A. Pendahuluan
Pengkajian terhadap materi Penduduk Bumi dan Perkembangannya diawali
dengan mengkronologiskan perkembangan penduduk dunia dari waktu ke waktu.
Jawaban atas mengapa perkembangan itu terjadi dapat di identifikasi dari meteri
Penyebab dari Perkembangan Penduduk.
Variasi dari dinamika dan mobilitas penduduk dunia dalam arungan waktu
digambarkan dalam wujud peta, sehingga dalam skala dunia perkembangannya dari
waktu ke waktu menjadi mudah untuk dilihat. Selain itu, perkembangan penduduk
Indonesia juga sangat urgen untuk dijabarkan. Hal ini dapat memberikan gambaran
yang komprehensif bagaimana pembangunan kependudukan yang terjadi di Indonesia
dari waktu ke waktu.
Seiring dengan perkembangan bumi sebagai ruang huni manusia dan kemajuan
peradaban manusia sebagai penghuni bumi, perpindahan yang dilakukan semakin
jauh. Proses perpindahan (migrasi) yang dilakukan dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu yang berjalan lambat dan yang berjalan cepat. Proses migrasi yang berjalan
lambat adalah proses migrasi yang didasarkan pada proses perkembangan manusia itu
sendiri, seperti kebutuhan untuk mencari daerah yang lebih aman, subur, dan lebih
mudah memperoleh makanan untuk mempertahanan hidup seperti yang dilakukan
oleh manusia purba. Selain itu, mata pencaharian berburu dan meramu juga menjadi
salah satu faktor yang mendorong manusia selalu berpindah dari satu tempat ke
tempat lainnya dan hidup dalam kelompok-kelompok, karena mengikuti gerak
binatang buruannya.
Proses migrasi yang berlangsung cepat dan mendadak sebagaimana halnya yang
terjadi pada masyarakat modern, adalah keharusan mencari tempat tinggal baru
karena tempat yang lama telah hancur akibat bencana alam, kelaparan, perang,
penyakit menular, dan sebagainya. Pada msa itu proses migrasi yang berlangsung
cepat lebih dominan disebabkan oleh faktor iklim di bumi yang semakin menghangat,
sehingga beberapa daratan menjadi tenggelam.
Berkenaan dengan penduduk bumi pada masa berpinda-pindah, Dicken dan Pitts
(1970) membagi perkembangan kehidupan manusia ke dalam tiga periode sebagai
berikut.
c. Pada periode tersebut manusia telah menempati daerah Afrika bagian timur dan
timur laut, Asia Barat Daya, Cina dan Jawa. Tidak banyak bukti yang dapat
dipakai untuk menunjukkan bahwa manusia telah mencapai tempat lainnya.
b. Sampai kira-kira 50.000 SM, wilayah yang dijadikan ruang huni (rumah tempat
bermukim) manusia masih terbatas pada daerah lintang rendah.
c. Sebelum periode ini, yaitu pada masa interglasial diperkirakan manusia sudah
mencoba bergerak ke daerah iklim dingin di Eropa dan Asia bagian tengah,
namn gagal. Hal ini disebabkan karena pada masa interglasial iklim semestinya
memberi kemungkinana pada manusia untuk hidup di daerah iklim dingin
ternyata jauh dari perkiraan. Longsoran es yang kembali terjadi pada masa
interglasial menyebabkan manusia mengalami kesulitan untuk hidup, karena
belum mampu menyediakan pakaian, rumah tempat tinggal dan peralatan untuk
menghadapi ekstremnya iklim. Selain itu, manusia juga diperkirakan mengalami
kesulitan untuk membuat api di daerah dingin yang kondisinya basah. Keadaan
tersebut tentu sangat menyulitkan manusia untuk menghadapi dinginnya iklim
sepanjang tahun.
d. Seiring dengan mundurnya lapisan es yang kemudian hanya menutupi wilayah-
wilayah lintang tinggi, manusia pun telah mampu mengembangkan alat-alat
berburu. Dengan demikian, aktivitas berburu yang dilakukan manusia semakin
meningkat. Aktivitas berburu uang dilakukan juga menyasar pada binatang-
binatang besar yang dilakukan secara berkelompok.
Walaupun banyak migrasi yang terjadi pada periode ini, namun migrasi yang
dilakukan adalah migrasi dalam skala kecil. Keterbatasan metode dan teknologi di
bidang pelayaran menyebabkan migrasi tidak dapat dilakukan secara besar-besaran,
sehingga proses migrasi berjalan lambat. disamping itu, selama proses migrasi
terdapat juga beberapa suku bangsa yang punah, atau terpaksa meninggalkan tempat-
tempat yang telah didudukinya.
Pada masa ini, tanah yang subur dan mengandung sumber-sumber yang bernilai
bagi kehidupan manusia banyak mengundang terjadinya invasi. Romawi sebagai salah
satu kekaisaran yang besar pad amasa itu menjadi pusat-pusat kegiatan migrasi.
Orang-orang yang masuk (migran) ke Romawi dapat berasal dari berbagai daerah
yang sudah terkenal, dan beberapa di antaranya adalah migran terpaksa sebagai budak
dan tawanan perang. Sedangkan orang-orang yang meninggalkan Romawi pada masa
itu terdiri dari para tentara, pegawai administrasi yang ditempatkan ke daerah-daerah
pinggiran dalam lingkup kekuasaan Romawi, di antaranya ke Afrika, Asia, Siria, dan
Mesopotania.
Pada masa 1000 tahun pertama awal masehi (Tahun 1000), migrasi besar-besaran
masih belum terjadi, tetapi migrasi berskala kecil masih tetap berlanjut. Orang-orang
Jerman masih menempati Berlin. Orang-orang Rusia menempati Novgorod dan
Rostov, belum menempati Moskwa, dan belum ada orang Hungaria yang menempati
lembah Hungaria. Orang-orang kulit putih belum bermigrasi ke dunia baru.
Fenomena mobilitas penduduk yang menarik terjadi pada 500 tahun berikutnya
(1000 – 1500). Pada masa ini terjadi invasi bangsa Mongol ke Eropa, sehingga
membuka penjajahan ke Timur Dekat. Hal tersebut merupakan tonggak pengenalan
peradaban timur oleh dunia barat. Pada masa ini juga terjadi migrasi bangsa Slavia
dari daerah asalnya di sungai Ordet dan Vistula ke daerah selatan dan timur.
Selain itu, pengembangan rute timur laut menjadi tantangan bagi bangsa Rusia.
Pada zaman modern, yaitu sejak tahun 1933 bangsa Rusia telah banyak melakukan
usaha dalam mengembangkan rute laut di bagian utara Siberia. Sekarang ini, rute dari
Laut Putih ke Sungai Ob dan Yenisey dan dari Laut Bering ke Sungai Kolima sudah
secara teratur dimanfaatkan untuk perdagangan di musim panas. Rute tersebut
semakin remain dengan adanya jalan yang menghubungkan Murnmansk ke
Vladivostok.
Rute barat laut dipelopori oleh bangsa Prancis (eksplorer pertama) dengan
dikerahkannya tiga pelayaran ke teluk St Lawrence oleh Cartier untuk mencari jalan
pintas ke daratan Cina, yaitu tahun 1535, tahun 1536, dan tahun 1541. Walaupun
gagal menemukan jalan pintas ke Asia (Cina), namun pelayaran tersebut memiliki
nilai yang sangat penting. Dengan dikenalnya dataran mendorong munculnya
pemukiman orang-orang Prancis di Canada bagian timur.
