a) peristiwa yang abadi, karena peristiwa tersebut tidak berubah rubah dan akan dikenang sepanjang masa
b) peristiwa yang unik, karena hanya terjadi 1 kali dan tidak akan pernah terulang persis sama untuk kedua kalinya
c) peristiwa yang penting, karena mempunyai arti dalam menentukan kehidupan orang banyak
Masyarakat Indonesia dikenalkan oleh orang-orang India tentang sistem pemerintahan kerajaan. Dalam sistem ini,
kelompok-kelompok kecil masyarakat bersatu dengan kepemilikan wilayah yang luas. Kepala suku yang terbaik dan
terkuat berhak atas tampuk kekuasaan kerajaan. Kemudian, pemimpin memerintah atas hak waris sesuai dengan
peraturan hukum kasta.Karena itu, lahirlah kerajaan-kerajaan di Indonesia, seperti Kutai, Tarumanegara, Sriwijaya, dan
kerajaan bercorak Hindu-Buddha lainnya.
Sosial budaya
Hindu budha yang menjadikan masyarakat Indonesia mengenal aturan kasta, yaitu: (1) Kasta Brahmana (kaum pendeta
dan para sarjana), (2) Kasta Ksatria (para prajurit, pejabat dan bangsawan), (3) Kasta Waisya (para petani, pemilik tanah)
dan prajurit). (4) Kasta Sudra (rakyat jelata dan pekerja kasar). Namun, tidak budaya Indonesia Lama masih tampak
dominan di semua lapisan masyarakat. Sistem kasta yang berlaku di Indonesia berbeda dengan kasta yang ada di India,
baik ciri-ciri maupun wujudnya. Hal ini tampak pada kehidupan masyarakat dan agama di Kerajaan Kutai. Berdasarkan
silsilahnya, Raja Kundungga adalah orang Indonesia yang pertama kali tersentuh oleh pengaruh budaya India. Pada
masa pemerintahannya, Kundungga masih mempertahankan budaya Indonesia karena pengaruh budaya India belum
terlalu merasuk ke kerajaan. Penyerapan budaya baru mulai tampak pada saat Aswawarman, anak Kundungga, diangkat
menjadi raja yang disetujui. Adanya pengaruh Hindia yang menggantikan Kundungga tidak dianggap sebagai pendiri
Kerajaan Kutai.
Ekonomi
Pada bidang ekonomi Masa Hindu-Buddha sudah ada uang logam. Namunmasih ada yang menggunakan sistem barter.
Tiap-tiap kerajan memilikinama yang berbeda beda contoh: di kerajaan Majapahit ada satuan uang Gobang, di kerajaan
Buleleng ada satuan Ma, Su, dan Piling.
Pada masa Islam, kerajaan Hindu-Buddha mengalami keruntuhan danmulai digantikan oleh Kerajaan Bercorak Islam.
Sistem kepemimpinannya masih secara turun temurun. Namun, rajanya bergelar Sultan atau Sunan.
Ekonomi
Pada masa Islam terjadi hubungan perdagangan dan juga pelayaran secara Internasional maupun Regional. Komoditas
ekspornya yaitu: Cengkih, Pala, dan Bunga Pala(Fuli). Pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam, sistem jual beli
masih menggunakan barter (Antara pedagang daerah pesisir dan pedagang pedalaman). Tradisi ini masih berlangsung di
daerah terpencil, hingga kini. Namun,ada juga kota yang telah menggunakan uang sebagai alat jual beli (Pada masa
perkembangan Islam). Mata uang yang dipergunakan tidak mengikat pada mata uang tertentu kecuali ada aturan yang
diatur pemerintah setempat.
Sosial budaya
Jika dalam agama Hindu-Buddha derajat orang berdasar kasta (Caturwarna), maka dalam agama Islam derajat
seseorang berdasarkan Keimanan dan Ketakwaan kepada Allah. Hal inilah yang membuat banyak orang dengan sukarela
masuk agama Islam. Selain itu, perubahan dari Kalender Saka (Kalender Hindu) menjad iKalender Hijriyah (Kalender
Islam).
LAHIRNYA KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT
Di dunia, kolonialisme dan imperialisme berkembang sejak abad ke-15 oleh bangsa Eropa ke berbagai wilayah, termasuk
Indonesia. Faktor utamanya adalah Perang Salib dan jatuhnya Konstatinopel oleh Turki Utsmani (Ottoman) di tahun
1453. Jalur perdagangan Asia-Eropa yang melewati laut tengah kemudian ditutup. Hal tersebut memaksa bangsa Eropa
untuk mencari jalur perdagangan baru berbekal kemajuan teknologi pelayaran.
