Total 12180 114.2 12350 317.7
Total Kematian Hasil registrasi 135 227
RMS 1.182 0.715
CDR 11.1 18.4
CDRs 13.1 13.2

Keterangan:
RMS = Jumlah kematian actual + Jumlah Kematian Standar, CDRs
= RMS x CDR
Kolom (4) = Kolom (3) x Kolom 2. Kolom (6) = Kolom (5) x Kolom (2)

Tabel 6.8 memperlihatkan sebelum dilakukan standardisasi. Angka kematian (CDR)


di daerah A jauh lebih rendah dibandingkan dengan di daerah B Namun, setelah dilakukan
standardisasi angka kematian di daerah A hamper sama dengan angka kematian di daerah
B. Hal tersebut menunjukkan peran struktur umum dalam memengaruhi mortalitas suatu
daerah.

2. Sumber dan Kualitas Data Mortalitas

Data kematian sangat diperlukan, antara lain untuk membuat proyeksi penduduk guna
perencanaan pembangunan. Misalnya, perencanaan fasilitas perumahan, fasilitas
pendidikan, dan jasa-jasa lainnya untuk kepentingan masyarakat. Data kematian juga
diperlukan untuk kepentingan evaluasi terhadap program program kebijaksanaan
penduduk. Data kematian dapat diperoleh dari berbagai macam sumber. Berikut akan
dipaparkan beberapa sumber tersebut termasuk kualitas data yang dihasilkan.

1. Sistem Registrasi Vital


Apabila system ini bekerja dengan baik merupakan sumber data kematian
yang ideal. Dalam sistem registrasi vital, kejadian kematian dilaporkan dan dicatat
segera setelah peristiwa kematian tersebut terjadi. Di Indonesia belum ada sistem
registrasi vital yang bersifat nasional, yang ada hanya sistem registrasi vital yang
bersifat local, dan inipun tidak sepenuhnya meliputi semua kejadian kematian pada
kota-kota itu sendiri. Selain itu, kesadaran masyarakat sebagai penduduk suatu
wilayah untuk melaporkan kejadian vital (kematian dan kelahiran) belum optimal.
Penduduk yang melaporkan umumnya mereka yang memiliki kewajiban untuk
melaporkan Karena berkaitan dengan santunan atau tunjangan. Dengan demikian, di
Indonesia sementara ini “masih sulit” untuk memeroleh data kematian (yang valid)
dari sistem registrasi vital.

2. Sensus atau Survei Penduduk


Sensus atau survey penduduk merupakan kegiatan sesaat yang bertujuan
untuk mengumpulkan data penduduk, termasuk pula data kematian. Berbeda dengan
sistem registrasi vital, pada sensus atau survey kejadian kematian dicatat setelah
sekian lama peristiwa kematian itu terjadi. Data kematian yang diperoleh melalui
sensus atau survey dapat digolongkan menjadai dua bentuk yaitu (1) bentuk langsung
(direct mortality data); (2) bentuk tidak langsung (indirect mortality data).
Data kematian bentuk langsung diperoleh dengan menanyakan kepada
responden tentang ada tidaknya kematian selama kurun waktu terntentu. Apabila ad
tidaknya kematian tersebut dibatasi selama satu tahun terakhir menjelang waktu
sensus atau survey dilakukan, data kematian yang diperoleh dikenal sebagai current
mortality data.
Data kematian bentuk tidak langsung diperoleh melalui pertanyaan tentanf
survivorship golongan penduduk tertentu, misalnya anak, ibu, ayah, dan sebagainya.
Dalam kenyataan, data kematian yang sering dipakai khususnya di Indonesia ialah
data kematian bentuk tidak langsung, dari biasanya data-data survivorship anak.
Selain sumber di atas, data kematian untuk penduduk golongan tertentu disuatu
tempat kemungkinan dapat diperoleh dari rumah sakit, dinas pemakaman, kantor
poliisi lalu lintas, dan sebagainya. Beranekanta sumber data kematian ini juga
menjdai kendala dalam menghitung angka kematian suatu wilayah.