Inggris dengan pimpinan Probisher berlayar dari Thames pada tanggal 7 Juni
1576, dan ini merupakan satu perjalanan penting untuk Rute Barat Laut terkait dengan
orang-orang Eskimo. Pada saat Pobisher melewati Kepulauan Shetland, dia tidak bias
mendarat karena tertutupi es. Akhirnya Pobisher masuk ke teluk yang besar di ujung
selatan Baffinland. Di sanalah Ponisher menemukan orang-orang Eskimo.
Eksplorasi Rute Barat LAut dilanjutkan oleh John Davis dengan mengambil jalan
melalui Dartmouth pada tanggal 7 Juni 1585. Eksplorasi dilakukan pada wilayah yang
sangat luas yaitu antara Greenland dan Baffinland. Pada pelayaran yang kedua Davis
telah dapat membawa Sealskin yang nilainya melebihi biaya ekspediasinya. Kemudian
tahun 1631 dan tahun 1632 Fox dan James melanjutkan pencarian Rute Barat Laut,
namun rintangan kabut dan es menjadikan kendala untuk melakukan eksplorasi
sehingga hanya dapat dilakukan di Teluk Hudson.
2. Eksplorasi Darat
Eksplorasi melalui darat lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan melalui
pelayaran samudra (laut). Beberapa perjalanan darat di antaranya:
a. Di Asia, perjalanan Marco Polo merupakan perjalanan darat yang sangat
menonjol dalam mencakup daerah yang sangat luas, yaitu sampai di daratan
Cina;
b. Di Siberia, dengan adanya orang-orang yang melakukan perjalanan melalui
selat Bering pada zaman itu, dan semenjak orang-orang Eropa mengetahui
keberadaan selat antara Alaskan dan Siberia, menjadikan Selat Bering wilayah
yang menarik. Eksplorasi wilayah Bering merupakan salah satu dari sekian
banyak eksplorasi darat yang panjang yang kemudian diikuti dengan
eksplorasi laut di Samudra Pasifik. Perhatikan Gambar 5.3!
(Sumber Gambar : http://saripedia.wordpress.com/tag/totaliter,2013)
Gambar 5.3 Beberapa Daerah Vital dalam eksplorasi di Dunia Baru
d. Di Amerika Utara, perjalanan darat pertama ditujukan pada satu jalur sungai
yang melewati kontinen sebagai sarana untuk mencapai Asia. Eksplorasi yang
dilakukan oleh Champlain sampai pada penemuan dan pemetaan Great Lake.
Lebih jauh ke selatan, De soto mendarat di Florida dan berjalan kea rah barat
menyebrangi Sungai Missisipi. Di Mexico, Cortez melakukan perjalanan
sendirian sampai di Guetamala, dan menggagas serangkaian ekspedisi di barat
laut yang sampai pada eksplorasi darat California dan barat daya Amerika
Serikat. Coronado yang menjadi New Mexico pada waktu itu merupakan suatu
daerah yang sangat sluas sehinga memasuki wilayah Great Plain. Grand
Canyon dan Coorado diketemukan pada saat rombongan tersebut dalam
perjalanan kembali. Lewis dan Clark, walaupun bukan orang pertama yang
menyebrangi kontinen, eksplorasi mereka memiliki pengaruh yang menonjol
dalam sejarah berikutnya, karena publikasi tentang ekspedisinya, dan
meluasnya pemukiman kea rah barat Benua Amerika.
Dampak dari eksplorasi yang terjadi selama abad XV sampai abad XVIII
memberikan implikasi yang positif terutama pada informasi tentang geografi yang
semakin meluas, di antaranya sebagai berikut.
1. Data dari hasil berbagai pelayaran dan eksplorasi yang telah dilakukan dikemas
secara baik untuk pembuatan peta. Teknik pembuatan peta pada abad XVII dan
XVIII mendapatkan kemajuan yang signifikan. Peta yang dibuat pertama kali
adalah berdasarkan hasil survey dengan tingkat ketelitian yang sudah tinggi. Di
samping itu juga sudah dikembangkan teknik baru dalam representasi data, dan
juga sudah dibuat proyeksi peta untuk tujuan-tujuan khusus. Untuk kepentingan
navigasi, Mercator pada tahun 1569 mempublikasikan peta hasil karyanya untuk
kepentingan khusus navigasi. Kemajuan yang begitu pesat dalam bidang
pembuatan peta memberikan pengaruh yang kuat pada geografi, baik geografi
fisik maupun manusia.
2. Banyaknya informasi yang dihasilkan dari pelayaran dan perjalanan berpengaruh
langsung dan penting terhadap organisasi dan isi pengetahuan geografi. Hasil
eksplorasi juga merupakan bagian yang penting bagi perkembangan pengetahuan
geografi, terutama Geografi Fisik. Penduduk asli diteliti secara dalam untuk
mengetahui perbedaan fisik dan kebiasaannya, dan hal tersebut memberikan
sambungan yang penting bagi tumbuh dan berkembangnya geografi manusia.
Kelompok orang Aborigin yang dijumpai di berbagai tempat di muka bumi,
kehidupannya seperti orang premitif yang hidup pada zaman neolotik, walaupun
mereka telah hidup pada zaman modern. Contoh-conth yang menonjol dari
kelompok-kelompok orang tersebut, di ataranya (1) orang asli Australia; (2)
orang-orang Tasmania; (3) orang-orang Pigmy di Semenanjung Melayu dan
hutan-hutan Congo Afrika; dan (4) kecuali bangsa Aztec, Inca dan Maya,
kebanyakan bangsa-bangsa di dunia baru (Amerika) adalah amat primitif dalam
periode discovery, seperti bangsa Yaghan di pantai selatan Cihili, bangsa Mexico,
dan bangsa Seri di Pantai Sonora dan Pulau Yiborou. Demikian juga orang-orang
Indian California dan Oregon.
E. Penduduk Bumi pada Masa Migrasi Besar-besaran
Penduduk dunia pada abad pertengahan diperkirakan sekitar 400 juta penduduk
yang tersebar, di Eropa 80 juta jiwa (20%), di Asia 240 juta jiwa (59%), di Amerika
12 juta jiwa (3%), di Afrika 70 juta jiwa (17,5%), dan di Oceania 2 juta jiwa (0,5%).
Lembah Sungai Nil, Tigris, Euprhate, Indus, dan dataran rendah Asia Tenggara
merupakan daerah dengan penduduk paling padat di dunia. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pada masa itu kehidupan manusia adalah bersifat agraris, sehingga kebutuhan
tanah adalah faktor utama yang menjadi pertimbangan manusi untuk bermukim.
Penduduk dunia pada zaman itu dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok
besar, yaitu Caucasoid, Mongoloid, dan Negroid. Caucasoid mendominasi Eropa,
Asia Barat Daya, Afrika Utara, dengan ciri-ciri kulit putih, berambut lurus atau
berombak, berdagu penuh, tinggi dan hidungnya mancung. Suku bangsa Negloid
dengan ciri-ciri kulit hitam, rambut keriting dan bibir agak tebal menempati bagian
selatan Sahara Tengah, Selatan India, dan Irian di Asia Tenggara. Suku bangsa
Mongoloid dengan ciri-ciri kulit kekuning-kuningan, mata sipit, dan rambut lurus,
pada Tahun 1500 menempati daerah yang paling luas, mencakup bagian utara dan
timur Asia, yaitu dari bagian utara dan timur garis yang membentang mulai ujung
utara pegunungan Ural sampai delta Sungai Gangga. Kelompok Mongoloid ini juga
terdapat di belahan utara dan selatan Amerika (pada periode ini orang kulit putih
belum ada di Amerika).
Migrasi besar-besaran di dunia mulai terjadi pada abad pertengahan (sekitar tahun
1500). Arah migrasi dunia pada masa itu adalah menuju ke Amerika Utara dan
Selatan. Sifat migrasi pada masa itu adalh intercontinental, internasional dan internal.