Selain itu, terdapat beberapa faktor lain yang mendorong bangsa Eropa untuk melakukan kolonialisme dan
imperialisme. Jatuhnya Konstatinopel oleh Ottoman membangkitkan semangat penaklukan terhadap pemeluk agama
Islam. Tidak hanya itu, mereka memiliki keingintahuan untuk mempelajari alam semesta, kondisi geografis, dan
kehidupan bangsa-bangsa lain. Rempah-rempah juga menjadi alasan lain bagi bangsa ini untuk melakukan penjelajahan
mengingat harganya yang tinggi di pasar Eropa. Mereka ingin memperoleh keuntungan dan kekayaan sebanyak
mungkin. Mereka juga memiliki ambisi 3G, yaitu Gold, Glory, dan Gospel.
Gold berarti mencari keuntungan dengan mengumpulkan bahan dan barang berharga; Glory berarti menyebarkan
kekuasaan seluas-luasnya; sementara Gospel berarti penyebaran agama yang dianut bangsa Barat saat itu, yaitu Katolik.
Bangsa Barat yang mendatangi Indonesia rupanya tidak hanya Belanda. Di tahun 1511, Portugis mendarat di Malaka.
Spanyol juga mendatangi Indonesia di tahun 1521 dan mendarat di Maluku. Barulah Belanda mengikuti di tahun 1595
dan mendarat di Banten.
Kolonialisme dan imperialisme di Indonesia bermula dari bangsa Portugis. Ekspedisi yang mereka lakukan pertama kali
dipimpin oleh Vasco da Gama. Bersama krunya, Vasco da Gama berhasil berlayar hingga mendarat di Kalkuta, India.
Sayangnya, ia berpendapat bahwa India bukanlah negara penghasil rempah-rempah yang mereka cari. Mengikuti jejak
da Gama, Alfonso de Albuquerque melaksanakan ekspedisi lanjutan. Ia dan krunya berhasil mencapai Malaka. Bangsa
Spanyol juga mengikuti Portugis dalam pencarian rempah-rempah. Ekspedisi yang dilakukan oleh Christopher Columbus
sayangnya belum menemukan daerah penghasil rempah-rempah. Hal tersebut kemudian mendorong Magelhaens
untuk melakukan pelayaran yang sama. Kapal Magelhaens tiba di Kepulauan Maluku yang kaya dengan rempah-
rempah.
Sementara itu, ekspedisi Belanda dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Ketika tiba di Banten, ia dan krunya disambut baik
oleh Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdulkadir. Tapi, Belanda berniat untuk memonopoli pasar di sana, hingga akhirnya
mereka diusir. Belanda kembali lagi di tahun 1598 dengan tujuan berdagang, tapi mereka menyebar dari Banten hingga
ke Maluku.
VOC secara resmi didirikan di Amsterdam. Adapun tujuan dibentuknya VOC ini antara lain untuk: (1) menghindari
persaingan yang tidak sehat antara sesama kelompok/kongsi pedagang Belanda yang telah ada, (2) memperkuat
kedudukan Belanda dalam menghadapi persaingan dengan para pedagang negara lain.
VOC dipimpin oleh sebuah dewan yang beranggotakan 17 orang, sehingga disebut “Dewan Tujuh Belas” (de Heeren
XVII). Mereka terdiri dari delapan perwakilan kota pelabuhan dagang di Belanda. Markas Besar Dewan ini berkedudukan
di Amsterdam. Dalam menjalankan tugas, VOC ini memiliki beberapa kewenangan dan hak-hak antara lain:
1. Melakukan monopoli perdagangan di wilayah antara Tanjung Harapan sampai dengan Selat Magelhaens, termasuk
Kepulauan Nusantara.
2. Membentuk angkatan perang sendiri
3. Melakukan peperangan
4. Mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat
5. Mencetak dan mengeluarkan mata uang sendiri
6. Mengangkat pegawai sendiri
7. Memerintah di negeri jajahan.
Gubernur jenderal VOC yang pertama adalah Pieter Both (1610-1614). Sebagai gubernur jenderal yang pertama, Pieter
Both sudah tentu harus mulai menata organisasi kongsi dagang ini sebaik-baiknya agar harapan mendapatkan monopoli
perdagangan di Hindia Timur dapat diwujudkan. Pieter Both pertama kali mendirikan pos perdagangan di Banten pada
tahun 1610. Pada tahun itu juga Pieter Both meninggalkan Banten dan berhasil memasuki Jayakarta. ada tahun 1614
Pieter Both digantikan oleh Gubernur Jenderal Gerard Reynst (1614-1615). Baru berjalan satu tahun ia digantikan
gubernur jenderal yang baru yakni Laurens Reael (1615-1619). Tahun 1619 Gubernur Jenderal VOC Laurens Reael
digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (J.P. Coen). J.P. Coen dikenal gubernur jenderal yang berani dan
kejam serta ambisius.