3. Mortalitas dan Pembangunan


Dinamika mortalitas yang terjadi pada suatu wilayah akan selalu terkait
dengan pola pembangunan yang diterapkan pada wilayah bersangkutan, Tingkat
mortalitas merupakan salah satu indicator yang digunakan untuk mengukur
keberhasilan pembangunan suatu wilayah. Mengacu pada tujuan Millennium
Development Goals (MDGs) yang inin dicapai pada akhir tahun 2015; terutama
tujuan ke-4 (menurunkan angka kematian anak), tujuan ke-5 (meningkatkan
kesehatan ibu), dan tujuan ke-6 (memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit
lainnya), secara langsung terkait dengan harapan turunnya tingkat moeralitas atau
dalam arti lain penduduk dapat hidup lebih lama dan sehat. Tujuan tersebut akan bisa
terealisasi tentu disinergikan secara bersama-sma dengan Sustainable Development
goals (SDGs) melalui berbagai program pembangunan yang dirancang oleh
pemerintah maupun badan-badan dunia. Sinergi itu penting karena SDGs pada
hakikatnya bertujuan, yaiut (1) dpat mengakhiri segala bentuk kemiskinan disemua
negara manapun; (2) mengakhiri segala bentuk kelaparan, mencapai ketahanan
pangan dan meningkatkan gizi dan mendorong pertanian secara berkelanjutan; dan (3)
menjamin adanya kehidupan yang sehat, serta mendorong kesejahteraan untuk semua
orang di dunia pada semua usia.
Sejak Perang Dunia ke-2, moralitas mengalami penurunan sangat cepat di berbagai
negara berkembang. Faktor penting yang menjadi penyebab utama penurunannya adalah
perkembangan inovasi pelayanan kesehatan masyarakat dan perbaikan sanitasi lingkungan.
Selain itu, cepatnya penurunan moralitas juga disebabkan oleh ditemukannya obat-obat
modern yang dapat diproduksi secara masal dengan harga yang murah dan raltif mudah untuk
diakses. Di Asia Tenggara, Seperti halnya Singapura dan Malaysia, angka kematian kasar
menurun begitu cepat.

Kasus Indonesia, penurunan moralitas tidak sama halnya dengan yang terjadi di
negara-negara tetangganya (Singapura dan Malaysia). Penurunan moralitas di Indonesia
relative lebih lambat dibandingkan Singapura dan Malaysia (Heligman, dalam Tukiran 2010).
Lambatnya penurunan moralitas di Indonesia disebabkan banyak factor, beberapa diantaranya
dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Strategi pembangunan kesehatan masih cenderung model kuratif yang menitik


beratkan pada “pengobatan” bagi yang sakit. Semestinya model ini harus segera
ditinggalkan dan beralih ke model preventif yaitu “mencegah” agar jangan sampai ada
yang jatuh sakit. Strategi preventif merupakan pilihan utama yang dilengkapi dengan
strategi kuratif.
2. Belum optimalnya peran Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) maupun
Puskesmas Pembantu dalam memberikan layanan kepada masyarakat.
3. Ketimpangan distribusi petugas kesehatan, tenaga dokter spesialis, dokter umum,
bidan, dan mantri serta petugas medis lainnya menumpuk di daerah perkotaan yang
banyak uangnya. Sementara itu, daerah pedesaan semakin tidak menarik bagi tenaga
medis.
4. Harga-harga obat modern semakin mahal, meskipun pemerintah telah memberikan
santunan kesehatan gratis bagi rumah tangga miskin.
5. Berbagai penyakit penyebab kematian yang mudah diberantas dan murah biayanya
(kurang gizi, diare, demam berdarah, tifus) belum selesai diberantas, sudah muncul
berbagai penyakit yang sulit diberantas dan mahal harganya (darah tinggi, jantung,
obesitas, diabetes, kanker).
6. Kestabilan persediaan bahana pangan yang rapuh, mudah dipengaruhi oleh musim
kemarau panjang dan banjir berkepanjangan sehingga menggagalkan panen.
Demikian pula resaknya sebagian besar jaringan irigasi primer, kelangkaan pupuk,
mahalnya harga pestisida serta bibit unggul. Kesemuanya berpengaruh terhadap
persediaan pangan dan kelaparan.

Preston (1975) mengemukakan bahwa sekarang ini, moralitas semakin peka terhadap
variasi tingkat pendapatan, terutama di negara-negara yang pendapatan nasionalnya rendah.
Dengan asumsi bahwa pengurangan kemiskinan merupakan inti pokok setiap penurunan
moralitas di negara-negara ini. Rencana Kerja Kependudukan Sedunia mencantumkan suatu
pernyataan yang mengimbau negara-negara di dunia bahwa ‘penurunan moralitas dapat
dicapai dengan perkembangan social dan ekonomi secara besar-besaran. Himbauan ini secara
tegas menunjukan bahwa penurunan moralitas suatu negara akan dapat dilakukan melalui
peningkatan keadaan social ekonomi penduduk negara bersangkutan.