Migrasi dengan sifat-sifatnya tersebut secara bertahap terus terjadi, di antaranya yang
menonjol adalah migrasi dari daratan Eropa ke Amerika, migrasi dari daratan Eropa
ke Afrika, Australia, dan New Zealand, di samping migrasi di intern di daratan Eropa
dan di beberapa belahan dunia, serta migrasi orang-orang Yhudi ke Palestina.
Tabel 5.1 sebaran penduduk indonesia menurut provinsi berdasarkan sensus penduduk
2000 dan 2010
Penduduk tahun
No. Provisi 2000 2010 r*
(%)
N % N %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Aceh 3 930 905 1.90 4 494 410 1.89 1.34
2 Sumatera utara 11 649 655 5.65 12 982 204 5.46 1.08
3 Sumatera barat 4 248 931 3.06 4 846 909 204 1.32
4 Riau 4 957 627 2.40 5 538 367 2.33 1.11
5 Jambi 2 413 846 1.17 3 092 265 1.30 2.48
6 Sumatera selatan 6 899 675 3.34 7 450 394 3.14 0.77
7 Bengkulu 1 567 432 0.76 1 715 518 0.72 0.90
8 Lampung 6 741 439 3.27 7 608 405 3.20 1.21
9 Kep.Bangka belitung 900 197 0.44 1 223 296 0.51 3.07
10 Kep. Riau - 0.00 1 679 163 0.71 -
11 DKI jakarta 8 389 443 4.07 9 607 787 4.04 1.36
12 Jawa barat 35 729 537 17.31 43 053 732 18.12 1.86
13 Jawa tengah 31 228 940 15.13 32 382 657 13.63 0.36
14 DI yogyakarta 3 122 268 1.51 3 457 491 1.45 1.02
15 Jawa timur 34 783 640 16.85 37 476 757 15.77 0.75
16 Banten 8 098 780 3.92 10 632 166 4.47 2.72
17 Bali 3 151 162 1.53 3 890 757 1.64 2.11
18 Nusa tenggara barat 4 009 261 1.94 4 500 212 1.89 1.16
19 Nusa tenggara timur 3 952 279 1.92 4 683 983 1.97 1.70
20 Kalimantan barat 4 034 198 1.96 4 395 983 1.85 0.86
21 Kalimantan tengah 1 857 000 0.90 2 212 089 0.93 1.75
22 Kalimantan selatan 2 985 240 1.45 3 626 616 1.53 1.95
23 Kalimantan timur 2 455 120 1.19 3 553 143 1.50 1.95
24 Sulawesi utara 2 012 098 1.03 2 270 596 0.96 1.21
25 Sulawesi tengah 2 218 435 1.07 2 636 009 1.11 1.72
26 Sulawesi selatan 2 218 435 3.19 8 034 776 3.38 -0.03
27 Sulawesi tenggara 1 821 284 0.88 2 232 586 0.94 2.04
28 gorongtalo 835 044 0.40 1 040 164 0.44 2.20
29 Sulawesi barat - 0.00 1 158 651 0.49 -
30 Maluku 1 205 539 0.58 1 533 506 0.65 2.41
31 Maluku utara 785 059 0.38 1 038 087 0.44 2.79
32 Papua barat - 0.00 760 422 0.32 -
33 Papua 2 220 934 1.08 2 833 381 1.19 2.44
Indonesia 206 264 595 100 237 641 326 100 1.42
Gambar 5.5 lima provinsi di indonesia dengan konsentrasi penduduk lebih dari 10 juta jiwa
penduduk dan kurang dari 1,5 juta jiwa
Fenomena dalam gambar 5.5 menunjukkan bahwa sebaran penduduk indonesia adalah
tidak merasa. Berkenaan dengan itu, sesuai dengan prinsip dalam migrasi ‘ada gula ada
semut’ maka daerah-daerah di luar jawa penting untuk menciptakan ‘gulanya. Sumber daya
alam di luar jawa sangat berlimpah untuk di jadikan ‘gula’, sehingga didatangi ‘semut’.
Namun untuk itu, sarana dan prasarana pendukung (infrastruktur) perlu diciptakan, selain
iklim berusaha yang kondusif.
Pemerintah indonesia dalam menjadikan daerah luar jawa sebagai ‘gula’ telah
melakukan berbagai usaha melalui pembangunan yang dicanangkan. Pembangunan yang
terjadi di indonesia juga berdampak pada konsentrasi penduduk kota daerah kota
dibandingkan di desa. Pertumbuhan penduduk kota di indonesia diperkirakan dominan
disebabkan oleh migrasi desa-kota dan reklasifikasi, baik karena perluasan daerah kota
maupun berubahnya desa menjadi kota. Pembangunan yang dilakukan di indonesia telah
menyebabkan desa berubah menjadi kota, sehingga penduduknya juga menjadi penduduk
kota. Berkenaan dengan perkembangan proporsi penduduk kota dan desa di indonesia dapat
dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 proporsi penduduk antara desa dan kota dalam kurun waktu 1995-2050
Persentase (%) penduduk tahun
Daerah 1995 2000 2005 2010 2050
Desa 64 58 52 46 33
Kota 36 42 48 54 67
Total 100 100 100 100 100
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 penduduk indonesia yang tinggal di kota
sudah mencapai lebih dri 50%. PBB bahkan memprediksikan pada tahun 2050 nanti,
penduduk indonesia yang tinggal di kota mencapai 67% dari total penduduknya. Jika
perkembangan kota terus terjadi, tidak mustahil bebrapa pulau di indonesia akan menjadi
pulau kota atau ekumenopolis (bukan megapolis).
Istilah megalopolis berasal dari seorang geograf bernama gottmann untuk menyebut
gabungan raksasa sejumlah metropolis. Contohnya sebagaimana yang terdapat di amerika
serikat, eropa barat laut, dan jepang. Penggabungan itu didefinisiakn sebagai situasi
konsentrasi penduduk yang berjumlah lebih dari 25 juta jiwa yang berdesak-desakan di kota
untuk mencari kehidupan di perkotaan. Megalopolis diamerika serikat panjangnya mencapai
650km (dari winghiston ke boston), di eropa barat laut mencapai 825km (dari london ke
hamburg), dan di jepang mencapai 480 km (dari tokyo ke osaka). Di negara-negara sedang
berkembang, karena lokasi metropolisnya tersebar berjauhan, kemungkinan yang terjadi
adalah ekumenopolis. Polanya, satu metropolis dikerumuni kota-kota besar dan kecil yang
tersebar di daerah agraris. Di jawa, kota jakarta dan surabaya merupakan dua kota metropolis.
Jika kedua metropolis tersebut menyatu dengan kota-kota besar dan kecil yang
mengelilinginya, sumbu jakarta surabaya panjangnya mencapai 650 km, sehingga jawa
menjelma menjadi pulau kota (ekumenopolois).
Berkenaan dengan perkembangan penduduk indonesia, hasil sensus menunjukkan secara
relatif adanya penurunan pertumbuhan penduduk dari waktu ke waktu. Periode 1971-1980
pertumbuhan penduduk indonesia mencapai 2,31%, periode 1980-1990 menururn menjadi
1,98% dan menurun menjadi 1,49% pasa periode 1990-2000. Pada periode 200-2010
pertumbuhan penduduk indonesia relatif tetap, yaitu 1,49%. Walaupun secara relatif
pertumbuhan penduduk indonesia mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah
penduduk indonesia selalu bertambah. Perhatiakan gambar 5.6
Berdasarkan hasil sensus penduduk yang telah dilakukan setiap 10 tahun sekali
menunjukkan perkembangan jumlah penduduk indonesia. Tahun 1961 jumlah penduduk
indonesia masih berada di bawah seratus juta jiwa, yaitu 97,1 juta jiwa. Pada tahun 1971
meningkat menjadi 119,2 juta jiwa. Pada tahun1980 meningkat menjadi 147,5 juta jiwa dan
tahun 1990 menjadi 178,6 juta jiwa. Pada tahun 2000 penduduk indonesia adalah sudah
melampaui dua ratus juta, yaitu 2005, 1 juta jiwa dan meningkat menjadi 237,6 juta jiwa pada
tahun 2010.