KEDUDUKAN INGGRIS
Inggris sempat menjajah Indonesia selama 5 tahun dari 1811 hingga 1816. Dikutip dari Sejarah Indonesia Modern (2016)
karangan MC Ricklefs pada 4 Agustus 1811, 60 kapal Inggris muncul di pelabuhan Batavia, pusat kekuatan Belanda.
Batavia dan daerah di sekitarnya jatuh ke tangan Inggris pada 26 Agustus 1811. Perjanjian Tuntang Inggris di bawah
pimpinan Thomas Stamford Raffles berhasil merebut seluruh kekuasaan Belanda di Indonesia yang ditandai dengan
Perjanjian Tuntang. Perjanjian Tuntang dilakukan pada 18 September 1811 yang berisi sebagai berikut: Pemerintah
Belanda menyerahkan Indonesia kepada Inggris di Kalkuta, India Semua tentara Belanda menjadi tawanan perang
Inggris. Orang Belanda dipekerjakan dalam pemerintahan Inggris. Hutang Belanda tidak menjadi tanggungan Inggris.
Raffles yang berhasil merebut seluruh kekuasaan Belanda, memberikan kesempatan rakyat Indonesia untuk melakukan
perdagangan bebas. Meski keberadaan Inggris tetap menindas rakyat Indonesia.
Tanggal 18 September 1811 adalah tanggal dimulainya kekuasaan Inggris di Hindia. Gubernur Jenderal Lord Minto
secara resmi mengangkat Raffles sebagai penguasanya. Pusat pemerintahan Inggris berkedudukan di Batavia. Sebagai
penguasa di Hindia, Raffles mulai melakukan langkah-langkah untuk memperkuat kedudukan Inggris di tanah jajahan.
Dalam rangka menjalankan pemerintahannya, Raffles berpegang pada tiga prinsip. Pertama, segala bentuk kerja rodi
dan penyerahan wajib dihapus, diganti penanaman bebas oleh rakyat. Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut
pajak dihapuskan dan para bupati dimasukkan sebagai bagian pemerintah kolonial. Ketiga, atas dasar pandangan bahwa
tanah itu milik pemerintah, maka rakyat penggarap dianggap sebagai penyewa. Berangkat dari tiga prinsip itu Raffles
melakukan beberapa langkah, baik yang menyangkut bidang politik pemerintahan maupun bidang sosial ekonomi.
Menurut van den Bosch, cultuur stelsel didasarkan atas hokum adat yang menyatakan bahwa barang siapa berkuasa di
suatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Karena raja-raja di Indonesia sudah takluk kepada Belanda,
pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus
menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada pemerintah Belanda.
1.) Latar Belakang Sistem Tanam Paksa
Di Eropa, Belanda terlibat dalam peperangan-peperangan pada masa kejayaan Napoleon Bonaparte sehingga
menghabiskan biaya yang amat besar.
Terjadinya Perang Kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada tahun 1830.
Terjadi Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda.
Perang Diponegoro menghabiskan biaya sekitar 20.000.000 gulden.
Kas Negara Belanda kosong dan hutang yang ditanggung Belanda cukup berat.
Gagal mempraktikkan gagasan liberal (1816-1830) berarti gagal juga mengeksploitasi tanah jajahan untuk
memberikan keuntungan yang besar pada Belanda.
Ketentuan-ketentuan pokok sistem tanam paksa terdapat dalam Staatsblad (lembaran Negara) tahun 1834 No.22,
beberapa tahun setelah tanam paksa dijalankan di Pulau Jawa. Bunyi dari ketentuan tersebut adalah sebagai berikut.
Persetujuan-persetujuan agar penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman
ekspor yang dapat dijual di Eropa.
Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan tersebut tidak boleh melebihi seperlima dari tanah
pertanian yang dimiliki.
Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam padi.
Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Jika harganya ditaksir melebihi
pajak tanah yang harus dibayar rakyat, kelebihan itu diberikan kepada penduduk.