Negara-negara sedang berkembang di Asia yang padat penduduknya seperti India,


Bngladesh, termasuk Indonesia, ada gejala bahwa tambahan harapan hidup yang diperoleh
lewat peningkatan kesehatan masyrakat menjadi semakin berkurang, dan turunya moralitas
pada masa depan mungkin akan sangat lambat karena kemiskinan. Hal ini mengidentifikasi
bahwa pengentasan kemiskinan adalah program tidak langsung akan berpengaruh terhadap
rendahnya moralitas dan tingginya harapan hidup.

Memerhatikan penjelasan tersebut diatas, program pembangunan yang dirancang


dengan tujuan menurunkan tingkat moralitas penduduk tidak hanya berfokus dalam bidang
kesehatan saja (preventif dan kuratif). Pembanguna harus dilakukan secara sistematik dan
bersama-sama secara berkesinambungan mencakup peningkatan dalam bidang ekonomi,
social, lingkungan dan sebagainya. Keberhasilan pembangunan dalam seluruh bidang
tersebut akan mempengaruhi tingkat moralitas penduduk menuju ke arah yang lebih rendah.

E. Rangkuman

Terdapat tiga keadaan vital yang masing – masing saling bersifat matually exclusive,
artinya keadaan yang satu tidak mungkin terjadi bersamaan dengan salah satu keadaan
lainnya. Tiga keadaan vital tersebut adalah lahir hidup (live birth), mati (death), dan lahir
mati (still birth). Mati adalah keadaan hilangnya semua tanda – tanda kehidupan secara
permanen yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Definisi tersebut menunjukkan
bahwa keadaan “mati” hanya bisa terjadi jika sudah pernah lahir hidup (live birth). Dalam
mortalitas still birth tidak dihitung sebagai peristiwa mati, yang dihitung hanya yang
tergolong death.

Terdapat sejumlah ukuran yang digunakan dalam mortalitas. Pertama, Cause Specific
Death Ratio (CSDR) atau Rasio Kematian Khusu menurut sebab kematian. CSDR
menunjukkan proporsi jumlah seluruh kematian yang disebabkan oleh sebab khusus, yang
kemudian berkembang menjadi konsep Angka Kematian Kasar atau Crude Death Rates
(CDR), yang menunjukkan jumlah kematian per 1.000 penduduk. Kedua, Age Specific Death
Rates (ASDR) atau Angka Kematian Menurut Umur merupakan ukuran mortalitas yang
menunjukkan jumlah kematian kelompok umur tertentu yang dinyatakan per 1.000 penduduk
kelompok umur bersangkutan.

Ketiga, Angka Kematian Bayi (IMR) menunjukkan jumlah kematian bayi per 1.000
kelahiran. Angka kematian bayi umumnya digunakan sebagai indikator yang menunjukkan
keadaan sosial, ekonomi dan demografi penduduk suatu wilayah. Keemoat, Angka Kematian
Ibu (Maternal Mortality Rates = MMR) menunjukkan proporsi ibu yang meninggal dalam
proses melahirkan selama setahun per 100.000 ibu.

Standardisasi mortalitas dilakukan jika ingin membandingkan tingkat kematian antara


dua penduduk yang berbeda struktur /distribusi umurnya atau karakteristik yang lainnya
(daerah desa – desa, pekerjaan, pendapatan, jenis kelamin, dan status kwin). Demografi
mengenal ada dua model standardisasi, yaitu Standardisasi Langsung (apabila telah tersedia
ASDR) dan Standardisasi Tidak Langsung (apabila tidak tersedia ASDR).

Pencatatan data mortalitas umumnya dilakukan melalui registrasi maupun survei dan
sensus penduduk. Kualitas data dari registrasi masih belum baik, karena sistem pencatatan
belum berjalan dengan baik. Hal tersebut menyebabkan data mortalitas masih mengandalkan
data yang bersumber dari survei dan sensus penduduk. Data kematian yang diperoleh melalui
sensus atau survei dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu: (1) bentuk langsung (direct
mortality data) ; (2) bentuk tidak langsung (indirect mortality data).

terdapat hubungan negatif antara motalitas and pembangunan. Semakin baik


pembangunan dilakukan berkecenderungan akan menurunkan nortalitas. Di negara – negara
maju yang pembangunannyasudah berhasil, angka mortalitas sudah sangat rendah, sementara
sebaliknya sebebasnya di negara – negara sedang berkembang. Faktor penting yang menjadi
penyebab utama penurunannya adalah perkembangan inovasi pelayanan kesehatan
masyarakat dan perbaikan sanitasi lingkungan. Selain itu, cepatnya penurunan mortalitas juga
disebabkan oleh ditemukan obat – obatan modern yang dapat diproduksi secara masal dengan
harga yang murah dan relatif mudah untuk di akses.

Anda mungkin juga menyukai