Keberhasilan indonesia dalam menekan laju pertumbuhan penduduknya memang
sudah mendapat pengakuan internasional, terutama melalui penurunan fertilitas dengan
program keluarga berencana yang sekarang sudah menjadi gerakan keluarga berencana.
Banyak negara yang belajar ke indonesia untuk menurunkan fertilitas di negaranya masing-
masing. Namun demikian, dalam menekan angka mortalitas keberhasilannya belum seperti
menekan angka kelahiran. Angka kematian indonesia masih yang tertinggi di ASEAN.
Sementara untuk pemerataan sebaran penduduk dengan transmigrasinya juga belum
menunjukkan keberhasilan. Penyebaran penduduk indonesia sebagaimana yang telah
dikemukakan masih timpang, yaitu sebagian besar (52%) tersebar hanya di pulau jawa.
Tabel 5.2 Proporsi Penduduk Antar Desa dan Kota dalam Kurun Waktu 1995-2050
Desa 64 58 52 46 33
Kota 36 42 48 54 67
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 penduduk Indonesia yang tinggal di
kota sudah mencapaai lebih dari 50%. PBB bahkan memprediksikan pada tahun 2050 nanti,
penduduk Indonesia yang tinggal di kota mencapai 67% dari total penduduknya. Jika
perkembangan kota terus terjadi, tidak mustahil beberapa pulau di Indonesia akan menjadi
pulau kota atau ekumenopolis (bukan megapolis).
Istilah megapolis berasal dari seorang geograf bernama Gottman untuk menyebutkan
gabungan raksasa sejumlah metropolis. Contohnya sebgaimana yang terdapat di Amerika
Serikat, Eropa Barat Laut, dan Jepang. Penggabungan itu didefinisikan sebagai situasi
konsentrasi penduduk yang berjumlah lebih dari 25 juta jiwa yang berdesak-desakan di kota
untuk mencapai kehidupan di perkotaan. Megapolis di Amerika Serikat panjangnya mencapai
650 km (dari Washington ke Boston), di Eropa Barat Laut mencapai 825 km (dari London ke
Hamburg), dan di Jepang mencapai 480 km (dari Tokyo ke Osaka). Di negara-negara sedang
berkembang, karena lokasi metropolisnya tersebar berjauhan, kemungkinan yang terjadi
adalah ekumenupolis. Polanya, satu metropolis dikerumuni kota-kota besar dan kecil yang
tersebar di daerah agraris. Di Jawa, kota Jakarta dan Surabaya merupakan dua kota
metropolis. Jika kedua metropolis tersebut menyatu dengan kota-kota besar dan kecil yang
mengelilinginya, sumbu Jakarta-Surabya panjangnya mencapai 650 km, sehingga Jawa
menjelma menjadi pulaukota (ekumenupolis).
Berdasarkan hasil sensus penduduk yang telah dilakukan setiap 10 tahun sekali
menunjukkan perkembangan jumlah penduduk Indonesia. Tahun 1961 jumlah penduduk
Indonesia masih berada di bawah seratus juta jiwa, yaitu 97,1 juta jita. Pada tahun 1971
meningkat menjadi 119,2 juta jiwa. Pada tahun 1980 meningkat menjadi 147,5 juta jiwa dan
tahun 1990 menjadi 178,6 juta jiwa. Pada tahun 2000 penduduk Indonesia sudah melampaui
dua ratus juta, yaitu 205,1 juta jiwa dan meningkat menjadi 237,6 juta jiwa pada tahun 2010.
H. Rangkuman
Perkembangan penduduk dunia secara kronologis dari waktu ke waktu secara garis
besarnya dapat dikelompokkan menjadi lima (5). Pertama, Penduduk Bumi pada Masa
Berpindah-pindah diawali pada 1.000.000 SM – 500.000 SM. Penduduk pada masa ini masih
dikategorikan binatang yang berbudaya. Tempat asal mula manusia berkembang adalah dari
daerah iklim tropik basah sampai ke daerah stepa padang pasir Asia Barat Daya dan daerah
iklim sedang di China, serta telah melintasi sekurang-kurangnya satu jembatan darat. Periode
selanjutnya, 500.000 SM – 20.000 SM dengan mundurnya lapisan es dan dikembangkannya
alat-alat berburu, jangkauan migrasi yang lebih jauh, yaitu sampai ke seluruh Asia dan
Afrika, serta Australia, dan juga Amerika melalui selat Bering, namun masih terbatas pada
wilayah kintang pertengahan. Periode 20.000 SM – 5.000 SM manusia sudah hidup
berkelompok dan teknologi pelayaran dengan perahu-perahu kecil sudah berkembang. Hal
menyebabkan migrasi tidak hanya lewat darat tetapi juga lewat laut, seperti migrasi dari
daratan Asia Tenggara ke Filipina, dari Asia ke Jepang, dari Asia Kecil ke Ciprus, dan juga
ke pulau-pulau seperti Madagaskar, Sicilia, dan Corsika.
Kedua, Penduduk Bumi pada Masa Migrasi Terbatas (5000 SM – 100 SM). Pada
masa ini sistem pertanian sudah dikenal walaupun kehidupan nomaden masih mendominasi.
Migrasi sudah dilakukan menuju ke semua kontinen. Migrasi melalui pelayaran samudra juga
sudah dilakukan sampai pada penduduk daerah yang letaknya jauh, seperti New Zealand,
kepulauan Pasifik Selatan, dan Kepulauan Hawai. Namun demikian, migrasi yang dilakukan
masih dalam kelompok-kelompok kecil.
Ketiga, Penduduk Bumi pada Masa Penemuan Daerah-daerah Baru. Ciri masa ini
adalah ekspedisi yang dilakukan pelaut-pelaut berkebangsaan Eropa, yang dipelopori oleh
orang-orang Portugis untuk mencari daerah-daerah baru. Hal ini sejalan dengan
perkembangan teknologi yang sudah bisa membuat bagian tengah kapal dari baja, sehingga
dapat lebih melawan angin. Pada masa ini, mobilitas manusia yang menonjol adalah
ditemukan India, Indonesia, dan Amerika. Selain itu, pemetaan juga sudah mengalami
kemajuan, sehingga wilayah-wilayah baru yang ditemukan dapat dipetakan dengan lebih
baik.
Keempat, Penduduk Bumi pada Masa Migrasi Besar-Besaran. Penduduk dunia pada
zaman itu dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu, Caucasoid, Mongoloid,
dan Negroid. Caucasoid mendominasi Eropa, Asia Barat Daya, Afrika Utara. Negroid
menempati bagian selatan Sahara Tengah, Selatan India, dan Irian di Asia Tenggara.