Kegagalan panen yang bukan karena kesalahan petani akan menjadi tanggungan pemerintah.
Bagi yang tidak memiliki tanhan akan dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah
selama 65 hari setiap tahun.
Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pemimpin-pemimpin pribumi. Pegawai-pegawai Eropaa bertindak
sebagai pengawas secara umum.
Ketentuan-ketentuan tersebut dalam praktiknya banyak menyimpang sehingga rakyat banyak dirugikan. Penyimpangan-
penyimpangan tersebut, antara lain berikut ini.
Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara-
cara yang sangat memaksa.
Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima tanah mereka. Sering kali juga semua tanah rakyat
digunakan untuk tanam paksa.
Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang digunakan untuk proyek tanam paksa.
Buruh yang seharusnya dibayar oleh pemerintah malah dijadikan tenaga paksaan.
Pelaksanaan system tanam paksa memberikan dampak bagi rakyat Indonesia, baik positif maupun negatif.
I) Dampak Positif
Kelaparan dan kematian terjadi di banyak tempat, seperti di Cirebon (1843) sebagai akibat dari pemungutan
pajak tambahan dalam bentuk beras, serta di Demak (1848) dan di Grobogan (1849-1850) sebagai akibat
kegagalan panen.
Sebelum tahun 1870, Indonesia dijajah dengan model imperialism kuno (ancient imperialism), yaitu dikeruk
kekayaannya saja. Setelah tahun 1870, di Indonesia diterapkan imperialism modern (modern imperialism). Sejak saat itu
diterapkan opendeur politiek, yaitu politik pintu terbuka terhadap modal-modal swasta asing. Pelaksanaan politik pintu
terbuka tersebut diwujudkan melalui penerapan system politik ekonomi liberal.
Pelaksanaan system tanam paksa telah menimbulkan penderitaan rakyat pribumi, tetapi hanya memberikan
keuntungan kepada pihak Belanda secara besar-besaran.
Berkembangnya paham liberalism sehingga system tanam paksa tidak sesuai lagi untuk diteruskan.
Kemenangan Partai Liberal dalam Parlemen Belanda mendesak pemerintah Belanda menerapkan system
ekonomi liberal di Indonesia. Tujuannya agar para pengusaha Belanda sebagai pendukung Partai Liberal dapat
menanamkan modalnya di Indonesia.
Adanya traktar Sumatera (1871) yang memberikan kebebasan bagi Belanda untuk meluaskan wilayahnya ke
Aceh. Sebagai imbalannya, Inggris meminta Belanda menerapkan system ekonomi liberal di Indonesia agar
pengusaha Inggris dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
Memberikan keuntungan yang sangat besar kepada kaum swasta Belanda dan pemerintah colonial Belanda.
Adanya krisis perkebunan pada tahun 1885 karena jatuhnya harga kopi dan gula berakibat sangat buruk bagi
penduduk.
Menurunnya konsumsi bahan makanan, terutama beras, sementara pertumbuhan penduduk Jawa meningkat
sangat pesat.
Menurunnya usaha kerajinan rakyat karena kalah bersaing dengan barang-barang impor dari Eropa.
Pengangkutan dengan gerobak menjadi merosot penghasilannya setelah adanya angkutan dengan kereta api.
Rakyat menderita karena masih diterapkannya kerja rodi dan adanya hukuman berat bagi yang melanggar
peraturan Poenale Sanctie.
Sejak abad ke-17 perlawanan rakyat Maluku terhadap Kompeni sudah terjadi, namun perlawanan yang dahsyat baru
muncul pada permulaan abad ke-19, di bawah pimpinan Ahmad Matulessi (lebih dikenal dengan nama Pattimura).
Latar belakang timbulnya perlawanan Pattimura, di samping adanya tekanan-tekanan yang berat di bidang ekonomi
sejak kekuasaan VOC juga dikarenakan hal sebagai berikut.
a. adanya tindakan-tindakan pemerintah Belanda yang memperberat kehidupan rakyat, seperti system penyerahan
secara paksa, kewajiban kerja blandong, penyerahan atap dan gaba-gaba, penyerahan ikan asin, dendeng dan kopi.
Selain itu, beredarnya uang kertas yang menyebabkan rakyat Maluku tidak dapat menggunakannya untuk keperluan
sehari-hari karena belum terbiasa.
b. adanya pemecatan guru-guru sekolah akibat pengurangan sekolah dan gereja, serta pengiriman orang-orang Maluku
untuk dinas militer ke Batavia.