Mongoloid mempati daerah yang paling luas, mencakup bagian Utara dan Timur Asia yaitu
dari bagian utara dan timur garis yang membentang mulai ujung utara pegunungan Ural
sampai delta Sungai Gangga. Kelompok Mongolid ini juga terdapat di belahan utara dan
selatan Amerika (pada periode ini orang kulit putih belum ada di Amerika). Migrasi besar-
besaran di dunia mulai terjadi pada abad pertengahan (sekitar tahun 1500). Arah migrasi
dunia pada masa itu adalah menuju ke Amerika Utara dan Selatan. Sifat migrasi pada masa
itu adalah interkontinental, internasional dan internal. Migrasi dengan sifat-sifatnya tersebut
secara bertahap terus terjadi, diantaranya yang menonjol adalah migrasi dari daratan Eropa ke
Amerika, migrasi dari daratan Eropa ke Afrika, Autralia, dan New Zealand, di samping
migrasi di inter di daratan Eropa dan di beberapa belahan dunia, serta migrasi orang-orang
Yahudi ke Palestina.
KelimaI, Penduduk Bumi pada abad XXI. Hampir semua negara telah memasuki
proses modernisasi dalam kehidupan masyarakatnya, terutama pada aspek-aspek kehidupan
ekonomi yang kemudian merambah ke aspek-aspek sosial, politik, dan budaya, sehingga
kualitas hidup pun meningkat. Namun, proporsi persebaran penduduk dunia perubahannya
tidak begitu besar. Sebagian besar penduduk dunia masih menempati daratan Asia (60,4%),
baru kemudian disusul oleh Afrika ( 14,5%), Amerika (13,6%), eropa (10,9%), dan Autralia
(0,5%).
Jumlah penduduk Indonesia dalam enam kali sensus terus mengalami peningkatan,
tetapi dengan pertumbuhan yang menurun. Tahun 1961 jumlah penduduk Indonesia masih
berada di bawah seratus juta jiwa, yaitu 07,1 juta jiwa. Pada tahun 1971 meningkat menjadi
119,2 juta jiwa. Pada tahun 1980 meningkat menjadi 147,5 juta jiwa dan tahun 1990 menjadi
178,6 juta jiwa. Pada tahun 2000 penduduk Indonesia sudah melampaui dua ratus juta, yaitu
205,1 juta jiwa dan meningkat menjadi 237,6 jiwa pada tahun 2010.
I. Soal Latihan
1. Jelaskan secara kronologis perkembangan penduduk dunia dari waktu ke waktu!
2. Identifikasi faktor penyebab dari perkembangan penduduk tersebut!
3. Jelaskan melalui peta perkembangan penduduk dunia dalam arungan waktu!
4. Buatlah analisis sederhana tentang perkembangan penduduk Indonesia berdasarkan
data sensus yang telah Saudara kumpulkan!
BAB 6
MORTALITAS DAN PEMBANGUNAN
A. Pendahuluan
Kehidupan di dunia secara pasti diawali dengan kelahiran dan pasti akan diakhiri dengan
kematian. Aspek keruangan dari mortalitas merupakan salah satu objek kajian dalm geografi
penduduk. Berkenaan dengan itu, sebelum sampai pada pengkajian aspek-aspek keruangan
dari mortalitas, pada bab ini penting terlebih dahulu untuk memberikan orientasi tentang
konsep dasar mortalitas secara demografi.
Pemahaman terhadap apa yang dimaksud dengan mortalitas melalui materi Konsep Dasar
Mortalitas merupakan langkah awal untuk dapat mengikuti pembahasan selanjutnya.
Pengukuran Mortalitas yang disertai dengan pengimplementasiannya merupakan materi yang
secara khusus memberikan kemampuan untuk dapat menghitung besaran peristiwa mati yang
terjadi disuatu wilayah, sehingga variasi dan sebaran mortalitas antar wilayah akan dapat
digambarkan dengan lebih jelas. Sementara, materi Sumber dan Kualitas Data Mortalitas
menjabarkan dari mana saja data tentang mortalitas yang dapat diperoleh dan bagimana
kualitasnya.
Bab ini jua dilengkapi dengan pembahasan tentang Hubungan Moortalitas dengan
Pembangunan. Pembahasan ini dimaksudkan untuk memberikan landasan untuk menganalisis
mortalitas dalam kaitanyya dengan pembangunan suatu wilayah, terutama dalam
meningkatkan kualitas kehidupan penduduknya.
Konsep mati sangat penting dipahami untuk mendapatkan data kematian yang benar.
Walaupun ilmu kedokteran telah maju pesat, kadang kala sulit membedakan keadaan mati
dan keadaan hidup secara klinis. Berkenaan dengan itu, pengertian menjadi penting untuk
dikonsepkan, sehingga tidak terjadi perbedaan penafsiran tentang kapan seorang dikatakan
mati.
Utomo (1983) mengemukakan bahwa terdapat tiga keadaan vital yang masing-masing
saling bersifat mutually exclusive, artinya keadaan yang satu tidak mungkin terjadi bersamaan
dengan slah satu kejadian lainnya. Tiga keadaan vital tersebut adalah lahir hidup (live birth),
mati (death), dan lahir mati (still birth), United Nation, dan World Health Organization
mendefinisikan mati adalah keadaan menghilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara
permanen yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Definisi tersebut menunjukkan
bahwa keadaan “mati” hanya bisa terjadi jika sudah pernah lahir hidup (live birth). Jadi,
keadaan mati selalu didahului dengan keadaan hidup, sehingga keadaan mati tidak mungkin
ada kalau tidak pernah hidup.
United Nation dan World Health Organization mendefinisikan lahir hidup adalah
peristiwa keluarnya hasil kensepsi dari rahim seorang ibu secara lengkap tanpa memandang
lamanya kehamilan setelah keluar dari rahim ibunya. Hasil konsepsi menunjukkan tanda-
tanda kehidupan, seperti berapas, dennyut jantung, denyut tali pusat, atau gerakan-gerakan
otot, tanpa memandang apakah tali pusat sudah dipotong atau belum. Sedangkan lahir mati
adalah peristiwa menghilangnya tanda-tanda kehidupan dari hasil konsepsi sebelum hasilnya
dikeluarkan dari rahim ibunya, termasuk di dalamnya still birth dan abortus.
Mengacu pada konsep mati dan lahir hidup maka secara demografi lahir mati tidak
dimasukkan dalam mati maupun hidup. Lahir mati tidak dihitung sebagai peristiwa mati
dalam deografi.
2. Pengukuran Mortalitas
Mortalitas menyebabkan penduduk suatu daerah menjadi berkurang dan umumnya dikaitkan
dengan tingkat kesejahteraan penduduk suatu wilayah. Gambaran angka-angka kematian
menjadi bahan yang sangat penting untuk mempelajari masalah-masalah kependudukan
dalam suatu wilayah, seperti keadaan social ekonomi penduduk, sebab-sebab kematian,
hubungannya dengan peristiwa-peristiwa kependudukan (kelahiran,pertumbuhan penduduk),
dan sebagainya. Informasi tentang kematian akan sangat dibutuhkan bagi suatu negara
khususnya untuk melahirkan kebijaksanaan-kebijaksanaan, terutama dalam pelayanan
kesehatan masyarakat.
Jadi, pengukuran tentang mortalitas menjadi hal yang sangat penting untuk diketahui. Berikut
ini dipaparkan tentang beberapa metode pengukuran angka kematian penduduk.
Tabel 6.1 menunjukkan variasi penyebab kematian di berbagai negara. Penyakit jantung lebih
diderita oleh penduduk di Australia, Amerika Serikat, Inggris dan Wales. Sedangkan
penyebab di negara India dan Meksiko lebih banyak karena penyakit pneumonia. Namun,
hasil yang diperoleh dari ‘rasio’ dipandang belum cukup, karena selama ini sudah menjadi
kebiasaan untuk menghitung suatu peristiwa demografi dengan menggunakan “Angka” atau
‘Rate”. Berkenaan dengan itu, CSDR didefinisikan sebagai jumlah kematian yang
diakibatkan oleh sebab tertentu selama setahun dibagi dengan jumlah penduduk penduduk
pertengahan tahun yang dinyatakan 1.000 penduduk, atau dengan formula sebagai berikut.
⅀𝑑 𝑚
AKKm = xk
𝑃
Keterangan
Contoh Penerapan
Di Indonesia pada tahun 2013 terdapat 2.650.340 kematian yang diakibatkan oleh penyakit
jantung koroner dan perkiraan penduduk (pertengahan tahun ) pada waktu itu 249.900.000
jiwa. Berarti CSDR penyakit jantung koroner di Indonesia selama tahun 2013 adalah
(2.650.340/249.900.000) x 1000 = 10,61 kematian/1000 penduduk. Perhitungan tersebut
menunjukkan bahwa pada tahun 2013, setiap 1.000 penduduk terdapat sekitar 10-11 kematian
yang disebabkan oleh penyakit jantung koroner.
Penyebut yang digunakan bukan penduduk penderita penyakit jantung koroner, melainkan
seluruh penduduk. Hal tersebut dilakukan mengingat data tentang penderita penyakit tertentu
sulit diperoleh atau datanya tidak tersedia. Dengan demikian, hasil perhitungan yang
diperoleh bukan besaran kematian dari penduduk yang mengidap penyakit jantung koroner,
melainkan besaran kematian penduduk pengidap penyakit jantung koroner dari keseluruhan
jumlah penduduk daerah bersangkutan. Berikut ini adalah CSDR di beberapa negara.
Tabel 6.2 Angka Kematian Khusus Menurut Sebab Kematian di Beberapa Negara
Berdasarkan Tabel 6.2 terlihat bahwa semakin jelasnya jumlah kematian per 1.000 penduduk
yang disebabkan oleh sebab tertentu. Dari setiap 1.000 penduduk di Australia, Amerika
Serikat, serta Inggris dan Wales, lebih dari 1/3 kematiannya disebabkan oleh penyakit
jantung. Di India dominan penyebab penduduk meninggal adalah karena pneumonia. Berbeda
dengan di Singapura kematian penduduknya tidak terkonsentrasi pada satu penyebab.
Studi kematian sebelum dikenal konsep angka atau rate, CDR maupun Angka Kematian
Khusus (Specific Death Rates) kematian diukur dengan membandingkan jumlah penduduk
dan jumlah kematian. Umpama di suatu wilayah yang berpenduduk 3 juta jiwa mempunyai
jumlah kematian sebanyak 100.000 orang maka angka yang diberikan adalah
3.000.000/100.000 = 30 atau 1 kematian tiap 30 penduduk. Cara pengukuran seperti itu
kemudian berkembang dengan cepat menjadi konsep Angka Kematian Kasar atau Crude
Death Rates (CDR) yang memiliki kegunaan praktis yang lebih luas. Angka Kematian Kasar
dihitung menggunakan formula berikut (Rusli : 1985).
⅀D
CDR = xk
P
Keterangan :
∑ D = Jumlah kematian
Mengacu pada rumus tersebut akan diperoleh angka kematian yang masih bersifat kasar.
Dikatakan demikian karena yang menanggung risiko untuk mengalami peristiwa kematian
adalah seluruh penduduk. Sementara diketahui bahwa risiko setiap penduduk untuk
mengalami peristiwa kematian adalah berbeda-beda, dilihat dari umur, jenis kelamin, status
sosial ekonomi, dan sebagainya. Umur bayi dan tua rentan terhadap kematian, wanita
memiliki rata-rata angka harapan hidup lebih panjang dibandingkan laki-laki. Penduduk
dengan keadaan sosial ekonomi yang tinggi lebih mudah memeroleh akses kesehetan
dibandingkan dengan yang miskin. Berikut ini disajikan data mengnai angka kematian kasar
di beberapa negara.
Berdasarkan Tabel 6.3 diketahui bahwa pada tahun 2013 terdapat variasi Angka Kematian
Kasar pada setiap Negara. Negara-negara tersebut mewakili kawasan masing-masing yang
memiliki CDR yang relative sama antara Negara bersangkutan dengan kawasan yang
diwakilinya. Terlihat Negara maju, sedangkan Negara yang memiliki angka kematian kasar
terendah adalah Bahamas yang mewakili kawasan Amerika Latin dan Caribbean. Masing-
masing terdapat tiga Negara/kawasan yang memiliki CDR di bawah dan di atas angka
kematian kasar dunia. Secara keseluruhan, CDR di dunia pada tahun 2013 adalah 8,1 per
1.000 penduduk. Jumlah seluruh penduduk termasuk struktur umur yang dimiliki Negara
bersangkutan diduga member pengaruh terhadap tinggi rendahnya CDR yang dimiliki.
Seandainya jumlah kematian yang terjadi pada daerah-daerah di Indonesia dapat diketahui
100% melalui system pencacatan (registrasi penduduk) maka dengan CDR, keadaan daerah-
daerah bersangkutan dapat dibandingkan. Misalnya untuk tahun 2010 jumlah kematian di
daerah A adalah 81.000 jiwa, dan di daerah B adalah 24.000 jiwa. Memerhatikan bilangan
mutlaknya, kematian di daerah A lebih banyak dibandingkan dengan di daerah B.
Pertanyaannya, apakah berarti angka kematian di daerah A lebih tinggi dari di daerah B?
Jawabannya belum tentu, jumlah penduduk daerah yang bersangkutan perlu juga
dibandingkan. Jumlah penduduk daerah A adalah 4.500.000 jiwa dan daerah B adalah
1.200.000 jiwa.
Berdasarkan data jumlah kematian dan jumlah penduduk di masing-masing daerah (A dan
B), perbandingkan kematian antara daerah A dan B dapat dilakukan dengan menghitung
CDR-nya masing-masing sebagai berikut.
Perhitungan tersebut menunjukkan bahwa per 1.000 orang penduduk pada tahun yang
bersangkutan kematian di daerah A lebih kecil dibandingkan dengan daerah B, walaupun
secara absolute jumlah kematian di daerah A lebih besar dari daerah B. Hal tersebut
menunjukkan bahwa jumlah penduduk suatu wilayah sebagai pembagi (population at risk)
sangat menentukan besaran CDR yang dihitung.
Berbagai ‘keunggulan’ yang dapat diberikan dari CDR, di antaranya : (1) mendeskripsikan
angka kematian keseluruhan penduduk suatu wilayah atau Negara; (2) mudah dapat
dimengerti oleh masyarakat umum; (3) proses perhitungannya mudah dan cepat, serta data
yang dibutuhkan minimal/ bisa didapat dengan mudah; dan (4) memberikan gambaran
pendahuluan yang berguna untuk mengenai tingkat maupun kecenderungan-kecenderungan
kematian.
Selain sisi keunggulan yang dimiliki, CDR juga memiliki ‘kekurangan’ di antaranya (1)
Angka Kematian Kasar merupakan angka campuran yang komponen-komponennya adalah
kelompok-kelompok penduduk yang memiliki risiko kematian secara spesifik aadalah
berbeda; dan (2) Angka Kematian Kasar dipengaruhi oleh distribusi penduduk menurut
kelompok, seperti umur dan jenis kelamin (Rusli, 1985).
Keterangan :
ASDRx = Angka Kematian Khusus menurut umur x
⅀Dx = Jumlah kematian penduduk kelompok umur x tahun tertentu
Px = Jumlah penduduk kelompok umur x pada tengah tahun yang bersangkutan
K = konstante yang biasanya menggunakan angka 1.000
Tabel 6.4 berikut ini memperlihatkan contoh untuk menghitung ASDRx di suatu
wilayah pada tahun tertentu.