Hal-hal tersebut di atas merupakan tindakan penindasan pemerintah Belanda terhadap rakyat Maluku. Oleh karena itu,
rakyat Maluku bangkit dan berjuang melawan imperialisme Belanda. Aksi perlawanan meletus pada tanggal 15 Mei
1817 dengan menyerang Benteng Duurstede di Saparua. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya Benteng
Duurstede jatuh ke tangan rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura. Banyak korban di pihak Belanda termasuk
Residen Belanda, Van den Berg ikut terbunuh dalam pertempuran.
Perang Paderi melawan Belanda berlangsung 1821–1838, tetapi gerakan Paderi sendiri sudah ada sejak awal abad ke-
19. Di lihat dari sasarannya, gerakan Paderi dapat dibagi menjadi dua periode.
Sejak tahun 1821 saat kembalinya tiga orang haji dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang, gerakan
Paderi melawan kaum Adat dimulai. Kaum Paderi berkeinginan memperbaiki masyarakat Minangkabau dengan
mengembalikan kehidupannya yang sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Padahal kaum Adat justru ingin
melestarikan adat istiadat warisan leluhur mereka.
Perang Paderi melawan Belanda meletus ketika Belanda mengerahkan pasukannya menduduki Semawang pada tanggal
18 Februari 1821. Masa Perang Paderi melawan Belanda dapat dibagi menjadi tiga periode.
a. Periode 1821–1825, ditandai dengan meletusnya perlawanan di seluruh daerah Minangkabau. Di bawah pimpinan
Tuanku Pasaman, kaum Paderi menggempur pos-pos Belanda yang ada di Semawang, Sulit Air, Sipinan, dan tempat-
tempat lain. Pertempuran menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Tuanku Pasaman kemudian
mengundurkan diri ke daerah Lintau. Sebaliknya, Belanda yang telah berhasil menguasai Lembah Tanah Datar,
kemudian mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar (Fort Van den Capellen).
b. Periode 1825–1830, ditandai dengan meredanya pertempuran. Kaum Paderi perlu menyusun kekuatan, sedangkan
pihak Belanda baru memusatkan perhatiannya menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa.
c. Periode 1830–1838, ditandai dengan perlawanan di kedua belah yang makin menghebat. Pemimpin di pihak Belanda,
antara lain Letkol A.F. Raaff, Kolonel de Stuer, Mac. Gillavry dan Elout, sedangkan di pihak Paderi ialah Tuanku Imam
Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku nan Gapuk, Tuanku Hitam, Tuanku Nan Cerdik dan Tuanku Tambusi.
Pengaruh Belanda di Surakarta dan Yogyakarta semakin bertambah kuat pada permulaan abad ke-19. Khususnya di
Yogyakarta, campur tangan Belanda telah menimbulkan kekecewaan di kalangan kerabat keraton yang kemudian
menimbulkan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
a. Adanya kekecewaan dan kebencian kerabat istana terhadap tindakan Belanda yang makin intensif mencampuri
urusan keraton melalui Patih Danurejo (kaki tangan Belanda).
b. Adanya kebencian rakyat pada umumnya dan para petani khususnya akibat tekanan pajak yang sangat memberatkan.
c. Adanya kekecewaan di kalangan para bangsawan, karena hak-haknya banyak yang dikurangi.
d. Sebagai sebab khususnya ialah adanya pembuatan jalan oleh Belanda melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro
di Tegalrejo.
a) Budi Utomo
Kebangkitan nasional ditandai lahirnya Budi Utomo (BU) yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh Dr. Sutomo,
Suradji, dan Gunawan Mangun- kusumo yang waktu itu menjadi mahasiswa Stovia (kedokteran Jawa), sedangkan
perintisnya adalah Dr. Wahindin Sudirohusodo.
b) Sarekat Islam
Pada tahun 1911 di Laweyan, Solo berdiri organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) dengan ketua Haji Samanhudi.
Keinginan untuk menyaingi pedagang- pedagang Cina mendorong banyak orang ingin menjadi anggota SDI. Tujuan
SDI semula adalah memajukan perdagangan untuk menyaingi pedagang-pedagang Cina. Namun pada akhirnya,
selain memajukan perdagangan, SDI juga ingin memajukan agama Islam. Oleh karena itu, atas anjuran H.O.S.