Tabel 6.4 Angka kematian khusus menurut umur (ASDR) Penduduk Negara A untuk kedua
jenis kelamin Tahun 2010.
Dengan cara yang parallel, untuk berbagai karakteristik yang lain (selain umur) juga
dapat dihitung angka kematian khusus. Berkenaan dengan itu, pertama-tama yang akan
dihadapi untuk menghitung Angka kematian khusus adalah menentukan population atrisk,
yaitu penduduk yang mempunyai resiko kematian bagi karakteristik tertentu sebagai
penyebur, disamping memperoleh data jumlah kematian bagi kelompok-kelompok dengan
karakteristik yang bersangkutan untuk tahun-tahun tertentu sebagai pembilang.
c. Mortalitas Bayi
Bayi (Infant) adalah penduduk yang berumur 0 (nol) tahun, atau penduduk yang
masih belum mencapai ulang tahunnya yang pertama (satu tahun). Secara umum angka
kematian bayi merupakan indicator yang menunjukkan keadaan social, ekonomi dan
demografi penduduk suatu wilayah. Hal tersebut disebebkan data kematian bayi dapat
menunjukkan banyaknya atau berapa fasilitas-fasilitas medis dan bagamana taraf kehidupan
penduduk. Sebagai variable demografi, tingginya angka kematian bayi memberikan petunjuk
akan adanya potensi yang besar dalam pertumbuhan penduduk dimasa yang akan datang.
Berkenaan dengan itu maka diantara Angka kematian khusus,Angka kematian bayi atau
Infant mortality rates (IMR) merupakan ukuran mortalitas yang umumnya dijadikan indicator
untuk terlihat tingkat kesehatan dan kesejahteraan penduduk suatu daerah (pollard,1989).
Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa angka kematian bayi (IMR) merupakan
jumlah kematian penduduk umur dibawah satu tahun per 1.000 (jika konstante yang
digunakan 1.000) kelahiran hidup dalam tahun tertentu pada suatu wilayah. Jika
menggunakan rumus dapat diformulasikan sebagai berikut (Rusli, 1985).
∑ 𝐷𝑜
IMR = ∑𝐵
×𝑘
Keterangan:
Berikut disertakan contoh untuk menghitung angka kematian bayi (IMR) digunakan
menggunakan data jumlah bayi yang kahir hidup dan jumlah bayi yang mati. Perhatikan
table. 6.5!
Tabel 6.5 menunjukkan bahwa pada tahun 2000 di Indonesia setiap 1.000 kelahiran
bayi (lahir hidup) akan terjadi 47 kematian bayi, dan pada tahun 2010 mengalami penurunan
menjadi 26 kematian bayi setiap 1000 kelahiran hidup. Melalui perhitungan-perhitungan
seperti itu, kajian terhadap variasi mortalitas antar wilayah menjadi lebih mudah.
Bagaimana variasi kematian bayi di Indonesia dalam tiga dasawarsa sebelum sensus
penduduk tahun 2010 dilaksanakan. Hal ini penting untuk dilihat, terutama dalam kaitannya
dengan tingkat kesejahteraan penduduk provinsi-provinsi di Indonesia tahun 1980, 1990 dan
2000 perhatikan table 6.6
Berdasarkan Tabel 6.6 dapat dilihat variasi kematian bayi di Indonesia berdasarkan
hasil sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 1980. 1990 dan 2000 serta perkembangan
angka kematian bayi di masing-masing provinsi di Indonesia. Jawa Barat, Sulawesi Utara,
dan Klimantan Barat adalah 3 Provinsi di Indonesia yang penurunan IMR-nya lebih tinggi
dari rata-rata nasional. Hal tersebut menunjukkan keberhasilan usaha pemerintah provinsi
bersangkutan dan meningkatkan kualitas hidup penduduknya. Dengan memerhatikan variasi,
dan perkembangan angka kematian bayi tersebut secara tidak langsung juga akan dapat
dijadikan indicator untuk melihat tingkat kesehatan dan kesejahteraan penduduk di masing-
masing provinsi di Indonesia selama tiga dasawarsa terakhir sebelum Sensus penduduk 2010
dilaksanakan.
Umumnya data tentang jumlah kematian bayi diperoleh dari hasil pencatatan system
registrasi kejadian-kejadian vital atau system registrasi penduduk. Oleh karena itu, ketelitian
dan kelengkapan angka-angka yang diperoleh sangat tergantung pada berfungsi tidaknya
system tersebut. Mungkin saja terjadi bayi yang baru lahir hidup, tetapi karena segera mati
tidak teregistrasi, para ahli medis pun tidak mudah menentukan untuk memisahkan abourts,
lahir mati dan lahir hidup. Registrasi kematian bayi sangat sulit diperoleh terutama di Negara-
negara atau daerah dengan mortalitas bayi yang tinggi. Seringkali kematian bayi yang
diregistrasi untuk tahun tertentu merupakan kematian dari bayi-bayi yang lahir dua tahun
berturut-turut atau dua kohot tahun kelahiran (two annual cohorts of birth).
Angka kematian ibu (Maternal Mortality Rates = MMR) menunjukkan jumlah ibu
yang meninggal dalam proses melahirkan selama satu tahun terhadap jumlah ibu seluruhnya.
Dalam hal ini yan diperhitungkan dalam jumlah ibu meninggal adalah selama dalam
kehamilan dan atau dalam proses melahirkan. Ibu hamil yang meninggal karena kecelakaan,
bunuh diri, atau hal-hal lain yang tidak ada hubungannya denga kehamilan dan proses
melahirkan tidak dimasukkan dalam perhitungan ini. Oleh sebeb itu, ukuran ini dinyatakan
per 100.000 ibu dan bukan per 1.000 ibu, karena jumlah kasus dalam setahun relative kecil.
𝑀𝑀𝐷𝑀𝑀𝐷
MMR = 𝑥𝑘
𝑀𝑀
Keterangan:
MMD = Jumlah ibu yang meninggal dalam proses kehamilan atau melahirkan.
Kematian maternal terkategori peristiwa yang jarang terjadi (Rate Evant), sehingga
dinyatakan per 100.000 ibu. Namun demikian, MMR banayak digunakann sebagai indicator
keberhasilan pngelolaan upaya peningkatan kesehatan. Khususnya kesehatan ibu dan dalam
menuju kepada keluarga sehat sejahtera. Penurunan angka kematian ibu juga termasuk dalam
sala-satu target yang ingin dicapai oleh Negara-negara di dunia. Berikut disajikan Angka
kematian ibu pada masing-masing kawasan di dunia. Berikut disajikan Angka kematian ibu
pada masing-masingkawasan dunia pada tahun 2010 (Gambar 6.2).
Gambar 6.2 MMR masing-masing kawasan di dunia Tahun 2010
Menurut WHO, risiko kematian ibu selama hidupnya karena kehamilan atau
persalinan adalah 1 per 14 sampai 1 per 50 untuk Negara sedang berkembang dan 1 per 4.000
sampai 1 pe 10.000 di Negara maju. Perbedaan angka kematian Maternal antara Negara maju
dan Negara sedang berkembang merupakan disparitas antarnegara. Coba perhatikan Gambar
6.2, Angka kematian Maternal dikawasan Eropa hanya berkisar 15 per 100.000 kelahiran
hidup, sedangkan dikawasan Afrika adalah 460 per p 100.000 kelahiran hidup (live
Birth/LB).
Hasil estimasi MMR Indonesia berdasarkan data Sensus Penduduk 2000 sekitar 331
per 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 20005 mengalami penurunan menjadi 307 per
100.000 kelahiran hidup pda 2010 sudah mencapai 220 per 100.000 kelahiran hidup. Pada
akhir pembangunan millennium ke III, Indonesia menargetkan MMR hanya tinggal sekitar
102 per 100.000 kelahiran hidup, yang beraryi mendekati kondisi di Benua Australia tahun
2013.
1. Standardisasi Mortalitas
Standardisasi mortalitas dilakukan jika ingin membandungkan tingkat kematian
antara dua penduduk yang berbeda struktur atau distribusi umurnya. Selain menurut struktur
umur, angka kematian juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik lainnya, diantaranya sebagai
berikut.
1) Komposisi penduduk menurut daerah urban-rural. Pada umumnya kematian di daerah
rural lebih tinhhi dibandingkan dengan di daerah urban karena perbedaan status kesehatan
2) Komposisi pekrjaan. Pada umumnya orang yang bekerja di pertambangan memilik
resiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan orang yang bekerja dikantor.
3) Komposisi pendapatan. Pada umumnya orang kaya bias memeroleh perawatan
kesehatan ang lebih baik
4) Sex atau jenis kelamin. Pada umumnya laki-laki memiliki risiko kematian yang lebih
tinggi dibandingkan dengan wanita.
5) Status kawin. Pada umumnya pada orang dewasa, mereka yang kawin risiko
kematiannnya lebih rendah dibandingkan dengan yang bujangan, janda, duda, atau
cerai.
Dalam demografi, yang menjadi tujuan dalah mengukur mortalitas bukan mengukur
variable yang lain, seperti komposisi umur, komposisi jenis kelamin, komposisi pendapatan,
dan sebagainya.berkenaan dengan itu, pengaruh dari variable tersebut harus ditiadakan. Cara
yang dilakukan oleh para ahli demografi pada umumnua adalah dengan mengontrol variable
tersebut menggunkan teknik yang dikenal dengan standardisasi. Dalam demografi dikenal
ada dua model standardisasi, yaitu Standardisai Langsung dan Standardisassi tidak langsung
(Rsuli,1985; Pollard,1989)
1. Standardisasi Langsung
Keterangan:
Kolom (9)= Kolom (8) x Kolom (4) merupakan taksiran kematian standar untuk
penduduk A.
Kolom (10) = Kolom (8) x Kolom (7) merupakan taksiran kematian Standar untuk
penduduk B.
Apabila angka kematian Khusus Menurut Umur (ASDR) tidak tersedia, tetapi
data penduduk menurut umur dan jumlah kematian hasil registrasi dapat diperoleh,
sebaiknya menggunakan standardisasi tidak langsung.
Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada table 6.8 berikut ini
Tabel 6.8 Standardisasi Tidak Langsung Angka kematian di Daerah A dan B Menurut
Golongan Umur
Umur ASDRx Penduduk A Penduduk B
Standar Penduduk Jumlah Penduduk Jumlah
Kematian Kematian
Standar Standar
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
0-14 4.5 1.000 4.5 700 3.2
15-29 3.2 4.000 12.8 650 2.1
30-44 5.5 4.000 22.0 2.000 11.0
45-59 9.6 2.000 19.2 4.000 38.4
60-74 30.0 1.000 30.0 4.000 120.0
75+ 143.0 180 25.7 1.000 143.0
Total 12180 114.2 12350 317.7
Total Kematian Hasil registrasi 135 227
RMS 1.182 0.715
CDR 11.1 18.4
CDRs 13.1 13.2
Keterangan:
RMS = Jumlah kematian actual + Jumlah Kematian Standar, CDRs
= RMS x CDR
Kolom (4) = Kolom (3) x Kolom 2. Kolom (6) = Kolom (5) x Kolom (2)
Data kematian sangat diperlukan, antara lain untuk membuat proyeksi penduduk guna
perencanaan pembangunan. Misalnya, perencanaan fasilitas perumahan, fasilitas
pendidikan, dan jasa-jasa lainnya untuk kepentingan masyarakat. Data kematian juga
diperlukan untuk kepentingan evaluasi terhadap program program kebijaksanaan
penduduk. Data kematian dapat diperoleh dari berbagai macam sumber. Berikut akan
dipaparkan beberapa sumber tersebut termasuk kualitas data yang dihasilkan.
Kasus Indonesia, penurunan moralitas tidak sama halnya dengan yang terjadi di
negara-negara tetangganya (Singapura dan Malaysia). Penurunan moralitas di Indonesia
relative lebih lambat dibandingkan Singapura dan Malaysia (Heligman, dalam Tukiran 2010).
Lambatnya penurunan moralitas di Indonesia disebabkan banyak factor, beberapa diantaranya
dapat dikemukakan sebagai berikut.
Preston (1975) mengemukakan bahwa sekarang ini, moralitas semakin peka terhadap
variasi tingkat pendapatan, terutama di negara-negara yang pendapatan nasionalnya rendah.
Dengan asumsi bahwa pengurangan kemiskinan merupakan inti pokok setiap penurunan
moralitas di negara-negara ini. Rencana Kerja Kependudukan Sedunia mencantumkan suatu
pernyataan yang mengimbau negara-negara di dunia bahwa ‘penurunan moralitas dapat
dicapai dengan perkembangan social dan ekonomi secara besar-besaran. Himbauan ini secara
tegas menunjukan bahwa penurunan moralitas suatu negara akan dapat dilakukan melalui
peningkatan keadaan social ekonomi penduduk negara bersangkutan.
E. Rangkuman
Terdapat tiga keadaan vital yang masing – masing saling bersifat matually exclusive,
artinya keadaan yang satu tidak mungkin terjadi bersamaan dengan salah satu keadaan
lainnya. Tiga keadaan vital tersebut adalah lahir hidup (live birth), mati (death), dan lahir
mati (still birth). Mati adalah keadaan hilangnya semua tanda – tanda kehidupan secara
permanen yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Definisi tersebut menunjukkan
bahwa keadaan “mati” hanya bisa terjadi jika sudah pernah lahir hidup (live birth). Dalam
mortalitas still birth tidak dihitung sebagai peristiwa mati, yang dihitung hanya yang
tergolong death.
Terdapat sejumlah ukuran yang digunakan dalam mortalitas. Pertama, Cause Specific
Death Ratio (CSDR) atau Rasio Kematian Khusu menurut sebab kematian. CSDR
menunjukkan proporsi jumlah seluruh kematian yang disebabkan oleh sebab khusus, yang
kemudian berkembang menjadi konsep Angka Kematian Kasar atau Crude Death Rates
(CDR), yang menunjukkan jumlah kematian per 1.000 penduduk. Kedua, Age Specific Death
Rates (ASDR) atau Angka Kematian Menurut Umur merupakan ukuran mortalitas yang
menunjukkan jumlah kematian kelompok umur tertentu yang dinyatakan per 1.000 penduduk
kelompok umur bersangkutan.
Ketiga, Angka Kematian Bayi (IMR) menunjukkan jumlah kematian bayi per 1.000
kelahiran. Angka kematian bayi umumnya digunakan sebagai indikator yang menunjukkan
keadaan sosial, ekonomi dan demografi penduduk suatu wilayah. Keemoat, Angka Kematian
Ibu (Maternal Mortality Rates = MMR) menunjukkan proporsi ibu yang meninggal dalam
proses melahirkan selama setahun per 100.000 ibu.
Pencatatan data mortalitas umumnya dilakukan melalui registrasi maupun survei dan
sensus penduduk. Kualitas data dari registrasi masih belum baik, karena sistem pencatatan
belum berjalan dengan baik. Hal tersebut menyebabkan data mortalitas masih mengandalkan
data yang bersumber dari survei dan sensus penduduk. Data kematian yang diperoleh melalui
sensus atau survei dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu: (1) bentuk langsung (direct
mortality data) ; (2) bentuk tidak langsung (indirect mortality data).