Cokroaminoto, nama SDI diubah menjadi SI (Sarekat Islam) pada tahun 1912.
c) Indische Partij
Indische Partij (IP) didirikan pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung oleh tiga serangkai, yaitu Douwes Dekker
(Danudirdja Setiabudhi), Tjipto Mangunkusumo, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Tujuan didirikannya
partai polilik ini adalah mempersatukan Hindia Belanda sebagai persiapan Hindia merdeka. Tujuan ini
disebarluaskan melalui surat kabar De Express.
d) Perhimpunan Indonesia
Perhimpunan Indonesia adalah organisasi pergerakan nasional yang awalnya didirikan dengan nama Indische
Vereeniging oleh Belanda pada tahun 1908 yakni Soetan Kasajangan Soripada dan RM Noto Suroto. Namun pada
tahun 1923, organisasi ini justru berjuang dari jauh untuk mempelopori kemerdekaan untuk Indonesia saat itu.
Selanjutnya pada tahun 1925 organisasi ini berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia yang menunjukan
identitas diri bangsa dan negara serta menggantikan kata Hindia Belanda.
e) Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV)
Indische Social democratische Vereeniging (ISDV) adalah organisasi yang berdiri pada 9 Mei 1914 oleh Henk
Sneevliet yang merupakan anggota dari Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda. ISDV merupakan organisasi yang
menganut paham marxisme. ISDV inilah yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Partai Komunis Indonesia
pada Desember 1920.
Pada 6 Agustus 1945, sekutu memberikan serangan telak pada Jepang. Hiroshima yang merupakan salah satu kota
penting di Jepang dijatuhi serangan bom atom. Ledakan dahsyat kemudian meluluhlantakkan seisi kota.
Jenderal Terauchi Hisaichi mengundang tiga tokoh bangsa untuk menemuinya di Markas Besar Tentara Wilayah Selatan
di Dalat, Vietnam. Tiga tokoh bangsa itu yakni, Ir. Soekarno, Moh. Hatta dan Radjiman Wediodiningrat.
Pada 15 Agustus 1945 Kaisar Hirohito menyatakan secara bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Kabar ini kemudian berembus hingga ke tanah air.
Kabar menyerahnya Jepang pada sekutu sampai ke telinga golongan muda. Menurut mereka ini merupakan kesempatan
bagi Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya.
Golongan muda kemudian mendesak agar proklamasi kemerdekaan Indonesia dilangsungkan paling lambat pada 16
Agustus 1945. Namun, Soekarno-Hatta menolak gagasan ini.
Peristiwa Rengasdengklok
Buntunya dialog dengan golongan tua membuat golongan muda tidak punya pilihan lain selain membawa Soekarno-
Hatta ke luar kota. Rengasdengklok kemudian dipilih sebagai tempat untuk mengamankan dua tokoh bangsa itu.
Peristiwa ini terjadi pada 16 Agustus 1945.
Langkah ini diambil oleh golongan muda untuk menekan Soekarno-Hatta agar bersedia memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Setelah melalui perundingan, akhirnya golongan tua bersedia untuk segera menyatakan
kemerdekaan Indonesia.
Pada 16 Agustus 1945 di malam hari, Soekarno-Hatta kembali ke Jakarta. Bersama dengan tokoh nasional lainnya
mereka berkumpul di rumah Laksamana Maeda untuk merundingkan persiapan proklamasi kemerdekaan.
Perundingan yang berlangsung sejak malam hingga pagi itu kemudian menghasilkan naskah proklamasi kemerdekaan
Indonesia.
Pembacaan Proklamasi
Pada 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi, naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno di Jalan
Pegangsaan Timur 56. Kabar mengenai proklamasi ini kemudian segera disebarkan ke seluruh negeri.
PPKI memutuskan untuk membagi wilayah Indonesia menjadi 8 provinsi, yaitu Sunda Kecil, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi
Sidang kedua ini membentuk Komite Nasional Daerah (KND) yang levelnya berada berada di provinsi-provinsi yang telah
dibentuk.
Terakhir, PPKI berhasil membentuk 12 departemen dan menteri-menterinya. Selain itu, terdapat juga 4 menteri negara
non-departemen.
Sidang terakhir yang dilakukan PPKI pada tanggal 22 Agustus 1945 menghasilkan hal-hal sebagai berikut:
Nah, komite ini adalah awal mula terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). KNIP adalah Badan Pembantu Presiden
yang anggota-anggotAnya adalah tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai golongan dan daerah.
BKR mempunyai tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban negara Indonesia. Nah, setelah BKR resmi dibentuk,
maka organisasi-organisasi lain yang memiliki tugas yang serupa seperti BKR, yaitu Heiho, PETA, dan Laskar Rakyat resmi
dibubarkan.
Politik
Pada masa demokrasi liberal Presiden bertugas sebagai kepala negara, sedangkan kepala pemerintahan dipegang
oleh perdana menteri. Perdana menteri bertanggung jawab kepada DPR. Perdana menteri dan kabinetnya dapat
dibubarkan oleh DPR dengan mosi tidak percaya. Selain itu pada masa demokrasi liberal partai-partai tumbuh subur
karena diberikan kesempatan yang luas.
2. Kabinet pada Demokrasi Liberal
a. Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951)
➥Tokoh : Moh. Natsir (perdana menteri pertama)
➥Partai : Masyumi
➥Prestasi :
➤ Perekonomian mengalami masa paling menguntungkan
➤ Meredakan pemberontakan di Ambon
➥Berakhirnya Kabinet :
Mendapat mosi dari Hadikusumo dari PNI agar pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950
tentang pemilihan anggota perwakilan darah.
Sosial
Pada masa demokrasi liberal, perekonomian Indonesia masih jauh dari kata baik dikarenakan Indonesia yang baru
merdeka belum memiliki pengalaman dalam mengelola keuangan negara dan disebabkan oleh banyaknya
pemberontakan serta gerakan sparatisme di daerah-daerah.
2. Permasalahan Ekonomi
Pada masa demokrasi liberal Indonesia mengalami berbagai permasalahan ekonomi yang diantara penyebabnya
adalah hasil dari Koferensi Meja Bundar. Indonesia memiliki hutang yang sangat tinggi.
Permasalahan ekonomi yang terjadi diantaranya :
➤Masalah jangka pendek : pemerintah harus mengurangi jumlah uang yang beredar dan mengatasi kenaikan biaya
hidup.
➤Masalah jangka panjang : pertambahan penduduk tidak terkendali dan kesejahteraan penduduk rendah.
Indonesia mengalami defisit dalam anggarannya karena pengeluaran yang semakin membengkak akibat situasi
politik yang tidak stabil.
3. Kebijakan Mengatasi Masalah Ekonomi
a. Gerakan Benteng
Kebijakan ini dicetuskan oleh Soemitro Djojohadikusumo. Kebijakan ini dimulai pada bulan April 1950 dengan tujuan
mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional. Inti kebijakan ini adalah memberikan
bantuan kepada kalangan pengusaha pribumi agar ikut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
b. Gunting Syafrudin
Pencetus gerakan ini adalah Syafrudin Prawiranegara yang menjabat sebagai menteri keuangan. Kebijakan ini
dilakukan dengan memotong nilai uang yang bernilai Rp 2,5 ke atas hingga setengahnya. Kebijakan ini bertujuan
mengatasi defisit anggaran sebesar Rp 5,1 miliar.
c. Nasionalisasi De Javasche Bank
De Javasche Bank pada masa kini adalah Bank Indonesia. Pada mulanya bank ini berada dibawah kekuasaan modal
asing. Oleh karena itu, bank tersebut dinasionalisasi dengan tujuan untuk membantu lapisan masyarakat bawah
untuk mendapat pinjaman modal.
d. Pembentukan Biro Perancang Negara
Biro Perancang Negara dibentuk pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo I dengan tugas merancang pembangunan
negara jangka pendek yang diketuai oleh Djuanda. Karena masa kerja kabinet yang terlalu singkat biro ini tidak
dapat bekerja maksimal.
e. Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ini dicetuskan oleh Iskaq Tjokroadisurjo yang menjabat sebagai menteri perekonomian pada kabinet Ali
Sastroamidjojo I. Tujuan sistem ini adalah mencitakan kerja sama antara pengusaha pribumi(Ali) dan pengusaha
asing (Baba). Namun Sistem ekonomi ALi-Baba tidak dapat berjalan dengan baik.
f. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
RPLT menrupakan salah satu kebijakan yang dikeluarkan Biro Perencanaan Negara. Kebijakan ini direncanakan akan
terlaksana pada tahun 1956-1961.
Sosial
1. Kondisi Sosial Masyarakat
Pada masa ini taraf hidup masyarakat semakin naik daripada di masa revolusi. Indikatornya adalah jumlah penduduk
bertambah, kesejahteraan meningkat, dan kota-kota semakin berkembang.
Adapun kondisi sosial masyarakatnya sebagai berikut.
a. Kondisi Demografi
Salah satu indikator kemajuan pada masa demokrasi liberal adalah pertambahan penduduk.
➤Pertumbuhan penduduk nasional :
→Tahun 1950 : 77 juta jiwa
→Tahun 1955 : 85,4 juta jiwa
➤Pertumbuhan penduduk perkotaan (Jakarta)
→Tahun 1950 : 1.8 juta jiwa
→Tahun 1960 : 2.9 juta jiwa
➤Jumlah buta huruf
→Masa kolonial : 92,6 %
→Tahun 1960 : 24%
2. Kehidupan Pendidikan
a. Sistem Pendidikan
Pada masa demokrasi liberal sistem pendidikan yang dilaksanakan adalah dengan sistem desentralisasi yang mana
SD dan SMP menjadi urusan pemerintah daerah (provinsi) dengan supervisi dari pemerintah pusat. Sedangkan
untuk SMA ditanggung oleh pemerintah baik masalah keuangan maupun mata pelajaran. Namun, perhatian
terhadap pendidikan dirasa masih kuang karena anggaran yang diglontorkan dari APBN masih cukup sedikit yaitu
5,1% APBN pada tahun 1950 dan masih kalah pada masa kolonial Belanda yang mencapai kisaran 9,3%.
b. Perguruan Tinggi
Pendidikan tinggi menjadi fokus utama pemerintah untuk membentuk generasi bangsa yang kompeten. Atas dasar
tersebut menteri pendidikan Abu Hanifah menetapkan bahwa setiap provinsi memiliki satu universitas negeri.
Sehingga pada tanggal 19 Desember 1949 didirikan universitas Gajah Mada. Selanjutnya berdiri Universitas
Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Padjajaran, Universitas Hassanuddin, dan Universitas Sumatra Utara.
3. Kehidupan Budaya
a. Penyempurnaan Ejaan Bahasa Indonesia
Pada tahun 1954 pemerintah mengeluarkan gagasan untuk menyemurnakan ejaan Bahasa Indonesia. Pada tanggal
28 Oktober-2 November 1954 pemerintah mengadakan Kongres Bahasa Indonesia di Medan. Hasil keputusannya
adalah agar usaha penyelidikan dan penetapan dasar-dasar ejaan diserahkan kepada suatu badan pemerintah yang
bertugas menyusun ejaan praktis Indonesia. Hingga dibentuklah Panitia Pembahasan Ejaan Bahasa Indonesia
melalui surat keputusan menteri PP dan K No. 448/S tanggal 19 Juli 1956. Panitia tersebut dipimpin oleh Prof. Dr.
Prijono.
b. Perkembangan Sastra
Pada masa demorasi liberal, mulai muncul beberapa sastrawan lokal seperti Sitor Situmorang dan Pramoedya
Ananta Toer yang memengaruhi perkembangan karya di Indonesia. Peran mereka mampu menggeser peran
sastrawan asing yang digandrungi masyarakat. Para sastrawan pada saat itu menjalankan fungsinya dengan
menangkap berbagai masalah kemanusian dibalik peristiwa getir akibat perang.
Para sastrawan tidak hanya dipengaruhi oleh gaya eropa tetapi juga gaya melayu seperti Amir Hamzaah, gaya Sunda
seperti Ajip Rosidi, Rusman Sutiasumarga, dan Ramadhan K.H , dan gaya Jawa antara lain W.S. Rendra, Kirdjomuljo,
dan Soeripman.
4. Kehidupan Pers
Pada masa demokrasi liberal Pers tumbuh dengan subur menyuarakan realitas dalam masyrakat dan pemerintahan.
Selain sebagai sumber informasi pers juga berperan sebagai kontrol sosial.
Selanjutnya bermunculanlah surat kabar-surat kabar hingga ada tahun 1954 di Indonesia terdapat 105 surat kabar.
Selain surat kabar, sarana pers lainnya adalah radio yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dipandang sebagai suatu bentuk usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan
politik dengan melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
tersebut, Indonesia jatuh pada masa Demokrasi Terpimpin. Dalam demokrasi terpimpin Soekarno bertindak seperti
seorang diktator. Ia hampir menguasai semua sektor kekuasaan negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Demokrasi Terpimpin merupakan sebuah hype pendek demokrasi yang tidak didasarkan atas paham liberalisme,
sosialisme-nasional, fasisme, dan komunisme, tetapi suatu paham demokrasi yang didasarkan pada keinginan-
keinginan luhur bangsa Indonesia seperti yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945. Demokrasi yang menuju
pada satu tujuan yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur yang penuh dengan kebahagiaan material dan
spiritual sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, banyak terjadi penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945 seperti: